You are on page 1of 10

Kartini, Pahlawan Made in Belanda

Sosok Kartini sebagai ikon pejuang wanita Indonesia dinilai berbau campur tangan
kolonialis. Tujuannya adalah membentuk imej, bahwa perempuan berpemikiran Baratlah
yang cocok dijadikan panutan. Apalagi, alam pemikiran Kartini pun banyak dipengaruhi oleh
Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan Yahudi yang pada masa lalu sangat kuat
pengaruhnya di Nusantara.

Pemerintah menetapkan Raden Ajeng Kartini sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat
Keputusan Presiden RI, No.108 Tahun 1964. Kartini dianggap pahlawan karena
kontribusinya dalam menyampaikan gagasan-gagasan tentang kemajuan perempuan.
Meskipun diketahui, bahwa gagasan-gagasan Kartini ternyata sangat dipengaruhi oleh orang-
orang sosialis-feminis, seperti Estella Zeehandelaar. Selain itu, alam pemikiran Kartini juga
sangat bercorak Theosofi, sebuah organisasi kebatinan Yahudi yang keberadaanya sempat
dilarang oleh pemerintah RI.

Dalam buku Gerakan Theosofi di Indonesia, penulis menyimpulkan bahwa ada upaya-
upaya, baik langsung ataupun tidak langsung, dari elit-elit kolonial yang berusaha
menonjolkan Kartini sebagai sosok kemajuan perempuan Indonesia. Upaya ini bisa saja
mengarah kepada rekayasa sejarah yang dilakukan oleh kolonialis. Ini mengingat bahwa
Kartini sangat dekat dengan elit-elit tersebut, seperti J.H Abendanon, Snouck Hurgronje, H.H
van Koll, dan lain-lain. Selain itu, elit kolonial ketika itu yang kebanyakan menganut paham
humanisme, paham yang dipasarkan oleh Theosofi dan Freemason, mempunyai kepentingan
untuk menjadikan budaya Barat menyatu dengan budaya Timur. Filsafat Barat yang liberal,
sosialis, dan sekular, dipropagandakan agar bisa diterima masyarakat pribumi ketika itu.

Karena itu, penjajah Belanda kemudian menggagas Gerakan Politik Etis, yaitu sebuah
gerakan politik kolonialis yang diantaranya mengusung kebijakan asimililasi, unifikasi, dan
asosiasi terhadap masyarakat pribumi. Mereka menyusun sebuah rencana besar agar warga
pribumi bisa terpengaruh dengan berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Asimilasi dan
asosiasi diartikan sebagai kebijakan mencampur dan mengganti kebudayaan pribumi dengan
kebudayaan penjajah Belanda. Sedangkan unifikasi adalah penyatuan seluruh sistem yang
berkembang dalam masyarakat pribumi dan sistem kolonial, yang meliputi pemerintahan,
pendidikan, dan sistem hukum.

Mereka yang tergabung dalam Gerakan Politik Etis inilah yang kemudian banyak berinteraksi
dengan Kartini, seperti tercermin dalam surat-suratnya. Diantaranya adalah J.H Abendanon
dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang direkomendasikan oleh Snouck
Hurgronje untuk mendekati Kartini bersaudara. Tokoh lain yang aktif melakukan pendekatan
ala Gerakan Politik Etis dan disebut namanya dalam surat-surat Kartini adalah H.H Van Kol
(Orang yang berwenang dalam soal jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda),
Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K.F Holle
(Seorang Humanis), dan Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai
Penasehat Pemerintahan Hindia Belanda).

Kedekatan Kartini dengan orang-orang tersebut tentu berlangsung saling mempengaruhi.


Apalagi, Belanda mempunyai kepentingan untuk merekrut dan mendidik anak-anak priyai
Jawa. Banyak dari anak-anak pribumi yang dididik dan diberi beasiswa untuk studi ke negeri
Belanda pada masa itu. Diantara lembaga beasiswa yang aktif menjaring anak-anak pribumi
untuk disekolah ke negeri Belanda adalah Dienaren van Indie, sebuah lembaga beasiswa
(studie fonds) yang didirikan oleh kelompok Vrijmetselaarij (Freemason) di Hindia Belanda.
Dienaren van Indie sendiri artinya adalah Abdi Hindia, sehingga diharapkan mereka yang
memperoleh beasiswa dan dididik dengan pendidikan ala Barat, bisa menjadi abdi kolonial
atau setidaknya partner setia kolonialis.

Kembali ke soal Kartini. Pada masanya, Kartini tidaklah begitu dikenal, kecuali oleh
segelintir elit Belanda.Dibandingkan tokoh-tokoh perempuan lain, kiprah Kartini hanya
dalam bentuk wacana-wacana, tidak dalam bentuk kongkret. Ketika C. Th van Daventer,
anggota Partai Radikal Demokrat, mendirikan Komite Kartini Fonds pada 27 Juni 1913,
barulah ide-ide Kartini diperkenalkan kepada orang-orang Belanda. Selain itu, interaksi
dengan Van Kol yang juga anggota parlemen Belanda, yang meminta Kartini menulis artikel
tentang perempuan untuk dibaca orang-orang Belanda, juga makin membuat Kartini dikenal
di Belanda.Termasuk juga dengan menerbitkan buku Door Duisternis tot Licht pada 1911
yang diterjemahkan oleh Armijn Pane, seorang sastrawan penganut Theosofi, dengan judul
Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pada tahun yang sama, 24 Desember 1911, Raden Mas Noto Soeroto yang merupakan
keturunan Paku Alam, menawarkan kepada organisasi pelajar Indonesia di Nederland
(Indische Vereeniging yang didirikan pada 1908) agar gagasan Kartini dijadikan pedoman
gerak dan langkah organisasi serta dijadikan acuan pergerakan nasional. Keluarga Paku Alam
pada masa itu dikenal dekat dengan jaringan Freemason (Vrijmetselarij) atau dalam bahasa
orang Jawa disebut Gerakan Kemasonan. Bahkan, elit Paku Alam pun banyak yang
menjadi anggota organisasi ini.

Mengapa sosok Kartini dijadikan ikon perjuangan perempuan, bahkan dijadikan pahlawan
Nasional? Melihat kedekatannya dengan elit-elit kolonial, apakah ada campur tangan
kolonialis dalam hal ini? Apakah ada rekayasa sejarah?

Prof Harsja W Bachtiar dalam artikel berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam
Masyarakat Kita yang ditulis dalam rangka memperingati 100 tahun Kartini, menyatakan
bahwa kita, bangsa Indonesia, menjadikan Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di
Indonesia dari orang-orang Belanda.

Prof. Harsja melihat penokohan Kartini sebagai sebuah rekayasa sejarah yang dibuat oleh
orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai perempuan pribumi yang menjadi
inspirasi bagi kemajuan perempuan Indonesia. Dengan kata lain, Kartini adalah sosok yang
diciptakan, ditampilkan sebagai ikon, karena kedekatannya dengan elit Belanda dan
pemikirannya yang banyak mengadopsi Barat. Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur
dan secara terbuka melihat, jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran
penting seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat penghargaan serupa,
tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.

Dalam Majalah Tempo, 22 April 1989, Prof. Harsja kembali menegaskan, Kebanyakan
wanita kita tidak karena Kartini. Penonjolan Kartini sebagai tokoh pendidikan wanita, waktu
itu sesuai dengan politik etis Belanda,ujarnya. Harsja menduga, ada pengaruh pemikiran
Stella Zeehandelaar, seorang perempuan sosialis berdarah Yahudi, yang menjadi teman
korespondensi Kartini.Mungkin Stella banyak memasukkan ide dengan mengirim pamflet
atau buku kepada Kartini, tutur Harsja. Dengan penuh tanya, Harsja mengatakan,Kenapa
surat-surat Stella tidak diterbitkan juga? Harsja dengan tegas menilai, yang menokohkan
Kartini adalah orang-orang Belanda.

Soal sosok Kartini yang diduga menjadi mitos dan rekayasa yang diciptakan oleh kolonialis
juga menjadi perhatian sejarawan senior Taufik Abdullah. Taufik menulis,

Tak banyak memang pahlawan kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah
keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman
tenteram berdiam di alam mitosmereka adalah pahlawan dan selesai masalahnya. R.A
Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos
dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya.
Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah
kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi? (Kata Pengantar Taufik Abdullah dalam
Th Sumarna, Agama dan Pergulatan Batin Kartini, hal.XV)

Interaksi Kartini dengan organisasi Oost en West (Timur dan Barat) yang ditulis dalam surat-
suratnya, meski tidak disebutkan bahwa organisasi itu milik kelompok Theosofi, namun
literatur sejarah menyatakan bahwa Oost en West adalah organisasi milik Theosofi di Batavia
yang juga menyelenggarakan lembaga pendidikan untuk guru bernama Goenoeng Sarie.
Kartini juga pernah berikirim surat menanyakan kabar keluarga Van Kol di Fort de Kock (di
daerah Agam, Bukit Tinggi, Sumatera Barat), sebuah daerah yang juga berdiri Loji Theosofi.

Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang kebatinan, sinkretismeatau
sekarang lebih populer dengan istilah pluralismejuga tentang pembentukan watak dan
kepribadian, lebih menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang
didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna School, dengan muatan
nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini School.

Kartini, seperti yang tersirat dalam tulisan Prof Harsja W Bachtiar, adalah sosok yang
diciptakan oleh Belanda untuk menunjukan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi
kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan
kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah
sukses melahirkan sosok yang Kartini yang kini dijadikan pahlawan dan diperingati hari
kelahirannya setiap tahun. Kita diarahkan oleh kolonial untuk mengakui sosok yang
terbaratkan oleh paham humanisme sebagai idola.

Di negeri Belanda sendiri, untuk mengenang Kartini, pemerintah setempat menjadikan


Kartini sebagai nama jalan di beberapa tempat. Di Utrecht ada Kartinistraat, yang merupakan
jalan utama di daerah itu. Di Venlo, Belanda Selatan, juga ada jalan R.A Kartinistraat (Jalan
R.A Kartini), dan terakhir di Amsterdam, juga ada jalan yang mengatasnamakan Kartini
ditulis secara lengkap: Raden Adjeng Kartinistraat.

(Sumber : http://m.voa-islam.com//news/liberalism/2012/04/21/14341/mengungkap-campur-
tangan-kolonial-belanda-dalam-kepahlawanan-ra-kartini/
* Penulis buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara, Jakarta: Al-Kautsar, 2010.)

http://deviciptyasari.blogspot.co.id/2

Perjuangan Wanita Jawa Tengah dalam Pergerakan Nasional

Pada awalnya pergerakan wanita di Indonesia hanya memiliki sedikit peluang umtuk
berkembang, terutama pada saat masa pendudukan Jepang (1942-1945). Satu-satunya
organisasi yang dizinkan berjalan adalah Fujinkai. Perkumpulan ini ditujukan untuk
memerangi buta huruf, menjalankan dapur umum, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
sosial. Melalui kegiatan-kegiaan tersebut, kaum perempuan Indonesia dari kelas atas dan
menengah dapat bergaul dengan perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang
sangat kuat diantara mereka.
Pengaruh Barat mulai memasuki masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20. Para Bupati atau bangsawan yang jumlahnya masih sedikit di daerah
Jawa Tengah yang sudah berpendidikan dan berpikir maju, antara lain Bupati Demak
R.M.A.A. Hadiningrat; Bupati Jepara R.M.Adipati Sosroningrat; Bupati Pati P.A.
Condronegoro yang dikenal karena tulisan tentang kisah perjalannan di Jawa serta bebarapa
karangannya yang dimuat dalam majalah Lembaga Kebudayaan. Bupati Kudus yang juga
mendatangkan guru Belanda untuk mendidik putra-putranya. Pada tahun 1902 ada beberapa
bupati yang pandai menulis dan bekomunikasi dengan bahasa Belanda, antara lain Akhmad
Jayadiningrat, Bupati Serang; R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak ; dan R.M. Adipati
Sosroningrat.
Di samping itu terdapat beberapa juga beberapa orang yang telah mencapai kemajuan
yang setaraf dengan orang eropa, seperti R. Saleh Syarif Bustaman; R.M. Ismangun
Danuwinoto; Kolonel Mayangkara, Mas Atmodirono, dan Raden Kamil. Dari beberapa orang
tersebut, timbul gagasan baru yang merupakan reaksi dari golongan priyayi terpelajar
terhadap pemerintahan kolonial dan diskriminasi pendidikan yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Demikian itu, dapat dikatakan bahwa gejala lahirnya pergerakan nasional telah
mulai nampak, khususnya di Jawa Tengah.
Pergerakan nasional Jawa Tengah dalam hubungan ini tidak bisa terlepas dari peranan
R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak, dan R.A. Kartini, seorang putri dari Bupati Jepara.
Kedua tokoh ini dianggap sebagai perintis bangunnya kaum terpelajar bangsa Indonesia.
Pemikiran kedua ini yang maju dan memiliki pengaruh telah membawa perubahan bagi
lahirnya pergerakan nasional di Jawa Tengah, khususnya.
R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak pada akhir abad ke-19 adalah seorang bupati
yang telah berpikir maju dan memiliki pengaruh yang besar di antara bupati di Indonesia
pada akhir abad ke-19. Ia sering dimintai pendapatnya oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada
tahun 1893 pemerintah menunjuk R.M.A.A. Hadiningrat untuk mengadakan penyelidikan
sebab terjadinya kemunduran wibawa bupati di mata kalangan rakyat. Selanjutnya
memberikan saran untuk mengatasi masalah tersebut.
Pada tahun 1899, R.M.A.A. Hadiningrat menerbitkan hasil laporan penyelidikan mengenai sebab
kemunduran wibawa bupati di mata rakyat. Menurutnya, kesalahan terletak karena kurangnya
kesempatan pendidikan bagi orang Jawa. Para bupati yang tidak berpendidikan Barat tidak
diperhatikan oleh penguasa Belanda, sehingga menyebabkan kehilangan wibawa dan
menunjukan sikap rendah diri. Hadiningrat menganjurkan agar di masa depan diberi
kesempatan pendidikan sekolah yang lebih tinggi, kepada calon bupati. Dengan demikian ia
telah menekankan unsur yang baru di dalam pengangkatan pegawai pamongpraja, ialah hak
dan pendidikan bukan semata-mata keturunan dan darah.
Faktor Pendukung dan Tokoh Gerakan Wanita di Jawa Tengah
Lahirnya pergerakan wanita di Indonesia, khususnya Jawa Tengah, tidak terlepas dari
putri Bupati Jepara, yaitu R.A. Kartini (21 April-17 September 1904). Kartini dilahirkan pada
tanggal 21 April 1879 sebagai keturunan kelima dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
sebagai Bupati Jepara yang memerintah 1880-1905. Kartini lahir ketika ayahnya menjabat
sebagai Wedana di Mayong, Kabupaten Jepara. Kartini mengalami pendidikan sampai tamat
ELS (Europeesche Lagere School) di Jepara tetapi tidak berhasil melanjutkan pelajarannya ke
HBS (Hoogere Burger School) Semarang, karena tidak diizinkan oleh ayahnya. Pada waktu
itu Kartini sudah berumur 12 tahun yang dianggap Remaja Putri, usia di mana adat harus
mulai dipingit.
Semangat nasionalisme yang dimiliki oleh R. A. Kartini mulai muncul sejak beliau
masih remaja dan semakin tak gentar ketika beliau sering mengirim surat dengan teman-
teman yang berada di luar negri. Didalam surat-surat tersebut, R. A. Kartini mencurahkan
segala cita-cita dan gagasannya. Seperti surat yang ditujukan kepada Nyonya Abendanon
pada tanggal 25 Agustus 1903. Didalam surat tersebut, beliau menuliskan bahwa gagasan
beliau didukung oleh keluarga dan masyarakat disana. Terkadang beliau lupa untuk
memikirkan masa depan beliau sendiri, karena beliau terlalu memikirkan bagaimana nasib
masyarakat di luar sana. Dahulu, beliau berangan-angan bahwa suatu saat nanti, beliau akan
menjadi seorang kakak atau seorang ibu bagi orang-orang diluar sana. Akan tetapi, hal itu
membuat hati beliau senang.

Selama kehidupannya berada di sekolah, ia banyak mendapatkan teman anak orang


Belanda dan berkenalan dengan alam pikir serta pengetahuan Barat. Kesan yang diperolehnya
seiring bertambahnya usia dan buku yang dibaca, telah menumbuhkan keyakinannya bahwa
kedudukan kaum wanita sangat rendah. Kartini bercita-cita ingin menjadi guru bagi anak para
bupati. Putri bangsawan wajib membimbing dan memimpin kaum wanita untuk mencapai
kemajuan. Namun, sayangnya usulan Abendanon untuk mendirikan sekolah tersebut ditolak
oleh Pemerintah Hindia-Belanda atas desakan para bupati yang merasa keberatan.
Di dalam Kabupaten Jepara, Kartini mendapatkan kamar kerja sendiri, tempat untuk
membaca dan menulis surat kepada kenalannya yang kebanyakan mempunyai kedudukan di
masyarakat. Di samping itu Kartini sebelum melakukan perkawinan, telah melaksanakan cita-
citanya dengan mendirikan sekolah kecil-kecilan di dalam kabupaten untuk anak pegawai
negeri. Di antara temannya yang dikirimi surat adalah orang Belanda yang tergolong
kelompok etis di dalam pemerintahan seperti J.H. Abendanon, Direktur Departemen
Pendidikan tahun 1900-1905; N. Adriani dan lain-lain. Surat-surat kartini menunjukan
persahabatan yang dalam dan cita-cita untuk membebaskan kaum wanita dari
keterbelakangan, serta penentangan terhadap adat yang menghambat kemajuan bagi wanita.
Surat-surat yang ditulis oleh Kartini tentang pergaulan dalam lingkuangan, keadaan
rakyat yang terbelakangdan sengsara adat-istiadat kuno, seperti pemberian hormat dan
pingitan terhadap anak gadis, perkawinan yang merendahkan derajat kaum wanita. Kartini
juga mengecam pejabat Belanda yang tidak menaruh hormat kepada para bupati serta
menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputera karena dianggap
membahayakan kedudukan pemerintahan Hindia-Belanda.
Surat-surat Kartini diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1911, setelah
kematiannya. Surat itu diterbitkan oleh Tuan dan Nyonya Abendanon dengan judul Door
Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Pada Tahun 1923 buku tersebut dicetak
untuk keempat kalinnya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, arab, dan
Perancis. Maksud dari penerbitan itu adalah untuk mendapatkan dana mendirikan sekolah
gadis dan sekolah guru perempuan di Indonesia. tahun 1921 didirikan Fonds Kartini di Den
Haag untuk membiayai Sekolah Kartini dengan Bahasa Belanda sebagai Pengantar yang
telah di Semarang, Jakarta, Malang, Bogor, dan dengan bahasa daerah di Cirebon, Rembang,
Pekalongan, Indramayu, dan Surabaya.
Tahun 1912 telah dibuka Sekolah Kartini yang pertama di Semarang atas dorongan
Mr. Deventer. Kemudian berdiri pula Van Deventer Fonds, tujuannya adalah sama seperti
Fond Kartini untuk tingkat sekolah lanjutan, dan sekolah guru Van Deventer di Semarang
adalah salah satu hasil dari kegiatan tersebut. Surat-surat dan pendirian sekolah dari Kartini di
berbagai tempat, membuatnya tidak terlepas dari pergerakan kaum wanita.
Pengaruh Gerakan Wanita di Jawa Tengah
Setelah didengungkannya emansipasi wanita, banyak bermunculan perkumpulan-
perkumpulan wanita di Indonesia seperti Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia).
Perwani merupakan perkumpulan yang sangat populer di Indonesia. Usaha-usaha yang
dilakukan oleh Perwani adalah dengan mengadakan kongres. Atas inisiatif Perwani cabang
Yogyakarta yang dipimpin oleh Nyonya D. D. Susanto, kongres perempuan pertama setelah
proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 15-17 Desember
1945 yang diketuai oleh Nyonya Kartowijono dan Nyonya Maria Ulfah Santoso. Pada
pertemuan tersebut, Perwani dan perkumpulan perempuan yang lainmelebur menjadi satu
dalam organisasi yang bernama Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia).
Pertemuan selanjutnya diadakan di Solo pada tanggal 24-26 Februari 1946. Pada
pertemuan tersebut diputuskan untuk membuat suatu organisasi tetap yang bernama Badan
Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri dari Perwari dan PPII, Persatuan Wanita
Kristen Indonesia dari Protestan, dan seksi peremouan Partai Katolik Indonesia. Kowani
memiliki hak kuasa untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan
yang berada di dalamnya.
Kongres kedua perempuan Indonesia tidak diadakan di Jawa Tengah, melainkan di
Madiun, Jawa Timur. Dalam kongres yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Juni sampai 16 Juni
1946 dan dihadiri tiga belas perwakilan dari masing-masing perkumpulan memutuskan
bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda.
Mereka berinisiatif akan membentuk dapur umum dan berjuang di garda depan dalam
menangani aktivitas semacam ini.

Kongres ketiga Konwani diselenggarakan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 14-
16 Juli 1946 yang dipimpin oleh Nyonya Soenarjo Mangoenpoespito. Peertemuan tersebut
dilaksanakan setelah delapan bulan perjanjian Linggajati 15 November 1946. Pada waktu itu,
Belanda secara de facto mengakui Republik Indonesia sebagai negara federal yang masih
berada di bawah pengawasan Belanda. Ketidakstabilan politik tejadi pada saat itu, sehingga
kongres memutuskan untuk mengirim surat tanda penghargaan perkumpulan perempuan
progresif di Belanda yang menyesalkan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia. Beberapa
setelah kongres berakhir, pasukan Belanda melancarkan agresi militernya.
Kongres keempat Konwani yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 26 sampai 28
Agustus 1948 yang dipimpin oleh Nyonya Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan
segala aktivitas mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.
Agresi militer Belanda yang terjadi di Yogyakarta menghambat komunikasi dari
perkumpulan perempuan di Indoensia. Melalui tekad yang kuat dan inisiatif mereka untuk
menyelenggarakan konferensi. Konferensi Konwani dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal
2 September 1949 yang diketuai oleh Nyonya Soepeni. Konferensi tersebut dikenal dengan
nama Permusjawaratan Wanita Indoensia. Konferensi tersebut dihadiri para delegasi dari
seluruh daerah yang bebas atau masih dibawah pemerintahan Belanda dan 82 organisasi
perempuan dari seluruh Indoensia.
Bukti terbesar dari semangat kaum perempuan ini, dengan keinginan mereka untuk
bersatu bahwa konferensi ini dilaksanakan di negara yang terpecah menjadi dua bahkan
sudah hancur dan serba kekurangan. Hal terpenting yang disusun sebelum Konferensi Meja
Bundar, adalah kesetiaan mutlak kepada para pemimpin yang akan berunding dan dukungan
mereka kepada republik yang tidak terpisah. Para delegasi ini, dengan visi ke depan juga
merumuskan tuntutan dasar.

PENUTUP
Kesimpulan
Pada awalnya pergerakan wanita di Indonesia hanya memiliki sedikit peluang umtuk
berkembang, terutama pada saat masa pendudukan Jepang (1942-1945). Satu-satunya
organisasi yang dizinkan berjalan adalah Fujinkai. Perkumpulan ini ditujukan untuk
memerangi buta huruf, menjalankan dapur umum, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
sosial. Melalui kegiatan-kegiaan tersebut, kaum perempuan Indonesia dari kelas atas dan
menengah dapat bergaul dengan perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang
sangat kuat diantara mereka.
Pengaruh Barat mulai memasuki masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20. Para Bupati atau bangsawan yang jumlahnya masih sedikit di daerah
Jawa Tengah yang sudah berpendidikan dan berpikir maju, antara lain Bupati Demak
R.M.A.A. Hadiningrat; Bupati Jepara R.M.Adipati Sosroningrat; Bupati Pati P.A.
Condronegoro yang dikenal karena tulisan tentang kisah perjalannan di Jawa serta bebarapa
karangannya yang dimuat dalam majalah Lembaga Kebudayaan. Bupati Kudus yang juga
mendatangkan guru Belanda untuk mendidik putra-putranya. Pada tahun 1902 ada beberapa
bupati yang pandai menulis dan bekomunikasi dengan bahasa Belanda, antara lain Akhmad
Jayadiningrat, Bupati Serang; R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak ; dan R.M. Adipati
Sosroningrat.

DAFTAR PUSTAKA
Maria Ulfah Subadio dan T. O. Ihromi.1994.Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ruth Indiah Rahayu.2008.Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.Jakarta:
Komunitas Bambu.
Zainal Arifin Thoha.2003.Runtuhnya Singgasana Kiai: NU, Pesantren dan Kekuasaan; Pencarian
Tak Kunjung Usai.Yogyakarta: Penerbit Kutub.
Suhartono.1994.Sejarah Pergerakan Nasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

You might also like