You are on page 1of 27

RESPONSI

TETANUS

Oleh:

Jennifer Liklyndia

Sitti Ayu Hemas N.

Yoga Indrawan

Pembimbing:

dr. Heri Sutanto Sp.PD

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus merupakan penyakit yang akut, sering fatal, yang disebabkan oleh

eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Tetanus terjadi di seluruh dunia,

namun paling sering terjadi pada populasi dengan iklim panas dengan tanah yang kaya

akan kandungan mineral. Biasanya bakteri ini ditemukan di tanah dan saluran cerna hewan

dan manusia. Transmisinya dengan luka yang terkontaminasi. Tetanus juga dapat terjadi

pada operasi, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka kecelakaan, otitis media, infeksi gigi,

gigitan binatang, aborsi dan kehamilan (CDC, 2015).

Selama tahun 2001 sampai 2008, di Amerika Serikat, total 233 kasus tetanus

dilaporkan, dengan 49% terjadi pada usia 50 tahun atau lebih, dan 59% terjadi pada laki-

laki. Pada kasus tetanus yang dilaporkan, biasanya terjadi pada seseorang yang belum

pernah tervaksinasi atau seseorang yang telah tervaksinasi namun tidak melakukan booster

setiap 10 tahun (CDC, 2015).

Karakteristik dari penyakit ini adalah kaku seluruh tubuh dan spasme konvulsif dari

otot skeletal. Kaku otot biasanya melibatkan dagu dan leher, kemudian menjadi kaku ke

seluruh tubuh. Diagnosis tetanus ditegakkan melalui manifestasi klinis. TIdak ada

pemeriksaan konfirmasi menggunakan laboratorium. Berdasarkan definisi WHO, tetanus

pada orang dewasa memerlukan satu dari trismus, risus sardonikus, atau kontraksi otot

yang sangat nyeri. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayat cedera atau luka (WHO,

2010). Komplikasi yang terjadi dapat berupa spasme laring dan otot nafas, pneumonia

aspirasi, dan emboli paru (CDC, 2015). Mengingat angka kematian yang masih tinggi dan

dapat mengancam jiwa, maka diperlukan ketrampilan diagnosis dan terapi yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah


1 Apa definisi, epidemiologi, dan faktor resiko dari tetanus?
2 Bagaimana patofisiologi dari tetanus?
3 Bagaimana manifestasi klinis, cara diagnosis dan diagnosis banding dari tetanus?
4 Bagaimana tatalaksana dan komplikasi dari tetanus?

1.3 Tujuan
1 Mengetahui definisi, epidemiologi, dan faktor resiko tetanus.
2 Mengetahui patofisiologi tetanus.
3 Mengetahui manifestasi klinis, cara mendiagnosis dan diagnosis banding tetanus.
4 Mengetahui tatalaksana dan komplikasi tetanus.

1.4 Manfaat
1 Dapat memberikan khasanah ilmu pengetauan tentang tetanus
2 Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta melakukan
penatalaksanaan tetanus bagi para tenaga kesehatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan

neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin

spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk

klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan

gangguan neurologis lokal (Jong, 2005).

2.2 Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara

adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,

tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.

Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua

kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).

Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%

kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran

hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40

kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%

kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti

luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau

selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan

tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak

mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi

adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling tengah,
pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi

usia tua. Survey serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan

antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika

Serikat di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11

tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30%

individu berusia di atas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi

yang adekuat(Sudoyo, 2006).

2.3 Etiologi

Tetanus merupakan penyakit yang akut dan seringkali beraibat fatal yang disebabkan

oleh eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani

merupakan bakteri batang gram positif anaerob yang dapat membentuk sporan pada

terminalnya ssehingga menunjukkan gambaran durmstick. Organisme ini sensitif terhadap

panas dan tidak dapat bertahan dengan adanya oksigen. Sebaliknya, Clostridium tetani

dalam bentuk spora sangat tahan panas dan antiseptik yang biasa dipakai. Spora dapat

bertahan pada autoklaf dengan suhu 121C selama 10-15 menit. Spora juga relatif tahan

terhadap phenol dan agen kimia lainnya. Spora Clostridium tetani banyak tersebar pada

tanah dan usus serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi dan ayam. Tanah

yang diberi pupuk dapat mengandung spora dalam jumlah besar.

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Fungsi tetanolisin tidak diketahui secara pasti. Sedangkan tetanospasmin merupakan

neurotoksin yang menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin ialah salah satu

toksin paling poten yang pernah diketahui. Dosis letal minimal terhadap manusia ialah 2.5

nanogram per kilogram berat badan (CDC, 2011).

2.4 Patofisiologi

Clostridium tetani adalah basil gram positif, motil, anaerob obligat. Bakteri ini tidak

berkapsul dan membentuk spora yang resisten pada panas dan desinfeksi. Sporanya
terletak di ujung basil. Bakteri ini ditemukan di tanah, debu, usus hewan, dan feses. Spora

dapat bertahan pada jaringan normal dari bulan sampai tahun. Untuk berkembang, spora

memerlukan kondisi anaerob, seperti luka. Selama berkembang, bakteri ini dapat

mengeluarkan toksin. Ketika kondisi anaerob terjadi, spora memproduksi 2 jenis toksin,

yakni tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin adalah substansi hemolisin tanpa aktivitas

patologis yang jelas. Tetanospasmin merupakan toksin yang bertanggung jawab pada

manifestasi klinis tetanus; berdasarkan beratnya, toksin ini merupakan toksin yang paling

potensial, dengan dosis letal minimal diperkirakan 2,5 ng/kg BB. Tetanospasmin memiliki

berat 150-kd yang terdiri dari rantai berat 100 kd dan rantai ringan 50 kd yang dihubungkan

oleh ikatan disulfida (WHO, 2010).

Toksin tetanus rantai berat berikatan dengan motor neuron presinaps dan membuat

lubang untuk masuknya rantai ringan pada sitosol (Yeh et al, 2010). Kemudian toksin masuk

ke dalam terminal saraf dari motor neuron bagian bawah, sel saraf yang mengaktifkan otot

volunteer. Toksin tetanus rantai ringan merupakan zinc-dependent metalloproteinase yang

menargetkan sebuah protein (synaptobrevin/vesicle-associated membrane protein atau

VAMP) yang diperlukan untuk mengeluarkan neurotransmitter dari sel saraf melalui fusi

vesikel sinaps dengan membrane plasma. Gejala lokal awal dari infeksi tetanus dapat

berupa paralisis flaccid, yang disebabkan pengaruh dari pengeluaran asetilkolin dari vesikel

pada jembatan neuromuscular. Kemudian toksin tetanus melakukan gerakan retrograde

yang ekstensif pada akson motor neuron bagian bawah dan mencapai korda spinalis atau

batang otak dalam 2-14 hari. Dalam hal ini, toksin ditransportasikan melewati sinaps dan

masuk ke dalam saraf glycinergic atau GABAergic inhibitor yang mengontrol aktivitas motor

neuron bagian bawah. Ketika berada di dalam terminal saraf inhibitor, toksin tetanus

menempel pada VAMP, yang menghambat keluarnya GABA dan glycine. Hasilnya adalah

denervasi fungsional sebagian pada motor neuron bagian bawah, yang menyebabkan

hiperaktivitas dan meningkatkan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme (Hassel,

2013). Ketika toksin menempel pada neuron, toksin tidak dapat dinetralisir dengan

antitoksin.
2.5 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,

kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan

masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah

mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang

terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus local tipe

sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang

terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus memperhatikan apabila

adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus. Yang paling sering

terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa oleh pasien adalah kaku

otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus) selanjutnya timbul

opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku punggung. Selain

dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena kaku otot wajah dan

keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita terganggu dengan proses menelan ( Harrisons,

2008).

Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada

umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang

merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena

rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak

terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa

nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan

anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi

berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang

menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan keseimbagan cairan dan elektrolit (

Harrisons, 2008).

A. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang

ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset

setelah trauma adalah 7 hari ( Harrisons, 2008).

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi

otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering

merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang

terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi

wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan

menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat

berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan

retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan

menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat

demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh ( Harrisons,

2008).

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.

Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus

stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan

keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur ata

ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat

generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi

berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan

spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki jalan napas akut

yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di

seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali

terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh.

Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai. Spasme
dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.

Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di

kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya,

daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya

tinggi.

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak

nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,

bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan

resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung.

Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan

meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi

(high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik ( Harrisons, 2008).

B. Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal

apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu

yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan tali

pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus.

Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas

dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang

terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup

(Harrisons, 2008).

C. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas

hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada

tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat

bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun

demikian secara umum prognosismya baik (Harrisons, 2008).


D. Tetanus sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah

trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan

disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan

paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi (Harrisons, 2008).

2.6 Kriteria Diagnosis

Masa inkubasi tetanus berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.

Secara umum, letak cedera lanjutan pada tetanus adalah dari sistem saraf pusat, semakin

lama periode inkubasi. Periode inkubasi yang lebih pendek berhubungan dengan resiko

kematian yang lebih tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala Muncul biasanya 4-14 hari setelah

lahir, rata-rata sekitar 7 hari.

Diagnosis tetanus ditegakan atas dasar temuan klinis. Tetanus meiliki tiga bentuk

klinis yaitu lokal (tidak biasa), cephalic (jarang) dan umum/ generalized (paling sering).

Tetanus lokal adalah bentuk jarang dari penyakit, di mana pasien memiliki kontraksi terus-

menerus dari otot-otot di sama daerah anatomi sebagai manifestasi dari cedera saraf.

Kontraksi ini dapat bertahan secara bertahap selama berminggu-minggu sebelum mereda.

Tetanus lokal mungkin mendahului timbulnya tetanus umum tetapi umumnya lebih ringan.

Hanya sekitar 1% dari kasus yang fatal. Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang terjadi,

kadang-kadang terjadi dengan otitis media (infeksi telinga). Ada keterlibatan saraf kranial,

terutama di daerah wajah.

Jenis yang paling umum terjadi (sekitar 80%) dari tetanus yang dilaporkan ialah

stetanus umum (generalized). Tanda pertama adalah trismus atau kejang mulut, diikuti oleh

kekakuan leher, kesulitan menelan, dan kekakuan otot perut. Gejala lain termasuk demam,

berkeringat, tekanan darah tinggi, dan takikardi. Kejang mungkin sering terjadi beberapa

menit. Kejang dapat terus terjadi selama 3-4 minggu. Pemulihan lengkap dapat memakan

waktu beberapa bulan.


Penegakan diagnosis tetanus dilakukan berdasarkan temuan klinis berupa,

kekakuan pada mulut (trismus / lockjaw) dan kekakuan leher, kesulitan menelan, retraksi

kepala, opistotonus (kekakuan otot punggung), kekakuan pada otot perut dan gangguan

respirasi. Temuan klinis lain yang dapat ditemukan pada tetanus yang merupakan akibat dari

trismus ialah risus sardonicus (Hinfey & Ripper, 2016).

Gambar 2.1 Opistotonus akibat spasme otot punggung pada tetanus umum (Davis &

Stoppler, 2015).

Pada pemeriksaan fisik untuk pasien tetanus, dapat dilakukan uji spatula. Uji spatula

dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung

lembut dan steril. Hasil uji yang positif akan menimbulkan kontraksi pada otot rahang secara

involunter, sehingga pasien akan menggigit spatula. Hasil pemeriksaan negatif akan

menimbulkan refleks muntah. Berdasarkan The American Journal of Tropical Medicine and

Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifitas tinggi (tidak ada positif palsu) dan

sensitivitas tinggi (94% pasien menunjukkan hasil positif) (Laksmi, 2014).

Tidak ada pemeriksaan laboratutium khusus untuk penegakan diagnosis tetanus.

Penegakan diagnosis tetanus ditentukan berdasarkan klinis yang tampak pada pasien, tidak
berdasarkan temuan konfirmasi bakteriologi. Clostridium tetani dari luka hanya ditemukan

sebanyak 30% dari total kasus dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memiliki tetanus.

(CDC, 2011)

2.8 Diagnosis Banding

1) Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis

ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan

serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

2) Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan

cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan

pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3) Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang

bersifat klonik.

4) Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5) Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam

serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya

diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.

6) Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

7) Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

8) Efek samping fenotiasin


Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya

reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,

9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher

dan spondilitis leher (Hinfey, 2016).

2.9 Tatalaksana

Strategi pengobatan melibatkan tiga prinsip pentalaksanaan:organisme yang


terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih
lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi;
dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimasi ( Sudoyo, 2006).
A. Pentalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi
dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan
stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka hendaknya
dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen secara menyeluruh
( Sudoyo,2006).

B. Netralisasi dari toksin yang bebas


Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada
jaringan saraf tdak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan
utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi karena volumenya besar.
Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa penelitian menunjukkan
bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin
intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam
formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi
luka. Manfaat memberikan antitoksin pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi
luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang
panjang. Antibodi tidak dapat meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda tidak
tersedia di Amerika Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain. Lebih murah
dibandingkan antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya
sering menimbulkan hipersensitivitas dan serum sicknesss syndrome ( Sudoyo,2006).

C. Menyingkirkan sumber infeksi


Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-
sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena
setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secra luas dipergunakan selama
bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi.
Metronidazol mungkin merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1
gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial
metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan pada penelitian yang membandingkan
dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti
yang ditunjukkan oleh penisilin ( Sudoyo,2006).

D. Pengendalian rigiditas dan spasme


Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena
menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot pernafasan. Regimen
yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan
sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi
utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen pada reseptor GABAA. Diazepam
dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi
metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan
berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan,
terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin,
biasanya klorprimazin. Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua
(Sudoyo,2006).

E. Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan
pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau
disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan
secara dini (Sudoyo,2006).

F. Pengendalian disfungsi otonomi


Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada
pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi
pertama. Benzodiazepin, antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan. Morfin
terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi karena gangguan
jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme aksi yang
dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis
dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif yang
berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas
kardiovaskular (Sudoyo,2006).

G. Penatalaksanaan intensif suportif


Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi
penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme
akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena
itu, nutisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri enteral berkaitan dengan insidensi
komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada nutrisi parenteral (Sudoyo,2006).

H. Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan kebutuhan gizi
yang meningkat dengan pemberian enteral maupunmparenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan
gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi
(Sudoyo,2006).
I. Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus
(Sudoyo,2006).

Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pada tetanus


Diazepam.
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua
tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa
Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam
Dosis pediatrik
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat kali
sehari
Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
Interaksi
Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan
bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.
Kehamilan
kriteria D tidak aman pada kehamilan
Perhatian
Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang lain,
pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas
diazepam dapat meningkat.

Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika
ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek
sedasi yang diinginkan (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat,
dan nefritis.
Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,
karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.
Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.
Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem
hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek
samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.
Baklofen
Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental
untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam.
Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12
jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa
Kontraindikasi: hipersensitifitas
Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.
Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.

Penisilin G
Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat menyebabkan anemia
hemolititk dan neurotoksisitas (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis
Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke dalam
sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi
selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotik pada
terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat
efek toksin (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari
4 gr/hari.
Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2
gr/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.
Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan
neuropati perifer.
Vekuronium.
Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan
terjadinya paralisis muskuler (Sudoyo,2006).
Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila
pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis:
0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.
Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun:
mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementamungkin
membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih sering, > 10
tahun: seperti dosis biasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.
Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi,
blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan
steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade berkpenjangan
walaupun obat telah distop.
Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil
vekuronium akan memberikan efek yang kuat.
2.10 Pencegahan

Pencegahan tetaus ialah hal yang penting karena tatalaksana untuk seseorang yang

telah terinfeksi spora tetanus yang selanjutnya akan menghasilkan bakteri dan memproduksi

tetanospasmin. Tatalaksana tetanus biasanya hanya terapi simptomatis untuk mengurangi

spasme otot, antibiotik untuk mengatasi bakteri dan perawatan luka. Sayangnya, sekitar dua

puluh persen dari kasus tetanus berakhir fatal.

Sebenarnya, pencegahan utama untuk tetanus ialah imunisasi dan perawatan luka.

Terdapat dua tipe imunisasi yaitu aktif dan pasif. Untuk pencegahan secara primer dapat

diberikan imunisasi aktif. Imunisasi Aktif yang dapat diberikan untuk pencegahan tetanus di

Indonesia antara lain Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B(DPT-HB), Diphtheria Pertusis

Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib), Diphteria Tetanus (DT),

Tetanus diphteria (Td) serta Tetanus Toxoid (TT).

a DTP (Difteri Tetanus Pertusis)


Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas, mengandung toksoid tetanus murni, toksoid difteri murni, dan bakteri pertusis yang
diinaktivasi, yang teradsorbsi kedalam aluminium fosfat. Vaksin DTP merupakan jenis vaksin
bakteri yang inaktif. Terdapat 2 macam vaksin DTP, yaitu DTwP (whole-cell pertussis) yang
mengandung kuman B. pertussis mati dan DTaP (acellular pertussis) yang hanya
menggunakan fraksi sel B.pertussis dengan dikeluarkannya endotoksin dan debris sehingga
rekasi lokal dan demam pada pemberian vaksin DTaP lebih ringan (WHO, 2009).
Imunisasi dasar DTP diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Jadi DTP-1 diberikan pada umur 2
bulan, DTP-2 pada umur 3 bulan, DTP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan booster DTP
selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada usia 18-24 bulan dan DTP-
5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. DTP-5 sebaiknya diberikan DTaP untuk
mengurangi demam paska imunisasi, mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda
meningkat akibat ambang proteksi yang sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber
penularan pada bayi adan anak. Apabila pada umur 5 tahun belum diberikan DTP-5 maka
vaksinasi penguat diberikan DT sesuai program BIAS (SD kelas 1, umur 6-7 tahun).
Vaksinasi penguat Td diberikan 2x sesuai program BIAS (SD kelas 2 dan 3) (Ranuh et al,
2014).
Dosis pemberian 0,5mL diberikan secara intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan. Setiap ml mengandung: toksoid difteri yang dimurnikan (40Lf), toksoid
tetanus yang dimurnikan (15Lf), pertusis yang diinaktivasi (24OU), aluminium fosfat 3mg,
timerosal 0,1mg (pengawet). Vial 5 ml, dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain
sebagai vaksin tetravalent yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwp/Hib, DTaP/IPV, atau vaksin
pentavalen DTP/HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal (Ranuh et al, 2014).

b Vaksin Jerap DT
Vaksin DT merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri murni yang teradsorbsi kedalam
aluminium fosfat. Tiap dosis (0,5ml) vaksin mengandung 20Lf toxoid difteri murni dan 7,5
toksoid tetanus murni. Zat tambahan yang diberikan pada vaksin berupa 1,5 mg aluminium
fosfat dan 0,05mg Thimerosal. Vaksin jerap DT digunakan untuk mencegah penyakit tetanus
dan difteri secara simultan, dengan cara merangsang antibodi dalam tubuh terhadap tetanus
dan difteri (Ranuh et al, 2014).
Vaksin DT direkomendasikan untuk anak-anak dibawah usia 7 tahun, terutama jika
terjadi kontraindikasi terhadap komponen pertusis pada vaksin DTP. Imunisasi primer terdiri
dari 3 dosis 0,5ml disuntikkan secara intramuskular. Suntikan pertama dan kedua dengan
masa antara 4-6 minggu, suntikan ketiga 6 bulan berikutnya. DT dapat diberikan bersamaan
dengan vaksin BCG, Campak, Rubella, Mumps, Polio, Hepatitis B, hib, dan yellow fever,
pada lokasi penyuntikan yang berbeda. Dapat digunakan sebagai booster pada usia pra
sekolah dan sekolah (Proverawati, 2010).
Efek samping vaksin ini berupa kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat
sementara, sindroma Guillain Barre dan kadang demam. Dosis kedua DT tidak boleh
diberikan apabila anak menderita reaksi berat terhadap dosis sebelumnya. Vaksin juga tidak
boleh diberikan bila terjadi hipersensitif terhadap komponen vaksin. Individu berusia lebih
dari 7 tahun direkomendasikan menggunakan vaksin jerap khusus untuk dewasa, yatu
vaksin Td. Vaksin DT dalam kemasan vial dosis ganda yang telah diambil satu dosis atau
lebih untuk imunisasi, dapat disimpan dan digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya
sampai dengan 4 minggu, jika semua kondisi yang dipersyaratkan dipenuhi, yaitu tidak
dibekukan, disimpan pada suhu +2 s/d +8oC , dan sebelum masa kadaluwarsa yaitu 2 tahun
(Proverawati, 2010).

c Vaksin TT
Vaksin TT merupkan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas, mengandung toksoid tetanus murni, teradsorbsi kedalam aluminium fosfat. Tiap dosis
mengandung 10Lf toksoid tetanus murni dengan Alumunium fosfat dan thimerosal sebagai
zat tambahan. Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap tetanus dan perlindungan
terhadap tetanus pada wanita usia subur (Ranuh et al, 2014).
Imunisasi TT untuk neonatus terdiri dari 2 dosis primer yang diberikan secara
intramuskuler dengan interval 4-6 minggu, diikuti dengan dosis ketiga 6 bulan berikutnya.
Vaksin ini dapat diberikan bersamaan dengan BCG, Campak, Hib, dan yellow fever pada
lokasi penyuntikan yang berbeda, serta suplemen vitamin A. Efek samping bersifat ringan
dan jarang, seperti sakit dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara serta
kadang demam. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada reaksi berat terhadap dosis vaksin TT
sebelumnya, hipersensitif pada komponen vaksin, dan imunisasi sebaiknya tidak diberikan
saat demam atau infeksi akut. Pada demam ringan, seperti pada infeksi pernafasan bagian
atas, imunisasi dapat diberikan. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada orang dengan
defisiensi sistem kekebalan (WHO, 2009).
Vaksin TT dalam kemasan vial dosis ganda yang telah diambil satu dosis atau lebih
untuk imunisasi dapat disimpan dan digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya sampai
dengan 4 minggu, jika semua kondisi penyimpanan terpenuhi, yaitu tidak dibekukan,
disimpan pada suhu +2 s/d +8oC , dan sebelum masa kadaluwarsa yaitu 3 tahun (Ranuh et
al, 2014).
d Vaksin Jerap Td
Vaksin Td merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu dalam vial
gelas, mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri murni dengan komponen difteri
berdosis rendah dan teradsorbsi pada alumunium fosfat. Vaksin ini digunakan untuk
imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7 tahun
(Proverawati, 2010).
Direkomendasikan pemberian 1 dosis vaksin sebagai booster. Pemberian vaksin
Td untuk mengganti vaksin-vaksin yang mengandung difteri dan tetanus harus sesuai
dengan rekomendasi resmi, mengingat rendahnya dosis difteri toksoid dalam vaksin ini.
Penggunaan vaksin Td untuk imunisasi primer serta ibu hamil belum dievaluasi. Dapat
diberikan bersamaan denganvaksin campak, Polio, Hepatitis B, yellow fever pada lokasi
penyuntikan yang berbeda, dan suplemen vitamn A. ACIP (Advisory Commite on
Immunization Practices) merekomendasikan pemakaian jerap tetanus dan toksoid difteri
untuk wanita hamil. Vaksin Td dapat digunakan sebagai imunisasi primer untuk individu
mulai 7 tahun, yang mengalami kontraindikasi terhadap vaksin DTP. Menurut ACIP,
diperlukan 2 dosis vaksin jerap Td dengan penggunaan dosis difteri pada dewasa dengan
minimum interval 4-8 minggu. Pemberian dosis ketiga direkomendasikan paling sedikit 6
bulan setelah dosis ke-2 (Ranuh et al, 2014).
Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa nyeri pada lokasi suntikan dan
demam. Vaksin ini dikontraindikasikan jika adanya reaksi berat terhadap dosis sebelumnya.
Individu yang terinfeksi HIV harus divaksinasi dengan vaksin Td menurut jadwal yang telah
ditetapkan. Vaksin ini bertahan 3 tahun sebelum kadaluwarsa. Vaksin Td dalam kemasan
vial dosis ganda yang telah diambil 1 dosis atau lebih untuk imunisasi dapat disimpan dan
digunakan untuk sesi imunisasi berikutnya sampai dengan 4 minggu, jika semua kondisi
yang dipersyaratkan dipenuhi (Ranuh et al, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 tentang Penyelenggaraan

Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi tetanus terbagi ke dalam imunisasi dasar dan

imunisasi lanjutan Kemenkes RI, 2013).

Tabel 2.1 Jadwal pemberian imunisasi dasar


Tabel 2. 2 Jadwal pemberian imunisasi lanjutan pada batita dan anak usia sekolah

Pencegahan secara primer sebelum terjadinya luka dilakukan dengan imunisasi.


Namun untuk seseorang yang telah mengalami luka, pencegahan infeksi tetanus dapat juga
dilakukan. Berikut merupakan bagan pedoman profilaksis yang diterbitkan oleh Minesota
Department of Health (MDH) pada tahun 2014.

Berdasarkan pedoman ini, jenis luka perlu dibedakan apakah termasuk jenis luka yang
bersih atau kotor. Selanjutnya perlu ditelusuri riwayat imunisasi dari pasien. Vaksinasi yang
diberikan disesuaikan dengan usia pasien :

- DtaP untuk bayi dan anak usia 6 minggu hingga 7 tahun

- Td untuk usia 7-9 tahun dan usia 65 tahun

- Tdap untuk seseorang usia 10-64 tahun

- Untuk bayi usia < 6 minggu dan seseorang dengan luka yang bersih dan kecil tidak
ada vaksin maupun Tetanus Imunoglobulin (TIG) yang direkomendasikan.
Untuk luka (terkontaminasi pasir, tanah, feses, saliva, luka tusuk, luka akibat object yang

terlempar atau rusak, gigitan hewan, luka terbakar dan luka akibat radang dingin), bila

riwayat imunisasinya tidak diketahui atau belum mendapatkan imunisasi perlu segera

diberikan vaksin dan TIG. TIG diberikan sebanyak 250 IU secara intra muskular untuk

semua usia dan diberikan juga vaksinasi secara stimultan. Untuk bayi usia < 6 minggu,

pemberian TIG tanpa dialnjutkan pemberian vaksin direkomendasikan pada luka yang kotor.

Pasien dengan HIV positif harus mendapatkan TIG tanpa memedulikan riwayat

imunisasinya. (MDH, 2014)

2.11 Komplikasi

Laringospasme (spasme pada korda vokalis) dan spasme otot pernafasan dapat

menyebabkan gangguan pernapasan. Patah tulang punggung atau tulang panjang dapat

terjadi pada kontraksi yang berlebihan. Hiperaktivitas pada system saraf otonom dapat

menyebabkan hipertensi dan gangguan irama jantung. Infeksi nosocomial sering terjadi

akibat perawatan di rumah sakit yang lama. Infeksi sekunder termasuk sepsis dapat terjadi

pada pasien yang dipasang kateter urin, pneumonia HAP, dan ulkus decubitus. Emboli paru

merupakan masalah pada pasien usia tua. Pneumonia aspirasi merupakan komplikasi

lambat pada tetanus. Pada beberapa tahun terakhir, tetanus menjadi kasus yang fatal pada

11% orang, biasanya pada pasien usia 60 tahun atau lebih (18%) dan pada pasien yang

tidak tervaksinasi tetanus (CDC, 2015).


BAB III

KESIMPULAN

1 Tetanus merupakan infeksi yang disebabkan oleh toksin Clostridium tetani. Faktor resiko

terjadinya tetanus diantaranya luka bakar, luka tertusuk, luka paska operasi, dan

kehamilan.

2 Terjadinya tetanus diawali dari produksi toksin oleh bakteri Clostridium tetani yang

kemudian masuk ke dalam motor neuron dan menyebabkan terhanbatnya relaksasi otot

dengan menghambat GABA dan glysine.

3 Diagnosis dari tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Manifestasi klinis yang sering terjadi yakni trismus, risus sardonicus, dan kontraksi

berlebih pada otot. Diagnosis bandingnya yakni pada meningitis bacterial, poliomyelitis,

dan rabies.

4 Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah mengevaluasi pernapasan, jalan nafas, dan

sirkulasi. Kemudian dilakukan immunoterapi, antibiotik, kontrol spasme otot, dan

debridement pada luka. Komplikasi yang terjadi yakni spasme pada laring dan otot nafas.
DAFTAR PUSTAKA

CDC, 2011. Updated Recommendations for Use of Tetanus Toxoid, Reduced

Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis (Tdap) Vaccine from the Advisory Committee on

Immunization Practices MMWR 2011;60(No.1):13-15

Davis, Charles Patrick & Stoppler, Melissa Conrad, 2015. Online.

http://www.emedicinehealth.com/tetanus/page4_em.htm. Diakses pada 29 Desember 2016.

Hinfey, Patrick B., Ripper, Jill. 2016. Tetanus Clinical Presentation. Online.

http://emedicine.medscape.com/article/229594-clinical#b2. Diakses pada 29 Desember

2016.

Kemenkes RI, 2013. Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 tentang Penyelenggaraan

Imunisasi. Online. http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/92_PMK%20No.%2042%20ttg

%20Penyelenggaraan%20Imunisasi.pdf. Diakses pada 7 Januari 2017.

Laksmi, Ni Komang Larasati, 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/ vol. 41 no.

11, th. 2014. Continuing Professional Development : IAI.

Minesota Department of Health, 2014. Summary Guide to Tetanus Prophylaxis in

Routine Wound Management. Online.

http://www.health.state.mn.us/divs/idepc/diseases/tetanus/hcp/tetwdmgmt.html. Diakses

pada 11 Januari 2017.

WHO, UNICEF, World Bank. 2009. State of the worlds vaccines and immunization.
3rd edition. Geneva: World Health Organization.

Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi di
Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Proverawati, Atikah & Setyo, Citra. 2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Purwokerto:Nuha
Medika
Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition.

McGraw-Hill: United State. 2008.

Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.

Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat penerbitan

departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 1777-85.

Hassel, Bjornar. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of

Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins 2013, 5, 73-83;

doi:10.3390/toxins501007

World Health Organization. WHO Technical Note: Current recommendations for

treatment of tetanus during humanitarian emergencies. January 2010.

Yeh FL, Dong M, Yao J, Tepp WH, Lin G, et al. 2010 SV2 Mediates Entry of Tetanus

Neurotoxin into Central Neurons. PLoS Pathog 6(11): e1001207.

doi:10.1371/journal.ppat.1001207. PLoS Pathogens [serial online].

11/10/2010;6(11):e1001207. Available at http://www.plospathogens.org/article/info%3Adoi

%2F10.1371%2Fjournal.ppat.1001207.

Hinfey, Patrick B. 2016. Tetanus Differential Diagnoses. Medscape Online.

http://emedicine.medscape.com/article/229594-differential Diakses tanggal 20 Feb 2017.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Epidemiology and Prevention of

Vaccine-Preventable Diseases. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe S, eds. 13th ed. Washington

D.C. Public Health Foundation, 2015.

WHO. 2010. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian

emergencies. Geneva: WHO

You might also like