You are on page 1of 2

SEJARAH TENUN SONGKET PANDAI SIKEK

Pandai Sikek adalah daerah yang terletak 10 Kilometer dari Bukittinggi, merupakan
pusat kerajinan Songket dan Ukiran Kayu. Berkembangnya kerajinan tenun di
Minangkabau atau khususnya Pandai Sikek bisa ditelusuri kembali ke masa dahulu
saat pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu berlokasi di daerah Dhamasraya.
Daerah di hulu sungai Batanghari tersebut merupakan titik pertemuan ekonomi dan
budaya antara kebudayaan Cina, Mongol dan India dengan kebuadayaan penduduk
setempat, melalui kegiatan perdagangan pada masa itu.

Namun pada tahun 1347, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan


kebudayaan Melayu dari Dhamasraya ke Pagaruyung. Pusat pemerintahan tersebut
dibagi kembali ke beberapa daerah yang tersebar di kawasan sekitar gunung
Merapi dan Gunung Singgalang, Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Batipuh,
Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain [1]. Dengan berpindahnya
pusat pemerintahan, maka dibawa pula warisan-warisan budaya ke tanah
Minangkabau, salah satunya yaitu budaya pembuatan kain tenun songket.
Pembuatan kain ini tetap dipertahankan, terutama karena penggunaan kain songket
diwajibkan untuk upacara-upacara adat. Contohnya, gadis-gadis pada masa dahulu
menenun sendiri kain songket yang nantinya akan mereka gunakan untuk upacara
pernikahan.

Puncak masa bertumbuh pesatnya seni tenun songket di Minangkabau adalah pada
masa kejayaan kerajaan Turki Usmani (1556-1605), di mana pada masa itu seni
budaya dan pengetahuan sangat diutamakan. Posisi daerah Minangkabau sebagai
kawasan lintasan perdagangan juga membuat kain tenun songket menjadi salah
satu komoditi perdagangan yang unggul, dengan ciri khas kain bertenun benang
sutra, benang emas dan teknik suji serta sulaman.
Hampir semua pelosok Minangkabau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji
dan sulaman masing-masing, dengan corak dan motif khas tersendiri. Beberapa
daerah yang sangat produktif dan terkenal dengan kain tenunnya pada masa itu
adalah Koto Gadang, Sungayang, Pitalah di Batipuh, juga daerah yang hingga saat
ini masih mewarisi kegiatan tenun songket yaitu Pandai Sikek di Batipuh Sapuluh
Koto. Untuk wilayah Pandai Sikek, ciri khasnya adalah nama motif kain yang disebut
cukie, artinya adalah sebuah pola yang mengisi bagian badan, kepala, atau
bagian pinggir dan pembatas motif dari kain [3]. Motif cukie yang masih
dipertahankan hingga sekarang yaitu Cukie barantai, Cukie bakaluak, Cukie Bungo
Tanjung, Cukie kaluak paku, Cukie barayam pucuk rabung, Cukie barayam tali-tali
burung, Cukie kaluak, Lintadu bapatah dan Cukie bugis barantai [4].

Daerah Pandai Sikek dikenal juga sebagai daerah penghasil ukiran kayu. Ukiran
kayu Pandai Sikek mulai terangkat saat Bapak Harun Zain menjadi gubernur
Sumatra Barat. Beliau menggalakkan pariwisata berbasis budaya Minangkabau dan
memerintahkan agar kantor-kantor pemerintah dibangun dengan bagonjong,
yang dalam pembangunannya dibutuhkan ukiran-ukiran kayu yang banyak
diproduksi di Pandai Sikek. Sejalan dengan itu, Pandai Sikek dinyatakan sebagai
daerah tujuan wisata, dan dalam perkembangannya, industri tenun songket pun
ikut terangkat. Pada tahun 1980-1990, penghasilan daerah dari sektor tenun
mencapai puncaknya dan menjadi salah satu penghasilan utama bagi penduduk
setempat [2].

You might also like