You are on page 1of 8

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Endometrioma
3.1.1 Definisi
Ovarian endometrioma merupakan subtipe endometriosis yang terjadi
pada ovarium. Ovarian endometrioma adalah kista jinak yang berhubungan
dengan estrogen dan terdapat pada wanita usia reproduktif.

3.1.2 Etiologi
Hingga saat ini penyebab endometrioma masih belum diketahui secra
pasti, oleh karena belum ada satupun teori yang sempurna dan dapat menerangkan
penyebab terjadinya endometrioma. Beberapa teori yang dapat menerangkan
proses terjadinya endometrioma tersebut adalah 6:
a. Teori implantasi dan regurgitasi
Teori Sampson ini menyebabkan bahwa darah haid dapat mengalir dari kavum
uteri melalui tuba fallopi ke rongga pelvis. Kelemahan teori tersebut adalah belum
dapat menerangkan mengenai terdapatnya endometrioma diluar rongga pelvis.
b. Teori Metaplasia sel-sel coelom
Meyer mengemukakan teori metaplasia sel-sel coelom sebagai penjelasan dari
istiogenesis endometrioma. Beliau menyimpulkan bahwa mesotelium peritoneal
dapat mengalami metaplasia berubah menjadi endometrium sebagai akibat iritasi
dan infeksi. Secara embriologis hal ini benar karena epitel germinativum ovarium,
endometrium, peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama.
c. Teori Diseminasi Hematogen Limfatik
Teori yang dikemukakan Halban ini dapat menjelaskan adanya endometrium yang
ditemukan dari rongga pelvis seperti paru, ginjal dan organ lainnya.
d. Teori Imunologi
Dewasa ini faktor imunologi mulai banyak dibicarakan pra ahli sebagai salah satu
faktor penyebab terjadinya endometrioma. Banyak ahli8 berpendapat bahwa

10
endometrioma termasuk penyakit autoimun, karena banyak memenuhi kriteria
sebagai beriikut :
Lebih banyak ditemukan pada wanita
Bersifat familier
Melibatkan multi organ
Berbagai penelitian pendahuluan mengemukakan besarnya peran imunologi dalam
kejadian endometrioma. Para peneliti mendapatkan peningkatan respons imunitas
humoral dan aktivitas makroffag. Penurunan fungsi NK cell dan T-cell serta
peningkatan level autoantibodi.
e. Teori Genetik
Teori ini menjelaskan bahwa kejadian endometrioma bersifat familier dan
menunjukkan suatu pola multifaktorial yang diturunkan. Tetapi hingga saat ini
belum jelas gen mana yang terkait dan bersama dengan faktor lingkungan barulah
fenotipe endometrioma ini muncul.

3.1.3 Patologi
Patologi mengenai ovarian endometrioma masih merupakan kontroversi,
akan tetapi terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan mengenai patologi ovarian
endometrioma tersebut.
a. Invaginasi sekunder korteks ovarium pada lokasi perdarahan implantasi
Teori ini dikemukakan oleh Hugheston pada tahun 1957. Implantasi
endometrium pada permukaan ovarium menyebabkan terjadinya
endometrioma. Jaringan menstruasi dan perdarahan dari endometrium
terperangkap dan menyebabkan invaginasi pada korteks ovarium dan
menghasilkan pseudokista. Teori ini penting untuk pengobatan
endometrioma karena korteks ovarium berada pada bagian dalam dari
dinding pseudokista sehingga korteks ovarium sering terlewati pada saat
melakukan eksisi dari kista.
b. Invaginasi dari metaplasia epitel selom di korteks ovarium.
Menurut Donnez, penyebab berulangnya kejadian endometrioma setelah
eksisi adalah invaginasi jaringan endometrium pada ovarium.

11
c. Transformasi dari kista fungsional endometrium

3.1.4 Diagnosis
Endometrioma dapat terjadi unilateral atau bilateral. 28% pasien memiliki
bilateral endometrioma. Wanita dengan endometrioma memiliki gejala yang sama
dengan endometrioma, termasuk dispareunia dan atau subfertilitas. Ovarian
endometrioma berhubungan dengan infiltrasi endometriosis yang dalam sehingga
menyebabkan nyeri pelvik kronik.
Standar baku emas untuk mendiagnosis ovarian endometrioma adalah
laparoskopi. Transvaginal sonografi dapat digunakan untuk mendiagnosis awal
adanya ovarian endometrioma dan membantu membedakan dengan tumor jinak
ovarium lainnya dengan tipe homogen low-level internal echo dan berdinding
tebal. Transvaginal sonografi memiliki sensitifitas 73% dan spesifisitas 94%.
Transvaginal sonografi juga mampu mendeteksi adanya adhesi pelvik sehingga
dapat membantu menentukan pengobatan. Color Doppler dapat menunjukkan
vaskularisasi massa dan endometrioma memiliki tipe aliran perifer. USG 3D
memiliki sensitifitas 80% dan spesisfisitas 91%. Sedangkan MRI dapat lebih
cepat membedakan ovarian endometrioma dengan kista lainnya.

3.1.5 Manifestasi klinis


Pada umumnya wanita dengan endometrioma tidak memiliki gejala.
Gejala pada umumnya terjadi ketika menstruasi dan bertambah hebat setiap
tahunnya karena pembesaran daerah endometrioma. Gejala yang paling sering
terjadi adalah nyeri panggul, dismenorhea (nyeri ketika menstruasi), dispareunia
(nyeri ketika senggama), dan infertilitas (gangguan kesuburan, tidak dapat
memiliki anak)
a. Nyeri Panggul
Nyeri yang berkaitan dengan emdometrioma adalah nyeri yang dikatakan
sebagai nyeri yang dalam, tumpul atau tajam, dan biasanya nyeri bertambah ketika

12
menstruasi. Pada umumnya nyeri terdapat di sentral dan nyeri yang terjadi pada
satu sisi berkaitan dengan lesi ( luka atau gangguan ) di indung telur atau dinding
samping panggul. Dispareunia terjadi terutama pada periode premenstruasi dan
menstruasi. Nyeri saat berkemih dab dyschezia dapat muncul apabila terdapat
keterlibatan saluran kemih atau saluran cerna6.
b. Dismenorhea
Nyeri ketika menstruasi adalah keluhan paling umum pada
endometrioma6.
c. Infertilitas
efek endometrioma pada fertlitas (kesuburan) terjadi karena gangguan pada
lingkungan rahim sehingga perlekatan sel telur yang sudah dibuahi pada dinding
rahim menjadi terganggu. Pada endometrioma yag sudah parah, terjadi perlekatan
pada rongga panggul, saluran tuba, atau indung telur yang dapat mengganggu
transportasi embrio6.

Tanda dan gejala endometrioma antara lain6 :


1. Nyeri
- Dismenorhea sekunder
- Dismenorhea primer yang buruk
- Dispareunia : Nyeri ovulasi
- Nyeri pelvis terasa berat dan nyeri menyebar ke dalam paha dan nyeri pada
bagian abdomen bawah selama siklus menstruasi
- Nyeri akibat latihan fisik atau selama dan setelah hubungan seksual
- Nyeri pada saat pemeriksaan dalam
2. Perdarahan abnormal
- Hipermenorhea
- Menorhagia
- Spotting sebelum menstruasi
- Darah menstruasi berwarna gelap yang keluar sebelum menstruasi atau di akhir
menstruasi

13
3.1.6 Terapi Medikamentosa
3.1.6.1 Non steroidal anti inflamatory (NSAID)
Penggunaan obat-obatan anti inflamatory digunaan secara luas untuk nyeri
kronik dan merupakan terapi lini pertama untuk endometrioma. Pada pengkajian
yang dilakukan oleh Cochrane bahwa NSAID efektif untuk mengatasi nyeri yang
disebabkan oleh endometrioma. Pada studi eksperimental, NSAID digunakan
untuk terapi endometrioma, tujuan utamanya adalah manajemen nyeri.
Indometacin juga berguna untuk sedikit menekan pertumbuhan kista
endometrioma dan meningkatkan fertilitas5.

3.1.6.2 Progestin
Progestin telah lama digunakan untuk terapi endometrioma dengan cara
kerja menghambat emdometrial (yang akhirnya menghambat pertumbuhan
jaringan endometriosis). Pada awalnya bekerja dengan memicu desidualisasi,
kemudian atrofi. Pada dosis yang tinggi dapat menghambat seksresi gonadotropin
pituitary dan ovulasi, yang kemudian menyebabkan amenorrhea. Beberapa
progestin yang berbeda telah digunakan secara efektif untuk mengobati nyeri
(dismenorhea, dispareunia, nyeri intermenstrual) yang berkaitan dengan
endometrioma.5

3.1.6.3 Kontrasepsi oral


Kontrasepsi oral menyebabkan desidualisasi pada jaringan endometrium
yang kemudian dalam beberapa bulan diikuti dengan atrofi jaringan endometrium.
Pada penelitian, tidak ada perbedaan kontrasepsi monofasik dosis rendah dengan
GnRH analog setelah penggunaan selama 6 bulan dalam mengurangi dispareunia
dan nyeri pelvis nonmenstrual pada wanita dengan endometrioma. Penelitian yang
terbaru dengan double blind RCT, menyatakan bahwa kontrasepsi oral dosis
rendah dapat mengurangi bahaya dismenorhea pada wanita dengan endometrioma.

14
Penggunaan setelah operasi konservatif pada endometrioma, pil
kontrasepsi oral dapat mengurangi resiko dismenorhea yang berulang dan resiko
endometrioma yang berulang5.

3.1.6.4 Danazol
Penggunaan danazol dalam mengobati keluhan nyeri pada wanita dengan
endometrioma telah dikemukakan sejak tahun 1970. Merupakan derivate isoxazol
dari 17-ethyniltestosterone. Bekerja dengan cara mensupresi axis hipotalamik
pituitari melalui berkurangnya pulsasi GnRH dan hambatan terhadap lonjakan LH
pada midcycle. Dosis danazol yang disarankan antara 200 800 mg per hari,
efektif dalam mengurangi keluhan dan gejala dari endometriosis. Pada penelitian
secara RCT, ditemukan kemiripan dalam perbaikan keluhan nyeri dan mengurangi
perluasan implantasi endometrioma. Tapi efek samping berupa bertambahnya
berat badan, nyeri otot, buah dada atrofi, keluhan vasomotor, kulit berminyak,
jerawat, hirsutisme, perubahan suara dan perubahan lemak. Pada percobaan
penggunaan danazol dosis rendah ( 5 mg per hari ) sama efektifnya dalam
mengurangi dismenorhea, dispareunia dalam, nyeri pelvis nonmenstrual dan
kehilangan darah saat menstruasi. Efek samping penggunaan danazol ditemukan
pada 62% subyek, tetapi masih dapat ditoleransi dan tidak pernah ditemukan
terjadinya withdrawl5.

3.1.6.5 Gonadotropin Releasing Hormone Analogues (GnRH)


GnRH bekerja dengan tujuan untuk meningkatkan afinitas reseptor dan
mencegah degradasi GnRH. Aktifasi ini menyebabkan aktifasi persisten reseptor
GnRH, aktifasi ini diteruskan dengan produksi GnRH dan mengaktifasi pituitary.
Namun selanjutnya hal ini dapat menyebabkan down regulation reseptor GnRH,
selanjutnya terjadi supresi sekrsi GnRH. Hingga akhirnya terjadi penurunan
produksi dari hormone seks steroid pada ovarium sampai seperti setelah dilakukan
kastrasi. Keadaan hipoesterogenik ini yang digunakan untuk menekan genesis,
keseimbangan dan pertumbuhan endometrioma5.

15
3.1.7 Terapi operatif
Terapi operatif dengan membuang jaringan endometrioma dan
pengaruhnya pada fertilitas dan terapi untuk fertilitas selanjutnya masih menjadi
perdebatan. Beberapa studi menyebutkan bahwa dengan membuang jaringan
endometrioma dapat memperbaiki fertilitas. Namun sebaliknya, tindakan operatif
dapat berakibat pada respon ovarium terhadap Gonadotropin sehingga folikel
yang diambil menjadi sedikit. Resiko lain secara teori disebutkan bahwa
membuang jaringan endometrioma secara operatif dapat menyebabkan hilangnya
jaringan ovarium normal. Selanjutnya hal tersebut dapat berpotensi merusak aliran
darah terhadap ovarium, yang dapat menyebabkan berkurangnya jaringan ovarium
yang fungsional. Namun beberapa penelitian tidak mendukung teori tersebut.
Terbukti dengan terjadinya kehamilan secara spontan setelah terapi laparaskopi.
Namun menjadi perdebatan kembali ketika setelah membuang jaringan
endometrioma secara operatif menurunkan respon ovarium terhadap terapi
fertilitas, terutama IVF5.
Dari Guideline For Diagnosis And Treatment Of Endometrioma
menyatakan bahwa kistektomi laparaskopi untuk endometrioma dengan diameter
> 4 cm, dapat memperbaiki infertilitas dibanding dengan drainase dan koagulasi.
Koagulasi dan laser vaporization tanpa eksisi meningkatkan rekurensi pada kista.
Pada review Cochrane yang membandingkan teknik operasi eksisi dibandingkan
dengan ablasi. Hasilnya kehamilan spontan terjadi setelah eksisi lebih tinggi.
Mengenai rekurensi pada endometrioma setelah kistektomi, faktor usia
tidak mempengaruhi namun faktor ukuran kista mempengaruhi. Dinyatakan juga
bahwa baik laparaskopi maupun laparatomi mempunyai resiko yang sama dalam
kejadian rekurensi endometrioma5.
Studi terbaru menyatakan bahwa terapi medikamentosa preoperatif
berkaitan dengan tingginya angka rekurensi endometrioma setelah laparaskopi.
Dijelaskan dengan 2 kemungkinan yaitu terapi medikamentosa dapat menutupi
(masking) lesi endometrioma dan menyebabkan tidak terampil pada saat

16
pengambilan jaringan yang akan dibuang. Kemungkinan selanjutnya adalah
medikasi yang dapat menyebabkan kondisi laten yang akan muncul kembali
setelah operasi5.

DAFTAR PUSTAKA
1. Raden PB. Endometriosis. Dalam: Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2009; 316-27
2. ESHRE. Management of Women with Endometriosis. Guideline of the
European Society of Human Reproduction and Embryology. ESHRE
Endometriosis Guideline Development Group. Sept, 2013.
3. Endometriosis. The American College of Obstetricians and
Gynecologist. October, 2012. Available from: www.acog.org
4. Suradji S. Infertilitas. Dalam: Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2009; 496-9
5. Muzii L. MD, et al, Post Operatif Adminstration of Monophosit
Combined Oral Conotraceptives After Laparoscopy TC Treatment of
Ovarian Endometrioma S : A Pospectives, Randomized Trial. Am J
Obstet Gynecol, 2010 : 183 : 588 92
6. Bumpers Harvey L, et al. Endometrioma of Abdominal Wall. Am I,
Obstet Gynecol 2009; 187 : 1709 - 10

17

You might also like