Professional Documents
Culture Documents
TETANUS
Oleh:
Jennifer Liklyndia
Yoga Indrawan
Pembimbing:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit yang akut, sering fatal, yang disebabkan oleh
eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Tetanus terjadi di seluruh dunia,
namun paling sering terjadi pada populasi dengan iklim panas dengan tanah yang kaya
akan kandungan mineral. Biasanya bakteri ini ditemukan di tanah dan saluran cerna hewan
dan manusia. Transmisinya dengan luka yang terkontaminasi. Tetanus juga dapat terjadi
pada operasi, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka kecelakaan, otitis media, infeksi gigi,
Selama tahun 2001 sampai 2008, di Amerika Serikat, total 233 kasus tetanus
dilaporkan, dengan 49% terjadi pada usia 50 tahun atau lebih, dan 59% terjadi pada laki-
laki. Pada kasus tetanus yang dilaporkan, biasanya terjadi pada seseorang yang belum
pernah tervaksinasi atau seseorang yang telah tervaksinasi namun tidak melakukan booster
Karakteristik dari penyakit ini adalah kaku seluruh tubuh dan spasme konvulsif dari
otot skeletal. Kaku otot biasanya melibatkan dagu dan leher, kemudian menjadi kaku ke
seluruh tubuh. Diagnosis tetanus ditegakkan melalui manifestasi klinis. TIdak ada
pada orang dewasa memerlukan satu dari trismus, risus sardonikus, atau kontraksi otot
yang sangat nyeri. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayat cedera atau luka (WHO,
2010). Komplikasi yang terjadi dapat berupa spasme laring dan otot nafas, pneumonia
aspirasi, dan emboli paru (CDC, 2015). Mengingat angka kematian yang masih tinggi dan
dapat mengancam jiwa, maka diperlukan ketrampilan diagnosis dan terapi yang tepat.
1.3 Tujuan
1 Mengetahui definisi, epidemiologi, dan faktor resiko tetanus.
2 Mengetahui patofisiologi tetanus.
3 Mengetahui manifestasi klinis, cara mendiagnosis dan diagnosis banding tetanus.
4 Mengetahui tatalaksana dan komplikasi tetanus.
1.4 Manfaat
1 Dapat memberikan khasanah ilmu pengetauan tentang tetanus
2 Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta melakukan
penatalaksanaan tetanus bagi para tenaga kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin
spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
2.2 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).
kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran
hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti
luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau
selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan
tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak
mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi
adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling tengah,
pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi
usia tua. Survey serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan
antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika
Serikat di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11
tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30%
individu berusia di atas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi
2.3 Etiologi
Tetanus merupakan penyakit yang akut dan seringkali beraibat fatal yang disebabkan
oleh eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani
merupakan bakteri batang gram positif anaerob yang dapat membentuk sporan pada
panas dan tidak dapat bertahan dengan adanya oksigen. Sebaliknya, Clostridium tetani
dalam bentuk spora sangat tahan panas dan antiseptik yang biasa dipakai. Spora dapat
bertahan pada autoklaf dengan suhu 121C selama 10-15 menit. Spora juga relatif tahan
terhadap phenol dan agen kimia lainnya. Spora Clostridium tetani banyak tersebar pada
tanah dan usus serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi dan ayam. Tanah
neurotoksin yang menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin ialah salah satu
toksin paling poten yang pernah diketahui. Dosis letal minimal terhadap manusia ialah 2.5
2.4 Patofisiologi
Clostridium tetani adalah basil gram positif, motil, anaerob obligat. Bakteri ini tidak
berkapsul dan membentuk spora yang resisten pada panas dan desinfeksi. Sporanya
terletak di ujung basil. Bakteri ini ditemukan di tanah, debu, usus hewan, dan feses. Spora
dapat bertahan pada jaringan normal dari bulan sampai tahun. Untuk berkembang, spora
memerlukan kondisi anaerob, seperti luka. Selama berkembang, bakteri ini dapat
mengeluarkan toksin. Ketika kondisi anaerob terjadi, spora memproduksi 2 jenis toksin,
yakni tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin adalah substansi hemolisin tanpa aktivitas
patologis yang jelas. Tetanospasmin merupakan toksin yang bertanggung jawab pada
manifestasi klinis tetanus; berdasarkan beratnya, toksin ini merupakan toksin yang paling
potensial, dengan dosis letal minimal diperkirakan 2,5 ng/kg BB. Tetanospasmin memiliki
berat 150-kd yang terdiri dari rantai berat 100 kd dan rantai ringan 50 kd yang dihubungkan
Toksin tetanus rantai berat berikatan dengan motor neuron presinaps dan membuat
lubang untuk masuknya rantai ringan pada sitosol (Yeh et al, 2010). Kemudian toksin masuk
ke dalam terminal saraf dari motor neuron bagian bawah, sel saraf yang mengaktifkan otot
VAMP) yang diperlukan untuk mengeluarkan neurotransmitter dari sel saraf melalui fusi
vesikel sinaps dengan membrane plasma. Gejala lokal awal dari infeksi tetanus dapat
berupa paralisis flaccid, yang disebabkan pengaruh dari pengeluaran asetilkolin dari vesikel
yang ekstensif pada akson motor neuron bagian bawah dan mencapai korda spinalis atau
batang otak dalam 2-14 hari. Dalam hal ini, toksin ditransportasikan melewati sinaps dan
masuk ke dalam saraf glycinergic atau GABAergic inhibitor yang mengontrol aktivitas motor
neuron bagian bawah. Ketika berada di dalam terminal saraf inhibitor, toksin tetanus
menempel pada VAMP, yang menghambat keluarnya GABA dan glycine. Hasilnya adalah
denervasi fungsional sebagian pada motor neuron bagian bawah, yang menyebabkan
hiperaktivitas dan meningkatkan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme (Hassel,
2013). Ketika toksin menempel pada neuron, toksin tidak dapat dinetralisir dengan
antitoksin.
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,
kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan
masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah
mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang
terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus local tipe
sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang
terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus memperhatikan apabila
adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus. Yang paling sering
terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa oleh pasien adalah kaku
otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus) selanjutnya timbul
opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku punggung. Selain
dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena kaku otot wajah dan
keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita terganggu dengan proses menelan ( Harrisons,
2008).
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak
terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa
nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan
anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi
berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang
Harrisons, 2008).
A. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang
terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan
retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan
menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh ( Harrisons,
2008).
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus
stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur ata
ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat
generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi
berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan
spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki jalan napas akut
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh.
Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai. Spasme
dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di
daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya
tinggi.
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan
resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan
meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi
(high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik ( Harrisons, 2008).
B. Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu
yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan tali
pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus.
Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas
dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang
terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup
(Harrisons, 2008).
C. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas
hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan
disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Secara umum, letak cedera lanjutan pada tetanus adalah dari sistem saraf pusat, semakin
lama periode inkubasi. Periode inkubasi yang lebih pendek berhubungan dengan resiko
kematian yang lebih tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala Muncul biasanya 4-14 hari setelah
Diagnosis tetanus ditegakan atas dasar temuan klinis. Tetanus meiliki tiga bentuk
klinis yaitu lokal (tidak biasa), cephalic (jarang) dan umum/ generalized (paling sering).
Tetanus lokal adalah bentuk jarang dari penyakit, di mana pasien memiliki kontraksi terus-
menerus dari otot-otot di sama daerah anatomi sebagai manifestasi dari cedera saraf.
Kontraksi ini dapat bertahan secara bertahap selama berminggu-minggu sebelum mereda.
Tetanus lokal mungkin mendahului timbulnya tetanus umum tetapi umumnya lebih ringan.
Hanya sekitar 1% dari kasus yang fatal. Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang terjadi,
kadang-kadang terjadi dengan otitis media (infeksi telinga). Ada keterlibatan saraf kranial,
Jenis yang paling umum terjadi (sekitar 80%) dari tetanus yang dilaporkan ialah
stetanus umum (generalized). Tanda pertama adalah trismus atau kejang mulut, diikuti oleh
kekakuan leher, kesulitan menelan, dan kekakuan otot perut. Gejala lain termasuk demam,
berkeringat, tekanan darah tinggi, dan takikardi. Kejang mungkin sering terjadi beberapa
menit. Kejang dapat terus terjadi selama 3-4 minggu. Pemulihan lengkap dapat memakan
kekakuan pada mulut (trismus / lockjaw) dan kekakuan leher, kesulitan menelan, retraksi
kepala, opistotonus (kekakuan otot punggung), kekakuan pada otot perut dan gangguan
respirasi. Temuan klinis lain yang dapat ditemukan pada tetanus yang merupakan akibat dari
Gambar 2.1 Opistotonus akibat spasme otot punggung pada tetanus umum (Davis &
Stoppler, 2015).
Pada pemeriksaan fisik untuk pasien tetanus, dapat dilakukan uji spatula. Uji spatula
dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung
lembut dan steril. Hasil uji yang positif akan menimbulkan kontraksi pada otot rahang secara
involunter, sehingga pasien akan menggigit spatula. Hasil pemeriksaan negatif akan
menimbulkan refleks muntah. Berdasarkan The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifitas tinggi (tidak ada positif palsu) dan
Penegakan diagnosis tetanus ditentukan berdasarkan klinis yang tampak pada pasien, tidak
berdasarkan temuan konfirmasi bakteriologi. Clostridium tetani dari luka hanya ditemukan
sebanyak 30% dari total kasus dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memiliki tetanus.
(CDC, 2011)
1) Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2) Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
3) Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang
bersifat klonik.
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya
6) Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher
2.9 Tatalaksana
E. Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan
pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau
disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan
secara dini (Sudoyo,2006).
H. Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan kebutuhan gizi
yang meningkat dengan pemberian enteral maupunmparenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan
gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi
(Sudoyo,2006).
I. Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus
(Sudoyo,2006).
Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika
ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek
sedasi yang diinginkan (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat,
dan nefritis.
Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,
karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.
Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.
Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem
hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek
samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.
Baklofen
Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental
untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam.
Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12
jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa
Kontraindikasi: hipersensitifitas
Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.
Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.
Penisilin G
Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat menyebabkan anemia
hemolititk dan neurotoksisitas (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis
Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.
Metronidazol.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke dalam
sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi
selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotik pada
terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat
efek toksin (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari
4 gr/hari.
Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2
gr/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.
Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan
neuropati perifer.
Vekuronium.
Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan
terjadinya paralisis muskuler (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila
pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis:
0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.
Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun:
mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementamungkin
membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih sering, > 10
tahun: seperti dosis biasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.
Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi,
blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan
steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade berkpenjangan
walaupun obat telah distop.
Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil
vekuronium akan memberikan efek yang kuat.
2.10 Pencegahan
Pencegahan tetaus ialah hal yang penting karena tatalaksana untuk seseorang yang
telah terinfeksi spora tetanus yang selanjutnya akan menghasilkan bakteri dan memproduksi
spasme otot, antibiotik untuk mengatasi bakteri dan perawatan luka. Sayangnya, sekitar dua
Sebenarnya, pencegahan utama untuk tetanus ialah imunisasi dan perawatan luka.
Terdapat dua tipe imunisasi yaitu aktif dan pasif. Untuk pencegahan secara primer dapat
diberikan imunisasi aktif. Imunisasi Aktif yang dapat diberikan untuk pencegahan tetanus di
b Vaksin Jerap DT
Vaksin DT merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri murni yang teradsorbsi kedalam
aluminium fosfat. Tiap dosis (0,5ml) vaksin mengandung 20Lf toxoid difteri murni dan 7,5
toksoid tetanus murni. Zat tambahan yang diberikan pada vaksin berupa 1,5 mg aluminium
fosfat dan 0,05mg Thimerosal. Vaksin jerap DT digunakan untuk mencegah penyakit tetanus
dan difteri secara simultan, dengan cara merangsang antibodi dalam tubuh terhadap tetanus
dan difteri (Ranuh et al, 2014).
Vaksin DT direkomendasikan untuk anak-anak dibawah usia 7 tahun, terutama jika
terjadi kontraindikasi terhadap komponen pertusis pada vaksin DTP. Imunisasi primer terdiri
dari 3 dosis 0,5ml disuntikkan secara intramuskular. Suntikan pertama dan kedua dengan
masa antara 4-6 minggu, suntikan ketiga 6 bulan berikutnya. DT dapat diberikan bersamaan
dengan vaksin BCG, Campak, Rubella, Mumps, Polio, Hepatitis B, hib, dan yellow fever,
pada lokasi penyuntikan yang berbeda. Dapat digunakan sebagai booster pada usia pra
sekolah dan sekolah (Proverawati, 2010).
Efek samping vaksin ini berupa kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat
sementara, sindroma Guillain Barre dan kadang demam. Dosis kedua DT tidak boleh
diberikan apabila anak menderita reaksi berat terhadap dosis sebelumnya. Vaksin juga tidak
boleh diberikan bila terjadi hipersensitif terhadap komponen vaksin. Individu berusia lebih
dari 7 tahun direkomendasikan menggunakan vaksin jerap khusus untuk dewasa, yatu
vaksin Td. Vaksin DT dalam kemasan vial dosis ganda yang telah diambil satu dosis atau
lebih untuk imunisasi, dapat disimpan dan digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya
sampai dengan 4 minggu, jika semua kondisi yang dipersyaratkan dipenuhi, yaitu tidak
dibekukan, disimpan pada suhu +2 s/d +8oC , dan sebelum masa kadaluwarsa yaitu 2 tahun
(Proverawati, 2010).
c Vaksin TT
Vaksin TT merupkan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas, mengandung toksoid tetanus murni, teradsorbsi kedalam aluminium fosfat. Tiap dosis
mengandung 10Lf toksoid tetanus murni dengan Alumunium fosfat dan thimerosal sebagai
zat tambahan. Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap tetanus dan perlindungan
terhadap tetanus pada wanita usia subur (Ranuh et al, 2014).
Imunisasi TT untuk neonatus terdiri dari 2 dosis primer yang diberikan secara
intramuskuler dengan interval 4-6 minggu, diikuti dengan dosis ketiga 6 bulan berikutnya.
Vaksin ini dapat diberikan bersamaan dengan BCG, Campak, Hib, dan yellow fever pada
lokasi penyuntikan yang berbeda, serta suplemen vitamin A. Efek samping bersifat ringan
dan jarang, seperti sakit dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara serta
kadang demam. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada reaksi berat terhadap dosis vaksin TT
sebelumnya, hipersensitif pada komponen vaksin, dan imunisasi sebaiknya tidak diberikan
saat demam atau infeksi akut. Pada demam ringan, seperti pada infeksi pernafasan bagian
atas, imunisasi dapat diberikan. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada orang dengan
defisiensi sistem kekebalan (WHO, 2009).
Vaksin TT dalam kemasan vial dosis ganda yang telah diambil satu dosis atau lebih
untuk imunisasi dapat disimpan dan digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya sampai
dengan 4 minggu, jika semua kondisi penyimpanan terpenuhi, yaitu tidak dibekukan,
disimpan pada suhu +2 s/d +8oC , dan sebelum masa kadaluwarsa yaitu 3 tahun (Ranuh et
al, 2014).
d Vaksin Jerap Td
Vaksin Td merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas, mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri murni dengan komponen difteri
berdosis rendah dan teradsorbsi pada alumunium fosfat. Vaksin ini digunakan untuk
imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7 tahun
(Proverawati, 2010).
Direkomendasikan pemberian 1 dosis vaksin sebagai booster. Pemberian vaksin
Td untuk mengganti vaksin-vaksin yang mengandung difteri dan tetanus harus sesuai
dengan rekomendasi resmi, mengingat rendahnya dosis difteri toksoid dalam vaksin ini.
Penggunaan vaksin Td untuk imunisasi primer serta ibu hamil belum dievaluasi. Dapat
diberikan bersamaan denganvaksin campak, Polio, Hepatitis B, yellow fever pada lokasi
penyuntikan yang berbeda, dan suplemen vitamn A. ACIP (Advisory Commite on
Immunization Practices) merekomendasikan pemakaian jerap tetanus dan toksoid difteri
untuk wanita hamil. Vaksin Td dapat digunakan sebagai imunisasi primer untuk individu
mulai 7 tahun, yang mengalami kontraindikasi terhadap vaksin DTP. Menurut ACIP,
diperlukan 2 dosis vaksin jerap Td dengan penggunaan dosis difteri pada dewasa dengan
minimum interval 4-8 minggu. Pemberian dosis ketiga direkomendasikan paling sedikit 6
bulan setelah dosis ke-2 (Ranuh et al, 2014).
Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa nyeri pada lokasi suntikan dan
demam. Vaksin ini dikontraindikasikan jika adanya reaksi berat terhadap dosis sebelumnya.
Individu yang terinfeksi HIV harus divaksinasi dengan vaksin Td menurut jadwal yang telah
ditetapkan. Vaksin ini bertahan 3 tahun sebelum kadaluwarsa. Vaksin Td dalam kemasan
vial dosis ganda yang telah diambil 1 dosis atau lebih untuk imunisasi dapat disimpan dan
digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya sampai dengan 4 minggu, jika semua kondisi
yang dipersyaratkan dipenuhi (Ranuh et al, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi tetanus terbagi ke dalam imunisasi dasar dan
Berdasarkan pedoman ini, jenis luka perlu dibedakan apakah termasuk jenis luka yang
bersih atau kotor. Selanjutnya perlu ditelusuri riwayat imunisasi dari pasien. Vaksinasi yang
diberikan disesuaikan dengan usia pasien :
- Untuk bayi usia < 6 minggu dan seseorang dengan luka yang bersih dan kecil tidak
ada vaksin maupun Tetanus Imunoglobulin (TIG) yang direkomendasikan.
Untuk luka (terkontaminasi pasir, tanah, feses, saliva, luka tusuk, luka akibat object yang
terlempar atau rusak, gigitan hewan, luka terbakar dan luka akibat radang dingin), bila
riwayat imunisasinya tidak diketahui atau belum mendapatkan imunisasi perlu segera
diberikan vaksin dan TIG. TIG diberikan sebanyak 250 IU secara intra muskular untuk
semua usia dan diberikan juga vaksinasi secara stimultan. Untuk bayi usia < 6 minggu,
pemberian TIG tanpa dialnjutkan pemberian vaksin direkomendasikan pada luka yang kotor.
Pasien dengan HIV positif harus mendapatkan TIG tanpa memedulikan riwayat
2.11 Komplikasi
Laringospasme (spasme pada korda vokalis) dan spasme otot pernafasan dapat
menyebabkan gangguan pernapasan. Patah tulang punggung atau tulang panjang dapat
terjadi pada kontraksi yang berlebihan. Hiperaktivitas pada system saraf otonom dapat
menyebabkan hipertensi dan gangguan irama jantung. Infeksi nosocomial sering terjadi
akibat perawatan di rumah sakit yang lama. Infeksi sekunder termasuk sepsis dapat terjadi
pada pasien yang dipasang kateter urin, pneumonia HAP, dan ulkus decubitus. Emboli paru
merupakan masalah pada pasien usia tua. Pneumonia aspirasi merupakan komplikasi
lambat pada tetanus. Pada beberapa tahun terakhir, tetanus menjadi kasus yang fatal pada
11% orang, biasanya pada pasien usia 60 tahun atau lebih (18%) dan pada pasien yang
KESIMPULAN
1 Tetanus merupakan infeksi yang disebabkan oleh toksin Clostridium tetani. Faktor resiko
terjadinya tetanus diantaranya luka bakar, luka tertusuk, luka paska operasi, dan
kehamilan.
2 Terjadinya tetanus diawali dari produksi toksin oleh bakteri Clostridium tetani yang
kemudian masuk ke dalam motor neuron dan menyebabkan terhanbatnya relaksasi otot
3 Diagnosis dari tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Manifestasi klinis yang sering terjadi yakni trismus, risus sardonicus, dan kontraksi
berlebih pada otot. Diagnosis bandingnya yakni pada meningitis bacterial, poliomyelitis,
dan rabies.
4 Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah mengevaluasi pernapasan, jalan nafas, dan
debridement pada luka. Komplikasi yang terjadi yakni spasme pada laring dan otot nafas.
DAFTAR PUSTAKA
Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis (Tdap) Vaccine from the Advisory Committee on
Hinfey, Patrick B., Ripper, Jill. 2016. Tetanus Clinical Presentation. Online.
2016.
http://www.health.state.mn.us/divs/idepc/diseases/tetanus/hcp/tetwdmgmt.html. Diakses
WHO, UNICEF, World Bank. 2009. State of the worlds vaccines and immunization.
3rd edition. Geneva: World Health Organization.
Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi di
Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Proverawati, Atikah & Setyo, Citra. 2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Purwokerto:Nuha
Medika
Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition.
Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.
Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat penerbitan
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins 2013, 5, 73-83;
doi:10.3390/toxins501007
Yeh FL, Dong M, Yao J, Tepp WH, Lin G, et al. 2010 SV2 Mediates Entry of Tetanus
%2F10.1371%2Fjournal.ppat.1001207.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Epidemiology and Prevention of