Professional Documents
Culture Documents
Pembina:
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Penasihat:
Sekretaris Utama BNPB
Mitra Bestari:
Prof. DR. Zainuddin Maliki, MSi
Prof. DR. Sudibyakto
Prof. DR. Sarwidi
DR. Iwan Gunawan, MSc
Pelaksana Redaksi:
Ario Akbar Lomban, Dian Oktiari, S.T, Linda Lestari, S.Kom, Suprapto, S.Si,
Sri Dewanto Edi P, S.Si, Nurul Maulidhini ST, Ratih Nurmasari, S.Si
Theopilus Yanuarto, S.S, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio
Alamat Redaksi:
Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Jln. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia
Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email : Redaksijurnal@bnpb.go.id
1
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga
penerbitan Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 4 Nomor 1 pada bulan Juni 2013 ini dapat
diselesaikan.
Ilmu pengetahuan senantiasa terus berkembang dalam perjalanan kehidupan manusia, begitu
pula dengan upaya penanggulangan bencana. Ilmu pengetahuan dan penanggulangan bencana
berjalan beriringan dalam rangka terus menerus memberikan pemahaman dan wawasan kepada
masyarakat mengenai arti penting meningkatkan kesejahteraan manusia. Melalui jurnal ilmiah
ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia menuju
bangsa yang tanggap, tangkas dan tangguh menghadapi bencana.
Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase
kebencanaan. Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory mengawali
materi dalam jurnal ini. Materi berikutnya menyampaikan hal mengenai Comparison Studies on
Integrating of Disaster Risk Reduction (DRR) in Spatial Planning Systems in Indonesia, Japan,
and European Countries yang kemudian diikuti materi terkait Problematika Rehabilitasi dan
Rekonstruksi, Studi Kasus Pasca Bencana Tsunami Mentawai 2010 yang menjadi perhatian
masyarakat setelah terjadi Tsunami Mentawai khususnya pemerintah menghadapi masalah-
masalah dalam menyelenggarakan Rehabilitasi Rekonstruksi. Masalah lain pun terjadi dalam
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Untuk Pemulihan Ekonomi
Pasca Erupsi Merapi, menjadi salah satu solusi dalam pengambilan kebijakan secara bijak bagi
masyarakat yang terimbas bencana.
Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Challenges of Establishing Hospital Disaster Plan
(Tantangan dari Pembangunan Rumah Sakit Penanggulangan Bencana). Terakhir membahas
tentang Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu dalam
Kesiapsiagaan Bencana sebagai Basis dalam Merumuskan Model Pengelolaan Bencana.
Pada kesempatan ini juga kami atas nama dewan redaksi jurnal penanggulangan bencana
mengundang para ahli penanggulangan bencana, akademisi maupun masyarakat untuk
berpartisipasi mengisi makalah ilmiah pada penerbitan jurnal edisi selanjutnya.
Bagi para tim redaksi jurnal penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam
edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih.
Tim Penyusun
3i
JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA
Volume 4 No. 4, Juni 2013
DAFTAR ISI
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Untuk Pemulihan
Ekonomi Pasca Erupsi Merapi
Edmira Rivani .................................................................................................................... 35-44
4
ii
ANALISIS PENANGGULANGAN BENCANA
BERBASIS PERSPEKTIF CULTURAL THEORY
Abstract
This study aimed to analyze the cultural theory as an alternative paradigm in disaster risk
reduction. In this case, the focus of the study of cultural theory lies in the perception of public
knowledge about the disaster. Modern rational society will assess disaster is a day-to-day issues
that have an adequate knowledge of disaster while traditional societies tend to view disasters as
divine punishment and despair when disasters come. Applications of cultural theory have become
an important and significant to analyze the risk characteristics of the regime in each country. Each
regime has its own risk model of disaster management are different depending on the geography
and spatial. The birth of the idea of risk regulatory regime is a manifestation of cultural theory by
placing the state as the dominant actor in disaster issues. The consequence is that the state has
a different orientation in view of the disaster that spans the hierarchy in disaster risk reduction
policies.
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 1
cultural theory yang digunakan dalam tulisan Paradigma risiko muncul sebagai wujud dari
ini adalah suatu cara bagaimana dan mengapa perkembangan lanjutan modernisasi kehidupan
individu memberikan penilaian terhadap manusia di dunia. Istilah risiko sendiri diartikan
bencana begitu juga potensi kerusakan yang sebagai sebuah kemungkinan serangan
ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan upaya fisik yang diakibatkan dari perkembangan
pemenuhan hak keadilan sosial kepada teknologi dan prosesnya. Artinya, risiko
masyarakat untuk mengetahui informasi bencana sendiri terjadi dari sebuah proses
kebencanaan secara akurat dan mendetail. perkembangan manusia di dunia dan bukan
Pemenuhan hak tersebut menjadi penting disebabkan oleh faktor alamiah bencana alam.
utamanya dalam mengkonstruksikan bencana Pemahaman risiko menarik dicermati untuk
tersebut karena isu penanggulangan bencana melihat keseimbangan relasi antar manusia
sendiri tidak terlepas dari tiga premis utama dan alam selama ini yang menunjukkan gejala
yakni kekuasaan (power), keadilan (justice), yang tidak seimbang. Peristiwa mutakhir yang
dan legitimasi kekuasaan (legitimacy). Relasi terjadi seperti pemanasan global, efek gas
kekuasaan terhadap penanggulangan bencana rumah kaca, bencana radiasi nuklir di Jepang
adalah melihat bagaimana respons negara tahun 2011 lalu merupakan bencana yang
dalam menanggulangi dampak destruktif disebabkan oleh berkembangnya modernitas
bencana baik dari segi sosial maupun ekologis manusia (manufactured risk). Meskipun ada
dan konstruksi informasi publik yang dihadirkan juga bencana yang disebabkan murni oleh
negara terhadap bencana dan dampaknya faktor alam (natural risk) seperti gempabumi
kepada masyarakat. Isu keadilan berkaitan dan gunung meletus. Namun pemahaman
dengan pemenuhan kebutuhan sosial bagi risiko sendiri lebih mengarah pada faktor
masyarakat dan legitimasi sendiri terkait ketidakseimbangan relasi antara manusia
dengan tingkat kepercayaan publik terhadap dengan alam.
pemerintah dalam menanggulangi bencana Salah satu faktor riil yang bisa menjelaskan
(Douglas, 2001 : 34). premis tersebut adalah tragedy of the commons
Ketiga hal tersebut dikristalkan dalam (tragedi kebersamaan). Tragedi ini merujuk
bentuk pemahaman risk regulatory regime pada suatu peristiwa dimana lingkungan alam
yakni karakteristik rezim suatu negara menjadi rusak karena ulah kerakusan manusia.
dalam menanggulangi bencana. Adapun risk Manusia adalah individu yang rasional yang
regulatory regime ini menempatkan negara senantiasa untuk mengeruk keuntungan
sebagai aktor tunggal dalam penanggulangan sebesar-besarnya. Maka implikasi yang timbul
bencana. Konsepsi ini terkait dengan kemudian adalah adanya kavlingisasi alam
karakteristik penanggulangan bencana menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya yang
yang dilakukan oleh negara yang berbeda terjadi adalah tatanan ekologi menjadi rusak
disesuaikan dengan keadaan ekologis, karena ulah eksplorasi dan eksploitasi alam
geologis, maupun morfologis negara tersebut. secara masif.
Secara lebih lanjut, tulisan ini akan dibagi Faktor riil lainnya adalah menguatnya
dalam beberapa bagian. Pertama, menjelaskan market way (cara pasar) dalam mengelola
terlebih dahulu mengenai desain utama aspek alam yang menjadi dominan ketimbang state
penanggulangan bencana dari kacamata way (cara negara) dan common pool resources
sosiologi bencana. Kedua, menjelaskan (cara masyarakat) yang lebih memandang
konteks risiko dalam studi bencana. Ketiga alam sebagai sumber kemakmuran. Maka
mengelola risiko bencana dan keempat ketika kemakmuran yang dikeruk dari alam
membahas mengenai rezim penanggulangan itu habis, alam menciptakan faktor laten
bencana. terjadinya bencana alam. Sebenarnya dari
ketiga cara tersebut, mekanisme masyarakat
2. KONTEKS RISIKO DALAM STUDI berbasis common pool resources sebenarnya
BENCANA merupakan bentuk kesadaran menghargai
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 5
bisa datang sewaktu-waktu. Komunitas memiliki memadai tentang bencana terutama kaitannya
pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal di dengan ilmu geologis, vulkanologi, oseanografi,
lingkungannya mampu bergerak secara fleksibel maupun cabang ilmu kebencanaan lainnya.
dalam melakukan upaya tanggap darurat. Relase model sendiri lebih mengarah pada
Kearifan lokal dalam bencana tersebut membuat kebiasaan-kebiasaan yang biasanya diwariskan
masyarakat lebih paham dalam konteks riil melalui sistem tradisi kemasyarakatan. Hal
terhadap pemetaan masalah yang terjadi dalam inilah yang kemudian membuat dilema antara
bencana. pengetahuan rasional dan tradisional (Blaikie,
Model kedua yakni release model, model 1994 : 35). Namun demikian, dalam kondisi riil
ini berkebalikan dengan model crunch yang kebencanaan keduanya saling bahu-membahu
memposisikan manusia harus beradaptasi dalam aksi penanggulangan risiko bencana
dengan bencana sehingga dapat mereduksi dimana pengetahuan rasional berperan besar
bahaya kerentanan terhadap bencana. Model ini dalam mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis
lebih mengedepankan pada pola aktif masyarakat dalam penangggulangan risiko bencana
dalam pencegahan bencana seperti halnya sedangkan pengetahuan tradisional lebih
ajakan tidak membuang sampah sembarangan berperan dalam meredam gejolak sosial yang
sehingga mengakibatkan banjir, larangan terjadi di masyarakat dalam masa tanggap
menebang pohon karena rawan terjadinya tanah darurat.
longsor, maupun gerakan reboisasi penghijauan
kota desa. 3. MENGELOLA RISIKO BENCANA
Oleh karena itulah, derajat kerentanan
(vulberability) yang meletakkan manusia dalam Yang dimaksudkan dengan mengelola risiko
kondisi yang bersifat unsafe condition dalam bencana dalam konteks ini adalah mengatur
model crunch. Sebisa mungkin dalam model dampak bencana seminimal mungkin agar tidak
release ini, terjadi konversi dari unsafe menjadi menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar
safe. Adapun konteks kerentanan (vulnerability) lagi. Dalam pemahaman perspektif cultural
yang dicari dalam analisa penanggulangan risiko theory yang menjadi tema utama dalam makalah
bencana sendiri bukanlah mencari akar penyebab ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan
terjadinya bencana. Namun lebih kepada tradisional dan pengetahuan modern. Dua hal
penyebab gejolak sosial yang ditengarai sebagai tersebut sebenarnya sudah dibahas dalam sub
penyebab terjadinya kerentanan tersebut. bab sebelumnya dimana terdapat titik singgung
Perilaku seperti halnya krisis ideologi, krisis politik, antara tradisional yang berorientasi pada hal-hal
krisis ekonomi, maupun krisis budaya. Berbagai bersifat sosial sedangkan pengetahuan modern
hal itulah yang menempatkan manusia sendiri berorientasi pada penanganan hal teknis.
dalam posisi rentan dalam bencana. Bencana Pengetahuan modern lebih mengarah kepada
sendiri sebenarnya dapat ditanggulangi asalkan pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan
ikatan sosial kemasyarakatan sendiri menjadi bentuk dari gabungan eskalasi/exposure (E)
kuat dan terikat antar sesama anggota. Hanya dan besaran bencana/magnitude (M) sehingga
saja, terkadang baik sebelum dan sesudah membentuk format (R=EM) (Tansey, 1999 : 78).
bencana sendiri, ikatan sosial kemasyarakatan Adapun mekanisme penanggulangan risiko
kemudian menjadi kacau karena semua orang bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini
sendiri merasa berhak untuk diselamatkan mengarah pada penggunaan infrastruktur fisik
terlebih dahulu dari potensi mara bahaya seperti halnya pembangunan sistem peringatan
bencana yang berpotensi menimbulkan korban dini tentang bahaya bencana yang dianggap
lebih banyak lagi. lebih rasional dan ilmiah bagi masyarakat untuk
Dalam kasus di Indonesia, sebenarnya menghadapi bencana. Sedangkan, pengetahuan
dimensi risiko penanggulangan bencana berbasis tradisional menolak unsur rasionalitas yang
release ini sebenarnya sudah ada dan sedang terdapat pada pengetahuan modern dimana
digalakkan oleh komunitas masyarakat lokal. konsentrasi pendekatan ini lebih mengarah
Hanya saja, terbentur dengan informasi yang analisa psikometris seperti halnya kecemasan,
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 9
Gagasan rezim pengelolaan bencana Tabel 3. Karakteristik Penanganan Risiko
(risk regulatory states) sebenarnya merupakan dalam Setiap Rezim Bencana
bentuk institusionalisasi ide dari cultural theory
tentang persepsi pengetahuan bencana oleh Indikator Fatalis Hierarkis
publik dengan menempatkan negara sebagai
aktor tunggal dalam isu bencana tersebut. Persepsi Bencana Potensi
Penempatan negara sebagai rezim dalam isu Bencana adalah bencana dapat
sesuatu yang diprediksi dan
penanggulangan risiko bencana ini tidak terlepas
tak diperkirakan
dari kegagalan pasar dan masyarakat dalam terkontrol
mengelola isu tersebut. Dalam teori governance tak
memang terjadi desentralisasi kekuasaan dikendalikan
antara negara, pasar, dan masyarakat yang
memiliki fungsi penyeimbang dan pengontrol Peran Sangat Bersikap dini
satu sama lain. Namun dalam teori cultural Pemerintah minimal mengantisipasi
theory, governance menjadi tidak berhasil dalam dalam munculnya
mengurus penanggulangan risiko bencana antisipasi bencana
dikarenakan limitasi sumber daya yang dimiliki bencana sedini
pasar dan masyarakat. mungkin
Kegagalan pasar dalam mengelola isu
bencana karena mekanisme untung rugi (pay- Tipe Ad Hoc Teknokratis
off) yang dirasa menciderai semangat solidaritas Kebijakan
dalam bencana. Adanya perlakuan istimewa
bagi yang bermodal untuk diselamatkan terlebih Prioritas Spekulatif Semuanya
Diselamatkan tergantung
dahulu dan diperlakukan secara istimewa
dampak
menimbulkan kecemburuan sosial di tengah iklim bencana
stabilitas yang belum mereda. Penanggulangan
bencana model pasar tidaklah memikirkan Indikator Individualis Egalitarian
risiko sebagai faktor penting, yang ada pasar
menilai kehidupan serba normal dan linier. Persepsi Bencana Bencana
Oleh karena itulah, ketika bencana itu datang Bencana ditanggulangi ditanggulangi
sebagai wujud dari abnormalitas, maka yang individu komunitas
terjadi pasar kalang kabut dalam menghadapi
bencana. Penanggulangan risiko bencana ala Peran Minimalis Mendukung
masyarakat terbentur pada kendala terbatasnya Pemerintah
infrastruktur yang memadai sehingga terkadang
Tipe Asuransi Partisipatoris
aksi penyelamatan bencana menjadi tidak cepat
Kebijakan
dan inefisien (Alexander, 2006 : 15).
Pemahaman risk regulatory regime
mengambil bentuk adaptasi dari cultural theory Prioritas Diri Sendiri Masyarakat
untuk diinstitutisionalkan dalam kebijakan suatu Diselamatkan
negara terhadap penanggulangan risiko bencana.
Tentunya ada berbagai ragam kebijakan negara Sumber : Hood, 2001 : 13
negara dunia dalam menghadapi bencana ini
yang tentunya tidak dapat diseragamkan satu Dalam hal ini, negara yang fatalis cenderung
persatu. Setiap negara memiliki potensi risiko melihat bencana sebagai kejadian yang tak
bencana dan cara menanggulanginya secara terduga-duga sehingga penanggulangan risiko
berbeda-berbeda. Berikut ini merupakan bentuk bencana bersifatnya sporadis karena tidak
analisis cultural theory dalam melihat bentuk ada perencanaan terhadap kebencanaan
rezim pengelolaan bencana sebagaimana dalam sebelumnya. Pada akhirnya, negara fatalis
tabel berikut ini. sendiri dalam melakukan manajemen bencana
Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 11
Analisa cultural theory ini setidaknya dapat
dijadikan gambaran bagi pemangku kebijakan
negara, LSM, maupun masyarakat tentang
bagaimana merumuskan kebijakan yang tepat
dalam penanggulangan risiko bencana karena
persepsi publik ternyata turut mempengaruhi
detail keseluruhan dari desain kebijakan
publik tentang bencana. Pemetaan tersebut
setidaknya membantu bagaimana menangani
bencana dalam masyarakat yang heterogen
dan bagaimana cara penyelesaiannya. Pada
intinya, cultural theory ingin berkata bahwa
risiko bencana mungkin bisa diturunkan jika
terjadi proses deliberasi publik dalam studi
kebencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abstract
Rencana tata ruang merupakan satu dari sekian banyak cara pengurangan risiko bencana
dalam manajemen kebencanaan, tetapi mempunyai peran sangat penting. Pengintegrasian
pengurangan risiko bencana dalam rencana tata ruang sangat tergantung dari sistem rencana
tata ruang suatu negara. Tulisan ini akan membandingkan pengintegrasian pengurangan risiko
bencana dalam rencana tata ruang di Indonesia, Jepang dan negara-negara di Eropa, yang
didasarkan pada kajian literatur, jurnal, prosiding dan tulisan ilmiah lainnya. Berdasarkan kajian
mengenai pengintegrasian pengurangan resiko bencana dalam rencana tata ruang pada ketiga
negara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik yang membedakan
pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam tata ruang yaitu: 1) rencana tata ruang terkait
langsung dengan pengurangan risiko bencana dan 2) rencana tata ruang tidak terkait langsung
dengan pengurangan risiko bencana. Dalam hal ini pengurangan risiko bencana merupakan
bagian dari rencana sektor.
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati) 13
hazards in spatial planning is an important adjustment policies which intensify efforts
challenge for DRR. However, there are certain to lower the potential for loss from future
limitations to the spatial planning related to environmentally extreme events.
DRR, namely, a) spatial planning is only one c. Hazard map: a map that graphically
of many actions for DRR; b) implementation of provides detailed information about
DRR policies and its programs is not a trivial potential hazards.
matter; and c) spatial planning cannot reduce d. Risk map: a map that delivers the basis for
only one or two hazards because the planning identification of current high risk areas
is responsible for a particular spatial area, not a needing priority interventions, such as
particular object (Fleischhauer M., 2008). structural protection or adaptation
With regard to DRR, a spatial plan is the measures. This map also enables a
document that enables relevant governmental municipality to estimate the level of risk
and administrative bodies to be able to play a in potential development areas so as to
decisive role for the protection of humans and avoid dangerous places and promote safer
resources against natural disasters (Burdy J., areas.
1998). For example, DRR can be used to guide e. Vulnerability indicators: ratings of the
appropriate land uses for hazard prone areas degree of vulnerability, i.e., DP=economic
by developing approaches to such hazard damage potential; PD=population density;
modification, as control of population density OI= other indicators.
and expansion, and planning and implementing
of transportation, power, water, and other critical III. DISCUSION
facilities. DRR and spatial planning should
also focus on anticipating upcoming needs A spatial planning system is defined as
and impacts, rather than simply responding to system of law and procedure that sets the
yesterdays event. Spatial planning systems in ground rules for planning practice (Alfred
Indonesia, Japan, and the European countries Olfert, Stefan Greifing and Maria J. Batista,
will be compared here due to DRR in those 2006). A spatial planning system is not an
country are a complex system. independent system, as it always connects
to other policy systems. The role of DRR in
II. METODOLOGI spatial planning has been highlighted in recent
years, as disasters have increased significantly.
2.1. Data Collection The term, spatial planning is often used as a
synonym for; land planning (Italy), town and
This paper is based on the literature, country planning (UK), spatial development
including journals, proceedings, textbooks, and (Poland), regional and development planning
working papers with regard to integrating DRR (France), and land use management (North
in spatial planning system in Indonesia, Japan America) (Fleischhauer M., 2008).
and the European countries.
3.1. Spatial planning system for DRR in
2.2. Data Analysis Indonesia
Exsecution/Operation Plan
Municipal Technical
Spatial Plan
Detail Engineering Plan
Under Ministerial Home Affairs Regulation of 1) the goal, the policy, and the strategy for
Number 1, Year 2008 Article 6, the Indonesian the spatial plan; 2) the spatial structure plan;
spatial planning system is an integrated and 3) the spatial pattern plan; and 4) the control
comprehensive approach. An integrated of spatial utilization within each spatial plan.
comprehensive plan is advantageous for DRR The symbols ++, +, , and - represent
because it provides powerful tools for each the degree of contribution of the contents of the
municipality to use to facilitate and coordinate spatial plans according to SP 26/2007 Articles
the locations of public service facilities, e.g., 19-32. The Symbol ++ means that the spatial
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati) 15
structure plan and the spatial pattern plan have locally protected areas (mangroves, rivers,
important roles in DRR in the municipal spatial river-banks, open spaces, and the seashore).
plan. While the control of spatial utilization in In disaster prone areas, municipalities have to
the municipal spatial plan with the symbol conduct disaster risk identification and disaster
does not make a large contribution and can be risk assessment; and design a hazard map
used, therefore, just as a guideline for ZR and according to Government Regulation Number
building permission regulations, the actual ZR 21, Year 2008 Articles 6-12. The determination
and building permission regulations are clearly of the spatial structure and the spatial pattern
stipulated in the district spatial plan. is a non-structural mitigation countermeasure
As shown in the upper columns of Table of DRR because settlement restrictions,
1, the spatial plan must follow a nationally set evacuation routes, and evacuation points are
Goal, policy
and strategy
Spatial
structure plan
Spatial
pattern plan
Control of
spatial
utilization
policy framework and also the framework of a outlined in these plans according to SP 26/2007
higher-level government. SP 26/2007 specifies Article 26.
that the municipal spatial plan must refer to the As discussed above, the Indonesian spatial
national plan and also the provincial spatial planning system contains the characteristics
plan with regard to spatial development. of an integrated-comprehensive planning
In the municipal spatial plan, the spatial approach and plays a major role in DRR under
structure plan and the spatial pattern plan both SP 26/2007, Ministerial Home Affairs Regulation
have the symbol ++. In the spatial structure Number 1, Year 2008 and Government
plan, residential centers and infrastructure Regulation Number 21, Year 2008. Altogether,
network systems, such as roads, railways, and the spatial plan looks to be an ambitious one
water supplies, are determined. Cultivation and due to its many aspects (infrastructure system,
conservation areas are spatially allocated in public facilities, land use, distribution of the
the spatial pattern plan and also classified into population, etc) and has broad objectives for its
the following areas: Residential, agriculture, implementation.
mining, industrial, tourism, and trading and
service areas. Further, conservation areas are 3.2. The spatial planning system for DRR
classified into land use categories, such as in Japan
disaster prone areas, natural reserves (wildlife
sanctuaries and cultural heritage sites), and Japan is located in the circum-Pacific
City-center
Fig. 2. The Spatial model for the city planning area in Japan
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati) 17
National Report of Disaster Reduction (2005), effects on that water supply so as to ensure
these sectoral plans of DRR in Japan were speedy disaster recovery when a disaster
classified as follows: does occur.
1. Comprehensive National Development
Plan (a provision of the nationwide spatial Japan has carried out hazard mapping
plan). Making Japan a safe and for tsunamis, tidal waves, flooding, volcanic
comfortable place to live in eruptions, and earthquakes. Many of these
a. Establishing a disaster- preparedness hazard maps are drafted by agencies or local
system to maximize safety by 1) governments, including the Cabinet Office, the
Focusing on measures to limit the Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries
damage caused by disasters; 2) of Japan, the Fisheries Agency, the Ministry of
Understanding the importance of the Land, Infrastructure and Transport, and other
roles of individuals and communities agencies. The scales of these maps range from
in creating disaster-proof living zones; 1:2,500 to 1:25,000.
3) Responding to different types of As described above, the Japanese city
disasters and improving risk planning system does not play a main role in
management systems; and 4) DRR except for zoning regulation. The Disaster
Rebuilding devastated areas Counter-measures Basic Law 1991 required all
b. Rebuilding the Hanshin-Awaji area levels of government to establish DRR plans
c. Providing better disaster control for their respective areas for each sectoral plan
2. Social Infrastructure Development Priority (e.g. traffic, environmental heritage, forest,
Plan (to provide social infrastructure), agriculture, etc.). This law provides good
the aim of this plan is to ensure that disaster countermeasures because Japanese
social infrastructure development projects sectoral plans are more detailed. However the
are implemented in a focused, effective, sectoral plan does have weaknesses, including
and efficient manner. The most important issues with effective coordination and conflicts
goals of the plan are the establishment of among the different sectoral plans.
facilities to prevent flood damage, facilities
and systems for real-time relaying of 3.3. The spatial planning system for DRR in
information on floods and other natural European countries
disasters, evacuation sites and evacuation
routes, DRR facilities, and routes for the European countries are characterized
provision of aid in the event of disaster. by diverse geophysical and climatic settings
3. Long-Term Plan for Land Improvement, that make them susceptible to a wide range of
this plan works to mitigate disaster-related extreme natural events. Coastal areas, mainly
damage to the agriculture industry and in Northwest Europe, are threatened by winter
increase safety in communities. storms, storm surges, and floods. Alpine areas
4. Forestry Maintenance and Conservation are threatened by avalanches/landslides and
Project Plan (affects forestry), this plan floods, whereas the Mediterranean areas are
addresses forest maintenance and those mainly threatened by forest fires and droughts.
forestation projects aimed at maintaining Areas that are located above tectonic active
and also conserving forests. Preventing zones in Central and Eastern Mediterranean
landslide disasters through the regeneration areas are threatened by volcanic eruptions and
of damaged forests and the prevention of earthquakes, tsunamis and landslides (Schmidt-
further forest damage is specified as one of Thome, 2005).
the Plans main objectives. The European countries have a hierarchical
5. Ministerial Ordinance Governing Technical planning structure in which local governments
Standards for Water Supply Facilities, this make key decisions within a basic national
plan aims to minimize any suspension policy framework (Fleischhauer M., 2008).
of the water supply and other adverse Risk assessment starts with the identification
medium
Finland SEP SEP, SPP low important PD
important
Very medium
France SEP SEP, SPP PD
important important
Very medium
Germany SEP SEP, SPP DP
important important
Very medium
Spain SEP SEP, SPP PD, OL
important important
medium medium
UK SEP SEP, SPP No data
important important
SEP: sectoral planning, SPP: spatial planning, PD: population density, DP: economic damage
potential, (OI) other indicator. Source: Fleischhauer et al., 2006
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati) 19
plays a minor role in DRR (Fleschhauer M., As shown in the second row of Table 3,
2006). Spatial planning does provide careful in Indonesia, the authorities in charge of risk
identification, description, and assessment of assessment address sectoral planning and
the hazard potential. It has been shown that spatial planning, while the authority in charge
spatial planning does play a role, but just one of DRR identifies spatial planning. However,
of many roles when creating resilience due to the municipalities that do have sectoral
the existence of the sectoral plans. planning with regard to risk assessment
are rare because an awareness of DRM
3.4. Comparison of the authorities in started with the stipulation of SP 26/2007
charge of risk assessment and DRR for and DM 24/2007. The Indonesian systems
spatial planning in Indonesia, Japan, have strength of coordination because all
and the European countries spatial development aspects are analyzed
Table 3. Comparison of the authorities in charge of risk assessment and DRR for
spatial planning in Indonesia, Japan, and the European Countries
Authority in charge of
Weaknesses
Country Risk Strengths
DRR
assessment
Board objectives
Coordination
Needs implementation
Analysis of all
plan/strategic plan due to
municipal
very broad objectives
development
Limited resources for
aspects
municipality knowledge,
Indonesia SEP,SPP SPP Suitable for a long -
expertise, information,
term plan
funding, etc
Consistent with the
Ambitious plan due to
objectives of the
need to have an analysis
plan
of all municipal
development aspects
Problem with
coordination due to many
Detailed plan,
sectoral plans
sectoral plan
Short term plan
discusses each
Partial, sectoral plan
Japan SEP SEP type of disaster
discusses each disaster
Problem solving
type
oriented
Inconsistency of
objectives for spatial plan
and sectoral plan
SEP,
Finland SEP Focus on recent Inconsistent, because
SPP
problem/responsive the types of sectoral
SEP,
France SEP Careful plans in European
SPP
identification, countries are only a
SEP,
Germany SEP description, and medium-level plan
SPP
assessment of the (Fleschhauer, 2006).
SEP,
Spain SEP hazard potential, Coordinated
SPP
and the integrated
SEP,
UK SEP plan
SPP
Comparison Studies on Integrating of Disaster Risk Reduction (DDR) ... (Turniningtyas Ayu Rachmawati) 21
6. Hari Srinivas (2010), Japanese Planning
Legislation and Laws. http://www.gdrc.org
uem/observatory/jp-laws.html.
7. Ministerial of State Secretariat of Republic
of Indonesia (2007). National Law of
Spatial Planning Number 26, Year 2007,
(in English).
8. United Nations (2010). Local Governments
and Disaster Risk Reduction, Good
Practices and Lessons Learned,
International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR)-Geneva
Switzerland.
Oleh:
Lidya Christin Sinaga
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
E-mail: lidyabosua@gmail.com
Abstract
It has been two years since the tsunami hit Mentawai Islands, the western coast of Sumatera,
October 25, 2010. The tsunami killing hundreds, displacing thousands, and destroying villages
of affected communities in North Pagai, South Pagai, Sikakap, and South Sipora. Based on The
Rehabilitation and Reconstruction Action Plan for Post Tsunami Mentawai 2011-2013, recovery
programs was started on 2011 and focus on housing, infrastructure, economy, social, and cross
sector programs. But after two years, none of them has been implemented because it is still
hampered by land use problem, as these programs are completely intertwined. This paper
examines the problems of rehabilitation and reconstruction post tsunami Mentawai 2010.
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 23
dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat 2.2. Metode Analisis
dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Mentawai pada tanggal 15 Desember 2010 Penelitian ini bersifat kualitatif dengan
di rumah dinas Gubernur Sumbar, kemudian menggunakan metode deskriptif analitis.
disepakati untuk memperpanjang pelaksanaan Untuk memperoleh data, teknik pengumpulan
masa tanggap darurat hingga 31 Desember data yang dilakukan adalah studi pustaka dan
2010. Pertimbangan perpanjangan masa penelitian lapangan. Studi pustaka adalah studi
tanggap darurat ini mengingat masih banyak dokumentasi, meliputi seluruh referensi yang
pengungsi yang membutuhkan hunian relevan dengan penelitian, yaitu peraturan
sementara dan guna memastikan distribusi perundang-undangan, Surat Keputusan
bantuan logistik berjalan lancar dan dapat yang dikeluarkan kepala daerah, buku, jurnal
menjangkau seluruh korban bencana. ilmiah, surat kabar, dan data-data dari website.
Sejak 2011, sesuai Rencana Aksi Sementara penelitian lapangan dilakukan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Mentawai dengan dua cara, yaitu pertama, wawancara
seharusnya sudah memasuki masa rehabilitasi mendalam (in-depth interview) menggunakan
dan rekonstruksi. Namun, hingga bulan pedoman wawancara dengan narasumber
Oktober 2012, tepat dua tahun setelah tsunami terkait, baik dari pemerintah maupun non
melanda, belum satu pun program rehabilitasi pemerintah. Kedua, Focus Group Discussion
rekonstruksi yang bisa dilaksanakan. Hal ini (FGD) dengan narasumber, baik di Mentawai
terkait pelaksanaan pembangunan hunian maupun di Jakarta.
tetap dan infrastruktur yang menjadi salah
satu programnya masih mengalami hambatan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan
problematika pelaksanaan rehabilitasi 3.1. Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
rekonstruksi pasca tsunami Mentawai tahun di Indonesia
2010. Proses ini menarik karena menegaskan
bahwa penyelenggaraan penanggulangan Ketika terjadi bencana alam, respon
bencana tidak dapat dilepaskan dari persoalan terhadap bencana alam terbagi dua, yaitu
kebijakan dan dinamika aktor pembuat dan tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi.
pelaksana kebijakan itu sendiri. Kedua fase ini yang kerap digunakan dalam
penanggulangan bencana alam di Indonesia,
1.2. Tujuan termasuk tsunami Mentawai tahun 2010.
Sebagai sebuah siklus, tahap tanggap
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis darurat bencana diikuti oleh rehabilitasi dan
problematika proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
rekonstruksi pasca tsunami Mentawai tahun Rehabilitasi dan rekonstruksi secara
2010. bersama-sama menuju kepada pemulihan
jangka panjang yang mempertimbangkan
II. METODOLOGI faktor fisik dan nonfisik dari wilayah yang
terpapar bencana. Menurut Alka Dhameja, ada
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian tiga jenis rehabilitasi bencana, yaitu fisik, sosial,
dan psikologis. Rehabilitasi fisik merupakan
Penelitian dilakukan di Kabupaten aspek yang sangat penting dari rehabilitasi.
Kepulauan Mentawai. Penelitian lapangan Termasuk di dalamnya adalah rekonstruksi
dilaksanakan pada 15-24 April 2012, yaitu di infrastruktur fisik, seperti perumahan,
Tuapejat sebagai ibukota kabupaten dan Desa bangunan, jalur kereta api, jalan raya, jaringan
Bosua Kecamatan Sipora Selatan, salah satu komunikasi, persediaan air, listrik, dan lainnya.
daerah terpapar tsunami tahun 2010. Analisis Rehabilitasi fisik dan rekonstruksi juga
difokuskan pada pasca tsunami 2010 hingga harus memasukkan kebijakan untuk subsidi,
dua tahun pasca tsunami, Oktober 2012. peralatan pertanian, akuisisi lahan untuk
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 25
rehabilitasi rekonstruksi dalam kerangka rekonstruksi serta percepatan pembangunan
pemulihan kehidupan masyarakat yang ini adalah dari anggaran penanggulangan
terdampak bencana tsunami Mentawai adalah: bencana dalam APBN dan APBD sebagaimana
1. Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
pendekatan relokasi permukiman yang No. 22 Tahun 2008. Pasal 5 menyebutkan
dilaksanakan secara bertahap pada tahun dalam anggaran penanggulangan bencana
anggaran 2011 dan 2012, pada daerah yang bersumber dari APBN, pemerintah
terdampak tsunami, yaitu Pulau Pagai menyediakan dana bantuan sosial berpola hibah
Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. untuk kegiatan pada tahap pascabencana.
2. Percepatan pembangunan yang Sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi
dilaksanakan secara bertahap pada dan Rekonstruksi, tahapan ini direncanakan
tahun anggaran 2011, 2012, dan 2013 berlangsung selama dua tahun hingga akhir 2012
pada daerah terdampak tsunami dan dengan total kebutuhan mencapai Rp.486,40 M,
terutama dengan pendekatan penyediaan di mana lebih dari 50% merupakan kebutuhan
infrastruktur vital untuk membuka akses untuk relokasi perumahan dan pembangunan
antar pulau termasuk dengan Pulau prasarana lingkungan permukiman, yakni
Siberut. Pembangunan infrastruktur vital sebesar Rp. 250,54 M. Namun, anggaran
berupa jalan poros antarpulau termasuk untuk pelaksanaan program rehabilitasi dan
ke Pulau Siberut, pembangunan sarana rekonstruksi ini diletakkan terpisah di mana
transportasi udara (airstrip) dan transportasi untuk bidang ekonomi dan sosial diletakkan
laut (dermaga pelabuhan antarpulau) dan di BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai,
pembangunan jalan lingkungan dengan sementara anggaran untuk bidang perumahan
fungsi feeder termasuk jalur evakuasi. dan infrastruktur diletakkan di BPBD Provinsi
Sumatera Barat. Pembangunan rumah dan
Prioritas program rehabilitasi dan infrastruktur dilakukan dengan melibatkan
rekonstruksi pasca tsunami Mentawai masyarakat (kelompok masyarakat/pokmas)
ditetapkan pada lima sektor, yaitu: dan pemerintah setempat. Kelompok
1. Perumahan dan infrastruktur permukiman, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat
meliputi pembersihan lahan untuk relokasi setempat, terutama mereka yang akan
dan program cash for work, pembangunan menempati dan memiliki rumah itu. Hal
perumahan dan infrastruktur permukiman. ini dilakukan agar masyarakat ikut serta
2. Infrastruktur publik, seperti jalan, membangun dan merasa memiliki sehingga
jembatan, dermaga, dan energi untuk mengusahakan bangunannya lebih baik.
menjamin bahwa masyarakat yang berada Penetapan prioritas program rehabilitasi
di tiga pulau terdampak tsunami mendapat dan rekonstruksi ini tak lepas dari dampak
manfaat dari rekonstruksi dan percepatan yang ditimbulkan oleh tsunami itu sendiri.
pembangunan. Sebagaimana diketahui tsunami Mentawai
3. Ekonomi, yaitu fasilitasi pembangunan tahun 2010 menimbulkan korban yang tidak
ekonomi melalui pemberdayaan komunitas sedikit. Dalam Keputusan Bupati Mentawai
dan pelatihan kemampuan di bidang agro- No. 188.45-207 Tahun 2010 ditetapkan bahwa
forestry, perikanan, dan program industri jumlah korban meninggal akibat tsunami, yang
kecil. disusun berdasarkan laporan dari kepala dusun
4. Sosial, yaitu revitalisasi pelayanan dan kepala desa serta pendataan langsung ke
dasar, terutama di bidang pendidikan dan lapangan oleh dinas terkait, berjumlah 456 jiwa.
kesehatan, di lokasi permukiman yang baru. Korban jiwa terbesar terdapat di kecamatan
5. Lintas sektor, meliputi pemulihan Pagai Utara dan Pagai Selatan yang memang
lingkungan ekosistem wilayah pesisir dan dekat dengan pusat gempa.
pembangunan kantor pemerintahan di Bencana tsunami ini juga menimbulkan
lokasi permukiman baru. kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 348,92
Sumber pendanaan rehabilitasi dan M sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 di
Tabel 1. Rekapitulasi Kerusakan dan Kerugian Pasca Tsunami 25 Oktober 2010 (Rp. Juta)
Sumber: Penilaian Tim Gabungan BNPB, Bappenas, Pemda Provinsi Sumatera Barat
dan Kabupaten Kepulauan Mentawai, 22 November 2010 dalam Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Serta Percepatan Pembangunan
Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013,
op.cit, hlm. III.6.
laut. Sementara, kerugian terbesar dialami malam hari karena trauma akan gempa susulan
oleh sektor ekonomi produktif dengan nilai dan sudah tidak merasa aman lagi untuk tinggal
kerugian mencapai Rp. 64.397.770.000,- di rumahnya.
yang didominasi oleh subsektor perkebunan Program percepatan pembangunan
(Rp. 49,50 M) dan subsektor perikanan (Rp. merupakan strategi pemulihan wilayah
43,70 M). Sebagaimana diketahui, meskipun pascabencana seperti Mentawai yang
tinggal di pesisir pantai, mata pencaharian merupakan salah satu daerah tertinggal.
masyarakat Mentawai pada umumnya Program ini difokuskan pada peningkatan
bukanlah nelayan, melainkan petani kebun dan pembangunan sarana transportasi, baik
atau ladang, seperti ubi talas, pisang, cokelat, darat, laut, maupun udara untuk mengurangi
nilam, dan rotan. Kebanyakan masyarakat keterisoliran Mentawai sekaligus meningkatkan
Mentawai tidak mempunyai pendapatan tetap. roda perekonomian pulau di ujung barat
Mereka bekerja di kebun atau ladang dan pergi Sumatera ini.
ke laut sementara menunggu waktu panen Berkaca pada peristiwa tsunami 2010
tiba. Pendapatan mereka tergantung pada lalu, penanganan korban tsunami pada saat
musim. Beberapa diantaranya mempunyai itu sangat terkendala dengan kondisi geografis
perahu untuk menangkap ikan, namun hanya Mentawai sebagai kepulauan dengan wilayah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang terputus-putus dan akses darat yang
keluarga dan hanya dijual ketika persediaannya sangat sulit karena sebagian besar wilayahnya
berlebih. merupakan hutan. Satu-satunya akses yang
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 27
memungkinkan adalah melalui laut, namun 3.3.
Problematika Rehabilitasi dan
itu pun tidak mudah karena waktu dan biaya Rekonstruksi Pasca Tsunami Mentawai
tinggi, di samping cuaca ekstrem yang terjadi
hampir seminggu setelah tsunami terjadi. Tak Sejak 2011, Mentawai seharusnya sudah
pelak, distribusi bantuan dan relawan menjadi memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi
terhambat dan terlambat, serta terkonsentrasi yang direncanakan berakhir pada akhir tahun
di Sikakap (Pagai Utara). 2012 dan dilanjutkan program percepatan
Sulitnya medan dan akses menuju lokasi pembangunan pada tahun 2013. Namun,
bencana masih ditambah dengan minimnya hingga dua tahun pascabencana, belum satu
kebutuhan pendukung, terutama bahan bakar pun program rehabilitasi rekonstruksi yang
minyak (BBM). Hal ini dialami ketika evakuasi bisa dilaksanakan. Hal ini terkait pelaksanaan
korban tsunami di Pagai Utara yang terhambat pembangunan hunian tetap dan infrastruktur
akibat minimnya persediaan BBM. Transportasi yang menjadi salah satu programnya masih
paling efektif untuk menjangkau sekitar 60 mengalami hambatan. Kendala ini terkait
dusun di kecamatan ini hanyalah speed boat, adanya hutan lindung dan hutan produksi di
sementara BBM untuk mengoperasikan speed lokasi yang sedianya untuk relokasi penduduk,
boat pun sulit didapat pada saat itu. terutama di Pagai Utara dan Pagai Selatan,
Terlambatnya penanganan tanggap yang tentu membutuhkan ijin pengalihan lahan
darurat bencana tsunami Mentawai sebenarnya hutan dari Kementerian Kehutanan. Berlarutnya
juga akibat informasi yang terlambat diterima. proses ini karena terganjal ijin dari Kementerian
Hal ini terkait minimnya fasilitas komunikasi, Kehutanan, yang memakan waktu hampir dua
termasuk ketiadaan sinyal telpon seluler di tahun, untuk opsi tukar menukar kawasan
pulau tersebut. Informasi yang diterima menjadi hutan yang disepakati guna mengatasi masalah
simpangsiur. Kepala Badan Penanggulangan relokasi ini.
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Sementara itu, antara satu program dengan
Barat, Harmensyah, misalnya, bahkan program lainnya dalam tahap rehabilitasi dan
menyebutkan tidak ada korban jiwa serta rekonstruksi ini saling terkait, yaitu pembangunan
hanya satu rumah yang rusak, dan gelombang hunian tetap, jalan, dan pembangunan ekonomi,
laut hanya 30 sentimeter, ketika diwawancara yang ketiganya haruslah saling berdekatan agar
wartawan pada 26 Oktober 2010. Staf saling mendukung. Terlebih, anggaran untuk
Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi pelaksanaannya pun dikeluarkan satu paket,
Arif, bahkan mengakui baru mengetahui tidak bisa sebagian.
terjadinya tsunami di Mentawai dari media Pasca tsunami yang melanda Mentawai,
online. Akibatnya, Andi Arif mengakui terjadi relokasi menjadi masalah penting terutama
keterlambatan penanganan tanggap darurat untuk masyarakat di pesisir yang tersapu
di Mentawai sekitar 12 jam, ditambah karena tsunami. Pemda Mentawai mendukung konsep
pesawat helikopter yang tersedia untuk relokasi permukiman dari kawasan pesisir
menjangkau lokasi bencana di Kepulauan terdampak tsunami ke area yang lebih aman
Mentawai sangat terbatas. pada ketinggian minimal 25 dpl, yang saat
Mentawai bagaimanapun juga harus ini merupakan area kehutanan. Dalam Surat
dipahami sebagai wilayah bencana yang Keputusan (SK) Bupati Mentawai No.188.45-
mempunyai karakteristik berbeda dengan 320 Tahun 2010 ditetapkan jumlah Kepala
wilayah lainnya. Mentawai bukan hanya Keluarga (KK) yang direlokasi sebanyak 2.072.
dilihat sebagai wilayah dengan potensi Jumlah ini meningkat dari SK semula yang
gempa dan tsunami, namun juga sebagai menetapkan 1.631 KK, setelah dilakukan survei
wilayah kepulauan yang sejak lama masih ulang lokasi relokasi dan pendataan kembali
tertinggal. Hal ini tentu berdampak pada pola jumlah KK yang akan direlokasi oleh tim terpadu
penanggulangan bencana yang berbeda dari BNPB, UKP4, Pemda Sumbar, dan Pemda
dengan bencana yang terjadi di wilayah Mentawai pada tanggal 27-30 Desember 2010.
daratan. Untuk penyediaan lahan relokasi, Bupati
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 29
dari APL seluas 1.430 Ha dan HPK seluas 4.105 persoalan yang kompleks, bukan hanya dari
Ha. Surat ini kemudian ditindaklanjuti dengan cakupan isu melainkan juga dari aktor yang
proses penandatanganan Berita Acara Tukar terlibat. Tidak dapat dipungkiri, berlarut-
Menukar Kawasan Hutan pada 11 Oktober 2012 larutnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi
melalui mekanisme dua tahap di mana pada di Mentawai disebabkan oleh berbelit-belitnya
tahap I direncanakan seluas 4.105 Ha pada proses izin penggunaan lahan, yang dalam hal
areal HPK dan tahap selanjutnya seluas 2.910 ini merupakan domain Kementerian Kehutanan.
Ha pada APL. Kawasan hutan tahap I yang Sementara dari sisi masyarakatnya, telah siap
dimohon seluas 4.105 Ha merupakan Hutan dengan pembentukan kelompok masyarakat
Produksi Tetap di Kecamatan Sipora Selatan, (pokmas) dan perekrutan fasilitator untuk
Sikakap, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. pembangunan hunian tetap. Fasilitator yang
Sementara, calon lahan pengganti seluas yang direkrut oleh BPBD Provinsi Sumatera Barat
sama merupakan HPK di Kecamatan Sipora telah turun ke lapangan dan melakukan verifikasi
Utara. terhadap data korban gempa dan tsunami yang
Keluarnya persetujuan prinsip tukar telah di-SK-kan Bupati Kabupaten Kepulauan
menukar kawasan hutan ternyata tidak Mentawai. Namun dengan belum jelasnya
sepenuhnya menyelesaikan masalah. waktu pelaksanaan pembangunan hunian tetap,
Pembangunan infrastruktur tetap belum bisa membuat 171 fasilitator yang sudah disebar ke
dilaksanakan karena belum didapatkannya empat kecamatan terdampak terpaksa untuk
dispensasi penebangan hutan atau surat sementara ditarik kembali oleh BPBD Provinsi
ijin pembersihan lahan (land clearing) Sumbar per 1 Oktober 2012 sambil menunggu
dari Kementerian Kehutanan. Pemerintah turunnya dispensasi penebangan hutan.
Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 18 Sementara itu, BNPB telah mengucurkan
September 2012 mengajukan permohonan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Mentawai
penebangan hutan kepada Menteri Kehutanan. sebesar Rp. 486 M di mana Rp. 287 M untuk
Izin pemanfaatan kawasan hutan memang telah pembangunan hunian tetap, lingkungan hidup,
ditandatangani oleh Menteri Kehutanan, namun dan sanitasi, dan Rp. 200 M untuk sektor
untuk pembangunannya harus ada dispensasi ekonomi dan sosial budaya. Dana tersebut
penebangan hutan dan ijin pemanfaatan kayu telah ada di BPBD Provinsi Sumatera Barat dan
karena hutan yang ditebang merupakan milik BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai sesuai
negara. dengan peruntukan masing-masing bidang.
Hingga bulan Oktober 2012, tepat dua tahun Sedianya, dana tersebut masuk dalam tahun
setelah tsunami melanda, masyarakat belum anggaran 2012 yang sudah harus terserap pada
mendapat kepastian kapan pembangunan akhir bulan Desember 2012. Dengan kondisi
hunian tetap tersebut akan dimulai. Sesuai yang masih belum pasti hingga Oktober 2012
dengan prosedur normatif dari Kementerian ini, hampir dapat dipastikan pembangunan
Kehutanan, pasca diterbitkannya Persetujuan hunian tetap tidak dapat diselesaikan hingga
Prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan Untuk akhir tahun 2012 ini. Apalagi dengan skema
Relokasi Korban Tsunami, diperlukan 174 hari 174 hari yang harus ditempuh untuk sampai
lagi hingga hunian tetap itu dapat dibangun. pada penebangan hutan tersebut. Sementara,
Banyak proses yang harus dilalui untuk sampai kondisi hunian sementara yang kini didiami
pada tahap pembangunan huntap, sebagaimana korban tsunami kondisinya memprihatinkan,
dapat dilihat pada bagan 1. baik kondisi fisik huntara maupun lingkungan
Rumitnya proses rehabilitasi dan dan sanitasi, sebagaimana penulis amati dalam
rekonstruksi di Kabupaten Kepulauan kunjungan ke Bosua-Sipora Selatan, April 2012.
Mentawai merefleksikan bahwa persoalan Selain itu, meskipun permasalahan utama
penanggulangan bencana sebagai sebuah sebenarnya terletak pada persoalan izin
problematika kebijakan dan institusi (aktor). pembangunan infrastruktur, namun program
Pemulihan pasca bencana merupakan rehabilitasi di bidang lain, yaitu ekonomi dan
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 31
sosial budaya juga tidak dapat dilakukan akan kembali ke wilayah tempat tinggalnya
karena ketiga program tersebut sejatinya saling semula di pesisir pantai.
berhubungan satu dengan lainnya. Program Hingga kini, proses rehabilitasi rekonstruksi
ekonomi dan sosial tentu harus berada di wilayah pasca tsunami Mentawai masih menyimpan
permukiman penduduk. Bagaimanapun, jika sejumlah masalah. Sementara, dua tahun
letak rumah, jalan, dan kegiatan ekonomi saling bukanlah waktu yang pendek bagi para korban
berjauhan, tentu menjadi masalah baru bagi gempa dan tsunami Mentawai untuk bertahan
masyarakat dan bukan tidak mungkin mereka dalam ketidakpastian di huntara. Satu-satunya
Problematika Rehabilitasi dan Rekonstruksi Studi Kasus Pasca Bencana ... (Lidya Christin Sinaga) 33
Singgalang Press: Padang, 2010).
Natawidjaja, Danny Hilman dkk, Studi Gempa
Bumi dan Tsunami di Sumatra: Analisis
Gerakan G30S (Gempa 30 September)
di Padang Dan Potensi Gempa Megathrust
Mentawai di Masa Datang, http://www.
geotek.lipi.go.id/?page_id=4775, diakses 6
Juni 2012.
Pinkowski, Jack, (Ed.), Disaster Management
Handbook (CRC Press Taylor and Francis
Group: London, 2008).
Rencana Aksi Rehabilitasi Rekonstruksi
Pascabencana Serta Percepatan
Pembangunan Wilayah Kepulauan
Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun
2011-2013, BNPB dan Bappenas,
Desember 2010).
The Action Plan for Rehabilitation and
Reconstruction Mentawai Build Back Safer
(IMDFF-DR Bappenas: Jakarta, 2011).
UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana.
WEBSITE
Edmira Rivani
Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik Sekretariat Jenderal DPR RI.
E-mail: rif_green@yahoo.com
Abstract
The debtor who was affected by the disaster eruption of Mount Merapi is expected to have
difficulty in paying off their obligations in accordance with the credit agreement. Some policies and
provisions have been put in place to deal with that problem. This research is aimed to oversee if
the handling of credit potentially problems carried out so it has been giving a result especially to
recover economic activities among small and medium enterprises. Quantitative analysis technique
of average difference with paired T-test was used to compare the condition of non-performing loans
when occurring natural disasters eruption merapi eruptive merapi, with the condition after the
disaster to make known whether there are influences from the policy goes into effect in tackling the
problem Non Performing Loan of eruptions of Mount Merapi. The results show that some policies
conducted by Bank Indonesia can still be applied to the case after the eruption of merapi is, at
least in applicative evaluative policy Bank Indonesia was able to encourage economic recovery.
Most of the decline in bad debt was also influenced by the persuasive efforts by banks and debtor
that cooperative, while taking into account the conditions of the debtor (business to business).
Keywords: Non Performing Loan, Small and Medium Enterprises, T- Paired Test, Policy.
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani) 35
dingin yang menghancurkan tempat tinggal, 5 Oktober 2006 tentang perlakuan khusus
bahan baku produksi, maupun alat produksi terhadap kredit bank bagi daerah-daerah
yang mereka miliki. Bila hal ini dibiarkan berlarut- tertentu di Indonesia yang terkena bencana
larut akan mengakibatkan gejala ekonomi yang alam, di mana memberlakukan rekonstruksi
tidak sehat dengan semakin bertambahnya perkreditan yang menganggap NPL (Non
jumlah penggangguran di level regional. Oleh Performing Loan) Bank lancar, artinya Bank
karena itu, diperlukan langkah progresif dalam tidak harus membayar kredit macet ke Bank
mengupayakan usaha pemulihan masyarakat Indonesia dan BPR dapat memberikan kredit
dengan prioritas perhatian pada sisi industri lagi kepada debitur walapun sebelumnya
produktif agar roda perekonomian dapat kreditnya telah bermasalah karena pengaruh
berjalan sebagaimana sediakala. Permodalan erupsi merapi. Selain itu terdapat ketentuan-
banyak dijadikan titik kunci sebuah usaha akan ketentuan lain yang mengatur tentang kredit
dimulai. Keakuratan data mengenai berapa bermasalah pasca erupsi merapi yaitu
banyak kebutuhan yang diperlukan untuk Keputusan Gubernur Bank Indonesia (GBI)
membangun industri kecil menengah sangat No. 12/80/KEP.GBI/2010 tanggal 8 Desember
diperlukan agar dana yang dikeluarkan tidak 2010 tentang penetapan beberapa kecamatan
salah sasaran dan tepat guna. di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten dan
Pasca bencana besar, korban seringkali Sleman sebagai daerah yang memerlukan
kesulitan membayar kewajibannya pada perlakuan khusus terhadap kredit bank, di mana
bank karena telah kehilangan banyak harta. keputusan GBI ini berlaku tiga tahun sejak 26
Hampir 36 persen dari 2500 Usaha Mikro Oktober 2010. Ketentuan lainnya adalah Surat
Kecil Menengah (UMKM) yang bergerak di Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta No.
bidang holtikultura, peternakan, kerajinan batu, 12/67/DKBU/YK tanggal 27 Desember 2010
kerajinan mebel dan kayu serta olahan ikan tentang penanganan kredit yang bermasalah
air tawar terpaksa berhenti total berproduksi. pasca erupsi merapi agar perbankan dalam
Akibatnya kerugian yang dialami UMKM menyelesaikan kredit bermasalah Pasca
dari radius 0-20 km ditaksir mencapai Rp. gempa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
1 miliar per harinya, kerusakan alat-alat 2006 dan kredit bermasalah pasca erupsi
permesinan diperkirakan sampai Rp. 4 miliar, merapi DIY tahun 2010 dilakukan dengan
dan kerugian modal usaha sejumlah Rp. 4,666 mengedapankan unsur-unsur kemanusiaan
miliar. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan tidak melakukan tindakan intimidatif.
DIY sendiri mencatat bahwa terdapat 100 unit Namun, diperlukan penelitian kembali apakah
usaha menengah dan 1.000 unit usaha mikro program dan kebijakan-kebijakan yang selama
dan kecil yang mengalami kerugian total 600 ini dicanangkan dalam menangani kredit UMKM
miliar hingga Rp. 1 triliun. Dinas Perindustrian, bermasalah pasca meletusnya gunung Merapi
Perdagangan dan Koperasi (Diperindagkop) sudah memberikan hasil yang signifikan bagi
Kabupaten Sleman memerincikan bahwa pada para pelaku UMKM, serta kebijakan apa yang
radius 0-10 km terdapat 1326 Industri Kecil dan perlu diberlakukan agar para pelaku UMKM
Menengah (IKM) yang terdiri dari 1321 Industri tetap bisa melakukan usaha kembali.
Rumah tangga (IRT) dan 5 unit usaha industri
menengah tidak mampu lagi melakukan aktifitas B. Permasalahan
mereka secara normal. Sedangkan dalam
radius 10-20 km terdapat sekitar 2731 IKM dan Nasabah debitur yang terkena dampak
2.339 IRT serta 32 industri menengah yang bencana erupsi Gunung Merapi diperkirakan
tidak dapat berproduksi karena mengungsi. akan mengalami kesulitan dalam melunasi
Dalam rangka menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
permasalahan tersebut, maka diberlakukan Beberapa kebijakan dan ketentuan telah
kebijakan perbankan kepada pelaku UMKM diberlakukan untuk menangani permasalahan
pasca gempa Yogyakarta yaitu Peraturan Bank tersebut, sehingga perlu diteliti lebih lanjut
Indonesia (PBI) No. 8/15/PBI/2006 tanggal apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani) 37
III.
PEMULIHAN EKONOMI PASCA dari hak asasi rakyat, dan bukan semata-
BENCANA mata karena kewajiban pemerintah;
3. Penanganan bencana bukan hanya
Dalam mengkaji teori yang sedang menjadi tanggung jawab pemerintah
berkembang tentang pemulihan ekonomi melainkan menjadi tanggung jawab
pasca bencana, juga perlu dibahas tentang seluruh masyarakat.
manajemen pengelolaan ekonomi dan Paradigma tersebut dirumuskan
pembangunan ekonomi suatu daerah serta dengan mengacu kepada beberapa konvesi
manajemen pengelolaan risiko bencana. internasional (Resolusi PBB, strategi
Umumnya bencana dilihat sebagai kejadian Yokohama, Kerangka Aksi Hyogo) dan
tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi, yang perundang-undangan yang berlaku.
mengakibatkan kerusakan serius bagi
masyarakat atau sekelompok masyarakat IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
tertentu. Namun akhir-akhir ini, berkembang
cara pandang lain terhadap bencana. Bencana A. Penyelesaian Kredit Bermasalah Akibat
bukan semata-mata peristiwa atau kejadian Gempabumi Tahun 2006 Di Provinsi
tiba-tiba yang disebabkan oleh alam, tetapi DIY
juga yang terjadi perlahan-lahan sebagai akibat
salah urus oleh manusia dalam siklus hidup Pada bulan Juni 2006, satu bulan setelah
hariannya (man-made disaster). terjadi gempabumi di DIY, BI Yogyakarta
Dalam penelitian tentang komunikasi memperkirakan 95.439 UMKM di DIY menjadi
pemasaran dalam economic recovery korban gempabumi. Potensi kerugian yang
program masyarakat kawasan objek wisata ditimbulkan dari kredit bermasalah akibat
Pangandaran pasca gempa dan tsunami gempabumi tersebut mencapai Rp. 1,5 triliun.
17 Juli 2006 diketahui bahwa pelaksanaan BI mencoba membantu penyelamatan kredit
pembangunan Pangandaran pasca gempa UMKM dengan menerbitkan PBI nomor 8/15/
dan tsunami secara global dilakukan secara PBI/2006 tanggal 7 Juni 2006. Peraturan BI
bertahap dalam empat fase, yaitu fase tersebut menggariskan bahwa bentuk-bentuk
response atau penyelamatan, fase recovery penyelamatan UMKM melalui tiga cara,
atau pemulihan kembali, fase recontruction yaitu: penjadwalan kembali (rescheduling),
atau rehabilitasi, dan fase development atau persyaratan kembali (reconditioning), dan
pembangunan. Sedangkan secara khusus penataan kembali (restructuring).
dalam pelaksanaan perencanaan program Tujuan utama dari Peraturan Bank
pembangunan kawasan wisata ini tidak hanya Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tentang
melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi
masyarakat sebagai pelaku utama aktivitas Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang
pariwisata, karenanya sosialisasi program Terkena Bencana Alam (selanjutnya disebut
menjadi mutlak harus dilakukan pemerintah, PBI 2006 BA) adalah mengatasi potensi
dimana keterlibatan masyarakat sebagai gagal bayar kredit yang melanda nasabah
penenti pelaksanaan program pembangunan kreditur yang berada di daerah bencana pasca
harus kontinyu dan interaktif. gempa Yogyakarta dan menyelamatkan dana
Mengacu pada Rencana Aksi Nasional nasabah debitur dari kehilangan tabungan
Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) atau investasinya di perbankan.
tahun 2010-2012, ada tiga paradigma penting Perlakuan khusus tersebut diantaranya
dalam penanganan bencana, yaitu: adalah pertama, penetapan kualitas kredit
1. Penanganan bencana tidak hanya dan atau penyediaan dana lain dari Bank
menekankan pada tanggap darurat, tetapi Umum kepada sektor UMKM didasarkan pada
pada keseluruhan manajemen risiko; ketepatan pembayaran pokok/bunga saja (PBI,
2. Perlindungan masyarakat dari ancaman 2006). Kedua, restrukturisasi kredit yang sudah
bencana oleh pemerintah merupakan wujud dikeluarkan oleh perbankan diberikan kualitas
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani) 39
9 persen, kredit diragukan naik dari 9 persen berlokasi di sekitar dan menggantungkan
menjadi 11 persen dan kredit macet melonjak pada Gunung Merapi, misalnya peternakan
drastis dari 10 persen menjadi 31 persen. sapi perah, perikanan, pariwisata (alam),
Bahkan yang termasuk dalam kategori tidak perkebunan, pertanian, dan penambangan
ada keterangan diperkirakan juga bermasalah pasir. Perkiraan kerugian yang dialami empat
karena cenderung meningkat dari 20 persen sektor (perdagangan, restoran, perhotelan dan
menjadi 29 persen. hiburan) mencapai Rp. 7.484 triliun. Potensi
Namun dari tahun 2010 sampai awal kerugian besar juga dialami sektor pertanian
tahun 2012, terjadi penurunan jumlah kredit baik di Kabupaten Magelang, Sleman maupun
bermasalah. Data baki debet kredit bermasalah Boyolali dari sektor bahan pangan perkebunan
di perbankan DIY pasca gempa tahun 2006 peternakan, kehutanan maupun perikanan.
sesuai data tim Ad-hoc per tanggal 10 Februari
2010 yaitu sebesar Rp. 88,31 miliar dengan Tabel 3. Perkiraan Kerugian Sektor Pertanian
jumlah 2.134 debitur. Selanjutnya, berdasarkan (Rupiah)
laporan bank-bank posisi tanggal 31 Maret
No Sektor Magelang Sleman Boyolali
2012, jumlah baki debetnya sudah mengalami
1 Tanaman Bahan Pangan 1,48 Triliun 1,194 Triliun 1,419 Triliun
penurunan menjadi sebesar Rp. 35,14 miliar
dengan 624 debitur. 2 Perkebunan 127 Miliar 51 Miliar 125,8 Miliar
1. PBI No. 8/15/PBI/2006 tanggal Perlakuan khusus terhadap 1. Pasal 3 ayat 1: ...Kualitas kredit bagi BU dan BPR yang direstrukturisasi
5 Oktober 2006 kredit bank bagi daerah- ditetapkan lancar sejak direskturisasi sampai dengan 3 (tiga) tahun
daerah tertentu di Indonesia setelah terjadinya bencana...
yang terkena bencana alam 2. Pasal 4: Ketentuan dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk kredit yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek/lokasi
usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana;
b) Telah/diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok
dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam
di daerah-daerah tertentu;
c) Direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
2. Kep. Gubernur BI No. 12/80/ Penetapan beberapa 1. Kecamatan di Kabupaten Sleman yang memperoleh perlakuan khusus
KEP.GBI/2010 tanggal 8 kecamatan di Kabupaten adalah Kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngemplak, Turi, dan Tempel
Desember 2010 Magelang, Boyolali, Klaten, 2. Tata cara perlakuan khusus terhadap kredit bank di daerah yang telah
dan Sleman sebagai daerah ditentukan tersebut mengacu pada PBI No.8/15/PBI/2006
yang memerlukan perlakuan 3. Keputusan GBI ini berlaku 3 (tiga) tahun sejak 26 Oktober 2010.
khusus terhadap
3. Surat Pemimpin Bank kredit bank Himbauan agar perbankan dalam menyelesaikan kredit bermasalah pasca
Indonesia Yogyakarta No. Penanganan kredit yang gempa DIY 2006 dan kredit berpotensi masalah pasca erupsi merapi DIY tahun
12/67/DKBU/Yk tanggal 27 berpotensi masalah pasca 2010 dilakukan dengan mengedepankan unsur-unsur kemanusiaan dan tidak
Desember 2010 kredit bank erupsi merapi melakukan tindakan intimidatif.
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani) 41
tabel 5. mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak
Bank Indonesia juga melakukan dibandingkan sesudah adanya kebijakan)
monitoring dalam penyelesaian kredit erupsi = 5 persen
merapi 2010, antara lain dilakukan dengan Statistik hitung (t) =
rekonsiliasi data kredit bermasalah masing- Rerata d ( )
masing bank, serta penyampaian moral Simpangan baku d (Sd) =
suassion untuk tetap menciptakan iklim yang Dimana:
kondusif dengan melakukan upaya-upaya d : Perbedaan rata-rata kelompok
penyelesaian kredit yang kooperatif dengan Sebelum dengan kelompok Sesudah
memperhatikan realita yang ada. Selain itu n : Jumlah objek penelitian
terdapat beberapa program dalam rangka
mempercepat pemulihan kredit bermasalah Tabel 7. Hasil Analisis Uji T Berpasangan
erupsi merapi diantaranya adalah program
N Mean St Dev SE Mean
kemitraan dan bina lingkungan beberapa
bank, program Kredit Membangun Ekonomi Sebelum 5 1060,20 459,94 205,69
Rakyat (MEKAR) Perbarindo yang ditujukan Sesudah 5 858,00 407,89 182,41
untuk modal kerja dengan suku bunga relatif Difference 5 202,200 56,477 25,257
terjangkau dan lebih murah, dll.
Jumlah debitur kredit bermasalah pasca 95% lower bound for mean difference: 148,355
erupsi merapi di 5 kecamatan berdasarkan T-Test of mean difference = 0 (vs > 0): T-Value
Keputusan Gubernur BI No. 12/KEP.GBI/2010 = 8,01 P-Value = 0,001
yang terkena dampak langsung menunjukkan Sumber: Data diolah dengan Minitab
kecenderungan penurunan.
Kriteria uji:
Tabel 6. Perkembangan Kredit Bermasalah Apabila hasil t hitung > t tabel, maka H0
Pasca Erupsi Merapi Tahun 2010 ditolak, artinya Jumlah debitur bermasalah
Berdasarkan Lokasi sebelum adanya kebijakan dalam upaya
mengatasi permasalahan tersebut lebih banyak
No Kecamatan Debitur (dalam satuan)
dibandingkan sesudah adanya kebijakan.
Desember 2010 Desember 2011
Sebaliknya, jika hasil t hitung < t tabel, maka
1 Cangkringan 1.450 1.220
H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan
2 Ngemplak 825 654
3 Turi 1.303 1.088
antara jumlah debitur bermasalah sebelum
4 Pakem 1.362 1.091
dan sesudah adanya kebijakan dalam upaya
5 Tempel 361 237
mengatasi permasalahan tersebut.
Jumlah 5.301 4.290
Karena hasil t hitung = 8,01 > t tabel (
= 5 persen dan derajat kebebasan (n-1) =4)
= 2,776, maka H0 ditolak, artinya dengan
Sumber: Bank Indonesia, 2012.
derajat kepercayaan 95 persen Jumlah debitur
bermasalah sebelum adanya kebijakan dalam
Untuk melihat apakah penurunan yang upaya mengatasi permasalahan tersebut
terjadi signifikan dimana terdapat pengaruh dari lebih banyak dibandingkan sesudah adanya
kebijakan yang diberlakukan dalam mengatasi kebijakan.
kredit bermasalah akibat erupsi merapi maka Berdasarkan hasil uji T berpasangan,
dilakukan uji T berpasangan sebagai berikut: kebijakan-kebijakan tersebut masih bisa
H0 : D = 0 (Tidak terdapat perbedaan jumlah diterapkan pada kasus pasca erupsi Merapi
debitur bermasalah sebelum dan sesudah ini, paling tidak secara aplikatif dan evaluatif
adanya kebijakan dalam upaya mengatasi kebijakan Bank Indonesia tersebut mampu
permasalahan tersebut) mendorong pemulihan ekonomi dengan catatan
H1 : D > 0 (Jumlah debitur bermasalah pola restrukturisasi dan kategori UMKM yang
sebelum adanya kebijakan dalam upaya akan direstrukturisasi lebih diperjelas. Pola
Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... (Edmira Rivani) 43
Salak Dikepras.
Kontan, 2012, Dampak Meletusnya Merapi
Inilah Kerugian Erupsi Versi BI.
Kuncoro, Mudrajad., 2012, Sektor Riil dan
UMKM Pasca Inpres Nomor 6/2007.
Kuncoro, Mudrajad, 2012, Analisis Ayat-Ayat
Krisis UKM.
Neraca, 2010, UKM Usaha Kecil menengah di
Sleman merugi 1 Milyar Per hari.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/18/PBI/2003 tentang Pemberian
Bantuan Teknis Dalam Rangka
Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil.
Santosa, Awan dan Nugroho, Yuli, 2010,
Konsepsi Ekonomi Kerakyatan dalam
Pemulihan Ekonomi Rakyat Lereng
Merapi, disampaikan dalam seminar
bulanan Pustek UGM dan Sekretaris
Pusat Studi Kewirausahaan
Universitas Mercubuana Yogyakarta.
Sudjana, 1992, Metode Statistika, Bandung:
Tarsito.
Abstract
Abstrak-Makalah ini dirancang untuk mengetahui tantangan membangun rencana bencana dalam
membantu rumah sakit berurusan dengan kesiapsiagaan bencana. Penelitian ini bertujuan untuk
membantu perencana untuk menghindari kesulitan umum manajemen bencana, sehingga dapat
meningkatkan kinerja selama bencana. Dengan data kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur
ditargetkan lima personil kunci dan menghasilkan rekomendasi yang dapat diadopsi.Temuan
ini menunjukkan bahwa tantangan yang ditemukan dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi yang dapat mempengaruhi respon rumah sakit untuk menangani
bencana. Untuk membangun ketahanan rumah sakit terhadap bencana, beberapa pertimbangan
penting yang ditemukan yaitu memiliki rencana penanggulangan bencana yang tertulis tidak sama
dengan kesiapannya; rencana sederhana dan fleksibel; adanya pengaturan alternatif, memastikan
staf rumah sakit yang akrab dengan rencana dan pentingnya meninjau, pelatihan dan pengujian
rencana penanggulangan bencana. Banyak rekomendasi diberikan dari literatur untuk mengatasi
tantangan-tantangan. Meskipun keterbatasan kecil penelitian, pekerjaan ini dapat membentuk
dasar untuk terus dievaluasi rencana bencana yang dikembangkan oleh rumah sakit di Indonesia.
Marwan Arwani
Staf Pengajar Sosiologi FISIP UNIB
Sekretariat Jurusan Sosiologi FISIP UNIB
Jl. Wr. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371
Dan
Abstract
This study aims to identify the knowledge framework fishing community in the city of Bengkulu
in anticipation and disaster preparedness. The research method used is a qualitative method
based on interviews and observations as data collection techniques. The findings revealed that
there are two frameworks of knowledge on fishing communities in the city of Bengkulu related to
disaster preparedness; framework of knowledge based on cultural inheritance and internalized
knowledge framework of various external factors such as the mass media or the simulation and
counseling conducted by the government and NGOs. Framework culturally inherited knowledge
about earthquake preparedness one of which can be found with the use of the splint that despite
rare but can still be used as an alternative to building earthquake resistant houses. While the
framework of knowledge about the signs of the earthquake and tsunami will be more widely known
through information-based technologies such as mass media or the tsunami sirens were installed
along the coast of Bengkulu.
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah) 57
Belajar dari bencana gempa Aceh (2004) harus mereka lakukan (Syahputra dan Munadi,
dan Bengkulu tahun 2007 lalu, Pemerintah 2011).
Daerah Bengkulu kemudian melakukan Sementara itu, berdasarakan Peta Kajian
berbagai upaya dan langkah antisipasi untuk Bahaya Puslitbang Geologi ESDM Bandung
mengurangi kerugian yang diakibatkan bencana (2006) terlihat bahwa zona tingkat resiko
gempa. Mulai dari pembentukan Badan kegempaan Kota Bengkulu yang paling rentan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), adalah wilayah sepanjang pesisir pantai. Hal
pembuatan rambu-rambu jalur evakuasi yang ini ditambah lagi dengan pengalaman gempa
ditempatkan di titik tertentu, hingga program tahun-tahun sebelumnya yang menunjukan
sosialisasi dan simulasi dalam menghadapi kerusakan parah ada di wilayah pemukiman
bencana gempa. Tujuannya adalah untuk nelayan seperti daerah Berkas dan Lempuing.
mengedukasi, menambah pengetahuan dan Sehingga komunitas masyarakat nelayan yang
menyiapkan masyarakat Bengkulu agar selalu berdomisili di sepanjang pesisir pantai Kota
siaga dalam menghadapi bencana gempa. Bengkulu merupakan komunitas masyarakat
Sementara itu, peran serta dan keterlibatan yang paling rentan mengalami dampak
masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana secara langsung.
bencana, salah satunya ditunjukan dengan Oleh karenanya, penguatan kapasitas lokal
pembentukan Forum Pengurangan Risiko melalui upaya identifikasi awal kesiapsiagaan
Bencana atau disingkat F-PRB yang komunitas setidaknya dapat dilakukan pada
keanggotannya terdiri dari berbagai organisasi komunitas masyarakat nelayan yang berdomisili
kemasyarakat lintas sektoral yang ada di di sepanjang pesisir pantai Kota Bengkulu.
Bengkulu. F-PRB sendiri merupakan sebuah Sehingga menjadi penting untuk melakukan
organisasi kemasyarakatan yang menfasilitasi identifikasi kerangka pengetahuan (knowledge
keterlibatan dan aktivitas multi stakeholder/ frame) atau cara pandang dan pemahaman
disiplin untuk berkoordinasi, mengarahkan, (indegeous local) bagaimana komunitas
dan melaksanakan upaya Pengurangan masyarakat nelayan yang berdomisili di
Risiko Bencana. Oleh sebab itu, berbagai sepanjang pesisir pantai dalam menghadapi
program yang dirancang F-PRB diarahkan bencana.
guna memberikan kesadaran dan peningkatan
kemampuan masyarakat Bengkulu dalam II. METODE
menghadapi ancaman bencana. Salah satu
bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan Penelitian ini di lakukan pada kelompok
kampanye peningkatan kesadaran publik masyarakat nelayan di Lempuing dan Berkas
tentang kebencanaan melalui talk show, press Kota Bengkulu. Lokasi ini dipilih secara
confrence, press release, seminar, lokakarya sengaja dengan beberapa alasan. Pertama,
dan ceramah. masyarakat nelayan yang berdomisili di
Salah satu contoh nyata dari pentingnya sepanjang pesisir Pasar Bengkulu merupakan
melakukan identifikasi dan inventarisasi kelompok masyarakat nelayan yang telah
terhadap pengetahuan lokal dapat kita lihat turun temurun melakukan aktivitasnya sebagai
Saat gempa dan tsunami menerjang Aceh di nelayan sekaligus pengelola sumber daya
tahun 2004, warga Pulau Simeulue yang tidak pesisir. Kedua, lokasi pemukiman mereka
jauh dari pusat gempa, hanya mengalami merupakan wilayah yang tergolong kedalam
korban jiwa sebanyak tujuh orang. Sebaliknya, wilayah siaga bencana gempa dan tsunami.
warga Banda Aceh yang berada di daratan Untuk menggali konstruksi pemahaman,
utama menderita korban tewas paling banyak makna dan cara pandang bagaiman gempa dan
mencapai 161.000 orang tewas. Ini semua tsunami pada tataran kognisi nelayan tersebut,
karena kearifan lokal. Gempa dan tsunami maka penelitian ini menggunakan metode
masuk sebagai nyanyian (rakyat) oleh penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan
masyarakat Pulau Simeulue. Saat bencana data menggunakan observasi dan wawancara
terjadi, warga Pulau Simeulue tahu apa yang mendalam. Melalui wawancara mendalam,
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah) 59
di Kelurahan Lempuing adalah masyarakat Tabel diatas menunjukan bahwa sebagian
dengan rentang usia antara 25 s/d 55 tahun besar penduduk di Kelurahan Lempuing
atau usia dewasa. Berturut-turut berikutnya memiliki tingkat pendidikan setingkat SMP
usia antara 19 s/d 24 tahun dan usia antara 13 dengan komposisi sebanyak 1.165 orang.
s/d 23 tahun. Sementara untuk usia yang dapat Sementara tingkat pendidikan yang paling
dikategorikan lanjut usia atau antara 56 s/d 79 sangat minim adalah Perguruan Tinggi yang
dan usia penduduk diatas 80 tahun sangatlah hanya 121 orang. Sehingga dapat dikatakan
minoritas. Sama seperti di Kelurahan Lempuing, bahwa mayoritas penduduk yang berdomisili
komposisi usia penduduk di Kelurahan Berkas di Keluruhan Lempuing mayoritas hanya
juga memperlihatkan bahwa usia mayoritas berpendidikan setingkat SMP. Sementara pada
penduduk yang ada sebagian besar adalah kelurahan Berkas relatif, tingkat pendidikan
usia dewasa antara usia 25 s/d 55 tahun. penduduknya relatif lebih tinggi, dimana
Data komposisi usia penduduk yang kebanyakan mereka yang berdomisili di
berdomisili di kelurahan Lempuing dan Kelurahan Berkas memiliki tingkat Pendidikan
Kelurahan Berkas sekaligus menunjukan bahwa setingkat SMA atau sebanyak 528 orang.
kemungkinan besar pengetahuan mengenai Untuk mata pencaharian penduduk yang
bencana gempabumi yang diwariskan secara berdomisili di kedua kelurahan tersebut dapat
turun-temurun juga semakin tereduksi karena dilihat pada tabel berikut ini;
minimnya mereka yang memiliki warisan
pengetahuan dan pengalaman mengenai Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk di
bencana gempabumi. Berdasarkan wawancara Kelurahan Lempuing dan Berkas
terhadap beberapa informan yang berusia Kelurahan
lanjut antara 70 s/d 80 an tahun, mereka tidak No. Jenis Pekerjaan
Lempuing Berkas
memiliki informasi ataupun memori ingatan
1. Pegawai Negeri Sipil 201 155
akan bencana gempabumi yang pernah mereka
2. TNI / POLRI 41 25
alami maupun pengetahuan mengenai gempa
yang diwariskan oleh tetua sebelum mereka. 3. SWASTA 1.369 1.299
Mereka hanya mengenal istilah lokal ombak JUMLAH 1.746 1.479
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah) 61
sebagai bagian dari teknik membuat hunian memerlukan perhatian dari manusia sebagai
dengan sendirinya mulai ditinggalkan. Saat penggunanya.
ini mungkin hanya satu dua rumah yang Terkait dengan sejarah bencana yang
masih menggunakan bidai sebagai pelapis tercatat atau terekam dalam ingatan memori
tembok. Kebanyakan warga masyarakat tidak komunitas masyarakat nelayan di Berkas dan
menyadari bahwa rumah bidai sebetulnya Lempuing memang tidak dapat ditelusuri lebih
merupakan evolusi arsitektur yang diwariskan jauh. Hanya kejadian banjir dan gempabumi
oleh para tetua mereka, yang ternyata tahan besar yang terjadi di tahun 2000-an yang masih
akan guncangan gempa. Pengetahuan akan terekam dalam ingatan masyarakat. Selain
rumah bidai ini sebelumnya tidak pernah disebabkan dengan ketiadaan catatan, hal ini
terpikirkan oleh masyarakat bahwa teknologi juga dikarenakan tinggal sedikitnya penduduk
tersebut merupakan sebuah teknologi yang yang berusia lanjut yang memiliki pengalaman
memungkinkan bangunan rumah mereka dapat dengan bencana yang pernah terjadi di pesisir
bertahan terhadap goncangan gempa. pantai Bengkulu. Dari data yang disampaikan
Selain keberadaan rumah bidai, bagi informan didapatkan data mengenai sejarah
komunitas masyarakat nelayan yang juga kebencanaan yang pernah terjadi dan terekam
tergabung kedalam Kerukunan Keluarga dalam memori ingatan masyarakat;
Tabot (KKT), penyelengaraan ritual tabot Selain ketiga peristiwa kejadian tersebut
sendiri sebetulnya dimaknai sebagai sebuah yang masih dingat dan tercatat, dalam salah
kearifan lokal masyarakat pesisir Bengkulu. satu Buku yang Berjudul Bengkulu dalam
Bagi komunitas masyarakat nelayan di Sejarah dijelaskan mengenai adanya gempa
kelurahan Berkas dan Lempuing, gempabumi besar yang pernah terjadi pada saat kedatangan
dan tsunami merupakan bencana alam yang Raffles pertama kali ke Bengkulu pada tahun
dipandang sebagai kehendak Tuhan yang 1818 dimana Raffles menuliskan bahwa
Maha Kuasa. Karenanya hidup haruslah Tak ada kecualinya, inilah negeri yang
menyesuaikan dengan keselarasan lingkungan paling porak poranda yang pernah saya jumpai.
dimana mereka melakukan aktivitas. Sebagai Keadaan yang terbengkalai, pemerintahan yang
komunitas masyarakat yang berprofesi buruk, bencana alami berupa gempabumi
sebagai nelayan, pesisir dan laut merupakan yang dahsyat, jalan raya yang tak dapat di lalui,
lingkungan sehari-hari nelayan. Kepercayaan bangunan milik pemerintah menjadi sarang
akan terjadinya bencana yang melanda hewan liar. Penduduk menamakan Bengkulu
pesisir pantai atau kota Bengkulu apabila pada saat perjumpaan pertama dengan Raffless
tidak dilakasanakannya perayaan ritual tabot, itu, Bengkulu kini menjadi tanah mati.
merupakan bentuk pengingat bahwa pesisir Gempa besar yang pernah melanda
pantai dan laut sebagai kesatuan ekosistem Pesisir Kota Bengkulu seperti digambarkan
Identifikasi Kerangka Pengetahuan Masyarakat Nelayan ... (Marwan Arwani & Mas Agus Firmansyah) 63
Sosial Pada Komunitas Nelayan
Tradisional Bengkulu. Dalam Jurnal
AKSES Vol: IV No.1, 2007, hal.17-24.
Kartika, Titik dan Djonet Santoso. 2005.
Social Kapital Kehidupan Ekonomi
Masyarakat Tradisional Nelayan
(Studi Pada Masyarakat Nelayan di
Desa Pasar Bantal, Kabupaten Mukomuko
Propinsi Bengkulu). Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.
Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan
Masyarakat Nelayan. Bandung:
Humaniora.
-----------.2002. Konflik Sosial Nelayan:
Kemiskinan dan Perebutan Sumber
daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS.
Margalef, R. 1968. Perspectives in Ecological
Theory. Chicago. University of Chicago
Press.
Soemarwoto, Otto. 2006. Pembangunan
Berkelanjutan: Antara Konsep dan
Realita. Proceeding Stadium Ganeral
Pada Ulang Tahun ke-80 di Universitas
Padjadjaran. Bandung, 20 Februari 2006
ABSTRACT: Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam
BAHASA INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan
sentence, Justify, Italic, Font Arial 10.
Key word : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, justify, regular, Arial 10).
65
LAY OUT PENULISAN
18.5 cm
1.5 cm
2 cm
2.5 cm
Footer 1.5 cm
66