You are on page 1of 7

Perjuangan Wanita Jawa Tengah dalam Pergerakan Nasional

Pada awalnya pergerakan wanita di Indonesia hanya memiliki sedikit


peluang umtuk berkembang, terutama pada saat masa pendudukan Jepang
(1942-1945). Satu-satunya organisasi yang dizinkan berjalan adalah Fujinkai.
Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi buta huruf, menjalankan dapur
umum, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Melalui kegiatan-kegiaan
tersebut, kaum perempuan Indonesia dari kelas atas dan menengah dapat
bergaul dengan perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang
sangat kuat diantara mereka.
Pengaruh Barat mulai memasuki masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19
dan permulaan abad ke-20. Para Bupati atau bangsawan yang jumlahnya masih
sedikit di daerah Jawa Tengah yang sudah berpendidikan dan berpikir maju,
antara lain Bupati Demak R.M.A.A. Hadiningrat; Bupati Jepara R.M.Adipati
Sosroningrat; Bupati Pati P.A. Condronegoro yang dikenal karena tulisan tentang
kisah perjalannan di Jawa serta bebarapa karangannya yang dimuat dalam
majalah Lembaga Kebudayaan. Bupati Kudus yang juga mendatangkan guru
Belanda untuk mendidik putra-putranya. Pada tahun 1902 ada beberapa bupati
yang pandai menulis dan bekomunikasi dengan bahasa Belanda, antara lain
Akhmad Jayadiningrat, Bupati Serang; R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak ; dan
R.M. Adipati Sosroningrat.

Di samping itu terdapat beberapa juga beberapa orang yang telah


mencapai kemajuan yang setaraf dengan orang eropa, seperti R. Saleh Syarif
Bustaman; R.M. Ismangun Danuwinoto; Kolonel Mayangkara, Mas Atmodirono,
dan Raden Kamil. Dari beberapa orang tersebut, timbul gagasan baru yang
merupakan reaksi dari golongan priyayi terpelajar terhadap pemerintahan
kolonial dan diskriminasi pendidikan yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Demikian itu, dapat dikatakan bahwa gejala lahirnya pergerakan nasional telah
mulai nampak, khususnya di Jawa Tengah.

Pergerakan nasional Jawa Tengah dalam hubungan ini tidak bisa terlepas
dari peranan R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak, dan R.A. Kartini, seorang putri
dari Bupati Jepara. Kedua tokoh ini dianggap sebagai perintis bangunnya kaum
terpelajar bangsa Indonesia. Pemikiran kedua ini yang maju dan memiliki
pengaruh telah membawa perubahan bagi lahirnya pergerakan nasional di Jawa
Tengah, khususnya.

R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak pada akhir abad ke-19 adalah seorang
bupati yang telah berpikir maju dan memiliki pengaruh yang besar di antara
bupati di Indonesia pada akhir abad ke-19. Ia sering dimintai pendapatnya oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1893 pemerintah menunjuk R.M.A.A.
Hadiningrat untuk mengadakan penyelidikan sebab terjadinya kemunduran
wibawa bupati di mata kalangan rakyat. Selanjutnya memberikan saran untuk
mengatasi masalah tersebut.

Pada tahun 1899, R.M.A.A. Hadiningrat menerbitkan hasil laporan penyelidikan


mengenai sebab kemunduran wibawa bupati di mata rakyat. Menurutnya,
kesalahan terletak karena kurangnya kesempatan pendidikan bagi orang Jawa.
Para bupati yang tidak berpendidikan Barat tidak diperhatikan oleh penguasa
Belanda, sehingga menyebabkan kehilangan wibawa dan menunjukan sikap
rendah diri. Hadiningrat menganjurkan agar di masa depan diberi kesempatan
pendidikan sekolah yang lebih tinggi, kepada calon bupati. Dengan demikian ia
telah menekankan unsur yang baru di dalam pengangkatan pegawai
pamongpraja, ialah hak dan pendidikan bukan semata-mata keturunan dan
darah.

Faktor Pendukung dan Tokoh Gerakan Wanita di Jawa Tengah

Lahirnya pergerakan wanita di Indonesia, khususnya Jawa Tengah, tidak


terlepas dari putri Bupati Jepara, yaitu R.A. Kartini (21 April-17 September 1904).
Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 sebagai keturunan kelima dari
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sebagai Bupati Jepara yang memerintah
1880-1905. Kartini lahir ketika ayahnya menjabat sebagai Wedana di Mayong,
Kabupaten Jepara. Kartini mengalami pendidikan sampai tamat ELS
(Europeesche Lagere School) di Jepara tetapi tidak berhasil melanjutkan
pelajarannya ke HBS (Hoogere Burger School) Semarang, karena tidak diizinkan
oleh ayahnya. Pada waktu itu Kartini sudah berumur 12 tahun yang dianggap
Remaja Putri, usia di mana adat harus mulai dipingit.

Semangat nasionalisme yang dimiliki oleh R. A. Kartini mulai muncul sejak


beliau masih remaja dan semakin tak gentar ketika beliau sering mengirim surat
dengan teman-teman yang berada di luar negri. Didalam surat-surat tersebut, R.
A. Kartini mencurahkan segala cita-cita dan gagasannya. Seperti surat yang
ditujukan kepada Nyonya Abendanon pada tanggal 25 Agustus 1903. Didalam
surat tersebut, beliau menuliskan bahwa gagasan beliau didukung oleh keluarga
dan masyarakat disana. Terkadang beliau lupa untuk memikirkan masa depan
beliau sendiri, karena beliau terlalu memikirkan bagaimana nasib masyarakat di
luar sana. Dahulu, beliau berangan-angan bahwa suatu saat nanti, beliau akan
menjadi seorang kakak atau seorang ibu bagi orang-orang diluar sana. Akan
tetapi, hal itu membuat hati beliau senang.

Selama kehidupannya berada di sekolah, ia banyak mendapatkan teman


anak orang Belanda dan berkenalan dengan alam pikir serta pengetahuan Barat.
Kesan yang diperolehnya seiring bertambahnya usia dan buku yang dibaca, telah
menumbuhkan keyakinannya bahwa kedudukan kaum wanita sangat rendah.
Kartini bercita-cita ingin menjadi guru bagi anak para bupati. Putri bangsawan
wajib membimbing dan memimpin kaum wanita untuk mencapai kemajuan.
Namun, sayangnya usulan Abendanon untuk mendirikan sekolah tersebut ditolak
oleh Pemerintah Hindia-Belanda atas desakan para bupati yang merasa
keberatan.

Di dalam Kabupaten Jepara, Kartini mendapatkan kamar kerja sendiri,


tempat untuk membaca dan menulis surat kepada kenalannya yang kebanyakan
mempunyai kedudukan di masyarakat. Di samping itu Kartini sebelum
melakukan perkawinan, telah melaksanakan cita-citanya dengan mendirikan
sekolah kecil-kecilan di dalam kabupaten untuk anak pegawai negeri. Di antara
temannya yang dikirimi surat adalah orang Belanda yang tergolong kelompok
etis di dalam pemerintahan seperti J.H. Abendanon, Direktur Departemen
Pendidikan tahun 1900-1905; N. Adriani dan lain-lain. Surat-surat kartini
menunjukan persahabatan yang dalam dan cita-cita untuk membebaskan kaum
wanita dari keterbelakangan, serta penentangan terhadap adat yang
menghambat kemajuan bagi wanita.

Surat-surat yang ditulis oleh Kartini tentang pergaulan dalam lingkuangan,


keadaan rakyat yang terbelakangdan sengsara adat-istiadat kuno, seperti
pemberian hormat dan pingitan terhadap anak gadis, perkawinan yang
merendahkan derajat kaum wanita. Kartini juga mengecam pejabat Belanda
yang tidak menaruh hormat kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan
pendidikan bagi orang bumiputera karena dianggap membahayakan kedudukan
pemerintahan Hindia-Belanda.

Surat-surat Kartini diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1911,


setelah kematiannya. Surat itu diterbitkan oleh Tuan dan Nyonya Abendanon
dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Pada
Tahun 1923 buku tersebut dicetak untuk keempat kalinnya dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Inggris, arab, dan Perancis. Maksud dari penerbitan itu
adalah untuk mendapatkan dana mendirikan sekolah gadis dan sekolah guru
perempuan di Indonesia. tahun 1921 didirikan Fonds Kartini di Den Haag untuk
membiayai Sekolah Kartini dengan Bahasa Belanda sebagai Pengantar yang
telah di Semarang, Jakarta, Malang, Bogor, dan dengan bahasa daerah di
Cirebon, Rembang, Pekalongan, Indramayu, dan Surabaya.

Tahun 1912 telah dibuka Sekolah Kartini yang pertama di Semarang atas
dorongan Mr. Deventer. Kemudian berdiri pula Van Deventer Fonds, tujuannya
adalah sama seperti Fond Kartini untuk tingkat sekolah lanjutan, dan sekolah
guru Van Deventer di Semarang adalah salah satu hasil dari kegiatan tersebut.
Surat-surat dan pendirian sekolah dari Kartini di berbagai tempat, membuatnya
tidak terlepas dari pergerakan kaum wanita.

Pengaruh Gerakan Wanita di Jawa Tengah

Setelah didengungkannya emansipasi wanita, banyak bermunculan


perkumpulan-perkumpulan wanita di Indonesia seperti Perwani (Persatuan
Wanita Negara Indonesia). Perwani merupakan perkumpulan yang sangat
populer di Indonesia. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Perwani adalah dengan
mengadakan kongres. Atas inisiatif Perwani cabang Yogyakarta yang dipimpin
oleh Nyonya D. D. Susanto, kongres perempuan pertama setelah proklamasi
kemerdekaan dilaksanakan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 15-17 Desember
1945 yang diketuai oleh Nyonya Kartowijono dan Nyonya Maria Ulfah Santoso.
Pada pertemuan tersebut, Perwani dan perkumpulan perempuan yang
lainmelebur menjadi satu dalam organisasi yang bernama Perwari (Persatuan
Wanita Republik Indonesia).

Pertemuan selanjutnya diadakan di Solo pada tanggal 24-26 Februari


1946. Pada pertemuan tersebut diputuskan untuk membuat suatu organisasi
tetap yang bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri dari
Perwari dan PPII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari Protestan, dan seksi
peremouan Partai Katolik Indonesia. Kowani memiliki hak kuasa untuk membuat
keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan yang berada di
dalamnya.

Kongres kedua perempuan Indonesia tidak diadakan di Jawa Tengah,


melainkan di Madiun, Jawa Timur. Dalam kongres yang dilaksanakan sejak
tanggal 14 Juni sampai 16 Juni 1946 dan dihadiri tiga belas perwakilan dari
masing-masing perkumpulan memutuskan bahwa mereka akan membantu
tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Mereka berinisiatif
akan membentuk dapur umum dan berjuang di garda depan dalam menangani
aktivitas semacam ini.

Kongres ketiga Konwani diselenggarakan di Magelang, Jawa Tengah pada


tanggal 14-16 Juli 1946 yang dipimpin oleh Nyonya Soenarjo Mangoenpoespito.
Peertemuan tersebut dilaksanakan setelah delapan bulan perjanjian Linggajati
15 November 1946. Pada waktu itu, Belanda secara de facto mengakui Republik
Indonesia sebagai negara federal yang masih berada di bawah pengawasan
Belanda. Ketidakstabilan politik tejadi pada saat itu, sehingga kongres
memutuskan untuk mengirim surat tanda penghargaan perkumpulan perempuan
progresif di Belanda yang menyesalkan pengiriman pasukan Belanda ke
Indonesia. Beberapa setelah kongres berakhir, pasukan Belanda melancarkan
agresi militernya.

Kongres keempat Konwani yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 26


sampai 28 Agustus 1948 yang dipimpin oleh Nyonya Soepeni Poedjoboentoro
setuju mendasarkan segala aktivitas mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.

Agresi militer Belanda yang terjadi di Yogyakarta menghambat komunikasi


dari perkumpulan perempuan di Indoensia. Melalui tekad yang kuat dan inisiatif
mereka untuk menyelenggarakan konferensi. Konferensi Konwani dilaksanakan di
Yogyakarta pada tanggal 2 September 1949 yang diketuai oleh Nyonya Soepeni.
Konferensi tersebut dikenal dengan nama Permusjawaratan Wanita Indoensia.
Konferensi tersebut dihadiri para delegasi dari seluruh daerah yang bebas atau
masih dibawah pemerintahan Belanda dan 82 organisasi perempuan dari seluruh
Indoensia.

Bukti terbesar dari semangat kaum perempuan ini, dengan keinginan


mereka untuk bersatu bahwa konferensi ini dilaksanakan di negara yang
terpecah menjadi dua bahkan sudah hancur dan serba kekurangan. Hal
terpenting yang disusun sebelum Konferensi Meja Bundar, adalah kesetiaan
mutlak kepada para pemimpin yang akan berunding dan dukungan mereka
kepada republik yang tidak terpisah. Para delegasi ini, dengan visi ke depan juga
merumuskan tuntutan dasar.

PENUTUP

Kesimpulan

Pada awalnya pergerakan wanita di Indonesia hanya memiliki sedikit


peluang umtuk berkembang, terutama pada saat masa pendudukan Jepang
(1942-1945). Satu-satunya organisasi yang dizinkan berjalan adalah Fujinkai.
Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi buta huruf, menjalankan dapur
umum, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Melalui kegiatan-kegiaan
tersebut, kaum perempuan Indonesia dari kelas atas dan menengah dapat
bergaul dengan perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang
sangat kuat diantara mereka.

Pengaruh Barat mulai memasuki masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19
dan permulaan abad ke-20. Para Bupati atau bangsawan yang jumlahnya masih
sedikit di daerah Jawa Tengah yang sudah berpendidikan dan berpikir maju,
antara lain Bupati Demak R.M.A.A. Hadiningrat; Bupati Jepara R.M.Adipati
Sosroningrat; Bupati Pati P.A. Condronegoro yang dikenal karena tulisan tentang
kisah perjalannan di Jawa serta bebarapa karangannya yang dimuat dalam
majalah Lembaga Kebudayaan. Bupati Kudus yang juga mendatangkan guru
Belanda untuk mendidik putra-putranya. Pada tahun 1902 ada beberapa bupati
yang pandai menulis dan bekomunikasi dengan bahasa Belanda, antara lain
Akhmad Jayadiningrat, Bupati Serang; R.M.A.A. Hadiningrat, Bupati Demak ; dan
R.M. Adipati Sosroningrat.
DAFTAR PUSTAKA

Maria Ulfah Subadio dan T. O. Ihromi.1994.Peranan dan Kedudukan Wanita


Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ruth Indiah Rahayu.2008.Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan


Pencapaian.Jakarta: Komunitas Bambu.

Zainal Arifin Thoha.2003.Runtuhnya Singgasana Kiai: NU, Pesantren dan Kekuasaan;


Pencarian Tak Kunjung Usai.Yogyakarta: Penerbit Kutub.

Suhartono.1994.Sejarah Pergerakan Nasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

You might also like