You are on page 1of 28

Referat

Management of Temporomandibular Joint


Pain and Dysfunction

Disusun Oleh :
Indana Zulfa 2011730042

Dokter Pembimbing:
Dr. Hj. Rini Febrianti, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Penulis sampaikan karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Referat ini tepat pada waktunya. Tugas ini
penulis susun untuk memenuhi tugas pada kepaniteraan klinik stase Telinga Hidung dan
Tenggorokan (THT) di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banjar.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu tersusunnya
laporan ini terutama dokter pembimbing THT kami, dr. Hj. Rini Febrianti, Sp.THT-KL,
orang tua yang selalu mendoakan keberhasilan penyusun, dan teman-teman sejawat atas
dukungan dan kerjasamanya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
sekarang maupun masa yang akan datang.

1
Banjar, Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i
BAB I................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN (1)................................................................................................. 1
BAB II.................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 2
DEFINISI........................................................................................................... 2
EPIDEMIOLOGI.................................................................................................. 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI TMJ...........................................................................2
KLASIFIKASI...................................................................................................... 9
PATOFISIOLOGI (1)............................................................................................ 10
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK (1).........................................................14
PEMERIKSAAN PENUNJANG (1).........................................................................15

2
DIAGNOSIS DIFERENSIAL (1)............................................................................ 15
TATALAKSANA (1)............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 19

3
4
BAB I

PENDAHULUAN (1)

Gangguan Temporomandibular (TMDs) adalah kondisi yang disebabkan oleh sendi


temporomandibular, otot-otot pengunyah, atau keduanya. TMD biasanya bermanifestasi
sebagai nyeri pada daerah kepala dan leher dan kadang berefek pada daerah sekitarnya.
TMD juga dapat diinterpretasikan dengan adanya nyeri pada wajah, nyeri kepala, nyeri
telinga, rasa seperti penuh pada telinga, suara bermunculan pada telinga, kehilangan
pendengaran ringan, tinnitus, pusing, kesulitan membuka mulut, mengunyah atau bicara,
menutup atau membuka temporomandibular joint (TMJ), kesulitan mengunyah, suara suara
click saat menggerakkan mulut dan keluhan lainnya. TMDs terjadi pada 5%-15%
populasi dengan puncak pada dewasa muda usia 20-40 tahun. Gejala TMD terjadi pada
laki-laki dan perempuan, namun gejala dilaporkan lebih banyak oleh perempuan usia
reproduksi. Rata-rata 2% populasi menjalani terapi untuk gejala gangguan terkait TMJ.

Peran dari otolaryngology diperlukan untuk membedakan bagian


temporomandibular dengan region patologi lainnya dan untuk menginisiasi rencana
penatalaksanaan pada penyakit ini. Karena gejala TMD bervarisi dan sulit bagi pasien
untuk menentukan mana keluhan utamanya. Pasien biasanya dirujuk ke bagian
otolaryngologist untuk memeriksa apakah ada penyakit juga pada telinga, sinus, atau
kelenjar parotis. Ini merupakan keadaan yang jarang terjadi pada psien oleh karena itu
diperlukan informed consent yang baik mengenai penjelasan dari gangguan ini. Pasien
harus diyakinkan bahwa TMD adalah kondisi penyaki yang tidak berbahaya dan dapat
membaik seiring berjalannya waktu dengan terapi yang tepat. Terapi yang diharapkan
termasuk edukasi pada pasien, mengurangi nyeri, dan memperbaiki fungsi dari rahang itu
sendiri.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Temporomandibular disease adalah suatu keadaan dimana terdapat berbagai macam
keluhan pada rahang, baik rasa nyeri, kaku untuk membuka dan menutup mulut, deviasi
saat membuka mulut, yang disebabkan oleh berbagai macam kondisi. (1) (2)

EPIDEMIOLOGI

TMD sering dijumpai pada fasilitas kesehatan primer dan klinik dokter gigi.
Berdasarkan beberapa penulis sebanyak 75% masyarakat di Amerika Serikat memiliki
tanda dan gejala TMD; bagaimanapun juga, beberapa dari mereka tidak percaya bahwa
mereka memiliki TMD. Antara 5%-10% orang amerika memiliki kriteria untuk diagnosis
TMD. Penelitian terakhir, perempuan usia 19-23 tahun mengeluh nyeri wajah dan gejala
rahang terkait TMD lebih sering terjadi pada ras kaukasia dibanding afrika dan amerika.
Kejadian usia tertinggi terjadi pada usia 20-40 tahun. TMD lebih sering mengenai
perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 4:1. (3)

ANATOMI DAN FISIOLOGI TMJ


Temporomandibular joint (TMJ) juga dikenal sebagai sendi sendi craniomandibular
yang khas pada mammalia, yaitu sendi antara sisi skuamosa tulang temporal dan kepala
kondilus mandibular (gambar 2.1) sendi mandibular terdiri dari diarthroidial bilateral atau
sendi yang dapat bergerak bebas. Dikenal juga sebagai sendi yang kompleks karena
melibatkan dua sendi synovial terpisah (kanan dan kiri), dimana hal ini didukung dengan
adanya diskus intrakapsular atau meniscus dan kedua sendi ini harus menyatu dan bekerja
sama dalam satu koordinasi yang baik. Artikuklasi TMJ terdiri dari fossa mandibular atau

2
glenoid, puncak sendi atau tuberkel, sebuah kondilus, sebuah diskus terpisah, dan sebuah
kapsula fibrosa dan ligament ekstrakapsuler. (4)

Gambar 2.1 articulatio craniomandibular

Sistem articulatory/resonansi (4)

Sistem articulatory/resonansi terdiri dari hal berikut:

a) Temporomandibular joint (TMJ)


b) Muskulus masticatory dan accessory
c) Oklusi gigi

Fungsinya diatur oleh jaras sensoris dan motoric dari cabang ketiga nervus
trigeminus (nervus mandibular) dan beberapa serabut dari nervus fasial. Oklusi gigi
memiliki peran penting bagi fungsi TMJ.

3
Mandibular (Glenoid) Fossa (4)
(Cranial Component)

Komponen Mandibular (4)

Kondilus mandibular

Bagian dari resonansi mandibular adalah prosesus kondilus dengan leher yangpendek.
Dimensi mediolateralnya bervariasi antara 13-25mm dan diameter anterposterior sekitar 5.5
16mm.

4
Kapsula TMJ (4)

Kapsula TMJ adalah jaringan fibrosa tipis yang menunjang sendi secara utuh.
Berbentuk corong kapsul, yang membungkus dengan periosteum mandibular leher dan
membungkus meniscus. (Fig. 21.3)

Ligament (4)

Ligament lateral atau temporomandibular (Fig. 21.3)

5
Ligament acessorius (Fig. 21.4)

Diskus articulasio atau meniscus

6
Suplai Darah

Bagian lateral dialiri oleh cabang temporal dari arteri carotis eksterna. Arteri
maksilaris interna mengaliri sisi dalam dan posterior dari retrodiscal capsular, aurikula
posterior dan cabang masseter. Aliran vaskuler otot pterygoid lateral juga mengaliri kepala
kondilus dengan penetrasi nutrisi dari berbagai pembuluh darah. (4)

Sistem Saraf

Saraf mandibular, cabang ketiga dari sistem saraf ke lima yang menginervasi sendi
rahang. Tiga cabang saraf mandibular berakhir sampai kapsula sendi.

a) Yang paling besar adalah nervus auriculotemporal, yang

b) Mensarafi bagian medial posterior dan lateral dari

c) sendi.

d) Nervus Masseter

e) Cabang dari nervus temporalis posterior mensarafi bagian depan sendi. (4)

Pergerakan Mandibula (4)

Mandibula dapat berdepresi, elevasi, protruded, atau retruded. Pergerakan lateral


juga dapat dilakukan. Terdapat variasi normal pada individu normal yang terdiri dari
banyak faktor, antara lain:

7
a) Ukuran kepala kondilus, bentuk, dan kemiringan
b) Kedalaman fossa glenoid dan angulasi
c) Tinggi puncak articular dan derajat kemiringan
d) Panjang dan kelenturan ligament yang terdiri dari kapsula sendi

8
e) Penyakit sendi degenerative yang disebabkan penyakit lokal maupun sistemik
f) Kekuatan, ukuran, posisi dan tonus otot pengunyah dan otot suprahyoid
g) Kontrol saraf otot

9
KLASIFIKASI

Gangguan TMD terbagi menjadi gangguan otot nonarticular dan gangguan otot
articular (intracapsular). Gangguan otot nonarticular termasuk gangguan nyeri dan
disfungsi dari otot-otot pengunyah (myofascial) yang biasanya berkaitan dengan
fibromyalgia atau nyeri kronik lainnya seperti irritable bowel syndrome. Trauma dapat
mempengaruhi TMJ. Gangguan sendi termasuk osteoarthrosis, penyakit peradangan sendi,
infeksi, dan lesi benigna maupun maligna. (1)

a) Gangguan Intra-articular atau gangguan intrinsik.

b) Gangguan Esktra-articular.

Faktor ekstrinsik adalah faktor yang tidak terkait langsung dengan TMJ namun terkait
dengan kondisi yang terjadi pada kapsula sendi. (4)

Gangguan yang menjadi faktor ekstrinsik (4)

Gangguan otot pengunyah

a. Protective muscle splinting.

b. Masticatory muscle spasm (MPD syndrome).

c. Masticatory muscle inflammation (myositis).

Masalah yang menyebabkan trauma ekstrinsik

10
a. Traumatic arthritis

b. Fracture

c. Internal disc derangement

d. Myositis, myospasm

e. Tendonitis

f. Contracture of elevator musclemyofibrotic

contractures.

Gangguan yang menjadi faktor intrinsik (4)

1. Trauma

a. Dislocation, subluxation

b. Haemarthrosis

c. Intracapsular fracture, extracapsular fracture

2. Internal disc displacement

a. Anterior disc displacement with reduction

b. Anterior disc displacement without reduction

3. Arthritis

a. Osteoarthrosis (degenerative arthritis, osteoarthritis)

b. Rheumatoid arthritis

11
c. Juvenile rheumatoid arthritis

d. Infectious arthritis

4. Developmental defects

a. Condylar agenesis or aplasiaunilateral/

bilateral

b. Bifid condyle

c. Condylar hypoplasia

d. Condylar hyperplasia

5. Ankylosis

6. Neoplasms

a. Benign tumours: osteoma, osteochondroma,

chondroma

b. Malignant tumours: Chondrosarcoma, fibrosarcoma,


synovial sarcoma.

PATOFISIOLOGI (1)

Temporomandibular disease (TMD) biasanya muncul dengan gejala nyeri pada


mandibular, keterbatasan gerak mandibular, dan suara dari sendi itu sendiri. Nyeri terkait
dengan otot lebih sering dibanding nyeri sendi interna, namun mereka juga sering muncul
bersamaan. Nyeri otot dapat mempengaruhi fungsi internal sendi dan begitu pula
sebaliknya. Membedakan nyeri otot dengan kekakuan otot sangat penting untuk
penatalaksanaan yang akan diberikan. Umumnya nyeri otot (myalgia) biasanya terjadi
secara regional bersamaan dengan kelemahan otot atau fatigue dan keterbatasan gerak

12
rahang. Pada palpasi ditemukan lunak pada otot. Masalah yang mirip termasuk myalgia dan
myositis disebabkan parafungsi, trauma, atau infeksi. Otot-otot terkait saat diperiksa dapat
dihasilkan palpasi lunak, bengkak, dan hangat.

Penelitian menyatakan pasien dengan nyeri TMD myofascial menjadi lebih sensitif
terhadap rasa nyeri. Beberapa pasien memiliki tampilan morfologi otak konsisten dengan
rasa nyeri kronis yang lain, seperti fibromialgia. Pada kasus pasien seperti ini, penelitian
sistem saraf pusat terkait rasa nyeri mengindikasikan adanya perubahan proses pada area
nyeri di sistem trigeminus.

Gangguan intrakapsular menandakan adanya abnormalitas fossa kondilar yang


berkaitan dengan suara suara bising sendi, dan gangguan ini sering membatasi gerak
kondilar. Gangguan intrakapsular menandakan kekacauan internal yang menyatakan
gangguan posisi discus sendi anterior tanda penyusutan. Perubahan posisi bagian depan
diperkirakan untuk menyatakan perubahan adaptasi demi mempertrahankan fungsi sendi.
Pergeseran diskus sendi dengan penurunan berkaitan dengan suara bergemeletuk sendi, dan
mungkin/tidak terkait dalam proses pergeseran sendi tanpa penurunan.

Membuka mulut biasanya terbatas sampai kurang dari 25mm tanpa adanya
gangguan pergeseran diskus (closed lock). Mandibula akan berdeviasi ke sisi yang sakit
saat mulut membuka, dan bagian yang tidak terganggu tidak ada perubahan fisik. Membuka
mulut ke arah lateral juga akan berdampak sama pada sisi yang sakit. Perubahan degenerasi
dapat/tidak disertai dengan pergeseran diskus. Adhesi fibrosa diduga terjadi karena
peregangan dan perdarahan dalam ruang sendi superior.

Komorbiditas Psikososial (1)

Pasien TMD sering mengeluhkan nyeri yang sangat, stress, dan depresi yang diluar
dugaan klinisi. Tidak jelas bagaimana gejala ini dapat terjadi dan menjadi nyeri kronis, atau

13
terkait kebiasaan parafungsi yang menyebabkan gangguan TMJ. Penelitian besar telah
dilakukan pada pasien yang memilki gejala TMD, mereka dalam kondisi stress depresi,
terlalu perfeksionis dalam hal pekerjaan, kepuasan hidup, dan kepuasan kerja. Persepsi
nyeri dan predisposisi untuk TMD dapat dipicu oleh stressor psikososial. Saat
mengevaluasi pasien dengan stress TMD harus dilaksanakan oleh klinisi yang tepat.

Mekanisme Biologi Molekular Cedera (1)

Kedua hal seperti batasan fungsional mekanik dan inflamasi berkontribusi terhadap
nyeri. Inflamasi dapat menyebabkan pembengkakan/penonjolan intrakapsular dan nyeri.
Bisa terjadi peradangan/inflamasi pada sendi kapsul (capsulitis) dan cairan synovial
(synovitis) yang mengakibatkan nyeri dan keterbatasan gerak.

Trauma pada pembuluh darah dan inervasi hebat jaringan retrodiskus dapat
menyebabkan efusi, nyeri, dan keterbatasan gerak. Inflamasi dalam sendi dapat
menyebabkan otot sekunder menjadi lebih terbatas gerakannya dan lebih terasa tidak
nyaman.

Milan mendeskripsikan teori dari stress mekanik langsung terhadap adanya radikal
bebas yang berkaitan dengan proses degenerasi sendi. Cedera mekanik langsung karena
beban yang berlebihan dapat meningkatkan kadar IL 8 dan produksi sintesis nitric oxide
(NO) dan formasi radikal bebas sehingga menyebabkan kerusakan jaringan dan induksi
asam arakidonat, inflamasi, dan hancurnya jaringan dalam sendi.

Penyebab lain dari formasi radikal bebas termasuk teori hypoxia-reperfusion dari
inflamasi neurologis. Teori hypoxia-reperfusion menyatakan bahwa menggeretakkan gigi
meningkatkan tekanan dalam sendi, sehingga tekanan perfusi kapiler menjadi berlebihan,
menyebabkan hipoksia. Inflamasi neurologis terjadi bersama pelepasan neuropeptide

14
(substansi P, kalsitonin) terlepas dari sraf terminal yang teraktivasi dalam ligament kapsul
dan jaringan retrodiskus berkontribusi dengan respon inflamasi.

Peradangan sekunder baik makro maupun mikrotrauma menyebabkan peningkatan


formasi radikal bebas dan stress oksidasi dalam sendi menyebabkan hilangnya lubricating
hyaluronic acid (HA) dan chondroitin sulfate dalam sendi.

Gangguan hipomobilitas (1)

Penyebab dari hipomobilitas TMJ dapat disebabkan oleh rismus atau obstruksi
anatomis seperti ankylosis tulang atau jaringan. Pemeriksaan pencitraan sangat membantu
untuk menegakkan diagnosis. Foto rontgen panorama dapat membantu untuk
mengesampingkan adanya fraktur, anatomi yang tidak lazim (coronoid hyperplasia), atau
keadaan patologis. Computerized tomography (CT) penting untuk identifikasi fraktur,
penyakit degeratif, ankylosis, atau neoplasia. Magnetic resonance imaging (MRI) sangat
membantu saat mengevaluasi lokasi diskus artikulasio, keadaan efusi sendi (inflamasi), dan
menyatakan adanya ankylosis fibrosa. Hipomobilitas terkait trismus sangat sering
disebabkan oleh infeksi, inflamasi, neoplasma, radiasi, atau trauma. Jika nyeri tidak terlalu
dirasakan, trismus mungkin terjadi berkaitan dengan adanya tumor. Jarang namun temporal
arteritis dapat menyebabkan trismus.

Ankylosis dapat terjadi karena adanya formasi jaringan parut, bentuk tulang, atau
kombinasi dari keduanya. Trauma adalah penyebab tersering di Negara berkembang. Anak
anak yang tidak dapat menjelaskan kesulitan membuka rahang memiliki risiko tinggi
berkembangnya ankylosis. Infeksi TMJ jarang namun didlaporkan penyebab ankylosis TMJ
setinggi 10% - 49%. Peradangan sendi seperti rheumatoid dan psoriatic arthritis dapat
menyebabkan TMJ tanpa gejala pada sekitar 50% anak. Jika pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya keterbatasan membuka mulut atau membuka mulut namun berdeviasi

15
dan tidak disertai rasa nyeri harus diperiksakan dengan MRI. Injeksi steroid intra-articular
dapat membantu.

Sendi ankylosis membutuhkan manajemen operasi untuk membuang jaringan


fibrosa atau reseksi heterotopic ulang. Komplikasi yang sering terjadi adalah reankylosis.
Gap arthroplasty memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (50%).

Gangguan hipermobilitas (1)

Hipermobilitas mengarah pada subluksasi atau dislokasi dari TMJ yang dapat terjadi
saat menguap, membuka mulut yang terlalu lama, kejang, dan trauma. Adanya subluksasi
kondilus menyebabkan jebakan sementara bagian anterior sampai artikulasio tertinggi.
Biasanya, gejala TMJ mereda dengan sendirinya pada beberapa pasien. Penatalaksanaan
lebih lanjut diutamakan jika gejala disertai dislokasi. Dislokasi membutuhkan bantuan
manual reduksi mandibular. Reduksi manual mandibula sebaiknya dilaksanakan segera agar
tidak semakin menyulitkan nantinya. Jika psasien merasakan nyeri yang berulang karena
dislokasi dan mengganggu aktivitas sehari-hari maka operasi menjadi pilihan terapi.

TMD Pascatrauma (1)

Trauma maksilofasial bisa menjadi awal terjadinya TMD. Banyak tipe trauma yang
berkaitan dengan disfungsi temporomandibular, termasuk kekerasan, atau trauma operasi.
Fraktur mandibular dan struktur sekitarnya sering membutuhkan perawatan dari
otolaryngologist, dan perawatan pencegahan efek pada artikulasio temporomandibular
sangat membantu.

16
Fraktur mandibular juga sering menyebabkan rasa nyeri, maloklusi, keterbatasan
membuka mulut, atau deviasi mandibular ke satu sisi. Jika tidak ditujukan pada perawatan
yang tepat dapat menyebabkan kecacatan temporomandibular. Fungsi normal TMJ dalam
prosesnya melibatkan mekanisme yang kompleks terdiri dari tulang yang utuh, kumpulan
otot yang seimbang. Adanya gangguan pada salah satu struktur ini dapat menyebabkan
patologis sendi. Reduksi anatomis dan fiksasi kaku, dilakukan bila perlu, sangat penting
untuk mengembalikan fungsi normal.

Fraktur kondilus mandibular, dapat menjadi factor predisposisi patologis dari TMJ.
30% fraktur kondilus disertai fraktur mandibular, dan dapat mempengaruhi kondilus leher.

Perawatan fraktur mandibular melibatkan proses kondilus telah lama menjadi


kontroversial. Umumnya, reduksi anatomis dan fiksasi dari fraktur kondilus pada dewasa
direkomendasikan saat ada kehilangan berat mandibular atau kominusi bruto atau dislokasi
dari segmen yang fraktur. Reduksi anatomis dengan rehabilitasi dapat memperoleh hasil
yang memuaskan.

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK (1)

Pasien dapat mengeluh nyeri tumpul pada daerah preaurikula. Kadang kadang nyeri
ini lebih menjalar sehingga sering dikeluhkan sebagai nyeri telinga. Nyeri biasanya stabil
dan bertambah jika mengunyah atau adanya pergerakan rahang yang kuat. Hal ini dapat
terjadi pada penyakit sendi baik lokal maupun general seperti rheumatoid arthritis.
Disfungsi sendi temporomandibular dapat dialami oleh anak anak yang memiliki maloklusi
gigi. (2)

Saat sedang melakukan anamnesis, riwayat trauma biasanya ditanyakan karena bisa
menjadi faktor penyebab. Hal yang terkait termasuk kondisi fisik, emosi, dan psikologis.
Sangat penting untuk mengetahui durasi gejala, adanya riwayat trauma atau inciting
factors, onset, lokasi, kualitas, saat terjadinya nyeri, dan kondisi yang menyebabkan gejala

17
terjadi (pergerakan, mengunyah, bangun tidur, atau setelah bekerja), faktor yang dapat
membuat gejala semakin membaik atau semakin memburuk, dan apakah ada atau tidaknya
suara suara dari sendi rahang, keterbatasan pergerakan rahang, dan kebiasaan parafungsi.
Sangat membantu untuk bertanya apakah pasien sudah pernah melakukan pengobatan
sebelumnya, dan bagaimana caranya (medis, operasi, dll).

Sebagai bagian dari pemeriksaan kepala leher, pemeriksaan TMJ secara umum
termasuk pemeriksaan pergerakan rahang (Range of Motion), auskultasi suara rahang, dan
palpasi, dengan tujuan meredakan gejala yang dialami pasien. Kepala dan leher dilihat
kesimetrisannya, wajah, rahang, dan gigi. Otot otot pengunyah, terutama otot temporalis
dan masseter harus di palpasi untuk melihat kelembutannya. Saat memeriksa ROM, harus
diukur lebar mulut saat dibuka dengan nyaman, membuka mulut maksimal dengan rasa
nyeri (active ROM), dan membuka mulut maksimal dengan bantuan (passive ROM).
Pengukuran dilakukan mulai dari tepi maksilar sampai tepi mandibular dan dicatat dalam
satuan millimeter. Pembukaan yang normal harus lembut, tidak nyeri, tidak disertai suara
sendi dan deviasi. Lokasi nyeri saat membuka dan adanya suara sendi dari lokasi terkait
harus didacatat bersamaan dengan adanya deviasi (jika ada catat arah deviasinya).

PEMERIKSAAN PENUNJANG (1)


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah radiografi panorama. Panorex adalah
alat pemeriksaan yang sangat baik. Pemeriksaan ini mudah didapatkan, cepat dan mudah
untuk mengekslusi fraktur, perubahan gross arthritic, tumor, kista, dan malformasi. Sama
seperti pemeriksaan kepala dan leher, CT juga membantu untuk memeriksa adanya
keabnormalan tulang dan kondisi jaringan. MRI memberikan hasil yang lebih jelas untuk
jaringan secara detail dan merupakan pemeriksaan terpilih untuk suspek abnormalitas
diskus kondilar (internal derangement). Hasil radiografi diinterpretasikan dengan hati-hati.
Pergeseran diskus dan penyakit sendi degenerative sering terlihat asimptomatik pada subjek
normal.

18
DIAGNOSIS DIFERENSIAL (1)
Nyeri TMD sering mirip dengan kasus lain yang ditemukan otolaryngologist. Gejala
pada telinga adalah yang paling sering dikeluhkan termasuk otalgia, telinga terasa penuh,
tinnitus, dan adanya suara popping atau gemeretak pada sisi telinga yang terkena. Lebih
jarang, dikeluhkan pasien hilang pendengaran atau mereka seperti ada di dalam
terowongan/gua pada sisi telinga yang sakit. Merasa tidak seimbang dan juga pusing.

Pada 996 pasien yang, 85% mengeluhkan gejala pada telinga, otalgia (64%), pusing
(42%), dan pendengeran redup 30%). 60% mengeluhkan gejala di tenggorokan, sementara
sakit kepala dicatat setinggi 81%. Gejala yang dilaporkan sangat bervariatif namun tetap
sebagai bagian dari gejala TMD.

TATALAKSANA (1)

Penatalaksanaan TMD dibagi menjadi operatif dan non operatif. Kebanyakan TMD
self limiting. Tidak ada consensus yang membahas mengenai tatalaksana variasi gejala
TMD dan gejala mana yang harus ditatalaksana. Karena tidak adatanya data penelitian
jangka panjang, tidak ada prioritas manajemen seperti apa yang harus dilakukan.
Noninvasive, terapi reversible termasuk edukasi, diet, medis (nonsteroidal anti-
inflammatory pain dan muscle relaxants), prosthetic (occlusal appliance), terapi psikis
(panas, dingin, latihan) atau terapi perilaku (menghilangkan kebiasaan parafungsi seperti
menggertakkan gigi yang dapat mencederai), dan psikoterapi dianjurkan bagi mereka
yang bermasalah. Tujuan dari penatalaksanaan adalah melakukan tindakan se noninvasive
mungkin dan reversible untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi. Penelitian klinis
mengindikasikan bahwa saat dilakukan terapi konservatif, reversible, dan noninvasive,
gejala yang muncul membaik pada banyak pasien.

Tidak ada bukti yang menyatakan perbaikan gigi, perawatan gigi, atau operasi
orthognatic (jaw-straightening) menjadi faktor untuk mencegah, atau menyebabkan TMD.
Terapi penguat gigi yang berkepanjangan harus dihindari ketika tidak ada nyeri dan atau
kehilangan fungsi.

19
Rencana penatalaksanaan TMD dilakukan berdasarkan anamnesis klinis dan
perawatan gigi,, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pendengaran, bicara, kemampuan
menelan, pemeriksaan psikososial terkait kualitas hidup dan pemeriksaan pencitraan
(radiografi). Depresi berkaitan dengan keluhan TMJ dan nyeri kronis.

Peran dokter bedah untuk kasus abnormalitas diskus TMJ masih kontroversial.
Terapi nonbedah, konservatif membuat perubahan pada banyak pasien. Sejumlah kecil
pasien yang memiliki nyeri persisten dan signifikan dan disfungsi dengan patologis terkait
langsung dengan TMJ (diskus degenerative dan penyakit intracapsular), yang dilakukan
terapi konservatif gagal dan membutuhkan tindakan operasi. Temporomandibula
arthrocentesis (joint lava), arthroscopy, atau operasi buka sendi, semuanya menjadi pilihan,
namun belum ada keefektifan prosedur operasi dari penelitian randomized controlled trials.
Keluhan tambahan disertai TMJ mungkin memerlukan tindakan bedah seperti trauma,
arthritis, dan penyakit diskus, ankylosis, gangguan pertumbuhan, dislokasi berulang,
neoplasia, dan fraktur.

Apapun masalah atau penatalaksanaan yang dilakukan, pasien dan klinisi harus
saling mengerti tentang dasar ilmu, indikasi, tujuan, risiko dan keuntungan, dan anamnesis
lengkap sebelum bertindak.

Edukasi pada pasien, NSAID, dan diet terbatas pada apa yang dirasa nyaman dan
terapi psikis dipilih terlebih dahulu sebelum memilih operasi.

Occlusal Appliance (Splint) Therapy

Parafungsi (bruxism) berhubungan dengan perkembangan nyeri otot wajah.


Berbagai macam splint telah digunakan dalam abad terakhir. Penggunaan occlusal termasuk
reposisi berarti untuk menurunkan sendi. Terapi splint tidak menunjukkan efektif pada
TMD intrakapsular selain menurunkan: sendi dan mengurangi inflamasi. Penelitian
menyatakan splint untuk TMJ dapat efektif pasa pasien dengan nyeri otot wajah dan untuk

20
melindungi gigi dari kebiasaan parafungsi pasien. Hasil MRI pasca terapi memperlihatkan
tidak ada perubahan pada posisi diskus, splint juga tidak mengubah adanya penyakit
peradangan sendi.

Setiap tipe splint memiliki keuntungan tersendiri. Soft splints untuk menyokong
bruxism. Penerapan reposisi telah menunjukkan angka keberhasilan tinggi dalam
meperbaiki sendi yang bersuara dan nyeri yang progresif. Bite plane splints melindungi
bagian depan gigi tanpa ada kontak posterior dan digunakan dengan harapan memanipulasi
propriosepsi untuk menurunkan aktivitas otot. Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan perbedaan oklusi.

Farmakoterapi

Terapi medis digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan peradangan. NSAID
efektif untuk nyeri otot wajah, synovitis, osteoarthritis, dan pergeseran diskus simptomatik.
Kortikosteroid bermanfaat untuk gangguan hipomobilitas akut yang berkaitan dengan nyeri.
Penggunaan jangka panjang tidak disarankan demi menghindari efek samping dari
penggunaan steroid jangka panjang. Suatu keputusan yang sulit untuk penggunaan
analgetik narkotik. Klinisi harus menyadari bahwa TMD sering menyebabkan nyeri kronis
dan analgetik opioid diberikan untuk durasi yang pendek dan digunakan dengan hati-hati.
Banyak klinisi yang menyebut muscle relaxants untuk pasien TMD. Efek yang dilaporkan
pasien adalah keuntungannya sangat sedikit dan sebaiknya klinisi tidak menggunakan
muscle relaxants secara rutin. Toksin botulinum dapat efektif untuk penatalaksanaan sistem
otot pengunyah yang hiperaktif dan pasien dengan dystonia. Anxiolytics dan antidepresan
juga dapat mengatasi nyeri kronis.

Terapi fisik

Terapi fisik terdiri dari latihan ROM, pijat, terapi suhu, dan stimulasi elektrik. Di
rumah terapi fisik dijelaskan oleh klinisi atau therapist untuk meredakan nyeri dan
inflamasi serta memperbaiki ROM.

21
Operasi tertutup TMJ

Operasi TMJ yang dapat dilakukan antara lain:

Arthrocentesis

Arthroscopy

Operasi terbuka TMJ surgery untuk gangguan internal

Rekonstruksi TMJ

KESIMPULAN (1)

Disfungsi TMJ menjadi sering dan banyak terjadi di populasi dan sering ditemukan
oleh otolaryngologist saat memeriksa keluhan terkait telinga atau kepala dan leher. TMD
dapat dibagi menjadi patologi intracapsular dan myofascial, dan membedakannya penting
untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksanaan harus mulai dengan
edukasi, farmakologis yang sesuai, modifikasi gaya hidup, dan terapi pemakaian oklusal.
Operasi dibutuhkan bagi pasien yang gejala tidak berkurang/hilang setelah terapi non
invasive yang disebutkan diatas.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Fantuzzo, Joseph J. dan Karelsky, Sveta. Management of


Temporomandibular Joint Pain and Dysfunction. [pengar. buku] Jonas T. Johnson
dan Clark A. Rosen. Bailey's Head and Neck Surgery Otolaryngology.
Philadelphia : s.n., 2014.

2. P, Robert L. dan L, Frank E. Facial pain and Headache . [pengar. buku]


Bluestone, et al., et al. Pediatric Otolaryngology. Philadelphia : Saunders , 2003.

3. III, Charles F Guardia. Medscsape. Temporomandibular disorders.

4. Malik, Neelima Anil. Temporomandibular Joint: afflictions and


management. new delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers, 2008.

23

You might also like