You are on page 1of 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutaan masih merupakan masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia.
Kebutaan dapat menurunkan peran individu untuk melakukan aktivitas sehari-
hari. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling banyak
dijumpai pada anak dan membuat 250.000500.000 anak meninggal dunia dalam
jangka satu tahun tertentu. Sekitar 150 juta anak lainnya mengalami kematian
dalam usia anak-anak akibat penyakit infeksi yang disebabkan oleh status vitamin
A yang tidak memadai. Salah satu dampak kekurangan vitamin A adalah kelainan
pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia enam bulan sampai empat tahun
yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang (Ahmad dan
Darnton, 2008).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa defisiensi vitamin A
diderita oleh sekitar 40% populasi dunia (Zeba dkk, 2006). World Health
Organization (WHO) memastikan terdapat 45 juta kasus kebutaan di dunia
dimana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Dipastikan sebanyak 12 juta kasus
menjadi buta setiap menitnya di dunia dan empat kasus di antaranya berasal dari
Asia Tenggara sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menitnya didapatkan
satu orang menjadi buta. Sebagian besar kasus di Indonesia berada di daerah
miskin dengan keadaan sosial ekonomi masih lemah. World Health Organization
(WHO) mengutip penelitian Sommer dimana prelevensi xeroftalmia di Indonesia
adalah 20% dari populasi penduduk (Untoro, 2003).

1
2

1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Agar pembaca mengetahui tentang kebutaan.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari kebutaan
2. Mengetahui klasifikasi penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan
3. Mengetahui etiologi dari jenis penyakit kebutaan
4. Mengetahui gejala klinis jenis penyakit kebutaan
5. Mengetahui patofisiologi dari jenis penyakit kebutaan
6. Mengetahui morbiditas dan mortalitas dari jenis penyakit kebutaan
7. Mengetahui penatalaksanaan dari jenis penyakit kebutaan

1.3. Manfaat
1.3.1 Manfaat praktis :
Untuk penulis, menambah wawasan tentang kebutaan
1.3.2 Manfaat teoritis :
1. Membantu pembaca agar lebih mengetahui tentang kebutaan
2. Sebagai referensi bagi pembaca tentang kebutaan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kebutaan


3

World Health Organization (WHO) mendefenisikan kebutaan adalah tajam


penglihatan kurang dari 3/60 dengan ke tidak sanggupan menghitung jari pada
jarak tiga meter. Kebutaan menyebabkan berkurangnya penglihatan sehingga
seseorang tidak mampu mandiri dalam pekerjaan dan menyebabkan seseorang
bergantung pada orang lain dan alat bantu agar dapat hidup.
Buta menurut kategori WHO adalah sebagai berikut (WHO, 2010):
1. Kategori 1: Rabun atau penglihatan kurang dari 6/18
2. Kategori 2: Rabun, tajam penglihatan kurang dari 6/60
3. Kategori 3: Buta
Tajam penglihatan kurang dari 3/60
Lapang pandangan kurang dari 10 derajat
4. Kategori 4: Buta
Tajam penglihatan kurang dari 1/60
Lapang pandangan kurang dari lima derajat
5. Kategori 5: Buta dan tidak ada persepsi sinar.

Kebutaan adalah buta yang tidak reversibel yang tidak dapat diperbaiki
secara medis. Keadaan ini terjadi bilamana terdapat kerusakan pada selaput jala
mata atau saraf penglihatan.

Tabel 1. Tingkat Tajam Penglihatan :


Sistem Desimal Snellen Snellen Efisiensi Penglihatan
Jarak 6 meter Jarak 20 kaki
Penglihatan Normal
3
2.0 6/3 20/10
6/5 20/15 100%
1.0 6/6 20/20 100%
0.8 6/7.5 20/25 95%
Pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dan sehat

Penglihatan hampir normal


0.7 6/9 20/30 90%
0.6 5/9 15/25
0.5 6/12 20/40 85%
0.4 6/15 20/50 75%
0.33 6/18 20/60
0.285 6/21 20/70
4

Tidak menimbulkan masalah yang gawat, akan tetapi perlu diketahui penyebab mungkin suatu
penyakit yang masih dapat diperbaiki

Penglihatan lemah (low vision) sedang


6/24 20/80 60%
0.2 6/30 20/100 50%
6/38 20/125 40%
Dengan kaca mata kuat atau kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat

Penglihatan lemah (low vision) berat


0.1 6/60 20/200 20%
0.066 6/90 20/300 15%
0.05 6/120 20/400 10%
Maih mungkin orientasi dan mobilitas umum akan tetapi mendapat kesukaran pada lalu lintas dan
melihat nomor mobil. Untuk membaca diperlukan lensa pembesaran kuat. Membaca menjadi
lambat.

Penglihatan lemah (low vision) nyata


0.025 6/240 20/800 5%
Bertambahnya masalah orientasi dan mobilisasi

Hampir buta
Penglihatan kurang dari empat kaki untuk menghitung jari
Penglihatan tidak bermanfaat, kecuali pada keadaan tertentu
Harus menggunakan alat nonvisual

Buta total
Tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali
Seluruhnya tergantung pada alat indera lainnya atau tidak mata
Dikutip dari: James, 2006

2.2 Klasifikasi Penyakit Yang Dapat Menyebabkan Kebutaan


Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran menunjukkan
penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah katarak, glaukoma, trakoma,
onkoserkiasis dan xeroftalmia (Fadilah, 2005).
5

Katarak
Glaukoma
Trakoma
Onchocersiasis
Xeropthalmia

Gabar 1. Diagram Pie tentang Klasifikasi Penyakit Penyebab Kebutaan.


Dikutip: Kemenkes, 2005.

2.3 Etiologi Kebutaan


2.3.1 Katarak
Katarak merupakan penyebab 50% kasus kebutaan di seluruh dunia.
Seiring dengan usia harapan hidup, jumlah kasus yang terkena semakin
bertambah. Di berbagai bagian dunia yang sedang berkembang, fasilitas yang
tersedia untuk mengobati katarak jauh dari mecukupi, sulit untuk mengatasi
kasus-kasus baru yang muncul dan benar-benar tidak mampu menangani kasus-
kasus baru yang muncul dan benar-benar tidak mampu menangani kasus-kasus
lama yang semakin menumpuk yang dalam hitungan konservatif diperkirakan
berjumlah 10 juta diseluruh dunia.
Tidak jelas dipahami mengapa frekuensi katarak di daerah geografik yang
berbeda sangat berlainan walupun faktor pajanan sinar ultraviolet dan episode
dehidrasi rekuren, seperti yang terjadi pada penyakit diare berat, di duga
merupakan faktor yang penting. Tindakan medis dapat menurunkan prevalensi
kebutaan sebanyak 45%. Tidak ada cara untuk mencegah atau menekan laju
pertumbuhan katarak dan walaupun pemberian antioksidan oral dianggap
menjanjikan, studi-studi klinis saat ini menyimpulkan bahwa zat-zat tersebut
belum memberikan perbaikan klinis terhadap katarak secara bermakna (Ilyas,
2008)
6

2.3.2 Glaukoma
Glaukoma merupakan sekelompok penyakit kerusakan saraf optik
(neuropati optik) yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular pada
papil saraf optik. Iskemia tersendiri pada papil saraf optik juga penting.
Hilangnya akson menyebabkan defek lapang pandang dan hilangnya tajam
penglihatan jika lapang pandang sentral terkena. (Ilyas, 2008)

2.3.3 Trakoma
Trakoma merupakan konjungtivitis folikular kronis yang disebabkan oleh
Chamydia trachomatis. Penyakit ini terutama mengenai anak-anak walaupun
dapat mengenai semua umur. Penularan trakoma adalah melalui kontak langsung
dengan sekret penderita atau handuk, saputangan, dan kebutuhan alat sehari-hari.
Masa inkubasi trakoma yaitu 514 hari.
Trakoma menyebabkan keratokonjungtivitis bilateral, biasanya pada masa
kanak-kanak dan menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea pada masa
dewasa yang apabila parah menyebabkan kebutaan. Sekitar 400 juta kasus
pengidap trakoma, sebagian besar berada di Afrika, Timur Tengah dan Asia.
(Ilyas, 2008)

2.3.4 Onkoserkiasis
Onkoserkiasis adalah negleted tropical disease (NTD) yang disebabkan oleh
cacing parasit Onchocerca volvulus. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan
berulang oleh lalat blackflies (lalat hitam) dari genus Simulium. Onkoserkiasis
disebut river blindness karena lalat hitam yang mentransmisikan hidup, infeksi,
dan keturunan di aliran sungai yang deras sehingga air dan habitat sungai yang
terinfeksi dapat mengakibatkan kebutaan penderita. (James, 2006)

2.3.5 Xeroftalmia
Kasus anak tunanetra 1,5 juta di dunia, di antaranya sekitar 1 juta hidup di
Asia dan sekitar 300 000 di Afrika.
Xeroftalmia disebabkan oleh hipovitaminosis A. Secara klinis, terjadi
xerosis konjungtiva dengan bercak bitot yang khas dan perlunakan kornea
(keratomalasia) yang dapat menyebabkan perforasi kornea. (Untoro, 2003)
7

2.4 Gejala Klinis Kebutaan


2.4.1 Katarak
Kekeruhan lensa menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Katarak matur
hanya dapat mengenal adanya sinar yang datang. Bilamana tidak diobati maka
mata akan buta sama sekali.
Pupil akan terlihat gambaran kekeruhan lensa yang biasanya berwarna
putih. Warna pupil dapat berwarna kuning atau coklat. Benda yang dilihat dapat
berwarna sedikit kekuning-kuningan. Penglihatan malam atau pada penerangan
kurang sangat menurun. Penerangan yang kuat dapat kesan silau. Penglihatan
pada kasus katarak matur dapat menyerupai adanya halo atau pelangi.
Gejala klinis pada lensa mata (katarak):
1. Menyebabkan hilangnya penglihatan tanpa rasa nyeri
2. Menyebabkan rasa silau
3. Dapat mengubah kelainan refraksi

Katarak pada bayi dapat menyebabkan amblipobia (kegagalan penglihatan


mata normal) karena pembentukan bayangan pada retina buruk. Bayi dengan
katarak atau dengan riwayat keluarga katarak kongenital dapat dianggap sebagai
masalah kesahatan yang penting (James, 2003).

Gambar 1. Katarak
8

Dikutip dari: Ilyas, 2001

2.4.2 Glaukoma
Gejala dan tanda pada glaukoma sudut terbuka kronis biasanya tidak
bergejala dan terjadi peningkatan tekanan intraokular pada penderita. Defek
lapang pandang dan lempeng optik mengalami cupping juga akan terjadi bila
katarak tidak mendapatkan penanganan yang baik dengan segera (James, 2003).

Gambar 2. Glaukoma
Dikutip dari: Ilyas, 2001

2.4.3 Trakoma
Pada kasus trakoma gejala pada individunya yaitu perasaan gatal pada
mata, mata berair, dan fotopobia. Terdapat tanda lain seperti adanya papil,
folikel, sikatriks pada tarsus atas, dan adanya pannus.
9

Gambar 3. Trakoma
Dikutip dari: Ilyas, 2001

2.4.4 Onkoserkiasis
Kasus onkoserkiasis biasanya tidak mengalami gejala, karena larva dapat
bermigrasi melalui tubuh manusia tanpa memprovokasi respon dari sistem
kekebalan tubuh. Kasus dengan gejala onkoserkiasis berupa ruam kulit gatal,
nodul bawah kulit, dan perubahan penglihatan. Gejala klinisnya dapat timbul
pembengkakan kelenjar getah bening yang tidak terasa sakit, tetapi ini tidak
umum terjadi. Gejala pada kebanyakan onkoserkiasis disebabkan oleh respons
tubuh terhadap larva yang mati atau sekarat. Peradangan yang disebabkan di
kulit, selain menyebabkan gatal-gatal, dapat mengakibatkan kerusakan jangka
panjang pada kulit. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan warna kulit yang
menghasilkan penampilan kulit totol seperti "kulit leopard" dan dapat
menyebabkan penipisan pada kulit dengan hilangnya jaringan elastis kulit.
Peradangan yang disebabkan oleh larva yang mati di mata penderita hasil
awalnya akan menyebabkan lesi reversibel pada kornea. Tidak mendapatkan
penanganan yang baik, lesi reversibel kornea akan menimbulkan pengaburan
permanen pada kornea sehingga mengakibatkan kebutaan. Lesi tersebut juga
dapat menimbulkan peradangan pada saraf optik yang mengakibatkan
kehilangan penglihatan terutama penglihatan perifer dan akhirnya kebutaan.
10

Gambar 4.
Onchocersiasis.

Keterangan: Tanda panah menunjukan Onchocerca Volvulus pada Mata.


Dikutip dari: Mand S, Batsa L, Specht S, Desrah AY, Buthren M, Hoerauf A, et al, 2009.

2.4.5 Xerophtalmia
Gejala klinis diferensiasi vitamin A (DVA) pada mata akan timbul bila
tubuh mengalami DVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih
cepat timbul bila anak menderita penyakit campak, diare, infeksi saluran nafas
akut (ISPA) dan penyakit infeksi lainnya.
Tanda-tanda dan gejala klinis DVA pada mata sebagai berikut :
1. XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)
2. XIA : xerosis konjungtiva
3. XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
4. X2 : xerosis kornea
5. X3A: keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea.
6. X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea
7. XS : jaringan parut kornea (sikatriks/scar)
8. XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti cendol.

Stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati


karena dalam beberapa hari bias berubah menjadi X3. Stadium X3A dan X3B bila
diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
11

Gambar 5. Xeroftalmia
Dikutip dari: James, 2006

2.5 Patofisiologi Kebutaan


2.5.1 Katarak
Penderita dengan keluhan katarak dini akan menimbulkan keluhan
penglihatan seperti melihat di belakang tabir kabut atau asap, akibat terganggu
oleh lensa yang keruh. Keluhan penderita akan bertambah bila pasien melihat
benda dengan melawan arah sumber cahaya atau menghadap ke arah pintu yang
terang. Hal ini diakibatkan pupil menjadi kecil yang akan menambah gangguan
penglihatan. Penderita dapat mengeluh rasa silau, hal ini di akibatkan karena
terjadinya pembiasan tidak teratur oleh lensa yang keruh. Pasien katarak akan
merasa kurang silau bilamana memakai kaca mata berwarna sedikit gelap.
Penyebab terjadinya kekeruhan lensa ini dapat:
1. Primer; berdasarkan gangguan perkembangan dan metabolisme dasar
lensa
2. Sekunder; akibat tindakan pembedahan lensa
3. Komplikasi penyakit lokal maupun umum

Penglihatan pasien perlahan akan berkurang. Mata tidak merah atau tenang
tanpa tanda-tanda radang. Reaksi pupil normal karena fungsi retina masih baik.
Pada pupil terdapat bercak putih atau apa yang disebut sebagai leukokoria. Bila
proses berjalan progresif, maka makin nyata terlihat kekeruhan pupil ini. Untuk
melihat kelainan lensa yang keruh sebaiknya pupil dilebarkan sehingga dapat di
diferensiasi lokalisasi lensa yang terkena karena bentuknya dapat berupa:
12

1. Katarak Kortikal Anterior


2. Katarak Kortikal Posterior
3. Katarak Nuklear
4. Katarak Subskapular
5. Katarak Total

Kekeruhan lensa menyebabkan fundus sukar terlihat. Bilamana pada


katarak kongenital fundus sukar dilihat, maka perkembangan penglihatan akan
terganggu atau akan terjadi ambliopia (Sidarta Ilyas, 2008).

Gambar 6. Patofisiologi Katarak


Dikutip dari: Sidarta Ilyas, 2008

2.5.2 Glaukoma
2.5.2.1 Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Lensa kontak khusus (lensa gonioskopi) yang diletakkan pada kornea yang
mengalami glaukoma dapat membantu melihat sudut iridokornea dengan
bantuan slit lamp. Glaukoma sudut terbuka, struktur jalinan trabekula terlihat
normal namun terjadi peningkatan tekanan okular. Penyebab obstruksi aliran
keluar antara lain:
1. Penebalan lamela trabekula yang mengurangi ukuran pori
2. Berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas
3. Peningkatan bahan ekstraseluler pada lipatan jaringan trabekula

Suatu bentuk glaukoma juga terjadi dimana terjadi kehilangan lapang


pandang glaukomatosa dan cupping lempeng optik meski tekanan intraokular
tidak meningkat (glaukoma tekanan normal atau rendah). Diduga papil saraf
13

optik pada pasien inisecara tidak biasa rentan terhadap tekanan intraokular dan
atau memiliki aliran darah intrinsik yang berkurang.
Tekanan intraokular dapat meningkat tanpa adanya kerusakan visual atau
cupping lempeng optik patologis (hipertensi okular). Pasien-pasien ini
mempresentasikan ujung ekstrim kisaran normal tekanan introkular namun
sebagian kecil pasien ini kemudian akan mengalami glaukoma (James, 2006).

2.5.2.2 Glaukoma Sudut Tertutup


Mata yang kecil (sering pada hipermetropia) dengan bilik mata anterior
yang dangkal. Mata normal, titik kontak antara batas pupil dan lensa memiliki
resistensi terhadap masuknya akueous ke dalam bilik mata anterior (blok pupil
relatif). Pada glaukoma sudut tertutup, kadang sebagai respons terhadap
dilatasi pupil, resistensi ini meningkat dan gradien tekanan menyebabkan iris
melengkung ke depan sehingga menutup sudut drainase. Adhesi iris perifer ini
disebut sebagai sinekia anterior perifer peripheral anterior synechia (PAS).
Akueous tidak dapat lagi mengalir melalui jalinan trabekula dan tekanan okular
meningkat dan kasus ini dapat timbul mendadak. (James, 2006).

2.5.2.3 Glaukoma Sudut Sekunder


Glaukoma sekunder tekanan intraokular biasanya meningkat karena
tersumbatnya jalinan trabekula. Jalinan trabekula dapat tersumbat oleh:
1. Darah (hifema) setelah trauma tumpul
2. Sel-sel radang (uveitis)
3. Pigmen dari iris (sindrom dispersi pigmen)
4. Deposisi bahan yang dihasilkan oleh epitel lensa, iris, dan badan siliar,
pada jalinan trabekula (glaukoma pseudoeksfollatif)
5. Obat-obatan yang meningkatkan resistensi jaringan (glaukoma terinduksi
steroid)

Glaukoma sekunder juga dapat disebabkan oleh trauma tumpul mata yang
merusak sudut (resesi sudut). Penutupan sudut juga dapat menjadi penyebab
pada beberapa kasus glaukoma sekunder (James, 2006):
1. Pembuluh darah iris abnormal dapat mengobstruksi sudut dan
menyebabkan iris melekat pada kornea perifer, sehingga menutup sudut
14

(rubeosis iriditis). Ini dapat terjadi bersama dengan retinopati diabetik


proliferatif atau oklusi vena retina sentral akibat difusi ke depan faktor
vasoproliferatif dari retina yang megalami iskemia.
2. Melanoma koroid yang besar dapat mendorong iris ke depan mendekati
kornea perifer sehingga menyebabkan serangan akut glaukoma tertutup.
3. Katarak dapat membengkak dan mendorong iris ke depan sehingga
menutup sudut drainase.
4. Uveitis dapat menyebabkan iris menempel ke jalinan trabekula.

Peningkatan tekanan vena episklera bukan merupakan penyebab umum


glaukoma namun bisa didapatkan pada fistula karotiko-sinus kavernosus
dimana terdapat hubungan antara arteri karotis atau cabang meningealnya dan
sinus kavernosus yang menyebabkan peningkatan bermakna tekanan vena
orbita. Selain itu, mekanisme ini juga diduga merupakan penyebab peningkatan
tekanan intraokular pada pasien dengan sindrom Struge-Weber. Penyebab
glaukoma kongenital masih belum jelas. Sudut iridokornea dapat berkembang
secara abnormal dan tertutup membran (James, 2006).

2.5.2.4 Glaukoma Sudut Terbuka Kronis


Glaukoma sudut terbuka kronis mengenai 1 dari 200 orang pada populasi
40 tahun, mengenai laki-laki dan perempuan sama banyak. Prevalensi
meningkat sesuai usia 10% pada populasi berusia 80 tahun. Mungkin
terdapat riwayat keluarga meski cara penurunannya belum jelas.
Keluarga derajat pertama (terdekat) pasien dengan glaukoma dengan sudut
terbuk kronis memiliki kemungkinan hingga 16% mengalami penyakit ini.
Pewarisan keadaan ini kompleks. Terdapat perkembangan pengetahuan
mengenai satu bentuk penyaikit ini yang timbul pada pasien muda, yaitu
glaukoma sudut terbuka juvenil (timbul antara usia 3 35 tahun). Tidak ada
kelainan yang tampak pada segmen anterior yang membedakannya dari
glaukoma kongenital gennya telah diketahui terletak pada lengan panjang
kromosom satu (James, 2006).
15

Tabel 2. Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Pada Berkurangnya Absorbsi


Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Pada Berkurangnya Absorbsi
Glaukoma Primer Sudut terbuka (tidak menutup jalinan trabekula) kronis
Sudut tertutup (menutupi jalinan trabekula) akut dan kronis
Glaukoma Kongenital Primer
Rubela
Sekunder akibat kelainan mata turunan lain (misal; aniridiatidak
adanya iris)
Glaukoma Sekunder (Penyebab) Trauma
Pembedahan Mata
Terkait dengan penyakit mata lainnya (misal; uveitis)
Peningkatan tekanan vena episklera
Terinduksi steroid
Dikutip dari: (James, 2006)

2.5.3 Trakoma
Trakoma mempunyai empat stadium pada trakoma berdasarkan klasifikasi
Mc Callan yaitu:
1. Stadium satu: insipien, dimana terlihat folikel kecil (prefolikel) pada
konjungtiva tarsal atas.
2. Stadium dua: nyata (established) terbagi menjadi dua yaitu dengan folikel
nyata dan dengan papil yang nyata. Pada stadium ini terlihat infiltrate
disertai dengan neovaskularisasi di bagian atas kornea yang disebut
sebagai pannus, infiltrat ini dapat superficial ataupun subepitelial.
3. Stadium tiga: terdapatnya jaringan parut pada konjungtiva tarsal atau
cekungan Herbert pada limbus atas akibat terbentuknya jaringan parut
pada folikel limus atas, pada stadium ini pannus masih aktif.
4. Stadium empat: terjadinya jaringan parut sempurna pada konjungtiva tarsal
atas dengan hilangnya tanda radang pada kornea atau pannus.

2.5.4 Onkoserkiasis
Para blackflies (lalat hitam) yang mengirimkan gigitan parasit biasanya
pada saat siang hari. Jika blackflies menggigit individu yang terinfeksi, larva
onkoserkiasis dapat dicerna oleh blackflies setelah mereka bermigrasi ke otot-
16

otot sayapnya. Larva berkembang di dalam lalat dan menjadi infektif bagi
manusia di sekitar 10 sampai 12 hari. Larva bermigrasi ke bagian penggigit dari
lalat di mana mereka dapat ditularkan kembali kepada manusia ketika menggigit
lagi ke manusia yang berikutnya.
Onkoserkiasis adalah keadaan saat dimana blackflies telah terdeposit larva
infektif dari Onchocerca kedalam kulitnya saat akan menggigit manusia untuk
mengekstrak darah. Sekali di dalam tubuh manusia, larva bisa menjadi dewasa
sekitar 3 bulan sampai 1 tahun. Cacing betina dewasa yang paling dewasa
biasanya hidup di nodul fibrosa bawah kulit dan kadang dekat otot dan sendi.
Cacing jantan dewasa biasanya ditemukan berada di dekat cacing betina. Nodul
akan terbentuk di sekitar tempat cacing sebagai bagian dari interaksi antara
parasit dan manusia sebgai inangnya. Cacing relatif aman dari respons kekebalan
tubuh manusia didalam nodul. Cacing betina akan menghasilkan ribuan larva
setiap hari pada manusia yang terinfeksi. Larva dapat terdeteksi di kulit antara
10 sampai 20 bulan setelah infeksi awal. Cacing dewasa dapat hidup sampai 15
tahun di dalam tubuh manusia, dan larvanya memiliki umur hingga dua tahun
(Mand S, Batsa L, Specht S, Desrah AY, Buthren M, Hoerauf A, et al, 2009).

Gambar 7. Patofisiologi Onchocersiasis


Dikutip dari: Mand S, Batsa L, Specht S, Desrah AY, Buthren M, Hoerauf A, et al, 2009
17

2.5.5 Xeroftalmia
Fungsi vitamin A bagi mata terutama pada proses penglihatan dimana
vitamin A berperan dalam membantu proses adaptasi dari tempat yang terang ke
tempat yang gelap. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada
sel-sel epitel termasuk sel-sel epitel pada selaput lendir mata. Kelainan tersebut
karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar- tidak
memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata,
disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut
bercak Bitot (Ilyas, 2008).

2.6 Epidemilologi Kebutaan


2.6.1 Katarak
Epidemilologi katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan di
Indonesia maupun di dunia. Menurut (World Health Organisation) WHO di
negara berkembang satu sampai tiga persen penduduk mengalami kebutaan dan
50% penyebabnya adalah katarak. Di negara maju perbandingannya adalah 1,2%
penyebab kebutaan katarak (Kemenkes, 2010).

2.6.2 Glaukoma
Glaukoma adalah penyebab kebutaan utama kedua di Indonesia, insiden
glaukoma terjadi berkisar dari 0,64%1,6%. Insiden glaukoma terjadi 1,8%
diantara orang-orang berusia 84 tahun atau lebih tua. Glaukoma primer sudut
tertutup paling sering ditemukan dan sebagian besar dengan gejala-gejala dan
keluhan akut. Operasi filtrasi telah dilakukan 88% penderita dari 84 penderita
glaukoma primer akut, tetapi suatu penelitian dilaporkan menunjukkan bahwa
jumlah operasi filtrasi dat dikurangi bila iredektomi laser dilakukan (Affandi,
2006).

2.6.3 Trakoma
Penyakit trakoma merupakan penyakit infeksi pada mata yang banyak
menyerang beberapa negara di seluruh belahan dunia. Trakoma menyerang
sebanyak 56 negara miskin dan terpencil di Afrika, Asia, Amerika Tengah,
Amerika Selatan, Australia dan Timur Tengah. Negara-negara di kawasan Afrika
18

dan Asia melaporkan keberhasilan dalam menurunkan kasus trakoma. Trakoma


berasal dari infeksi pada mata menular dari individu ke individu khususnya pada
lingkungan dengan kondisi kekurangan air, banyak lalat, dan penuh sesak.
Trakoma menular juga melalui mata manusia yang terinfeksi, menular melalui
tangan, pakaian, dan lalat yang hinggap pada wajah individu. Pada puncaknya,
infeksi ini berakibat pada kebutaan (Ilyas, 2001).
Dipastikan jumlah kasus trakoma menurun dari 360 juta pada tahun 1985
menjadi hampir 80 juta pada tahun 2005 sehingga sebanyak 280 juta kasus dapat
diselamatkan selama dua dekade. Penurunan trakoma ini merupakan hasil dari
upaya yang dilakukan oleh aliansi World Health Organisation (WHO) untuk
eliminasi global trakoma (GET 2020) dengan strategi yang di rekomendasikan
yaitu SAFE (Surgery Antibiotic, Facial Cleanliness, Environtmental Changes)
(Kemenkes, 2010).

2.6.4 Onkoserkiasis
Sebanyak 99% kasus onkoserkiasis terjadi di Afrika. Sekitar 100.000
dibutakan secara permanen. Onkoserkiasis saat ini endemik di 30 negara bagian
di Afrika, Amerika Latin, Yaman, dan daerah terisolasi di Amerika Selatan.
Pendatang atau wisatawan yang tidak tinggal lama di daerah tersebut memiliki
sedikit risiko terkena penyakit karena onkoserkiasis membutuhkan kontak yang
terlalu lama terhadap gigitan terbang dan pengenalan parasit.
Onkoserkiasis adalah endemik juga di negara bagian Afrika, Amerika
Latin dan Yaman. Sebanyak 85 juta individu tinggal di daerah endemik tersebut
dan setengahnya lagi berada di Nigeria. Sebanyak 120 juta orang berisiko
tertular penyakit karena kebiasaan perkembangbiakan vektor, penyakit yang
lebih parah di sepanjang sungai utama di daerah utara dan tengah benua itu, dan
penurunan tingkat keparahan di desa-desa yang jauh dari sungai.
Menurut laporan WHO 2002 onkoserkiasis tidak menyebabkan kematian
yang tunggal, tetapi beban global adalah 987.000 cacat tahun hidup disesuaian.
Para pruritus berat sendiri menyumbang 60% dari data cacat tahun hidup
disesuaikan. Infeksi mengurangi kekebalan host dan ketahanan terhadap
penyakit lainnya. Hal ini menghasilkan pengurangan diperkirakan harapan hidup
13 tahun (Kemenkes, 2008).
19

2.7 Penatalaksanaan Kebutaan


2.7.1 Katarak
Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan
pengangkatan lensa dengan implan plastik. Pembedahan dilakukan dengan
anastesi lokal diinfiltrasikan di sekitar bola mata atau diberikan secara topikal.
Operasi ini dapat dilakukan dengan:
1. Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh
ekstraksi kataral ekstrakapsular (extra-capcular catarac extraction,
ECCE).
2. Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang di masukan
melalui insisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior dan tidak
di butuhkan penjahitan.

Kekuatan implan lensa intraokular yang akan di gunakan dalam operasi


dihitung sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara ultrasonik dan
kelengkungan kornea (kekuatan optik) secara optik. Kekuatan lensa umumnya
dihitung sehingga penderita tidak akan membutuhkan kaca mata untuk
penglihatan jauh. Pilihan lensa di pengaruhi oleh refraksi mata kontralateral dan
apakah terdapat katarak pada mata tersebut yang membutuhkan operasi. Jangan
biarkan penderita mengalami perbedaan refraktif pada kedua mata.
Pascaoperasi penderita diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka
pendek. Kaca mata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas
insisi telah sembuh rehabilitasi visual dan peresepan kaca mata baru dapat
dilakukan lebih cepat (James, 2006).

2.7.2 Glaukoma
Pembedahan drainase (trabekulektomi) dilakukan dengan membuat
membuat vistula diantara bilik anterior dan ruang subkonjungtiva. Operasi ini
efektif dalam menurunkan intraokular. Terapi ini banyak dilakukan secara dini
sebagai terapi glaukoma. Komplikasi pembedahan antara lain (James, 2006):
1. Penyempitan bilik anterior dalam masa pascaoperasi dini berisiko
merusak lensa dan kornea
2. Infeksi intraokular
3. Percepatan perkembangan katarak
20

4. Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat

Bukti menunjukan bahwa beberapa pengobatan topikal terutama obat


simpatomimetik, dapat meningkatkan pembentukan parut konjungtiva dan
menurunkan kemungkinan keberhasilan pembedahan bila saluran drainase yang
baru mengalami parut dan menjadi nonfungsional. Pada penderita yang sangat
rentan terhadap pembentukan parut, obat anti metabolit (5-fluorourasil dan
mitomisin) dapat digunakan pada saat pembedahan untuk mencegah fibrosis.

Tabel 3. Terapi obat-obatan


Obat Topikal Kerja Efek Samping
Penyekat Beta Menurunkan Sekresi Eksaserbasi asma dan
(Timolol, Karteolol, Levobunolol,
penyakit saluran napas
Metipranolol, selektif-betaksolol)
kronis.
Hipotensi dan
bradikardia.

Parasimpatomimetik Meningkatkan Aliran Penglihatan kabur pada


(Pilokarpin)
Keluar penderita muda dan
penderita katarak.
Awalnya sakit kepala
karena spasme siliar.

Simpatomimetik Meningkatkan aliran Mata merah dan sakit


(adrenalin, dipiverfin)
keluar. kepala.
Menurunkan sekresi.

Agonis alfa-2 Meningkatkan aliran Mata merah, rasa lelah


(Apraklonidin, Brimonidin)
keluar melalui jalur dan kantuk.
uveosklera.
Menurunkan sekresi.

Penghambat anhidrase karbonat Menurunkan sekresi Rasa sakit, rasa tidak


(dorzolamid, brinzolamid) enak, dan rasa sakit
kepala.
Analog prostagladin Meningkatkan aliran Meningkatkan
(latanopros, travapros, bimatopros,
keluar melalui jalur pigmentasi iris dan kulit
unoproston)
uveosklera. periokular.
21

Obat Sistemik Menurunkan sekresi Rasa kesemutan pada


Penghambat anhidrase karbonat
ekstremitas.
(asetazolamid) Depresi, rasa kantuk.
Batu ginjal.
Sindrom Stevens-
Johson.

Dikutip dari: James, 2006

2.7.3 Trakoma
Pengobatan trakoma dengan memberikan salep tetrasiklin dua kali sehari
selama tiga bulan. Sulfonamida diberikan bila terdapat penyulit trakoma seperti
tukak kornea. Penderita dianjurkan untuk memperbaiki higena untuk mencegah
penularan dan mempercepat penyembuhan. Bila terjadi penyulit entropion dan
trikiasis maka dilakukan tarsotomi.
Bedah tarsotomi yaitu merupakan suatu operasi yang dilakukan pada
entropion yang disertai dengan trikiasis. Pembedahan ini diharapkan di dekat
margo palpebra akan menggulir keluar setelah tindakan. Dibuat insisi tarsus
sampai subkutis 3 mm dari margo palpebra. Sayatan ini sejajar dengan margo
palpebra sepanjang 20 mm kemudian tepi atas tarsus yang dilakukan di selipkan
antara kulit dan tarsus di dekat margo palpebra. Arah letak silia pada kasus
trakoma akan berubah menjadi ke arah luar sehingga trikiasis lagi (James, 2006).

2.7.4 Onkoserkiasis
Kasus onkoserkiasis harus dirawat untuk mencegah kerusakan jangka
panjang pada kulit dan kebutaan. Pengobatan yang dianjurkan adalah
ivermectin yang perlu diberikan setiap enam bulan untuk masa hidup cacing
dewasa atau selama individu terinfeksi. Ivermectin dapat membunuh larva dan
mencegah larva dari kerusakan terhadap penderita. Pengobatan onkoserkiasis
baru yang menggunakan doksisiklin dapat mengeliminasi cacing dewasa
Wolbachia. Sebelum akan menggunakan ivermectin dan berbagai penanganan
yang lainnya perlu dipastikan bahwa penderita tidak juga terinfeksi dengan Loa
loa, atau filariasis yang kadang-kadang ditemukan di daerah yang sama di mana
Onchocerca volvulus ditemukan karena obat-obatan yang digunakan untuk
22

mengobati penyakit Loa loa dapat memiliki efek samping berupa mual, muntah,
dan anoreksia (Mand S, dkk. 2009).

2.7.5 Xeropthalmia
Pemberian obat tetes atau salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
(tetrasiklin 1%, kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%) diberikan pada
penderita X2, X3A, X3B dengan dosis empat kali satu tetes/hari dan berikan
juga tetes mata atropin 1 % 3 x 1 tetes/hari. Pengobatan dilakukan minimal
tujuh hari sampai semua gejala klinis menghilang. Mata yang terganggu dapat
ditutup dengan kasa selama 3 5 hari hari hingga peradangan dan iritasi mereda.
Kasa dapat dicelupkan ke dalam larutan NaCl 0,26 dan kasa diganti setiap kali
dilakukan pengobatan. Dilakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan
sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada saat mengobati mata untuk
menghindari infeksi sekunder.

Pencegahan xeroftalmia dapat dilakukan dengan (Direktorat Gizi


Masyarakat Indonesia, 2002) :

1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xerotlamia ( faktor social


budaya dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor idividu).
2. Mengenal tanda kelainan xeroftalmia secara dini.
3. Memberikan vitamin A dengan dosis tinggi kepada bayi dan anak
secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan
Febuari atau Agustus, untuk anak balita secara enam bulan sekali
secara serentak pada bulan Febuari dan Agustus.
4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta.
5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A atau
provitamin A secara teratur.
7. Memberikan ASI (Air Susu Ibu) eksklusif
8. Pemeberian vitamin A pada ibu nifas (<30 hari)
9. Melakukan imunisasi dasar pada setia bayi.

BAB III
23

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
World Health Organization (WHO) menyatakan kebutaan adalah
tajamnya penglihatan kurang dari 3/60 dengan ketidaksanggupan menghitung
jari pada jarak tiga meter. Kebutaan menyebabkan berkurangnya penglihatan
sehingga seseorang tidak mampu mandiri dalam pekerjaan, menyebabkan
seseorang bergantung pada orang lain, badan, dan alat bantu agar dapat hidup.
Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran
menunjukkan penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah katarak,
glaukoma, trakoma, onkoserkiasis dan xerophtalmia.
Katarak merupakan penyebab 50% kasus kebutaan di seluruh dunia.
Di berbagai bagian dunia yang sedang berkembang, fasilitas yang tersedia
untuk mengobati katarak jauh dari mecukupi, sehingga sulit untuk mengatasi
kasus-kasus baru yang muncul. Sekitar 400 juta kasus terkena trakoma,
sebagian besar berada di Afrika, Timur Tengah dan Asia.
Onkisersiasis ditularkan melalui gigitan berulang oleh lalat blackflies
(lalat hitam) dari genus Simulium. Onkoserkiasis disebut juga river blindness
karena lalat hitam yang mentransmisikan hidup, infeksi, dan keturunan di
aliran sungai yang deras sehingga air dan habitat sungai yang terinfeksi dapat
mengakibatkan kebutaan pada individu. Kasus onkoserkiasis di Indonesia
jarang terjadi karena di Indonesia tidak banyak didapatkan sungai dengan
aliran air yang deras seperti di daerah Afrika.
Indonesia berada di daerah miskin dengan sosial ekonomi lemah
defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling banyak
dijumpai pada anak-anak dan membuat 250.00 500.000 orang anak
meninggal dunia dalam tahun tersebut.

24
3.2 Saran
24

Referat ini hanya sebagai pengantar mengenai beberapa kasus


penyebab kebutaan. Pembaca dapat menggunakan referat ini sebagai acuan
dan mencari lebih banyak referensi pada buku-buku yang tersedia di
perpustakaan dan berbagai jurnal yang terpercaya.

DAFTAR PUSTAKA
25

Direktorat Gizi Masyarakat Indonesia, 2002. Deteksi Dini Xeroftalmia. Jakarta

Fadilah, Siti. 2005. Kepmenkes RI Nomor 1473/Menkes/SK/X/2005. KEMENKES.

Jakarta.

Ilyas, Sidarta. 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FKUI. Jakarta.

Ilyas, Sidarta. 2001. Atlas Ilmu Penyakit Mata. CV Sagung Seto. Jakarta.

James, Bruce. 2006. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9. Erlangga. Jakarta.

Mand S, Batsa L, Specht S, Desrah AY, Buthren M, Hoerauf A, et al, 2009.

Parasitol Res.(104). 437 47. Diakses 9 Januari 2013.

Witcher, John P. dan Paul Riordan Eva. 2009. Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC.

Jakarta.

Untoro, Rachmi. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia. Depkes RI.

Jakarta.

You might also like