You are on page 1of 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Diabetes Melitus


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah suatu kelompok gangguan metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia. Hal ini berhubungan dengan

ketidaknormalan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan

menimbulkan komplikasi kronik seperti mikrovaskular, makrovaskular dan

gangguan neuropatik (Dipiro et al., 2008).


Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit sindrom

yang heterogen dengan gejalanya yaitu peningkatan glukosa darah yang

disebabkan oleh kurangnya hormon insulin, baik secara relatif maupun

absolut (Harvey et al., 2014).


2. Klasifikasi Diabetes Melitus
American Diabetes Association (ADA) menggolongkan penyakit

diabetes melitus dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut :


a. Diabetes melitus tipe 1 (DM bergantung insulin)
Penderita penyakit DM tipe 1 terjadi pada 10% dari semua

kasus diabetes. DM tipe ini sangat tergantung pada suntikkan insulin

dan kebanyakan terjadi pada anak-anak atau dewasa. Begitu

penyakitnya terdiagnosa, penderita langsung memerlukan suntikan

insulin karena pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak

memproduksi insulin (Harvey, et al., 2014; Dipiro, et al., 2008).


Diabetes melitus tipe ini ditandai dengan defisiensi insulin

secara absolut akibat nekrosis sel yang parah. Hilangnya fungsi sel

berasal dari proses yang diperantarai autoimun terhadap sel , hal

ini dapat dipicu oleh invasi virus atau kerja toksin kimiawi yang

akibatnya pankreas gagal merespon glukosa. Diabetes melitus tipe 1

menunjukkan gejala-gejala defisiensi insulin seperti polidipsia,

polifagia, poliuria dan kehilangan berat badan (Harvey, et al., 2014).


b. Diabetes melitus tipe 2 (DM tidak bergantung insulin)
Diabetes melitus tipe 2 terjadi pada 90% dari semua kasus

diabetes. Penderita DM tipe ini terjadi pada pasien berusia diatas 40

tahun. Diabetes melitus tipe 2 inilah yang sebagian besar banyak

diderita oleh pasien. Biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik,

seperti penuaan, obesitas, resistensi insulin, defisiensi insulin dan

bukan oleh proses autoimun atau virus (Harvey, et al., 2014; Dipiro, et

al., 2008).
DM tipe 2 ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin

atau resistensi insulin pada organ target terutama hati dan otot.

Awalnya resistensi insulin belum menyebabkan diabetes secara klinis,

karena sel pankreas masih dapat mengkompensasi insulin sehingga

glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat. Peningkatan

kadar glukosa darah terjadi ketika insulin yang diproduksi tidak selektif

terhadap reseptor insulin sehingga terjadi peningkatan glukosa di

dalam darah (Setiati, S., dkk., 2014).


c. Diabetes melitus pada kehamilan (Gestational DM )
Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi

glukosa pada saat kehamilan. DM tipe ini mempersulit sekitar 7% dari

semua kehamilan. Deteksi klinis penting dilakukan sebagai terapi

karena akan mengurangi morbiditas dan mortalitas dari perinatal

(waktu selama persalinan dan kelahiran) (Dipiro, et al., 2008).


DM tipe ini merupakan penyakit diabetes melitus yang muncul

pada saat kehamilan. Selama kehamilan, plasenta dan hormon-

hormon plasenta memproduksi suatu resistensi insulin yang paling

nyata pada tiga bulan terakhir (Katzung, et al., 2012).


d. Diabetes tipe lain
DM tipe ini terjadi karena pankreatektomi, pankreatitis, penyakit

non pankreas, dan penggunaan obat-obatan seperti glukokortikoid,

hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin dan

interferon (Dipiro, et al., 2008; Katzung, et al., 2012).

3. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus Berdasarkan Nilai Diagnostik

Kadar Glukosa Darah


Tabel 1. Kadar glukosa darah (Dipiro, et al., 2008)

Kriteria Kadar Glukosa

Darah (mg/dL)
Normal
- Glukosa darah puasa < 110 mg/dL
- 2 jam setelah pemberian beban glukosa > 110 mg/dL

Diabetes melitus 126 mg/dL


200 mg/dL
- Glukosa darah puasa
- 2 jam setelah pemberian beban glukosa

4. Gejala Klinis Diabetes Melitus


Diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan

glukosa darah) dan gangguan metabolisme karbohidrat yang

mengakibatkan glikosuria, poliuria, polidipsia, polifagia, ketonemia,

ketonuria. Selain itu penglihatan kabur juga sering terjadi, koordinasi

gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan dan kaki, dan

timbulnya gatal-gatal (pruritus) (Depkes, 2005; Gunawan, 2007).

5. Komplikasi
Komplikasi pada diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan

hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, ketoasidosis diabetik,

hiperosmolar non ketotik, dan asidosis laktat. Hipoglikemia adalah

kadar glukosa darah yang kurang dari 50 mg/100 mL darah.

Hipoglikemia dapat disebabkan oleh puasa atau khususnya puasa


yang disertai olahraga karena olahraga meningkatkan pemakaian

glukosa oleh sel-sel otot rangka (Setiati, S., dkk., 2014).


Hiperglikemia adalah kadar glukosa darah yang tinggi dan

rentang kadar puasa normal 126 mg/100 mL darah. Hiperglikemia

disebabkan oleh defisiensi insulin, seperti yang dijumpai pada diabetes

tipe 1, atau karena penurunan responsivitas sel terhadap insulin,

seperti yang dijumpai diabetes tipe 2 (Setiati, S., dkk., 2014).


b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik (komplikasi jangka panjang) pada dasarnya

terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh.

Komplikasi diabetes tersebut terbagi menjadi dua yaitu makrovaskular

dan mikrovaskular. Dimana komplikasi makrovaskular termasuk

penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer.

Sedangkan komplikasi mikrovaskuler yaitu retinopati, neuropati dan

nefropati (Dipiro, et al., 2008; Setiati, S., dkk., 2014).


6. Mekanisme Kerja Insulin
Proses sekresi insulin terjadi ketika adanya rangsangan oleh

molekul glukosa. Ketika glukosa terdapat di dalam darah, glukosa harus

berikatan dengan senyawa lain sebagai kendaraan pembawa agar bisa

melewati membran sel untuk dapat masuk ke dalam sel. Senyawa lain

tersebut yaitu (Glucose Transporter) GLUT. Pada sel pankreas terdapat

GLUT-2 untuk membawa glukosa melewati membran sel dan masuk ke

dalam sel. Selanjutnya glukosa yang masuk ke dalam sel pankreas

akan mengalami glikolisis dan fosforilasi sehingga menghasilkan ATP. ATP


yang dihasilkan kemudian mengaktifkan penutupan kanal K (Kalium) yang

terdapat pada sel pankreas, sehingga menyebabkan depolarisasi

membran sel yang diikuti oleh pembukaan kanal Ca (Kalsium).

Pembukaan kanal Ca menyebabkan ion Ca 2+ masuk ke dalam sel dan

mengakibatkan peningkatan ion Ca2+ di dalam sel. Selanjutnya Ca2+ yang

berada di dalam sel akan merangsang sekresi granul insulin yang berada

di dalam sel pankreas sehingga terjadi sekresi insulin. Insulin akan

masuk kedalam reseptor yang berada diluar sel dan reseptor didalam

sel. Kemudian terjadi proses fosforilasi intrasel dan membentuk GLUT-4.

GLUT-4 berfungsi membawa glukosa masuk ke dalam sel dan disimpan

dalam bentuk glikogen. Insulin berfungsi untuk mempercepat masuknya

glukosa ke dalam sel dan jaringan adiposa (Gunawan, 2007; Setiati, S.,

dkk., 2014).
7. Pengobatan Diabetes Melitus
Penderita diabetes melitus dapat mengendalikan kadar glukosa

darah dengan cara terapi nutrisi, aktivitas fisik, dan penggunaan obat-

obatan diabetes melitus.


a. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi dianjurkan untuk semua pasien DM. terapi nutrisi

bertujuan untuk mencapai hasil metabolisme yang optimal dan untuk

pencegahan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1 terfokus pada

pengaturan pemberian insulin dengan diet seimbang untuk mencapai

dan mempertahankan berat badan yang sehat. Sedangkan pada

pasien DM tipe 2 membutuhkan pembatasan kalori. Pada umumnya,


terapi nutrisi harus menghindari makanan tinggi karbohidrat, tinggi

lemak, dan tinggi kolesterol (Dipiro, et al., 2008).


b. Aktivitas fisik
Kebanyakan penderita DM bisa mendapatkan keuntungan

dengan beraktivitas. Latihan aerobik dapat menurunkan resistensi

insulin dan bisa memperbaiki glisemia pada beberapa pasien. Latihan

fisik sebaiknya dimulai ringan pada pasien yang sebelumnya jarang

melakukan latihan fisik. Pasien lansia dan pasien yang menderita

penyakit aterosklerotik sebaiknya menjalani pemeriksaan

kardiovaskular sebelum memulai latihan (Diporo, et al., 2008).


c. Terapi farmakologis
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi diabetes melitus

dapat digolongkan dalam beberpa kelompok :


1. Insulin
Terapi insulin diklasifikasikan menurut durasi kerjanya yaitu

insulin kerja cepat, insulin kerja singkat, insulin kerja sedang dan

insulin kerja lama (Katzung, et al., 2012). Insulin umumnya

mempunyai mula kerja yang relatif lambat ketika diberikan secara

subkutan, insulin diberikan 30 menit sebelum makan untuk

mendapatkan kontrol glukosa yang optimal (Dipiro, et al., 2008).


Adapun efek samping dari terapi insulin yaitu hipoglikemia,

reaksi alergi dan resistensi, lipoatrofi dan lipohipertrofi (Gunawan,

2007).
2. Obat hipoglikemik oral
a) Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini dibagi menjadi 2 generasi, generasi 1

terdiri dari tolbutamid, klorpropamid, dan tolazamid. Sedangkan


generasi 2 terdiri dari gliburid, glipizid, dan glimepiride (Katzung,

et al., 2012). Semua golongan obat ini memberikan aksi

hipoglikemik dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas

(Dipiro, et al., 2008).


Mekanisme kerja obat ini yaitu menstimulasi pelepasan

insulin oleh sel-sel pankreas dengan cara menghambat kanal

K+ sensitif-ATP sehingga mengakibatkan depolarisasi dan

pemasukkan Ca2+, penurunan produksi glukosa hepatik, dan

peningkatan sensitivitas perifer terhadap insulin. Adapun efek

samping dari obat ini, menyebabkan kenaikan berat badan,

hiperinsulinemia dan hipoglikemia (Harvey, et al., 2014).


b) Golongan Meglitinid
Mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea, kerja obat

ini menstimulasi sekresi insulin dengan memblok kanal K +

sensitif ATP pada sel pankreas. Meglitinid memiliki durasi kerja

yang pendek. Contoh obat dari golongan ini yaitu Repaglinid dan

Nateglinid (Brunton, et al., 2010; Harvey, et al., 2014).


Efek samping dari obat ini dapat menyebabkan

hipoglikemia, namun efek samping ini tampaknya lebih rendah

dibandingkan dengan sulfonilurea (Harvey, et al., 2014).


c) Biguanid
Obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dari pankreas

dan biasanya tidak menyebabkan hipoglisemia, bahkan pada

dosis besar. Metformin menurunkan kadar glukosa terutama

dengan menurunkan produksi glukosa hepatik dan dengan


meningkatkan kerja insulin diotot dan lemak. Kerja ini

diperantarai oleh sebagian aktivasi protein kinase (Brunton, et

al., 2010).
Contoh obatnya yaitu metformin. Efek sampingnya sebagian

besar pada saluran cerna (Harvey, et al., 2014).


d) Tiazolidinedion
Agen-agen ini mengaktifkan PPAR , mengaktivasi gen

responsif insulin yang meregulasi metabolisme karbohidrat dan

lipid. Obat ini terutama berkerja dengan meningkatkan

sensitivitas pada jaringan perifer, sehingga hanya efektif jika ada

insulin (Dipiro, et al., 2008; Brunton, et al., 2010).


Contoh obatnya yaitu pioglitazon dan rosiglitazon. Efek

samping dari obat ini resistensi cairan yang bermanifestasi

sebagai anemia ringan dan edema perifer dan kedua obat ini

meningkatkan resiko gagal jantung (Katzung, et al., 2012).


e) Penghambat alfa glukosidase
Acarbose dan miglitol dapat mencegah pemecahan sukrosa

dan karbohidrat kompleks di intestinal, sehingga memperlama

absorbsi karbohidrat (Dipiro, et al., 2008). Obat ini juga secara

kompetitif menghambat glukoamilase dan sukrase, tetapi

memiliki efek yang lemah pada -amilase pankreatik. Obat ini

mengurangi kadar glukosa plasma sesudah makan pada pasien

DM tipe 1 dan 2 (Brunton, et al., 2010).


Efek samping utama dari obat ini adalah kembung, diare,

dan keram abdomen (Harvey, et al., 2014).


f) Analog amylin
Contoh obatnya yaitu pramlintid. Pramlintid adalah obat

antihiperglikemik yang diberikan secara suntikan. Obat ini

memodulasi kadar glukosa pasca makan, serta obat ini

digunakan sebelum makan baik pada pasien diabetes tipe 1 dan

tipe 2. Mekanisme kerja obat ini dengan cara meningkatkan

reseptor amylin. Adapun efek sampingnya yaitu hipoglikemia,

mual, muntah dan anoreksia (Katzung, et al., 2012).


g) Agonis reseptor polipeptida/Glukagon-1 (GLP-1)
Contoh obatnya yaitu eksenatid dan liraglutid. Obat-obat ini

memiliki banyak efek, misalnya peningkatan sekresi insulin yang

diperantarai oleh glukosa, memperlambat waktu pengosongan

lambung, dan penurunan nafsu makan melalui efek sentral.

Meningkatnya sekresi insulin disebabkan oleh meningkatnya

massa sel . Mekanisme kerja dari obat ini dengan cara

meningkatkan reseptor GLP-1 (Katzung, et al., 2012).


Efek samping utama dari obat ini terdiri dari mual, muntah

dan diare (Harvey, et al., 2014).


h) Inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4)
Contoh obatnya yaitu sitagliptin, saksagliptin, dan linagliptin.

Mekanisme kerja dari obat ini dengan menghambat enzim DPP-

4, yang bertanggung jawab untuk mengaktivasi hormon-hormon

inkretin (Harvey, et al., 2014). Obat-obat ini menghambat

penguraian GLP-1, meningkatkan kadar GLP-1 dalam darah,

yang akhirnya menurunkan penyimpanan kadar glukosa pasca-


makan dengan meningkatkan sekresi insulin dan menekan kadar

glukagon (Katzung, et al., 2012).


Efek samping dari obat ini yaitu nasofaringitis dan nyeri

kepala (Harvey, et al., 2014).


B. Uraian Tanaman
1. Klasifikasi Tanaman Pisang Goroho (Musa acuminata Colla)
Tanaman pisang goroho (Musa acuminata Colla) diklasifikasikan

menurut (http://www.itis.gov, 2015) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa L.

Spesies : Musa acuminata Colla

2. Morfologi Tanaman
Pisang merupakan tanaman yang tidak memiliki batang sejati.

Batang pisang terbentuk dari perkembangan dan pertumbuhan pelepah-

pelepah yang mengelilingi poros lunak dan panjang. Batang sebenarnya

terdapat pada bonggol yang tersembunyi didalam tanah (Ode, A. S.,

2014).
Tanaman pisang memiliki batang tegak, akar memiliki susunan

yang kuat. Daun letaknya berpencar, helaian daun berbentuk lanset


memanjang dengan tepi rata dan mudah robek, bertulang daun menyirip.

Tangkai daun 30-40 cm. Bunga majemuk dengan tangkai yang panjang

dan kuat, ada yang berbulu dan ada yang tidak, bunganya banyak.

Hampir semua jenis pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang,

tetapi pisang goroho ketika matang warnanya hijau agak kekuning-

kuningan tapi tidak kuning (Tasirin, 2011).


Bagian pisang yang digunakan sebagai obat adalah buah pisang,

bunga pisang (jantung), tunas atau anak pisang, batang pohon pisang,

kulit buah pisang, dan getah pelepah daun pisang. Batang pisang juga

bagi orang Minahasa dijadikan sayur (Tasirin, 2011).

3. Kandungan Kimia
Secara umum, kandungan kimia yang terdapat pada buah pisang

adalah air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin A, tiamin (B1), riboflavin

(B2), vitamin B6, vitamin C, dan mineral (kalium, klor, kalsium, natrium,

magnesium, fosfor, zink) (Gosh, et al., 2011).


Menurut Suryanto, dkk., 2011 pisang goroho mengandung

beberapa senyawa seperti fenolik, flavonoid, tanin yang memiliki aktivitas

senyawa antioksidan. Getah kulit pisang goroho mengandung flavonoid,

saponin, dan tanin (Kurniawan, dkk., 2013). Serta kulit pisang

mengandung fenolik dan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan

(Singhal, et al., 2013).


4. Manfaat dan Kegunaan Tanaman
Pisang secara umum dapat diunakan untuk mengobati pendarahan

rahim, sariawan usus, ambeien, cacar air, telinga dan tenggorokan


bengkak, disentri, amandel, kanker perut, penyembuhan luka, sakit kuning

(liver), pendarahan usus besar dan diare (Ode, A. S., 2014). Tunas pisang

goroho secara empiris digunakan sebagai pengobatan untuk penderita

diabetes melitus.

C. Ekstraksi
1. Pengertian Ekstraksi
Ekstrak adalah sedian kering, kental atau cair yang dibuat dengan

penyari simplisia menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya

matahari langsung (Badan POM RI, 2010).


Ekstraksi adalah penyarian zat-zat yang berkhasiat sebagai obat

atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis

ikan termasuk biota laut dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Zat-

zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan sel

hewan berbeda. Sehingga, diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut

tertentu dalam mengekstraksinya (Ditjen POM, 1986).


2. Metode Maserasi
Dibuat ekstrak dari serbuk kering simplisia dengan cara

menggunakan pelarut yang sesuai. Digunakan pelarut yang dapat

menyari sebagian besar metabolit sekunder yang terkandung dalam

serbuk simplisia. Jika tidak dinyatakan lain gunakan etanol 70% P.

Masukkan satu bagian serbuk kering simplisia ke dalam maserator,

tambahkan dengan 10 bagian pelarut. Rendam selama 6 jam pertama

sambil sekali-sekali diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan


maserat dengan cara pengendapan, sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi.

Ulangi proses penyarian sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan

jumlah pelarut yang sama (Depkes, 2008).


D. Uraian Hewan Coba
1. Klasifikasi Hewan Coba (The integrated taxonomic information system,

2015) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
2. Karakteristik Hewan Coba (Malole, 1989).
Masa pubertas : 40-60 hari
Masa beranak : Sepanjang tahun
Lama hamil : 63 hari
Jumlah sekali lahir (ekor) : 6-8
Lama hidup : 2-3 tahun
Masa tumbuh : 4-5 bulan
Masa laktasi : 21 hari
Frekuensi kelahiran/tahun :7
Suhu tubuh (C) : 37,7-38,8
Kecepatan respirasi/ menit : 100-150
Tekanan darah : 130/95
Volume darah (%BB) : 7,5
Masa pubertas : 40-60 hari
Kadar glukosa darah puasa : 50-109 mg/dL
Kadar glukosa darah normal : 50-135 mg/dL (Mitruka, 1977)
E. Uraian Glibenklamid

Gliburid (glibenklamid) merupakan generasi ke II dari sulfonilurea

yang memiliki aktivitas sebagai hipoglikemik yang potensinya 200 kali

lebih kuat dari tolbutamid (Gunawan, 2007).


Mekanisme kerja obat ini yaitu menstimulasi pelepasan insulin oleh

sel-sel pankreas dengan cara menghambat kanal K + sensitif-ATP

sehingga mengakibatkan depolarisasi dan pemasukkan Ca 2+, penurunan

produksi glukosa hepatik, dan peningkatan sensitivitas perifer terhadap

insulin (Harvey, et al., 2014). Glibenklamid di metabolisme di hati,

sebagian di eliminasi di ginjal, dan sebagiannya di feses sehingga tidak

diperbolehkan diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi

hati atau ginjal. Durasi kerja dari glibenklamid yaitu 12 jam dan memiliki

waktu paruhnya sekitar 4 jam (Dipiro, et al., 2008). Dosis lazim dari

glibenklamid adalah 2,5 mg/hari, sedangkan dosis awal pemberian adalah

5 mg-10 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal, tidak dianjurkan

untuk memberikan dosis lebih dari 20 mg/hari (Katzung, et al., 2015).

F. Aloksan
Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktur adalah derivat

pirimidin sederhana. Nama aloksan diperoleh dari penggabungan kata

allantoin dan oksalurea (asam oksalurik). Nama lain dari aloksan adalah

2,4,5,6-tetraoxypirimidin, 2,4,5,6-primidinetetron, 1,3-Diazinan-2,4,5,6-

tetron (IUPAC) dan asam mesoxalylurea 5-oxobarbiturat. Rumus kimia

aloksan adalah C4H2N2O4. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam

urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil dan
senyawa hidrofilik. Waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu 37 o C

adalah 1,5 menit (Yuriska, 2009).


Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk

menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Pemberian aloksan

dengan cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetik

eksperimental (hiperglikemik) pada hewan percobaan. Aloksan dapat

diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan. Untuk

menghasikan hiperglikemik pada tikus dapat diinjeksikan 120-150

mg/kgBB aloksan (Yuriska, 2009).


Aksi dari aloksan diawali dengan pengambilan yang cepat oleh sel

pankreas. Faktor utama dari kerusakan sel yaitu dengan terbentuknya

oksigen reaktif. Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan proses

reduksi aloksan dalam sel pankreas. Aloksan mempunyai aktivitas tinggi

terhadap senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutation

tereduksi (GSH), sistein, dan senyawa sulfhidril yang terikat protein

(misalnya SH-containing enzyme). Hasil dari proses reduksi aloksan

adalah asam dialurat, asam dialutrat mengalami reoksidasi menjadi

aloksan, selanjutnya siklus redoks yang akan menentukan pembangkitkan

radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dan asam dialurat merupakan

proses yang diperantarai oleh radikal aloksan intermediet (HA) dan

pembentukan compound 305. Radikal superoksida dapat membebaskan

ion ferri dari ferinitin, dan mereduksi menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri

juga dapat direduksi oleh radikal aloksan. Radikal superoksida mengalami


dismutasi menjadi hidrogen peroksida, kerjanya berjalan spontan, dan

dikatalisis oleh superoksida dismutasi. Salah satu target dari oksigen

reaktif adalah DNA pulau langerhans pankreas (Szkudelski, T., 2001).

You might also like