You are on page 1of 16

PLATFORM BARU

PEMBANGUNAN DESA &


PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DESA
Oleh: Sutoro Eko Yunanto
Guru Desa dan perancang UU Desa

Seorang doktor ekonomi, yang mengklaim sebagai ahli dan praktisi ekonomi rakyat
(UMKM), berujar secara pragmatis berikut ini: rakyat desa tidak membutuhkan UU Desa,
karena UU Desa hanya pasal-pasal dan ayat; mereka hanya butuh bekerja dan
berpendapatan. Di pihak lain, dengan nada skeptis ada banyak pihak bertanya kepada
saya dan meminta saya menjawab dalam lima kalimat, kenapa UU Desa lahir? Ada dua
jawaban saya. Pertama, karena negara merusak desa. Kedua, karena negara gagal
membangun desa.
Kedua jawaban itu menggambarkan bahwa hubungan antara negara dengan desa tidak
pernah cocok dan tuntas. Jawaban pertama berkaitan dengan struktur (kasta)
pembangunan, yang menempatkan pembangunan ekonomi dalam struktur tertinggi,
kemudian diikuti dengan pembangunan sektoral, dan yang terakhir adalah
pembangunan desa. Dengan kalimat lain, pembangunan desa merupakan residu dari
pembangunan ekonomi dan pembangunan sektoral. Pembangunan ekonomi yang
masuk ke ranah lokal, yang dipengaruhi oleh modernisasi (developmentalisme),
mengedepankan tiga hal: (a) pertumbuhan ekonomi untuk akumulasi kapital; (b)
hadirnya korporasi sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi; (c) trickle down
effect kepada rakyat baik dalam bentuk lapangan pekerjaan maupun sekedah CSR.

Sudah banyak penelitian maupun kritik terhadap pembangunan ekonomi yang berwatak
dehumanisasi itu. Pembangunan ekonomi telah menciptakan peminggiran terhadap
desa dan masyarakat adat, merusak desa dan orang desa, juga membuat orang desa
hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Jawaban kedua terkait dengan platform dan pendekatan negara masuk ke ranah desa
yang membawa agenda modernisasi pemerintahan desa, pembangunan desa,
pembangunan masyarakat, pemberdayaan masyarakat desa, penanggulangan
kemiskinan, dan lain-lain. Agenda negara ini bukan hanya menempatkan desa dan
masyarakat sebagai residu (sisanya-sisa), tetapi juga keliru, sehingga membuahkan
kegagalan. Negara sudah lama mempunyai kehendak memperbaiki (the will to improve)
atau membangun desa. Berbagai program pembangunan terus mengalir ke desa sejak
1970-an, yang membawa kemajuan dan mobilitas sosial. Wajah desa semakin baik dan
orang-orang desa semakin maju, memiliki mobilitas sosial (pendidikan, perumahan,
kemakmuran, dan sebagainya) yang lebih baik, bila dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya.
Tetapi masih sangat banyak desa dan orang desa yang tidak menikmati kemajuan dan
mobilitas sosial itu. Pembangunan desa yang digerakkan oleh negara tidak cukup
memadai sebagai kekuatan untuk perubahan dan transformasi sosial. Perubahan
kultural, institusional dan struktural tidak terjadi secara signifikan. Pertanian sudah lama
mengalami involusi. Petani gurem bertambah banyak. Tanah rakyat berkurang banyak,
sementara tanah korporasi bertambah banyak. Urbanisasi dan migrasi TKI semakin
bertambah terus. Desa juga tidak memberikan sumbangan secara fundamental untuk
rakyat, kecuali hanya mengeluarkan surat, membantu penyaluran bantuan pemerintah,
dan sebagai basis kemasyarakatan. Apalagi desa-desa di kawasan kebun dan tambang,
yang menghadirkan kepala desa memiliki kekayaan lebih karena perannya sebagai
pemburu rente dan broker, tetapi desa sebagai institusi tidak bermanfaat untuk rakyat.

Pembangunan desa seakan hadir seperti istana pasir. Dulu swasembada pangan yang
berbasis desa berhasil pada tahun 1980-an, tetapi sekarang Indonesia impor beras.
Dulu desa yang berpredikat sebagai desa swasembada tetapi banyak di antara mereka
turun pangkat menjadi desa tertinggal atau desa miskin, yang kemudian memperoleh
dana IDT dan bantuan lainnya. Dulu pemerintah membentuk KUD, BUUD, Siskamling,
IDT, KUT, Hapsari, dan sebagainya, tetapi sekarang sudah hilang. Tahun 2007
pemerintah mengangkat sekdes jadi PNS agar memperbaiki administrasi desa tetapi
hasilnya nihil. Tahun yang sama pemerintah menggelar PNPM Mandiri Perdesaan untuk
memperbaiki perencanaan dan penganggaran desa. Tetapi ketika dana desa akan
dimulai, ternyata administrasi desa serta perencanaan dan penganggaran desa tidak
siap disajikan. Penyaluran dan penggunaan dana desa jadi terhambat. Banyak proyek
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) berbasis desa berjalan dengan baik di saat masih
dipangku oleh pemerintah, tetapi begitu diserahkan kepada kelompok masyarakat,
ternyata banyak yang mangkrak, karena tidak jelas kepemilikan, otoritas dan
akuntabilitasnya. Program Desa Mandiri Pangan dengan Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan juga tidak menyumbang transformasi pertanian dan kehidupan
petani.

Dilema Negara
Mengapa desa miskin, lemah, terbelakang dan tergantung? Mengapa negara gagal
membangun desa? Mengapa pembangunan desa tidak membuahkan perubahan
(transformasi) besar? Itu adalah misteri desa yang tidak bisa dipecahkan secara teknis,
teknokratis dan manajerial. Robert Chamber 30 tahun silam sudah mengingatkan
kegagalan pembangunan desa yang dilakukan dari atas dan dari depan, sehingga dia
merekomendasikan pembangunan desa dari belakang. Bruce Mitchel (1994), dalam
studinya tentang pembangunan desa di Bali, menunjukkan bahwa pembangunan desa
dari dalam lebih kokoh dan berkelanjutan ketimbang pembangunan yang diprakarsai
dari luar. Masalah itu juga bisa kita lihat dengan cara pandang Prof. Robert Lawang
(2006), karena semua orang luar itu antidesa.

Karya Tania Muria Li (2012), The Will to Improve, juga bisa digunakan untuk memahami
kegagalan pembangunan desa. Li berujar bahwa niat baik serta rencana hebat untuk
memakmurkan kehidupan orang banyak sama sekali bukan jaminan bahwa
kemakmuran tersebut akan benar terwujud. Pada banyak peristiwa, alih-alih
mendatangkan kemakmuran kehendak untuk memperbaiki kehidupan ternyata justru
membawa sengsara berkepanjangan, karena program pemakmuran itu sendiri tidak
bebas nilaikaum yang hendak dibangun bukan ruang kosong yang bisa diisi apa saja,
sementara kelompok yang hendak membangun entah itu pemerintah, organisasi
keagamaan atau LSM juga tidak bebas dari kepentingan kelompok.

Saya juga mengingat kembali pendapat Clifford Geertz (1980) berikut ini:
Negara yang sewenang-wenang, kejam, hirarkhis, kaku, tetapi pada dasarnya
berlebihan menunggangi komunisme patriarkal masyarakat desa, memperoleh
makan darinya, dan sekali-sekali merusaknya, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil
masuk ke dalamnya. Negara adalah impor dari luar dan merupakan gangguan
eksternal, selalu mencoba menyerap desa tetapi tidak pernah berhasil kecuali ketika
menindas.

Desa bukan hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit
administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah, bukan sekadar
komunitas lokal, bukan sebagai lahan kosong yang siap menerima beragam intervensi
pembangunan, atau bukan juga sebagai pasar outlet proyek pembangunan. Desa
merupakan identitas, institusi dan entitas lokal seperti negara kecil, yang memiliki
wilayah, kekuasaan, sumberdaya, pranata lokal dan masyarakat. Ketika aparatus
negara gagal paham atau tidak paham akan hakekat desa sebagai negara kecil ini,
maka NKRI sebagai negara besar akan selalu gagal membangun desa.

Selain berpijak pada banyak literatur, saya memahami misteri desa dengan cara
mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa desa mawa cara, negara mawa tata.
Petuah ini bukan hanya memberi pesan tentang multikuluralisme seperti halnya
pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Desa mawa cara (desa dengan
cara) membuahkan frasa cara desa yang bermakna desa memiliki cara, adat,
kebiasaan, kearifan lokal dan prakarsa lokal. Negara mawa tata (negara dengan
tatanan) menghadirkan frasa tata negara, bahwa negara mempunyai peraturan,
hukum, administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi dan sebagainya.

Cara desa dan tata negara merupakan dua paradigma yang memiliki nalar dan
kepentingan berbeda. Benturan antara dua paradigma itu membuahkan dilema
intervensi negara masuk desa. Kalau negara tidak hadir salah, tetapi kalau hadir keliru.
Negara tidak hadir disebut isolasi, yakni negara membiarkan desa tumbuh sendiri
dengan swadaya lokal atau membiarkan desa dirusak oleh tengkulak maupun
korporasi. Desa bisa miskin, terbelakang maupun menjadi penonton di rumahnya
sendiri karena negara tidak hadir (isolasi).

Negara hadir secara keliru dengan jalan memasukkan dan memaksakan (imposition)
tata negara ke dalam desa. Dengan niat memperbaiki, para aparatus negara
memandang desa dari Jakarta, berupaya mengubah cara desa menjadi tata negara.
Mereka tidak mengakui, menghormati, memberdayakan dan memuliakan cara desa,
tetapi memasukkan tata negara dengan modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi
dan birokratisasi. Bahkan aparatus negara melakukan mutilasi desa, dengan cara
beternak banyak kelompok masyarakat, sebuah kerumunan yang dilembagakan
sebagai bentuk kanalisasi proyek pembangunan.

Intervensi tata negara bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki dan
membangun desa, tetapi juga menundukkan. melemahkan dan merusak cara desa.
Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi (seperti yang terjadi pada kasus dana desa
hari) ini telah menghadirkan tiga penyimpangan. Pertama, siasat lokal biasa ditempuh
para pemangku desa yang cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit
melakukan hal yang salah dengan cara yang benar. Kedua, penumpang gelap adalah
para konsultan jalanan yang membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan
penganggaran desa, guna memperoleh kucuran dana desa. Ketiga, para aparat daerah
sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi
semua ini berujung pada pencarian rente.

Belajar dari PNPM-CDD


Pembangunan yang berbasis masyarakat, termasuk penanggulangan kemiskinan
berbasis pemberdayaan, atau community driven development (CDD) merupakan
pendekatan paling mutakhir dan massif dijalankan di Indonesia selama dua dekade.
Meskipun ini ada kata masyarakat, tetapi CDD yang dimaksud dalam hal ini bukan
benar-benar digerakkan oleh rakyat secara emansipatoris seperti people driven
development. Model CDD ini lahir sebagai bentuk revisi atas integrated rural
development yang digerakkan negara (state led) di atas, dan kemudian dipakai oleh
pemerintah Indonesia dalam PNPM Mandiri. CDD pada dasanya meletakkan masyarakat
sebagai aktor utama yang menggerakkan partisipasi, aksi kolektif dan modal sosial
untuk mengambil keputusan, merencanakan, melaksanakan dan memanfaatkan
program pembangunan. Model ini ditempuh dengan cara memberikan (delivery) dana
pembangunan secara langsung kepada masyarakat tanpa melalui jalur hirarkhis
birokrasi pemerintah. Peran birokrasi pemerintah diminimalisir dari regulator menjadi
fasilitator. Dalam hal ini pemerintah bertugas melakukan fasilitasi agar proses CDD
berjalan dengan baik (Ghazal Mansuri & Vijayendra Rao, 2004; Frederick Rawski, 2006;
Victoria A. Beard and Aniruddha Dasgupta, 2006).
Pemerintah Indonesia dengan sangat bangga memperlihatkan sejuta cerita sukses
PNPM Mandiri: ribuan prasarana fisik telah dibangun, SPP lancar dan membesar,
partisipasi kaum perempuan dan kaum miskin meningkat, pembukaan lapangan
pekerjaan bagi kaum miskin, tatakelola dana yang transparan dan akuntabel, dan lain-
lain. Pada intinya masyarakat desa sangat senang dengan PNPM karena dana yang
cepat saji dan bermanfaat untuk menopang kebutuhan lokal.

Namun ada sejumlah catatan kritis terhadap PNPM-CDD. Pertama, PNPM-CDD


merupakan sebuah program pemberdayaan yang antipolitik (Toby Carroll, 2010),
bahkan saya sebut sebagai depolitisasi gaya baru. Mengikuti pendapat James Furguson
(1990), pembangunan adalah instrumen teknis, proyek dan industri yang anti politik. Di
satu sisi, pembangunan adalah instrumen representasi ekonomi dan rekayasa sosial
yang mengabaikan representasi politik. Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan
realitas dan aspirasi politik, menyingkirkan rakyat dari politik, sekaligus menggiring
mereka sibuk dalam dunia sosial dan ekonomi. Di sisi lain pembangunan dirancang
canggih oleh teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan birokrasi
negara. Dengan demikian, mesin anti politik mengandung depolitisasi (kebijakan,
pembangunan dan rakyat) dan ekspansi kontrol birokrasi negara.
Jika di masa Orde Baru pemerintah melakukan depolitisasi dengan cara melarang rakyat
berpolitik dan memotong mata rantai partai politik ke ranah desa; PNPM melakukan
depolitisasi dengan cara memberikan mainan uang kepada masyarakat, agar
masyarakat merencanakan, menggunakan atau memanfaatkan uang itu untuk
keperluan pembangunan lokal. Dengan uang PNPM melokalisir kepentingan dan
aktivitas masyarakat dalam pembangunan dan pemberdayaan agar terjadi harmoni.
PNPM mengabaikan power and politics yang seharusnya melekat pada warga (terutama
kaum marginal), sehingga PNPM tidak mendidik warga menjadi active citizen, yang
memiliki power dan kesadaran kritis akan hak-hak mereka (misalnya hak memperoleh
pelayanan publik yang lebih baik), sekaligus juga mempunyai kepedulian sosial. PNPM
juga tidak membangun organisasi warga yang lebih kuat sebagai alat kontrol sosial-
politik terhadap struktur politik lokal yang oligarkhis-patriarkhis.
Kedua, PNPM-CDD membawa panji governance reform yang berhaluan neoliberal. PNPM
memberikan bobot yang lebih besar pada market governance dan community
governance ketimbang state governance. Market governance direpresentasikan oleh
kehadiran swasta dalam mengelola uang dan sumberdaya manusia (konsultan dan
fasilitator). Community governance dibentuk dengan cara pembentukan kelompok
masyarakat yang merencanakan, menjalankan dan mengevaluasi program dan uang,
yang juga memperoleh sentuhan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. PNPM-CDD
tidak mengenal state governance yang direpresentasikan oleh pemerintah desa,
bahkan kerangka neoliberal itu melubangi negara (hollowing out the state), dengan
cara menempatkan kepala desa hanya sebagai fasilitator. Rancangan institusional
semacam ini tentu melemahkan institusi desa, meskipun di sisi lain pemerintah melalui
PP No. 72/2005 juga berupaya memperkuat desa dengan perencanaan desa dan ADD.
Dalam praktik, kekuasaan fasilitator (pegawai perusahaan) lebih kuat ketimbang
kekuasaan kepala desa. Dalam ranah formal governance kepala desa bertindak sebagai
fasilitator dan pendukung yang tidak melakukan intervensi, tetapi dalam ranah informal
governance kepala desa juga melakukan capture: mempengaruhi usulan program,
pembentukan kelompok, dan alokasi dana.
Peminggiran kepala desa itu membuat disengagement antara pemerintah desa dengan
kelompok masyarakat pengelola PNPM. Hubungan kedua pihak itu tidak terbangun
engagement yang kokoh dan terbuka, tetapi menghadapi dilema yang serius. Kepala
desa tidak ingin kehilangan legitimasi di mata masyarakat, karena dia menolak atau
tidak mendukung PNPM yang melemahkan posisinya. Di sisi lain sebagai penguasa lokal
dia tidak ingin kehilangan kekuasaan dan kontrolnya karena dia hanya mendukung dan
memfasilitasi PNPM. Kontrol itu tidak mesti berupa moral hazzard untuk berkuasa atas
(power over), tetapi juga bisa berupa kehendak politik menjalankan kekuasaan untuk
(power to) memastikan program berjalan dengan baik, termasuk mengantisipasi dan
memecahkan masalah yang muncul. Dimensi power to ini sangat penting mengingat
selama puluhan tahun dalam desa telah terbentuk sebuah sistem integralistik-
korporatis antara kepala desa dan masyarakat, dimana semua urusan sosial dan publik
berawal dan berakhir di tangan kepala desa. PNPM mengingkari konteks village
politics ini. PNPM tidak berawal dari kepala desa, tetapi kalau ada masalah tetap
berakhir di tangannya. Kalau ada masalah yang muncul dalam PNPM selalu lari kepada
kepala desa, padahal kepala desa tidak banyak tahu, demikian kira-kira sebuah protes
kecil yang disering disampaikan para kepala desa.
Kepala desa umumnya menjalankan dan menikmati dilema itu secara tidak terlembaga
secara terbuka: tetap mendukung dan memfasilitasi PNPM untuk menjaga legitimasi,
tetapi juga tetap melakukan kontrol, bahkan capture, secara tertutup. Dilema ini tentu
tidak membuat governance reform yang dibawa PNPM-CDD bekerja secara sempurna.
Studi SMERU (2010), misalnya, menunjukkan bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas
dan partisipasi yang dibawa oleh PNPM hanya terjadi di kelompok-kelompok masyarakat
pengelola kegiatan, tetapi tidak berdampak signifikan terhadap sistem pemerintahan
desa.

Ketiga, PNPM-CDD memperlihatkan kekacauan logika teoretik tentang modal sosial.


PNPM memang mengedepankan modal sosial tetapi ia tidak memanfaatkan kearifan
lokal dan institusi lokal (sebagai tempat modal sosial) yang telah tersedia, melainkan
membentuk institusi-institusi baru secara instan. Bahkan dalam praktik institusi baru
seperti kelompok-kelompok perempuan dibentuk secara instan dan dipaksakan dalam
rangka untuk merebut uang dari PNPM. Berbeda kontras dengan teori modal sosial,
PNPM CDD merupakan sebuah proyek yang bersifat money driven sehingga
memperlihatkan transaction cost yang tinggi. Karena itu saya sering melontarkan
argumen: PNPM ibarat menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang.
Artinya pemberdayaan terhadap kaum miskin tidak memanfaatkan aset-aset lokal yang
berbiaya rendah, melainkan menggunakan struktur, organisasi, personil (konsultan dan
fasilitator yang dikelola swasta) yang besar dan banyak, yang tentu saja membutuhkan
biaya yang besar pula.
Keempat, konsep pemberdayaan yang dikedepankan oleh PNPM untuk penanggulangan
kemiskinan sebenarnya dibangun dengan nalar yang sangat rapuh. PNPM membangun
sebuah argumen bahwa bantuan dan perlindungan sosial (seperti raskin, BOS, BLT dan
santunan-santunan sejenisnya) merupakan pendekatan memberi ikan kepada orang
miskin yang menciptakan ketergantungan. Sedangkan pemberdayaan yang dibawa oleh
PNPM bermaksud memberi kail kepada orang miskin, dan pemberdayaan juga
mendidik orang miskin agar mereka mampu menggunakan kail itu untuk
mengail/memancing ikan secara mandiri. Asumsi PNPM itu menggunakan nalar yang
keliru, sebab persoalan dasar yang dihadapi oleh orang miskin bukan karena tidak
memiliki kail, tetapi pada umumnya mereka benar-benar tidak memiliki kolam.
Kalau mereka tidak memiliki kolam, lalu kail itu digunakan untuk mengail apa?
Kolam itu adalah sebuah metafora untuk menyebut aset atau modal (tanah, uang,
maupun alat-alat produksi lainnya).
Kelima, pemberdayaan dan pendampingan dalam PNPM merupakan perangkat
teknokratik untuk mengamankan uang dalam bentuk bantuan langsung masyarakat
(BLM) dan menyukseskan target artifisial yang telah digariskan proyek. Para
pendamping mengajarkan hal-hal teknis-administratif proyek kepada orang desa mulai
dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pelaporan proyek. Lalu
masyarakat desa tampil sebagai operator mesin pengelolaan uang dan proyek.
Keenam, pendampingan mengedepankan partisipasi, tetapi mengandung depolitisasi
rakyat. Baik pengelolaan proyek maupun pendampingan mengabaikan edukasi politik
dan penguatan representasi politik rakyat. Pendamping tidakk mendidik dan
mengorganisasikan rakyat agar berdaya dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
mereka. Sekalipun ada partisipasi, yang terjadi adalah mobilisasi partisipasi dalam
pengelolaan proyek.
Ketujuh, pendampingan digerakkan dan dikendalikan oleh mesin birokrasi dengan
petunjuk teknis operasional (PTO). Para pendamping tak hadir sebagai katalisator
perubahan, tetapi hanya menjadi mandor proyek yang harus patuh pada PTO sehingga
tak tumbuh menjadi wirausaha sosial yang kreatif dan mandiri. Pendampingan tentu
telah memberikan kontribusi besar terhadap cerita sukses proyek PNPM, seperti
infrastruktur fasilitas publik, pembesaran dana bergulir, pelembagaan instrumen good
governance dalam pengelolaan proyek, peningkatan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan proyek, serta kebocoran dana proyek yang mendekati titik nol. Tetapi,
kesuksesan itu hanya terbatas pada proyek, tak berdampak besar secara organik dalam
tatanan kehidupan desa.
Instrumen good governance hanya dipakai dalam proyek, tetapi tak berdampak dalam
pemerintahan desa. Tingkat kebocoran sangat rendah bukan berarti tumbuh kultur anti
korupsi, tetapi hanya pertanda keberhasilan mengamankan dana proyek. Terbukti
masyarakat sangat gemar politik uang dalam setiap proses elektoral. Peningkatan
kemampuan hanya terjadi dalam pengelolaan proyek, tetapi kemampuan desa secara
organik dalam mengelola pembangunan tak tumbuh baik. Wirausaha lokal tak tumbuh
signifikan. PNPM hanya mampu membangun istana pasir, sekaligus sebagai proyek
yang menyenangkan rakyat, tetapi tak menolong/berdayakan rakyat.

Platform Baru
UU No. 6/2014 telah mengusung misi baru: negara melindungi dan memberdayakan
desa menjadi desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang
kokoh bagi kesejahteraan rakyat. Misi besar ini bukanlah perkara teknis, pragmatis,
administratif dan manajerial, melainkan merupakan persoalan filosofis, ideologis dan
politik. Berdasarkan misi dan prinsip ini, maka ada sejumlah platform baru perubahan
desa, sebagaimana saya elaborasi di bawah.

Desa demokratis dan inklusif. Secara implisit UU Desa menantang desa parokhial
dan desa korporatis, seraya mendorong tumbuhnya desa inklusif. Konsep inklusif secara
harafiah berarti untuk semua, atau misalnya dapat dirumuskan desa untuk semua,
atau bisa juga desa dihidupi oleh semua dan desa menghidupi untuk semua. Ini
pemaknaan secara harafiah. Namun secara konseptual, inklusi atau inklusif mulai
dikembangkan oleh teori-teori demokrasi, khususnya yang bertajuk demokrasi inklusif
atau inklusi demokratis. Demokrasi inklusif pada dasarnya merupakan alternatif atas
demokrasi biasa atau demokrasi formal yang telah menciptakan kesenjangan bagi
kaum minoritas dan kaum marginal yang tidak berdaya karena tirani mayoritas atau
oligarkhi elite (J.S. Dryzek, 1996; IM Young, 2000; C. Wolbrecht dan RE. Hero, 2005; J.
Manor, 2004). Karena itu demokrasi inklusif mengusung semangat: demokrasi untuk
setiap orang, bukan hanya untuk mayoritas (P. Emerson, 2007).
Tetapi konsep desa inklusif bukan sekadar demokrasi inklusif, yang tidak cukup
dipahami dengan pola demokrasi inklusif. Desa inklusif bukan sekadar mengandung
dimensi politik (yang membuahkan demokrasi politik) tetapi juga memperhatikan
dimensi sosial-ekonomi (yang membuahkan demokrasi sosial, demokrasi ekonomi dan
kesejahteraan).

Sisi pertama konsep inklusi (atau inklusif dan inklusivisme) versus eksklusi (eksklusif
atau eksklusivisme) menjadi dasar untuk merumuskan dan memotret perbedaan antara
desa inklusif dan desa eksklusif. Tabel secara sederhana dan jelas memberikan
pemetaan desa eksklusif berdasarkan dimensi relasi vertikal-struktural (relasi antara
elite dengan massa, atau antara pemerintah dengan rakyat) maupun relasi horizontal-
kultural (antarwarga atau kelompok masyarakat), serta dimensi relasi internal (insider)
dan eksternal (outsider) atau antara orang asli dengan orang pendatang. Perpaduan
interaktif itu membuahkan empat tipe eksklusivisme politik lokal desa. Pertama,
kombinasi antara relasi internal dengan vertikal-struktural mememperlihatkan hadirnya
oligarkhi elite yang memarginalkan rakyat biasa. Kedua, kombinasi antara eksternal
dengan vertikal-struktural menghasilkan gejala menguatnya nativisme (putera desa)
yang meminggirkan (marginalisasi) terhadap pendatang. Ketiga, kombinasi antara relasi
internal dengan horizontal-kultural membuahkan potret konflik horizontal berbasis etnis;
kerabat, aliran atau agama. Keempat, kombinasi antara relasi eksternal dengan
horizontal-kultural menghasilkan ketegangan (konflik) antara orang asli dengan
orang luar (yang berbeda agama, kerabat atau etnis).

Tabel 1

Peta dan potret desa eksklusif dari sisi politik

Pola Internal Eskternal


relasi

Vertikal- Munculnya oligarki Marginalisasi pendatang.


struktural yang tidak sensitif Akses politik orang
pada rakyat luar relatif lemah
karena gejala nativisme
(putera desa). Orang
luar adalah tamu yang
minoritas.

Horizonta Konflik horizontal Terjadi ketegangan


l-kultural berbasis kerabat, (konflik) antara orang
etnis atau agama. asli dengan orang
luar (yang berbeda
agama atau etnis).
Desa eksklusif secara politik itu secara teoretis dapat ditransformasikan menjadi desa
inklusif secara politik atau menjadi demokrasi inklusif, seperti tersaji dalam tabel
1. Pertama, dalam relasi internal dengan vertikal-struktural terbangun konsep
demokrasi inklusif, yakni proses politik dan institusi demokrasi yang lebih deliberatif-
partisipatif yang melibatkan warga biasa maupun kelompok-kelompok marginal. Kedua,
pola politik akomodasi dan formasi konsosiasional antara orang asli dengan pendatang
dalam struktur kekuasaan. Ketiga, kombinasi antara relasi internal dengan horizontal-
kultural secara teoretis dapat diciptakan modal sosial (kerjasama, jaringan dan
kepercayaan) yang inklusif. Keempat, kombinasi antara relasi eksternal dengan
horizontal-kultural, atau relasi antara orang asli dengan orang pendatang dapat
dibangun akulturasi (pembauran) secara multikultural dan cair. Akulturasi merupakan
bentuk social bridging yang bisa dilakukan dengan ikatan perkawinan silang budaya,
pembentukan organisasi profesi yang menembus batasan etnik dan agama, akulturasi
bahasa, paguyuban, persahabatan, kerukunan tetangga dan lain-lain.

Tabel 2

Pola desa inklusif dari sisi politik


Pola Internal Eskternal
relasi

Vertikal- Demokrasi inklusif Politik akomodasi


struktural

Horizonta Kerjasama dan Akulturasi (pembauran)


l-kultural jaringan sosial secara pluralis
(modal sosial) secara (multikultural)
inklusif

Bagan 1

Tipologi desa berdasarkan

dimensi demokrasi dan kesejahteraan

Demokrasi

Lemah
Kuat

Renda
h Desa parokhial Desa populis

Kesejahteraan

Tinggi Desa inklusif


Desa
korporatis

Sisi kedua adalah interaksi antara inklusi dan ekslusi dengan dimensi sosial-ekonomi
dan politik, sekaligus memasukkan kategori inklusif versus eksklusif ke dalam dimensi
demokrasi lokal dan kesejahteraan, untuk membangun tipologi desa secara beragam.
Berdasarkan dimensi demokrasi (politik) dan kesejahteraan (sosial ekonomi), bagan 1
menyajikan empat tipe desa yang beragam: desa parokhial, desa populis, desa
korporatis dan desa inklusif.
Desa inklusif sebuah desa yang tumbuh menjadi institusi publik yang berorientasi pada
kepentingan warga. Munculnya desa inklusif ini memperoleh pengaruh dari luar seperti
organisasi masyarakat sipil. Berbagai institusi dari luar tetap menghargai kearifan lokal,
tetapi mereka mulai memperkenalkan perencanaan partisipatif yang membawa
pemimpin dan masyarakat desa untuk mengalihkan diskusi dari isu-isu komunal dan
parokhial ke dalam isu-isu publik seperti pelayanan, perencanaan dan keuangan.
Kehadiran mereka membawa nilai-nilai baru seperti transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, multikulturalisme, dan keseteraan gender yang pelan-pelan mengalami
internalisasi dan pelembagaan secara organik dalam pemerintahan, perencanaan dan
pengelolaan keuangan desa. Karena itu desa inklusif ini tumbuh menjadi institusi publik
yang mampu melampaui institusi adat, komunal dan parokhial, bahkan mampu
menembus karakter korporatis.

Meskipun kekerabatan (parokhial) tetap bertahan di desa inklusif tetapi pengaruh


kekerabatan itu melemah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
BPD menjalankan fungsi check and balances terhadap kepala desa tetapi semangat
kemitraan BPD dengan pemerintah desa tetap dijaga dengan baik. PKK tidak lagi
menjadi institusi korporatis tetapi telah tumbuh menjadi basis politik representasi bagi
kaum perempuan desa, dimana tokoh-tokoh perempuan menggunakan PKK untuk
membangun kesadaran gender kepada kaum perempuan, memperjuangkan hak dan
kepentingan anak dan perempuan.
Perubahan kepemimpinan. Kepala desa bukanlah kepanjangan tangan pemerintah
melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Kepala desa ada karena memperoleh mandat
dari masyarakat melalui pemilihan kepala desa. Tugas utama kepala desa bukanlah
membantu pemerintah. Tugas dari pemerintah harus dijalankan oleh kepala desa. Tetapi
yang lebih utama dan jauh lebih penting, kepala desa harus memimpin masyarakat di
bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan pemberdayaan. Jika terjadi
perubahan kepemimpinan desa ini maka akan memberikan sumbangan besar terhadap
republik.

Tradisi berdesa. Desa bukan hanya tempat


untuk bermasyarakat tetapi juga tempat untuk berdesa bagi masyarakat. Desa memiliki
kekuasaan dan berpemerintahan, yang di dalamnya mengandung otoritas
(kewenangan) dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat koheren dengan otoritas dan
akuntabilitas, maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa mampu
menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga masyarakat.
Kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal dalam UU Desa merupakan instrumen
penting untuk melembagakan masyarakat/tradisi berdesa. Melalui kewenangan itu desa
mempunyai otoritas dan akuntabilitas mengatur dan mengurus barang-barang publik
untuk pelayanan kepada kepentingan masyarakat setempat. APBDesa digunakan untuk
membiayai kewenangan yang direncanakan. Sebaliknya masyarakat juga membiasakan
diri untuk memanfaatkan desa sebagai representasi negara yang mengatur dan
mengurus mereka, bukan hanya sebatas terlibat dalam pemilihan kepala desa, bukan
juga hanya mengurus administrasi, tetapi yang lebih penting adalah memanfaatkan
desa sebagai institusi yang melayani kepentingan mereka.

Gerakan warga aktif dan swadaya politik rakyat. Setiap warga desa mempunyai
ranah kegiatan sosial dan politik. Berdasarkan kategori ini ada empat tipe warga seperti
terlihat dalam bagan 2. Tipe pertama adalah konstituen, yang hanya melakukan
kegiatan memilih secara politik tetapi tetapi tidak aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan. Tipe kedua adalah relawan, yang hanya memilih dan aktif dalam
kegiatan sosial. Tipe ketiga adalah warga kritis, yang selalu kritis bersuara terhadap
kebijakan pemerintah, tetapi tidak aktif dalam kegiatan sosial. Tipe ini biasanya disebut
asal bunyi yang tidak disuakai oleh masyarakat dan pemuka desa. Tipe keempat
adalah warga aktif, yakni aktif dalam bersuara dan aktif dalam kegiatan sosial. UU Desa
menghendaki tumbuhnya warga aktif dalam ranah desa ini.

Gerakan swadaya politik rakyat termasuk perwujudan dari warga aktif. Ini adalah
gerakan mengorganisir warga masyarakat desa baik untuk memupuk modal sosial dan
sekaligus gerakan bersuara untuk mendorong perubahan desa. Salah satu wujudnya,
gerakan swadaya politik ini adalah mencari dan memilik pemimpin desa yang progresif,
dengan memanfaatkan basis modal sosial dan organisasi masyarakat, tanpa politik
uang.

Bagan 2
Tipe warga desa

Kegiatan politik

Bersuara
Memilih

Tidak aktif
Konstituen Warga kritis

Kegiatan
sosial

Aktif Relawan
Warga aktif

Melampaui jebakan administratif, seraya memperkuat kegiatan yang


bermakna dan bermanfaat secara politik. Telah sekian lama pemerintah desa
terjebak dalam kegiatan rutin administratif, seperti pelayanan surat menyurat,
pelaporan keuangan proyek, mengisi formulir perencanaan, dan lain-lain. Semua itu
penting dan harus dijalankan. Tetapi pemerintah desa tidak boleh terjebak pada
kegiatan yang kurang bermakna untuk rakyat itu. Pemerintah desa harus bergeser ke
berbagai kegiatan yang bermakna dan bermangaat secara politik untuk rakyat. Sebagai
pemimpin rakyat, kepala desa harus banyak berdialog dengan semua elemen
masyarakat, termasuk kelompok warga yang kritis dan kelompok yang rentan. Mereka
pasti mempunyai aspirasi (kepentingan) secara beragam, yang selama ini tidak
tersentuh oleh masyarakat. Demikian juga dengan BPD, yang harus menjadikan
musyawarah desa sebagai arena bagi masyarakat desa untuk menyampaikan aspirasi
politik. Baik kepala desa maupun BPD itu harus memformulasikan kebijakan baru yang
muncul dari aspirasi banyak komponen masyarakat ke dalam perencanaan desa,
penganggaran desa dan peraturan desa.
Jebakan administratif selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan desa. Karena sistem
keuangan yang begitu ketat maka kepala desa akan cenderung takut untuk mengambil
prakarsa yang inovatif. Karena takut, kepala desa beserta perangkat sangat hati-hati
(konservatif) dalam mengeola keuangan desa sehingga dana bisa aman tanpa
kebocoran. Tetapi hal ini menimbulkan dua kerugian. Pertama, anggaran pro rakyat
yang diamanatkan oleh UU Desa dan sesuai dengan kehendak rakyat (yang berbeda
dengan peraturan) tidak akan terwujud. Kedua, meskipun tidak terjadi kebocoran
karena tertib administrasi, tetapi hal ini sebenarnya tidak menumbuhkan budaya politik
antikorupsi. Terbukti dalam setiap perhelatan pemilihan, masyarakat desa secara
pragmatis sangat gemar dengan politik uang.
Karena itu pemimpin desa harus berpikir cerdas dan berani mengambil prakarsa
perubahan, sepanjang tidak secara eksplisit menabrak peraturan. Kalau ada peraturan
melarang penggunaan dana desa untuk membikin kantor desa, maka kepala desa
jangan menabrak membangun kantor desa. Kalau kepala desa membangun kantor
desa, itu namanya bodoh dan menabrak aturan. Tetapi di balik aturan yang ketat, tetap
ada celah yang memungkinkan kepala desa mengambik prakarsa dan keputusan politik
untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan yang
bermanfaat untuk rakyat banyak.

Edukasi sosial dan politik. Setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan
dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang memperoleh
sentuhan pendampingan, tidak boleh terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan
dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap seluruh
aktivitas desa harus disertai dengan edukasi sosial dan politik secara inklusif dan
partisipatoris. Dalam perencanan desa, misalnya, tidak hanya berhenti pada
penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan menjadi agenda proyek. Di
balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian kolektif
dan mandiri mengambil keputusan politik.. Demikian juga dengan Sistem Informasi
Desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringan online. SID tidak hanya alat
dan teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang desa untuk membangun
kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus untuk memperkuat representasi
hak dan kepentingan rakyat.
Membuat pembangunan desa lebih bermakna bagi rakyat desa. Pemuka desa
terbiasa berpikir tentang pembangunan desa sekadar membangun sarana fisik. Tetapi
mereka kurang berpikir tentang lemahnya kualitas hidup dan kemiskinan rakyat desa.
Pelaksanaan UU Desa, termasuk pendampingan desa, bisa menjadi momentum baru
untuk melakukan revolusi mental pembangunan desa. Edukasi sosial-politik kepada
warga masyarakat, pelatihan dan dorongan terhadap pemuka desa, maupun
musyawarah desa menjadi arena dan kegiatan yang bisa memperluas dan
memperdalam perubahan makna-tujuan pembangunan desa. Pembangunan desa tidak
hanya berbentuk bangunan fisik, tetapi juga mengarah pada perbaikan pelayanan
dasar, kualitas hidup manusia, serta peningkatan ekonomi lokal.
Gerakan ekonomi berbasis desa. UU Desa hadir sebagai bentuk kritik atas
pembangunan masyarakat maupun pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat
(community driven development), seraya mengedepankan desa sebagai pendekatan
baru atas pembangunan atau pembangunan yang digerakkan oleh desa (village driven
devlopment VDD). Kata kunci penting VDD dalam dunia ekonomi adalah konsolidasi dan
institusionalisasi atas aktor (petani, nelayan, peternak, perajin, kepala desa, perangkat
desa, penyuluh, pendamping, dan seterusnya); aset lokal (tanah perorangan, tanah
masyarakat, tanah desa, SDA, dana desa, dan lain-lain), dan akses (informasi,
pengetahuan, kebijakan, pasar, dan lain-lain).

Gerakan ekonom berbasis desa (VDD) bukan berarti hendak menegasi atas
pengembangan ekonomi lokal atau ekonomi rakyat yang digerakkan oleh UMKM
maupun koperasi. Dalam konteks ini ada tiga pola VDD:

Desa Mandiri: setiap desa tampil secara mandiri sebagai penggerak


ekonomi desa, yang melakukan konsolidasi dan Ini mulai dari gerakan
menanam beragam tanaman hingga membangun BUMDesa.
Kolaborasi Antardesa: sejumlah desa bekerjasama mengonsolidasi dan
institusionalisasi aset mereka untuk membangun korporasi ekonomi
misalnya mealui BUMADESA. Misalnya membangun kebun kolektif,
peternakan kolektif, pangan kolektif, dsb dengan menolak kehadiran
korporasi dari luar.
Negosiasi dan kolaborasi desa dengan modal: baik desa maupun
antardesa melakukan negosiasi dan kerjasama bisnis dengan BUMN
maupun pemodal. Misalnya desa mengorganisir dan memfasilitasi
produsen lokal dengan perusahaan. Desa maupun kolaborasi antardesa
membangun pola shareholding dengan perusahaan.

Mengapa BUMDesa atau BUMADESA? BUMDesa hampir tidak dikenal dalam teori dan
wacana pembangunan ekonomi, sebab desa bukanlah makhluk ekonomi seperti halnya
pengusaha, UMKM, atau koperasi. Perbincangan tentang ekonomi lokal maupun
ekonomi kerakyatan sering menyentuh ekonomi perdesan maupun petani, nelayan,
perajin atau peternak, tetapi hampir tidak pernah menyentuh BUMDesa. Baik ekonomi
lokal maupun ekonomi kerakyatan hadir sebagai alternatif atas ekonomi kapitalis-global,
tetapi keduanya lebih banyak berbicara tentang UMKM maupun koperasi yang
digerakkan oleh pelaku ekonomi lokal.
UMKM itu kini menjadi menjadi primadona ekonomi Indonesia yang disokong oleh ahli
ekonomi, praktisi sekaligus memperoleh dukungan modal yang memadai dari Kredit
Usaha Rakyat beragam bank nasional. Pengembangan ekonomi lokal, yang
mengutamakan kerjasama antara masyarakat, pemerintah daerah dan swasta juga
banyak berbicara tentang UMKM itu. Para pendukung UMKM itu kritis dan skeptis
terhadap BUMDesa, sebab desa tidak memiliki kapasitas dan tradisi berbisnis dan skala
ekonomi desa yang kecil dan tidak efisien. Tetapi juga tidak jarang para pelaku UMKM
itu tampil sebagai borjuis lokal atau tengkulak lokal yang menghisap tenaga kerja
maupun petani, peternak, nelayan dan perajin. Lalu siapa yang bisa melindungi dan
memperkuat rakyat kecil di desa seperti petani, peternak, nelayan dan perajin? Koperasi
secara teoretis merupakan kekuatan ekonomi rakyat yang secara mandiri menggalang
kekuatan rakyat kecil dalam aktivitas ekonomi. Berbeda dengan BUMDesa, koperasi
merupakan institusi ekonomi yang bisa melakukan perikatan hukum, baik akses kredit
di bank maupun kontrak kerja. Tetapi ada satu pertanyaan, mengapa koperasi sudah
lama tumbuh, namun rakyat desa (petani, nelayan, peternak, perajin dan sebagainya)
masih tetap lemah? Apakah rakyat desa tidak berdaya tidak mampu mengorganisir
dirinya ke dalam koperasi?

Selama ini perbincangan tentang ekonomi lokal, ekonomi rakyat, UMKM maupun
koperasi menggunakan logika bahwa pelaku ekonomi termasuk petani dan aktor lain
sebagai pelaku rasional. Pandangan ini serupa dengan tesis Samuel Popkin (1979)
bahwa petani adalah orang-orang yang rasional. Mereka pun ingin menjadi kaya,
seandainya mereka memiliki akses yang lebih besar terhadap pasar. Karena itu,
komersialisasi pertanian akan memperbaiki harkat hidup orang banyak. Petani adalah
orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional. Petani ingin mendapatkan akses
ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi. Kalau
mereka tidak kaya karena petani berada dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Para
tengkulak selalu mengahalangi petani untuk masuk ke pasar.

Analisis ekonomi politik Popkin benar tetapi dia tidak melihat kenapa petani tidak
mengorganisir diri menjadi kekuatan tunggal yang solid dan mampu menembus pasar.
James Scott (1976) berkata lain. Scott mengambil pendekatan ekonomi moral untuk
memahami persoalan petani. Scott menyatakan bahwa petani menganut gaya hidup
gotong royong, tolong menolong dan melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif.
Sikap ini disebabkan karena struktur kehidupan petani yang terjepit, dan harus
menyelamatkan diri. Para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian
membagi secara sama rata (bagita, kata orang Yogya) apa yang terdapat di desa,
karena mereka percaya pada hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.
Karena itu dikenal sistem bagi hasil (share holding). Ada mekanisme selamatan yang
dilakukan oleh para petani kaya untuk membagi rezeki dengan orang desa. Intensifikasi
pertanian dan komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap sebagai ancaman oleh para
petani yang nyaman dengan kondisinya.
Cara pandang Scott penting untuk memahami bahwa petani atau aktor-aktor lain di
desa merupakan makhluk sosial yang membutuhkan modal sosial dan patron. Tetapi
ketika terjadi hubungan personal dengan pola patron-klien antara petani dengan orang
kaya maka para petani sulit untuk berubah. Menurut Kurtz (2000), teori ekonomi
moral tidak berlaku dalam kasus modern atau dimana individualisasi tinggi, adanya
transisi ke kapitalisme, dan dimana struktur komunitas masyarakat sudah lemah.
Namun, teori pilihan rasional juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan
perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan
keputusan petani, juga ketika masalah penumpang gelap tidak signifikan
mempengaruhi tindakan kolektif. Di sisi lain, Hayami dan Kikuchi (1987) menerima Scott
maupun Popkin, namun menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat petani pada
dasarnya adalah saling tolong menolong pada kondisi aras subsistens, tetapi petani
juga menganut pemikiran rasional ala petani (rational peasant). Pandangan ini senada
dengan Boeke (1974), bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial daripada
ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited
needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa
harus memaksakan keinginan lebih daripada yang mereka miliki. Namun, karena
banyak petani sesungguhnya terlibat dalam ekonomi subsisten sekaligus dengan
ekonomi kapitalis; maka mereka tentu menetapkan prinsip rasional juga.
Petani dan nelayan itu memang merupakan pelaku ekonomi sehingga bisa disebut
sebagai sektor privat yang berupaya memaksimalkan keuntungan. Tetapi yang paling
menonjol, petani dan nelayan merupakan bagian dari komunitas lokal yang mempunyai
posisi dan wajah sosial. Sebagai pelaku ekonomi lokal, para petani dan nelayan sangat
terikat dengan institusi lokal. Mereka saling membangun interaksi atau komunikasi
dalam sebuah masyarakat yang terbentuk secara alami dan kontinyu dalam satu
daerah/lokasi. Menurut Norman Uphoff (1992), institusi lokal baik lembaga maupun
pranata lokal berfungsi untuk menciptakan kesempatan bersama dalam melakukan
aksi kolektif dan tolong menolong atau gotong royong (mutual assistance) sebagai
upaya menggerakkan dan mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan
berkelanjutan.
Dengan demikian tampak bahwa orang desa (petani, nelayan, peternak) sangat mudah
untuk bekerjasama tetapi sulit untuk berusaha bersama. Karena itu mereka sulit
membangun usaha kolektif dalam wadah koperasi, kecuali kalau ada pihak lain atau
patron yang mengorganisir mereka. Tentu dalam hal ini bukanlah patron yang
menghisap mereka. Jika petani kaya mengorganisir mereka ke dalam koperasi untuk
membentuk aksi kolektif maka petani kaya itu akan hadir sebagai penumpang gelap
yang melakukan elite capture, sebagaimana sering terjadi dalam kasus gabungan
kelompok tani (gapoktan).

Dalam kontek itu dibutuhkan sentuhan kelembagaan ekonomi yang peka terhadap
persoalan modal sosial, solidaritas, gotong royong, kolektivitas, dan patron yang
terlembagakan secara formal. Jika koperasi tidak mampu mengorganisir karena
antipatron, maka BUMDesa yang digerakkan oleh kepala desa dan terlembagakan
melalui musyawarah desa, menjadi jawaban atas keterbatasan koperasi maupun
pendekatan kelompok tani. Berbeda dengan orang kaya yang menjadi patron personal,
kepala desa akan hadir sebagai patron institusional bagi orang desa (petani, nelayan,
peternak). Kepala desa memang juga elite lokal yang berkepentingan dengan ekonomi
seperti halnya orang kaya, tetapi kepentingan ekonomi kepala desa bisa ditukar dengan
insentif politik jika dia berpihak dan mengorganisir orang desa. Jika kepala desa tidak
mempunyai inisiatif, maka aktor-aktor lain seperti BPD bisa mendorong kepala desa
untuk hadir sebagai patron institusional. Dalam konteks ini BUMDesa bisa menjadi
institusi alternatif yang melakukan konsolidasi atas aktor, aset dan akses petani
(maupun aktor lain) menjadi lebih kuat, mulai dari memperkuat skala ekonomi dari
subsisten ke produktif, hingga kekuatan untuk negosiasi dengan kekuatan pasar.
BUMDesa misalnya bisa membangun lumbung pangan yang antara lain menjalankan
strategi tunda jual di musim panen sebagai bentuk negosiasi dengan para tengkulak.

BUMDesa mengandung layanan sosial dan usaha ekonomi. Layanan sosial dalam
konteks ini mempunyai dua makna dan bentuk sekaligus. Pertama, BUMDesa yang
mempunyai usaha sosial seperti badan layanan umum. BUMDesa air bersih atau air
minum merupakan contoh terkemuka, yang memberikan palayanan sosial dasar kepada
seluruh orang desa tanpa kecuali, sekaligus juga memperoleh surplus untuk
pendapatan asli desa. Kedua, usaha ekonomi yang berwatak sosial, yakni melayani
kepentingan orang desa. Sebagai contoh, LPD di Bali memberikan layanan sosial
(perumahan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya) dan memfasilitasi modal bagi
orang desa untuk bertani maupun usaha lainnya. Desa Bleberan Gunungkidul
mempunyai tiga unit usaha BUMDesa: (a) BUMDesa air bersih yang mengutamakan
layanan sosial dasar tetapi juga memperoleh bonus pendapatan asli desa; (b) BUMDesa
LKM yang menjalankan fungsi sosial dan ekonomi; (c) dan desa wisata Sri Getuk yang
mampu mengonsolidasikan potensi ekonomi beragam pelaku ekonomi dan mengejar
surplus ekonomi.

Sejauh ini pengalaman BUMDesa di banyak tempat mempunyai sejumlah relevansi


penting bagi kehidupan sosial ekonomi orang desa. Pertama, BUMDesa (seperti LKM
dan lumbung pangan) mempunyai fungsi proteksi yakni melindungi orang desa dari
jeratan rentenir, tengkulak maupun paceklik. Ada juga banyak desa yang menyewakan
traktor dengan tujuan menolong petani. Bisnis ini terkesan menyaingi pelaku ekonomi
desa yang menyewakan traktor. Tetapi bisnis privat ini seperti tengkulak yang
menyewakan traktor dengan harga tinggi terutama pada masa musim tanam.
Kehadiran BUMDesa menyewakan traktor itu sungguh menolong petani dan melindungi
mereka dari jeratan tengkulak kaya.

Kedua, BUMDesa menjalankan fungsi fasilitasi, yakni melayani dan memudahkan


orang desa. Baik bisnis LKM maupun persewaan perkakas telah terbukti memudahkan
dan melayani kepentingan orang desa. LPD di Bali maupun LKM Desa di Riau, misalnya,
memudahkan dan melayani para petani yang membutuhkan bibit maupun pupuk untuk
bertani. Karena sudah ada LPD maka petani tidak perlu mencari modal ke rentenir atau
tengkulak para pelaku UMKM.

Ketiga, BUMDesa menjalankan fungsi konsolidasi dan institusionalisasi bisnis


kolektif orang desa. Dua agenda ini juga menjadi basis untuk negosiasi kekkuatan
kolektif desa berhadapan dengan tengkulak maupun korporasi. Contoh konsolidasi dan
institusionalisasi dapat ditemukan pada kasus desa wisata, yang menyatukan berbagai
bisnis, mulai dari obyek wisata sebagai daya tarik pendatang, juga komponen lain
seperti parkir, penginapan, makanan, souvenir dan lain-lain. Namun skema BUMDesa
untuk konsolidasi dan institusionalisasi bentuk usaha lain, seperti kerajinan maupun
dagang, belum dapat ditemukan, kecuali dalam bentuk gerakan yang dipimpin desa
seperti kerajinan keramik di Banyumulek (Lombok Barat), bisnis klengkeng kolektif di
Desa Mlatiharjo (Demak), bisnis jambu merah kolektif Desa Pilangrejo (Demak), bisnis
manggis kolektif di Desa Batumekar (Lombok Barat), bisnis markisa di Serut (Bantul),
bisnis rotan di Desa Teluk Wetan (Jepara), dan masih banyak lagi.

Pendekatan dan Cara Baru


UU Desa telah menyajikan rekognisi-subsidiaritas untuk menembus dilema negara
antara isolasi dan imposisi. Negara mengakui desa dan memberikan mandat kepada
desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (pelayanan
dasar, infrastruktur, ekonomi lokal, sumberdaya alam, lingkungan, ketentereman,
kerukunan, dan sebagainya) dengan cara desa (adat istiadat, prakarsa, kearifan).
Rekognisi ini merupakan jalan yang lebih tepat untuk menghadirkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ke ranah desa, sekaligus membuat desa mempunyai
imajinasi dan kontribusi yang lebih baik kepada NKRI.

Secara mikro tindakan rekognisi membutuhkan kepercayaan. Bagaimanapun


kepercayaan merupakan etika dasar dalam rekognisi dan Mempercayai desa merupakan
sikap dasar untuk mendorong pemberdayaan dan penguatan kapasitas desa.
Kepercayaan (trust), menurut Francis Fukuyama (1995), merupakan harapan-harapan
terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kerjasama yang muncul dari dalam sebuah
komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota
komunitas itu. Umumnya trust ditempatkan sebagai sebuah unsur modal sosial yang
sangat berguna untuk membangun soliditas relasi sosial secara horizontal. Tetapi
kepercayaan lebih dari sekadar modal sosial. Bagi Goran Heyden (1992), kepercayaan
(trust) merupakan sebuah elemen struktural dalam governance yang bakal
menumbuhkan akuntabilitas dan inovasi pemerintahan. Trust bisa tumbuh kalau diawali
dengan kerelaan atau ketulusan (compliance).
Kalau institusi pemerintah mempunyai komitmen terhadap perubahan desa, maka sikap
mempercayai desa adalah pilihan yang harus dilaksanakan. Keengganan, keraguan, dan
kekhawatiran pemerintah terhadap desa harus diubah menjadi kerelaan, ketulusan dan
keyakinan, yang diterukan dengan pembagian kekuasaan, kewenangan, keuangan,
sumberdaya dan tanggungjawab kepada desa. Kepercayaan yang diberikan kepada
desa tentu harus diikuti dengan fasilitasi, supervisi dan capacity building sehingga
kewenangan dan keuangan yang dibagi kepada desa betul-betul dikelola secara efektif,
bertanggungjawab dan membuahkan kemajuan desa.
Menantang desa adalah tindakan kelanjutan dari rekognisi dan kepercayaan. Dalam
konteks negara yang hirarkhis-sentralistik, desa selalu menjadi obyek regulasi dari
pemerintah supradesa. Regulasi berisi perintah maupun petunjuk yang harus
dilakukan desa, serta larangan-larangan yang tidak boleh atau jangan sampai
dilakukan desa. Karena pemahaman yang keliru tentang regulasi, maka desa hanya
melakukan sesuatu yang diperintahkan dan menghindari larangan-larangan yang
ditentukan peraturan (regulasi). Di luar pakem ini desa tidak bisa dan tidak berani
berbuat sesuatu. Kreasi baru di desa yang tidak tercantum atau tidak diatur, meski
tidak dilarang, sulit dijalankan di banyak desa. Banyak kepala desa yang takut
melangkahi kabupaten/kecamatan karena berbuat sesuatu yang belum diatur dalam
regulasi. Contohnya adalah kerjasama dengan pihak luar seperti LSM. Sebelum era
reformasi sampai awal refomasi, banyak kepala desa takut menjalin kerjasama dengan
LSM, karena belum diatur dalam regulasi, padahal regulasi tidak melarang secara
eksplisit. Setelah reformasi, desa memperoleh ruang dan tantangan yang besar dalam
mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, LSM maupun
perguruan tinggi. Namun demikian, dalam praktik di lapangan, kerjasama desa dengan
pihak luar sering terhambat oleh kontrol kabupaten/kecamatan. Desa tidak bisa secara
langsung menjalin kerjasama, melainkan harus memperoleh izin atau persetujuan dari
kabupaten. Termasuk kepala desa menghadiri undangan penting dari pihak luar.
Sampai sekarang regulasi masih diperlakukan sebagai perangkat yang mempersulit,
bukan perangkat yang mempermudah, membuka ruang gerak dan memberi tantangan
bagi desa untuk mengembangkan kreasi dan potensi lokal. Lebih banyak regulasi
maupun pernyataan-pernyataan resmi pejabat supradesa yang selalu memerintah
sekaligus membatasi (jika bukan melarang) ruang gerak desa. Tetapi pada sisi yang
ekstrem, karena euforia, banyak desa yang punya kreasi berlebihan dan menabrak
peraturan. Fakta ini menggambarkan terjadinya kesenjangan antara regulasi dengan
kehendak lokal, karena proses perumusan regulasi tidak memperhatikan aspirasi lokal,
serta substansi regulasi yang berorientasi mempersulit dan membatasi desa.

Sementara subsidiaritas mengajakarkan tentang prinsip bukan campur tangan, apalagi


cuci tangan, melainkan memberi uluran tangan. Dalam keseharian banyak orang luar
yang campur tangan terhadap desa, seperti pengaturan yang rigid terhadap asal-usul
desa, pengadaan perlengkapan untuk Pilkdes oleh pemerintah supradesa, membentuk
BUMDesa secara serentak dan seragam, hingga membentuk kelompok-kelompok
masyarakat sebagai kanal penerima bantuan proyek. Tindakan campur tangan ini tidak
dibenarkan oleh asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa. Tetapi kalau desa
menghadapi banyak masalah orang luar cenderung cuci tangan. Sebagai contoh adalah
banyak proyek yang mangkrak, Posyandu yang tidak berjalan, atau BUMDesa yang mati
suri. Sejauh ini orang luar cenderung cuci tangan terhadap masalah-masalah itu.
Kotak 1: Sejumlah Prinsip Menghargai, Mempercayai dan Menantang
Desa
Menghilangkan stigma-stigma buruk kepada desa.

Menghilangkan sikap mengancam (menciptakan rasa takut)


pada pemimpin desa tentang korupsi dan penjara.

Memotong mata rantai regulasi, teknokrasi dan birokrasi.

Menggantikan keraguan, keengganan dan kekhawatiran


menjadi kerelaan, ketulusan dan keyakinan.

Mengurangi perintah, campur tangan dan larangan kepada


desa.

Menghentikan pendekatan kelompok, sekaligus


institusionalisasi sistem desa dan tradisi berdesa

Kesediaan belajar pada masyarakat desa.

Menggantikan sikap defensif menjadi responsif terhadap


tuntutan dari desa.

Membuka ruang akses desa terhadap pembuatan kebijakan.

Membuka ruang dan mendorong akuntabilitas & inovasi


terhadap kreasi, prakarsa dan potensi desa.

You might also like