You are on page 1of 23

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan berarti segala


sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan
dengan sesuatu hal (mata pelajaran).

2.1.2 Manfaat Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan


domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri seseorang
terjadi proses yang berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam diri


mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Disini
sikap subyek sudah mulai timbul.

Universitas Sumatera Utara


6

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus


tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik
lagi.
d. Trial (percobaan), sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adaption (penyesuaian), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau diadopsi perilaku melalui
proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan
sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng.

2.2 Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan yang cukup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :
1. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau dirangsang yang telah diterima. Cara kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
2. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan
menyebutkan.
3. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai
pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


7

4. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponenkomponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainnya.
5. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Penelitian penelitian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang sudah
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria kriteria yang telah ada.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan (Notoatmodjo,
2007):
1. Sosial ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang,
sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik tingkat
pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu
memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak.
2. Kultur (budaya, agama)
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahauan seseorang,
karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan
budaya yang ada dan agam yang dianut.

Universitas Sumatera Utara


8

3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru
dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Pendidikan itu
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang
tinggi maka pengalaman semakin luas, sedangkan semakin tua umur
seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

2.4 Kegawatdaruratan
2.4.1 Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan merupakan keadaan yang bermanifestasikan gejala-
gejala akut akan adanya suatu keparahan pada tingkatan tertentu, dimana apabila
pada keadaan tersebut tidak diberikan perhatian medis yang memadai, dapat
membahayakan keselamatan individu bersangkutan, menyebabkan timbulnya
gangguan serius fungsi tubuh ataupun terjadinya disfungsi organ atau
kecacatan.(ACEP, 2013).

Menurut The American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto


(2007) pengertian gawat darurat adalah: An emergency is any condition that in the
opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of
bringing the patient to the hospital-requires immediate medical attention. This
condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patients life or well-being is not threatened. Akan tetapi,
ternyata dalam praktek nyatanya, banyak keadaan yang dianggap gawat darurat,
pada akhirnya setelah melalui proses observasi dan evaluasi yang memadai,
dianggap bukan suatu keadaan gawat darurat. Maka perlu dibedakan keadaan false
emergency dengan true emergency. A true emergency is any condition clinically
determined to require immediate medical care. Such conditions range from those
requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are

Universitas Sumatera Utara


9

diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and
observation.

2.4.2 Keadaan-keadaan kegawatdaruratan


Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai
gejala dan tampilan yang beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang dapat
kita temukan sehari-hari adalah seperti (American College of Emergency
Physicians, 2004) :

a. Nyeri dada
b. Sindroma Koroner Akut
c. Diseksi Aorta
d. Nyeri Abdomen
e. Aneurisma Aorta Akut
f. Apendisitis Akut
g. Perdarahan subarahnoid
h. Demam pediatrik
i. Meningitis
j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal
n. Luka
o. Fraktur
p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik
r. Sepsis

Universitas Sumatera Utara


10

2.5 Penanganan Awal Kegawatdaruratan

2.5.1 Pengertian Penanganan Awal Kegawatdaruratan


Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan
pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada
seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini
menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat itu di tempat
kejadian. (Nasution, 2009)

2.5.2 Tujuan Penanganan Awal Kegawatdaruratan

Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah


memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut
sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasien-
pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu
cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus
diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang.
Terdapat suatu pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian
Awal) yang meliputi (ATLS, 2009) :

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary survey (ABCDE)

4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

7. Tambahan terhadap secondary survey

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

9. Penanganan definitif

Universitas Sumatera Utara


11

Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan kejadian


progresif yang berjalan secara linier ataupun longitudinal. Dalam situasi klinis
sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan secara paralel ataupun bersamaan.
Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam penilaian dan pemberian
resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian dibutuhkan untuk mengetahui
prosedur mana saja yang perlu dilakukan, karena tidak semua pasien
membutuhkan seluruh prosedur ini.
Primary Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan
suatu kegawatdaruratan. Dalam proses ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai
secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk pertolongannya.

2.5.2.1 Primary Survey


Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi
keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan
sebagai berikut :
A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal
B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi
C : Circulation, kontrol perdarahan
D : Disability, status neurologis
E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita,
tetapi cegah hipotermia

2.5.2.1.1 Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital
lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi
airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan
pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu

Universitas Sumatera Utara


12

yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan
cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves, 2006)

Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan masalah


airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway

2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung


Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam
penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau
tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat.
Menurut Bersten dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk
menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat
kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan
otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap
penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah
kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan
membutuhkan pertolongan bantuan napas secara cepat.

Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning


untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal
lidah yang terjatuh. (American College of Surgeons, 2009) Tindakan suctioning
yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan
kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter,
2002) Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway
adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan

Universitas Sumatera Utara


13

inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway


ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun
trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien
dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang
nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya
gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya
pemasangan airway definitif. (American College of Surgeons, 2009)

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

Suara berkumur
Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
Pasien gelisah karena hipoksia
Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan
memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal
mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line
immobilization) (Haskell, 2006).
A. Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher

Universitas Sumatera Utara


14

pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain


diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. (Alkatri,
2007)
2. Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke
arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir
bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan
hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena
tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah
tulang dengan cedera spinal. (Nasution, 2009)

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European


Resusciation Council Guidelines for Resuscitation 2010).
3. Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada

Universitas Sumatera Utara


15

pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).

Gambar 2.2 Jaw-thrust maneuver dengan in-line immobilization (sumber :


Advance Trauma Life Support Student Course Manual, 2009)

4. Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal
lidah menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada
penanganan jalan nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa
endotrakeal dan memfasilitasi suctioning oral dan faringeal. (Gausche-
Hill, 2007)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih


ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat. Kemudian dorong pipa
dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan
sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai
bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,

Universitas Sumatera Utara


16

terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan


nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

Gambar 2.3 : Oropharyngeal Airway (Sumber : Advance Trauma Life


Support Students Course Manual, 2009)

5. Nasopharyngeal Airway
Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk
pemeliharaan airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak
sadarkan diri. Alat ini lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag
reflex dan juga muntah pada pasien dibandingkan dengan penggunaan

Universitas Sumatera Utara


17

oropharyngeal airway dan tepat digunakan pada pasien yang giginya


menggertak ataupun tidak mau membuka mulutunya. (Wilson, 2013)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran


pipa nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa
naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa
nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah
diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga
hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas
sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

Gambar 2.4 : Nasopharyngeal Airway (Sumber : The McGraw-Hill


Companies, Inc. 2006)

B. Airway definitif
Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain (Americann College of Surgeons, 2009) :

Masalah-masalah Airway - Ketidakmampuan untuk


memelihara patensi jalan napas dengan cara lain, dengan

Universitas Sumatera Utara


18

bahaya yang potensial terjadi pada airway (mis : setelah cedera


inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal).

Masalah-masalah Pernapasan Ketidakmampuan untuk


memperthanakan oksigenasi yang adekuat dengan dukungan
sungkup oksigen, dan adanya apnea.

Masalah-masalah Disabilitas Adanya cedera kepala tertutup


yang membutuhkan ventilasi bantuan (Skala Koma Glasgow
bernilai 8 atau kurang), perlu melindungi bagian bawah airway
dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya
aktivitas kejang yang menetap.

Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat
membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif. Dalam
memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan
adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat
memberikan tindakan. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan
indikator jelas untuk melakukan airway surgical.

2.5.2.1.2 Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009)
Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang
dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat,
apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver
tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-
valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson dan
Parry, 2013).

Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik

Universitas Sumatera Utara


19

(American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah cara melakukan


pemasangan bag-valve mask (Arifin, 2012) :

1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh

2.Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)

3.Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

4.Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus


mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.
5.Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6.Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
7.Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8.Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9.Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag
(kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan
melakukan metode berikut (American College of Surgeons, 2009) :
- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting)
atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah
(labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita.
- Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua

Universitas Sumatera Utara


20

hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati


terhadap adanya laju pernafasan yang cepat takipnea mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
- Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak
memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui
dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul
dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension
pneumothorax, massive hemothorax, dan open pneumothorax (Arifin,
2012).
Tabel 2.1. Ciri-ciri Gejala yang sering muncul pada Pemeriksaan Masalah
Ventilasi Pasien
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
1.Tension -ICR flat Stem Hipersonor Suara
pneumothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Dilatasi vena menurun menurun
jugularis
-Deviasi trakea

2.Massive -ICR flat Stem Beda Suara


hemothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Pucat meningkat menurun

3.Open -ICR normal Suara Hipersonor Suara


pneumothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Luka menurun menurun
berlubang
dinding toraks
(sucking chest
wound)

Universitas Sumatera Utara


21

Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit


b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR
II-Linea midclavicularis
c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang
diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect)

2.5.2.1.3 Circulation

Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh


banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah
masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. (American College of
Surgeons, 2009)

Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam


hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :

a. Tingkat Kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar
belum tentu normovolemik).

b. Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

Universitas Sumatera Utara


22

c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis (kiri-
kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila penderita
tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi
yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak
ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya
resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila
ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual
maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi
harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan
pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American
College of Surgeons, 2009).
Tabel 2.2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase
Penderita Semula

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Kehilangan Darah Sampai 750 750 - 1500 1500 - 2000 >2000
(mL)
Kehilangan Darah Sampai 15% 15% 30% 30% 40% >40%
(% volume darah)
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal atau Naik Menurun Menurun Menurun
(mmHg)
Frekuensi 14 20 20 - 30 30 - 40 >35
Pernafasan
Produksi Urin >30 20 - 30 5 -15 Tidak berarti
(mL/jam)
CNS/Status Mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
(lethargic)
Penggantian Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah

Universitas Sumatera Utara


23

2.5.2.1.4 Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan
neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat
kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat
cedera korda spinalis. (American College of Surgeons, 2009)

Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum


keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang
sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010)

Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan


menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode
yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada
saat survey sekunder.

AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.

1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1)


Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan

b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan

c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung


kuku jari tangan)

Universitas Sumatera Utara


24

d. Tidak memberikan respon

2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1)


Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

b. Disorientasi atau bingung

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat

d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)

e. Tidak memberikan respon

3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1)


Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah

b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri

c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri

d. Fleksi abnormal (decorticated)


e. Ektensi abnormal (decerebrate)

f. Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran)

2.5.2.1.5 Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan

Universitas Sumatera Utara


25

diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi. (Nasution, 2009)

2.6 Peran Perawat dan Bidan dalam Penanganan Awal


Kegawatdaruratan

2.6.1 Peran Perawat


Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai standar
kompetensi seorang perawat di dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia,
dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat vokasional, ners, ners spesialis,
maupun ners konsultan, semuanya harus mampu mengidentifikasi dan
melaporkan situasi perubahan ayng tidak diharapkan, meminta bantuan cepat dan
tepat dalam situasi gawat darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan
hidup dasar sampai bantuan tiba. Tambahan lain bagi seorang ners spesialis
adalah berkemampuan mengambil peran kepemimpinan dalam triage dan
koordinasi asuhan klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan untuk
sseorang ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan
sumber daya dan mengambil peran kepemimpinan dalam situasi gawat darurat
dan/atau bencana.

2.6.2 Peran Bidan


Dalam Standar Kompetensi Bidan Indonesia, seorang bidan dituntut untuk
mememiliki keterampilan dalam memberikan asuhan kegawatdaruratan terutama
dalam kegawatdaruratan kebidanan, seperti prolaps tali pusat, distosia bahu,
malpresentasi,dan keadaan gawat janin. Akan tetapi disebutkan juga bahwa bidan
harus berkompetensi dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan terus
menerus sesuai kebutuhan seperti melakukan resusitasi bayi baru lahir,
kegawatdaruratan maternal seperti perdarahan, resusitasi jantung paru maupun
keadaan gawat napas.

Universitas Sumatera Utara


26

2.7 Aspek Hukum dan Medikolegal dalam Penanganan Awal


Kegawatdaruratan

Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena


mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan
medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat
darurat karena memiliki karakteristik khusus. Pada keadaan gawat darurat medik
didapati beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki
risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Situasi emosional
dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di
bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak
pemberi pelayanan kesehatan. (Herkutanto, 2007)
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan,
sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan
pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik
diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan
bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan
kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di
rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk

Universitas Sumatera Utara


27

melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan


gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan
maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi
(gawat darurat) saat itu.

Universitas Sumatera Utara

You might also like