You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit

kardiovaskuler, dimana gejalanya hampir tidak terkontrol dalam 70 % hingga 80

% kasus kanker, terutama bila fase penyembuhan telah berakhir dan pasien masuk

ketahapan paliatif.(Falkensteiner, Mantovan, Miiller & Them,2011). Berbagai

gejala penyakit dan efek samping pengobatan banyak dikeluhkan oleh pasien

kanker.

Penggunaan terapi komplementer dalam pengobatan kanker sudah tidak

asing lagi digunakan untuk mengatasi berbagai gejala yang ditimbulkan kanker.

Walaupun terapi farmakologi sudah terbukti, namun pasien yang menjalani

kemoterapi selalu mengalami efek samping obat, diantaranya nausea, fatigue,

ansietas, dan nyeri. Tidak hanya kemoterapi yang memiliki efek samping namun

obat-obat farmakologis untuk mengatasi gejala lainnya juga demikian (Ayoub,

2013).

Masalah psikologis sebagai dampak dari gangguan fisik banyak terjadi

pada pasien penyakit kronis, terutama kanker. Masalah psikologis atau distres,

istilah yang disepakati oleh National Comprehensive Cancer Network (NCCN)

dikarenakan lebih pantas dan dapat diterima, yang didefenisikan sebagai : ...

pengalaman emosional banyak dari hal yang tidak menyenangkan akibat

psikologis (kognitif, prilaku, emosional), sosial dan/atau spiritual yang

mengganggu kemampuan terhadap koping kanker yang efektif, gejala fisik dan
pengobatannya. Stress berlangsung terus menerus, mulai dari perasaan normal

dari kondisi yang rapuh, kesedihan dan ketakutan menghadapi masalah yang

kemudian menjadi ketidak berdayaan, seperti depresi, cemas, panik, isolasi sosial

dan krisis spiritual. (NCCN, 2013). Kejadian cemas pada semua tahapan kanker

menurut Cancer Journey Action Group (2009), mencapai 35% hingga 45% di

Amerika utara, sehingga di Amerika disepakati stress perlu dikaji pada pasien

kanker saat awal kedatangan dan pada kondisi tertentu sehingga distres

dinyatakan sebagai tanda-tanda vital ke-6 setelah nyeri pada pasien kanker. Ayoub

(2013) menyatakan, dari semua kondisi Stres, cemas atau ansietas merupakan

permasalahan yang paling sering ditemukanpada pasien kanker.

Cemas merupakan gangguan multidimensional yang dapat dihubungkan

dengan gejala lain seperti depresi. Cemas biasa muncul mengawali pengobatan,

kuatir akan efek samping, dan kekuatiran akan rekuren penyakit setelah

pengobatan. Cemas memperburuk persepsi pasien akibat gejala fisik dan resiko

pengobatan yang dijalani. Bila tidak tertangani, pasien kanker dapat tidak

mengikuti lagi pengobatan yang direkomendasikan sehingga memperparah gejala

fisik. Hal ini mengakibatkan secara tidak langsung menurunnya status penampilan

dan kualitas hidup pasien.

Dengan berbagai efek samping pengobatan yang justru memperburuk

kondisi pasien, maka terapi komplementer menjadi alternatif pengobatan pada

pasien kanker. Terapi pijat, merupakan terapi komplementer yang paling banyak

dan aman digunakan. Terapi komplementer dengan sentuhan yang memberikan

rasa nyaman dengan memberikan tekanan dan melakukan pergerakan ditubuh,


adalah terapi paling banyak digunakan pada pasien kanker dewasa, karena efisien

dari segi biaya, non invasif, dan berpengaruh positif terhadap pengurangan gejala,

seperti ansietas dan stress pada pasien kanker. (Post-White, et al, 2003;

Falkensteiner, Mantovan, Muller dan Them, 2011, Gecsedi, 2002). Walton (2006)

menyatakan umumnya, dengan pijat, gejala umum yang dilaporkan berkurang,

antara lain nyeri, stress , nausea, fatigue, depresi. Cemas merupakan gejala yang

paling sering dilaporkan dalam studi. Namun, karena studi terapi pijat banyak

dalam tahap awal dengan sampel kecil, efek pengurangan gejala tidak begitu pasti.

Terapi pijat didefinisikan oleh Vickers dan Zollman (1999) sebagai "

manipulasi lembut jaringan tubuh untuk membawa perbaikan umum dalam

kesehatan". Pijat telah digunakan sejak berabad-abad lalu sebagai pengobatan

medis tradisional dari banyak Kebudayaan kuno seperti Cina, Mesir, Yunani ,

Hindu, Jepang dan Roma. Terapi pijat modern dikembangkan oleh Henrik Ling ,

Swedia (1776- 1839) dalam latihan dan gerakan-gerakan tertentu (Holey dan

Cook, 2003). Pijat kemudian diklasifikasikan sebagai terapi berbasis sentuhan

yang secara tradisional menggunakan berbagai teknik tekanan (stroke) termasuk

effleurage , petrissage dan remasan (kneading) (Sherman et al, 2006) .

Pijatan yang bermakna bagi kesejahteraan atau kesembuhan pasien disebut

juga dengan pijat terapeutik (Cavaye, 2012). Pada pasien kanker, menurut Walters

(2010), pijatan sebaiknya jangan dilakukan pada area kanker, dikarenakan

beberapa studi menunjukkan sel epitel payudara dapat berpindah ke nodus limfe

akibat pijatan. Untuk itu, penekanan langsung pada lokasi tumor sebaiknya

dihindarkan. Aspek kenyamanan pasien harus diperhatikan oleh terapis dalam


pemberian pijat. Pemberian pijat dapat dilakukan pada saat pasien menjalani

tahapan/stadium penyakit kanker apa saja, selagi ia didapati distres. Pijatan

selama sesi kemoterapi dilaporkan oleh Billhult, Victorin & Bergbom (2007)

memberikan rasa nyaman, mengurangi rasa tidak mudah, tidak ingin, perasaan

negatif sehubungan dengan pengobatan kemoterapi.

Kejadian cemas pada semua tahapan kanker menurut Cancer Journey

Action Group (2009), mencapai 35% hingga 45% diAmerika utara. RSUP Hasan

Sadikin Bandung sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional. Dari hasil observasi

di Ruang Fresia 1 didapatkan dari 21 pasien terdapat 7 dengan diagnose kanker.

hampir sebagian besar pasien kanker, menjalani pemeriksaan dan menjalani

pengobatan, mengalami tanda dan gejala cemas . Penanganan gejala pada pasien

selama ini dilakukan dengan upaya farmakologis, tindakan non farmakologis yang

dilakukan hanya berupa komunikasi terapeutik. Berdasarkan telaahan beberapa

jurnal dalam sistematik review Ernst(2009), terapi pijat terbukti mampu

mengurangi depresi, ansietas, nausea, nyeri, sehingga penulis tertarik mengambil

tema evidence based practice tentang pijat terapeutik tersebut pada pasien

kanker dengan kemoterapi di RSUP Hasan Sadikin Bandung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah

yang dapat dirumuskan adalah Apakah terapi pijat dapat menurunkan

kecemasan pada pasien kanker.


1.3 Tujuan Penulisan

1. Menyediakan informasi tentang terapi pijat untuk menurunkan tingkat

kecemasan pada pasien kanker.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Dapat memberikan informasi mengenai terapi pijat untuk menurunkan

kecemasan pada pasien kanker

2. Diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bagi penelitian

selanjutnya serta dapat menjadikan referensi atau masukan bagi

bidang keperawatan khususnya keperawatan medical bedah.

3. Diharapkan terapi pijat dapat diaplikasikan sebagai evidence based

practice untuk menurunkan kecemasan pada pasien kanker.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Kanker

Kanker adalah istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di


mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya
sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak
terkendali (Dinas Kesehatan Kab Bone Bolango, 2007). Terdapat lebih
daripada 100 jenis kanker dan setiapnya diklasifikasi berdasarkan jenis
sel yang terlibat. Sejalan dengan pertumbuhan dan kembang biaknya,
sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang
menyusup ke jaringan sehat di sekitarnya yang dikenal sebagai invasif.
Di samping itu, sel kanker dapat menyebar (metastasis) ke bagian alat
tubuh lainnya yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah
dan pembuluh getah bening sehingga tumbuh kanker baru di tempat
lain dan hasilnya adalah suatu kondisi serius yang sangat sulit untuk
diobati.

Organisasi Penanggulangan Kanker Dunia (UICC) maupun


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, diperkirakan angka
kejadian kanker di dunia meningkat 300 persen pada 2030, terutama di
negara-negara berkembang, seperti Indonesia (KOMPAS, 2009). Di
Indonesia, kanker menduduki peringkat keenam sebagai penyebab
kematian dan sekitar 800.000 orang Indonesia terserang kanker setiap
tahun (Suara Pembaruan Daily, 2007). Hal ini sejalan dengan
pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet
Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari (2005), menyatakan bahwa
kanker telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia.
Begitu pula dalam sambutannya ketika merasmikan 1st International
Scientific Meeting Indonesian Society of Surgical Oncologist/ISSO),
beliau menyatakan bahwa jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai
6% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (Siswono, 2005).

Jenis kanker tersering berbeda antara pria dan wanita di mana


pada pria kanker yang sering adalah kanker paru, lambung, hepar,
kolorektal, esofagus, dan prostat manakala pada wanita adalah kanker
payudara, paru, lambung, kolorektal, dan serviks (WHO, 2008).
Apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal, maka lebih
daripada separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat
disembuhkan dan perlu redefinisi dalam pelayanan kesehatan dari
pengobatan ke promosi dan preventif (DETAK, 2007). Tetapi hasil
diagnosis kanker menyatakan bahwa 80% penderita kanker ditemukan
pada stadium lanjut yaitu stadium 3 dan stadium 4 (Kompas, 2002).
Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di dalam
tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih.
Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit
kanker di Indonesia.

WHO pula menyatakan bahwa sepertiga sampai setengah dari


semua jenis kanker dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan bila
ditemukan pada stadium dini (DETAK, 2007). Oleh karena itu, upaya
mencegah kanker dengan menemukan kanker pada stadium dini
merupakan upaya yang penting karena disamping membebaskan
masyarakat dari penderitaan kanker juga menekan biaya pengobatan
kanker yang mahal (Siswono, 2005). Jika pencegahan kanker
dilakukan oleh masing-masing individu, maka hal tersebut akan
berdampak besar dalam mengurangi angka kejadian kanker di dunia.

2.1.2 Klasifikasi Kanker

Ada lima kelompok besar yang digunakan untuk


mengklasifikasikan kanker yaitu karsinoma, sarkoma, limfoma, adenoma
dan leukemia (National Cancer Institute, 2009).

1. Karsinoma ialah kanker yang berasal dari kulit atau jaringan yang
menutupi organ internal.
2. Sarkoma ialah kanker yang berasal dari tulang, tulang rawan, lemak, otot,
pembuluh darah, atau jaringan ikat.
3. Limfoma ialah kanker yang berasal dari kelenjar getah bening dan jaringan
sistem kekebalan tubuh.
4. Adenoma ialah kanker yang berasal dari tiroid, kelenjar pituitari, kelenjar
adrenal, dan jaringan kelenjar lainnya.
5. Leukemia ialah kanker yang berasal dari jaringan pembentuk darah seperti
sumsum tulang dan sering menumpuk dalam aliran darah.

2.1.3 Faktor resiko

Terdapat empat faktor penyebab kanker seperti biologis, lingkungan,


makanan dan psikologis. Keempat-empat faktor penyebab kanker tersebut
dijelaskan seperti berikut:
2.1.3.1 Biologis

(a) Keturunan

Sejumlah penelitian menemukan bahwa sekitar 5% dari kasus kanker


diakibatkan oleh faktor keturunan. Faktor keturunan ini memang susah untuk
dihindari (Arief, I., 2009).

(b) Hormon

Hormon estrogen yang berlebihan dalam tubuh dapat meningkatkan


kemungkinan terjangkitnya kanker kandungan dan kanker payudara. Sedang
hormon progesteron dapat mencegah timbulnya kanker endometrium, tetapi
meningkatkan resiko kanker payudara. Kedua jenis hormon tersebut banyak
digunakan sebagai bahan pil KB maupun terapi hormon pada wanita
menopause. Penggunaan jangka panjang dapat mengurangi resiko kanker
kandungan dan endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara
dan kanker hepar (Kusmawan, E., 2009).

(c) Virus dan kuman

Virus human papilloma (HPV), merupakan penyebab utama kanker


leher rahim dan dapat meningkatkan resiko timbulnya kanker jenis lain. Virus
hepatitis B dan hepatitis C dapat memicu timbulnya kanker hati. Virus human
T-cell leukemia/lymphoma (HTLV-1) meningkatkan resiko limfoma dan
leukemia. Virus human immunodefisiensi (HIV) yang dikenal sebagai
penyebab AIDS ini meningkatkan resiko limfoma dan Kaposis sarcoma.
Virus Epstein-Barr meningkatkan resiko terjangkitnya limfoma. Virus human
herpes 8 (HHV8) dapat menyebabkan Kaposis sarcoma. Helicobacter pylori
penyebab luka lambung dan usus juga dapat menimbulkan kanker di
sepanjang saluran pencernaan. Untuk mengurangi kemungkinan tertular
virus/bakteri tersebut, hindari berganti-ganti pasangan seksual, juga jangan
saling bertukar sikat gigi, jarum, sisir, peralatan makan, dan sebagainya
(Kusmawan, E., 2009).

2.1.3.2 Lingkungan (DETAK, 2007 dan Harnawatiaj, 2008)

(a) Tembakau
Asap rokok/tembakau yang dihirup baik perokok aktif maupun
perokok pasif dapat menyebabkan kanker paru, pita suara, mulut,
tenggorokan, ginjal, kandung kencing, kerongkongan, perut, pankreas,
leukemia, dan leher rahim. Bukan hanya asapnya, bahkan sering menghirup
aroma tembakau serta mengunyahnya juga dapat menyebabkan kanker.

(b) Penyinaran yang berlebihan

Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan. Tetapi sinar matahari siang
yang banyak mengandung ultraviolet dapat menyebabkan kanker kulit. Sinar
ultraviolet dapat menembus kaca, pakaian yang tipis, juga dapat dipantulkan
oleh pasir, air, salju, dan es. Perlu diingat bahwa lampu-lampu ultraviolet
yang banyak dijual di toko juga dapat menyebabkan kanker.

(c) Polusi udara

Menurut Chen Zichou, seorang ahli Institut Penelitian Kanker


mengatakan, penyebab utama meningkatnya jumlah kanker di China
disebabkan polusi udara, lingkungan, dan kondisi air yang kian hari kian
memburuk.

2.1.3.3 Makanan

Banyak zat kimia yang ditambahkan dalam makanan dapat menjadi


pemicu kanker, misalnya zat pengawet, pewarna buatan, pemanis buatan dan
perasa buatan. Padahal, hampir semua makanan/minuman produksi pabrik
atau yang dijual di restoran mengandung zat-zat tambahan tersebut. Selain
itu, kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan ditanam dengan
mengandalkan pupuk buatan dan pestisida. Makanan yang dipanggang,
dibakar, atau digoreng dengan minyak jelantah juga berpotensi menyebabkan
kanker (Cancer Helps, 2009).

2.1.3.4 Psikologis

(a) Stress

Kondisi stress dapat melemahkan respon imunitas tubuh. Menurunnya


sistem imunitas ini mempermudah sel-sel kanker menyerang tubuh karena
kemampuan sel imun untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat
berfungsi secara baik.

2.1.4 Patogenesis Terjadinya Penyakit Kanker

Semua kanker bermula dari sel, yang merupakan unit dasar


kehidupan tubuh. Untuk memahami kanker, sangat penting untuk
mengetahui apa yang terjadi ketika sel-sel normal menjadi sel kanker.
Tubuh terdiri dari banyak jenis sel. Sel-sel tumbuh dan membelah secara
terkontrol untuk menghasilkan lebih banyak sel seperti yang dibutuhkan
untuk menjaga tubuh sehat. Ketika sel menjadi tua atau rusak, mereka mati
dan diganti dengan sel-sel baru. Kematian sel terprogram ini disebut
apoptosis, dan ketika proses ini rusak, kanker mulai terbentuk. Sel dapat
mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali jika ada kerusakan atau
mutasi pada DNA. Empat jenis gen yang bertanggung jawab untuk proses
pembelahan sel yaitu onkogen yang mangatur proses pembahagian sel, gen
penekan tumor yang menghalang dari pembahagian sel, suicide gene yang
kontrol apoptosis dan gen DNA-perbaikan menginstruksikan sel untuk
memperbaiki DNA yang rusak. Maka, kanker merupakan hasil dari mutasi
DNA onkogen dan gen penekan tumor sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel yang tidak terkendali (National Cancer Institute, 2009).

Sel-sel tambahan ini dapat membentuk massa jaringan yang


disebut tumor. Namun, tidak semua jenis tumor itu kanker. Tumor dapat
dibagikan sebagai tumor jinak dan ganas di mana yang jinak dapat dihapus
dan tidak menyebar ke bagian tubuh lain manakala tumor ganas
merupakan kanker yang dapat menyerang jaringan sekitar dan menyebar
ke bagian tubuh lain. Beberapa kanker tidak membentuk tumor misalnya
leukemia (National Cancer Institute, 2009).

2.1.4 Gejala kanker

Gejala kanker cukup bervariasi dan tergantung lokasi kanker, tahap


penyebaran, dan saiz tumor. Beberapa kanker dapat dirasakan atau dilihat
melalui kulit seperti benjolan pada payudara atau testikel dan dapat
dijadikan indicator lokasi kanker tersebut. Kanker kulit sering
diidentifikasi dengan perubahan kutil atau tahi lalat pada kulit. Beberapa
kanker mulut memberikan gambaran bercak putih di dalam mulut atau
bintik putih di lidah.

Jenis kanker lain memiliki gejala yang kurang jelas secara fisik.
Beberapa tumor otak cenderung menampilkan gejala awal penyakit karena
mereka mempengaruhi fungsi kognitif penting. Kanker pankreas biasanya
terlalu kecil untuk menyebabkan gejala sehingga rasa sakit terjadi akibat
dorongan terhadap saraf terdekat. Selain daripada itu, ia juga mengganggu
fungsi hati sehingga tampilan kulit dan mata menguning yang dikenal
sebagai ikterus. Gejala juga dapat terjadi akibat tumor yang menyebabkan
penekanan terhadap organ dan pembuluh darah. Misalnya, kanker kolon
dapat menyebabkan gejala seperti sembelit, diare, dan perubahan ukuran
tinja. Kanker kandung kemih atau prostat dapat menyebabkan perubahan
dalam fungsi kandung kemih (American Cancer Society, 2010).

Disebabkan sel kanker menggunakan energi tubuh dan


mengganggu fungsi normal hormon, terdapat kemungkinan besar untuk
memperlihatkan gejala seperti demam, lelah, keringat berlebihan, anemia,
dan penurunan berat badan tanpa sebab. Pada pasien kanker paru-paru atau
tenggorokan akan presentasi simptom seperti batuk dan suara serak
(American Cancer Society, 2010).

Ketika kanker menyebar atau bermetastasis, gejala tambahan dapat


dilihat di area baru yang terkena dampak. Bengkak atau pembesaran
kelenjar getah bening merupakan gejala awal. Jika kanker menyebar ke
otak, pasien mungkin mengalami vertigo, sakit kepala, atau kejang
manakala penyebaran ke paru-paru dapat menyebabkan batuk dan sesak
napas. Selain itu, hati dapat membesar dan menyebabkan penyakit kuning
dan tulang bisa rapuh, dan mudah patah. Gejala metastasis akhirnya
tergantung pada lokasi kanker menyebar (Fayed, L., 2009).

2.1.6 Diagnosis kanker

Deteksi dini kanker dapat meningkatkan pengobatan yang berhasil


dan prognosis baik. Dokter menggunakan informasi dari gejala dan
beberapa prosedur lain untuk mendiagnosis kanker. Teknik pencitraan
seperti X-ray, CT scan, MRI scan, PET scan, dan ultrasound digunakan
secara teratur untuk mendeteksi lokasi tumor. Dokter juga dapat
melakukan endoskopi. Pengekstrakan sel-sel kanker dan melihat di bawah
mikroskop adalah satu-satunya cara mutlak untuk mendiagnosis kanker.
Prosedur ini disebut biopsi. Tes diagnostik molekul yang sering digunakan
juga seperti menganalisis lemak, protein, dan DNA pada tingkat molekul.
Sebagai contoh, sel-sel kanker prostat mensekresi zat kimia yang disebut
PSA (prostate-specific antigen) ke dalam aliran darah yang dapat dideteksi
oleh tes darah. Molekuler diagnostik, biopsi, dan teknik pencitraan
digunakan secara bersama-sama untuk mendiagnosis kanker (Crosta, P.,
2010).
2.1.7 Stadium kanker

Sistem TNM adalah salah satu sistem pementasan yang paling


umum digunakan. Sistem ini telah diterima oleh International Union
Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer
(AJCC). Kebanyakan fasilitas medis menggunakan sistem TNM sebagai
metode utama untuk pelaporan kanker termasuk National Cancer Institute
(NCI).

Sistem TNM ini berdasarkan pada besarnya tumor (T), tingkat


penyebaran ke kelenjar getah bening (N), dan adanya metastasis (M).
Nomor ditambahkan untuk setiap huruf untuk menunjukkan ukuran atau
saiz tumor dan luasnya penyebaran.

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dievaluasi

T0 Tidak ada bukti tumor primer

Tis Karsinoma in situ (kanker dini yang belum menyebar ke jaringan tetangga)

T1, T2, T3, T4

Ukuran dan / atau luas tumor primer

Tabel 2.2

Kelenjar getah bening regional (N)

NX Kelenjar getah bening regional tidak dapat dievaluasi

N0 Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional (kanker tidak ditemukan
pada kelenjar getah bening)
N1, N2, N3 Keterlibatan kelenjar getah bening regional (jumlah dan / atau luas
menyebar)

Tabel 2.3

Metastasis jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dievaluasi

M0 Tidak jauh metastasis (kanker belum menyebar ke bagian lain dari tubuh)

M1 Metastasis jauh (kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh)

Tabel 2.4

Tahap Definisi

Tahap 0 Karsinoma in situ (kanker dini yang hadir hanya di lapisan sel yang
mulai).

Tahap I, II, Angka yang lebih besar menunjukkan penyakit yang

Universitas Sumatera Utara

dan III lebih luas: ukuran tumor yang lebih besar, dan / atau penyebaran kanker
ke kelenjar getah bening terdekat dan / atau organ
yang berdekatan dengan tumor primer.

Tahap IV Kanker telah menyebar ke organ lain.

Tabel 2.5

(Sumber : International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint


Committee on Cancer (AJCC), 2009)
2.1.8 Terapi kanker

Terapi kanker tergantung pada jenis kanker, stadium kanker, usia,


status kesehatan, dan karakteristik pribadi tambahan. Tidak ada pengobatan
tunggal untuk kanker dan pasien sering menerima kombinasi terapi dan
perawatan paliatif. Perawatan biasanya termasuk dalam salah satu kategori
seperti operasi, radiasi, kemoterapi, immunoterapi, terapi hormon, atau
terapi gen.

Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan membunuh sel - sel


kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan
pertumbuhannya agar tidak menyebar dan mengurangi gejala-gejala yang
disebabkan oleh kanker.

2.1.8.1 Operasi

Pembedahan merupakan pengobatan tertua untuk kanker. Jika


kanker belum bermetastasis, kemungkinan besar pasien dapat disembuhkan
sepenuhnya hanya dengan menyingkirkan tumor dengan operasi. Hal ini
sering terlihat pada penyingkiran prostat, payudara atau testis. Setelah
penyakit ini telah menyebar, tidak mungkin dapat menyingkirkan semua sel
kanker. Operasi juga dapat berperan besar dalam membantu untuk
mengontrol gejala seperti gangguan pencernaan atau kompresi sumsum
tulang belakang (Crosta, P., 2010).

2.1.8.2 Radioterapi

Radioterapi berarti pengobatan kanker dengan menggunakan sinar


radioaktif. Sinar X, elektron, dan sinar (gamma) banyak digunakan dalam
pengobatan kanker disamping partikel lain. Pada prinsipnya apabila berkas
sinar radioaktif atau partikel dipaparkan ke jaringan, maka akan terjadi
berbagai peristiwa antara lain peristiwa ionisasi molekul air yang
mengakibatkan terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang pada
gilirannya akan menyebabkan kematian sel. Lintasan sinar juga
menimbulkan kerusakan akibat tertumbuknya DNA yang dapat diikuti
kematian sel. Radioterapi digunakan sebagai pengobatan mandiri untuk
mengecilkan tumor atau menghancurkan sel-sel kanker termasuk yang
berkaitan dengan leukemia dan limfoma, dan juga digunakan dalam
kombinasi dengan pengobatan kanker lain (Siswono, 2002).
2.1.8.3 Kemoterapi

Kemoterapi terkadang merupakan pilihan pertama untuk


menangani kanker. Kemoterapi bersifat sistematik, berbeda dengan radiasi
atau pembedahan yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat
menjangkau sel-sel kanker yang mungkin sudah menjalar dan menyebar
ke bagian tubuh yang lain. Penggunaan kemoterapi berbeda-beda pada
setiap pasien, kadang-kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain
dilakukan sebelum atau setelah operasi dan radiasi. Tingkat keberhasilan
kemoterapi juga berbeda-beda tergantung jenis kankernya. Kemoterapi
biasa dilakukan di rumah sakit, klinik swasta, tempat praktek dokter, ruang
operasi dan juga di rumah (Crosta, P., 2010).

2.1.8.4 Imunoterapi

Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh


untuk melawan kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh
dari sel tumor bisa menaikkan fungsi tubuh pada antibodi atau sel
kekebalan (limfosit T). Walaupun mekanisme tepat pada tindakan tidak
benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan
beberapa kanker (Indonesian Pharmacist Update, 2009).

2.1.8.5 Terapi hormon

Kanker dikaitkan dengan beberapa jenis hormon, terutamanya


kanker payudara dan kanker prostat. Terapi hormon dirancang untuk
mengubah produksi hormon dalam tubuh sehingga sel-sel kanker berhenti
berkembang atau dibunuh sepenuhnya. Terapi hormon kanker payudara
sering fokus pada pengurangan kadar estrogen (obat umum untuk ini
adalah tamoxifen) dan hormon terapi kanker prostat sering fokus pada
pengurangan kadar testosteron. Selain itu, beberapa kasus leukemia dan
limfoma dapat diobati dengan hormon kortison (Crosta, P., 2010).

2.2 KECEMASAN

2.2.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan atau ansietas adalah respon terhadap suatu ancaman

yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual


(Ibrahim, 2007). Kecemasan merupakan respon emosi tanpa objek yang

spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara

interpersonal (Suliswati, 2005). Kecemasan adalah perasaan takut yang

tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Kecemasan merupakan alat

peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu

(Videbeck, 2008). Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu

fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang

wajar (Maramis, 2005). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa pengertian dari kecemasan adalah keadaan dimana seseorang

mengalami gelisah, kekhawatiran atau cemas dalam berespon terhadap

ancaman yang tidak jelas dan tidak spesifik dan dihubungkan dengan

perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.

2.2.2 Tingkat Kecemasan

Menurut Peplau dalam Videbeck (2008), ada empat tingkat

kecemasan yang dialami individu yaitu ringan, sedang, berat, dan panik.

a. Rasa cemas ringan: dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-

hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas,

menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu

memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreatifitas.
b. Rasa cemas sedang: individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapang persepsi, masih dapat melakukan

sesuatu dengan arahan orang lain.


c. Rasa cemas berat: lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat

perhatiannya pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir

tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi

kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area

lain.
d. Panik: individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena

hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun

dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan

hilangnya pikiran rasional yang tidak mampu berfungsi secara efektif.

Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.

2.2.3 Neurofisiologi Kecemasan

Greenberg (2002), Guyton (2006), Molina (2010) & Videbeck

(2008), menjelaskan neurofisiologi kecemasan adalah sebagai berikut:

respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan

aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme

pertahanan diri. Secara fisiologi situasi stress akan mengaktifkan

hipotalamus, yang selanjutnya akan mengaktifkan dua jalur utama stress,

yaitu sistem endokrin (korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis

dan parasimpatis). Untuk mengaktifkan sistem endokrin, setelah

hipotalamus menerima stimulus stres atau kecemasan, bagian anterior

hipotalamus akan melepaskan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH),

yang akan menginstruksikan kelenjar hipofisis bagian anterior untuk

mensekresikan Adrenocorticotropin Hormone (ACTH). Dengan


disekresikannya hormone ACTH ke dalam darah maka hormon ini akan

mengaktifkan zona fasikulata korteks adrenal untuk mensekresikan

hormon glukortikoid yaitu kortisol.

Hormon kortisol ini juga berperanan dalam proses umpan balik

negatif yang dihantarkan ke hipotalamus dan kemudian sinyal diteruskan

ke amigdala untuk memperkuat pengaruh stress terhadap emosi seseorang.

Selain itu, umpan balik negatif ini akan merangsang hipotalamus bagian

anterior untuk melepaskan hormon Thirotropic Releasing Hormone (TRH)

dan akan menginstruksikan kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan

Thirotropic Hormone (TTH). TTH ini akan menstimulasi kelenjar tiroid

untuk mensekresikan hormon tiroksin yang mengakibatkan perubahan

tekanan darah, frekuensi nadi, peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR),

peningkatan asam lemak bebas, dan juga peningkatan ansietas.

Mekanisme kedua dari stres yaitu melalui jalur sistem saraf

otonom. Setelah stimulus diterima oleh hipotalamus, maka hipotalamus

langsung mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Aktivasi

sistem saraf simpatis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan

frekuensi jantung, dilatasi ateri koronaria, dilatasi pupil, dilatasi bronkus,

meningkatkan kekuatan otot rangka, melepaskan glukosa melalui hati dan

meningkatkan aktivasi mental. Perangsangan saraf simpatis juga

mengakibatkan aktivasi dari medula adrenalis sehingga menyebabkan

pelepasan sejumlah besar epineprin dan norepinefrin ke dalam darah,


untuk kemudian kedua hormon ini dibawa oleh darah ke semua jaringan

tubuh.

Epinefrin dan norepinefrin akan berikatan dengan reseptor 1 dan

1 adrenergik dan memperkuat respon simpatis untuk meningkatkan

tekanan darah dan frekuensi nadi. Aktivasi saraf parasimpatis akan

mengakibatkan terlepasnya asetilkolin dari postganglion n. vagus, untuk

selanjutnya asetilkolin ini akan berikatan dengan reseptor muskarinik (M3)

pada otot polos bronkus dan mengakibatkan peningkatan frekuensi nafas.

Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik proses

ini dan mengembalikan tubuh pada kondisi normal sampai tanda ancaman

berikutnya dan mengaktifkan kembali respons simpatis.

2.2.4 Teori Kecemasan

Stuart (2006), menjelaskan ada beberapa teori yang menjelaskan

mengenai kecemasan. Teori tersebut antara lain:

a. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi

antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan

hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya seseorang. Ego atau

aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan

tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada

bahaya.
b. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap

ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan


kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga

diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.


c. Teori prilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi yaitu segala

sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Ahli teori prilaku lain menganggap kecemasan sebagai

suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri

untuk menghindari kepedihan.


d. Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi

dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara

gangguan kecemasan dan depresi.


e. Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator

inhibisi asam Gama Aminobitirat (GABA), yang berperan penting dalam

biologis yang berhubungan dengan kecemasan.

2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Suliswati (2005), menjelaskan ada 2 faktor yang mempengaruhi

kecemasan yaitu:

a. Faktor predisposisi yang meliputi:


1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan

berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis

perkembangan atau situasional.


2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan

kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.


3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu

berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.


4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.


5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri

individu.
6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani

kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap

konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak

dipelajari dalam keluarga.


7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi

kecemasannya.
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan

yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepine dapat

menekan neurotransmiter Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang

mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab

menghasilkan kecemasan.
b. Faktor presipitasi meliputi:
1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam

integritas fisik meliputi:


a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi sistem

imun, regulasi suhu tubuh, dan perubahan biologis normal.


b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, dan

tidak adekuatnya tempat tinggal.


2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan

interpersonal di rumah, di tempat kerja, dan penyesuaian terhadap


peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat

mengancam harga diri.


b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai,

perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, dan

sosial budaya.
Selain itu, Stuart & Sundeen (1998) dalam Mahanani (2013),

menjelaskan kemampuan individu dalam berespon terhadap

penyebab kecemasan ditentukan oleh:


a. Potensi Stressor
Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau

peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan

seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan

adaptasi.
b. Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih

sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena

individu yang matur mempunyai daya adaptasi yang lebih

besar terhadap kecemasan.


c. Pendidikan dan status ekonomi.
Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada

seseorang akan menycbabkan orang tersebut mudah

mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang

atau individu akan berpengaruh terhadapmkemampuan

berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin

mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru

termasuk dalam menguraikan masalah yang baru


d. Keadaan fisik
Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cidera

atau operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik

sehingga lebih mudah mengalami kecemasan, di samping

itu orang yang mengalami kelelahan fisik lebih mudah

mengalami kecemasan.
e. Tipe Kepribadian.
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami

gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan

kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian

A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba

sempurna, merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah,

tidak dapat tenang, mudah tersinggung, serta otot-otot

mudah tegang. Sedangkan orang dengan tipe kepribadian

B mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe

kepribadian A. Karena tipe kepribadian B adalah orang

yang penyabar, tenang, teliti, dan rutinitas.


f. Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih

mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada

di lingkungan yang bisa dia tempati.


g. Usia
Seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata

lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan

daripada seseorang yang lebih tua.


h. Jenis kelamin
Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang

ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik.


Ganguan ini lebih sering dialami wanita dari pada pria

(Varcarolis, 2000). Penelitian yang di muat dalam My

Health News Daily yang melibatkan wanita dan pria

berumur antara 18-64 tahun, hanya sekitar 17%-18% pria

berusia yang mengalami perasaan cemas, sedangkan

wanita justru lebih tinggi yaitu sekitar 23%. Rasio

perempuan dibandingkan laki-laki untuk gangguan

kecemasan seumur hidup adalah 3:2 (Yates, 2007 dalam

Widosari, 2010). Hawari (2008), menjelaskan wanita

lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan dengan

pria. Perbandingan kecemasan antara wanita dan pria

adalah dua banding satu. Perempuan akan lebih mudah

cemas dikarenakan ketidakmampuannya dibandingkan

dengan laki-laki. Lakilaki lebih aktif dan eksploratif,

sedangkan perempuan lebih sensitive sehingga

perempuan lebih peka terhadap respon cemas yang terjadi

(Nadia, 2008).

2.2.6 Gejala-Gejala Kecemasan

Stuart (2006), menjelaskan respon/gejala kecemasan ditandai oleh

empat aspek, yaitu:

a. Respon fisiologis terhadap kecemasan:


1) Kardiovaskuler: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meninggi,

rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, dan denyut nadi

menurun.
2) Pernapasan: napas cepat, napas pendek, tekanan pada dada, napas

dangkal, pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik, dan terengah-

engah.
3) Neuromuskular: reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedipkedip,

insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,

kaki goyah, dan gerakan yang jangkal.


4) Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak

nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, dan diare.
5) Traktus Urinarius: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih.
6) Kulit: wajah kemerahan, berkeringat setempat, gatal, rasa panas dan

dingin pada kulit, wajah pucat, dan berkeringat seluruh tubuh.


b. Respon prilaku: gelisah, ketegangan, tremor, gugup, bicara cepat,

kurang koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dari

hubungan interpersonal, menghalangi, melarikan diri dari masalah,

menghindari, dan hiperventilasi.


c. Kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, bidang persepsi

menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat

waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut

kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut cedera atau

kematian.
d. Afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan,

gugup, dan gelisah.

2.2.7 Rentang Respon Kecemasan

Stuart (2006), menjelaskan rentang respon individu terhadap cemas

berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang

paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk


beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang

paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi

berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami ganguan

fisik, perilaku maupun kognitif. Seseorang berespon adaptif terhadap

kecemasannya maka tingkat kecemasan yang dialaminya ringan, semakin

maladaptif respon seseorang terhadap kecemasan maka semakin berat pula

tingkat kecemasan yang dialaminya, seperti gambar dibawah ini:

2.2.8 Pengukuran Kecemasan

Pengukuran tingkat kecemasan yang digunakan dalam penelitianini

adalah skala TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) dari Janet Taylor,

yang akan mengukur tingkat kecemasan berdasarkan munculnya gejala

fisik dan psikologis (McDowell, 2006). TMAS berisi 40 butir pertanyaan

dimana responden menjawab keadaan ya atau tidak sesuai dengan

keadaan dirinya, dengan memberi tanda () pada kolom ya atau tidak.

Kuisioner TMAS terdiri atas 5 pertanyaan unfavourable dan 35 pertanyaan

favourable. Setiap jawaban dari pertanyaan favourable bernilai 1 untuk

jawaban ya dan 0 untuk jawaban tidak. Pada pernyataan unfavourable


bernilai 1 untuk jawaban tidak dan 0 untuk jawaban ya (Fahruliana,

2011).

Klasifikasi penilaian pada skala TMAS adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Norma Kategori Kecemasan

Nilai Keterangan

>20 Berat

10-20 Sedang

<9 Ringan

(Sumber: Fahruliana, 2011)

2.1.9 Penatalaksanaan Kecemasan

a. Penatalaksanaan Farmakologi

Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini

digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka

panjang karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan

ketergantungan. Obat anti kecemasan nonbenzodiazepine, seperti

buspiron (Buspar) dan berbagai antidepresan juga digunakan (Isaacs,

2005).

b. Penatalaksanaan non farmakologi


1) Relaksasi : Lin (2004) dalam Siahaan (2013), menjelaskan untuk

mengatasi kecemasan dapat digunakan teknik relaksasi yaitu

relaksasi dengan melakukan pijat/pijatan pada bagian tubuh tertentu

dalam beberapa kali akan membuat peraaan lebih tenang,

mendengarkan musik yang menenangkan, dan menulis catatan

harian. Selain itu, terapi relaksasi lain yang dilakukan dapat berupa
meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif

(Isaacs, 2005).
2) Distraksi : Potter & Perry (2006), menjelaskan distraksi merupakan

metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara mengalihkan

perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap cemas

yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan

pelepasan endorfin yang bisa menghambat stimulus cemas yang

mengakibatkan lebih sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke

otak. Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan

dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan

keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormone-hormon

stressor, mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan

perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas

dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehinggammenurunkan

tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut

nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih

dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan

ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan

metabolisme yang lebih baik.


3) Humor : Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa

melenyapkan stres. Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa

melepaskan endorfin ke dalam sirkulasi dan perasaan stres

dilenyapkan (Potter & Perry, 2006).


4) Terapi spiritual : Aktivitas spiritual dapat juga mempunyai efek

positif dalam menurunkan stres. Praktek seperti berdoa, meditasi


atau membaca bahan bacaan keagamaan dapat meningkatkan

kemapuan beradaptasi terhadap gangguan stressor yang dialami

(Potter & Perry, 2006).


5) Aromaterapi : Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan minyak

essensial yang dinilai dapat membantu mengurangi bahkan

mengatasi gangguan psikologis dan gangguan rasa nyaman seperti

cemas, depresi, nyeri, dan sebagainya (Watt, Gillian, & Janca, 2008).

2.3 Pijat Tangan dan Aromaterapi Lavender

2.3.1 Pijat
a. Definisi Pijat
Pemijatan adalah suatu tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan

lunak, biasanya otot tendon atau ligamentum, tanpa menyebabkan

pergeseran atau perubahan posisi sendi guna mengurangi nyeri,

menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi (Rosser, 2004

& Wang, et al, 2010). Pijat merupakan teknik integrasi sensori yang

mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom. Apabila seseorang

mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus rileks maka akan muncul

respon relaksasi (Meet, 1993 dalam Potter & Perry, 2006).


b. Sejarah Pijat

Di indonesia, pijat telah menjadi warisan leluhur dan terdapat kesamaan

antara titik pijat di Indonesia dengan titik akupuntur yang ada di Cina.

Pijat erat kaitannya dengan akupuntur, hal ini dikarenakan dalam

memijat titik yang digunakan adalah titik akupunktur. Pijat bekerja

berdasarkan 3 hal yaitu energi vital (qi), meridian, titik pijat/akupunktur.

Titik pijat/akupunktur adalah tempat berkumpulnya energi vital,


kedudukan titik pijat berada pada sejumlah jalur meridian yang utama,

ada 14 jalur meridian yang utama. Pemijatan pada titik tertentu di

permukaan tubuh yang terletak dijalur meridian dirangsang, sehingga

aliran qi dan darah bisa diatur, dengan demikian penyakit yang

mengganggu dapat disingkirkan (Dalimartha, 2008).

c.Metode Pijat

Terdapat empat dasar gerakan pemijatan yang umum dilakukan yang

dapat meningkatkan sirkulasi darah dan merelaksasikan (Rosser, 2004;

Ekowati, Wahjuni, Endang, & Alifa, 2009), yaitu:

1) Gerakan Effleurage :Tehnik memijat dengan tenang berirama,

bertekanan lembut ke arah distal. Teknik ini dilakukan dengan cara

melakukan pemijatan dengan tekanan sambil didorong dengan cara

mengusap, posisi telapak tangan tetap (tidak diangkat), ujung ujung

jari bergerak dengan lembut. Teknik ini dilakukan diawal pemijatan

untuk melemaskan otot-otot. Gerakan pemijatan ini bertujuan untuk

meningkatkan aliran darah karena tekanan yang dalam akan

mendorong darah dalam vena ke bagian distal, sehingga aliran darah

vena menjadi lancar sampai ke pembuluh kapiler sehingga dapat

meningkatkan peredaran darah arteri, oksigen di jaringan dan

transportasi nutrisi menjadi lebih cepat.


2) Gerakan Petrissage : Gerakan yang menggunakan ujung jari dan

telapak tangan untuk menjepit beberapa bagian kulit. Pijatan jenis ini

perlu sedikit tekanan yang dilakukan secara ringan dan berirama.

Fulling adalah suatu bentuk petrissage yang kebanyakan dipakai


untuk memijat lengan. Dengan jari kedua belah tangan, lengan

dipegang dan satu gerakan memijat dilakukan pada otot. Manfaat

gerakan ini adalah untuk memperlancar penghantaran zat-zat penting

dalam jaringan ke dalam pembuluh-pembuluh darah dan getah

bening, kemudian darah dan getah bening mengantarkan sari

makanan ke jaringan dan membawa ampas pertukaran zat dari

jaringan ke alat-alat pembuangan.


3) Gerakan Tapotage (Tapotement) Gerakan pijat dengan melakukan

ketukan yang berturut-turut dan cepat, yang dilakukan dengan

seluruh tangan atau ujung jari. Ketukan dilakukan untuk

mengembalikan tonus otot-otot yang kendur dan untuk merangsang

ujung urat saraf. Gerakan mencincang adalah gerakan menepuk yang

dilakuan dengan menggunakan bagian samping luar kedua tangan,

yang ditepukkan pada kulit secara berturut-turut dan berganti-ganti

untuk pemijatan bagian punggung, bahu, dan lengan.


4) Gerakan Vibration (Shaking Movement/Menggetarkan) Gerakan

menggetar untuk merangsang atau menenangkan urat saraf dan dapat

menghilangkan kerut pada wajah. Gerakan pijat dilkukan dengan

ujung-ujung jari tangan, getarannya ringan dan lembut dengan

gerakan yang lebih berat. Penerapan di kepala bagian samping

dengan arah ke atas, bagian depan dan belakang/tengkuk (batas

pertumbuhan rambut dan belakang) juga ke atas. Gerakan ini

berguna untuk meningkatkan absobsi dari cairan di jaringan lunak,

menenangkan saraf-saraf superfisialis yang dapat mengurangi


ketegangan dan menghasilkan relaksasi, dan bila dilakukan

sepanjang usus besar dapat menyebabkan flatus.

Semua gerakan di atas adalah gerakan dasar dalam pemijatan dan bisa

dikombinasikan untuk mendapatkan efek sesuai dengan manfaat yang

diinginkan.

d. Manfaat Pijat

Pijat secara luas diakui sebagai tindakan yang memberikan manfaat

sebagai berikut:

1) Relaksasi
Menimbulkan relaksasi yang dalam sehingga meringankan

kelelahan jasmani dan rohani dikarenakan sistem saraf simpatis

mengalami penurunan aktivitas yang akhirnya mengakibatkan

turunnya tekanan darah (Synder & Lindquist, 2006).


2) Mengurangi nyeri

Memperbaiki sirkulasi darah pada otot sehingga mengurangi

nyeri dan inflamasi, dikarenakan pijat meningkatkan sirkulasi

baik darah maupun getah bening (Synder & Lindquist, 2006).

3) Memperbaiki organ tubuh


Memperbaiki secara langsung maupun tidak langsung fungsi

setiap organ internal berdasarkan filosofi aliran energi meridian

pijat mampu memperbaiki aliran peredaran energi (meridian) di

dalam tubuh menjadi positif sehingga memperbaiki energi tubuh

yang sudah lemah (Dalimartha, 2008).


4) Memperbaiki postur tubuh
Mendorong kepada postur tubuh yang benar dan membantu

memperbaiki mobilitas. Otot yang tegang menyebabkan nyeri

dan bergesernya tulang belakang keluar dari posisi normal

sehingga postur tubuh mengalami perubahan, pijat berfungsi

untuk menstimulasi saraf otonom yang dapat mengendurkan

ketegangan otot (Perry & Potter, 2006).


Latihan pasif Sebagai bentuk dari suatu latihan pasif yang

sebagian akan mengimbangi kurangnya latihan yang aktif karena

pijat meningkatkan sirkulasi darah yang mampu membantu tubuh

meningkatkan energi pada titik vital yang telah melemah

(Dalimartha, 2008).
e. Lokasi Pijat pada Tubuh
Ninomiya (2014), menyebutkan beberapa titik pemijatan yang

dapat dilakukan pada tubuh, antara lain:


1. Area tulang belakang
Titik-titik pemijatan ini terdapat disepanjang kedua sisi tulang

belakang. Otot-otot yang melapisi tulang belakang

mengandung titik pemijatan dari sepanjang panggul hingga ke

dasar tengkorak.
2. Area leher
Titik pemijatan ini terletak di sepanjang bagian atas punggung,

dimana terdapat otot-otot miring yang turun dari sisi leher

hingga bahu.
3. Tendon Achilles
Titik pemijatan ini terdapat pada otot yang membentang dari

tumit hingga betis. Pemijatan pada bagian ini harus sangat hati-

hati karena tendon ini sangat sensitif.


f. Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pijat Tangan
Saat menyiapkan sesi pemijatan tangan untuk menciptakan kondisi

yang relaksasi hal-hal yang harus diperhatikan pada klien yaitu

suasana yang nyaman, posisi tubuh, dan beberapa aspek praktis

lainnya (Barbara & Kevin, 2011). Untuk melakukan pijat yang

aman dan bermanfaat maka harus melakukan hal-hal berikut ini,

(1) tangan tidak kotor, (2) kuku tangan tidak panjang dan tajam

agar tidak menimbulkan luka di kulit, (3) tidak menggunakan alat

bantu menembus kulit, kasar, dan tajam, (4) menggunakan alat

pijat tumpul, halus, dan bersih, (5) tidak menggunakan cairan

pelicin yang menyebabkan kulit rusak (6) tidak memijat di bagian

tubuh yang luka, bengkak, tulang retak atau patah, dan terbakar, (7)

tidak melakukan pemijatan dalam keadaan tidak siap atau

emosional. Dalam kondisi tersebut klien akan tegang, gelisah,

takut, dan bisa jatuh pingsan sebab aliran energi klien sedang

kacau, (8) tidak berdiri. Sebaiknya organ yang dipijat dalam posisi

duduk atau terlentang supaya klien tidak jatuh (Sukanta, 2007).

2.3.2 Aromaterapi Lavender

a. Definisi Aromaterapi Lavender


Aromaterapi adalah penggunaan minyak esensial konsentrasi tinggi

yang diekstraksi dari tumbuh-tumbuhan dan diberikan melalui

pijat, inhalasi, dicampur ke dalam air mandi, untuk kompres,

melalui membran mukosa dalam bentuk pesarium atau supositoria

dan terkadang dalam bentuk murni. Aromaterapi adalah terapi yang

menggunakan minyak essensial yang dinilai dapat membantu


mengurangi bahkan mengatasi gangguan psikologis dan gangguan

rasa nyaman seperti cemas, depresi, nyeri, dan sebagainya (Watt,

Gillian, & Janca, 2008).


Meskipun aroma memegang peranan penting dalam memengaruhi

alam perasaan klien, sebenarnya zat kimia yang terkandung dalam

berbagai jenis minyaklah yang bekerja secara farmakologis, dan

kerjanya dapat ditingkatkan dengan jenis metode pemberiannya

terutama pijat (Andrews, 2009). Salah satu aroma yang paling

digemari adalah lavender (Lavandula angustifolia Miller). Minyak

lavender berwarna jernih sampai kuning pucat dengan bau wangi

yang sangat khas. Kandungan utama dari bunga lavender adalah

linalyl asetat dan linalool (C10H18O). Linalool adalah kandungan

aktif utama yang berperan pada efek anti cemas (relaksasi) pada

lavender (Bowels, 2003; Price, 2007).


b. Metode Pemberian Aromaterapi Lavender
Synder & Lindquist (2006), menjelaskan penggunaan minyak

esesnsial sebagai berikut:


1) Pemberian melalui nasal: Jika minyak essensial dihirup,

molekul-molkul yang ada pada minyak tersebut akan terbawa

oleh arus turbulen ke langit-langit hidung. Pada langit-langit

hidung terdapat bulu-bulu halus yang menjulur dari sel-sel

reseptor ke dalam saluran hidung. Ketika molekul minyak

tertahan pada bulu-bulu ini suatu impuls akan ditransmisikan

lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius ke dalam

sistem limbik. Proses ini akan memacu memori dan emosional


yang lewat hipotalamus bekerja sebagai pemancar serta

regulator menyebabkan pesan tersebut dikirim ke bagian otak

yang lain dan bagian tubuh lainnya. Pesan yang diterima akan

diubah menjadi kerja sehingga terjadi pelepasan zat-zat

neurokimia yang bersifat euforik, relaksan, sedatif, atau

stimulanmenurut keperluan tubuh.


2) Pemakaian topical : Pemakaian topikal berarti pengolesan

minyak esensial yang bisa dilakukan sendiri atau dengan

bantuan orang lain. Berdasarkan kerutannya dalam lipid yang

ditemukan di dalam stratum korneum, minyak essensial

dianggap mudah diserap. Penyerapan senyawa ini berlangsung

ketika senyawa ini melewati lapisan epidermis kulit dan masuk

ke dalam saluran limfe serta darah, kelenjar keringat, saraf,

serta masuk kedalam aliran darah dan menuju ke setiap sel

tubuh untuk bereaksi. Para terapis aroma yang profesional

kebanyakan menggunakan minyak esensial dengan pijat. Terapi

dengan pijat menggunakan gerakan rutin yang teratur untuk

mencapai tujuan yang spesifik, misalnya relaksasi. Pemakaian

minyak esensial untuk pijat dapat menggunakan satu atau dua

tetes minyak esensial yang dilarutkan ke dalam satu sendok

makan (5 ml) vegetable oil, krim, atau gel.


c. Manfaat Aromaterapi Lavender
Price (2007) dan Conrad, Adams, & Cindy (2012), menjelaskan

bahwa sifat farmakologis dari minyak lavender memiliki efek

terapeutik yang cukup luas dalam memengaruhi sistem saraf


simpatis, parasimpatis dan sistim limbik yang menimbulkan efek

relaksasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kandungan terbesarnya

yaitu linalool dan lianlil asetat serta sedikit dipengaruhi oleh

kandungan geraniolnya. Efek farmakologi dalam menimbulkan

relaksasi secara fisik dan psikoogis dari minyak lavender ini cukup

lengkap. Berikut ini efek farmakologi untuk relaksasi yang bisa

ditimbulkan oleh minyak lavender (Price, 2007) dan (Conrad,

Adams, & Cindy, 2012):


1) Memiliki sifat analgesik.
2) Memiki sifat antispasmodik (menurunkan kontraktilitas otot lurik)
3) Menyeimbangkan sistem saraf tepi.
4) Memiliki sifat menenangkan.
5) Memiliki efek sedatif.
6) Hipotensif.
7) Menurunkan frekuensi jantung.
8) Antidepresan.
9) Antiansietas.
10) Antiinsomnia.
11) Meningkatkan daya konsentrasi.
d. Kandungan pada Minyak Esensial Lavender
Kandungan terbesar dari minyak lavender ini adalah linalool dan

linalil asetat. Linalool memiliki struktur monoterpenol yang

merupakan struktur alkohol dengan cirinya memiliki rantai

hidroksil (-OH) yang berikatan dengan struktur terpen. Struktur

alkohol ini sangat baik sebagai tonik untuk sistem sara dan dapat

menstimulasi respon imunitas tubuh (Pengelly, 2003). Dengan

struktur alkohol ini minyak atsirinya memiliki sifat kurang

menguap dibandingkan dengan grup monoterpen dan menempati

posisi dalam kategori minyak atsiri di top note to middle note

(Bowels, 2003; Price, 2007). Susunan kimia lainnya yang termasuk


dalam grup alkohol adalah geraniol. Sifat kerja dari grup alkohol

ini adalah sebagai antiseptik. Sifat lain dari grup alkohol ini adalah

tidak bersifat toksik dan tidak menyebabkan iritasi (Price, 2007).


e. Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pemberian Aromaterapi

Lavender
Efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh penggunaan minyak

lavender secara inhalasi yaitu reaksi sensitisasi, yang dikaitkan

dengan kandungan dari monoterpenolnya yaitu linalool. Tetapi dari

beberapa laporan reaksi ini sangat sedikit terjadi karena kandungan

kimianya yaitu linalool sangat kecil untuk menimbulkan reaksi

sensitisasi (Gruenwald, 2000 dalam Siahaan,2013).

BAB III

METODE

Proses pencarian evidence based practice dengan menggunakan internet

yaitu dengan mencari jurnal dan artikel terkait dengan terapi pijat dapat
menurunkan tingkat kecemasan pada pasien kanker. Sumber evidence based

practice yang digunakan yaitu dengan judul Efeectiveness of Aromateraphy

Message in the management of anxiety and depression in patient with cancer.

Untuk mengidentifikasi suatu evidence based practice, maka dilakukan

melalui analisa PICO secara rinci adalah :

P atau Population adalah Pasien kanker di ruangan fresia 1 yang

mengalami cemas ringan, sedang, dan berat


I atau intervention adalah Pemberian terapi pijat selama 20 menit
C atau Comparative adalah tidak dilakukan intervensi perbandingan
atau Outcome adalah kecemasan pada pasein berkurang

Dari penjabaran berdasarkan konsep PICO diatas maka kata kunci adalah

: kanker, terapi pijat, cemas.

BAB IV

PEMBAHASAN

Kecemasan atau ansietas adalah respon terhadap suatu ancaman yang

sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual (Ibrahim,


2007). Kecemasan merupakan respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara

subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal (Suliswati, 2005).

Greenberg (2002), Guyton (2006), Molina (2010) & Videbeck (2008),

menjelaskan neurofisiologi kecemasan adalah sebagai berikut: respon sistem

saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas involunter

pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri. Secara fisiologi

situasi stress akan mengaktifkan hipotalamus, yang selanjutnya akan

mengaktifkan dua jalur utama stress, yaitu sistem endokrin (korteks adrenal) dan

sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis).

Untuk mengaktifkan sistem endokrin, setelah hipotalamus menerima

stimulus stres atau kecemasan, bagian anterior hipotalamus akan melepaskan

Corticotrophin Releasing Hormone (CRH), yang akan menginstruksikan kelenjar

hipofisis bagian anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropin Hormone

(ACTH). Dengan disekresikannya hormone ACTH ke dalam darah maka hormon

ini akan mengaktifkan zona fasikulata korteks adrenal untuk mensekresikan

hormon glukortikoid yaitu kortisol. Hormon kortisol ini juga berperanan dalam

proses umpan balik negatif yang dihantarkan ke hipotalamus dan kemudian sinyal

diteruskan ke amigdala untuk memperkuat pengaruh stress terhadap emosi

seseorang.

Kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit

kardiovaskuler, dimana gejalanya hampir tidak terkontrol dalam 70 % hingga 80

% kasus kanker, terutama bila fase penyembuhan telah berakhir dan pasien masuk

ketahapan paliatif.(Falkensteiner, Mantovan, Miiller & Them,2011). Berbagai


gejala penyakit dan efek samping pengobatan banyak dikeluhkan oleh pasien

kanker. Terdapat empat faktor penyebab kanker seperti biologis (keturunan,

hormone, virus dan kuman), lingkungan (Tembakau, penyinaran yang berlebihan,

polusi udara, dan makanan) dan psikologis (stress).

Kejadian cemas pada semua tahapan kanker menurut Cancer Journey

Action Group (2009), mencapai 35% hingga 45% di Amerika utara, sehingga di

Amerika disepakati stress perlu dikaji pada pasien kanker saat awal kedatangan

dan pada kondisi tertentu sehingga distres dinyatakan sebagai tanda-tanda vital

ke-6 setelah nyeri pada pasien kanker. Ayoub (2013) menyatakan, dari semua

kondisi Stres, cemas atau ansietas merupakan permasalahan yang paling sering

ditemukanpada pasien kanker.

Penggunaan terapi komplementer dalam pengobatan kanker sudah tidak

asing lagi digunakan untuk mengatasi berbagai gejala yang ditimbulkan kanker.

Walaupun terapi farmakologi sudah terbukti, namun pasien yang menjalani

kemoterapi selalu mengalami efek samping obat, diantaranya nausea, fatigue,

ansietas, dan nyeri. Tidak hanya kemoterapi yang memiliki efek samping namun

obat-obat farmakologis untuk mengatasi gejala lainnya juga demikian (Ayoub,

2013).

Dengan berbagai efek samping pengobatan yang justru memperburuk

kondisi pasien, maka terapi komplementer menjadi alternatif pengobatan pada

pasien kanker. Terapi pijat, merupakan terapi komplementer yang paling banyak

dan aman digunakan. Terapi komplementer dengan sentuhan yang memberikan

rasa nyaman dengan memberikan tekanan dan melakukan pergerakan ditubuh,


adalah terapi paling banyak digunakan pada pasien kanker dewasa, karena efisien

dari segi biaya, non invasif, dan berpengaruh positif terhadap pengurangan gejala,

seperti ansietas dan stress pada pasien kanker.

You might also like