You are on page 1of 4

II.

TINJAUAN PUSTAKA
Hujan adalah kebasahan yang jatuh ke bumi dalam bentuk cair. Butir-butir

hujan mempunyai garis tengah 0,08 6 mm. Hujan terdapat dalam beberapa

macam yaitu hujan halus, hujan rintik-rintik dan hujan lebat. Perbedaan terutama

pada besarnya butir-butir. Hujan lebat biasanya turun sebentar saja jatuh dari awan

cumulonimbus. Hujan semacam ini dapat amat kuat dengan intensitas yang besar

(Karim,1985).
Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau

yang manual. Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang

masih alamiah, sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang

luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah

tipe observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer. Curah hujan dari

pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut

penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar

seluas 100 cm2 dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1,2 meter dari

permukaan tanah (jumin, 2002)


Alat pengukur hujan otomatis biasanya memakai prinsip pelampung,

timbangan dan jungkitan. Keuntungan menggunakan alat ukur otomatis ini antara

lain seperti, waktu terjadinya hujan dapat diketahui, intensitas setiap terjadinya

hujan dapat dihitung, pada beberapa tipe alat, pengukuran tidak harus dilakukan

tiap hari karena periode pencatatannya lebih dari sehari, dan beberapa keuntungan

lain (Sutedjo, Mul Suryani dan Kartasapoetra. 2005).


Curah hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau unsur-unsur

presipitasi yakni pertama,hujan. Hujan adalah butir-butir air yang jatuh ke bumi

dalam bentuk cair. Butir-butir hujan mempunyai garis tengah 0,08 6 mm.

Macam hujan yaitu hujan halus, hujan rintik-rintik dan hujan lebat. Perbedaan
terutama pada besarnya butir-butir. Hujan lebat biasanya turun sebentar saja dari

awan cumulonimbus. Hujan semacam ini dapat amat kuat dengan intensitas yang

besar. Kedua salju, terjadi karena sublimasi uap air pada suhu dibawah titik beku.

Bentuk dasar dari slju adalah hexagonal akan tetapi hal ini tergantung dari suhu

dan cepatnya sublimasi. Dan yang ketiga, hujan ES. Hujan es jatuh pada waktu

hujan guntur dari awan cumulonimbus. Didalam awan terdapat konveksi dari

udara panas dan lembab. Dalam udara panas dan lembab yang naik secara

konvektif, dan terjadilah sublimasi. Bilamana aliran menjadi lemah, butir-butir air

akan turun sehingga sampai pada bahagian bawah, disini mengisap air sehingga

sebagian membeku oleh inti yang sangat dingin itu (Handoko, 1986).
Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau

yang manual. Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang

masih alamiah, sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang

luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah

tipe observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer. Curah hujan dari

pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut

penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar

seluas 100 cm2 dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1,2 meter dari

permukaan tanah. ( Jumin, 2002).


Evaporasi merupakan konversi air kedalam uap air. Proses ini berjalan

terus hampir tanpa berhenti disiang hari dan kerap kali dimalam hari, perubahan

dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan energi berupa panas laten untuk

evaporasi, proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran matahari

langsung, awan merupakan penghalangan radiasi matahari dan penghambat proses

evaporasi. Jika uap air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara permukaan
tanah dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan

berhenti,agar proses tersebut berjalan terus,lapisan jenuh harus diganti dengan

udara kering, pergantian itu hanya mungkin jika ada angina,yang akan menggeser

komponen uap air,kecepatan angina memegang peranan penting dalam proses

evaporasi. (Wahyuningsih, 2004).


Evaporasi yang terus menerus memerlukan pemindahan uap air dari

permukaan sedikit ke atas,tanpa memindahkan udara dekat bumi, udara itu akan

jenuh dengan uap air dan evaporasi akan berhenti. Molekul air terus menerus

bergerak melewati permukaan air ke atmosfer bumi. Bila jumlah molekul-molekul

yang keluar dari permukaan lebih besar dari pada jumlah yang kembali ke

permukaan air maka terjadi evaporasi. Pergantian secara netto hanya merupakan

sebagian kecil dari jumlahnya (AAK, 1997).


Informasi curah hujan diperlukan mengenai jumlah hujan, jumlah hari

hujan dan sebarannya menurut waktu. Kelembaban berkaitan dengan

pertumbuhan hama dan penyakit tertentu pada berbagai tanaman. Suhu berkatan

dengan umur tanaman, pertumbuhan generatif, pembentukan biji, buah dan

gangguan fisiologis lainnya. Angin diperlukan untuk penguapan, penyerbukan,

keseimbangan kandungan udara, bahkan tenaga angin dapat dipakai untuk

menggerakan berbagai alat mekanik pertanian. Yoshida and Parao (1976)

menyatakan suhu, radiasi surya dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan

hasil padi melalui dua cara. Pertama secara langsung, iklim mempengaruhi proses

fisiologis tanaman, seperti pertumbuhan vegetatif, susunan organ-organ

penyimpanan dan pengisian gabah. Kedua secara tidak langsung mempengaruhi

hasil gabah melalui kerusakan oleh hama dan penyakit yang menyerang tanaman.
AAK. 2003. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. PT Kanisius. Yogyakarta.

Darsiman, B,. Sutrisno., Mukri Siregar., Nazaruddin Hisyam. 1999. Kharakteristik Zone
Agroklimat E2 di Sumatera Utara. Makalah Penunjang Kongres IV PERHIMPI
dan Simposium Internasional I, Bogor, 18-20 Oktober 1999. 9 pp

Darwis, S. N. 1992. Pemantapan Pola Iklim untuk Pertanian. Proc.Symposium Met.


Pertanian III. PERHIMPI. P9-20.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Jumin, Hasan Basri. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologi. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Karim, K. 1985. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Klimatologi. Universitas Syiah Kuala,


Banda Aceh.

Sutedjo, Mul Suryani dan Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT RINEKA
CIPTA, Jakarta.

Wahyuningsih, Utami. 2004. Geografi. Pabelan. Jakarta

Yoshida, S., and F.T Parao. 1976. Climate influence on yield and yield components of
lowland rice in tropics. Proc. Of Symposium on Climate and Rice. The Int. Res.
Inst. Los Banos, Philippines. P471-494

You might also like