Professional Documents
Culture Documents
Seorang doktor ekonomi, yang mengklaim sebagai ahli dan praktisi ekonomi rakyat
(UMKM), berujar secara pragmatis berikut ini: rakyat desa tidak membutuhkan UU Desa,
karena UU Desa hanya pasal-pasal dan ayat; mereka hanya butuh bekerja dan
berpendapatan. Di pihak lain, dengan nada skeptis ada banyak pihak bertanya kepada
saya dan meminta saya menjawab dalam lima kalimat, kenapa UU Desa lahir? Ada dua
jawaban saya. Pertama, karena negara merusak desa. Kedua, karena negara gagal
membangun desa.
Kedua jawaban itu menggambarkan bahwa hubungan antara negara dengan desa tidak
pernah cocok dan tuntas. Jawaban pertama berkaitan dengan struktur (kasta)
pembangunan, yang menempatkan pembangunan ekonomi dalam struktur tertinggi,
kemudian diikuti dengan pembangunan sektoral, dan yang terakhir adalah
pembangunan desa. Dengan kalimat lain, pembangunan desa merupakan residu dari
pembangunan ekonomi dan pembangunan sektoral. Pembangunan ekonomi yang
masuk ke ranah lokal, yang dipengaruhi oleh modernisasi (developmentalisme),
mengedepankan tiga hal: (a) pertumbuhan ekonomi untuk akumulasi kapital; (b)
hadirnya korporasi sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi; (c) trickle down
effect kepada rakyat baik dalam bentuk lapangan pekerjaan maupun sekedah CSR.
Sudah banyak penelitian maupun kritik terhadap pembangunan ekonomi yang berwatak
dehumanisasi itu. Pembangunan ekonomi telah menciptakan peminggiran terhadap
desa dan masyarakat adat, merusak desa dan orang desa, juga membuat orang desa
hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Jawaban kedua terkait dengan platform dan pendekatan negara masuk ke ranah desa
yang membawa agenda modernisasi pemerintahan desa, pembangunan desa,
pembangunan masyarakat, pemberdayaan masyarakat desa, penanggulangan
kemiskinan, dan lain-lain. Agenda negara ini bukan hanya menempatkan desa dan
masyarakat sebagai residu (sisanya-sisa), tetapi juga keliru, sehingga membuahkan
kegagalan. Negara sudah lama mempunyai kehendak memperbaiki (the will to improve)
atau membangun desa. Berbagai program pembangunan terus mengalir ke desa sejak
1970-an, yang membawa kemajuan dan mobilitas sosial. Wajah desa semakin baik dan
orang-orang desa semakin maju, memiliki mobilitas sosial (pendidikan, perumahan,
kemakmuran, dan sebagainya) yang lebih baik, bila dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya.
Tetapi masih sangat banyak desa dan orang desa yang tidak menikmati kemajuan dan
mobilitas sosial itu. Pembangunan desa yang digerakkan oleh negara tidak cukup
memadai sebagai kekuatan untuk perubahan dan transformasi sosial. Perubahan
kultural, institusional dan struktural tidak terjadi secara signifikan. Pertanian sudah lama
mengalami involusi. Petani gurem bertambah banyak. Tanah rakyat berkurang banyak,
sementara tanah korporasi bertambah banyak. Urbanisasi dan migrasi TKI semakin
bertambah terus. Desa juga tidak memberikan sumbangan secara fundamental untuk
rakyat, kecuali hanya mengeluarkan surat, membantu penyaluran bantuan pemerintah,
dan sebagai basis kemasyarakatan. Apalagi desa-desa di kawasan kebun dan tambang,
yang menghadirkan kepala desa memiliki kekayaan lebih karena perannya sebagai
pemburu rente dan broker, tetapi desa sebagai institusi tidak bermanfaat untuk rakyat.
Pembangunan desa seakan hadir seperti istana pasir. Dulu swasembada pangan yang
berbasis desa berhasil pada tahun 1980-an, tetapi sekarang Indonesia impor beras.
Dulu desa yang berpredikat sebagai desa swasembada tetapi banyak di antara mereka
turun pangkat menjadi desa tertinggal atau desa miskin, yang kemudian memperoleh
dana IDT dan bantuan lainnya. Dulu pemerintah membentuk KUD, BUUD, Siskamling,
IDT, KUT, Hapsari, dan sebagainya, tetapi sekarang sudah hilang. Tahun 2007
pemerintah mengangkat sekdes jadi PNS agar memperbaiki administrasi desa tetapi
hasilnya nihil. Tahun yang sama pemerintah menggelar PNPM Mandiri Perdesaan untuk
memperbaiki perencanaan dan penganggaran desa. Tetapi ketika dana desa akan
dimulai, ternyata administrasi desa serta perencanaan dan penganggaran desa tidak
siap disajikan. Penyaluran dan penggunaan dana desa jadi terhambat. Banyak proyek
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) berbasis desa berjalan dengan baik di saat masih
dipangku oleh pemerintah, tetapi begitu diserahkan kepada kelompok masyarakat,
ternyata banyak yang mangkrak, karena tidak jelas kepemilikan, otoritas dan
akuntabilitasnya. Program Desa Mandiri Pangan dengan Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan juga tidak menyumbang transformasi pertanian dan kehidupan
petani.
Dilema Negara
Mengapa desa miskin, lemah, terbelakang dan tergantung? Mengapa negara gagal
membangun desa? Mengapa pembangunan desa tidak membuahkan perubahan
(transformasi) besar? Itu adalah misteri desa yang tidak bisa dipecahkan secara teknis,
teknokratis dan manajerial. Robert Chamber 30 tahun silam sudah mengingatkan
kegagalan pembangunan desa yang dilakukan dari atas dan dari depan, sehingga dia
merekomendasikan pembangunan desa dari belakang. Bruce Mitchel (1994), dalam
studinya tentang pembangunan desa di Bali, menunjukkan bahwa pembangunan desa
dari dalam lebih kokoh dan berkelanjutan ketimbang pembangunan yang diprakarsai
dari luar. Masalah itu juga bisa kita lihat dengan cara pandang Prof. Robert Lawang
(2006), karena semua orang luar itu antidesa.
Karya Tania Muria Li (2012), The Will to Improve, juga bisa digunakan untuk memahami
kegagalan pembangunan desa. Li berujar bahwa niat baik serta rencana hebat untuk
memakmurkan kehidupan orang banyak sama sekali bukan jaminan bahwa
kemakmuran tersebut akan benar terwujud. Pada banyak peristiwa, alih-alih
mendatangkan kemakmuran kehendak untuk memperbaiki kehidupan ternyata justru
membawa sengsara berkepanjangan, karena program pemakmuran itu sendiri tidak
bebas nilaikaum yang hendak dibangun bukan ruang kosong yang bisa diisi apa saja,
sementara kelompok yang hendak membangun entah itu pemerintah, organisasi
keagamaan atau LSM juga tidak bebas dari kepentingan kelompok.
Saya juga mengingat kembali pendapat Clifford Geertz (1980) berikut ini:
Negara yang sewenang-wenang, kejam, hirarkhis, kaku, tetapi pada dasarnya
berlebihan menunggangi komunisme patriarkal masyarakat desa, memperoleh
makan darinya, dan sekali-sekali merusaknya, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil
masuk ke dalamnya. Negara adalah impor dari luar dan merupakan gangguan
eksternal, selalu mencoba menyerap desa tetapi tidak pernah berhasil kecuali ketika
menindas.
Desa bukan hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit
administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah, bukan sekadar
komunitas lokal, bukan sebagai lahan kosong yang siap menerima beragam intervensi
pembangunan, atau bukan juga sebagai pasar outlet proyek pembangunan. Desa
merupakan identitas, institusi dan entitas lokal seperti negara kecil, yang memiliki
wilayah, kekuasaan, sumberdaya, pranata lokal dan masyarakat. Ketika aparatus
negara gagal paham atau tidak paham akan hakekat desa sebagai negara kecil ini,
maka NKRI sebagai negara besar akan selalu gagal membangun desa.
Selain berpijak pada banyak literatur, saya memahami misteri desa dengan cara
mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa desa mawa cara, negara mawa tata.
Petuah ini bukan hanya memberi pesan tentang multikuluralisme seperti halnya
pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Desa mawa cara (desa dengan
cara) membuahkan frasa cara desa yang bermakna desa memiliki cara, adat,
kebiasaan, kearifan lokal dan prakarsa lokal. Negara mawa tata (negara dengan
tatanan) menghadirkan frasa tata negara, bahwa negara mempunyai peraturan,
hukum, administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi dan sebagainya.
Cara desa dan tata negara merupakan dua paradigma yang memiliki nalar dan
kepentingan berbeda. Benturan antara dua paradigma itu membuahkan dilema
intervensi negara masuk desa. Kalau negara tidak hadir salah, tetapi kalau hadir keliru.
Negara tidak hadir disebut isolasi, yakni negara membiarkan desa tumbuh sendiri
dengan swadaya lokal atau membiarkan desa dirusak oleh tengkulak maupun
korporasi. Desa bisa miskin, terbelakang maupun menjadi penonton di rumahnya
sendiri karena negara tidak hadir (isolasi).
Negara hadir secara keliru dengan jalan memasukkan dan memaksakan (imposition)
tata negara ke dalam desa. Dengan niat memperbaiki, para aparatus negara
memandang desa dari Jakarta, berupaya mengubah cara desa menjadi tata negara.
Mereka tidak mengakui, menghormati, memberdayakan dan memuliakan cara desa,
tetapi memasukkan tata negara dengan modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi
dan birokratisasi. Bahkan aparatus negara melakukan mutilasi desa, dengan cara
beternak banyak kelompok masyarakat, sebuah kerumunan yang dilembagakan
sebagai bentuk kanalisasi proyek pembangunan.
Intervensi tata negara bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki dan
membangun desa, tetapi juga menundukkan. melemahkan dan merusak cara desa.
Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi (seperti yang terjadi pada kasus dana desa
hari) ini telah menghadirkan tiga penyimpangan. Pertama, siasat lokal biasa ditempuh
para pemangku desa yang cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit
melakukan hal yang salah dengan cara yang benar. Kedua, penumpang gelap adalah
para konsultan jalanan yang membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan
penganggaran desa, guna memperoleh kucuran dana desa. Ketiga, para aparat daerah
sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi
semua ini berujung pada pencarian rente.
Platform Baru
UU No. 6/2014 telah mengusung misi baru: negara melindungi dan memberdayakan
desa menjadi desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang
kokoh bagi kesejahteraan rakyat. Misi besar ini bukanlah perkara teknis, pragmatis,
administratif dan manajerial, melainkan merupakan persoalan filosofis, ideologis dan
politik. Berdasarkan misi dan prinsip ini, maka ada sejumlah platform baru perubahan
desa, sebagaimana saya elaborasi di bawah.
Desa demokratis dan inklusif. Secara implisit UU Desa menantang desa parokhial
dan desa korporatis, seraya mendorong tumbuhnya desa inklusif. Konsep inklusif secara
harafiah berarti untuk semua, atau misalnya dapat dirumuskan desa untuk semua,
atau bisa juga desa dihidupi oleh semua dan desa menghidupi untuk semua. Ini
pemaknaan secara harafiah. Namun secara konseptual, inklusi atau inklusif mulai
dikembangkan oleh teori-teori demokrasi, khususnya yang bertajuk demokrasi inklusif
atau inklusi demokratis. Demokrasi inklusif pada dasarnya merupakan alternatif atas
demokrasi biasa atau demokrasi formal yang telah menciptakan kesenjangan bagi
kaum minoritas dan kaum marginal yang tidak berdaya karena tirani mayoritas atau
oligarkhi elite (J.S. Dryzek, 1996; IM Young, 2000; C. Wolbrecht dan RE. Hero, 2005; J.
Manor, 2004). Karena itu demokrasi inklusif mengusung semangat: demokrasi untuk
setiap orang, bukan hanya untuk mayoritas (P. Emerson, 2007).
Tetapi konsep desa inklusif bukan sekadar demokrasi inklusif, yang tidak cukup
dipahami dengan pola demokrasi inklusif. Desa inklusif bukan sekadar mengandung
dimensi politik (yang membuahkan demokrasi politik) tetapi juga memperhatikan
dimensi sosial-ekonomi (yang membuahkan demokrasi sosial, demokrasi ekonomi dan
kesejahteraan).
Sisi pertama konsep inklusi (atau inklusif dan inklusivisme) versus eksklusi (eksklusif
atau eksklusivisme) menjadi dasar untuk merumuskan dan memotret perbedaan antara
desa inklusif dan desa eksklusif. Tabel secara sederhana dan jelas memberikan
pemetaan desa eksklusif berdasarkan dimensi relasi vertikal-struktural (relasi antara
elite dengan massa, atau antara pemerintah dengan rakyat) maupun relasi horizontal-
kultural (antarwarga atau kelompok masyarakat), serta dimensi relasi internal (insider)
dan eksternal (outsider) atau antara orang asli dengan orang pendatang. Perpaduan
interaktif itu membuahkan empat tipe eksklusivisme politik lokal desa. Pertama,
kombinasi antara relasi internal dengan vertikal-struktural mememperlihatkan hadirnya
oligarkhi elite yang memarginalkan rakyat biasa. Kedua, kombinasi antara eksternal
dengan vertikal-struktural menghasilkan gejala menguatnya nativisme (putera desa)
yang meminggirkan (marginalisasi) terhadap pendatang. Ketiga, kombinasi antara relasi
internal dengan horizontal-kultural membuahkan potret konflik horizontal berbasis etnis;
kerabat, aliran atau agama. Keempat, kombinasi antara relasi eksternal dengan
horizontal-kultural menghasilkan ketegangan (konflik) antara orang asli dengan
orang luar (yang berbeda agama, kerabat atau etnis).
Tabel 1
Tabel 2
Bagan 1
Demokrasi
Lemah
Kuat
Renda
h Desa parokhial Desa populis
Kesejahteraan
Sisi kedua adalah interaksi antara inklusi dan ekslusi dengan dimensi sosial-ekonomi
dan politik, sekaligus memasukkan kategori inklusif versus eksklusif ke dalam dimensi
demokrasi lokal dan kesejahteraan, untuk membangun tipologi desa secara beragam.
Berdasarkan dimensi demokrasi (politik) dan kesejahteraan (sosial ekonomi), bagan 1
menyajikan empat tipe desa yang beragam: desa parokhial, desa populis, desa
korporatis dan desa inklusif.
Desa inklusif sebuah desa yang tumbuh menjadi institusi publik yang berorientasi pada
kepentingan warga. Munculnya desa inklusif ini memperoleh pengaruh dari luar seperti
organisasi masyarakat sipil. Berbagai institusi dari luar tetap menghargai kearifan lokal,
tetapi mereka mulai memperkenalkan perencanaan partisipatif yang membawa
pemimpin dan masyarakat desa untuk mengalihkan diskusi dari isu-isu komunal dan
parokhial ke dalam isu-isu publik seperti pelayanan, perencanaan dan keuangan.
Kehadiran mereka membawa nilai-nilai baru seperti transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, multikulturalisme, dan keseteraan gender yang pelan-pelan mengalami
internalisasi dan pelembagaan secara organik dalam pemerintahan, perencanaan dan
pengelolaan keuangan desa. Karena itu desa inklusif ini tumbuh menjadi institusi publik
yang mampu melampaui institusi adat, komunal dan parokhial, bahkan mampu
menembus karakter korporatis.
Gerakan warga aktif dan swadaya politik rakyat. Setiap warga desa mempunyai
ranah kegiatan sosial dan politik. Berdasarkan kategori ini ada empat tipe warga seperti
terlihat dalam bagan 2. Tipe pertama adalah konstituen, yang hanya melakukan
kegiatan memilih secara politik tetapi tetapi tidak aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan. Tipe kedua adalah relawan, yang hanya memilih dan aktif dalam
kegiatan sosial. Tipe ketiga adalah warga kritis, yang selalu kritis bersuara terhadap
kebijakan pemerintah, tetapi tidak aktif dalam kegiatan sosial. Tipe ini biasanya disebut
asal bunyi yang tidak disuakai oleh masyarakat dan pemuka desa. Tipe keempat
adalah warga aktif, yakni aktif dalam bersuara dan aktif dalam kegiatan sosial. UU Desa
menghendaki tumbuhnya warga aktif dalam ranah desa ini.
Gerakan swadaya politik rakyat termasuk perwujudan dari warga aktif. Ini adalah
gerakan mengorganisir warga masyarakat desa baik untuk memupuk modal sosial dan
sekaligus gerakan bersuara untuk mendorong perubahan desa. Salah satu wujudnya,
gerakan swadaya politik ini adalah mencari dan memilik pemimpin desa yang progresif,
dengan memanfaatkan basis modal sosial dan organisasi masyarakat, tanpa politik
uang.
Bagan 2
Tipe warga desa
Kegiatan politik
Bersuara
Memilih
Tidak aktif
Konstituen Warga kritis
Kegiatan
sosial
Aktif Relawan
Warga aktif
Edukasi sosial dan politik. Setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan
dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang memperoleh
sentuhan pendampingan, tidak boleh terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan
dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap seluruh
aktivitas desa harus disertai dengan edukasi sosial dan politik secara inklusif dan
partisipatoris. Dalam perencanan desa, misalnya, tidak hanya berhenti pada
penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan menjadi agenda proyek. Di
balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian kolektif
dan mandiri mengambil keputusan politik.. Demikian juga dengan Sistem Informasi
Desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringan online. SID tidak hanya alat
dan teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang desa untuk membangun
kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus untuk memperkuat representasi
hak dan kepentingan rakyat.
Membuat pembangunan desa lebih bermakna bagi rakyat desa. Pemuka desa
terbiasa berpikir tentang pembangunan desa sekadar membangun sarana fisik. Tetapi
mereka kurang berpikir tentang lemahnya kualitas hidup dan kemiskinan rakyat desa.
Pelaksanaan UU Desa, termasuk pendampingan desa, bisa menjadi momentum baru
untuk melakukan revolusi mental pembangunan desa. Edukasi sosial-politik kepada
warga masyarakat, pelatihan dan dorongan terhadap pemuka desa, maupun
musyawarah desa menjadi arena dan kegiatan yang bisa memperluas dan
memperdalam perubahan makna-tujuan pembangunan desa. Pembangunan desa tidak
hanya berbentuk bangunan fisik, tetapi juga mengarah pada perbaikan pelayanan
dasar, kualitas hidup manusia, serta peningkatan ekonomi lokal.
Gerakan ekonomi berbasis desa. UU Desa hadir sebagai bentuk kritik atas
pembangunan masyarakat maupun pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat
(community driven development), seraya mengedepankan desa sebagai pendekatan
baru atas pembangunan atau pembangunan yang digerakkan oleh desa (village driven
devlopment VDD). Kata kunci penting VDD dalam dunia ekonomi adalah konsolidasi dan
institusionalisasi atas aktor (petani, nelayan, peternak, perajin, kepala desa, perangkat
desa, penyuluh, pendamping, dan seterusnya); aset lokal (tanah perorangan, tanah
masyarakat, tanah desa, SDA, dana desa, dan lain-lain), dan akses (informasi,
pengetahuan, kebijakan, pasar, dan lain-lain).
Gerakan ekonom berbasis desa (VDD) bukan berarti hendak menegasi atas
pengembangan ekonomi lokal atau ekonomi rakyat yang digerakkan oleh UMKM
maupun koperasi. Dalam konteks ini ada tiga pola VDD:
Mengapa BUMDesa atau BUMADESA? BUMDesa hampir tidak dikenal dalam teori dan
wacana pembangunan ekonomi, sebab desa bukanlah makhluk ekonomi seperti halnya
pengusaha, UMKM, atau koperasi. Perbincangan tentang ekonomi lokal maupun
ekonomi kerakyatan sering menyentuh ekonomi perdesan maupun petani, nelayan,
perajin atau peternak, tetapi hampir tidak pernah menyentuh BUMDesa. Baik ekonomi
lokal maupun ekonomi kerakyatan hadir sebagai alternatif atas ekonomi kapitalis-global,
tetapi keduanya lebih banyak berbicara tentang UMKM maupun koperasi yang
digerakkan oleh pelaku ekonomi lokal.
UMKM itu kini menjadi menjadi primadona ekonomi Indonesia yang disokong oleh ahli
ekonomi, praktisi sekaligus memperoleh dukungan modal yang memadai dari Kredit
Usaha Rakyat beragam bank nasional. Pengembangan ekonomi lokal, yang
mengutamakan kerjasama antara masyarakat, pemerintah daerah dan swasta juga
banyak berbicara tentang UMKM itu. Para pendukung UMKM itu kritis dan skeptis
terhadap BUMDesa, sebab desa tidak memiliki kapasitas dan tradisi berbisnis dan skala
ekonomi desa yang kecil dan tidak efisien. Tetapi juga tidak jarang para pelaku UMKM
itu tampil sebagai borjuis lokal atau tengkulak lokal yang menghisap tenaga kerja
maupun petani, peternak, nelayan dan perajin. Lalu siapa yang bisa melindungi dan
memperkuat rakyat kecil di desa seperti petani, peternak, nelayan dan perajin? Koperasi
secara teoretis merupakan kekuatan ekonomi rakyat yang secara mandiri menggalang
kekuatan rakyat kecil dalam aktivitas ekonomi. Berbeda dengan BUMDesa, koperasi
merupakan institusi ekonomi yang bisa melakukan perikatan hukum, baik akses kredit
di bank maupun kontrak kerja. Tetapi ada satu pertanyaan, mengapa koperasi sudah
lama tumbuh, namun rakyat desa (petani, nelayan, peternak, perajin dan sebagainya)
masih tetap lemah? Apakah rakyat desa tidak berdaya tidak mampu mengorganisir
dirinya ke dalam koperasi?
Selama ini perbincangan tentang ekonomi lokal, ekonomi rakyat, UMKM maupun
koperasi menggunakan logika bahwa pelaku ekonomi termasuk petani dan aktor lain
sebagai pelaku rasional. Pandangan ini serupa dengan tesis Samuel Popkin (1979)
bahwa petani adalah orang-orang yang rasional. Mereka pun ingin menjadi kaya,
seandainya mereka memiliki akses yang lebih besar terhadap pasar. Karena itu,
komersialisasi pertanian akan memperbaiki harkat hidup orang banyak. Petani adalah
orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional. Petani ingin mendapatkan akses
ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi. Kalau
mereka tidak kaya karena petani berada dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Para
tengkulak selalu mengahalangi petani untuk masuk ke pasar.
Analisis ekonomi politik Popkin benar tetapi dia tidak melihat kenapa petani tidak
mengorganisir diri menjadi kekuatan tunggal yang solid dan mampu menembus pasar.
James Scott (1976) berkata lain. Scott mengambil pendekatan ekonomi moral untuk
memahami persoalan petani. Scott menyatakan bahwa petani menganut gaya hidup
gotong royong, tolong menolong dan melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif.
Sikap ini disebabkan karena struktur kehidupan petani yang terjepit, dan harus
menyelamatkan diri. Para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian
membagi secara sama rata (bagita, kata orang Yogya) apa yang terdapat di desa,
karena mereka percaya pada hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.
Karena itu dikenal sistem bagi hasil (share holding). Ada mekanisme selamatan yang
dilakukan oleh para petani kaya untuk membagi rezeki dengan orang desa. Intensifikasi
pertanian dan komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap sebagai ancaman oleh para
petani yang nyaman dengan kondisinya.
Cara pandang Scott penting untuk memahami bahwa petani atau aktor-aktor lain di
desa merupakan makhluk sosial yang membutuhkan modal sosial dan patron. Tetapi
ketika terjadi hubungan personal dengan pola patron-klien antara petani dengan orang
kaya maka para petani sulit untuk berubah. Menurut Kurtz (2000), teori ekonomi
moral tidak berlaku dalam kasus modern atau dimana individualisasi tinggi, adanya
transisi ke kapitalisme, dan dimana struktur komunitas masyarakat sudah lemah.
Namun, teori pilihan rasional juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan
perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan
keputusan petani, juga ketika masalah penumpang gelap tidak signifikan
mempengaruhi tindakan kolektif. Di sisi lain, Hayami dan Kikuchi (1987) menerima Scott
maupun Popkin, namun menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat petani pada
dasarnya adalah saling tolong menolong pada kondisi aras subsistens, tetapi petani
juga menganut pemikiran rasional ala petani (rational peasant). Pandangan ini senada
dengan Boeke (1974), bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial daripada
ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited
needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa
harus memaksakan keinginan lebih daripada yang mereka miliki. Namun, karena
banyak petani sesungguhnya terlibat dalam ekonomi subsisten sekaligus dengan
ekonomi kapitalis; maka mereka tentu menetapkan prinsip rasional juga.
Petani dan nelayan itu memang merupakan pelaku ekonomi sehingga bisa disebut
sebagai sektor privat yang berupaya memaksimalkan keuntungan. Tetapi yang paling
menonjol, petani dan nelayan merupakan bagian dari komunitas lokal yang mempunyai
posisi dan wajah sosial. Sebagai pelaku ekonomi lokal, para petani dan nelayan sangat
terikat dengan institusi lokal. Mereka saling membangun interaksi atau komunikasi
dalam sebuah masyarakat yang terbentuk secara alami dan kontinyu dalam satu
daerah/lokasi. Menurut Norman Uphoff (1992), institusi lokal baik lembaga maupun
pranata lokal berfungsi untuk menciptakan kesempatan bersama dalam melakukan
aksi kolektif dan tolong menolong atau gotong royong (mutual assistance) sebagai
upaya menggerakkan dan mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan
berkelanjutan.
Dengan demikian tampak bahwa orang desa (petani, nelayan, peternak) sangat mudah
untuk bekerjasama tetapi sulit untuk berusaha bersama. Karena itu mereka sulit
membangun usaha kolektif dalam wadah koperasi, kecuali kalau ada pihak lain atau
patron yang mengorganisir mereka. Tentu dalam hal ini bukanlah patron yang
menghisap mereka. Jika petani kaya mengorganisir mereka ke dalam koperasi untuk
membentuk aksi kolektif maka petani kaya itu akan hadir sebagai penumpang gelap
yang melakukan elite capture, sebagaimana sering terjadi dalam kasus gabungan
kelompok tani (gapoktan).
Dalam kontek itu dibutuhkan sentuhan kelembagaan ekonomi yang peka terhadap
persoalan modal sosial, solidaritas, gotong royong, kolektivitas, dan patron yang
terlembagakan secara formal. Jika koperasi tidak mampu mengorganisir karena
antipatron, maka BUMDesa yang digerakkan oleh kepala desa dan terlembagakan
melalui musyawarah desa, menjadi jawaban atas keterbatasan koperasi maupun
pendekatan kelompok tani. Berbeda dengan orang kaya yang menjadi patron personal,
kepala desa akan hadir sebagai patron institusional bagi orang desa (petani, nelayan,
peternak). Kepala desa memang juga elite lokal yang berkepentingan dengan ekonomi
seperti halnya orang kaya, tetapi kepentingan ekonomi kepala desa bisa ditukar dengan
insentif politik jika dia berpihak dan mengorganisir orang desa. Jika kepala desa tidak
mempunyai inisiatif, maka aktor-aktor lain seperti BPD bisa mendorong kepala desa
untuk hadir sebagai patron institusional. Dalam konteks ini BUMDesa bisa menjadi
institusi alternatif yang melakukan konsolidasi atas aktor, aset dan akses petani
(maupun aktor lain) menjadi lebih kuat, mulai dari memperkuat skala ekonomi dari
subsisten ke produktif, hingga kekuatan untuk negosiasi dengan kekuatan pasar.
BUMDesa misalnya bisa membangun lumbung pangan yang antara lain menjalankan
strategi tunda jual di musim panen sebagai bentuk negosiasi dengan para tengkulak.
BUMDesa mengandung layanan sosial dan usaha ekonomi. Layanan sosial dalam
konteks ini mempunyai dua makna dan bentuk sekaligus. Pertama, BUMDesa yang
mempunyai usaha sosial seperti badan layanan umum. BUMDesa air bersih atau air
minum merupakan contoh terkemuka, yang memberikan palayanan sosial dasar kepada
seluruh orang desa tanpa kecuali, sekaligus juga memperoleh surplus untuk
pendapatan asli desa. Kedua, usaha ekonomi yang berwatak sosial, yakni melayani
kepentingan orang desa. Sebagai contoh, LPD di Bali memberikan layanan sosial
(perumahan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya) dan memfasilitasi modal bagi
orang desa untuk bertani maupun usaha lainnya. Desa Bleberan Gunungkidul
mempunyai tiga unit usaha BUMDesa: (a) BUMDesa air bersih yang mengutamakan
layanan sosial dasar tetapi juga memperoleh bonus pendapatan asli desa; (b) BUMDesa
LKM yang menjalankan fungsi sosial dan ekonomi; (c) dan desa wisata Sri Getuk yang
mampu mengonsolidasikan potensi ekonomi beragam pelaku ekonomi dan mengejar
surplus ekonomi.