Professional Documents
Culture Documents
L
PPeenneelliittiiaann,, PPeennddiiddiikkaann ddaann PPeenneerraappaann M
MIIPPA
A
30 Mei 2008, R. Sidang FMIPA UNY, Yogyakarta
ISBN : 978-979-99314-3-6
Editor :
Dr. Hartono
Dr. Heru Kuswanto
Dr. Suyanta
Dr. Heru Nurcahyo
Penyunting:
Dr. Endang Widjajanti LFX
Agus Purwanto, M.Sc
Nurhadi, S.Si
Tri Atmanto, M.Si
Artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA pada 30 Mei 2008 di FMIPA-UNY
Diselenggarakan oleh:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta
Diterbitkan oleh
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta
Kampus Karangmalang, Sleman, Yogyakarta
Cetakan ke 1
Terbitan Tahun 2008
Penyuntingan semua tulisan dalam prosiding ini dilakukan oleh Tim Penyunting
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Seminar Nasional FMIPA 2008 dari FMIPA UNY
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Mahaesa atas segala Karunia dan
Rahmatnya proseding ini dapat diselesaikan. Proseding ini merupakan kumpulan dari
makalah dari peneliti, dosen dan guru yang berkecimpung di bidang MIPA dan
Pendidikan MIPA yang berasal berbagai daerah di Indonesia.
Makalah yang dipresentasikan meliputi 2 makalah utama dan 119 makalah
pendamping yang terdiri dari 32 makalah bidang matematika dan pendidikan matematika,
41 makalah bidang fisika dan pendidikan fisika, 19 makalah dari bidang kimia dan
pendidikan kimia serta 27 makalah bidang biologi dan pendidikan biologi.
Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dan mendukung penyelenggaraan seminar ini. Dan kepada seluruh peserta
seminar diucapkan terimakasih atas partisipasinya dan selamat berseminar semoga
bermanfaat.
Panitia
Ketua Panitia
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan
nikmatNya yang selalu dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita dapat bersama-sama
di tempat ini dalam rangka mengikuti seminar nasional MIPA dengan tema:
Oleh
Chairil Anwar
Kebutuhan
Energi otak
20 % dari total
energi tubuh :
2/3 untuk
digunakan
untuk
menyalakan
neuron dan 1/3
untuk menjaga
komponen otak
(Wei Chen )
Arsitektur Otak
Daniel Goldman
The Hay EQ Competency
Framework
Self Awareness Social Awareness
104
102
100
98
96
94
92
90
16-19 Average 40-49
Kecerdasan-Tuhan-Manusia
Tafsir Kecerdasan
Piramida Motivasi Sesudah Terjadi
Perubahan Budaya
Teori Penemuan Ilmiah
"Cha-Cha-Cha"
Setiap penemuan ilmiah terjadi melalui
penataan neuron dalam otak seorang
individu dan karenanya ia idiosyncratic.
Dengan melihat beberapa abad ke
belakang ternyata penemuan ilmiah
menunjukkan pola yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga katagori yaitu:
Charge, Challenge, dan Chanceyang
dapat disingkat sebagai Teori Penemuan
Ilmiah "Cha-Cha-Cha. (Daniel E.
Koshland Jr.)
CATEGORIES OF DISCOVERY
Category of
Problem that needed solving Discovery Discoverer
discovery
Brown &
Preventing heart attacks Cholesterol metabolism Charge
Goldstein
Why offspring look like their parents Laws of heredity Mendel Charge
Kondisi Hidup Ibarat Posisi
Air
Masalah Global
Penyakit Infeksi
Khewan meningkat Permintaan bahan pangan berkualitas
Terus meningkat
Pemanasan
Global
Is your academic
reputation valuable
to you?
Jarak Pagar (Jatropa Curcas)
Pertanyaan?
Kesimpulan
Menurut pengetahuan neurologi dan psikologi pusat kecerdasan
ada di otak yang kemudian disalurkan ke berbagai aspek diri:
kognitif (matematik,ruang); afektif (intra,ekstra,eksistensi) dan
motorik (bahasa,fisik).
Kecerdasan emosi (EI) dan spiritual (SI) terutama terkait dengan
hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan
Yang Maha Kuasa.
Melalui EI dan SI maupun kecerdasan majemuk (MI) manusia
bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan peningkatan
kualitas hidup yang berkelanjutan.
Awal abad 21 ditandai dengan masalah besar kemanusiaan yaitu
isuPemanasan Global atau GW.
Riset biomasa adalah salah satu cara manusia mengatasi GW.
Melalui riset ini diharapkan CI,EI dan EI manusia dapat terus
terasah sekaligus diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidup
manusia maupun bumi (sustainable earth and humankind live)
Terima Kasih!
MAKALAH SIDANG PARALEL
BIDANG KIMIA
Pendahuluan
Malaria memberi gambaran penyakit parasit pada manusia yang sangat
mematikan. Walaupun usaha-usaha telah banyak dilakukan untuk membasmi atau untuk
mengontrolnya. Setiap tahun secara kasar diobati 40 % dari populasi dunia, menginfeksi
lebih dari 200 juta manusia dan mengancam 2 juta kehidupan anak usia dibawah lima
tahun. Hal yang membuat menjadi lebih buruk, pengobatan malaria menjadi meningkat
lebih sulit oleh karena munculnya Strain P. falcifarum yang resisten terhadap bermacam-
macam obat, hal ini merupakan salah satu sebab dari bentuk yang lebih kuat dari penyakit
malaria. Sebagai hasilnya mendorong keinginan peneliti untuk mencari dan
mengembangkan obat anti malaria baru.
Parasit malaria menginfeksi sel-sel darah merah, memakan dan mendegradasi
merusak hemoglobin di dalam vakuola makanan asam. Penghancuran protein
menghasilkan asam amino untuk sintesa protein yang sama baiknya dengan heme yang
beracun. Parasit tak dapat memecah cincin porfirin dengan enzym, heme didetoksikasi
dengan dikonversi menjadi polimernya yang larut, hemozoin. Ditimbulkan kesan bahwa
pembentukan hemozoin dihambat oleh 4-aminoquinolin seperti kloroquin, kinin dan
amodiaquin, meskipun fakta-fakta kelihatannya kontroversial.
Kulit kayu dari Garcinia cowa Roxb (Guttiferae), tanaman yang tersebar luas di
Thailand dan secara lokal dikenal dengan nama Cha-Muang, telah digunakan untuk obat
tradisional sebagai antipiretik. Dalam kesinambungan pencarian kami terhadap obat
antimalaria dari sumber alam, ekstrak EtOH kulit kayu dari tanaman ini telah diuji dan
ditemukan menghambat pertumbuhan Plasmodium falcifarum in vitro, dengan nilai IC50 5
g/ml.
Pembahasan
Sebelum membicarakan elusiasi xanthon dari G.Cowa, terlebih dahulu kami jelaskan
teknik ekstraksi di dalam penelitian kimia organik.
Pemisahan Komponen-Komponen Organik
Dari berbagai klasifikasi kromatografi, maka pemisahan dan pemurnian
komponen-komponen dari bahan alam pada umumnya dipisahkan berdasarkan Cara
pemisahan dengan kromatografi kolom gravitasi berkembang, sehingga akhir-akhir ini
digunakan Flash Chromatography dan Vacum Liquid Chromatography
Flash Chromatography
Pada prinsipnya cara ini merupakan kromatografi kolom gravitasi, akan tetapi
fasa gerak mengalir melalui kolom dengan bantuan tekanan udara atau gas nitrogen. Flash
Chromatography merupakan kromatografi kolom preparatif cepat yang dapat
memisahkan sebanyak 0,1 10,0 gram sampel selama 15 menit. Cara ini banyak
digunakan dibidang kimia sintetik maupun bahan alam. Pada prinsipnya prosedur
dilakukan sebagai berikut:
a. Pelarut untuk elusi dipilih yang dapat memberikan pemisahan dengan baik pada
pelat KLT, dimana komponen yang akan disolasi mempunyai Rf = 0,35 dan
perbedaan Rf antar komponen > 0,15
b. Kolom dengan diameter yang sesuai (Tabel 1) diisi dengan silika gel kering (40-
63m atau 230-400 mesh) setinggi 5-6 in.
c. Kedalam kolom dituang pelarut, kemudian ditekan untuk mengeluarkan udara dari
silika gel.
d. Sampel (20-25% dalam pelarut) dimasukkan ke atas silika gel, kolom diisi kembali
dengan pelarut dan elusi dengan kecepatan alir 2 in./menit.
e. Fraksi-fraksi ditampung dan dianalisis dengan KLT (Gambar1)
f. Fraksi fraksi dengan pola kromatogram KLT yang sama disatukan, pelarut
diuapkan (rotary evaporator). Fraksi kemudian dianalisis atau dimurnikan lebih
lanjut.
TABEL 1
column volume eluanta sampel: typical loading typical fraction
diameter ( mg ) size
(mm) (mL) Rf =0.2 Rf = 0.1 (mL)
10 100 100 40 5
20 200 400 160 10
30 300 900 360 20
40 600 1600 600 30
50 1000 2500 1000 50
a
Volume eluan yang dibutuhkan untuk paking dan elusi
Gambar 2. Jalur bio sintesis pembentukan flvonoid aril benzofuran, xanton, kumarin dan
benzofenon.
Dalam usaha untuk menentukan senyawa-senyawa yang responsif terhadap aktivitas
ini, penelitian fitokimia terhadap ekstrak ini dimulai. Pada penelitian ini, telah diisolasi
dihasilkan 7-O-metilgarcinon E sebagai xanthon baru (1) bersamaan dengan empat
xanthon lain yang sudah diketahui, yang dinamakan cowanin (2), cowanol (3)
cowaxanthon (4) dan -mangostin. xanthon 2 4 dipisahkan dari tanaman ini, senyawa 5,-
secara resmi dijumpai dalam G. mangostan -, yang diperoleh dari isolasi. Potensi
antimalaria dari xanthon-xanthon ini (1 5) terhadap Plasmodium falcifarum kemudian
dihitung, menggunakan radio-labelled hypoxanthine incorporation method (metoda
inkorporasi hipoxantine radio-label) (1-4,7). Semua xanthon yang di uji menunjukkan
aktivitas yang moderat dengan nilai IC50 mereka berkisar antara 1,50 sampai 3,00 g/ml.
Masing-masing senyawa menunjukkan potensi antimalaria yang sebanding dengan
pyrimethamine (IC50 2,80 g/ml) tetapi jauh lebih rendah daripada kloroquin (IC50 0,03
g/ml).
dielusi dengan campuran hexana dan EtOAc dalam tingkat polaritas seperti biasanya,
dihasilkan 7-O-metilgarcinon E 1 (3 mg)
Fraksi 3 dilakukan kolom kromatografi silika gel kembali dengan CHCl3 sebagai
eluen dan dipisahkan lagi dalam kolom silika, dielusi dengan campuran hexana-EtOAc
dengan kenaikan tingkat polaritas, untuk mendapatkan 5 (10 mg) setelah dikristalisasi dari
hexana/EtOAc.
Pengulangan kromatografi dari fraksi 4 (silika gel, CH2Cl3, silika gel, CH2Cl2)
memberikan cowanin 2 kasar, yang selanjutnya dimurnikan dengan rekristalisasi dari
MeOH untuk menghasilkan cowanin 2 (100 mg).
Fraksi 5 juga dipisahkan dengan kolom kromatografi ( silika gel, hexana-EtOAc,
polaritas bertingkat) fraksi pertama dari kolom ini dikristalisasi dari MeOH memberikan
cowaxanthon 4 (200 mg). Kromatografi dari fraksi 3 (silika gel, hexana-EtOAc, polaritas
bertingkat) diikuti dengan rekristalisasi dari MeOH menghasilkan cowanol 3 (250 mg).
Karakterisasi struktur Xanthon yang lain (2-5) diidentifikasi dengan membandingkan data
1
H-NMR (300 MHz) dan EI-MS dengan nilai/hasil yang telah dilaporkan. Evaluasi
aktivitas antimalaria ditunjukkan menurut hasil laboratorium yang ditentukan (2-4, 7).
Parasit yang diuji dari Plasmodium falciforum galur T9,94.
Daftar Pustaka:
Asai, F., Tosa, H., Tanaka, T., Ilnuma, M., 1993, Phytochemistry, 39 (4) 943-944
Blesubramanian, K., Rajagopalan, K., 1988, Phytochemstry, 27 (5), 1552-1554.
Colegate, S.M. and Molyneux, R.J., Bioactive Natural Products, Detection, Isolation and
Structural Determination, 1993, CRC Press, Inc., United States of America
Dharma Permana, Nordin Hj.Lajis.,MukramM., Abdul M.Ali., Norio Aimi., Mariko
Kitajima and Hiromitsu Takayama, 2000, Natural Produc, (64),976-979.
Fukuyama, Y., Kamiyama, A., Mima, Y., Kodama, M., 1991, Phytochemistry, 30 (10),
3433-3436.
Harborne, J.B., Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tum-buhan,
1987, terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Penerbit ITB Bandung
Harisson, L.J., Leong, L-S., Sia, G.L., Sim, K-Y., Tan, H.T.W., 1993, Phytochemistry, 33
930, 717-728.
Hiroyuki Minami , Emi Takahashi, Mitsuaki Kodama dan Yoshiyasu Fukuyama, 1996,
Three xanthones from Garcinia Subelliptica, Phytochemistry, Vol 41, Issue 2
Hanafi, M.. A. Soemiati, S.Kosela, and Leslie.J.Horrison, Identification and cytotoxic
L1210 Cell Evaluation of Prenylated Pyranoxanthonoids from Garcinia dulxis fruit (
Gutteferae ) n Hexane Extract.
Ilyas, M., Kamil, M., Khan, M.S., 1994., Phytochemistry, 36 (3), 807 809.
Ito, G., Miyamoto, Y., Nakayama, M., Kawai Y., Rao, KS., Furukawa, H., 1997, Chem
Pharm Bul, 45 (9) 1403-1413.
Jane Xu Kelly, Rolf Winter, David H.Peyton, David J Hinrichs and Michael Riscoe., 2001,
Chemoterapi, Vol 46 No 1 p 144-150
Kinghorn, A.D.,A Phytochemical Approach to Bioscreening of Natural Products, in
Thompson E.B., DRUG BIOSCREENING, Fundamentals of Drug Evaluation
Techniques in Pharmacology, 1985, Graceway Publishing Co., New York.
Likhitwitayawuid,K.Chanmahasathien,W.Ruangrungsi,N.Krungkrai,J., 1998, Planta
medica, , vol 64, Issue 3 , 281-282.
Likhitwitayawuid, K,Phadungcharosen,T,Krungkrai,J., 1998, Plata Medica, vol 64,Issue
1,70-72.
Minami, H., Kinoshita., M., Fukuyama, Y, Kodama, M., Yoshizawa, T., Sugiura, M.,
Nakagawa, K, Tago, H., 1994, Phytochemistry, 36 (2), 501-506.
Mustofa 2000 In- vitro and in-vivo activity of the divers of natural and syntesic
antimalarial:effect of potentialisator and the possibility of mechanism of actions.
Disertasi University of Montpellier I, France.
Osmany Cuesta-Rubio, Alexander Padron., Herman Velez Castro., Cosimo Pizza.,and
luca Rastrelli,2001, Natural Produc,(64), 973-975
Sordat-Dieserens, I., Rogers, C., Sordat, B., Hostettman, K., 1992, Phytochemistry, 31 (1),
313-316.
Soleh Kosela,I.H.Hu.T.Rahmatia, M.Hanafi, K.Y.Sim, J.Nat Prod, 63, 406-407 ( 2000)
Solomons,T.W.G., 1980, Organic Chemistry, 2nd. Ed., John Wiley & Sons, Inc., United
States of America.
Stahl, E., Thin Layer Chromatography , A Laboratory Handbook, 2nd.ed., 1969, Springer
International Student Edition., New York
Tona, L; Ngimbi,NP; Tsakala,M;Mesia,K;Cimanga,K;Apers,S;DeBruyne,T;Pieter,L;
Totte,J; Vlietinck, 1999, Anti malarial activity of 20 crude extracts from nine African
medicinal plants used in Kinshasa, Cong, Jurnal of Ethnopharmacology, Vol
68,Issue I-3, p 193-203
Vogel, A.I., 1959, Practical Organic Chemistry, 3rd.ed., Longmans, Great Britain
WHO,1997 The situation of malaria in the world in 1994, J.Epid Week 72:269-292
WHO, 1998. Rool back Malaria , A Global partenership, WHO,Geneva.
Xu,Yj; Lai,YH;Imiyabir,Z;Goh.SH, 2001, Xanthon from Garcinia Parviola, Jurnal of
Natural Products, Volume 64, Issue 0
Yu-Ling huang, Chien-chih chen,Ying-Jen chen,Ray-Ling huang,and Bor-Jinn
Shieh,2001, Natural Produc,(64),903-906
C. Budimarwanti
Jurdik Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Senyawa aldehida adalah senyawa yang mudah atau reaktif terhadap reaksi oksidasi
dan akan terbentuk asam karboksilat. Reaksi oksidasi terhadap gugus aldehida dapat
diartikan sebagai terbentuknya ikatan baru antara atom karbon gugus karbonil dengan atom
oksigen, dalam hal ini terjadi adisi nukleofilik terhadap gugus karbonil aldehida. Sehingga
keelektropositifan gugus karbonil sangat mempengaruhi reaktivitas atom karbon karbonil
terhadap serangan nukleofil.
Salah satu kelompok senyawa aldehida yang menarik adalah senyawa aldehida
aromatik. Hasil reaksi oksidasi senyawa aldehida aromatik ini akan diperoleh senyawa
asam karboksilat aromatik yang sangat bermanfaat dalam industri. Benzaldehida sangat
mudah dioksidasi menjadi asam benzoat. Dengan kondisi yang sama ternyata sulit untuk
mengoksidasi gugus aldehida aromatik turunan benzaldehida seperti p-
hidroksibenzaldehida; 4-hidroksi-3-metoksibenzaldehida (vanilin); 3,4-dimetoksibenzal-
dehida (veratraldehida), menjadi gugus karboksilat aromatik. Pada senyawa-senyawa
tersebut terdapat substituen-substituen yang terikat pada cincin benzene. Substituen yang
terikat pada cincin benzena dapat menyebabkan efek induksi, resonansi, maupun sterik.
Gugus hidroksil maupun metoksi secara induksi bersifat menarik elektron, tetapi secara
resonansi kedua gugus tersebut bersifat memberikan elektron. Dalam hal ini efek resonansi
perannya lebih dominan dibandingkan efek induksi. Adanya resonansi pada senyawa-
senyawa turunan benzaldehida tersebut menyebabkan penurunan muatan positif parsial
atom karbon karbonil, terutama efek resonansi yang disebabkan oleh gugus hidroksil dan
metoksi yang terikat pada posisi para terhadap gugus aldehida aromatik, sehingga
menurunkan reaktivitas terhadap reaksi oksidasi.
Kata kunci: reaksi oksidasi. aldehida aromatik, substituen, resonansi
Pendahuluan
Reaksi oksidasi dalam kimia anorganik didefinisikan sebagai dilepaskannya
elektron oleh suatu atom, sedangkan reaksi reduksi adalah diperolehnya elektron oleh suatu
atom. Dalam reaksi organik tidak selalu mudah untuk menentukan apakah sebuah atom
karbon memperoleh atau melepaskan elektron. Jika sebuah molekul memperoleh oksigen
atau kehilangan hidrogen, dikatakan bahwa molekul itu mengalami oksidasi. Sebaliknya,
jika molekul itu kehilangan oksigen atau memperoleh hidrogen, maka molekul itu
mengalami reduksi. Reaksi oksidasi juga sering dikaitkan dengan bilangan oksidasi. Bila
bilangan oksidasi suatu unsur dalam reaksi naik, maka dinyatakan mengalami oksidasi.
Sebaliknya bila bilangan oksidasi suatu unsur turun dikatakan mengalami reduksi (Pine,
1970 : 22)
Reaksi oksidasi aldehida sangat bermanfaat mengingat melimpahnya senyawa ini
di alam. Aldehida sangat mudah dioksidasi, pada reaksi ini akan terjadi perubahan gugus
fungsi aldehida menjadi gugus karboksilat. Asam karboksilat adalah senyawa karbon yang
memiliki gugus karboksil, yaitu memiliki satu gugus karbonil dan satu gugus hidroksil.
Kelompok senyawa ini cukup penting karena banyak digunakan dalam industri maupun di
laboratorium. Hampir semua pereaksi yang mengoksidasi suatu alkohol juga mengoksidasi
suatu aldehida. Garam permanganat atau dikromat merupakan zat pengoksidasi yang
terpopuler, tetapi bukanlah satu-satunya pereaksi yang dapat digunakan (Fessenden, 1992 :
35)
Salah satu kelompok senyawa aldehida yang menarik adalah senyawa aldehida
aromatik. Hasil reaksi oksidasi senyawa aldehida aromatik ini akan diperoleh senyawa
asam karboksilat aromatik yang sangat bermanfaat dalam industri, misalnya asam benzoat
yang sangat berguna dalam pembuatan antiseptik dan antiiritasi (Kirk-Othmer, 1978).
Makalah ini akan membahas pengaruh adanya substituen- substituen yang terikat
pada cincin benzena terhadap reaksi oksidasi gugus aldehida yang terikat pada cincin
benzena.
Pembahasan
Reagen Tollens, suatu larutan alkalis dari ion kompleks perak-amonia, digunakan
sebagai reagen untuk uji adanya aldehida. Aldehida akan dioksidasi menjadi anion
karboksilat, sedangkan ion Ag+ dalam reagen Tollens direduksi menjadi logam Ag. Uji
positif ditandai dengan terbentuknya cermin perak dalam tabung reaksi. Persamaan reaksi
uji aldehida dengan reagen Tollens ditunjukkan dengan persamaan reaksi seperti terlihat
pada Gambar 2 (Allinger, 1976 : 490).
O
o - +
RCH + 2Ag(NH3)2OH 2 Ag + RCOO NH 4 + H2O + 3 NH3
Gambar 2: Uji Aldehida dengan Reagen Tollens
Beberapa zat pengoksidasi yang dapat dipakai sebagai oksidator antara lain:
1. Hidrogen peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida merupakan oksidator kuat. Oksidator ini dapat dipakai dalam
bentuk garam natrium peroksida padat maupun dalam bentuk larutan encernya dalam
asam. Kelebihan pereaksi ini dapat dihilangkan dengan pendidihan.
2. Mangan dioksida (MnO2)
Mangan dioksida merupakan oksidator yang sangat kuat. Oksidator ini dapat dibuat
dengan pengendapan MnO2 yang berasal dari pemanasan MnSO4 dan KMnO4 pada pH
tertentu.
3. Kromium (VI)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-8
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Pengaruh Substituen pada.... C. Budimarwanti
Kromium (VI) merupakan zat pengoksidasi yang kuat. Pereaksi kromium (VI) yang
paling umum adalah kromium trioksida yang berwujud polimer [(CrO3)n]. Dalam
medium berair, kromium trioksida berada dalam keseimbangan dengan kromium yang
lain.
4. Kalium permanganat
Permanganat (MnO4-) berfungsi sebagai oksidator yang kuat dalam media basa,
asam atau netral. Reaksi oksidasi dengan KMnO4 berlangsung dalam berbagai pelarut
(EtOH, air, aseton, t-BuOH).
Setiap oksidator memiliki harga potensial reduksi oksidasi. Dari harga potensial
reduksi oksidasi dapat diketahui apakah suatu reaksi reduksi oksidasi tertentu dapat
terjadi atau tidak. Makin positif potensial reduksi oksidasi suatu sistem redoks maka
makin kuat bentuk teroksidasi itu selaku pengoksidasi, dan semakin negatif potensial
reduksi oksidasinya maka semakin kuat bentuk tereduksinya selaku pereduksi. Nilai
potensial reduksi oksidasi beberapa oksidator dapat dilihat pada Tabel 1 ( Hardjono
Sastrohamidjojo, Harno Dwi Pranowo, 2001)
Tabel 1: Nilai Potensial Reduksi Oksidasi Standar Beberapa Oksidator
Pasangan Redoks Eo
H O + 2H + 2e 2H O 1,77
2 2 2
- + 2+ 1,51
MnO4 + 8H + 5e Mn + 4H 2O
2- + 3+ 1,33
Cr2O7 + 14H + 6e 2Cr + 7H2O
+ 0,9
Ag + e Ag
+ -2,93
K + e K
Secara teoritis senyawa-senyawa turunan benzaldehida bila dikenai reaksi oksidasi akan
menghasilkan turunan asam benzoat. Beberapa senyawa turunan benzaldehida seperti p-
hidroksi benzaldehida, 4-hidroksi-3-metoksibenzaldehida (vanilin), 3,4-
dimetoksibenzaldehida (veratraldehida), dengan struktur seperti pada Gambar 4.
CH 3O
O O
HO C HO C
H H
p-hidroksibenzaldehida 4-hidroksi-3-metoksibenzaldehida
(vanilin)
CH 3O
O
CH3O C
H
3,4-dimetoksibenzaldehida
(veratraldehida)
Jika dilihat oksidator yang digunakan dari berbagai reaksi oksidasi tersebut, yaitu
hidrogen peroksida, kalium permanganat, dan kalium dikromat, semuanya memiliki nilai
potensial reduksi oksidasi positif, sehingga ketiganya termasuk oksidator kuat.
Seharusnya ketiga oksidator tersebut dapat mengoksidasi gugus aldehida aromatik
menjadi gugus karboksilat. Berdasarkan fakta yang diperoleh di laboratorium tersebut
ternyata gugus aldehida pada senyawa p-hidroksibenzaldehida, vanilin, dan veratraldehida
sulit dioksidasi menjadi gugus karboksilat, kalaupun bisa hanya diperoleh hasil oksidasi
dengan rendemen kecil. Hal ini dimungkinkan oleh adanya substituen-substituen yang
terikat pada cincin benzena, dimana substituen-substituen tersebut berpengaruh pada
reaktivitas reaksi oksidasi gugus aldehida aromatik.
Senyawa aldehida adalah senyawa yang mudah atau reaktif terhadap reaksi oksidasi
dan akan terbentuk asam karboksilat. Reaksi oksidasi terhadap gugus aldehida di sini
dapat diartikan sebagai terbentuknya ikatan baru antara atom karbon gugus karbonil
dengan atom oksigen, sehingga di sini juga terjadi adisi nukleofilik terhadap gugus
karbonil aldehida. Sehingga keelektropositifan gugus karbonil sangat mempengaruhi
reaktivitas atom karbon karbonil terhadap serangan nukleofil. Sebagai contoh mekanisme
reaksi oksidasi gugus aldehida aromatik menggunakan KMnO4 dapat dituliskan seperti
pada Gambar 5.
- O
O O O
- Ar C O Mn O
Ar C + O Mn O
H H O
O
-
O
-
Ar C O + MnO2 + OH
Gambar 5: Mekanisme Reaksi Oksidasi Aldehida Aromatik dengan KMnO4
Dalam reaksi oksidasi aldehida aromatik menggunakan H2O2 yang bertindak sebagai
nukleofil adalah anion hidroperoksida dengan mekanisme reaksi pada Gambar 6.
-
O O
Ar C - Ar C O OH
+ O OH
H
H
-
O
Ar C O + H2O
Gambar 6: Mekanisme reaksi Oksidasi Aldehida Aromatik dengan H2O2
Senyawa p-hidroksibenzaldehida memiliki gugus hidroksil pada posisi para terhadap
gugus aldehida. Substituen yang terikat pada cincin benzena dapat menyebabkan efek
induksi, resonansi, maupun sterik (Juni Ekowati, Suzana, Tutuk Budiati, 2005). Efek
induksi gugus hidroksil pada benzaldehida bersifat negatif (menarik elektron) terhadap
atom C karbonil gugus aldehida. Sebaliknya efek resonansi gugus hidroksil yang terikat
pada posisi para terhadap gugus aldehida benzaldehida adalah memberikan elektron lewat
resonansi seperti digambarkan pada Gambar 7.
O - O O O-
.. + +
- C +
..
HO C HO C HO HO C
H H H H
Gambar 7: Efek Resonansi Gugus Hidroksil yang Terikat pada Posisi para terhadap
Gugus Aldehida Senyawa p-Hidroksibenzaldehida
Gambar 8: Efek Resonansi Gugus Hidroksil yang Terikat pada Posisi para pada
Senyawa Vanilin
Sedangkan efek resonansi gugus metoksi yang terikat pada posisi meta terhadap gugus
aldehida senyawa vanilin terlihat pada Gambar 9.
.. + +
CH3O: CH3O
+
CH3O CH3O
O - O O O
HO C HO C HO C HO - C
H H - H H
Gambar 9: Efek Resonansi Gugus Metoksi yang Terikat pada Posisi meta terhadap Gugus
Aldehida Senyawa Vanilin
Efek resonansi gugus metoksi pada posisi meta tidak berpengaruh langsung pada
keelektropositifan atom karbon karbonil gugus aldehida senyawa vanilin, karena resonansi
yang terjadi hanya pada cincin benzena saja, berbeda halnya dengan efek resonansi oleh
gugus hidroksil pada posisi para. Sehingga dalam reaksi oksidasi vanilin yang berperan
menurunkan reaktivitas atom C karbonil adalah efek resonansi gugus hidroksil.
Senyawa veratraldehida memiliki 2 gugus metoksi yang letaknya pada posisi meta dan
para terhadap gugus aldehida Kedua gugus metoksi ini memiliki efek induksi menarik
elektron. Dari efek resonansi kedua gugus ini bersifat memberikan elektron. Resonansi
elektron oleh gugus metoksi pada posisi meta terhadap gugus aldehida sama dengan
resonansi oleh gugus metoksi pada vanillin seperti terlihat pada Gambar 10. Sedangkan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-12
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Pengaruh Substituen pada.... C. Budimarwanti
efek resonansi gugus metoksi pada posisi para terhadap gugus aldehida senyawa
veratraldehida terlihat pada Gambar 11. Sedangkan efek resonansi gugus metoksi pada
posisi para terhadap gugus aldehida senyawa veratraldehida terlihat pada Gambar 11.
.. + +
CH3O: CH3O
+
CH3O CH3O
O - O O O
CH3O C CH3O C CH3O C CH3O - C
H H - H H
Gambar 10: Efek Resonansi Gugus Metoksi yang Terikat pada Posisi meta terhadap Gugus
Aldehida Senyawa Veratraldehida
CH3O
O
CH3O - O CH3O O CH3O O-
.. CH3O
+
C
+
CH3O
- C +
CH3O C
..
CH3O C
H H H H
Gambar 11: Efek Resonansi Gugus Metoksi yang Terikat pada Posisi para terhadap Gugus
Aldehida Senyawa Veratraldehida
Efek resonansi gugus metoksi pada posisi meta tidak berpengaruh langsung pada
keelektropositifan atom karbon karbonil gugus aldehida senyawa veratraldehida, karena
resonansi yang terjadi hanya pada cincin benzena saja, berbeda halnya dengan efek
resonansi oleh gugus metoksi pada posisi para. Sehingga dalam reaksi oksidasi
veratraldehida yang berperan menurunkan reaktivitas atom C karbonil adalah efek
resonansi gugus metoksi pada posisi para terhadap gugus aldehida.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, yaitu melakukan reaksi
oksidasi pada beberapa turunan senyawa benzaldehida yang memiliki gugus-gugus
pemberi elektron melalui resonansi ternyata memang belum berhasil merubah gugus
aldehida aromatik menjadi gugus karboksilat, ataupun kalau terjadi reaksi oksidasi
diperoleh hasil dengan rendemen yang belum memuaskan.
Penutup
Reaksi oksidasi terhadap gugus aldehida dapat diartikan sebagai terbentuknya ikatan baru
antara atom karbon gugus karbonil dengan atom oksigen, dalam reaksi ini terjadi adisi
nukleofilik terhadap gugus karbonil aldehida. Sehingga keelektropositifan gugus karbonil
sangat mempengaruhi reaktivitas atom karbon karbonil terhadap serangan nukleofil.
Reaksi oksidasi gugus aldehida senyawa turunan benzaldehida dipengaruhi oleh adanya
substituen-substituen yang terikat pada cincin benzena. Substituen yang terikat pada cincin
benzena dapat menyebabkan efek induksi, resonansi, maupun sterik. Substituen yang
memiliki efek resonansi memberikan elektron akan mengurangi keelektroposifan atom C
gugus karbonil aldehida sehingga menurunkan reaktivitas terhadap reaksi oksidasi. Secara
logika maka kebalikannya, adanya substituen-substituen yang memiliki efek menarik
elektron seperti gugus CN, NO2, COOH akan menaikkan reaktivitas atom C karbonil
aldehida terhadap reaksi oksidasi. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan lebih lanjut bagaimana pengaruh adanya substituen-substituen yang terikat
pada cincin benzena yang bersifat menarik elektron terhadap reaktivitas atom C gugus
aldehida aromatik.
Daftar Pustaka
Allinger, Norman L. et.al. 1976. Organic Chemistry. Second edition. New York:Worth
Publishers Inc.
Andriyati. (2007). Studi Laboratoris Reaksi Oksidasi Benzaldehida dan Derivatnya dengan
Kalium Permanganat. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Dwi Wahyuni. (2004). Sintesis Asam Veratrat dengan Metode Oksidasi Kalium
Permanganat. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Endah Juita Mayasari. (2004) Sintesis Asam Veratrat dengan Metode Oksidasi Hidrogen
Peroksida. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Fessenden, R. J, Joan S. Fessenden. 1992. Organic Chemistry. Diterjemahkan oleh
Aloysius H. Pudjaatmaka. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga.
Hardjono Sastrohamidjojo, Harno Dwi Pranowo. (2001). Sintesis Senyawa Organik.
Yogyakarta : FMIPA Universitas Gadjah Mada.
Jati Triwiningtyas. (2006). Reaksi Oksidasi Veratraldehida dengan Oksidator Kalium
Dikromat. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Juni Ekowati, Suzana, Tutuk Budiati.(2005). Pengaruh Posisi Gugus Metoksi para dan
meta Terhadap Hasil Sintesis Asam para-metoksisinamat dan asam meta-
metoksisinamat. Majalah Farmasi Airlangga. Vol.5. No.3. Desember 2005
Kirk-Othmer. (1981). Encyclopedia of Chemical Technology. Third edition. A Wiley-
Interscience Publication.
Pine, Stanley H. et. Al. 1980. Organic Chemistry. Fourth edition. McGraw-Hill
Ratna Triastuty. (2007). Studi Laboratoris Reaksi Oksidasi Benzaldehida dan Derivatnya
dengan Hidrogen Peroksida. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Abstrak
Telah dibuat elektroda kawat perak terlapis membran doping kation sesuai berbasis
senyawa 27-bis(acetamidoksi)-26,28-dihidroksi-kaliks(4)arena sebagai ionopor II
(BADCA) dan 25,27-bis(cianopropiloksi)-26,28-dihidroksi-kaliks(4)arena sebagai
ionopor III (BCPDCA) dan 25,26,27,28-tetra-hidroksi-kaliks(4)arena sebagai ionopor I
(THCA). Senyawa kaliks(4)arena hasil sintesis dikarakterisasi dengan spektroskopi Infra
Merah (FTIR). Material hasil sintesis sangat baik digunakan sebagai Ionopor dan dapat
dipadukan dengan membran PVC sebagai kation selektife elektroda tipe kawat terlapis
doping kation sesuai berbasis ionopor I; ionopor II dan ionopor III. Kaliksarena dan
turunannya dapat digunakan sebagai sensor potensiometrik untuk pensensoran terhadap
kation-kation Ag+; Cu++ dan Pb++. Secara berturut-turut dari hasil penelitian ini dalam
pensensoran terhadap kation Ag+; Cu; dan Pb++ dengan menggunakan elektroda selektife
tipe kawat perak terlapis membran berbasis ionopor (I,II dan III)/PVC pada pH=5
diperoleh respon yang paling baik adalah respon terhadap ion Cu2+ dengan limit deteksi 1
x 10-5 -1 x 10-6 M serta waktu respon < 10 detik
Kata Kunci : kaliks(4)arena, ionopor, doping kation, sonsor potensiometrik
Pendahuluan
Pencemaran lingkungan merupakan salah satu permasalahan global dan serius
dewasa ini. Pencemaran lingkungan meliputi pencemaran air, pencemaran tanah dan
pencemaran udara. Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan
udara adalah masuk atau dimasukkannya komponen mahluk hidup, zat, energi atau
komponen lain kedalam air/udara atau bertambahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh
kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai pada tingkat
tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak lagi berfungsi dengan
peruntukannya. Situs, A., 2005, masalah lingkungan yang harus dipecahkan menjadi
semakin beragam dan kenyataan di lapang kualitas sumber air semakin menurun
dikarenakan buangan limbah domestik maupun industri.. Teknologi untuk pemecahan
masalah tersebut terus dikembangkan misalnya : pengolahan air minum; pengolahan air
buangan; pengolahan sampah salah satu cara untuk mengurangi permasalahan yang ada.
Adapun jenis kation logam berat yang banyak membawa masalah adalah : Merkuri,
Cadnium, Timbal, Tembaga, Kromium serta Actinides radioaktive. Sebagai
konsekuensinya kehadiran kation logam berat perlu dipisahkan atau dieliminasi
keberadaannya sebelum kation logam berat dimasukkan atau masuk ke dalam rantai
makanan. (Roundhill, 2004). Timbal banyak digunakan pada pabrik cat, bahan bakar,
industri baterai serta amunisi peluru. Racun oleh timbal sangatlah berpengaruh pada anak-
anak, disebabkan cat banyak digunakan pada rumah tinggal. Jika logam ini berada dalam
darah sampai 10 g / mL , dapat menyebabkan penyakit Symtoms (Roundhill, 2004).
Konsentrasi Pb dalam perairan tidak tergantung pada musim, tetapi pada kedalamannya.
Ion timbal yang terdapat dalam air dapat masuk ke dalam tubuh ikan dan hewan air lainnya
Umumnya kadar alami Pb dalam air adalah 0,03 g / mL di air laut dan 0,3 g / mL di air
sungai. Dalam tubuh manusia kation logam Pb bereaksi dengan gugus SH dalam protein,
enzym, darah, sehingga reaksi kimia dapat terganggu. Selain itu Pb dapat mengganti
kedudukan kalsium dalam tulang. (Darmono, 1995 dalam Kuswandi, 2002). Logam
Timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-
arsenat, dapat juga berasal proses korosi lead bearing alloys, Kadang kadang terdapat
dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead
(TAL)(Iqbal dan Qadir,1990 dalam.Tembaga banyak digunakan pada industri kabel listrik.
Jenis penyakit yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit Wilson dan Menkes, ke duanya
dapat mengganggu proses metabolisme liver, otak dan ginjal (Roundhill, 2004). Tembaga
bersifat racun terhadap semua tanaman pada konsentrasi larutan lebih dari 0,1 ppm.
Konsentrasi yang aman bagi air minum manusia tidak lebih dari 1 ppm. Defsiensi tembaga
dapat mengakibatkan anemia, namun kadar tembaga yang berlebihan dapat mengakibatkan
kerusakan dalam hati. (Roundhill, 2004). Kerusakan yang disebabkan oleh logam berat
merkuri sifatnya adalah permanen. Oleh karena itu keberadaan logam berat di lingkungan
perairan yang diperbolehkan sangatlah kecil. Bertolak dari uraian tersebut maka pada
penelitian ini akan dilakukan fungsionalisasi kaliks(4)arena yang diimmobilisasikan pada
membran polimer PVC akan diaplikasikan sebagai sonsor kation logam berat.
Metode Penelitian
Preparasi senyawa I/Ionopor I: 25,26,27,28-tetra-hidroksi- kaliks(4)arena
(Merujuk: Budiana, 2004; Gutsche et al, 1993, Gutsche, et al, 1985; Kumar, et al,
2002; Buchari, dkk, 2002)
Dimasukan 50 gram fenol ke dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan
pendingin balik, pengaduk stirrer, silica gel, deanstark (penjebak air), dimasukkan 31 mL
formaldehid 37%, 1,2 gram NaOH dalam 3 mL air dan ditambahkan pelarut 100 mL p-
Xylene sambil dilakukan pengadukan pada suhu kamar. Kemudian campuran direfluk
dengan penangas pasir pada suhu 200oC selama 4 jam dan didinginkan, suspensi dinetralan
dengan HCl 0,1N. Kemudian fraksi organik yang ada diekstrak dengan diethyl eter 3 x 50
mL Semua fasa organik dikumpulkan dicuci dengan air 100 mL dan dikeringkan dengan
Na2SO4 anhidrous. Pelarut diuapkan untuk menghilangkan dietil eter dan kristalisasi
dengan ditambahkan metanol, endapan yang terbentuk disaring dan dikeringkan. Hasil
diidentifikasi titik lelehnya, dikarakterisasi dengan spektroskopi Infra Red (FTIR)
CH2Cl2 50 mL dan diasamkan dengan HCl 10% dan fraksi organik dicuci dengan air dan
dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous. kristalisasi dengan metanol dan endapan disaring
dan dikeringkan. Hasil dikarakterisasi dengan spektroskopi Infra Red (FTIR)
OH
n=4
Senyawa 1
O O OH
OCH2 C NH2 OH
OCH2C NH2
O O
( CH 2 )3 ( CH2 )3
OH OH CN CN
Senyawa 2 Senyawa 3
3014,53 - OH
3369,41
Komparasi Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor I Komparasi Potensial Respon Elektroda berbasis Ionopor I
Terhadap ion Pb2+/Cu2+/Ag+ pada pH=3 Terhadap ion Pb2+/Cu2+/Ag+ pada pH=5
120
250
Pb++
Pb++ 100
200 y = 35.253x - 106.43
Cu++
Cu++ 80 R2 = 0.9559
E ( mV )
150
E ( mV )
60 Ag+
Ag+
y = 16.346x - 24.747
100 y = -16.852x + 93.299 40
R2 = 0.9684 Linear (Pb++)
R2 = 0.8894 Linear (Cu++) y = -20.366x + 108.72
50 20 R2 = 0.9017
Linear (Cu++)
0
(a) Linear (Pb++)
0
(b)
4 4.2 Grafik 1
4.4 4.6
- log [ konsentrasi ]
4.8 5 5.2
4 4.2 4.4 4.6
- log [ k ons e ntras i ]
4.8 5 5.2
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
kawat terlapis berbasis ionopore I mempunyai selektifatas terhadappada kinerja sensor.
a Kurva kalibrasi respon potensial pada pH=3 elektroda berbasis Ionopore I
b Kurva kalibrasi respon potensial pada pH=5 elektroda berbasis Ionopore I
Pada grafik 2 tersebut tampak trend secara umum, bahwa respon potensial diperoleh
menunjukkan tingkat selektifitas elektroda selektif berbasis Ionopore I/PVC terhadap analit
( Pb++,Cu++, Ag+) dari hasil pensnsoran diperoleh beda potensial yang cukup significan
yaitu pada kondisi pH=5 diperleh respon potensial yang paling tinggi adalah respon
terhadap ion Cu++. Jadi elektroda selektife berbasis Ionopore I bersifat elektif terhadap ion
Cu++.
2 Respon potensial elektroda berbasis ionopore II
Respon terbaik pada elekroda selektif tipe kawat terlapis berbasis ionopore II adalah
elektroda sangat selektif terhadap ion Cu++ baik pengukuran pada kondisi pH=3 dan pH=5
disajikan pada grafik 2:
Kom pa ra s i P ote ns ia l Re s pon Ele k troda Be rbas is Ionopor II K o m p a r a s i P o t e n s ia l R e s p o n Ele k t r o d a B e r b a s is Io n o p o r II
Te rha dap Ion P b2+/Cu2 +/Ag+ pa da pH=3 T e r h a d a p Io n P b 2 + /C u 2 + /A g + p a d a p H = 5
600 450
Pb++ 400 Pb ++
500
350
Cu++
400 300
Cu + +
E ( mV )
E ( mV )
250
300 A g+ y = 8 2 .3 5 8 x - 2 9 4 .7 5
200
y = 125.26x - 481.59 R 2 = 0 .9 1 0 9 A g+
200
100
(a) R2 = 0.8613 Linear (Cu++) 150
100 (b)
Linear (Pb++) 50 L in e a r ( Cu ++ )
0
4 4.2
Grafik 2
4.4 4.6 4.8 5 5.2
0
4 4 .2 4 .4 4 .6 4 .8 5 5 .2
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
- lo g [ k o ns e n tr as i ] - lo g [ k o n s e n t r a s i ]
Komparasi Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor III Komparasi Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor III
terhadap Ion Pb2+/Cu2+/Ag+ pada pH=3 Terhadap Ion Pb2+/Cu2+/Ag+ pada pH=5
200 120
180 Pb++ Pb++
160 100
140
y = 47.012x - 134.1 Cu++ 80
120 Cu++
E ( mV )
R2 = 0.9598
E ( mV )
100 60
80 Ag+
y = 46.619x - 193.54 A g+
60 40
R2 = 0.9837
40
20 Linear (Cu++) 20
Linear (A g+)
0
0
4 4.2 4.4
(a) 4.6 4.8
- log [ k ons e ntras i ]
5 5.2
4 4.2 4.4 (b) 4.6 4.8
- log [ k ons e ntr as i ]
5 5.2
Grafik 3
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
kawat terlapis berbasis ionopore I mempunyai selektifatas terhadappada kinerja sensor.
a Kurva kalibrasi respon potensial pada pH=3 elektroda berbasis Ionopore II
b Kurva kalibrasi respon potensial pada pH=5 elektroda berbasis Ionopore II
Pada grafik 3 tersebut tampak trend secara umum, bahwa respon potensial diperoleh
menunjukkan tingkat selektifitas elektroda selektif berbasis Ionopore III terhadap analit
(ion Pb++,Cu++, Ag+) dari hasil pensensoran diperoleh beda potensial yang cukup
significan yaitu pada kondisi pH=3 diperleh respon potensial yang paling tinggi adalah
respon terhadap ion Ag+. Jadi elektroda selektife berbasis Ionopore III bersifat selektif
terhadap ion Ag+, sedangkan pada pH=5 diperoleh respon potensial yang paling tinggi
adalah respon terhadap ion Cu++. Jadi elektroda selektife berbasis Ionopor III bersifat
selektif terhadap ion Cu++
E= E0 - RT/zxF.ln(ax / a1)
= konst + S log(ax)
Aktivitas ion pada phase a1 adalah konstan, sedang aktivitas ion pada phase 2 (a2= ax) a2=
ax adalah konsentrasi analit dalam sampel dan dihubungkan dengan E, Keterangan :
E = elektromotife force ( emf ) dari cell; E0 = emf sell konstan = elektroda reference
S= slope=59,16/z (mV) pada 298 K, Zx = muatan analit sampel
Beda potensial dapat diukur diantara keduanya identik, dengan reference elektroda
diletakkan diantara dua fase. Secara singkat beda potensial adalah gaya gerak listrik (
EMF). Harga E diukur antara ion selektife elektroda dan reference elektroda diletakkan
didalam larutan sampel. Kemungkinan dengan doping kation yang sesuai berakibat
konsentrasi kecil selisih harga potensial dari sistem akan diperoleh harga emf sel besar dan
bila konsentrasi analit besar akan diperoleh harga emf sel kecil
Tabel 4a. Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore I terhadap respon
potensial ion Pb++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 4b. Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore I terhadap respon
potensial ion Cu++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 4.c Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore I terhadap respon
potensial ion Ag+ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
E ( mV )
15
Linear (pH=5)
10
y = -20.366x + 108.72
5 R2 = 0.9017 Linear (pH=3)
0
4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2
- log [ konsentrasi ]
(a)
Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor 1 Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor 1
Terhadap ion Cu2+ pada pH=3 dan pH=5 Terhadap ion Ag+ pada pH=3 dan pH=5
80 250
E ( mV )
E ( mV )
40 pH=5
y = 16.346x - 24.747
Linear (pH=3) 100
30 R2 = 0.9684
20 y = 99.389x - 383.72
50 Linear (pH=5)
10 Linear (pH=5) R2 = 0.94
0 0
4 4.2 4.4 (b)
4.6 4.8
- log [ konsentrasi ]
5 5.2 4 4.2 4.4 4.6 (c)
4.8
- log [ konsentrasi ]
5 5.2
Grafik-4
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
kawat terlapis berbasis ionopore I mempunyai selektifatas terhadap kinerja sensor.
a Kurva linieritas respon potensial Pb2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore I
b Kurva linieritas respon potensial Cu2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore I
c. Kurva linieritas respon potensial Ag+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore I
Pada grafik 4 tersebut tampak trend secara umum, bahwa potensial hasil sensor semakin
menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi analit.
Tabel 5a Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore II terhadap respon
potensial ion Pb++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 5b Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore II terhadap respon
potensial ion Cu++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 5c Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore II terhadap respon
potensial ion Ag+ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor II Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor II
Terhadap ion Pb2+ pada pH=3 dan pH=5 Terhadap ion Cu2+ pada pH=3 dan pH=5
30 140
E ( mV )
E ( mV )
80
15 pH=5 pH=5
60 y = 82.358x - 294.75
10 R2 = 0.9109
40
5 Linear (pH=5) Linear (pH=5)
20
0 0
4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2 4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2
(a)
- log [ konsentrasi ] (b)
- log [ k onsentrasi ]
500 pH=3
400
E ( mV )
300 pH=5
200
y = 372.44x - 147 5.4
100 R2 = 0.9 301 Linear (pH=5)
0
4 4.2 4.4 4 .6 4.8 5 5.2
- lo g [ k o n s e n tr as i ]
(C)
Grafik-5
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
kawat terlapis berbasis ionopore II mempunyai selektifatas terhadap kinerja sensor.
a Kurva linieritas respon potensial Pb2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore II
b Kurva linieritas respon potensial Cu2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore II
c. Kurva linieritas respon potensial Ag+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore II
Pada grafik 5 tersebut tampak trend secara umum, bahwa potensial hasil sensor
semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi analit, hal ini dapat dijelaskan
kemungkinan adanya pengaruh doping kation sesuai
Tabel 6a Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore III terhadap respon
potensial ion Pb++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 6b Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore III terhadap respon
potensial ion Cu++ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Tabel 6c Pengaruh elektroda tipe kawat terlapis berbasis ionopore III terhadap respon
potensial ion Ag+ pada pH=3 dan pH=5
*) Pengamatan dilakukan selama 1 menit dan larutan blangko / air bebas mineral = 0 mV
Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor III Potensial Respon Elektroda Berbasis Ionopor III
Terhadap ion Pb2+ pada pH=3 dan pH=5 Terhadap ion Cu2+ pada pH=3 dan pH=5
25 120
y = 47.012x - 134.1 pH=3
pH=3 100 R2 = 0.9598
20
80
pH=5
E ( mV )
E ( mV )
15
pH=5 60
10 Linear (pH=5)
40 y = -41.611x + 268.18
R2 = 0.8373
5 y = -15.802x + 80.654 Linear (pH=3) 20
R2 = 0.977 Linear (pH=3)
0
4 4.2
( a 4.6)
4.4 4.8 5 5.2
0
4 4.2 4.4
( b4.6 ) 4.8 5 5.2
200
180
160 pH=3
140
120
E ( mV )
100 pH=5
80 y = 46.619x - 193.54
60 R2 = 0.9837
40 Linear (pH=5)
20
0
(c)
4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2
- lo g [ k o n s e n tr as i ]
Grafik 6
Komparasi kurva kalibrasi untuk kation Pb++. Cu++ dan Ag+ elektroda selektife tipe
kawat terlapis berbasis ionopore II mempunyai selektifatas terhadap kinerja sensor.
a Kurva linieritas respon potensial Pb2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore III
b Kurva linieritas respon potensial Cu2+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore III
c. Kurva linieritas respon potensial Ag+ pada pH=3 dan pH=5 elektroda berbasis
Ionopore III
Pada grafik 6 tersebut tampak trend secara umum, bahwa potensial hasil sensor
semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi analit (sampel). hal ini dapat
dijelaskan kemungkinan adanya pengaruh doping kation sesuai
3. Kestabilan Elektroda
Menurut Gupta, et al, 2002, dari hasil pengamatan penelitian bahwa senyawa 2,2-
dithiodibenzoic acid yang diembankan pada membran PVC terbukti respon potensialnya
dapat bertahan sampai 3-6 bulan, akan dilakukan kemudian. Kemungkinan elektroda tipe
kawat terlapis dapat digunakan antara 3-5 bulan.
4. Limit Deteksi
Persetujuan dari rekomendasi IUPAC, bahwa limit deteksi didifinisikan melalui
perpotongan dua akstrapolasi linier dari hasil kurva kalibrasi ion selektive. Secara praktis ,
limit deteksi mempunyai daerah antara 10-6 M - 10-5M, dapat ditentukan untuk
kebanyakan elektroda ion selektife (ISE).
DAFTAR PUSTAKA:
Anonim 1,-------, Definition of Ionophore.( http://
www.chemicool.com/definition/Ionophore.)
Anonim 2, ------, Plasticizer Migration ( http://www.Chemicolfabric sand film.com/)
Anonim 3, 2003, Definition of Ionophore, IUPAC Compendium of chemical Technologi (
http://www.iupac.org/goldbook/IT06772.pdf. )
Anonim 4, 2003, Calixarene-Catalog 2003, ( http://www.synaptec-
gmbh.de/article/calix2001.pdf)
Amorin, Rosa, V. D. S., Wanderley D. Souza, K., Fukushima and G.M. Takaki, 2001,
Faster Chitosan Production by Mucuralean Strains in Submerged Culture, in
Brazilian Journal of Microbilogy, vol. 32, pp. 20-23
Amanto, Brian, Sarah Karl and Kaulang, 2001, Phtalate Plasticizer, Plasticizer : An
Introduction ( http://www.dcchem.Co.kr/english/p-petr/p-petr4.html )
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-28
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Elektrode Ion Selektif...... Busroni, Zulfikar
Gutsche C.D and Iqbal M., 1993, p-tert-Butylcalix(4)arene, Organic Syntheses, Coll. Vol.
8, p. 75
Gutsche, C.D., 1998, Calixarene Revisited, The Royal Society of Chemistry, V.K, 10 13
Gillian Mc. Mohan, Shane OMalley, Kieren Nolan dan Dermot D., 2003, Important
Calixarene Derivative Their Syntheses and Application, Arkt Voc., vol.VII, pp.
23-31
Gupta, V. K., Rajendra Prasad dan Azad Kumar, 2002, Dibenzocyclam Nickel(II) as
Ionophore in PVC-Matrix for Ni(2+)-Selective Sensor, Sensors, vol.2., pp. 384-
396
Hyo Kyoung Lee, Yeo H., Park D. H., dan Jeon S., 2003, Synthesis of Azo-
Functionalized-Calix(4) arene and Its Application to Chloride-Selective Electrode
as Ionophores, Bull Korean Chem. Soc., vol 24, no: 12, pp. 1737-1741
Hamilton K, 2003 , Synthesis Charasterization and aplication of water Soluble Chiral
Calix(4)arene Derivatives in Spectroscopy and Capillary electrokinetic
chromatography, Dissertation, BS, Southern University and A&M College(1995)
Hyo Jin Jung, Myong Eny Lee, Chae Yun Lim, K-Jung Paeng, 2005, calix(6)arenes
Bearing of Various Functional Groups in dislike some as on anion-selective
Ionophores, Bull Korean Chem. Soc., vol.26, no. 1, pp. 57-62
Pendahuluan
Gas ideal merupakan gas yag mengikuti dengan sempurna hukum hukum gas. Gas
ideal sebenarnya tidak ada, jadi hanya merupakan gas hipotesis. Semua gas sebenarnya
merupaka gas nyata. Pada gas ideal dianggap bahwa molekul-molekul gas tidak tarik
menarik dan volume molekulnya dapat diabaikan terhadap volume gas itu sendiri atau
ruang yang ditempati.
Penurunan persamaan gas ideal diperoleh dengan cara menurunkan hukum-hukum
gas ideal yang berasal dari Robert Boyle (pV = konstan), hukum Charles Gay Lussac
(V/T = konstan) , sehingga diperoleh pV = RT.
Pembahasan
Hukum dasar gas
Pada 200 SM Archimedes menemukan suatu persamaan yang berbunyi : pada suhu
dan tekanan, yang kontan, maka massa zat sebanding dengan volume
m V
m = konstan V
sehingga
m/V = konstan, 1
yang akhirnya konstanta ini disebut sebagai densitas benda
Tahun 1662 Robert Boyle mengemukakan bahwa: pada suhu dan jumlah mol yang
tetap volume gas berbanding terbalik dengan tekanan
1
V
p
pV = konstan 2
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-32
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Beberapa Cara...... Crys Fajar Partana
PV = konstan (T,n)
Tahun 1787 Cahles dan Gay Lussac mendapatkan bahawa pada suhu dan jumlah
mol yang sama , mka volume berbanding lurus dengan suhu gas
V T
V/T = konstan 3
Secara matematika ditulis
V/T = konstan(P,n)
Hukum Avagadro bergabung dengan hukum Archimedes dapat dikemukakan
sebagai pada suhu dan tekanan yang tetap volume berbading luirus dengan jumlah mol gas
V n
V/n = konstan 4
Seara matematika ditulis dengan:
V/n = konstan (P,T)
Dari persamaan- persamaan tersebut, maka inti dari persamaan gas ada tiga (3) yaitu:
1. hukum Boyle : PV = konstan (T,n)
2. hukum charles-Gay Lussac : V/T = konstan(P,n)
3. hukum Avogadro : V/n = konstan (P,T)
Persamaan gas ideal dapat diturunkan dari ketiga persamaan dasar tersebut
V V V
dV = ( ) T ,n dP + ( ) p , n dT + ( ) T , p dn
p T n
kondisi pada suhu (T) dan n konstan sesuai dengan persamaan Boyle
PV = konstan (T,n)
atau
kons tan p,n
V=
p
Sehingga :
V kon tan T ,n
( ) T ,n = -
p p2
Kondisi pada tekanan (p) dan jumlah mol konstan (n) sesuai dengan hukum Charles-Gay
Lussac
V/T = konstan(P,n)
atau
V = T. konstan(P,n)
Sehingga :
Kondisi pada tekanan dan jumlah mol yang sama sesuai dengan hukum gabungan hukum
Avogadro dan Archimedes
V kon tan T , p
( )T , p =
n n
V V V
Dengan demikian persamaan dV = ( ) T ,n dP + ( ) p , n dT + ( ) T , p dn
p T n
Menjadi
V V V
dV = dP dtT dn
P T n
dV dp dT dn
=
V p T n
dV dp dT dn
V
= (
p
T
n
)
d ln V = - d ln p + d ln T + d ln n
Vp
d ln =0
Tn
dengan demikian
Vp
= konstan
Tn
Atau jika konstan adalah R persamaan menjadi
Vp
= R
Tn
Atau
pV = nRT
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-34
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Beberapa Cara...... Crys Fajar Partana
kons tan n .T
kons tan T
n
konstanT /T = R
p konstan p,T /T = R
pV
R
nT
dengan demikian
pV = nRT
yang merupakan persamaan gas ideal.
Penutup
Persamaan gas ideal dapat diturunkan dengan dua cara, yaitu dengan metode
derivatif dan dengan metode pemisahanan variabel. Penurunan dengan kedua metode
tersebut terlihat sangat sesuai dengan logika matematika dan tidak ada unsur yang
dipaksakan, sehigga penurunan dengan kedua metode ini dapat dikatakan lebih baik
dibading dengan cara langsung..
Daftar Pustaka
Sukarjo. 1985 Kimia Fisika, Bina Aksara Jakarta
Crys Fajar Partana, 1995, Persamaan Keadaan Emulsi air dalam minyak tesis, Gadjah
Mada, Yogyakarta
Ijang, 2002, Kimia Fisika 1, JICA UPI, Bandung
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan asal usul munculnya siklus K. Siklus
K telah sejak tahun 1989 diketemukan, namun sejak tahun tersebut selalu timbul
pertentangan yang menyanggah kebenaran dari siklus K, penentangan tersebut karena
siklus K ditemukan secara teoritis murni. Namun setelah mulai tahun 1993 sampai 2001,
salah satu persamaan yang diperoleh dari siklus K yang dikenal dengan kesatuan
persamaan keadaan, berhasil dibuktikan keberadaannya secara eksperimen.
Siklus K sendiri diperoleh dari tamsil salah satu ayat dalam surah al Baqoroh , yaitu
ayat 8. Dengan menganalogikan ayat tersebut diperoleh suatu kaidah yang dikenal dengan
istilah siklus K. Salah satu bukti keampuhan siklus K dapat diterapkan dalam persamaan
reaksi kesetimbanagn gas ideal. Dengan menggunakan siklus K, maka dapat diperoleh
persamaan konstanta kesetimbangan pada suhu konstan.
Pendahuluan
Dalam salah satu ayat surat al Baqorah ayat 28 Allah swt telah berfirman yang
artinya: Bagaimana kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkanNya kembali, kemudian
kepadaNyalah kamu dikembalikan
Keterangan
Ayat itu diawali dengan kalimat (kaifa= bagaimana). Kalimat yang demikian
biasanya disebut kalimat pertanyaan, tetapi kalimat pertanyaan tersebut tidak
memerlukan jawaban. Dengan demikian mafhum dari ayat 28 di atas secara
keseluruhan adalah: bagaimana( mengapa) kamu sekalian kufur akan Allah
(apakah dasar kekufuranmu?), sedang kamu dahulunya adalah mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamupun dimatikan, kemudian kamu akan
dihidupkan pula dan kepadaNyalah kamu sekalian akan dikembalikan
Jika ayat tersebut dicermati lebih dalam, terdapat suatu langkah yang kembali ke asal yang
disebut siklus yaitu:
1. dari keadaan mati lalu Allah menghidupkannya
2. kemudian Allah mematikannya
3. lalu Allah menghidupkannya
4. kemudian dikembalikan kepada Allah
Scara matematika terdapat empat langkah, yang dua langkah sejenis. Empat
langkah tersebut dapat digambarkan dalam sebuah grafik sebagai berikut:
4
1 3
Petunjuk ayat ini jika diterapkan ke dalam kehidupan nyata (alam semesta)
ternyata memberikan dampak positif yang sangat besar. Jika diperhatikan dengan
seksama hampir semua kehidupan di muka dunia ini merupakan suatu siklus.
Misalnya peredaran darah, untung rugi, sehat sakit, kaya miskin, dan sebagainya.
Bahkan dalam dunia ilmu pengetahuanpun demikian pula. Berdasarkan ayat ini
maka pesantren Isiteks yang berada di Imogiri Bantul mencoba menerapkan ayat 28
tersebut kedalam dunia ilmu, teknologi dan seni. Dari penerapan tersebut diperoleh
hasil yang diluar dugaan. Ayat 28 ini diterapkan dalam dunia ilmu, teknologi dan
seni dengan istilah siklus K. secara umum siklus K dapat digambarkan sebagai
berikut:
``
1
Y
2
1 2
X
tekanan (p)
Selain siklus jantung banyak siklus-siklus lain yang dapat ditemui dalam
kehidupan se hari-hari misalnya:
siklus paru-paru
siklus waktu
siklus kesehatan
siklus takdir
dan sebagainya
Tekanan (p) A
-pAdVA + - pBdVB = 0
-pAdVA 0
Oleh karena gas ideal, maka
-pAdVA = d(pAVA) + VAdpA
= 0 + VAdpA
nRT
= p
p A
atau
RT (nA . ln pA + nB . ln pB) =0
pBb
=K
p Aa
Inilah yang disebut dengan persamaan konstanta kesetimbangan
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dengan memakai kaidah siklus
K dapatlah diperoleh persamaan konstanta kesetimbangan gas yang telah biasa
dipakai oleh para kimiawan. Pengggunaan siklus dapat lebih luas lagi. Utoro Yahya
dalam disertasinya menemukan bahwa dengan kaidah siklus K diperoleh suatu
persamaan keadaaan yang belum pernah ditemukan dalam buku-buku
termodinamika. Persamaan keadaan yang ditemukan Utoro Yahya tersebut disebut
sebagai kesatuan persamaan keadaan terpadu yang berbentuk:
U
(p + ( )T )( V-Vo) = CRT
V
Kesatuan persamaan keadaan ini ternyata dapat berlaku pada semua jenis fasa,
mulai dari gas, cair, padat, emulsi dan campuran.
Penutup
Siklus K merupakan siklus yang dirumuskan berdasarkan al Quran surat al
Baqoroh ayat 28. Dengan menggunakan kaidah siklus K, akan dapat ditemukan
beberapa persamaan persamaan termodinamika yang biasa dipakai oleh kimiawan
dan fisikawan. Salah satu persamaan yang dapat ditemukan adalah persamaan
kontanta kesetimbangan. Bahkan dengan kaidah siklus K dapat diperoleh suatu
persamaan keadaan yang berlaku untuk semua fase yang kemudian dinamakan
sebagai kesatuan persamaan keadaan terpadu.
Daftar pustaka
Yahya Utoro, 2001, K-Cycle and Unified Equation of State, Sessertation, Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Sasmita, D., 1989, K-Cycle to Analyse Physical-Chemical Equalibria, Dissertation. Gadjah
Mada University, Yogyakarta.
Oemar Bakry, 1980, Tafsir Ramat, Ofset Mutiara, Jakarta.
Pendahuluan
Majunya suatu bangsa tergantung majunya pendidikan. Kalimat ini sangat sesuai,
karena pemimpin suatu bangsa pastilah mereka yang berpendidikan. Wawasan pendidikan
yang luas sangat mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pemimpin yang baik tidak harus jenius, tetapi yang lebih utama dapat memberi suri
tauladan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini berarti pemimpin haruslah
memiliki akhlak mulia yang ditunjukkan dalam perilaku nyata, seperti jujur, ikhlas, suka
menolong, dan agamis. Bukankah satu tauladan lebih baik dari seribu kata ?
Berkaitan dengan hal itu, maka kurikulum pendidikan kita saat ini selain
menekankan penanaman pengetahuan, juga akhlak mulia dan keterampilan. Bahkan akhlak
mulia dipandang lebih penting dibandingkan yang lain. Oleh karena itulah, guru sebagai
pelaksana pendidikan di tingkat pembelajaran yang langsung bertatap muka dengan peserta
didik, perlu kiranya untuk mengedepan-kan penanaman akhlak mulia dalam setiap proses
pembelajaran yang berlangsung. Selama ini tugas penananam akhlak mulia seolah-olah
hanya menjadi beban guru agama, padahal guru mata pelajaran apapun seyogyanya
menanamkan hal itu, meski hanya sesekali.
Pada era globalisasai saat ini, peserta didik sangat rentan terhadap pengaruh negatif
dari luar, baik karena pergaulan maupun lewat dunia maya yang bebas diakses kapan saja.
Oleh karena itu tugas guru untuk dapat menjadi pendidik sekaligus orangtua dan sahabat
bagi anak didiknya, agar mereka terhindar dari pengaruh negatif tersebut. Seorang
pendidik harus cepat tanggap dan selalu berempati dengan kondisi anak didiknya, sehingga
secepatnya dapat membantu permasalahan yang dihadapi mereka.
Guru Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) adalah salah satu guru mata
pelajaran yang menjadi momok bagi sebagian besar peserta didik. Hal ini disebabkan
selain substansi ilmu yang memang memerlukan keseriusan, juga tampilan guru-guru
MIPA biasanya serius, tegas, terkesan galak dan killer. Kesan seperti ini tentu saja
menghambat kelancaran transfer knowledge yang akan dilakukan di kelas dimana ilmu
yang dipelajari sudah sulit ditambah dengan rasa takut dan tegang yang menyelimuti
peserta didik ketika pelajaran berlangsung.
Berdasarkan kenyataan ini, maka penting kiranya guru-guru MIPA meningkatkan
keprofesionalannya dengan memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang baik, karena di era
seperti ini EQ sangat diharapkan tertampilkan dalam usaha meningkatkan kualitas
pembelajaran yang berujung pada peningkatan prestasi belajar. Sebagian besar guru MIPA
umumnya memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang relatif tinggi yang dinyatakan
dengan besarnya IQ (Intelligence Quotient), karena penguasaan materi MIPA sangat
memerlukan penalaran berpikir yang tinggi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,
maka diketahui ada satu faktor yang juga berpengaruh dan berinteraksi secara dinamis
dengan IQ, yang dikenal dengan kecerdasan emosional (EQ).
Lawrence E. Shapiro (1997 : 5 - 6) menyatakan bahwa EQ dapat membu-at
seseorang menjadi bersemangat tinggi dalam bekerja, disukai dalam pergaulan,
bertanggung jawab, peduli orang lain, dan produktif. Kualitas emosional meliputi : empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,
PEMBAHASAN
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikemukakan oleh psikolog Peter
Saloveny dari Harvard university dan John Mayer dari Universitas of New Hampshire pada
tahun 1990 yang bertujuan untuk menjelaskan kualitas-kualitas emosional yang penting
bagi keberhasilan seseorang. Kualitas tersebut meliputi : empati, mengungkapkan dan
memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan
diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat Saloveny dan Mayer mula-mula
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik emosi diri sendiri
maupun orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Shapiro, 1997 : 5 - 8).
Pendapat lain dikemukakan Daniel Goleman (2001 : 512) bahwa kecerdasan
emosional atau Emotional Intelligence (EI) merujuk pada kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan dalam
hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian EI mencakup kemampuan-kemampuan
yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan IQ. Berdasarkan pendapat ini, maka
seseorang dianggap ideal jika dapat menguasai keterampilan kognitif (daya pikir),
sekaligus keterampilan sosial dan emosional. Ciri-ciri kecerdasan emosional menurut
Goleman (2002 : 45) diantaranya : memiliki kemampuan dalam memotivasi diri sendiri,
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres tidak mengurangi
kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.
Lebih lanjut Goleman (2002 : xiii) menyatakan aspek-aspek kecerdasan emosional
mencakup kemampuan : pengendalian diri, semangat dan ketekunan, memotivasi diri
sendiri,
Aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut selanjutnya diperluas menjadi
beberapa kemampuan yang lain yang menurut Solovey (Goleman, 2002 : 57 59)
merupakan kemampuan utama, yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan antar
sesama.
Menurut Suharsono (2004 : 120 121), kecerdasan emosional tidak hanya
berfungsi untuk pengendalian diri, tetapi juga mencerminkan kemampuan dalam
mengelola ide, konsep, karya, maupun produk. Ada banyak keuntungan bila seseorang
memiliki kecerdasan emosional secara memadai, diantaranya :
a. Mampu menjadi alat untuk pengendalian diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke
dalam tindakan-tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Arief Rahman (1999 : 5), seorang pendidik haruslah memiliki kemampuan
empati, yaitu kemampuan untuk menangkap sinyal-sinyal yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang diperlukan dan dikehendaki orang lain. Dengan kemampuan
ini diharapkan seorang guru dapat cepat tanggap dan peka terhadap keadaan anak didiknya
dan berusaha menolongnya. Kemam-puan empati dapat dikembangkan jika guru sering
berkomunikasi dan memper-hatikan anak didiknya dengan seksama, tidak sekedar
menyampaikan materi.
Guru merupakan orangtua di sekolah sekaligus sahabat berbagi masalah.
Keberhasilan pendekatan guru terhadap anak didiknya amat tergantung pada guru yang
bersangkutan. Seorang guru hendaknya memiliki kepekaan berpikir, pengetahuan
psikologis tentang mereka serta mampu berkomunikasi secara bersahabat tanpa rasa
menggurui (Intisari, 1994 : 72). Selain itu guru harus mampu mengikuti perkembangan
gejolak remaja masa kini, sehingga pembinaan terhadap anak didiknya relevan dengan
jamannya (era globalisasi).
Selain empati, kemampuan EQ yang lain ditunjukkan dengan semangat bekerja
yang tinggi. Hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan dan karakter anak didik.
Guru yang mengajar dengan semangat tinggi, tidak loyo dan ogah-ogahan akan mampu
menginspirasi belajar anak didik untuk lebih giat sesuai dengan tauladan yang ditunjukkan
gurunya. Banyak contoh di lapangan, guru-guru yang malas mengajar yang bisanya hanya
memberi tugas dan mengajar dengan duduk tanpa atraktif dan interaktif dengan anak
didiknya, yang tentu saja ditanggapi oleh anak didik tidak bersemangat juga.
Guru ber-EQ baik jika mampu menunjukkan bagaimana bergaul yang baik dengan
peserta didiknya. Seringkali kita melihat guru-guru yang membatasi diri untuk bergaul
bahkan berbicara dengan peserta didiknya dengan alasan yang sangat tidak rasional, yaitu
takut hilang wibawanya. Padahal tidak sedikit guru-guru yang takut wibawanya tersebut,
tidak menunjukkan tauladan yang baik bagi anak didiknya, misalnya menyetor nilai
terlambat, tugas peserta didik yang tidak pernah dikoreksi dan dikembalikan, sampai pada
cara mengajar yang tidak profesional yang justru menjatuhkan wibawanya jauh lebih buruk
di mata peserta didiknya. Bergaul dengan anak didik bukan berarti bergaul tanpa batas.
Sebagai guru pasti mengetahui batas-batas bergaul dengan peserta didik. Berbicara di luar
kelas adalah hal yang wajar bagi seorang guru bila ia ingin dekat dan mengetahui lebih
jauh kondisi dan permasalahan anak didiknya. Bahkan memperbolehkan anak didik
bertandang ke rumah guru adalah cara efektif untuk dapat mengenali mereka dengan lebih
baik. Kalau memungkinkan gurupun dapat berkunjung ke rumah anak didik yang sedang
sakit atau mengalami musibah sebagai bentuk perhatian dan kepedulian kita kepada orang
lain (bagian dari empati) guru kepada anak didiknya.
Pembentukan karakter anak didik bukan hanya melalui siraman rohani di dalam
kelas, tetapi guru juga dapat menunjukkan dalam bentuk sikap yang terpuji dan
bertanggung jawab. Sebagai contoh, selalu mencoba menjawab pertanyaan anak didik di
luar kelas, selalu memberitahu anak didik bila tidak masuk kantor / tidak dapat mengajar,
selalu minta maaf jika sebelumnya telah menjanjikan sesuatu tetapi belum bisa menepati,
dan sebagainya. Contoh-contoh sikap seperti itu meski kita tidak berbicara, tetapi anak
didik melihat, mengamati, dan menandainya sebagai sikap yang patut ditauladani bagi
mereka. Hal ini sangat efektif dalam membantu pembentukan karakter mereka di kemudian
hari.
Hal sepele sering terjadi dalam proses pembelajaran yang tanpa kita sadari dapat
mematahkan semangat anak didik hanya karena kita sebagai guru tidak dapat memahami
perasaan mereka. Sebagai contoh, kita sering marah bila anak didik bertanya terus-menerus
atau minta tolong pada kita untuk mengulang penjelasan atau mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan kita. Hal ini harusnya tidak terjadi, karena itu semua adalah bentuk
partisipasi mereka dalam pembela-jaran. Perlu kita pahami bahwa dalam belajar anak didik
banyak tidak tahu daripada tahu.
Guru harus memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap karakter setiap
anak didiknya yang memang sangat heterogen, sebaliknya anak didiknya sendiri juga harus
beradaptasi dengan karakter gurunya. Jadi, dalam proses pembelajaran harus terjadi
kesepakatan bersama yang disetujuan kedua belah pihak, mulai dari hal yang sederhana
sampai yang kompleks. Untuk itulah di awal guru bertemu peserta didik sebaiknya
dilakukan kontrak belajar yang isinya membicarakan tentang hal-hal apa saja yang harus
disepakati bersama. Mulai dari mensiosialisasikan tujuan mata pelajaran diberikan, tujuan
pembela-jaran yang akan dicapai, sistem pembelajaran, metode dan pendekatan, bentuk
tugas, sistem penilaian, sampai pada aturan bagaimana jika mereka terlambat masuk kelas
dan berapa kali boleh ijin / tidak masuk (kesepakatan khusus) di luar aturan sekolah secara
umum (jika perlu).
Ada satu peristiwa di Amerika Serikat yang ada kaitannya dengan profesi guru,
yaitu pada tahun 1948. Ketika itu banyak pasien masuk ke rumah sakit besar di Amerika
Serikat, ternyata yang menderita gangguan mental 17% pasien dokter, 19% petani, 30%
dokter gigi, 36% ahli hukum dan ibu rumahtangga, dan 55% guru ! (Nasution, 1987 : 121).
Kenyataan ini sangat mengejutkan, karena persen-tase terbesar penderita gangguan mental
adalah guru. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pekerjaan sebagai guru
seringkali menimbulkan ketegangan dan frustasi. Guru yang demikian itu pastilah guru
yang tidak dapat mengenali emosi diri dan orang lain, tidak mampu berempati terhadap
keadaan orang lain, selalu mengedepankan emosi dibandingkan rasionalnya, tidak mampu
mengelola emosi dengan baik. Dengan adanya penemuan tentang kecerdasan emosional
saat ini, tentunya peristiwa tahun 1948 tersebut tidak akan terulang lagi, karena guru
diharapkan mampu mengenali dan memiliki EQ yang memadai berkaitan dengan
profesinya yang rawan ketegangan, kecemasan, dan emosi.
PENUTUP
Bekal yang harus dimiliki guru bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu
diperlukan dasar-dasar ilmu kependidikan yang memadai agar dapat digunakan dalam
menghadapi anak didiknya. Hal ini disebabkan guru bukan hanya seorang pemindah ilmu
dari dirinya kepada anak didik, tetapi harus pula mampu mengelola dan mengatur seluruh
komponen dalam sistem pembelajaran sedemikian rupa sehingga proses transfer ilmu dapat
berjalan dengan baik. Dengan demikian akan terjadi perubahan dalam diri anak didik dari
tidak tahu menjadi tahu dan dari tingkah laku yang kurang baik menjadi baik.
Dengan memiliki EQ yang baik diharapkan guru MIPA khususnya dan guru mata
pelajaran lainnya pada umumnya dapat membawa anak didiknya ke arah keberhasilan
belajar dan pembentukan karakter yang mantap dan mulia. EQ yang memadai membuat
guru peduli keadaan anak didiknya setiap saat, mampu mengendalikan emosinya ketika
anak didik berperilaku yang tidak berkenan bagi dirinya, empati pada mereka, mampu
membina hubungan yang baik dengan mereka, dan memotivasi diri sendiri agar terus
berkarya dan berkreasi. Semua kemampuan itu termasuk kecerdasan emosional yang
merupakan syarat mutlak bagi guru agar profesional dalam profesinya. Terlebih bagi guru
MIPA, yang sebagian telaah ilmunya sangat sulit, rumit, dan kompleks, bila tidak sabar
dalam mengelola kelas, maka mustahil keberhasilan siswa dapat terwujud. Dengan suri
tauladan yang baik dari guru, maka karakter yang terbentuk dalam diri peserta didik juga
akan baik dilandasi akhlak mulia yang terpuji, sehingga generasi penerus bangsa yang kita
inginkan akan terwujud di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Rahman (1999). Mendampingi Anak Menyongsong Milenium 3. Makalah pada
Seminar Sehari NOVA, tanggal 14 Agustus 1999.
Goleman, Daniel. (2001). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Terjemahan : Alex tri Kantjoro Widodo. Jakarta : Gramedia.
Dyah Purwaningsih
Staff Jurdik Kimia FMIPA UNY
Abstrak
Abu sekam padi merupakan sumber silika yang potensial karena jumlahnya yang
melimpah. Salah satu pemanfaatan dari abu sekam padi adalah dapat diproses menjadi
silika gel. Tetapi, silika gel kurang mampu mengadsorpsi ion-ion logam karena terbatasnya
situs aktif yang dapat berikatan kuat dengan ion-ion logam tersebut. Upaya untuk
meningkatkan efektivitas silika gel dalam mengadsorpsi ion logam adalah dengan
memodifikasi permukaan silika gel. Modifikasi permukaan silika gel berhubungan dengan
keseluruhan proses yang bertujuan untuk mengubah komposisi kimia untuk tujuan
adsorpsi. Ada dua macam modifikasi yaitu modifikasi secar fisika dan modifikasi secara
kimia. Kajian berikut mendeskripsikan teknik-teknik pemodifikasian pada silika gel agar
diperoleh suatu material baru yang sesuai yang dapat yang dipergunakan untuk
mendapatkan aplikasi terbaik bagi proses adsorpsi logam berat di lingkungan. Penelitian-
penelitian dan kajian-kajian yang berkesinambungan di bidang sintesis material dapat
dipergunakan untuk menentukan proses terbaik mengatasi permasalahan ion logam berat di
lingkungan.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan industri dan kemajuan teknologi yang pesat telah membawa dampak
terhadap lingkungan dengan dihasilkannya buangan hasil industri yang yang mengandung
zat-zat kimia yang berbahaya. Di antara zat-zat kimia yang berbahaya tersebut adalah
logam berat. Logam berat banyak digunakan dalam bidang industri karena memiliki
banyak keunggulan sifat di antaranya kemampuannya membentuk paduan dengan logam
lain, dan mampu menghantarkan listrik dan panas.
Beberapa logam berat yang dapat mencemari lingkungan dan bersifat toksik
adalah krom (Cr), perak (Ag), kadmium (Cd), timbal (Pb), seng (Zn), merkuri (Hg),
tembaga (Cu), besi (Fe), molibdat (Mo), nikel (Ni), timah (Sn), kobalt (Co) dan unsur-
unsur yang termasuk ke dalam logam ringan seperti arsen (As), alumunium (Al) dan
selenium (Se). Berdasarkan penelitian toksisitas akut logam terhadap organisme air dan
akibatnya pada orang yang mengkonsumsinya, maka urutan logam dengan toksisitas tinggi
ke yang paling rendah adalah Hg2+ > Cd2+ > Ag+ > Ni2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+
(Darmono, 1995). Walaupun sebenarnya beberapa logam seperti Co, Cu, Mo, Zn, Se dan
Fe dalam jumlah yang rendah diperlukan oleh tubuh sebagai unsur mineral yang berperan
dalam proses metabolisme tubuh makhluk hidup.
Penanganan limbah logam berat telah banyak dilakukan untuk mengatasi
pencemaran dan resiko keracunan bagi makhluk hidup. Proses adsorpsi diharapkan dapat
mengambil ion-ion logam berat dari perairan. Teknik ini lebih menguntungkan daripada
teknik yang lain dilihat dari segi biaya yang tidak begitu besar serta tidak adanya efek
samping zat beracun (Blais dkk, 2000). Metode adsorpsi umumnya berdasar interaksi ion
logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi
pembentukan kompleks dan biasanya terjadi pada permukaan padatan yang kaya gugus
fungsional seperti OH, -NH, -SH dan -COOH (Stum dan Morgan, 1981).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-48
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Abu Sekam Sebagai Sumber... Dyah Purwaningsih
PEMBAHASAN
1. Abu sekam padi sebagai sumber silika
Dari sejumlah penelitian telah dilaporkan bahwa secara kimia, abu sekam padi
mempunyai kandungan silika (SiO2) cukup tinggi. Secara umum komposisi kimia abu
sekam padi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi abu sekam padi (%)
Oksida Swany (1986) Priyosulistiyo dkk Nuryono (2004)
(1999)
SiO2 92,2 94,5 98,0
CaO 0,41 0,28 0,26
MgO 0,45 0,23 0,11
Na2O 0,08 0,78 0,06
K2O 2,31 1,10 -
Fe2O 0,21 - 0,03
P2O3 - 0,53 -
Dari data dalam Tabel 1 di atas dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
memanfaatkan abu sekam padi sebagai prekursor pembuatan bahan berbasis silika.
Penggunaan abu sekam padi lebih menguntungkan daripada pasir kuarsa. Hal ini karena
kandungan silikanya yang tinggi, strukturnya yang amorf dan tidak sekeras pasir kuarsa
sehingga dalam proses destruksi abu sekam padi dapat berlangsung cepat pada temperatur
rendah.
2. Silika gel
Silika gel merupakan salah satu bentuk dari silika (SiO2) yang dibuat dengan cara
menggumpalkan sol sodium silikat (Na2SiO3). Sol mirip agar-agar ini dapat didehidrasi
sehingga berubah menjadi padatan atau butiran mirip kaca yang bersifat tak elastis. Sifat
dehidrasi ini memungkinkan silika gel dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyerap,
pengemban katalis, dan bahan pengering karena mudah menyerap air dari udara. Secara
umum rumus kimia silika gel adalah SiO2.xH2O. Struktur satuan mineral silika
mengandung Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan O2- yang tidak beraturan,
seperti terlihat pada Gambar 1. Silika gel dikenal sebagai bahan polimer anorganik yang
telah banyak digunakan secara luas sebagai bahan pengering, pengemban katalis, dan
adsorben senyawa organik (Scott, 1990).
Gambar 1. Penataan SiO4 tetrahedral bersifat amorf pada silika gel (Kaim
dan Scwederski, 1994)
Silika gel bersifat amorf, terdiri atas globula-globula SiO4 tetrahedral yang tersusun
secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar (1-
25 m). Silika gel bersifat amorf karena tidak memiliki bentuk fisik seperti kristal dan
keteraturan dalam kisi-kisinya rendah; walaupun sesungguhnya tersusun dari kristal-kristal
yang amat kecil (mikroskopik) sebagaimana diperlihatkan melalui difraksi sinar X, tetapi
tidak membentuk kisi kristal (Daintith, 1990). Gambar 2 menampilkan model struktur
amorf dari silika dengan cincin-cincin terbuka dan tertutup dalam berbagai ukuran. Cincin-
cincin terbuka ditentukan oleh gugus-gugus -OH. Ukuran cincin, derajat pembukaan cincin,
dan jumlah gugus -OH pada setiap permukaan silika, serta panjang ikatan hidrogen dari
gugus-gugus -OH dipengaruhi oleh lekukan permukaannya (Brinker & Scherer, 1990).
Gambar 3. Skema dari tiga tipe silanol (Brinker dan Scherer, 1990)
Silanol visinal, satu gugus OH terikat pada satu atom Si yang memiliki tiga ikatan
siloksan bergabung membentuk satu matriks gel. Dua gugus OH masing-masing terikat
pada atom Si yang berbeda yang letaknya bertetangga dan memiliki jarak ikatan O-H---O
relatif kecil (sekitar 0,02 nm) sehingga kemungkinan terjadi ikatan hidrogen akibat reduksi
frekuensi rentangan (stretching) gugus O-H. Silanol geminal, adalah dua gugus OH terikat
pada satu atom Si yang sama dan membentuk suatu matriks gel oleh dua ikatan siloksan.
Jarak ikatan O-H---O cukup dekat untuk terjadinya ikatan hidrogen. Situs silanol berikatan
dengan atom Si yang berdekatan melalui satu jembatan siloksan menghasilkan suatu ikatan
hidrogen yang berpasangan. Silanol terisolasi, adalah satu gugus OH terikat pada satu atom
silikon dan membentuk suatu matriks silika hanya oleh satu ikatan siloksan dan tidak
terdapat ikatan hidrogen; jarak ikatan O-H---O antara siloksan bertetangga melampaui kira-
kira 0,33 nm (Brinker & Scherer, 1990).
Kemampuan adsorpsi silika gel dipengaruhi oleh adanya situs aktif pada
permukaannya yakni berupa gugus silanol ( Si-OH) dan gugus siloksan ( Si-O-Si ).
Sifat adsorpsi silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksi yang
berkombinasi. Ketidakteraturan susunan permukaan tetrahedral SiO4 pada silika gel
menyebabkan jumlah distribusi satuan luas bukan menjadi ukuran kemampuan adsorpsi
silika gel walaupun gugus silanol dan siloksan terdapat pada permukaan silika gel.
Kemampuan adsorpsi silika gel ternyata tidak sebanding dengan jumlah gugus silanol dan
siloksan yang ada pada permukaan silika, namun bergantung pada distribusi gugus OH
per satuan luas adsorben (Oscik, 1982).
Selain itu, efektivitas penggunaan silika gel untuk berbagai keperluan sangat
ditentukan oleh porositas dan struktur porinya. Struktur pori dan porositas silika gel
merupakan salah satu area yang dapat dimaksimalkan, terutama dengan mengontrol
pengaruh temperatur dan tekanan sistem pada waktu pembuatannya.
KESIMPULAN
Pemanfaatan abu sekam padi yang selama ini merupakan limbah yang kurang
dimanfaatkan dapat digunakan sebagai sumber silika untuk penemuan suatu material baru.
Terbatasnya situs aktif pada silika gel menyebabkan kurangnya efektifitas dan selektifitas
dalam berinteraksi dengan logam berat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
memodifikasi permukaan silika gel. Modifikasi permukaan silika gel berhubungan dengan
keseluruhan proses yang bertujuan untuk mengubah komposisi kimia untuk tujuan
adsorpsi. Ada dua macam modifikasi yaitu modifikasi secara fisika dan modifikasi secara
kimia. Teknik-teknik pemodifikasian yang sesuai pada silika gel dapat dipergunakan
sebagai dasar desain dan operasi yang baik untuk memperoleh suatu material baru yang
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan aplikasi terbaik bagi proses adsorpsi logam berat di
lingkungan. Penelitian-penelitian dan kajian-kajian yang berkesinambungan di bidang
sintesis material dapat dipergunakan untuk menentukan proses terbaik mengatasi
permasalahan ion logam berat di lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A.W., 1990, Physical Chemistry of Surfaces, fifth edition, John Wiley and Sons,
Inc., New York.
Airoldi, C., dan Arakaki, L.N.H., 2001, Immobilization of ethylenesulfide on silica surface
through sol-gel process and some thermodynamic data of divalent cation interactions,
Polyhedron, 20, 929-936.
Arakaki, L.N.H. dan Airoldi, C., 2000, Ethylenimine in the Synthetic Routes of a New
Silylating agent: Chelating Ability of Nitrogen and Sulfur donor Atoms after
Anchoring onto the Surface of Silica Gel, Polyhedron, 19, 367-737.
Bhatia, R.B., Brinker, C.J., Gupta A.K. dan Singh A.K., 2000, Aqueous Sol-Gel Process
for Protein Encapsulation, Chem. Mater., 12, 2434-2441.
Blais, J.F., Dufresne, B. dan Mercier, G., 2000, State of The Art of Technologies for Metal
Removal From Industrial Effluents, Rev. Sci. Eau, 12(4), 687-711.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-54
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Abu Sekam Sebagai Sumber... Dyah Purwaningsih
Brinker, C.J., dan Scherer, W.J., 1990, Sol-Gel Science : The Physics and Chemistry of
Sol-Gel Processing, Academic Press, San Diego
Cestari, A.R., Vieira, E.F.S., Simoni, J.A., dan Airoldi, C., 2000, Thermochemical
Investigation on the Adsorption of Some Divalent Cations on Modified Silicas
obtaioned from Sol-Gel Process, Thermochimica Acta, 348, 25-31.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press, Jakarta
Fahmiati, Nuryono dan Narsito, 2004, Kajian Kinetika Adsorpsi Cd(II), Ni(II) dan Mg(II)
pada Silika Gel Termodifikasi 3-Merkapto-1,2,4-triazol, Alchemy, 3(2), 22-28.
Ghoul, M., Bacquet, M., dan Morcellet, M., 2003, Uptake of Heavy Metals from Synthetic
Aqueous Solutions using Modified PEI-Silica Gel, Water Research, 37, 729-734.
Kalapathy, U., Proctor, A., dan Shultz, J., 2000, A Simpel Method For Production of Silica
From Rice Hull Ash, Bioresource Technology, 73, 257-262.
Jal, P.K., Patel, S., dan Mishra, B.K., 2004, Chemical Modification of Silica Surface by
Immobilization of Functional Groups for Extractive Concentration of Metal Ions,
Talanta, 62, 1005-1028.
Narsito, Nuryono, dan Suyanta, 2004, Kinetika Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada Silika Gel
Termodifikasi Hasil Pengolahan Abu Sekam Padi, Laporan Penelitian Dasar,
Lembaga Penelitian UGM.
Oscik, J., 1982, Adsorption, John Wiley and Sons, New York.
Schubert, U., dan Hsing, N., 2000, Synthesis of Inorganic Material, Willey-VCH Verlag
Gmbh, D-69469 Wernbeim, Federal Republic of Germany
Stum, W., dan Morgan, J.J., 1981, Aquatic Chemistry, John Wiley and Sons, New York.
Scott, R.P.W., 1993, Silica Gel and Bonded Phases: Their Production, Properties and Use
in LC, John Wiley and Sons Ltd., Chinchester.
Scott, R.P.W., 1993, Silica Gel and Bonded Phases: Their Production, Properties and Use
in LC, John Wiley and Sons Ltd., Chinchester.
Sriyanti, Taslimah, Nuryono, Narsito, 2004, Selektivitas Silika Gel Termodifikasi Gugus
Tiol untuk Adsorpsi Kadmium (II) dan Tembaga (II), Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian MIPA, 2004, Semarang 4 Desember 2004.
Terada, K., Matsumoto, K., dan Kimora, H., 1983, Sorption of Copper (II) by Some
Complexing Agents Loaded on Various Support, Anal, Chim Acta, 153, 237-247.
Eli Rohaeti
Jurdik Kimia FMIPA UNY
e-mail: rohaetieli@yahoo.com
Abstrak
Untuk mempelajari kemudahan biodegradasi dari poliuretan berbasis asam lemak
minyak sawit kasar dan metilen-4,4-difenildiisosianat serta kondisi optimum waktu
biodegradasi poliuretan dapat dilakukan dengan melakukan inkubasi menggunakan
mikroorganisme yang berasal dari lumpur aktif serta media malka padat pada temperatur
370C. Variasi waktu inkubasi berturut-turut adalah 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 hari, dengan
penggantian media setiap 5 hari. Poliuretan berbasis asam lemak minyak sawit kasar dan
metilen-4,4-difenildiisosianat (MDI) yang dipolimerisasi pada temperatur kamar diikuti
dengan curing pada suhu 1200C menunjukkan bahwa poliuretan dapat dibiodegradasi,
meskipun dengan degradabilitas yang berbeda. Kemudahan biodegradasi dengan
degradabilitas paling tinggi pada waktu biodegradasi 5 hari. Hasil karakterisasi dengan X-
Ray Diffraction menunjukkan bahwa biodegradasi dapat meningkatkan derajat kristalinitas
poliuretan. Spektrum Fourier Transform Infra Red poliuretan sesudah biodegradasi
menunjukkan penurunan intensitas puncak khas gugus uretan dari poliuretan.
Abstract
To study biodegradability of synthesized polyurethane based fatty acid from crude
palm oil and methylene-4,4-diphenyldiisocyanate and than the optimum condition of
incubation time in the biodegradation of polyurethane synthesis could be done
biodegradation of polyurethane using microorganism in active sludge, with malka medium
at 370C. The variation of incubation time series are 5, 10, 15, 20, 25, and 30 days,
respectively with the change of medium in every 5 days. Polyurethane is produced from
synthesis between fatty acid and methylene-4,4-diphenyldiisocyanate at room temperature
with curing at 1200C showed that polyurethane can be biodegraded, althought in
degradability was different. Polyurethane based fatty acid from crude palm oil had the
highest degradability at 5 days biodegradation. The result of characterization using X-Ray
Diffraction showed that biodegradation can increase the degree of crystallinity of
polyurethane. Spectrum Fourier Transform Infra Red after biodegradation showed the
decrease of urethane groups intensity of polyurethane.
Pendahuluan
Poliuretan adalah polimer yang mengandung gugus uretan (-NHCOO-) dalam
rantai utamanya. Gugus uretan terbentuk dari reaksi antara senyawa yang mengandung
gugus isosianat dengan senyawa yang mengandung atom hidrogen reaktif. MDI adalah
senyawa aromatik yang lebih reaktif daripada senyawa isosianat alifatik.Gugus isosianat
selain berasal dari MDI juga dapat berasal dari toluena diisosianat (TDI), sikloheksana
diisosianat (CDI), maupun heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI). Berbagai senyawa yang
dapat berperan sebagai monomer yang dapat bereaksi dengan gugus isosianat membentuk
poliuretan telah banyak dikembangkan baik itu berasal dari bahan sintetik maupun dari
bahan alam.
Dengan semakin maraknya penggunaan poliuretan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, maka akan timbul masalah limbah yang diakibatkan oleh adanya poliuretan yang
sudah tidak berguna atau yang sudah terbuang. Limbah poliuretan perlu penanganan secara
khusus, artinya harus ada degradasi atau perusakan limbah poliuretan menjadi produk
yang tidak membahayakan lingkungan.
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah limbah,
diantaranya dengan cara dibakar, namun kalau limbah polimer itu dibakar maka akan
menimbulkan masalah baru bagi lingkungan kita yaitu tercemarnya udara oleh adanya
polutan akibat pembakaran tersebut.
Adanya penumpukan limbah poliuretan yang semakin lama semakin banyak dapat
mengakibatkan bahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Cara penanggulangan
limbah polimer yang dianggap paling aman terhadap lingkungan dan tidak mengakibatkan
timbulnya masalah baru adalah dengan proses biodegradasi, yakni perusakan poliuretan
dengan cara biologis.
Mikroorganisme menguraikan polimer melalui proses hidrolisis atau oksidasi.
Adanya gugus fungsional sensitif cahaya dan gugus fungsional yang bisa terhidrolisis akan
lebih efektif untuk terurainya polimer-polimer massa molekul tinggi dalam lingkungan
alam. Semakin rendah massa molekul polimer, maka polimer akan terdegradasi semakin
cepat.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa biodegradasi
poliuretan dengan menggunakan lumpur aktif lebih efektif daripada dengan Pseudomonas
aeruginosa, hal ini karena pada lumpur aktif banyak terkandung mikroorganisme yang
dapat mendegradasi poliuretan. (Eli Rohaeti, dkk : 2004). Selain itu pada penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan poliuretan yang mudah terbiodegradasi, Eli Rohaeti, dkk
(2002) melakukan penelitian tentang Biodegradasi Poliuretan Hasil Sintesis dari Amilosa-
PEG400-MDI menggunakan Lumpur Aktif, ternyata telah berhasil disintesis poliuretan
dari polioksietilen glikol massa molekul 400 dan metilen-4,4-difenildiisosianat yang
mudah terbiodegradasi oleh lumpur aktif dalam media malka padat. Semakin tinggi kadar
amilosa dalam sintesis poliuretan maka semakin mudah poliuretan didegradasi. Penelitian
yang lain juga dilakukan oleh Eli Rohaeti, dkk (2003) menunjukkan bahwa poliuretan yang
dapat dibiodegradasi merupakan poliuretan hasil sintesis dari polioksietilen glikol massa
molekul 400 dan metilen-4,4-difenildiisosianat dengan media biodegradasi adalah LB cair.
Selain itu Eli Rohaeti, dkk (2004) menyatakan bahwa poliuretan hasil sintesis dari
polioksietilen glikol massa molekul 400 dan metilen-4,4-difenildiisosianat dapat
dibiodegradasi dengan lumpur aktif dan Pseudomonas aeruginosa dalam LB cair sebagai
medianya. Dalam upaya mensintesis poliuretan ramah lingkungan berbasis monomer
bahan alam khususnya asam lemak campuran dari minyak sawit kasar, pada tulisan ini
akan dibahas biodegradasi poliuretan hasil sintesis dari asam lemak minyak sawit kasar
dan metilen-4,4-difenildiisosianat dengan menggunakan lumpur aktif serta malka padat
sebagai medianya sehingga dapat memberikan alternatif pemecahan masalah limbah
poliuretan.
dibandingkan dengan CPO (Crude Palm Oil), serta dapat memadat pada suhu kamar
dengan rendemen sebesar 76%.
Berdasarkan spektrum FTIR menunjukkan bahwa asam lemak campuran memiliki
serapan OH pada daerah 3400-2400 cm-1, hal ini mengindikasikan adanya OH yang berasal
dari asam karboksilat pada sampel asam lemak. Pada spektrum muncul serapan pada
daerah 3000-2850 cm-1, hal ini mengindikasikan bahwa pada sampel terdapat ikatan C-H
alkana. Adanya gugus C=O asam karboksilat pada spektrum ditunjukkan dengan
munculnya serapan pada daerah 1725-1700 cm-1. Pada asam lemak terdapat ikatan CH-
CH3, hal ini ditunjukkan dengan munculnya serapan pada daerah 1450-1375 cm-1. Adanya
ikatan CH-CH2 pada asam lemak, ditunjukkan munculnya serapan pada daerah 1463,9 cm-
1
. Adanya ikatan C-O asam karboksilat ditunjukkan dengan munculnya serapan pada
daerah 1300-1000 cm-1.
Analisis FTIR pada poliuretan berbasis asam lemak campuran sebelum
biodegradasi menunjukkan adanya serapan pada daerah 2277,6 cm-1. Hal ini menunjukkan
adanya gugus isosianat (NCO). Selanjutnya muncul serapan gugus uretan (NHCOO) pada
1745,5 cm-1. Pada daerah 3200 cm-1 muncul serapan yang menunjukkan adanya ulur N-H.
Selanjutnya munculnya serapan pada daerah 3000-2800 cm1 menunjukkan adanya ikatan
C-H alkana pada sampel. Kemudian serapan pada daerah 1725-1700 cm-1 menunjukkan
adanya ikatan C=O. Adanya ikatan CH-CH3, ditunjukkan dengan munculnya serapan pada
daerah 1450-1375 cm-1. Serapan pada 1460 cm-1 menunjukkan terdapatnya ikatan CH-
CH2-. Serapan pada daerah 1680-1600 cm-1 menunjukkan adanya C=C. Adanya C-O
ditunjukkan dengan munculnya serapan pada daerah 1300-1000 cm-1. Pada serapan daerah
panjang gelombang pada 1389 cm-1 menunjukkan adanya serapan C-N-C.
Beradasarkan perhitungan nilai indeks ikatan hidrogen (HBI) untuk poliuretan
berbasis asam lemak campuran, diketahui bahwa nilai HBI-nya sebesar 65,432%. Untuk
selanjutnya nilai HBI ini akan dibandingkan dengan HBI poliuretan sesudah biodegradasi.
Poliuretan berbasis asam lemak campuran bila dibandingkan dengan poliuretan
standar Du Pont menunjukkan puncak-puncak serapan hampir sama terutama untuk puncak
serapan khas suatu poliuretan.
Mekanisme reaksi pembentukan senyawa uretan dari asam lemak dan senyawa
isosianat ditunjukkan pada Gambar 1.
O
_ -
RNCO + R C OH NR C O RN C O
senyawa asam lemak
isosianat R C OH R C OH
+ +
O O
RNCO + OH RN C O-
+OH
- -
R N C O + OH O H
R N C
+ OH + O
OH
- O H
O H
O
R N C R N C RNHC
O
+ O
O H O
senyawa uretan
+ OH
atau
R O
-
- N C
R N C O + OH
H O+
+ OH
O H
R O
-
N C O
+ RNHC + OH
H O
O
O H s e n y a w a u r e ta n
Gambar 1. Mekanisme reaksi pembentukan senyawa uretan dari senyawa isosianat dan
asam lemak
Biodegradasi Uretan
Dengan melakukan perhitungan kehilangan massa dan degradabilitas poliuretan
sesudah biodegraadsi hasilnya dapat dituliskan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kehilangan massa dan degradabilitas poliuretan berbasis asam lemak minyak
sawit kasar selama 30 hari biodegradasi (Dodi Vevanto, 2006)
Poliuretan dari asam lemak campuran dan MDI yang dibiodegradasi dalam lumpur
aktif selama 25 hari memiliki kehilangan massa paling besar, dengan nilai kehilangan
massa sebesar 12,644%. Berdasarkan degradabilitas, poliuretan dari asam lemak dan MDI
memiliki degradabilitas paling tinggi pada hari ke-5 biodegradasi. Selanjutnya
degradabilitasnya menurun, pada hari ke-25 degradabilitasnya kembali naik, namun
walaupun degradabilitasnya tinggi pada hari ke-25 tidak melebihi pada saat hari ke-5.
Kenyataan ini dapat dijelaskan karena pada hari ke-5 biodegradasi masih terdapat banyak
substrat (gugus fungsi) yang terdapat dalam poliuretan yang dapat diserang oleh enzim
yang diproduksi oleh mikroba. Pada saat hari ke-25, kandungan substratnya telah
berkurang sehingga degradabilitasnya tidak setinggi pada hari ke-5. Jika kita mencermati
pada hari ke-10 hingga hari ke-20 degradabilitasnya rendah jika dibandingkan dengan hari
ke-5, hal ini dikarenakan mikroba membutuhkan waktu untuk memproduksi enzim yang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-59
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Poliuretan Ramah Lingkungan... Eli Rohaeti
akan digunakan untuk menyerang substrat yang ada dalam poliuretan. Pada hari ke-10, 15,
dan 20 sesungguhnya juga terjadi kenaikan degradabilitas walaupun kecil, hal ini
membuktikan adanya aktivitas mikroba dalam mendegradasi poliuretan. Pada hari ke-30
degradabilitasnya nol, hal ini berarti tidak terjadi aktivitas mikroorganisme dalam
mendegradasi poliuretan.
Berdasarkan spektrum FTIR poliuretan sesudah mengalami biodegradasi
menunjukkan hilangnya sebagian gugus isosianat (NCO) sesudah biodegradasi. Adanya
gugus uretan (-NHCOO) pada daerah 1735,8 cm-1 pada sampel poliuretan sesudah
biodegradasi juga masih ada, akan tetapi intensitasnya lebih kecil. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa selama proses biodegradasi berlangsung terjadi penurunan jumlah
gugus uretan dan gugus -NCO. Pada daerah 1725-1700 cm-1 muncul serapan yang
menunjukkan adanya gugus C=O akan tetapi intensitasnya lebih lemah. Adanya ikatan C-
N-C juga ditunjukkan dengan munculnya serapan pada daerah 1389 cm1, namun
intensitasnya lebih lemah. Dengan mengamati keberadaan gugus uretan ataupun isosianat
pada poliuretan, maka dengan dilakukannya biodegradasi terjadi pengurangan intensitas
gugus uretan dan isosianat. Hal ini diakibatkan karena peranan mikroorganisme yang
menguraikan gugus uretan dan gugus lain yang ada pada sampel. Dengan diuraikannya
gugus uretan oleh mikroorganisme maka rantai polimer menjadi putus, sehingga
memungkinkan massa molar rata-rata polimer menjadi turun.
Berdasarkan nilai HBI untuk poliuretan sesudah biodegradasi, diperoleh nilai HBI-
nya sebesar 51,563%. Nilai HBI poliuretan sesudah biodegradasi jika dibandingkan dengan
HBI poliuretan sebelum biodegradasi ternyata mengalami penurunan. Hal ini berarti proses
biodegradasi dapat menurunkan jumlah ikatan hidrogen dari gugus karbonil yang ada pada
molekul poliuretan. Hal ini memperkuat tentang terurainya gugus uretan pada proses
biodegradasi.
Hasil analisis dengan XRD terhadap poliuretan sebelum dan sesudah biodegradasi
dapat diketahui mengenai pengaruh biodegradasi terhadap perubahan intensitas daerah
kristalin dan daerah amorf dari molekul poliuretan. Dengan membandingkan daerah
kristalin terhadap daerah kristalin dan amorf, maka didapatkan derajat kristalinitas
poliuretan dari asam lemak campuran sebelum biodegradasi adalah 35,9%, sedangkan
derajat kristalinitas poliuretan sesudah biodegradasi adalah 53,4%. Berdasarkan hal ini
dapat dikatakan bahwa proses biodegradasi dapat meningkatkan derajat kristalinitas
poliuretan, yang berarti di dalam polimer sebenarnya terjadi penurunan daerah amorf.
Dengan demikian pada proses biodegradasi, terjadi penyerangan daerah amorf oleh
mikroorganisme.
Selama proses biodegradasi, mikroba ternyata lebih menyukai daerah amorf
daripada daerah kristalin. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan XRD
terjadi peningkatan derajat kristalinitas, atau berkurangnya daerah amorf dalam poliuretan.
Mikroba dalam mendegradasi sampel poliuretan lebih memilih daerah amorf daripada
daerah kristalin. Hal ini karena daerah amorf memiliki struktur kurang teratur, sedangkan
daerah kristalin memiliki struktur yang tertata secara teratur.
Pengamatan dengan menggunakan SEM dimaksudkan untuk mengetahui keadaan
permukaan poliuretan secara tiga dimensi akibat proses biodegradasi. Hal ini untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh mikroorganisme dalam mendegradasi poliuretan
melalui pengamatan kerusakan permukaan poliuretan. Berdasarkan foto mikroskopik SEM
pada perbesaran 100 kali dapat diketahui bahwa pada poliuretan setelah biodegradasi
terdapat lubang-lubang pada permukaannya. Hal ini diakibatkan karena mikroorganisme
dalam mendegradasi poliuretan. Peranan mikroorganisme mendegradasi poliuretan
+
Gambar 2. Pemotongan polimer oleh enzim
Organisme dapat mendegradasi polimer, namun dalam pertumbuhannya organisme
juga membutuhkan biopolimer di dalam tubuhnya, seperti protein, asam nukleat,
polisakarida (Schnabel, 1981:154). Pada saat biodegradasi dilakukan, mikroba-mikroba
mengkonsumsi atau memakan poliuretan untuk kebutuhan nutrisi dalam pertumbuhannya,
hingga mikroba tersebut mati. Konsumsi rantai poliuretan yang telah mengalami
pemotongan oleh mikroba (dalam bentuk makanan) nantinya akan digunakan untuk
mensintesis biopolimer (dalam tubuh mikroba). Hal ini merupakan suatu rantai, jika
mikroba menguraikan polimer di luar dirinya, rantai polimer terpotong tersebut nantinya
akan masuk ke dalam tubuh mikroba dan digunakan untuk mensintesis biopolimer
(protein). Selanjutnya apabila nantinya mikroba tersebut mati maka akan diuraikan oleh
mikroba yang lain.
Enzim spesifik yang dimiliki oleh mikroba sangat besar peranannya dalam
mendegradasi poliuretan. Dalam lumpur aktif, jenis mikrobanya sangatlah beragam,
sehingga memungkinkan lebih banyak terdapat enzim yang dapat mendegradasi poliuretan
dengan lebih baik. Mikroba-mikroba yang hidup dalam lumpur aktif memiliki respek
berbeda-beda dalam mendegradasi produk poliuretan terkait dengan enzim yang berbeda-
beda yang dimiliki oleh tiap-tiap jenis mikroba.
Penutup
Simpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini, yaitu poliuretan berbasis asam lemak
campuran dari minyak sawit kasar
a. dapat dibiodegradasi oleh mikroorganisme yang ada dalam lumpur aktif dengan media
malka padat.
b. dapat dibiodegradasi meskipun dengan kehilangan massa dan degradabilitas bervariasi
tergantung lamanya biodegradasi.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih disampaikan pada KNRT atas dana RUT XV tahun 2005, DIKTI
Depdiknas atas dana Penelitian Fundamental tahun 2008, serta para mahasiswa yang
melakukan riset biodegradasi poliuretan berbasis minyak nabati.
Daftar Pustaka
Dodi Vevanto. (2006). Biodegradasi Poliuretan Hasil Sintesis dari Asam Lemak Minyak
Sawit Kasar dengan Metilen-4,4-Difenildiisosianat (MDI). Skripsi..Yogyakarta
Eli Rohaeti, N.M Surdia, Cynthia L. Radiman, E. Ratnaningsih. (2002). Biodegradasi
Poliuretan Hasil Sintesis dari Amilosa-PEG400-MDI Menggunakan Lumpur
Aktif. Prosiding Seminar Nasional Kimia. 311-317
Eli Rohaeti, N.M Surdia, Cynthia L. Radiman, E. Ratnaningsih. (2002). Sintesis
Poliuretan dari Amilosa-PEG400-MDI dan Biodegradasinya Menggunakan
Pseudomonas Aeruginosa. Prosiding Seminar Kimia Bersama Ke-5, Universiti
Kebangsaan Malaysia. (No. 16-17). 329-336.
Eli Rohaeti, N.M Surdia, Cynthia L. Radiman, E. Ratnaningsih. (2003). Pengaruh Variasi
Komposisi Amilosa terhadap Kemudahan Biodegradasi Poliuretan. Jurnal
Matematika dan Sains. 157-161.
Eli Rohaeti, N.M Surdia, Cynthia L. Radiman, E. Ratnaningsih. (2004). Pengaruh Dua
Macam Perlakuan Mikroorganisme terhadap Kemudahan Degradasi Poliuretan
Hasil Sintesis dari Monomer Polietilen Glikol Berat Molekul 400 Dengan Metilen-
4,4-difenildiisosianat. Prosiding ITB Sains & Teknologi. (No. 1).
Irfan D Prijambada, Seiji Negoro, Tetsuya.Yomo, Itaru Urabe. (1995). Emergence of
Is Fatimah
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Kampus Terpadu UII, Jl. Kaliurang Km 14, Yogyakarta 55581
Email : isfatimah@fmipa.uii.ac.id
Abstrak
Pada penelitian ini, dilakukan sintesis montmorillonit terpilar sol silika (SiO2)
melalui reaksi sol-gel dari montmorillonit dan tetra etil ortho silikat (TEOS). Pilarisasi
dilakukan dengan dispersi TEOS disertai hidrolisis menggunakan asam asetat selama 24
jam dilanjutkan dengan kalsinasi pada temperatur 400oC. Karakter padatan SiO2-
montmorillonit dipelajari sebagai faktor variasi mol TEOS terhadap massa montmorillonit
sebesar 5, 10 dan 20 mmol/gram. Dengan tujuan memperoleh karakter stabilitas SiO2-
montmorillonit yang baik sebagai padatan pendukung oksida logam Ti, dilakukan karakter
fisikokimiawi meliputi pengukuran basal spacing d001 dan kristalinitas sampel
menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), BET surface area analyzer, DTA-TGA dan
identifikasi menggunakan FT-IR. Sebagai kontrol, dilakukan juga analisis karakter fisika
montmorillonit alam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilarisasi SiO2 pada variasi mol Si
menghasilkan peningkatan basal spacing d001 montmorillonit sebesar 2,631 ; 2,318 dan
2,713 berturut-turut untuk 5, 10 dan 20 mmol. Hal ini disertai dengan kenaikan luas
permukaan spesifik (BET) berturut-turut sebesar 146,017 m2/g, 165,323 m2/g dan 163,786
m2/g dari montmorillonit alam yang mempunyai luas permukaan spesifik sebesar 74,702
m2/g. Stabilitas termal ketiga montmorillonit terpilar tidak berbeda secara signifikan
dengan montmorillonit alam ditunjukkan dengan pola termogram ketiga padatan yang
tidak jauh berbeda. Studi adsorpsi terhadap methylene blue menunjukkan bahwa
perbandingan mmol 20 mmol/gram Si menghasilkan kemampuan adsorpsi terbesar.
Pendahuluan
Lempung terpilar merupakan material baru dalam bidang katalisis. Peningkatan
stabilitas yang ditimbulkan dari proses pilarisasi menjadi daya tarik tersendiri dalam
sintesis katalis heterogen. Fenomena pilarisasi lempung jenis smektit termasuk di
dalamnya montmorillonit mengacu pada pembentukan jaringan (network) berpori yang
mirip dengan zeolit (Ding,dkk., 2002, Stefanis dan Tomlinson, 2006). Karena pada ukuran
pori pada lempung terpilar mudah divariasi maka lempung terpilar memiliki prospek yang
baik sebagai bahan alternatif pengganti zeolit (Kwon, dkk. 2001, Leonard,.1995).
Pada penelitian ini pemilaran dilakukan dengan menggunakan Tetraetilortosilikat
(TEOS) sebagai prekursor silika dengan sistem sol-gel. Metode pilarisasi dengan sol silika
sebelumnya telah dilaporkan oleh Endo, dkk.(1981), Han,dkk.(1997), Anwar (2004) dan
Darmawan, dkk (2005). Keduanya menggunakan TEOS sebagai prekursor pilar dan
DTMA (tetradecyltrimethyl-ammonium bromida) sebagai agen templatnya pada lempung
montmorillonit, dari hasil penelitiannya diperoleh fakta bahwa peningkatan jumlah DTMA
dapat meningkatkan luas permukaan spesifik lempung terpilar silika sampai kondisi
tertentu dan seterusnya akan menurunkan luas permukaannya, dan faktor penting dalam
keberhasilan pemilarannya adalah rasio molar TEOS dan DTMA. Sementara itu, Agung
(2005) mensintesis PCH (Porous Clay Heterostucture) menggunakan lempung,
Dodesilamin dan TEOS. Dan didapatkan porositas tertinggi pada rasio molar
lempung:dodesilamin:TEOS sebesar 1:15:30 dengan luas permukaan spesifik BET sebesar
403,734 m2/g. Kwon, dkk(2001) melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan luas
permukaan pada lempung terpilar silika yang mereka sintesis dari lempung H-
montmorillonit. Lempung terpilar silika hasil sintesis memiliki luas permukaan 403-577
m2/g. Lempung H-montmorillonit yang digunakan sebagai material awal memiliki luas
permukaan sebesar 77 m2/g.
Beberapa penelitian yang dilakukan menggunakan TEOS sebagai agen pemilar,
ternyata mampu memperbesar luas permukaan dari lempung alam. Dari hasil penelitian-
penelitian tersebut pemilaran menggunakan TEOS dengan variasi mol belum dilakukan.
Dengan adanya variasi mol TEOS diharapkan diperoleh karakter optimal lempung terpilar
silika sebagai padatan pendukung oksida logam untuk aplikasi katalis heterogen.
Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi magnetic stirrer, reaktor
kalsinasi, oven dan alat instrumen analitik meliputi X-ray Diffraction (XRD) dan surface
area analyzer NOVA 1000.
Bahan yang digunakan meliputi lempung alam asam Boyolali yang dibeli dari PT.
Tunas Inti makmur Semarang, TEOS (E.Merck), gas N2 dan O2 serta aquadest.
Jalannya Penelitian
Setelah dipreparasi dengan cara pencucian dan aktivasi, lempung montmorilonit
alam jenis natrium montmorillonit didispersikan ke dalam aquadest untuk diaduk selama
24 jam. Ke dalam suspensi yang terbentuk diteteskan perlahan TEOS pada variasi
mol/gram lempung kemudian ditambahkan 10 mL asam asetat 0,1 M. Campuran diaduk
selama 48 jam pada temperatur kamar. Suspensi kemudian disaring, dinetralisasi dan
dikeringkan dalam oven pada temperatur 105-120C. Setelah kering, montmorillonit
digerus dan diayak menggunakan ayakan 200 mesh dan dianalisis menggunakan XRD dan
BET surface area. Dari hasil variasi mol 5, 10 dan 20 mmol/gram sampel yang diperoleh
diberi kode Si-5, Si-10 dan Si-20.
(a) (b)
Gambar 2. Difraktogram montmorillonit terpilar silika (a) sebelum kalsinasi (b) setelah
kalsinasi
Tabel.2. Peningkatan basal spacing (d001) setelah oksidasi dan kalsinasi untuk tiap variasi
No. Sampel d () d ()
1. Montmorillonit alam 14,47 0
2. Si-5 17,101 2,631
3. Si-10 16,788 2,318
4. Si-20 17,183 2,713
Tabel 3. Data luas permukaan spesifik, rerata jejari pori dan volume total pori
montmorillonit terpilar Si dengan variasi mol TEOS setelah kalsinasi
Luas
Rerata jejari Volume total pori
Jenis sampel permukaan
pori () (cm3/g)
spesifik (m2/g)
Montmorillonit
74,702 13,621 50,877 x 10-3
alam
Si-5 146,017 16,545 120,800 x 10-3
Si-10 165,323 20,763 171,638 x 10-3
Si-20 163,786 18,017 147,551 x 10-3
Terdapat perubahan luas permukaan spesifik padatan, volume total pori dan rerata jejari
pori seperti disajikan pada Tabel 3. Dapat dilihat bahwa luas permukaan spesifik pada Si-
20 tidak jauh berbeda dengan Si-10, karena montmorillonit telah jenuh dan tidak bisa
dimasuki oleh ion Si lagi. Hal ini didukung oleh data distribusi jejari pori, dimana jumlah
daerah mikro, meso dan makropori dari 20 mmol tidak berbeda jauh dari 10 mmol.
Pola serapan gas N2 yang teradsorpsi oleh padatan sangat mempengaruhi hasil dari
pengukuran luas permukaan spesifik. Semakin banyak gas yang terserap padatan maka
semakin luas pula luas permukaan spesifik padatan tersebut. Pada kasus kali ini molekul
gas yang diserapkan pada padatan akan membentuk lapisan tunggal (monolayer) pada
permukaan, dan jika diteruskan lapisan tunggal dapat berperan sebagai permukaan
adsorben dan secara terus menerus pada adsorpsi akan terbentuk multilapis (multilayer)
(Isoterm Brunauer, Emmett dan Teller). Pola serapan gas N2 pada Gambar 3 memperjelas
bahwa Si-10 mempunyai luas permukaan spesifik terbesar dengan mampu menyerap gas
N2 lebih banyak dari montmorillonit alam maupun variasi mol yang lain. Semakin besar
tekanan yang diberikan, kemampuan menyerap Si-10 semakin besar dibandingkan variasi
yang lain. Berbeda jauh dengan montmorillonit alam yang tidak memberikan penyerapan
begitu berarti setelah tekanan ditambahkan.
Gambar 3. Pola serapan N2 oleh montmorillonit alam dan montmorillonit terpilar silika
Gambar 4. Distribusi ukuran pori montmorillonit alam dan montmorillonit terpilar silika
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada DP2M Dirjen DIKTI melalui HIBAH
BERSAING yang telah membiayai penelitian ini.
Daftar Pustaka
Agung, A.A.J., 2005, Preparasi Nanokomposit Lempung-Silika menggunakan Surfaktan
Dodesilamin dan Aplikasinya Sebagai Adsorben pada Proses Penjernihan
Minyak Daun Cengkeh, Skripsi, FMIPA-UGM, Jogjakarta.
Anwar, Rofiq, 2004, Pembuatan Adsorben Lempung Terpilar Silika dengan Metode
Templat Organik dan Aplikasinya pada Proses Penjernihan Minyak dan
Cengkeh, Skripsi, FMIPA-UGM, Jogjakarta.
Darmawan, A., Sriatun, Lestari, S., dan Arryanto, Y., 2005, Sintesis Katalis Mesopori
Lempung Terpilar Sol Silika Berpengemban Ni dari Lempung Alam Boyolali
untuk Hidrorengkah Fraksi Berat Minyak Bumi Minas, Prosiding Seminar
Nasional Kimia XIV, ISSN:1410-8313, Hal 133-145.
Ding, , Kloprogge, J.T. , dan Frost, L., 2002, Porous Clays and Pillared Clays-Based
Catalysts. Part 2: A Review of the Catalytic and Molecular Sieve Applications
Endo T, Mortland MM, Pinnavaia TJ. 1981. Properties of Silica-Intercalated Hectorite.
Clays and Clay Minerals 29:153-156
Han,Y., Matsumoto,H., dan Yamanaka, S., 1997, Preparation of New Silica Sol-Based
Pillared Clays with High Surface Area and High Thermal Stability, Chem.
Mater., 9 (9), 2013 -2018.
Kwon, O.Y., Park, K. and Jeong, S., 2001, Preparation of porous silica pillared
montmorillonite: Simultaneous Intercalation of Amine-Tetraethylortosilicate into
H-montmorillonite and Intra-Gallery Amine-Catalyzed, Hydrolysis of
Tetraethylorthosilicate, Bull Korea Chem. Soc., 22, 678-684
Leonard, V.I., 1995, Materials Chemistry: An Emerging Discipline, ACS, Washington.
Stefanis dan Tomlinson, A., 2006, Towards designing pillared clays for catalysis, Catalysis
Today, 114, 126141.
Abstrak
Penelitian bertujuan mengevaluasi kemampuan Pt-zeolit yang disintesis dari zeolit
alam asal wonosari pada reduksi NOx secara hydrogen-selective catalytic reduction (H-
SCR). Studi karakterisasi Pt-zeolit telah dilaporkan sebelumnya dilengkapi analisis DTA-
TGA terhadap katalis. Uji stabilitas termal dilakukan berdasar data XRD dan BET surface
area padatan sebelum dan sesudah perlakuan variasi kondisi. Variasi kondisi meliputi
variasi temperatur 100, 200, dan 400oC dan variasi konsentrasi gas NOx sebesar 3,45 mg/L
dan 72,15 mg/L.
Hasil analisis DTA-TGA menunjukkan bahwa stabilitas termal tidak meningkat
secara signifikan oleh pengembanan Pt ditunjukkan dengan pola termogram dan prosentase
penurunan massa padatan pada kisaran 67 % pada zeolit alam an Pt-zeolit. Hasil uji
kondisi termal menunjukkan bahwa pada konsentrasi NOx yang rendah (3,45 mg/L)
padatan tetap stabil hingga temperatur 400oC. Pola XRD dan BET surface area mengalami
penurunan yang tidak berarti. Sedangkan pada konsentrasi NOx yang tinggi (72, 15 mg/L)
difraktogram Pt-zeolit menunjukkan kerusakan kristal disertai dengan penurunan luas
permukaan spesifik dari 42,523 m2/g hingga 0.866 m2/g pada temperatur 400oC.
Pendahuluan
Pemanasan global (Global warming) adalah isu yang hangat saat ini tidak
hanya di tingkat nasional tetapi juga pada tingkat internasional. Beberapa sumber
pemanasan global diantaranya gas buang kendaraan bermotor dan gas buang industri
dipantau dengan ketat. Salah satu upaya ke arah pengendalian dan penurunan emisi gas-gas
tersebut adalah dikembangkannya beberapa teknik penurunan emisi dan regualasi
pendukungnya. Untuk dapat memenuhi nilai ambang batas emisi gas buang kendaraan
sesuai regulasi pemerintah, maka kendaraan bermotor harus dilengkapi dengan alat yang
dapat mereduksi jumlah emisi gas pencemar yang dibuang ke atmosfer. Penurunan kadar
CO, CO2, NOx serta SOx di udara mendapat perhatian penting dalam hal ini, sehingga
pengembangan teknik pengurangan emisi gas-gas tersebut juga sangat pesat
perkembanganya.
Penurunan emisi NOx adalah hal yang sangat menarik untuk dikaji utamanya
berkaitan dengan toksisitas yang tinggi terhadap mikroorganisme dan kehidupan manusia.
Khususnya dalam hal aplikasi penurunan NOx dapat dilakukan upaya dari tingkat piranti
kendaraan bermotor melalui penggunaan konverter pada mesin kendaraan bermotor
berbahan bakar bensin atau dikenal sebagai teknik selective catalytic reduction. (SCR)
Teknik ini berprinsip pada reduksi NOx oleh adanya reduktor seperti H2 , NH3 atau
hidrokarbon bersumber dari bahan bakar. SCR mereduksi oksida nitrogen (NOx) hasil
oksidasi di ruang pembakaran menjadi gas nitrogen (N2) yang tidak berbahaya. Dalam hal
ini, peranan katalisator sangat diperlukan karena selain memegang peranan sebagai
penjerap molekul target (NOx) katalis yang bekerja dalam prinsip ini juga harus memiliki
kestabilan termal dan kondisi asam yang tinggi. Proses de-NOx dengan sistem SCR
menggunakan pereduksi ammoniak (NH3) telah digunakan selama 20 tahun terakhir pada
pengelolaan gas buang industri dan pembangkit tenaga.
Logam platinum merupakan salah satu katalis logam yang dikenal untuk
kepentingan SCR (Kikyuama, dkk., 2002, Jeon, dkk, 2003). Seperti halnya dalam reaksi
katalisis heterogen lainnya, pengembanan logam pada padatan pendukung banyak dipilih
dalam rangka peningkatan aktivitas katalitik. Pemilihan beberapa pengemban seperti -
alumina, zeolit dan MCM 41 untuk Pt juga telah dilaporkan pada beberapa literatur (Kim,
dkk., 2001), ZSM-5 (Guo, dkk, 1995, Jeon,dkk., 2003). Melihat potensi zeolit alam yang
cukup besar di Indonesia serta potensinya secara kimiawi sebagai pengemban logam Pt,
dalam penelitian ini dilakukan sintesis, karakterisasi dan evaluasi Pt/zeolit dari zeolit alam
asal Wonosari sebagai katalis reduksi NOx pada sistem SCR.
Sintesis, karakterisasi dan evaluasi potensi Pt/zeolit pada reduksi NOx telah
dilaporkan pada penelitian terdahulu (Hidayat, 2007a, 2007b), namun data stabilitas katalis
pada kondisi reduksi menyangkut temperatur dan konsentrasi NOx belum diungkapkan.
Pada makalah ini, dibahas kajian stabilitas katalis menyangkut kondisi termal dan kondisi
reaksi pada saat uji aktivitas.
Metode Penelitian
Aktivasi zeolit dan sintesis Pt-zeolit telah dipaparkan pada publikasi sebelumnya
(Hidayat, 2007a, 2002b). Prinsip yang digunakan dalam aktivasi zeolit adalah mereduksi
mineral pengotor dengan cara melarutkan dalam asam sulfat dilanjutkan netralisasi dan
kalsinasi pada 300oC. Material zeolit alam aktif selanjutnya disebut ZAA. Pt/zeolit
disintesis dengan cara mendispersikan Pt dari prekursor asam heksakloroplatinat (H2PtCl6)
dengan konsentrasi Pt sebesar 1,25 % (b/b) secara impregnasi dilanjutkan dengan kalsinasi
dan reduksi pada 300oC. Material hasil sintesis selanjutnya disebut Pt/zeolit.
Uji stabilitas katalis dilakukan dengan cara memasukkan katalis ke dalam reaktor
uji (skema pada Gambar 4) yang dikendalikan temperaturnya. Selanjutnya pada
temperatur yang diinginkan dialirkan gas NOx pada dua variasi konsentrasi yakni 3,45
mg/L dan 72,11 mg/L selama 30 menit. Setelah perlakuan padatan katalis dianalisis
menggunakan XRD dan BET surface area analyzer.
Data luas permukaan spesifik Pt/zeolit dibandingkan ZAA disajikan pada Tabel 1.
Dari data luas permukaan spesifik yang diperoleh diperlihatkan efek penurunan
luas permukaan setelah dispersi Pt pada ZAA disertai dengan penurunan volume pori total.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pembentukan agregasi Pt pada permukaan
padatan didukung oleh adanya kenaikan rerata jejari pori dari 11,998 pada ZAA menjadi
14.492 pada Pt/Zeolit dan pola distribusi ukuran pori yang disajikan pada Gambar 2.
Distribusi ukuran pori Pt/zeolit memperlihatkan evolusi pori ke arah pembentukan modal
pore pada sekitar 100. Jika dikaitkan dengan data luas permukaan spesifik padatan,
evolusi ini terjadi oleh adanya agregasi logam Pt pada permukaan padatan sebagaimana
yang sangat ini dimungkinkan terjadi karena pengembanan Pt dilakukan melalui teknik
impregnasi.
Hasil analisis DTA-TGA terhadap kedua material disajikan pada Gambar .3.
(A) (b)
Berdasar Gambar 3, dapat terlihat adanya kemiripan pola termogram dari ZAA dan
Pt/zeolit dimana terjadi puncak eksotermis dimulai pada sekitar 160oC dan mencapai
maksimal pada sekitar 300oC. Puncak ini dimungkinkan terjadi akibat dekomposisi
pelepasan air kristal dari kedua padatan serta adanya kerusakan struktur kristal akibat
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-72
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Sifat Stabilitas... Is Fatimah, Arif Hidayat, Bayu W
kenaikan temperatur. Kehilangan berat pada temperatur 550oC untuk sampel ZAA dan
Pt/zeolit berturut-turut adalah 11,37% dan 14.46%. Secara teoritis, pengembanan logam Pt
memperbesar stabilitas termal, namun dari data ini fenomena yang terjadi adalah
sebaliknya. Keragaman dispersi Pt pada permukaan zeolit dimungkinkan menjadi
penyebab data ini. Dispersi yang tidak merata justru akan menyebabkan kerapuhan struktur
pada temperatur tinggi.
Selanjutnya, untuk kepentingan aplikasi Pt/zeolit dalam reduksi NOx secara SCR,
dilakukan evaluasi pengaruh kenaikan temperatur dan kondisi asam terhadap stabilitas
struktur Pt /zeolit. Uji dilakukan dengan pada dua konsentrasi NOx yakni 3,45 mg/L dan
72,15 mg/L pada temperatur 100, 200 dan 400oC. Uji dilakukan pada reaktor uji seperti
pada Gambar 4.
Keterangan :
1= gas NOx GAS
2 = Flow Meter
3 = Catalyst
setelah perlakuan temperatur dengan kondisi NOx (a) 3,45 mg/L (b) 72.11 mg/L
42.58
40.67
38.01
40
(m2 /g)
30
20 14.84
10 8.125
0.866
0
100 200 400
NOx=3,45 mg/L Temperatur (oC)
NOx =72,11 mg/L
Gambar 6. Perubahan luas permukaan spesifik pada variasi temperatur dan
konsentrasi NOx
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-74
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Sifat Stabilitas... Is Fatimah, Arif Hidayat, Bayu W
Data pada histogram memperlihatkan bahwa efek termal pada konsentrasi NOx
rendah tidak signifikan menurunkan luas permukaan spesifik Pt/zeolit, sebaliknya,
penurunan drastis terjadi pada semua temperatur dengan kondisi uji konsentrasi NOx
sebesar 72,11 mg/L.
Adanya perubahan distribusi pori akibat temperatur dengan konsentrasi NOx tinggi
diperlihatkan pada Gambar 7. Perubahan distribusi ukuran pori Pt/zeolit diperlihatkan pada
Gambar 7 mengindikaskan kerusakan yang relatif tinggi ditunjukkan oleh pergeseran
distribusi ke arah mikropori.
Gambar 7 . Distribusi ukuran pori Pt/zeolit hasil uji pada konsentrasi NOx= 72.11 mg/L
pada variasi temperatur (a) 100oC (b) 200oC dan (c) 400oC
Simpulan
Berdasar data XRD terhadap pengaruh variasi temperatur dan pengaruh
konsentrasi NOx yang diujikan pada Pt/zeolit diperoleh data bahwa stabilitas Pt/zeolit
bertahan hingga 400oC pada konsentrasi NOx yang rendah, namun pada konsentrasi NOx
tinggi, Pt/zeolit tidak stabil bahkan pada temperatur 100oC. Kerusakan struktur yang
ditunjukkan dari data XRD didukung dengan data BET surface area menunjukkan bahwa
penurunan luas permukaan terjadi secara drastis pada konsentrasi NOx yang tinggi.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada DP2M Dirjen DIKTI melalui HIBAH
BERSAING yang telah membiayai penelitian ini.
Daftar Pustaka
Guo, J., Konno, M., Chikahisha, T., Murayama, T., Iwamoto, M., 1995, NOx reduction
characteristics of Pt-ZSM-5 catalyst with diesel engine exhaust, JSAE Review, 16,
21-25.
Hidayat, A., Fatimah, I., Murrahman, B., 2007a, Synthesis Of Pt-Zeolite Catalyst For De-
NOx By Selective Catalytic Reduction System, Proceeding of Regional
Symposium on Chemical Engineering 2007, Indonesia.
Hidayat, A., Fatimah, I., Murrahman, B.,2007b, Synthesis of Pt-Zeolite, Prosiding Seminar
Nasional Kimia Proses dan Rekayasa 2007, Semarang.
Jeon, J., Kim,H, Woo, S, 2003, Selective catalytic reduction of NOx in lean-burn engine
exhaust over a Pt/V/MCM-41 catalyst, Applied Catalysis B: Environmental , 44,
311323.
Kikuyama, S. , Matsukuma, I., Kikuchi, R, Sasaki, K., Eguchi, K., 2002, A role of
components in Pt-ZrO2/Al2O3 as a sorbent for removal of NO and NO2 , Appl. Cat
A: General , 226, 2330.
Kim, Lee,B.S., Park,Y.T., Ham, S.W., Chae, H.J , Nam, I.S., 2001, Selective Catalytic
Reduction of NOx by Propene over Copper-Exchanged Pillared Clays, Korean J.
Chem. Eng., 18(5), 704-710.
Pendahuluan
Pemanasan global (global warming) telah menjadi masalah internasional.
Penyumbang terbesar pemanasan global adalah gas rumah kaca yang didominasi oleh
karbon dioksida. Gas ini dihamburkan dari aktivitas manusia antara lain dari sektor industri
dan transportasi.
Produksi semen menghasilkan CO2 dalam jumlah banyak, sehingga menjadi
polutan udara. Setiap produksi 1 ton semen membebaskan 0,55 ton CO2. Jumlah ini sekitar
8 kali keluaran dari industri metalurgi. Gas CO2 menyumbangkan sekitar 65% dalam
pemanasan global yang saat ini menjadi perhatian dunia. Untuk meningkatkan kepedulian
terhadap produksi gas rumah kaca ini, sangat penting mencari pengganti semen untuk
aneka keperluan.
Dari sisi yang lain, dapat dilihat adanya material limbah yang juga diproduksi
dalam jumlah banyak dari kegiatan masyarakat. Dari aktivitas pertanian dihasilkan sekam
padi yang jumlahnya berlimpah. Salah satu kegunaan sekam padi adalah sebagai bahan
bakar dalam industri keramik. Dari industri keramik yang menggunakan bahan bakar
sekam padi ini, membebaskan abu sekam padi yang juga berpotensi mengganggu
lingkungan. Setiap satu ton gabah menghasilkan 220 kg sekam dan sekitar 55 kg (25%)
abu sekam. Abu sekam padi mengandung silika sekitar 85-90% yang potensial untuk
dimanfaatkan.
Abu layang atau fly ash juga merupakan material limbah yang jumlah outputnya
semakin lama semakin meningkat. Informasi terbaru menyatakan adanya 102 ton
tumpukan fly ash yang terbengkalai dari PLTU Asam-Asam Kabupaten Tanah Laut,
Provinsi Kalimantan Selatan (Republika, 3 April 2008). Sampai kini fly ash yang
menumpuk itu belum dimanfaatkan. Adanya PLTU di beberapa daerah menghasilkan
limbah serupa. Efek langsung dari fly ash terhadap lingkungan hidup adalah debu yang
menimbulkan polusi udara. Pada musim hujan mereka terbawa arus air dan menggenangi
serta merusak persawahan/perkebunan.
Beberapa industri menghasilkan limbah cair yang mengandung logam berat.
Contohnya adalah industri elektroplating atau penyamakan kulit yang mengandung spesies
krom (VI). Imobilisasi terhadap limbah cair semacam ini akan mengurangi potensi polusi
air.
Dalam makalah ini dibahas sebuah upaya mengatasi ketiga masalah diatas dengan
pengembangan material cementitous yang dapat mengkonsumsi berton-ton limbah
sekaligus dapat menjadi semen alternatif untuk keperluan bahan konstruksi dan bahan baku
barang seni. Pada tahap selanjutnya, pengambanga material ini diharapkan akan
mendukung terwujudnya lingkungan yang lebih bersih dan ramah.
Pembahasan
1. AIPs
AIPs merupakan kependekan dari Aluminosilicate Inorganic Polymers). AIPs
adalah heteropolimer berbentuk jaringan dengan alternating monomer tersusun oleh SiO4
dan AlO4 yang terhubung oleh oksigen yang terbagi diantara mereka. Penamaan AIPs
dinyatakan oleh Rowles (2004) sebagai pengembangan dari geopolimer yang dirintis oleh
J.Davidovits (1989).
AIPs dapat digambarkan sebagai polisialat, singkatan dari poli silika-oxo-aluminat,
dengan monomer tersusun sebagai berikut :
M n {-(SiO2)z-(AlO2)-}n
M adalah kation monovalen seperti Na atau K, z adalah rasio Si/Al sementara n
adalah derajat polimerisasi. Harga z berkisar antara 1-3. Untuk z =1, 2 atau 3 penamaan
yang diusulkan oleh Davidovits (1989) masing-masing adalah poli(sialat), poli(sialat-
silokso) dan poli(sialat-disilokso). Pembentukan polimer dengan harga z lebih dari 3 juga
dapat terjadi.
Silokso adalah istilah untuk penambahan tetrahedral SiO4 pada rantai polimer
dengan tujuan menambah kandungan silikon. Kation M berfungsi menyeimbangkan
muatan negatif yang timbul. Gambar skematik dari silokso adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Skematik dari rantai polimer : (a) poli(sialat) (b). Poli(sialat- silokso) dan (c)
poli (sialat-disilokso).
Dalam bentuk 3 dimensi struktur AIPs dalam bentuk K poli(sialat-silokso) adalah
sebagai berikut:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-78
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Pemanfaatan AIPs... Kun Sri Budiarti
Alkali hidroksida dan silikat seperti natrium silikat atau kalium silikat dapat
digunakan sebagai alkali aktivator. Menurut penelitian Leoindarto dan Sanjaya (2006)
penggunaan alkali aktivator silikat memberikan produk yang kuat tetapi memiliki
kerapatan rendah/ banyak retakan. Alkali hidoksida menghasilkan produk yang kurang
kuat tetapi lebih sedikit retakan. Natrium silikat atau kalium silikat dapat diperoleh dari
industri atau dibuat dengan reaksi antara basa NaOH atau KOH dengan sumber silikat.
Sifat AIPs akan berubah mengikuti jumlah relatif Si dan alkali. Cara yang umum
untuk menyatakan komposisi AIPs adalah melalui rasio molar Si:Al dan Na:Al. Menurut
Davidovit (1991) AIPs terbaik dibentuk dengan rasio Si:Al antara 1 sampai 3. Rasio Na:Al
terbaik adalah 1, yang memberi jumlah Na yang berbanding secara stoikhiometrik dengan
AlO4 sekaligus menyeimbangkan muatannya (Rowles, 2004).
Tahap berikutnya adalah curing. Prekursor aluminosilikat dan larutan aktivator
dicampur untuk membentuk resin polimer yang kental (viscous). Reaksi polimerisasi AIPs
bersifat eksotermik dan dapat dikerjakan pada temperatur antara temperatur kamar hingga
sekitar 150oC. Biasanya temperatur di bawah 100oC dipilih untuk menghindari adanya uap
air yang bisa menambah tekanan dalam reaktor. Selama proses curing, kehilangan air harus
dihindari dengan memberi segel yang rapat.
Sintesis AIPs memiliki pola yang sedikit berbeda dengan sintesis zeolit. Perbedaan
penting dari sintesis AIPs dengan zeolit adalah jumlah air yang digunakan dan temperatur
curingnya. Proses curing untuk AIPs berlangsung di bawah 100oC sementara zeolit biasa
disintesis pada rentang 100-300oC (Rowles,2004).
Kuat tekan adalah salah satu sifat yang penting dimiliki oleh beton dan bahan
konstruksi sejenis untuk dapat menjalankan fungsinya. Uji kuat tekan adalah suatu uji yang
biasa dilakukan untuk mengetahui kuat tekan semen, 3-28 hari setelah proses hidrasi.
Faktor yang mempengaruhi kuat tekan semen adalah kualitas semen, perbandingan berat
air/semen, komposisi campuran, dan kepadatan.
Pada penggunaan AIPs faktor yang mempengaruhi kekuatan tekan dari beton AIPs
adalah rasio Si/Al, alkali aktivator, dan proses curing.
Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure)
Adalah pengujian yang dilakukan untuk mengamati apakah spesies logam atau
senyawa tertentu yang telah mengalami imobilisasi dapat terlarut kembali.
Palomo et all (1999) melakukan uji stabilitas AIPs berbahan metakaolin ketika
diekspos dengan air suling, air laut, natrium sulfat dan asam sulfat. Larutan-larutan itu
tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kekuatan dan mikrostruktur AIPs.
Salah satu logam berat yang banyak dihasilkan oleh limbah industri adalah
kromium. Cr(VI) dikenal sebagai bahan yang bersifat toksik (beracun). Pada penemuan
Cr(VI) sebesar 10 mg/kg berat badan telah menimbulkan nekrosis (kerusakan sebagian
sel/jaringan). Masukan krom ke dalam tubuh rata-rata sebesar 0,05 mg per hari dalam
makanan dan minuman. Sebagian sisa krom akan dikeluarkan dalam sistem
ekskresi.(Connel,1995). Paparan akut dari Cr (VI) dapat menyebabkan gangguan hidung,
diare, gangguan liver dan ginjal, dermatitis, dan problem pernafasan. Paparan Cr dalam
waktu lama dapat menyebabkan alergi, dermatitis, gatal kulit, iritasi membran hidung, dan
gangguan paru-paru.
Dengan meningkatnya penggunaan logam dalam berbagai produk industri,
kemungkinan interaksi manusia meningkat pula. Para peneliti bidang kimia dan
lingkungan selalu ebrusaha untuk memisahkan logam-logam ini dari interaksi langsung
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-81
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Pemanfaatan AIPs... Kun Sri Budiarti
dengan manusia. Pemisahan untuk mendapatkan air yang lebih bersih dilakukan dengan
metode fisika maupun kimia. Metode kimia yang digunakan antara lain pengendapan,
reduksi, absorbsi dan ekstraksi.
Sebagai contoh, ekstraksi dua tahap dengan membran dapat memisahkan logam
berat dari air limbah dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Budiasih (1998)
memisahkan Cr(VI) dari limbah elektroplating dengan membran cair emulsi dengan hasil
mencapai 97-98%. Membrane sejenis memisahkan Cr(III) dengan efiesiensi sekitar 75% (
Budiasih, 2005).
Sejumlah upaya dilakukan untuk mengakomodasi limbah cair yang mengandung
logam-logam berat ke dalam area yang membatasi mobilitas mereka (imobilisasi). Dalam
proses imobilisasi. limbah yang akan diamankan ditempatkan dalam suatu fasa padat
sehingga spesies yang dicurigai beracun dan atau berbahaya tidak dapat lagi beraktivitas.
Cara imobilisasi konvensional adalah dengan penimbunan (landfill), sementara cara
lainnya dalah pemadatan / solidifikasi dengan semen portland. Fasa padat ini sebgaian
juag telah diteliti untuk penggunaan sebagai bahan konstruksi seperti batako.
Pengelolaan limbah yang mengandung logam berat dengan cara immobilisasi ke
dalam proses pembentukan AIPs merupakan potensi untuk mengatasi melimpahnya limbah
yang mengandung Cr(VI). Beberapa studi telah melaporkan kinerja imobilisasi spesies
logam berat dalam AIPs, seperti terhadap kromium dan timbal (Palomo & Palacios, 2003).
Karakter AIPs sebagai material semen diuji antara lain melalui uji kuat tekan
(compressive strength). Aplikasi pada imobilisasi logam berat diuji dengan analisa TCLP.
AIPs diketahui mampu mengakomodasi air yang mengandung logam berat atau B3 ( metal
encapsulation). Kemampuan ini didasarkan pada keberadaan pori-pori yang terbentuk
diantara struktur tiga dimensi polimer aluminosilikat ini.
Palomo (2003) juga mempelajari pengaruh Cr dalam imobilisasi dengan semen
protland dan menemukan bahwa Cr tergabung menjadi Ca2CrO4. Imobilisasi dalam semen
menurunkan kuat tekan hingga 10 kali lebih kecil. Timbal dapat ditangkap secara baik di
dalam AIP. Penambahan Pb sampai 3,125% tidak mempengaruhi kekuatan matriks AIP.
FTIR tidak menunjukkan adanya ikatan yang menunjuk pada ikatan dengan Pb, sementara
difraktogram dari XRD menunjukkan adanya sedikit Pb3SiO5. Dari penelitian ini juga
dilaporkan bahwa ion logam bisa berinteraksi baik secara fisika maupun kimia di dalam
jaringan polimer AIPs.
Phair dan Vandeventer (2001) melakukan imobilisasi terhadap ion Pb dan
melibatkan uji TCLP. Sifat mekanik compressive strength diperoleh pada pemakaian alkali
aktivator campuran KOH/K-silikat. Efisiensi imobilisasi Pb terbaik pada penggunaan
aktivator NaOH/Na silikat.
Perera et all (200) melakukan imobilisasi Pb dengan AIPs yang disintesis dari
metakaolin. Uji TCLP menunjukkan bahwa konsentrasi Pb yang dilepaskan tak lebih dari 5
ppm, sehingga masih memenuhi aturan EPA untuk landfill di Amerika.
Shi dan Jimenez (2006) menguji aktivitas AIPs dibanding semen Portland untuk
imobilisasi limbah B3 dan radioaktif. Perlindian/ leaching pada AIPs selalu lebih rendah
daripada semen Portland. Sementara itu, penelitian terbaru dari Ayuso et all( 2007)
tentang AIPs berbahan fly ash menunjukkan sifat mekanik compressive strength dapat
mencapai sebesar 60 MPa. Kemampuan imobilisasi spesies beracun tergantung komposisi
Si/Al.
Kesimpulan
AIPs berpotensi menjadi material pilihan yang dapat menggantikan peran semen
portland atau Ordinary Portland Cement (OPC) yang selama ini menjadi material utama
dalam konstruksi dan solidifikasi limbah B3. AIPs juga berpotensi mengurangi polusi
akibat melimpahnya produk samping industri seperti fly ash.
Pembentukan AIPs dari bahan-bahan lokal yang murah dan bahkan berpotensi
sebagai limbah akan mendukung proses pengembangan material yang penuh manfaat dan
bersih. Dapat dikatakan bahwa AIPs adalah semen hijau, produk pengganti semen yang
lebih ramah lingkungan.
Daftar Pustaka
Archer, RD., 2001, Inorganic And Organometalic Polymers, John Willey And Sons,
Pub.,New York.
Ayusa et all, 2007, Environmental, Physical and structural Characterization of Geopolymer
Matrix from Combustion Fly ashes, J. hazard matter, Oct : 9, 18006153.
Barbosa, V.F.F, Mac Kenzie, K.J.D., & Thaumaturgo, C., 2000, Synthesis And
Characterization of materials Based on Inorganic Polymer of Alumina and Silica,
Sodium Polysialate Polymers, International Journal of Inorganic Material (
electronic), vol 2, no 4, pp.309-317.
Budiasih, K.S., 1998, Kinerja Membran Cair Emulsi TOPO dan TBP dalam Kerosen untuk
Pemisahan Cr (VI) dari Limbah Industri Elektroplating, tesis, Institut Teknologi
Bandung.
Budiasih, K.S., 2005, Pembuatan Membran Cair Emulsi W/O/W Untuk Pemisahan Cr
(III), DIPA FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Connel, D.W, Miller G.J, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI Press, Jakarta, 1995.
Damanhuri .H., 1994 : Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, ITB, Bandung.
Davidovits,J., 1989, Geopolymers and Geopolymeric Materials, Journal of Thermal
Analysis, vol. 35, no.2, p. 429-441.
Davidovits,J., 1991, Geopolymer : Inorganic Polymeric New Materials, Journal of Thermal
Analysis, vol. 37, p. 1633-1656..
Kriven W.M., Bell J.L., 2005, Effect of Alkali Choice on Geopolymer Properties,
University of Illinois at Urbana Champaign, Department of Materials Science and
Engineering , Urbana, IL, USA.
Kriven W.M., Bell J.L., Gordon, M., 2005, Microstructure and Microchemistry of Fully-
reacted Geopolymers and Geopolymer Matrix Composites, University of Illinois at
Urbana Champaign, Department of Materials Science and Engineering, Urbana, IL,
USA.
Leoindarto Y, dan Sanjaya, A., 2006, Komposisi Alkali Aktivator dan Fly Ash untuk Beton
Geopolimer Bermutu Tinggi, Skripsi, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Moore, JW: Inorganic Contaminant of Surface Water, Springer Verlag, New York, 1991.
Palomo A & M. Palacios , 2003, Alkali-Activated Cementitious Materials: Alternative
Matrices For The Immobilisation Of Hazardous Wastes Part II. Stabilisation Of
Chromium And Lead, Cement And Concrete Research , Vol.33, iss 2, Feb 2003,
289-295.
Perera, DS., Aly D., Vance ER., Mizumo, M., 2005: Immobilization of Pb in a
Geopolymer Matrix, J. Am. Ceramic. Soc., vol 88:9. p. 2586-2588.
Phair JW., dan van deeventer, J.S.J, (2001) Effect of silica activator pH on the Leaching
and Material characteristic of Waste based Inorganic Polymers, Minerals
Engineering, Vol 14: 3 , march 2001, p. 289-304.
Polymer Science Learning Center, 2005: Inorganic Polymer, Department of Polymer
Science, The University of Southern Mississippi, USA. (Diakses tanggal,
28/11/2006)
Purwaningsih, D., 2007, Pemanfaatan Hibrida Etilendiamino-Silika dari Abu Sekam Padi
sebagai Adsorben Cr(VI), tesis, FMIPA UGM.
Sindhunata, 2006: A Conceptual Model of Geopolymerisation thesis, Department of
Chemical and Biomolecular Engineering The University of Melbourne, Australia
Rowles, M.R., 2004, The Structural Nature of Aluminosilicate Inorganic Polymers: A
Macro to Nanoscale Study, thesis, Curtin University.
Abstrak
Limbah cair electroplating di Sentra Industri Kerajinan Perak Kotagede
mengandung anion klorida, bromida, iodida, sianida, tiosianat, oksalat, karbonat, nitrit,
nitrat, dan fosfat serta kation Ag+, Hg22+, Pb2+, Hg2+, Bi3+, Cu2+, Co2+, Al3+, Cr3+, Fe2+,
Mn2+, Ni2+, dan Zn2+ (Siti Marwati, dkk: 2007). Kadar Ag+, Pb2+, Cu2+, Ni2+ dan Zn2+
dalam limbah tersebut telah melebihi ambang batas baku mutu air limbah (0,1 ppm untuk
Ni2+) terutama kadar ion logam Ni2+ dan Zn2+ yang relatif tinggi (Andi Bastian, 2008;
Nasiatun, 2007; dan Siti Marwati, dkk, 2007). Berbagai upaya pengolahan limbah cair oleh
beberapa pengrajin perak di Kotagede antara lain secara netralisasi menggunakan kapur
dan pengendapan menggunakan tawas (Siti Marwati, 2007). Pembuangan limbah masih
menjadi permasalahan karena belum semua pengrajin melakukan pengolahan limbahnya
dan para pengrajin kesulitan untuk membuang endapan limbah yang terbentuk. Kajian ini
dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan merancang instalasi
pengolah limbah cair industri electroplating.
Berdasar karakter limbah cair dan beberapa hasil penelitian tentang eliminasi logam
dalam limbah cair, dirancang instalasi pengolah limbah cair industri electroplating.
Instalasi ini terdiri atas bak penampung limbah cair dan bak/ tabung kaca yang di dalamnya
disusun lapisan-lapisan material yang dapat menjerap/mengikat anion dan kation yang
terdapat di dalam limbah sehingga limbah hasil olahan bebas dari bahan kimia berbahaya.
Bahan penyusun lapisan berturutan dari bawah ke atas adalah (1) dacron, (2) arang aktif,
(3) resin penukar kation, (4) resin penukar anion, (5) ijuk, (6) pasir, dan (7) kerikil.
Diantara kedua lapisan diberi penyekat screen sablon. Arang aktif berfungsi menyerap bau,
zat warna, anion, kation, dan zat organik yang tidak diikat oleh resin penukar anion
maupun kation. Untuk mengikat ion logam Cu(II) dapat digunakan resin pengkelat ion
Cu(II) yaitu Dowex M4195 (William Ewing, etc:2003:1). Untuk mengikat ion logam
Ni(II) dapat digunakan resin Purolite NRW-100 (Ruey-Shin-Juang,2005:53-59). Screen
sablon berfungsi untuk menahan masa padat.
Kata kunci: limbah cair electroplating, pengolahan, instalasi
Pendahuluan
Kotagede merupakan Sentra Industri Kerajinan Perak di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Banyak usaha kecil yang mengolah logam melalui proses electroplating.
Electroplating atau penyepuhan merupakan salah satu proses pelapisan bahan padat
dengan lapisan logam menggunakan arus listrik searah melalui suatu larutan elektrolit.
Larutan elektrolit yang digunakan untuk electroplating logam biasanya diganti setiap dua
minggu untuk mempertahankan mutu dan kehalusan permukaan serta penampilannya.
Penggantian larutan ini menyebabkan biaya produksi tinggi dan limbah electroplating yang
dihasilkan semakin banyak. Larutan yang digunakan tersebut berupa bahan nimia beracun
dan berbahaya. Hal ini menyebabkan limbah yang dihasilkan berbahaya bagi kesehatan
manusia baik yang terlibat langsung dengan kegiatan industri maupun lingkungan
sekitarnya.
Usaha kerajinan perak ini dikelola secara konvensional dengan teknologi sangat
sederhana. Berdasarkan hasil penelitian Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota
Yogyakarta dan UGM tahun 2001 (Anonim:2004), dinyatakan bahwa wilayah Kotagede
terancam penyakit minamata karena terjadi pencemaran lingkungan yang kemungkinan
besar disebabkan oleh industri penyepuhan perak. Limbah cair electroplating di Sentra
Industri Kerajinan Perak Kotagede mengandung anion klorida, bromida, iodida, sianida,
tiosianat, oksalat, karbonat, nitrit, nitrat, dan fosfat serta kation Ag+, Hg22+, Pb2+, Hg2+,
Bi3+, Cu2+, Co2+, Al3+, Cr3+, Fe2+, Mn2+, Ni2+, dan Zn2+ (Siti Marwati, dkk: 2007). Kadar
Ag+, Pb2+, Cu2+, Ni2+ dan Zn2+ dalam limbah tersebut telah melebihi ambang batas baku
mutu air limbah (0,1 ppm untuk Ni2+) terutama kadar ion logam Ni2+ dan Zn2+ yang relatif
tinggi (Andi Bastian, 2008; Nasiatun, 2007; dan Siti Marwati, dkk, 2007).
Berbagai upaya pengolahan limbah cair industri electroplating telah dilakukan oleh
beberapa pengrajin perak di Kotagede namun hampir semua industri electroplating saat ini
belum memiliki peralatan pengolahan limbah yang memadai. Metode pengolahan yang
dilakukan oleh beberapa pengrajin antara lain secara netralisasi menggunakan kapur dan
pengendapan menggunakan tawas (Siti Marwati, 2007). Pembuangan limbah masih
menjadi permasalahan karena belum semua pengrajin melakukan pengolahan limbahnya
dan para pengrajin kesulitan untuk membuang endapan limbah yang terbentuk. Secara
umum, para pengrajin membuat septic tank untuk menampung limbah cair, ditambahkan
tawas sampai terbentuk endapan, kemudian cairan yang tersisa dibuang ke lingkungan.
Septic tank ini tidak kedap air sehingga dimungkinkan endapan akan merembes ke sumur-
sumur warga sekitar pengrajin. Selain itu, tidak semua logam mengendap dengan
pemberian tawas sehingga kemungkinan besar cairan yang dibuang ke lingkungan
mengandung logam berat. Oleh karena itu diperlukan pengolahan limbah cair secara lebih
baik dengan demikian diperlukan pula peralatan pengolah limbah yang baik.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan merancang
instalasi pengolah limbah cair industri electroplating.
Pembahasan
Karakter Limbah Cair Industri Electroplating
Limbah cair electroplating dapat berupa limbah cair asam dan air limbah yang
berasal dari pencucian, pembersihan dan proses electroplating. Air limbah mengandung
logam-logam terlarut, pelarut, dan senyawa organik maupun anorganik terlarut lainnya.
Efluen dari industri electroplating yang mungkin dapat terjadi dapat dilihat pada Tabel 1
(World Bank, 1998).
Tabel 1. Efluen dari Industri Electroplating
Jumlah Efluen Maksimum Satuan
Parameter
yang Diijinkan
pH 7-10 -
TSS 25 mg/L
Minyak dan lemak 10 mg/L
Arsen 0,1 mg/L
Kadmium 0,1 mg/L
Kromium heksavalen 0,1 mg/L
Kromium total 0,5 mg/L
Tembaga 0,5 mg/L
Timbal 0,2 mg/L
Merkuri 0,01 mg/L
Nikel 0,5 mg/L
Perak 0,5 mg/L
Secara umum karakater sifat fisika kimia limbah cair electroplating di Sentra Industri
Kerajinan Perak Kotagede menunjukkan adanya sifat fisika berupa bau dan warna yang
khas, pH antara 6-10 dan kandungan anion serta kation yang relatif tinggi. Kandungan
anion dan kation tersebut dipengaruhi oleh operasional poses electroplating yang
dilakukan oleh para pengrajin.
penelitian ini diperoleh eliminasi ion logam Ni2+ dengan efisiensi 100 % pada kondisi pH
4, berat adsorpsi > 10 g/L dan periode adsorpsi 4 jam.
Aslam, dkk(2004) melakukan penelitian tentang eliminasi ion logam Cu2+ dari
limbah industri dengan metode adsorpsi menggunakan bahan aktif. Dalam penelitian ini
menggunakan sampel limbah industri electroplating, adsorben berupa pasir, dan dilakukan
adsorsi terhadap ion logam Cu2+ pada variasi tinggi adsorben dalam kolom 0.6, 0.8 dan 1.0
m serta variasi kecepatan injeksi 0.25, 0.50, 0.75 dan 1.00 mL/jam. Analisis ion logam
Cu2+ sebelum dan sesudah adsorpsi dilakukan dengan AAS. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semakin tinggi adsorben dalam kolom dan kecepatan injeksi maka efisiensi
eliminasi ion logam Cu2+ makin baik.
Dalam artikel Khan, dkk, (2004) tentang eliminasi logam berat dalam air limbah
menggunakan limbah pertanian sebagai adsorben. Limbah pertanian tersebut berupa ampas
tebu, sekam padi, tempurung kelapa sawit, tempurung kelapa, sabut kelapa dll, untuk
mengolah logam berat dalam air limbah. Adsorben ini mempunyai potensi yang relatif
besar untuk pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat seperti Cr6+, Ni2+, Cu2+,
Zn2+ dan Pb2+. Proses adsorspi ini dipengaruhi oleh pH dan temperatur. Setiap ion logam
mempunyai kondisi adsopsi yang optimum pada pH dan temperatur tertentu.
Vasu A.E (2008) melakukan penelitian tentang adsopsi ion Ni2+, Cu2+ dan Fe3+ dari
larutan berair menggunakan karbon aktif. Dalam penelitian ini dilakukan variasi berat
adsorben, pH (variasi pH 0-8) dan waktu adsorpsi. Dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa semakin besar berat adsorben dan nilai pH maka efisiensi adsorpsi semakin besar
dan adsorpsi ketiga ion logam tersebut mengikuti orde reaksi psedo kedua.
Daftar Pustaka
Andi Bastian, 2008, Analisis Kadar Ion Logam Ag+ dalam Limbah Cair Electroplating
Menggunakan Spektroskopi Serapan Atom, Laporan Penelitian, Yogyakarta, FMIPA
UNY
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika dan sifat kimia limbah cair
electroplating. Identifikasi sifat fisika dilakukan dengan pengamatan secara visual dengan
panca indera oleh ketiga peneliti. Besarnya pH diukur dengan pH meter. Identifikasi anion
dan kation dilakukan dengan menambahkan pereaksi tertentu ke dalam limbah cair
kemudian diamati terjadinya reaksi kimia yang dinyatakan oleh terbentuknya gas, endapan
atau perubahan warna. Kadar CN-, SO42- dan Cr6+ ditentukan dengan menggunakan metode
spektrofotometri UV-Vis sedangkan kadar Pb2+, Cr total, Cu2+, Fe2+ dan Zn2+ ditentukan
dengan AAS(Atomic Absorption Spectrophotometry).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum limbah cair electroplating
berwarna hijau jernih dan berbau khas asam. Anion yang teridentifikasi secara umum Cl-,
CN-, CNS-, C2O42-, CO32-,NO2-, NO3-, PO43-, S2-, SO32- dan SO42-. Kation yang
teridentifikasi secara umum Ag+, Hg22+, Pb2+, Cu2+, Co2+, Al3+, Cr6+, Fe2+, Ni2+ dan Zn2+.
Pada Sampel I tidak teridentifikasi adanya Co2+, pada Sampel I dan III tidak teridentifikasi
adanya Hg22+, Fe2+ dan Zn2+ serta pada Sampel II dan III tidak teridentifikasi adanya Pb2+.
Kadar SO42- pada Sampel I-V berturut turut adalah 13,084 ppm, 5,860 ppm, 26,542 ppm,
12,913 ppm, 31,482 ppm. Kadar CN- pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,185 %,
1,590 %, 0,015 %, 5,074% dan 3,218 %. Kadar Pb2+ pada Sampel I-V berturut-turut adalah
0,273 ppm, 0,277 ppm, 0,276 ppm, 0,262 ppm dan 0,287 ppm. Kadar Fe2+ pada Sampel I-
V berturut-turut adalah 0,841 ppm, 0,928 ppm, 0,954 ppm, 4,337 ppm dan 1,110 ppm.
Kadar Cu2+ pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,754 ppm, 1,224 ppm, 1,472 ppm,
1,264 ppm dan 1,278 ppm. Kadar Cr total pada Sampel I-V berturut-turut adalah 1,639
ppm, 1,088 ppm, 1,381 ppm 2,130 ppm dan 1,994 ppm. Kadar Cr6+ pada Sampel I-V
berturut-turut adalah 0,059 ppm, 0,840 ppm, 0,032 ppm, 1701 ppm dan 0,659 ppm. Kadar
Zn2+ pada Sampel II, IV dan V berturut-turut adalah 0,088 ppm, 20,982 ppm dan 6,137
ppm, pada Sampel I dan III di bawah batas deteksi alat.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kehidupan masyarakat modern tidak dapat terlepas dari benda-benda yang dibuat
dengan proses electroplating. Benda-benda yang dilakukan dengan pengerjaan akhir
melalui poses electroplating antara lain komponen dan aksesoris kendaraan bermotor,
aksesoris mebel, kursi lipat, berbagai alat perkantoran, alat-alat pertanian, aksesoris rumah
tangga dan berbagai alat industri. Electroplating atau penyepuhan merupakan salah satu
proses pelapisan bahan padat dengan lapisan logam menggunakan arus listrik searah
melalui suatu larutan elektrolit.
Pada Sentra Industri Kerajinan Perak di Kotagede, Yogyakarta, banyak usaha kecil
yang mengolah bahan industri dan alat rumah tangga. Mereka melapisi produknya dengan
perak, krom, nikel, emas dan logam-logam lain melalui proses electroplating. Usaha ini
dikelola secara konvensional dengan teknologi sangat sederhana.
Proses electroplating menggunakan larutan elektrolit. Larutan yang digunakan untuk
electroplating biasanya diganti setiap dua minggu untuk mempertahankan mutu dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-91
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Karakterisasi Sifat... Siti Marwati, Regina Tutik P, Marfuatun
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dirumuskan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana sifat fisika limbah cair electroplating di Sentra Industri Kerajinan Perak
Kotagede?
2) Bagaimana sifat kimia limbah cair electroplating di Sentra Industri Kerajinan Perak
Kotagede?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan:
1) Mengetahui sifat fisika limbah cair electroplating di Sentra Industri Kerajinan Perak
Kotagede.
2) Mengetahui sifat kimia limbah cair electroplating di Sentra Industri Kerajinan Perak
Kotagede.
Manfaat Penelitian
1) Sebagai dasar penelitian lebih lanjut sehingga diperoleh metode pengolahan limbah
cair yang dapat diterapkan di Sentra Industri Kerajinan Perak Kotagede.
2) Menambah wawasan pengetahuan tentang karakter limbah cair khususnya limbah cair
electroplating.
Metode Penelitian
Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah limbah cair. Objek penelitian ini adalah karakter fisika
limbah cair electroplating dan karakter kimia limbah cair electroplating.
Analisis Data
Data hasil karakterisasi sifat fisika adalah warna dan bau. Data karakerisasi sifat
kimia adalah pH, kandungan logam, kandungan kation dan kandungan anion. Data
absorbansi larutan sampel diekstrapolasikan pada persamaan regresi linear kurva standar
sehingga diperoleh konsentrasi logam, konsentrasi kation dan konsentrasi anion dalam
sampel.
Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA
UNY. Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Hasil Pengukuran pH
No. Sampel pH
1. I 6,9
2. II 8,9
3. III 6,2
4. IV 10,6
5. V 9,6
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pH sampel yang bersifat asam adalah Sampel I
dan III. Jika dilihat dari sumber limbahnya, Sampel I merupakan air bekas cucian benda-
benda sebelum proses electroplating. Untuk mencuci benda-benda sebelum proses
electroplating biasanya ditambah sedikit HCl atau H2SO4 sehingga Sampel I bersifat
sedikit asam. Sampel III mempunyai pH yang paling rendah. Hal ini dimungkinkan karena
Sampel III diperoleh dari pengrajin yang melakukan proses electroplating perak, tembaga,
krom dan kuningan. Pada proses tersebut elektrolit yang digunakan biasanya ditambah
H2SO4 untuk memperbesar hantaran listrik. Pada Sampel II, IV dan V menunjukkan pH
cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan karena ketiga sampel tersebut merupakan air bekas
cucian benda-benda sesudah proses electroplating dan pada umumnya proses
electroplating dilakukan pada pH 11-13 kecuali pada proses electroplating tembaga asam
dan seng pada pH 4-5.
Identifikasi Anion
Identifikasi anion dilakukan dengan menambah pereaksi tertentu ke dalam sampel
limbah cair kemudian diamati terjadinya reaksi kimia yang dinyatakan oleh terbentuknya
gas, terbentuknya endapan atau perubahan warna. Identifikasi anion dilakukan di
Laboratorim Kimia Analitik FMIPA UNY. Hasil identifikasi anion dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Data Hasil Identifikasi Anion
Sampel
No Anion
I IIIII IV V
-
1. Cl
2. Br- - - - - -
-
3. I - - - - -
4. CN-
-
5. CNS
2-
6. C2O4
7. CO32- -
-
8. NO2
9. NO3- -
3-
10. PO4
11. S2- -
2-
12. SO3
2-
13. SO4
14. S2O82- - - - - -
Secara umum anion yang teridentifikasi pada semua sampel hampir sama kecuali
pada Sampel I ada sedikit perbedaan karena sumber Sampel I berasal dari air bekas cucian
benda-benda sebelum proses electroplating sedangkan sampel yang lain berasal dari air
bekas cucian benda-benda sesudah proses electroplating. Sumber anion tersebut berasal
dari bahan-bahan yang digunakan dalam proses electroplating yaitu bahan berupa asam,
basa maupun garam. Bahan-bahan asam yang sering digunakan adalah HCl, HNO3 dan
H3PO4. Bahan-bahan basa yang sering digunakan adalah KOH, NaOH dan NH4OH.
Bahan-bahan garam yang sering digunakan adalah garam-garam sianida, garam-garam
sulfat dan garam-garam karbonat.
Berdasarkan Tabel 4 terlihat adanya anion yang teridentifikasi walaupun secara
umum proses tidak menggunakan bahan-bahan sumber anion tersebut misalnya anion
oksalat. Hal ini disebabkan karena identifikasi anion dengan menambahkan pereaksi
tertentu ke dalam sampel limbah cair kemudian diamati terjadinya reaksi kimia yang
dinyatakan oleh terbentuknya gas, terbentuknya endapan atau perubahan warna terdapat
kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain sulitnya membedakan
endapan yang terbentuk karena kompleknya anion yang terdapat dalam sampel limbah.
Kadang-kadang endapan tidak terlihat karena kemungkinan belum mencapai titik jenuhnya
dan terbentuknya gas juga kurang terlihat.
Identifikasi Kation
Identifikasi kation dilakukan dengan menambah pereaksi tertentu ke dalam sampel
limbah cair kemudian diamati terjadinya reaksi kimia yang dinyatakan oleh terbentuknya
gas, terbentuknya endapan atau perubahan warna. Identifikasi kation dilakukan di
Laboratorim Kimia Analitik FMIPA UNY. Hasil identifikasi kation dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Data Hasil Identifikasi Kation
Sampel
No Kation
I II III IV V
+
1. Ag
2. Hg22+ - -
2+
3. Pb - -
4. Hg2+ - - - - -
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-96
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Karakterisasi Sifat... Siti Marwati, Regina Tutik P, Marfuatun
5. Bi3+ - - - - -
6. Cu2+
7. Co2+ -
8. Al3+
9. Cr6+
10. Fe2+ - -
11. Mn2+ - - - - -
12. Ni2+
13. Zn2+ - -
Secara umum kation yang teridentifikasi hampir sama karena bahan-bahan yang
digunakan untuk electroplating hampir sama. Pada Sampel I kation yang teridentifikasi
paling sedikit karena sumber limbah berasal dari air bekas cucian benda-benda sebelum
proses electroplating. Kation-kation yang teridentifikasi dimungkinkan berasal dari logam-
logam yang sedikit terlarut oleh sedikit asam yang terdapat pada air pencuci.
Pada Sampel II kation yang tidak teridentifikasi adalah Pb2+, Bi2+, Hg2+ dan Mn2+.
Tidak teridentifikasinya kation tersebut kemungkinan karena kecilnya kandungan kation-
kation tersebut sehingga belum sampai titik jenuhnya dan tidak terlihat adanya
pembentukan endapan.
Pada Sampel III, kation yang tidak teridentifikasi adalah Hg22+. Pb2+, Bi2+, Hg2+,
Mn , Fe2+ dan Zn2+. Pada sampel III ini tidak teridentifikasi merkuri (Hg) karena Sampel
2+
III ini diperoleh dari pengrajin yang tidak melakukan proses electroplating emas. Untuk
kation-kation lain yang tidak teridentifikasi kemungkinan karena kecilnya kandungan
kation-kation tersebut sehingga belum sampai titik jenuhnya dan tidak terlihat adanya
pembentukan endapan.
Pada Sampel IV dan Sampel V, kation yang teridentifikasi sama karena kedua sampel
tersebut berasal dari pengrajin yang sama. Perbedaan kedua sampel ini adalah Sampel IV
merupakan sampel limbah cair yang belum diolah sedangkan Sampel V merupakan sampel
yang sudah diolah. Kedua sampel ini pun teridentifikasi adanya merkuri karena proses
electroplating yang dilakukan adalah electroplating emas, perak, tembaga, krom dan
kuningan. Merkuri biasanya digunakan oleh pengrajin yang melakukan electroplating
emas.
yang terdiri dari senyawa karbonat dan fosfat serta ditambah detergen sintetik misalnya
natrium lauril sulfat (Purwanto dan Syamsul Huda, 2005). Penambahan detergen tersebut
untuk mempertinggi efisiensi pembersihan benda kerja dan pengemulsian kotoran dengan
cepat. Sumber yang lain dimungkinkan berasal dari adanya penambahan asam kuat teknis
ke dalam air pencuci misalnya H2SO4 untuk lapisan tipis oksida atau senyawa-senyawa
pengotor lain yang menempel pada benda kerja.
Pada Sampel II, kadar SO42- jauh lebih rendah daripada Sampel II. Hal ini karena
sumber SO42- pada Sampel II hanya berasal dari larutan elektrolit yang menempel pada
benda-benda sesudah proses electroplating.
Pada Sampel III, kadar SO42- cukup tinggi. Sumber SO42- tersebut berasal dari sisa
larutan elektrolit yang menempel pada benda-benda sesudah proses electroplating. Pada
proses electroplating tembaga, larutan elektrolitnya berisi komponen utama berupa CuSO4
dan H2SO4. Jika konsentrasi asam sulfat dalam larutan elektrolit rendah maka terjadi
polarisasi anoda sehingga konduktivitas larutan menjadi rendah terutama di sekitar katoda
sehingga kecepatan pelapisan menjadi rendah serta tidak merata. Konsentrasi H2SO4 yang
sering digunakan adalah 55-65 ppm. Oleh karena itu kadar SO42- pada Sampel III relatif
tinggi.
Pada Sampel IV dan V, sumber SO42- berasal dari sisa larutan elektrolit yang
digunakan untuk proses electroplating. Pada Sampel V, kadar SO42- paling tinggi diantara
sampel yang lain. Sampel V merupakan limbah cair yang telah diolah atau dengan kata lain
Sampel IV yang telah diolah. Para pengrajin biasanya mengolah limbah dengan metode
netralisasi berdasarkan harga pH yang terukur pada limbah tersebut (Beny Syaputra, 2007).
Jika ditinjau dari harga pH Sampel IV yaitu 10,6 sedangkan pH Sampel V 9,6 maka
kemungkinan sumber SO42- berasal dari proses pengolahannya. Jika limbah bersifat basa
maka dinetralkan dengan menambah asam seperti H2SO4 sehingga dapat mempertinggi
kadar SO42-.
Kadar CN- pada semua sampel sangat tinggi karena semua proses electroplating
menggunakan garam-garam sianida maupun sianida bebas. Sianida dalam proses
electroplating berfungsi untuk memperbesar konduktivitas dan mempercepat proses
pelapisan. Kadang-kadang bahan sianida digunakan sebagai pencuci benda-benda sebelum
proses electroplating khususnya untuk tembaga, perak, kuningan nikel dan lain-lain
kecuali besi. Pencucian dengan menggunakan bahan sianida dilakukan jika proses
electroplating menggunakan larutan garam-garam sianida. Pencucian dengan
menggunakan bahan sianida dilakukan untuk mencegah terbawanya sisa-sisa asam ke
dalam larutan elektrolit sehingga mengakibatkan kontaminasi.
Kadar sianida tertinggi terdapat pada Sampel IV dan kadar sianida terendah pada
Sampel III. Hal ini karena proses electroplating emas, perak, krom dan kuningan
menggunakan bahan sianida mulai dari proses pencucian sampai proses electroplating.
Pada proses electroplating tembaga senyawa yang lebih dominan dipakai adalah senyawa-
senyawa sulfat sehingga Sampel III mempunyai kadar CN- terendah diantara sampel yang
lain.
analisis kuantitatif logam dan kationnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan data penunjang
lainnya dapat dilihat di Lampiran.
Tabel 7. Data Hasil Analisis Kuantitatif Logam dan Kation
Konsentrasi (ppm)
No. Logam
I II III IV V
1. Pb 0,273 0,277 0,276 0,262 0,287
2. Fe 0,841 0,928 0,954 4,337 1,110
3. Cu 0,754 1,224 1,472 1,264 1,278
4. Cr Total 1,639 1,088 1,381 2,130 1,994
5. Zn ttd 0,088 ttd 20,982 6,137
6. Ion Cr6+ 0,059 0,840 0,032 1,701 0,659
ttd = tidak terdeteksi/di bawah limit deteksi alat.
Simpulan
- Karakter fisika limbah cair electroplating secara umum berwarna hijau jernih dan
berbau khas asam
- Anion yang teridentifikasi secara umum Cl-, CN-, CNS-, C2O42-, CO32-,NO2-, NO3-,
PO43-, S2-, SO32- dan SO42-.
- Kation yang teridentifikasi secara umum Ag+, Hg22+, Pb2+, Cu2+, Co2+, Al3+, Cr6+, Fe2+,
Ni2+ dan Zn2+. Pada Sampel I tidak teridentifikasi adanya Co2+, pada Sampel I dan III
tidak teridentifikasi adanya Hg22+, Fe2+ dan Zn2+ serta pada Sampel II dan III tidak
teridentifikasi adanya Pb2+.
- Kadar SO42- dalam Sampel I-V berturut turut adalah 13,084 ppm, 5,860 ppm, 26,542
ppm, 12,913 ppm, 31,482 ppm.
- Kadar CN- pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,185 %, 1,590 %, 0,015 %, 5,074%
dan 3,218 %.
- Kadar Pb2+ dalam Sampel I-V berturut-turut adalah 0,273 ppm, 0,277 ppm, 0,276 ppm,
0,262 ppm dan 0,287 ppm.
- Kadar Fe2+ pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,841 ppm, 0,928 ppm, 0,954 ppm,
4,337 ppm dan 1,110 ppm.
- Kadar Cu2+ pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,754 ppm, 1,224 ppm, 1,472 ppm,
1,264 ppm dan 1,278 ppm.
- Kadar Cr total pada Sampel I-V berturut-turut adalah 1,639 ppm, 1,088 ppm, 1,381
ppm 2,130 ppm dan 1,994 ppm.
- Kadar Cr6+ pada Sampel I-V berturut-turut adalah 0,059 ppm, 0,840 ppm, 0,032 ppm,
1701 ppm dan 0,659 ppm.
- Kadar Zn2+ pada Sampel II, IV dan V berturut-turut adalah 0,088 ppm, 20,982 ppm dan
6,137 ppm, pada Sampel I dan III di bawah batas deteksi alat.
Daftar Pustaka
Anonim. (2004). Kotagede Terancam Minamata. Suara Merdeka Terbit Tanggal 20
Oktober 2004
Anonim. (2004), Kawasan Kotagede DIY Tercemar Merkuri, Suara Pembaharuan Terbit
Tanggal 22 Oktober 2004
Bishop,P.L. (2001), Pollution Prevention: Fundamentals and Practice, McGraw-Hill,
Boston
Beny Syahputra. (2007). Pemanfaatan Algae Chlorella pyrenoidosa untuk Menurunkan
Tembaga (Cu) pada Industri Pelapisan Logam.
(http://bennysyah.edublogs.org/files/2007/04/jurnal-algae-1.doc). Diakses tanggal 6
Agustus 2007.
Maryeni, Y., (2007). Pengolahan Limbah Elektroplating Industri Kecil dengan Motode
Presipitasi sebagai Hidroksida Logam (Recovery dan Reuse Logam Kromium
Heksavalen). Thesis. Bandung: Teknik Lingkungan ITB.
Purwanto dan Syamsul Huda. (2005). Teknologi Industri Elektroplating. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Rukaesih Achmad. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi
Srikandi Fardiaz. (1998), Polusi Air dan Udara, Yogyakarta: Kanisius
Zhang Yi, et all. (1999), Recovery of Heavy Metals from Electroplating Sludge and
Stainless Ssteel Pickle WasteLliquid by Ammonia Leaching Method. Journal of
Environmental Sciences, Vol. 11, No. 3. Beijing
Siti Sulastri
Jurdik Kimia, FMIPA UNY
Abstrak
Kompleks adalah spesies yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih spesies yang
lebih sederhana dan masing masing mempunyai kemampuan yang tidak tergantung satu
sama lain. Apabila salah satu spesies sederhana tersebut adalah ion logam, maka yang
terbentuk adalah kompleks logam.
Pembahasan tentang kompleks logam dapat dikaitkan dengan masalah transisi
elektronik, yang dapat terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya dikenal sebagai transisi
ligand atau ligand charge transfer ( LCT) yang dapat memberikan puncak pada spektra
serapan , pancaran atau perpendaran, yang bersifat karakteristik dan tergantung pada jenis
ion logam dan jenis ligand..
Terjadinya spektra yang bersifat karakteristik pada suatu kompleks yang mengalami
LCT ini memungkinkan pengembangan langkah analisis baik kualitatif maupun kuantitatif
bagi kompleks logam tersebut.
Pendahuluan
Kompleks dapat didefinisikan sebagai suatu spesies yang terbentuk dari gabungan
dua atau lebih spesies yang lebih sederhana dan masing masing mempunyai kemampuan
yang tidak tergantung satu sama lain. Apabila salah satu spesies sederhana tersebut adalah
ion logam, maka yang terbentuk adalah kompleks logam. Logam yang merupakan pusat
struktur dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Pada pembentukan kompleks ini,
sebagian besar ion logam pusat menerima pasangan elektron dari spesies yang disebut
ligand. Namun demikian, kadang kadang juga ada ion logam yang menyumbangkan
elektron untuk pembentukan ikatan, dan yang terbentuk adalah ikatan . Klasifikasi ligand
sebagai pembentuk kompleks adalah sebagai berikut :Ligand monodentat,bidentat,
quadridentat dan seksadentat. Pada kompleks logam, ligand bidentat dapat membentuk
cincin dengan empat anggota, lima anggota, enam anggota, membentuk cincin melipat atau
dapat terikat dengan berbagai cara lain (Dwyer,1965;31)
Pada kompleks logam dapat terjadi perpindahan muatan dari tingkat energi dasar ke
tingkat energi tereksitasi. Proses inilah yang lazim disebut transisi elektronik. Berbagai
kemungkinan yang terjadi adalah : transisi dari orbital logam ke orbital logam dengan
tingkat energi yang lebih tinggi, dikenal sebagai transisi d d, transisi atau transfer muatan
dari ligand ke logam, transisi dari logam ke ligand dan transisi dari ligand ke ligand atau
dikenal sebagai transfer muatan ligand. Pembahasan selanjutnya terutama pada transfer
muatan ligand kompleks logam , dengan disertai uraian singkat tentang pembentukan
ikatan logam ligand dan kemungkinan adanya perubahan jenis transisi elektronik yang
terjadi.
Interaksi yang lain, yaitu interaksi ion dipole akan terjadi pada ikatan antara ion logam
dengan molekul ligand yang netral seperti NH3.
Pada ikatan kovalen, dapat terjadi ikatan , ikatan atau ikatan multisenter.
Pada pembentukan ikatan ada berbagai kemungkinan sifat ikatan yang terjadi, yaitu :
paling kovalent contoh : SF6 , kovalen campuran contoh PCl5, kovalen campur ionik
contoh HgCl2.2(py), kovalen sebagian Contoh Fe(H2O)62+ dan murni ionik contoh FeCl3 (
Dwyer, 1965;53)
Pada pembentukan ikatan ada dua kemungkinan, yaitu sebagai donor adalah ion
logam dan sebagai donor adalah ligand. Apabila sebagai donor adalah logam ikatan yang
mungkin terbentuk adalah p p contoh [IPy2]+ ClO4- , d p contoh Ni(CO)4 dan d
d contoh Ni(PF3)4 . Apabila sebagai donor adalah ligand ikatan yang mungkin
terbentuk adalah p p contoh Me2B NMe 2 (Dwyer, 1965;54).
Beberapa ligand mempunyai orbital dan * yang tingkat energinya dapat
dibandingkan dengan tingkat energi t2g dan eg* dari ion logam. Sebagai contoh adalah
kompleks Ru (II) dengan konfigurasi t2g6 dengan ligand bipyridin. Skema diagram energi
orbitalnya dapat dilihat pada gambar 1.( katakis, 1987;342)
Orbital dan * adalah berpusat pada ligand sedangkan orbital t2g dan eg adalah berpusat
pada ion logam. Transisi ke orbital yang masih kosong termasuk transisi muatan (t2g)6
(t2g)5(*)1 atau secara sederhana dituliis d * tidak akan terjadi pada Ru (II) atau
bipyridin bebas.Perpindahan muatannya merupakan perpindahan muatan dari logam ke
ligand (metal to ligand charge transfer atau MLCT ). Transisi jenis MLCT ini
melemahkan ikatan pada ligand dan memperkuat ikatan logam dengan ligand. Contoh
lain perpindahan muatan jenis ini terjadi pada kompleks Co(NH3)5Br2+.
langsung. Interaksinya terjadi secara tidak langsung melalui ion logam pusat Meskipun
demikian, perpindahan muatan semacam ini juga sudah dikenal, yaitu apabila dua ion pusat
logam dihubungkan dengan ligand akan terjadi transisi logam logam ( metal to metal
charge transfer MMTC ) yang barangkali dapat dipakai sebagai analogi. Tanpa adanya
partisipasi interaksi dari logam, perpindahan muatan ini memerlukan tersedianya ligand
sebagai donor dan aseptor yang tergabung baik secara elektrostatik atau secara kovalen.
Skema LLCT dan MMCT dapat dilihat pada gambar berikut :
Penggambaran tentang adanya LLCT dan ILCT dapat dianalogikan dengan suatu zwitter
ion. Suatu senyawa yang merupakan zwitter ion adalah molekul netral yang didalamnya
ada sisi bermuatan positif dan sisi bermuatan negatif yang letaknya terpisah. Seringkali
bagian yang bermuatan negatif diasosiasikan dengan HOMO sedangkan bagian yang
bermuatan positif diasosiasikan dengan LUMO. Pada dasarnya HOMO dan LUMO tidak
terpisah secara pasti , tetapi didalam molekul tersebut hanya terjadi delokalisasi saja. Oleh
karena itu, pada transisi HOMO LUMO hanya terjadi pergeseran muatan dan tidak
terjadi transisi elektron dari satu sisi molekul ke sisi molekul yang lain. Skema overlapping
donor aseptor pada orbital dan dapat dilihat pada gambar berikut ( Katakis,
1987;133)
Telah dikenal senyawa bifenil, yaitu suatu gugus senyawa yang terdiri dari
gabungan dua cincin benzena. Apabila secara isoelektronik kedua cincin benzena tersebut
diganti dengan anion siklopentadienil (Cp-) dan kation sikloheksatrienil ( Ch+) maka
terjadilah proses redoks asimetri. Proses ini terjadi karena Cp- bertindak sebagai donor
pada perpindahan muatan sedangkan Ch+ sebagai aseptornya. Hasil dari proses
perpindahan muatan ini adalah senyawa sesquifulvalene. Senyawa ini adalah isomer
bifenil yang mempunyai energi transisi perpindahan muatan yang rendah (max = 395 nm)
strukturnya sebagai berikut ( Vogler & Kunkeley, 2007;578)
Proses perpindahan muatan semacam ini juga dijumpai apabila cincin benzena pada
molekul [M(C6H4)2] digantikan secara isomerik oleh kombinasi anion Cp- dengan kation
Ch+ sehingga terjadi sndwich kompleks yang baru dengan rumus umum [M(Cp-)(Ch+)].
Perhitungan dengan teori orbital molekul juga menunjukkan adanya perpindahan muatan
dari Cp- ke Ch+ dengan energi yang relatif rendah.Transisi semacam ini sekarang
dinamakan LLCT ( ligand to ligand charge transfer ). Transisi ini sekarang masih belum
jelas karena tingkat energinya sama rendahnya dengan jenis transisi yang lain, yaitu
LFCT, MLCT maupun LMCT. Diagram transisi orbital molekulnya dapat dilihat pada
gambar 3 berikut ( Vogler& Kunkeley;2007;578)
Namun demikian, hal ini menjadi jelas oleh adanya ion pusat yang tertentu dan modifikasi
pada ligand. Spesies kompleks yang dimaksud adalah [Rh(Cp)(Ch)3+ yang memiliki
struktur sebagai berikut ( Vogler & Kunkeley,2007;578):
Spektra elektronik dari [Rh(Cp)(Ch)]3+ ini menunjukkan max pada 340 nm yang
menunjukkan transisi yang diperbolehkan oleh spin, yaitu Cp*- ke Ch+. Spektra
elektroniknya adalah sebagai berikut (Vogler & Kunkeley,2007;578)
Energi eksitasi paling rendah dari kompleks ini merupakan energi LLCT triplet yang
mempunyai pancaran atau emisi dengan harga max = 590 nm.
Beberapa contoh lain yang mengalami LLCT dapat disebutkan sebagai berikut :
1. senyawa (Cp- )(P Pr3+), terjadi LLCT antara anion Cp- - kation fosfonium dengan
max = 267 nm ( dalam n heksana ) dan max= 254 nm ( dalam metanol ). Adanya
gugus Ylida akan menyebabkan efek solvatokromism.
2. Senyawa (Cp-)(Py+), terjadi LLCT antara anion Cp- - kation Py+ dengan max =
511 nm
3. Kompleks [Zr(Cp)2(biq)]2+ mengalami LLCT antara Cp- - biq+ pada max = 518
nm dalam larutan dan max = 524 nm sebagai padatan.
4. [Cu ( katekolat)(bipy), terjadi LLCT pada max = 480 nm ( dalam DMSO)
Beberapa senyawa ternyata akan mengalami pergeseran pita LLCT kearah yang lebih
panjang apabila kemampuan aseptor ligand bertambah. Beberapa senyawa lain akan
mengalami pergeseran biru apabila polaritas pelarut yang dipakai bertambah besar.Gejala
ini disebut solvatokromism.
Suatu ligand mungkin secara simultan mengandung sisi donor dan sisi aseptor.
Apabila kedua sisi ini berinteraksi, terjadilah perpindahan muatan. Pada beberapa kasus,
interaksi ini terjadi dengan adanya mediator logam. Ligand sesquifulvalen adalah semacam
zwitter ion yang terdiri dari anion Cp- dan kation Ch+ bergabung membentuk ikatan
karbon karbon. Alternatif lain dari penggabungan tersebut adalah dengan terbentuknya
dua cincin yang berimpit seperti pada struktur berikut ( Vogler & Kunkeley,2007;581):
Struktur inilah yang disebut azulen. Bagian HOMO pada azulen ini terletak pada cincin
anggota lima sedangkan LUMO terletak pada cincin anggota tujuh. Dalam molekul azulen
itu sendiri terjadi interaksi HOMO LUMO. Interaksi semacam inilah yang disebut transisi
intraligand ( intraligand charge transfer disingkat ILCT ).
Interaksi HOMO LUMO pada azulen ini terjadi pada max = 580 nm, yang dapat
memberikan warna biru pada molekul azulen.
Bagaimana pada kompleks [Ir(COD)(azulen)]+. Pada spesies ini ternyata sebagai HOMO
adalah gabungan dari orbital d pada Ir dan orbital pada Cp- dan sebagai LUMO adalah
cincin anggota tujuh pada molekul azulen, sehingga dapat dikatakan bahwa transisi ini
melibatkan campuran MLCT dan ILCT pada max = 816 nm.
Transisi jenis ILCT ini, terjadi pada Ru(bipy)33+.Skema tingkat energi untuk Ru(bipy)33+
hampir mirip dengan Ru(bipy)32+ . Namun demikian pada Ru(bipy)33+ orbital yang terisi
letaknya lebih tinggi dari orbital t2g , sehingga transisi dengan energi paling rendah terjadi
pada transisi -* ,dimana kedua orbital ini berpusat pada ligand.
Beberapa contoh lain yang mengalami ILCT dapat disebutkan sebagai berikut :
1. kompleks kation (E) 1 ferrosenyl -2 ( 1 metil 4 piridiniumyl ) etilen, disingkat
[E fmpe]+.terjadi transisi MLCT antara FeII pyridinium pada max = 570 nm dan
ILCT antara Cp- - pyridinium pada max = 370 nm .
2. Kompleks quinolinato dan juga kompleks oksinato mengalami transisi ILCT pada
max sekitar 360 480 nm, tergantung pada ion logamnya. Beberapa kompleks
oksinat mengalami luminesensi.Kompleks Th oksinat juga mengalami transisi
ILCT.pada max absorpsi = 362 nm dan max fluoresensi = 510 nm dan max
fosforesensi pada = 775 nm.
Kompleks dengan struktur (3) mengalami absorpsi pada transisi intraligand dari terpyridyl
asetylida pada max dibawah 350 nm. Absorpsi dari hasil transisi mLCT antara d(Pt)
*( terpy) pada max sekitar 350 460 nm. Absorpsi pada max sekitar 460 700 nm terjadi
karena transisi LLCT subsitut amino pada ligand asetylida ke aseptor terpyridyl.
Penambahan HBF4 dalam asetonitril akan mengurang intensitas pita serapan pada max =
545 nm dibarengi dengan tumbuhnya pita serapan baru pada max = 420 nm. Pergeseran ini
terjadi karena adanya protonasi dari amino pada ligand asetylida. Spektra absorpsinya
identik dengan kompleks dengan struktur (5). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa telah
terjadi perubahan jenis trnsisi dari LLCT ke MLCT. Pada transisi ini, HOMO dari
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-106
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Transfer Muatan Ligand ... Siti Sulastri
asetylida menjadi lebih rendah. HOMO pada Pt juga turun, tetapi penurunannya jauh lebih
kecil. Sebagai hasilnya maka transisi LLCT dari gugus amino pada ligand asetylida ke
terpyridyl bergeser ke tingkat energi yang lebih tinggi dan transisi MLCT dari d(Pt) *
(terpy) merupakan transisi dengan energi paling rendah. Skema perubahan jenis transisi
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ( Han,dkk, 2007;1233)
Pada kompleks (3) ini juga terjadi peristiwa luminesensi .Pada penambahan asam (
dalam hal ini HBF4 dalam asetonitril ) intensitas emisi sebagai luminesensi akan
bertambah. Emisi ini berkaitan dengan transisi MLCT dari d(Pt) *(terpy). Emisi ini
terjadi karena adanya protonasi pada gugus amino oleh penambahan HBF4. Dapat
dikatakan bahwa karena peristiwa protonasi, MLCT mempunyai tingkat energi yang paling
rendah dan menunjukkan luminesensi. Perubahan absorpsi emisi untuk kompleks (3) ini
bersifat reversibel. Pada penambahan basa dengan konsentrasi yang makin tinggi (
misalnya trietilamina ) luminesensi makin padam dan tumbuhlah puncak absorpsi pada
max = 545 nm, yang terjadi karena transisi LLCT
Pengaruh asam dan basa pada perubahan tingkat energi ini juga terjadi pada
kompleks (4). Kompleks ini mempunyai pita serapan dengan max = 490 nm. Pita absorpsi
ini adalah hasil transisi ILCT dari orbital pada gugus fenil tersubstitusi amino ke orbital
* dari ikatan logam terpy yang kemungkinan juga bercampur dengan transisi MLCT dari
d(Pt) *terpy. Pita spektra absorpsi dan fluoresensi pada ligand 4 aminofenil terpy lebih
tinggi daripada ligand 4 fenil terpy. Pita absorpsi 4 fenil terpy dalam diklorometana terjadi
pada max = 278 nm, sedangkan pita absorpsi 4 fenilamino terpy terjadi pada max yang
lebih panjang 62 nm dari yang tidak tersubstitusi.Spektra fluoresensi untuk ligand 4 fenil
terpy dan 4 aminofenilterpy memunyai max pada 348 nm dan 469 nm. HOMO pada
molekul 4 fenil terpy ini pada Ph dan terpy sedangkan LUMO terletak pada * terpy. Jadi
energi paling rendah adalah pada transisi terpy *terpy. Pada 4 aminofenil terpy, HOMO
terletak pada Ph dan transisi intramolekuler terjadi pada Ph *terpy sebagai transisi ILCT
pada max = 524 nm ( dalam pelarut diklorometana ). max ini bergeser menjadi 490 nm jika
pelarutnya asetonitril. Peristiwa ini disebut negative solvatochromism.
Jika pada kompleks (4) ini ditambah HBF4 dalam asetonitril maka pita spektra pada 490
nm makin kecil dan akhirnya terjadi pita lebih kecil pada kisaran : 400 550 nm. Pita
serapan ini berasal dari transisi MLCT d(Pt) *terpy. Berdasarkan hasil observasi,
ternyata telah terjadi protonasi pada gugus amino ligand terpy. Oleh karena gugus amino
mengalami protonasi dengan adanya HBF4 maka tingkat energi Ph menurun pita transisi
ILCT Ph *terpy bergeser kearah tingkat energi yang lebih tinggi, dan kemudian transisi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-107
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Transfer Muatan Ligand ... Siti Sulastri
MLCT untuk d(Pt) *terpy menjadi transisi dengan energi paling rendah. Seperti pada
kompleks (3), dalam suasana netral kompleks (4) ini tidak mengalami emisi. Namun
demikian, pada suasana asam kompleks (4) mengalami emisi dari hasil transisi MLCT
pada max = 625 nm. Perubahan sifat absorpsi emisi ini bersifat reversibel. Pada
penambahan basa dalam larutan intensitas luminesensi makin padam dan kembali timbul
pita absorpsi dari transisi ILCT.
Perubahan jenis transisi juga terjadi pada kopleks (1) dan (2). Perubahan ini dari
transisi LLCT, ILCT dan MLCT. Perubahan terjadi karena pengaruh asam atau basa.
Kompleks (1) menunjukkan pita absorpsi dengan intensitas sedang pada kisaran : 350
700 nm, yang timbul dari transisi LLCT substitut amino dari ligand asetilida ke terpy
sebagai aseptor yang mungkin bercampur dengan transisi ILCT dari orbital pada fenil
tersubstitusi amino ke * terpy. Dan transisi MLCT dari d(Pt) * terpy . Pada
penambahan HBF4 absorbansi pada > 520 nm menurun, sedangkan pita absorpsi pada
445 520 nm menjadi makin tinggi. Apabila penambahan HBF4 telah mencapai jumlah
ekivalen, pita absorpsi yang berpusat pada 490 nm terjadi karena transisi ILCT. Dari
gugus fenil tersubstitusi amino * terpy. Pada kenyataannya tingkat kebasaan gugus
amino pada ligand asetilida berbeda dengan amino pada terpy.Pada penambahan sedikit
HBF4 maka gugus amino pada asetilida akan terprotonasi sedangkan pada terpy tidak.
Akibatnya kemampuan gugus asetilida sebagai donor elektron akan berkurang dan letak
HOMO dari ligand ini diturunkan. Di lain pihak, penambahan asam ini hanya kecil
pengaruhnya pada tingkat energi orbital * dari terpy dan orbital dari gugus fenil.
Akibatnya transisi LLCT dari ligand asetilida ke ligand terpy membutuhkan energi yang
lebih besar, dan transisi ILCT dari orbital Ph *Ph dalam ligand terpy memerlukan energi
yang paling rendah. Penambahan HBF4 lebih lanjut akan menurunkan pita absorpsi pada
490 nm dan menambah intensitas absorpsi pada kisaran 380 430 nm. Apabila sudah
tercapai keadaan ekivalen, maka pita absorpsi pada daerah 380 550 nm yang semula
intensitasnya rendah menjadi lebih tinggi sehingga tampak jelas. Pita absorpsi ini dari
transisi d(Pt) *terpy. Hal ini karena pada penambahan asam yang jumlahnya
mencukupi, gugus amino dari terpy juga ikut mengalami protonasi. Akibatnya HOMO dari
gugus fenil dalam terpy diturunkan dan energi paling rendah hdala untuk transisi MLCT.
Jadi dalam kasus ini terjadi perubahan transisi ILCT ke MLCT.
Perubahan transisi LLCT ke ILCT juga dapat disebabkan oleh ion logam. Proses
selanjutnya akan terjadi perubahan ILCT ke MLCT jira dipengaruhi asam. Peristiwa ini
terjadi pada komplek (2). Penambahan ion logam lkali tanah Mg(II), Ca(II), Sr(II), atau
Ba(II) akan berpengaruh pada spektra absorpsi kompleks tersebut dalam asetonitril.
Penambahan ion kalsium akan menurunkan intensitas pita absorpsi pada > 532 nm dan
secara monoton menambah intensitas absorpsi pada 453 532 nm. Gejala ini terjadi karena
adanya kompleksasi kation oleh azacrown eter yang terikat pada ligand asetilida. Proses
kompleksasi ini akan mengurangi kemampuan ligand sebagai donor. Akibatnya akan
menurunkan tingkat energi HOMO dari basa ligand asetilida. Oleh karena itu transisi
LLCT dari asetilida yang mengikat azacrown ke ligand terpy bergeser letaknya dan
memerlukan energi yang lebih besar. Transisi ILCT dari Ph ke *Ph menjadi transisi
dengan energi paling rendah.Penambahan HBF4 dalam asetonitril pada larutan yang
mengandung ion kalsium berlebihan akan mengurangi intensitas pita absorpsi karena
transisi ILCT pada 490 nm dan menambah intensitas pada pita absorpsi < 430 nm. Pita
absorpsi ini berasal dari transisi MLCT untuk d(Pt) * terpy. Jadi, penambahan HBF4
akan menaikkan intensitas absorpsi pada transisi MLCT dan menurunkan intensitas
absorpsi pada transisi ILCT.
Penutup
Kompleks logam dapat mengalami berbagai macam transisi elektronik, dan akan
memberikan gambaran spektra yang bersifat karakteristik. Kompleks dengan logam yang
sama akan mengalami jenis transisi yang berbeda apabila jenis ligand yang terikat berbeda.
Demikian juga apabila ligand yang sama terikat pada logam yang berbeda jenisnya ataupun
berbeda bilangan oksidasi logam yang terikat pada kompleks tersebut.
Berdasarkan kenyataan adanya spektra yang karakteristik untuk berbagai macam
transisi ini, maka dimungkinkan pengembangan langkah analisis kualitatif maupun
kuantitatif bagi kompleks logam tersebut.
Daftar Pustaka
Dwyer,F.P dan Mellor D.P ( 1965 ) Chelating Agent and Metal Chelat, New York ,
Academic Press
Dimitris Katakis dan Gilbert Gordon ( 1987 ), Mechanism of Inorganic Reaction, New
York, John Wiley
Arnd Volger dan Horst Kunkely ( 2007 ), Ligand to Ligand and Intraligand Charge
Transfer and Their Relation to Charge Transfer Interactions in Organic Zwitterions,
Coordination Chemistry Review, Elsevier
Xue Han, Li Zhu Wu, Gang Si, Jie Pan, Qing Zheng Yang, Li ping Zhang dan Chen Ho
Tung ( 2007), Switching between Ligand to Ligand Charge Transfer, Intralignd
Charge Transfer and Metal to Ligand Charge Transfer Exited States in Platinum (II)
Terpyridyl Acetylide Complexes Induced by pH Change and Metal Ions, Chem. Eur.
J. Vol 13., Interscence
Sri Handayani
Jurdik Kimia FMIPA UNY
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar asam lemak omega-3 pada setiap
variasi waktu, dan menentukan waktu reaksi yang memberikan hasil terbaik.
Analisis asam lemak omega-3 secara titrasi alkalimetri dilakukan dengan
mengoksidasi sempurna sampel minyak menggunakan oksidator kalium permanganat
dalam suasana asam. Reaksi oksidasi dibantu dengan katalis transfer fasa polisorbat.
Refluks dilakukan dengan variasi waktu 30, 60, 90,120 dan 150 menit, masing-masing
dilakukan secara triplo. Setelah refluks selesai, dinginkan dan disaring untuk memisahkan
paraffin dan endapan hasil reaksi samping. Gugus terminal omega-3 akan teroksidasi
membentuk asam propanoat yang dapat dipisahkan secara distilasi. Distilat dititrasi dengan
NaOH untk menentukan kadar asam propanoat yang selanjutnya digunakan untuk
menghitung kadar asam lemak omega-3.
Hasil penelitian menunjukkan kadar omega-3 rata-rata dalam setiap variasi waktu
reaksi berturut-turut adalah sebagai berikut : 20,44%, 25,48%, 21,16%, 21,68% dan
17,85%. Waktu reaksi yang memberikan hasil terbaik adalah 60 menit.
Pendahuluan
Pengetahuan yang maju dalam bidang Biokimia saat ini menyebutkan bahwa
penting tidaknya lemak bagi tubuh tergantung pada asam lemak - asam lemak
penyusunnya. Secara umum asam lemak tidak jenuh memiliki efek kesehatan yang lebih
baik dibanding asam lemak jenuh. Disamping itu kini dikenal asam lemak-asam lemak
esensial yang peranannya sangat vital bagi tubuh. Asam lemak esensial tersebut antara lain
asam lemak omega-3 PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) (Nurjanah, 2002). Asam lemak
omega-3 yang paling banyak pada ikan adalah EPA dan DHA yang dapat menyembuhkan
penyakit aterosklerosis (penyempitan dan pengerasan pembuluh darah) trombosis
(penggumpalan darah), hipertensi, beberapa tipe kanker (Nelson, 2001), antiinflamasi,
meningkatkan kekebalan tubuh (Simopoulos, 2002) dan menurunkan resiko kematian
mendadak serta resiko penyakit jantung koroner (Foody, 2003). DHA dan ARA (Asam
arakidonat) juga diketahui amat penting dalam perkembangan sistem saraf otak dan indra
penglihatan (Nurjanah, 2002).
Asam lemak omega-3 sangat penting bagi kesehatan, sehingga bahan-bahan
makanan yang banyak dikonsumsi perlu dianalisis kadar asam lemak omega-3 nya. Metode
analisis asam lemak omega-3 saat ini adalah dengan alat kromatografi gas (GC) atau
kromatografi gas - spektrometri massa (GC-MS) melalui proses transesterifikasi (Rubinson
dan Hilvert, 1997). Metode tersebut dapat menganalisis komposisi asam lemak pada suatu
sampel lemak dengan cukup akurat pada berbagai lemak. Kristianingrum dan Handayani
(2003) telah menggunakan metode ini untuk menganalisis asam lemak omega dalam
daging bekicot. Handayani (2003) menganalisis asam lemak pada minyak babi dengan
metode yang sama. Kelemahan dari metode tersebut adalah merupakan metode yang
mahal. Alat kromatografi gas - spektrometer massa adalah alat yang mahal dan biaya
operasionalnya juga mahal, ditambah dengan perlakuan transesterifikasi yang memerlukan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-110
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Optimasi Waktu Reaksi ... Sri Handayani
pereaksi yang relatif mahal. Interpretasi data dan perhitungannya relatif sulit dilakukan
oleh operator yang bukan ahli kimia. Analisis rutin asam lemak omega-3 menjadi tidak
efisien dengan metode gas kromatogrfi spektrometri massa, sehingga diperlukan metode
yang lebih sederhana yang dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan murah.
Analisis kadar asam lemak omega-3 dapat ditentukan dengan cara titrasi alkalimetri
terhadap asam propanoat hasil oksidasi dari kapsul omega-3. Dari hasil penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan, didapatkan hasil dengan reproducibility dan
repeatability yang cukup bagus (Handayani & Budimarwanti, 2005). Metode tersebut
masih perlu dikembangkan lagi dengan optimasi kondisi reaksi untuk menyempurnakan
reaksi sehingga metode tersebut dapat digunakan sebagai metode rutin. Salah satu
parameter yang perlu diperbaiki dari metode tersebut adalah waktu reaksi. Biasanya reaksi
organik membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dari reaksi yang lain. Analisis kadar
omega-3 ini sangat dipengaruhi oleh reaksi oksidasi alkena dalam trigliserida
menggunakan kalium permanganate. Oleh karena itu reaksi oksidasi harus berjalan
sempurna, sehigga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu dalam usulan
penelitian ini akan dilakukan variasi waktu reaksi oksidasi sampel trigliserida
menggunakan oksidator kalium permanganat dalam penentuan kadar omega-3.
CH3-CH2CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-
COOH Oksidasi
CH3-CH2COOH + 2 HOOC-CH2-COOH + HOOC-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-
CH2-COOH
Oksidator yang dapat digunakan pada oksidasi alkena untuk membentuk asam karboksilat
adalah KMnO4 panas pada suasana asam (Fessenden dan Fessenden, 1997). Dari reaksi
tersebut dapat dilihat bahwa produk asam propanoat adalah produk yang khas dihasilkan
dari asam lemak omega-3. Asam prapanoat memiliki titik didih 141oC (Fessenden dan
Fessenden, 1997), sedangkan produk reaksi lainnya merupakan senyawa dengan dua gugus
karboksilat yang bertitik didih tinggi sehingga dapat dipisahkan secara distilasi. Pemisahan
asam lemak rantai pendek dari suatu sampel minyak secara distilasi identik dengan metode
Reichert Meisel, yaitu metode untuk mentukan kadar asam butirat dan kaproat dalam suatu
produk minyak atau lemak seperti mentega atau margarin (Winarno, 2002).
Metode titrasi alkalimetri
Metode titrasi atau disebut juga titrimetri merupakan bagian utama dari kimia
analitik, perhitungannya didasarkan pada hubungan stoukhiometri sederhana dari reaksi-
reaksi kimia. Pada titrimetri molekul analit bereaksi dengan molekul pereaksi dalam titran
yang ditambahkan sedikit demi sedikit hingga ekivalen. Larutan titran merupaka larutan
standar yang konsentrasinya diketahui melalui standardisasi. Titik ekivalen diketahui
dengan suatu indikator melalui perubahan warnanya, diharapkan titik ekivalen sedekat
mungkin dengan perubahan warna (titik akhir). Pemilihan indikator merupakan aspek
penting dalam titrimetri untuk mendapatkan data yang tepat ( Day dan Underwood, 1990).
Titrasi yang melibatkan asam basa sangat penting dalam seluruh bidang kimia.
Titrasi asam basa didasarkan pada kesetimbangan asam basa pada suatu reaksi. Suatu
reaksi dapat diuji dapat tidaknya ditentukan secara titrasi melalui grafik titrasi. Grafik
titrasi adalah grafik hubungan pH (atau pOH) terhadap mililiter titran. Grafik juga
bermanfaat pada pemilihan indikator yang sesuai. Titik ekivalen akan ditunjukkan oleh
perubahan besar pH, sebagai contoh ditinjau reaksi antara asam lemah dengan basa kuat
yang akan mengalami titik ekivalen pada pH 8-10 ( Day dan Underwood, 1990).
Metode Penelitian
Alat-alat yang Digunakan :
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : neraca analitis, seperangkat
alat refluks, seperangkat alat distilasi, alat titrasi, dan alat-alat gelas lainnya
Bahan-bahan yang Digunakan :
Bahan-bahan yang digunakan adalah kapsul standar omega-3, sampel minyak ikan
yang mengandung asam lemak omega-3, parafin, kalium permanganat 10%, asam sulfat
10%, natrium hidroksida, asam oksalat, katalis transfer fasa polisorbat, asam propanoat,
Indikator pp, etanol, dan akuades.
Prosedur Kerja
Contoh minyak ditimbang teliti dimasukkan kedalam labu alas bulat dan ditambah
10 mL parafin, kemudian ditambah dengan larutan kalium permanganat-asam sulfat dalam
air. Agar dapat terjadi reaksi ditambahkan katalis transfer fasa polisorbat. Campuran
direfluks hingga terjadi reaksi oksidasi sempurna dengan variasi waktu reaksi selama 30,
60, 90, 120 dan 150 menit. Setelah refluks campuran didistilasi dengan menggunakan alat
distilasi sesuai dengan metode Reichert Meissel. Distilat dititrasi dengan larutan standar
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-112
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Optimasi Waktu Reaksi ... Sri Handayani
NaOH yang telah distandardisasi dengan asam oksalat. Faktor recovery ditentukan dengan
cara mendistilasi asam propanoat dengan jumlah yang telah diketahui pada kondisi distilasi
yang sama. Hasil yang diperoleh dititrasi dengan NaOH (a). Selanjutnya dilakukan juga
titrasi terhadap asam propanoat yang sama tetapi tanpa didistilasi (b). Faktor recovery
dihitung sebagai perbandingan a dan b. Kadar asam lemak omega-3 dihitung dengan rumus
berikut :
( Vtitrasi sampel ) x MNaOH x BM asam lemak 3
x 100 %
Berat sampel ( mg ) x Faktor re cov ery
30
25 25.48
17.85
15
10
0
0 50 100 150 200
Waktu Refluks (menit)
dan dititrasi dalam keadaan panas. Reaksi selanjutnya akan semakin cepat tanpa bantuan
pemanasan, karena produk reaksi Mn2+ bertindak sebagai katalisator reaksi berikutnya.
Waktu optimum yang diperoleh pada penelitian ini relatif cepat (60 menit), hal ini
berkaitan dengan cepatnya reaksi oksidasi kalium permanganat.
Waktu refluks diatas 60 menit menunjukkan penurunan kadar. Hal yang perlu
diperhatikan adalah tingkat perbedaan antar data. Meskipun antar data tersebut terlihat
berbeda, namun signifikansi perbedaannya perlu diuji. Masing-masing kondisi
menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok antar pengulangan, sehingga simpangan
bakunya cukup tinggi. Data dengan simpangan baku yang tinggi tersebut apabila
dibandingkan secara statistika tidak akan berbeda nyata. Sehingga walaupun terlihat
adanya penurunan kadar pada penambahan waktu refluks, hal tersebut tidaklah terlalu
signifikan.
Data analisis yang bervariasi pada setiap pengulangan terjadi karena matode
analisis melibatkan distilasi setelah tahap refluks. Tahap distilasi memungkinkan terjadinya
kesalahan percobaan yang menyebabkan terjadinya simpangan baku yang tinggi. Proses
distilasi merupakan tahap yang paling berpotensi menyebabkan nilai kesalahan analisis.
Hal tersebut disebabkan karena distilasi merupakan proses yang pengendaliannya sangat
relatif. Setiap alat akan menghasilkan proses pemisahan yang berbeda, tergantung pada
bentuk dan ukuran alat, panjang pendingin (kondensor), dan kecepatan alir air pendingin.
Analis yang melakukan percobaan juga memiliki persepsi yang berbeda pada penentuan
titik akhir distilasi. Titik akhir yang kurang tepat akan menyebabkan data yang diperoleh
tidak sesuai.
Usaha untuk meminimalisasi kesalahan pada distilasi telah dilakukan dengan
penggunaan faktor recovery. Faktor recovery diukur dengan cara mendistilasi asam
propanoat dengan jumlah yang telah diketahui pada kondisi distilasi yang sama. Hasil
distilasi yang diperoleh dititrasi dan dibandingkan dengan asam propanoat dalam jumlah
sama tanpa distilasi. Nilai perbedaan ini selanjutnya dijadikan faktor untuk mengkoreksi
hasil analisis. Faktor recovery harus ditentukan setiap menggunakan alat atau kondisi
operasi yang berbeda. Penelitian lebih lanjut untuk menstandarisasi proses distilasi masih
diperlukan untuk memperbaiki metode analisis. Standarisasi meliputi konstruksi alat,
kecepatan pemanasan, penentuan akhir distilasi dan lain-lain.
Simpulan
Berdasar hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Kadar omega-3 rata-
rata untuk variasi waktu reaksi selama 30, 60, 90, 120, dan 150 menit berturut-turut sebesar
20,4%, 25,48%, 21,16%, 21,68% dan 17,85. Waktu reaksi yang memberikan hasil terbaik
adalah 60 menit.
Daftar Pustaka
Day R A. Underwood A L. (1990), Analisa Kimia Kuantitatif (R. Soendoro.
Terjemahan). Jakarta: Erlangga
Duthie I F. Barlow S M. (1992). Dietary Lipid Exemplified by Fish Oils and Their
n-3 Fatty Acid. Food Sci. Technol. 6: 20-35
Fessenden R J. Fessenden J S. (1997). Dasar-dasar Kimia Organik (Sukmariah
dkk. Terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara
Foody J M. (2003). Omega-3 Fatty Acids Linked with Lower Sudden Death and
CHD Risk. Journal Watch Cardiology. January 1, 2003
Sudarmin
Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran kimia
berorientasi chemo-entrepreneurship (CEP) untuk meningkatkan penguasaan konsep dan
kemampuan generik sains bagi mahasiswa calon guru kimia. Kemampuan generik sains
yang dikembangkan pada penelitian ini meliputi kemampuan generik sains bahasa sim-
bolik, kesadaran tentang skala, inferensi logika, dan konsistensi logis. Penelitian ini meng-
gunakan metode Education Research and Development dan pada tahap validasi meng-
gunakan one group pretest-posttest design. Data dikumpulkan melalui tes penguasaan
konsep kimia, kemampuan generik sains, angket dan lembar observasi. Subjek penelitian
adalah 40 mahasiswa pendidikan kimia semester kedua di suatu Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) Negeri di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan
model pembelajaran kimia berorientasi CEP mampu meningkatkan penguasaan kemam-
puan generik sains calon guru kimia dengan taraf pencapaian cukup dan sedang. Pene-
rapan model pembelajaran juga mampu meningkatkan penguasan konsep kimia pada taraf
pencapain sedang. Keunggulan model pembelajaran yang diterapkan diantaranya adalah
mampu (a) meningkatkan penguasaan kemampuan generik sains dan konsep kimia, (b)
menuntut mahasiswa terlibat lebih aktif selama pembelajaran, dan (c) memanfaatkan
keunggulan buku teks dan komputer. Sehubungan hasil penelitian ini berpengaruh positif
terhadap proses dan hasil pembelajaran, disarankan penelitian lebih lanjut pada mata kuliah
bidang kimia lain.
Pendahuluan
Globalisasi ekonomi dan era informasi saat ini mendorong industri menggunakan
sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi yang handal dan memiliki jiwa entre-
preneurship (kewirausahaan) yang ditunjang oleh kemampuan berpikir yang baik.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan dari perguruan tinggi, ter-
masuk lulusan calon guru kimia yang memiliki jiwa kewirausahaan. Dalam kondisi
demikian calon guru kimia dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari
kerja sebagai guru semata, tetapi harus memiliki jiwa kewirausahaan, sehingga dengan
kemampuan kreativitas, inovasi, kepemimpinan, dan manajerial mampu mendayagunakan
pengetahuannya untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang
sosial, ekonomi, maupun dalam spektrum kehidupan yang lebih luas. Pembekalan jiwa
kewirausahaan bagi calon guru kimia adalah penting, karena pertumbuhan jumlah sekolah
tidak sebanding dengan jumlah lulusan dari Lembaga Pen-didikan Tenaga Kependidikan
(LPTK), sehingga menyebabkan jumlah lulusan LPTK banyak menganggur.
Hinduan (2003) menyatakan untuk berhasil dalam kehidupan nyata setelah lulus
pendidikan menengah maupun perguruan tinggi tidak tergantung ijazah semata, tetapi
harus memiliki kemampuan untuk memasarkan pengetahuan, memiliki jiwa entre-
preneurship, jujur, ulet, kreatif, serta berkemampuan merespon pasar. Hasil tracer lulusan
perguruan tinggi yang telah dilakukan Depdiknas menunjukkan jiwa kewirausahaan bagi
mahasiswa menempati urutan paling bawah dan lama waktu tunggu lulusan mendapat
pekerjaan yang sesuai bidang-bidang keahlian/ profesi 6 bulan hanya sekitar 20 %
(Sukamto, 2005). Oleh sebab itu kedepan, pendidikan tinggi seharusnya memberikan bekal
jiwa kewirausahaan selain penguasaan pengetahuan sesuai bidang ilmu.
Pada pembelajaran kimia dasar yang mampu membekali mahasiswa untuk me-
miliki jiwa wira usaha dan berkemampuan memanfaatkan media chemoentertainment
(CET), berarti pembelajaran kimia tersebut efektif (Supartono, 2006). Untuk itulah pada
penelitian ini akan dikembangkan suatu model pembelajaran kimia dasar yang berorientasi
chemo-entrepreneurship (CEP) untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasisa calon
guru kimia. Objek penelitiann ini adalah mata kuliah kimia dasar, karena kimia dasar
merupakan mata kuliah yang memiliki peran penting dalam memberi dasar-dasar kimia
yang diperlukan mahasiswa calon guru kimia untuk lebih menguasai konsep-konsep yang
diperlukan dalam perkuliahan mata kuliah kimia lain ataupun sebagai bekal mengajar
kimia di Sekolah Lanjutan kelak.
Pembelajaran kimia dasar yang berorientasi CEP merupakan suatu model pembe-
lajaran yang menekankan kegiatan proses belajar-mengajar yang dikaitkan objek nyata
sehingga selain menekankan penguasaan konsep, pendekatan ini memungkinkan ma-
hasiswa mempelajari proses pengolahan suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat dan
bernilai ekonomi (Supartono dkk, 2005). Keberhasilan penelitian ini diharapkan sebagai
contoh model pembelajaran mata kuliah kimia lain. Falchikov dan Dearing (2005)
menyatakan suatu jiwa kewirausahaan (entrepreneur) perlu didukung kemampuan berpikir
yang memadai. Pengertian kemampuan berpikir yang dimaksudkan disini adalah ke-
mampuan berpikir generik sains sebagai bentuk kemampuan dasar kerja ilmiah.
Kemampuan berpikir generik sains penting bagi seorang entrepreneur karena
kemampuan generik sains merupakan kemampuan dasar kognitif dan psikomotorik yang
bersifat fleksibel sebagai bekal untuk mempelajari suatu bidang studi tertentu atau bidang
studi lain; serta bermanfaat untuk memecahkan permasalahan kehidupan nyata dalam ke-
hidupan sehari-hari (Sudarmin, 2007). Jenis kemampuan generik sins meliputi kemam-
puan (a) pengamatan suatu fenomena alam atau proses produksi, baik pengamatan lang-
sung maupun tidak, (b) kemampuan memahami bahasa simbolik, seperti rumus struktur,
simbol atom atau tanda matematis dalam persamaan reaksi, (c) kesadaran tentang skala
baik dalam pengukuran maupun penimbangan, (d) kemampuan berpikir logika deduktif-
induktif melalui kegiatan berpikir secara inferensi logika, logical frame, konsistensi logis,
dan hukum sebab akibat; (e) kemampuan dalam membuat pemodelan dan abstraksi dari
fenomena alam, suatu proses industri, atau membantu menkronkritkan konsep abstrak
dalam pembelajaran kimia .
Berdasarkan analisis kemampuan generik sains dan pengetahuan kimia yang
diintegrasikan, maka pada implementasinya model pembelajaran kimia berorientasi CEP
berpegang pada prinsip pembelajaran sebagai berikut: (a) prinsp perkuliahan kimia ber-
pusat mahasiswa, (b) model perkuliahan yang akan diimplentasikan melalui kegiatan
perkuliahan di dalam kelas, praktikum di laboratorium kimia, laboratorium komputer dan
sumber belajar, kerja kelompok (proyek), dan kunjungan ke industri kecil/menengah, (c)
perkuliahannya berbantukan multimedia misalnya gambar, model molekul, media
interaktif (CD), media komputer, internet, dan media lain serta disesuaikan dengan pokok
bahasan dan berpegang pada prinsip pembelajaran yang menyenangkan dan menarik, serta
jauh dari kesan menakutkan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Education Research and Development dan pada
tahap validasi menggunakan one group pretest-posttest design. Subjek penelitian ini
adalah mahasiswa calon guru kimia pada suatu LPTK negeri di Semarang, yang
mengambil mata kuliah Kimia Dasar. Jumlah subjek penelitian adalah 40 mahasiswa
kependidikan. Pada pelaksanaan penelitian ini tidak terdapat kelas kontrol, sehingga
tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran dan pengalaman mahasiswa
calon guru kimia sebagai subjek penelitian mengenai pengembangan model pembelajaran
berorientasi CEP melalui pokok bahasan kimia dasar. Teknik pengumpulan data dila-
kukan setelah semua instrumen penelitian yang berupa tes penguasaan konsep, lembaran
tugas individu dan kelompok, lembar pedoman pengamatan untuk evaluasi kegiatan
praktikum kimia koloid berorientasi CEP, kuisioner untuk merespon kegiatan pembe-
lajaran kimia dasar berorientaasi CEP berlangsung.
Tabel 1 Skor Pretes dan Postes Penguasaan Konsep Kimia Dasar pada Subyek
Penelitian.
Pada tabel 2 diperlihatkan rerata skor postes tertinggi 76,78, rerata skor pretes
67,55; dan rerata N-gain 0,27 atau 27 %. Berdasarkan harga rerata N-gainnya, ditemukan
bahwa model yang dikembangkan telah mampu meningkatkan penguasaan konsep calon
guru kimia secara klasikal dengan kategori rendah (N-gain 0,27).
90
7 6.78
80
67 .55
70
60
50
Skor
40
27
30
20
9.23
10
0
P rete s P os te s G a in N - gai n
Hasil uji beda rerata pre tes dan postes dengan uji-t dengan asumsi data ber-
distribusi normal dan homogen menggunakan program SPSS versi 10.00 diperoleh harga
7,781 dengan derajad kebebasan (db) 39, sehingga diperoleh simpulan pembelajaran kimia
berorientasi CEP berpengaruh secara signifikan pada penguasaan konsep kimia dasar.
Hasil uji signifikansi dengan uji-t ini berarti terjadi penguasaan konsep yang lebih mantap
pada calon guru kimia setelah pembelajaran berorientasi CEP diterapkan.
Tabel 2 Rangkuman Sebaran Skor Pretes dan Postes Materi Pokok Kimia Dasar
Jumah Persentase
Arti Penilaian
No mahasiswa (%)
Skor
. Nilai
Pretes Postes Pretes Postes Arti Nilai
huruf
1. 86-100 1 3 2,5 7,5 A Sangat baik
2. 81-85 0 12 0 30,0 AB Lebih dari baik
3. 71-80 13 19 32,5 47,5 B Baik
4. 66-70 10 5 25 12,5 BC Lebih dari cukup
5. 61-65 8 0 20 0 C Cukup
6. 56-60 8 1 20 2,5 CD Kurang dari cukup
tarikannya. Tabel 4 merupakan hasil penilaian team peneliti terhadap produk makanan,
minuman, dan sabun sebagai bentuk produk kerja dari Chemo-entrepreneurship.
Tabel 4. Evaluasi Produk-Produk Kimia Berbasis Kimia Koloid
Indikator *) Skor
Nama Produk
No. War- Rasa Teks- Aro- Keter- rerata
Life Skill
na tur ma tarikan
01. Kerupuk 3 2 2 3 2 2,40
02. Saus Pisang 3 2 2 2 2 2,20
03. Es krim 2 2 2 3 2 2,20
04 Susu Kedelai 3 2 1 2 2 2,00
05 Dodol Salak Pondoh 2 2 2 2 2 2,00
06. Sabun Cair 3 - 2 3 2 2,50
07. Mayoines 2 2 2 3 2 2,20
08 Jelly Jeruk 2 2 2 2 2 2,00
Kemampuan
No. Generik Sains Materi sub pokok bahasan
9.00
8.08
7.06
8.00 6.65
6.13
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
BS KTS IL KL
tinggi, berabstraksi, dan menacri pola aturan suatu fenomena gejala alam umumnya
memiliki tingkat pencapain cenderung cukup dan rendah.
Daftar Pustaka
Bailey, P.T. (2001). Teaching Chemist to Communicate? Not my job. U.Chem Educ
.2001.580. [on line] tersedia: http // www. uea.uk/ che/ppds.[2 Juni 2004).
Brotosiswojo, B.S. (2001). Hakekat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Kimia di
Perguruan Tinggi. Jakarta: PAU-PPAI
Gall, M.D, and Borg, W.R. (1987). Educational Research for Education to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Hinduan. (2003). Meningkatkan Kualitas SDM Melalui Pendidikan IPA. Makalah utama
disajikan dalam seminar nasional tanggal 1-4 Agustus 2004 di UPI Bandung.
Liliasari..(2002). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif untuk Me-
ningkatkan Mutu Pendidikan Guru Kimia. Jurnal Penelitian Pendidikan, (2)1,2,
Oktober 2002: 45-54.
Mahaffy, P. (2004). The Future Shape of Chemistry Education. Chemistry Education:
Research and Practice, Vol.5, No. 3, pp 229-245.
Sudarmin. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Kimia Organik dan Keterampilan
Generik Sains Bagi Calon Guru Kimia. Disertasi S-3. SPs UPI Bandung.
Sukamto. (2005). Strategi dan Kebijakan Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik di
Perguruan Tinggi. Makalah Utama dalam Seminar Nasional tanggal 5 September di
UPI Bandung.
Woro Sumarni, dkk. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Berorientasi Chemo-
Entrepreneurship (CEP) dan Media Chemo-Eduitaintment Terintegrasi Keteram-
pilan Generik Sebagai Upaya Peningkatan Efektivitas Pembelajaran Kimia Dasar.
Laporan penelitian A-2. Unnes Semarang.
Abstrak
Gelombang konstruktivisme telah membawa pergeseran paradigma berfikir
mengenai proses belajar di kelas. Pergeseran ini juga membawa perubahan metode-metode
yang dikembangkan dalam proses belajar mengajar. Metode Belajar Berbasis Masalah
(Problem Based Learning PBL) dianggap sesuai dan mulai banyak dikembangkan.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam penerapan PBL adalah ketidakjelasan arah
dan kesulitan dalam proses pengorganisasian pemecahan masalah.Diagram V (Ve) telah
lama dikembangkan untuk memberikan alur inquiri pada proses pemecahan masalah.
Penggunaannya lebih banyak pada kerja laboratorium (praktikum) akan tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada kelas teori.
Potensi diagram V dalam memberikan jalur inquiri yang benar dapat dimanfaatkan
sebagai pengorganisasi pada penerapan PBL di kelas. Pemanfaatan ini dilakukan dengan
melihat kesesuaian antara langkah-langkah PBL dan komponen diagram V
Kata kunci: metode belajar, problem based learning, diagram V, pembelajaran sains,
konstruktivisme
Abstract
Constructivism wave has brought a paradigm shift in thinking about learning
process in the classroom. This shifted bring a change in methods developed in teaching
learning process. Problem Based Learning PBL has recognised as a learning approach or
method that is relevant with the new paradigm and is widely implemented.
The barriers faced on this implementation are unclear goals of the process and
difficulties on problem solving organizing process. V (Vee) diagram has been implemented
so long time to give inquiry guidance on the process of solving a problem. More of the
usage is on the laboratory activity but it can be conducted in a theoretical classroom.
Due to its advantage on giving the right inquiry path, V Diagram can be used as an
organizing tool on PBL implementation in the classroom. This usage is done as look at the
fitting between the steps of the PBL and V diagram components
Key words: learning method, problem based learning, V (vee) diagram, science learning,
and constructivism
Pendahuluan
Konstruktivisme dalam pembelajaran telah berkembang tidak hanya sebagai sebuah
filsafat tetapi juga psikologi, bahkan metode belajar (Matthews, 2000). Hal ini membawa
pergeseran paradigma berfikir pendidik tentang proses belajar dan mengajar, baik di kelas
maupun di luar kelas. Konstruktivisme semakin menyadarkan guru akan pentingnya peran
aktif siswa dalam proses belajarnya sendiri. Seiring dengan perubahan paradigma
pembelajaran ini, metode-metode pembelajaran yang mendukung peran aktif siswa terus
dikembangkan.
Salah satu metode yang dianggap mewakili proses konstruksi di kelas adalah
metode Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning PBL). Metode ini bukan
merupakan metode yang baru sama sekali tetapi telah lama dikembangkan terutama untuk
pelajaran sains (Ram, 1999; Kwan, 2000; Eng, 2000). PBL semakin gencar dikembangkan
setelah gelombang konstruktivisme semakin diterima di kalangan pendidik.
Penerapan PBL di kelas kadang tidak berjalan mulus sesuai dengan kehendak
pendidik/guru. Beberapa kendala mungkin dijumpai di kelas, apalagi dalam penerapannya
di negara-negara Asia. Mengapa? PBL pertama kali dikembangkan di negara dengan
budaya belajar yang demokratis, sehingga lebih dapat memberikan ruang yang luas pada
siswa untuk menjadi pusat bagi belajar mereka sendiri. Di negara-negara Asia (termasuk
Indonesia) hubungan guru murid masih sangat kaku dan formal. Guru terbiasa dengan
kelas yang dipenuhi dengan siswa yang tenang dan tidak aktif bertanya. Pada sisi lain
budaya Asia juga tidak toleran terhadap kesalahan sehingga siswa memilih untuk tidak
aktif di kelas karena takut salah. Padahal untuk menerapkan PBL di kelas dengan baik
diperlukan kelas yang aktif dan siswa yang berani mencoba (Eng, 2000).
Kendala lain yang mungkin dihadapi oleh guru dalam penerapan PBL adalah
organisasi atau skenario PBL itu sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses
PBL sering gagal karena kendala komunikasi, kurangnya pengalaman pendidik dalam
mengorganisasi kelas yang dinamis, ketidakmampuan siswa untuk bekerja dalam
kelompok, dan juga ketidakjelasan arah dan tujuan proses PBL (Ram, 1999; Kwan, 2000;
Eng, 2000).
Sebagaimana dijelaskan di atas, PBL dimaksudkan sebagai jembatan transisi proses
belajar dari terpusat pada guru menjadi terpusat pada murid. Pergeseran ini diharapkan
sehalus mungkin sehingga tidak terjadi shock pada murid. Persiapan dan
pengorganisasian pembelajaran yang matang menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan
PBL. Salah satu cara yang mengorganisasikan proses pemecahan masalah yang menarik
adalah dengan menggunakan diagram V. Diagram ini telah lama dikembangkan namun
belum dilihat potensinya sebagai pengorganisasi metode PBL di kelas.
Pembahasan
A. Mengapa Dimulai dengan Masalah?
Proses pendidikan yang baik tentu lebih menekankan pada mempersiapkan para
siswa untuk terjun ke tengah kehidupan mereka. Tujuannya lebih besar pada bagaimana
membentuk mereka menjadi calon calon penghuni dunia yang baik dari segi
pengetahuan, ketrampilan maupun sikap. Lebih khusus pada pendidikan sains selain
tujuannya adalah untuk mempersiapkan anak didik dalam memahami lingkungan
sekitarnya dan interaksi manusia dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut: Science education should help students understanding the biophysical
environment and human interaction with that environment. Shuch understanding should
lead to informed decisions concerning how humans treat their life-support system, the
biosphere( www.cotf.edu).
Kenyataan yang dijumpai di lapangan sangatlah berbeda dari tujuan tersebut.
Lembaga sekolah menjadi sebuah tempat untuk menyampaikan segunung konsep yang
harus ditelan siswa. Prosesnya sering steril dan jauh dari kenyataan alam yang dijumpai di
lapangan. Dengan proses ini siswa sering dihadapkan pada jurang yang lebar antara teori
dan kenyataan. Hasilnya siswa menganggap bahwa apa yang dipelajari di sekolah tidak
dapat diterapkan di kehidupannya atau malah tidak berguna dalam memecahkan masalah
yang mereka hadapi.
Reich (1993), menjelaskan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah lebih
dari sekedar mengakumulasikan pengetahuan dan aturan. Hal ini merupakan
pengembangan fleksibilitas, strategi kognitif yang membantu menganalisis situasi yang
tidak terantisipasi dan dengan struktur yang kacau untuk menghasilkan suatu pemecahan
yang lebih berarti. Keterampilan pemecahan masalah ini sering hilang dalam proses
pembelajaran. Memang dalam sekolah kita telah lama dikembangkan suatu metode
pemecahan masalah akan tetapi metode ini cenderung diterapkan untuk situasi spesifik
dengan parameter masalah yang telah jelas yang mengantarkan pada hasil yang diinginkan
dengan satu jawaban benar. Dengan proses ini siswa tidak cukup disiapkan saat mereka
memasuki masalah yang memerlukan proses transfer hasil bel-ajar mereka pada situasi
baru, dalam masyarakat diperlukan ketramplan pemecahan masalah yang berfungsi secara
efektif.
Masalah dalam kehidupan nyata jarang sejajar dengan masalah yang terstruktur
dengan baik. Kemampuan memecahkan masalah yang dikembangkan di sekolah selama ini
sangat sedikit meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan relevan yang diperlukan siswa
untuk berinteraksi dengan dunia di luar batas dinding kelas. Cara yang steril dari
lingkungan ini hanya mengajari mereka tentang pemecahan masalah bukan memecahkan
masalah. Pada dunia nyata, kita jarang mengulang dengan tepat langkah untuk
memecahkan masalah sehingga pemecahan masalah yang diajarkan di kelas tidak dapat
ditransfer dalam dunia nyata. Masalah yang sebenarnya dihadapi dalam dunia nyata sering
menunjukkan berbagai tujuan, konteks, isi, hal yang tidak diketahui yang bervariasi yang
berpengaruh pada pendekatan apa yang harus digunakan untuk setiap masalah ini. Agar
siswa dapat menjalani hidupnya dengan sukses, mereka harus terbiasa memecahkan
masalah yang tidak terstruktur yang merefleksikan hidup di luar kelas
(http://edweb.sdu.edu/).
Keadaan ini bukan tidak disadari dan dicarikan jalan keluarnya. Banyak pene-litian
yang mengarahkan pada proses pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dan
mendekatkan isi (konsep) pada dunia nyata. Salah satu strategi yang digunakan adalah
penerapan strategi belajar berbasis masalah (problem based learning = PBL). PBL, seperti
didefiniskan dalam http://edweb.sdu.edu/, merupakan suatu strategi untuk menampilkan
situasi dunia nyata yang signifikan, terkontekstual, dan memberikan sumber, bimbingan,
dan petunjuk pada pembelajar saat mereka mengembangkan isi pengetahuan dan
ketrampilan memecahkan masalah.
1. Kelebihan PBL
PBL memiliki kelebihan seperti dicantumkan dalam http://edweb.sdu.edu/, sebagai
berikut:
a. menekankan pengertian (pemahaman), bukan fakta
b. meningkatkan tanggung jawab pada belajar diri sendiri
c. mengembangkan pemahaman yang lebih tinggi danketrampilan yang lebih baik
d. meningkatkan ketrampilan interpersonal dan teamwork
e. meningkatkan sikap memotivasi diri
f. memberikan fasilitas hubungan antar siswa
g. meningkatkan taraf belajar
2. Kekurangan PBL
Disamping kelebihan, PBL memiliki beberapa kekurangan seperti dicantumkan dalam
http://edweb.sdu.edu/, antara lain:
a. memerlukan waktu yang lebih lama
b. peran siswa dalam proses belajar mereka sendiri sukar untuk diubah, karena mereka
terbiasa berorientasi pada materi pelajaran dan mengingat fakta, sehingga kemampuan
utnuk mempertanyakan sesuatu menajdi hilang
c. perubahan peran pengajar masih sukar dilakukan terutama pada saat pertama kali
diterapkan
d. kesulitan untuk memunculkan masalah
e. penilaian hasil belajar masih sukar dan tidak sesuai bila dilakukan dengan cara
tradisional
g. melakukan sharing apa yang ditemukan oleh setiap siswa dalam kelompok dan
mencoba untuk mengintegrasi pengetahuan yang diperoleh dalam penjelasan yang
komprehensif untuk fenomena atau kejadian yang diamati
Dua tahapan yang dikemukakan di atas hampir sama akan tetapi ada perbedaan
penekanan pada proses mengamati atau mengeksplorasi gejala atau peristiwa yang
menjadi objek belajarnya. Pendapat pertama lebih menekankan proses kelompok dalam
keseluruhan tahapan sedangkan pendapat yang terakhir lebih menekankan proses
individual dalam pengamatan dan baru kemudian hasil ini dicocokkan dengan
kelompoknya.
C. Mengapa Diagram V (Ve)?
Dinamakan diagram V karena diagram ini berbentuk huruf V (Novak & Gowin, 1984;
Passmore, 1998). Bentuk dan bagian-bagiannya dapat dilihat pada gambar 1.
KONSEP: regularitas pasti dari sebuah kejadian atau CATATAN: Hasil-hasil pengamatan yang
objek (atau catatan mengenai kejadian atau objek) diperoleh dan berbagai catatan tentang objek atau
yang dinyatakan dengan label kejadian yang diamati
Diagram V memiliki sisi konseptual (berfikir) dan sisi metodologis (bekerja). Kedua
sisi secara aktif saling berinteraksi selama penggunaan fokus atau pertanyaan (pertanyaan)
penelitian. Ujung V berisi kejadian atau objek yang diamati. Kedua sisi diagram V
menekankan dua aspek belajar sains yang saling bergantung, yaitu teori (thinking) dan
praktik (doing). Apa yang diketahui siswa pada saat itu akan menentukan kualitas dan
kuantitas pertanyaan yang mereka tanyakan. Sebaliknya jawaban yang dibuat untuk
pertanyaan mereka akan mempengaruhi apa yang mereka ketahui dengan mengubah,
menambahkan, membetulkan dan menata ulang pengetahuan mereka. (Roth & Bowen,
1993).
Alvarez (2004) menjelaskan bahwa sisi konseptual meliputi filosofi, teori, prinsip/
sistem konseptual (yang meliputi pengembangan peta konsep) dan konsep yang
kesemuanya berhubungan satu sama lain dan dengan kejadian dan atau objek pada sisi
metodologi dari diagram V. Sisi metodologi meliputi klaim nilai, klaim pengetahuan,
transformasi dan catatan atau rekaman.
Catatan (fakta) berupa catatan dari kejadian dan atau objek terdiri atas berbagai tipe
instrumen pengambilan data (misalnya, log entries, jurnal, teleskop yang otomatis atau
dilengkapi dengan kamera CD maupun yang tidak menggunakan video tape untuk
mengabadikan kejadian atau objek yang berhubungan, interview, catatan, pengukuran
waktu, panjang, berat, tinggi, temperatur, dokumen yang berhubugan dan sebagainya). Saat
merencanakan penyelidikan penelitian, akan sangat penting untuk berfikir tentang jenis
instrumen apa yang akan digunakan untuk mengumpulkan data. Data kemudian di
transformasi dalam bentuk yang terorganisasi seperti tabel, grafik, diagram alur, gambar,
dialog dan sebagainya. Hasil tabulasi ini akan memudahkan untuk membuat klaim
pengetahuan dan nilai.
Meskipun tidak ada cara yang pasti untuk membaca diagram V (dari kiri ke kanan
atau kanan ke kiri atau atas ke bawah atau dari manapun), sangat dianjurkan untuk
memulai dengan kejadian pada ujung V diikuti dengan pertanyaan fokus atau pertanyaan
penelitian. Alasannya adalah kejadian merupakan puncak dalam menentukan pertanyaan
fokus atau penelitian untuk sebuah inquiri dan subsekuen hubungan timbal balik dari unsur
konseptual dan metodologi Alvarez (2004). Untuk menunjukkan bahwa kedua sisi dalam
diagram V saling mempengaruhi, di tengah diagram V diletakkan tanda panah bolak-balik
Unsur-unsur seperti; sudut pandang dunia, filosofi, dan klaim nilai tidak harus selalu
ada, terutama untuk praktikum dasar. Penyajian diagram ini juga tidak harus sesuai dengan
format baku, siswa dapat mengembangkan kreativitas mereka dalam menyusun dan
mengembangkan unsur-unsur diagram V.
Diagram V, dengan melihat bagian-bagiannya, merepresentasikan teori
konstruktivisme dalam pemerolehan pengetahuan. Dengan mengikuti proses diagram V,
seseorang akan dengan tepat membangun struktur pengetahuannya. Diagram V, menurut
Passmore (1998) menghubungkan antara pengembangan atau penemuan pengetahuan dari
aktivitas prosedural yang dilakukan di laboratorium dan konsep-konsep dan ide teoritis
yang membimbing ke arah inkuiri ilmiah.
D. Diagram V (Ve) Sebagai Pengorganisasi Proses Pemecahan Masalah
Potensi diagram V sebagai pengorganisasi masalah dapat dilihat dari kesesuaian
antara langkah-langkah PBL dan proses melengkapi diagram V. Kesesuaian ini dapat
dilihat pada hal-hal berikut.
1. diawali dengan masalah. Dalam penerapan PBL di kelas, langkah awal yang
dilakukkan oleh guru adalah memberikan masalah. Masalah ini dapat diwujudkan
dalam bentuk kasus atau merupakan hasil diskusi di kelas. Diagram V juga dimulai
dengan masalah. Pada diagram V masalah ditempatkan pada bagian paling atas dan
disebut sebagai pertanyaan fokus.
2. langkah berikutnya dalam PBL adalah membuat daftar apa yang diketahui dan
mengembangkan masalah. Pada diagram V, mencari teori dan konsep yang
diperkirakan dapat mendukung ke arah jawaban pertanyaan merupakan sutau
kewajiban. Pencantuman teori dan konsep akan mengindikasikan apa yang telah
diketahui siswa. Hal ini juga mengacu pada ke arah mana masalah hendak dibawa
3. langkah selanjutnya dari PBL adalah membuat daftar tindakan yang mungkin
dilaksanakan, rekomendasi, pemecahan masalah dan hipotesis. Langkah ini searah
dengan langkah-langkah diagram V yaitu, membuat cara kerja, mengadakan
pengamatan, membuat catatan, mentransformasi catatan hingga membuat kesimpulan
yang berupa klaim pengetahuan dan klaim nilai
4. langkah terakhir pada PBL adalah mempresentasikan dan menguatkan pemecahan
masalah. Dalam kerja dengan diagram V, hasil yang berupa klaim pengetahuan dan
nilai dinegosiasikan atau didiskusikan di kelas agar mendapatkan pengetahuan dan
aplikasi pengetahuan yang benar.
Langkah-langkah pengorganisasian PBL dengan diagram V dalam pembelajaran sains
terutama yang melibatkan praktikum dapat dilakukan dengan melihat bagan berikut.
KONSEPTUAL/ TEORITIS METODOLOGIS
(thinking) (doing)
PERTANYAAN FOKUS:
TEORI: (Tuliskan teori teori yang dijadikan (Tuliskan tujuan kerja ini KLAIM PENGETAHUAN: (Tuliskan
sebagai landasan dalam kerja anda) dalam bentuk pertanyaan) kesimpulan yang dapat anda ambil dari
(3) (2) analisis data)
(8)
Kesimpulan
PBL merupakan metode yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
konstruktivisme. Penerapan PBL yang dimaksudkan bukan hanya menjelaskan langkah-
langkah baku dalam pemecahan masalah tapi bagaimana suatu masalah acak dipecahkan.
Dalam penerapannya, kendala ketidakjelasan arah pemecahan masalah kadang muncul.
Agar proses pemecahan masalah dapat tetap berjalan pada alur yang benar diperlukan
pengorganisasi yang sesuai pula. Dari penjelasan di atas diagram V dapat dijadikan sebagai
alat untuk mengorganisaikan kegiatan PBL di kelas terutama yang melibatkan praktikum.
Diagram ini dapat mengungkapkan apa yang sudah dimiliki praktikan sebelum melakukan
praktikum, apa yang mereka peroleh selama praktikum, apa yang dapat mereka lakukan
dengan data yang diperoleh, dan pengetahuan apa yang dapat disimpulkan dari proses
laboratorium. Hal ini sesuai dengan alur PBL
.
Daftar Pustaka
Alvarez, M.C. 2004. Teaching and learning. Diakses lewat:
http://explorers.tsuniv.edu/veeweb/
Eng, K.H. 2000. Can Asians do PBL?. CDTL Brief, August 2000, Vol 3 No.3. diakses
lewat http://www.cdtl.nus.edy.sg
http://edweb.sdu.edu/clrit/learningtree/PBL. What is PBL? (diakses 14 Mei 2004)
http://sll.stanford.edu/. PBL (diakses 14 Mei 2004)
http://www.cotf.edu. PBL (diakses 14 Mei 2004)
Kwan, C.Y. 2000. What is Problem Based Learning (PBL)? : It is magic, myth and
mindset. CDTL Brief, August 2000, Vol 3 No.3. diakses lewat
http://www.cdtl.nus.edy.sg
Novak, J.D, & Gowin D.B. 1984. Learning how to learn. Cambridge: Cambridge
University Press
Novak, J.D. 1998. Metacognitive strategies to learning how to learn. Research Matters to
The Science Teacher No.9802 (March, 1998). Diakses lewat:
http://www.educ.sfu.ca/narstsite/publications/research/
Ong, G. 2000. Is PBL suitable only for the health sciences curricula? CDTL Brief,
August 2000, Vol 3 No.3. diakses lewat http://www.cdtl.nus.edy.sg
Passmore, G.G. 1998. Using vee diagrams to facilitate meaningful learning and
misconception remediation in radiologic technologies laboratory education.
Radiologic Science and Education 4(1), 11 28. diakses lewat:
http://www.aers.org/V4N1PASSMORE.html
Ram, P. 1999. Problem-Based Learning in undergraduate education: A sophomore
chemistry laboratory. Journal of Chemical Education. 76(8): 1122 1126
Roth, W. M & Bowen, M. (1993, February). The unfolding vee. Science Scope, 16(5),28
32. diakses lewat: http://www.educ.uvic.ca/faculty/mroth/
Thiessen, R. 1993. The vee diagram: A guide for problem solving. Aims Newsletter.
May/June 1993.
Zhang, G. 2002. Using Problem Based Learning and Cooperative Group Learning in
teaching instrumental analysis. The China Papers, October 2002
Susila Kristianingrum
Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA, UNY
Abstrak
Pemberian perlakuan pada bahan akan berpengaruh pada perubahan karakter bahan
tersebut. Oleh karena itu dengan adanya perlakuan tertentu terhadap berbagai jenis tanah
kemungkinan juga akan membawa perubahan sifat tanah tersebut, yang diantaranya adalah
sifat adsorptif terhadap suatu bahan. Salah satu perlakuan yang dilakukan terhadap tanah
adalah proses perendaman tanah tersebut dalam asam.
Jenis tanah yang akan dikaji adalah tanah diatomae. Berdasarkan hasil beberapa
penelitian ternyata bahwa tanah diatomae tersebut mempunyai sifat adsorptif terhadap
berbagai ion logam berat. Pemberian berbagai macam perlakuan akan memberikan
pengaruh yang berbeda pada sifat adsorptif terhadap berbagai ion logam berat. Oleh karena
itu agar tanah diatomae dapat berfungsi sebagai penjerap secara optimal perlu diberikan
jenis perlakuan yang paling tepat. Hal inilah yang menjadi menarik untuk dikaji.
Berdasarkan kajian hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman tanah
diatomae dengan asam nitrat encer (2% v/v) memberikan efisiensi penjerapan (Ep) yang
optimal terhadap ion logam Cr(III), Cr(VI), Ni(II), dan Pb(II). Kenaikan harga Ep terhadap
ion kromium(VI) dari tanah diatomae juga makin besar seiring dengan naiknya konsentrasi
asam perklorat sebagai perendam. Makin tinggi suhu yang dipakai untuk pemanasan yang
mendahului proses perendaman, makin kecil kenaikan harga Epnya walaupun harga Epnya
masih lebih tinggi dari tanah diatomae asli (tanpa perlakuan). Kenyataan ini berlaku
apabila yang dipakai adalah asam perklorat dengan konsentrasi tinggi.
Kata kunci: tanah diatomae, sifat adsorptif, efisiensi penjerapan, ion logam berat
Pendahuluan
Tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi,
meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi
dengan lokasi yang lain. Air dan udara juga merupakan bagian dari tanah
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah).
Menurut Karlen, et.al. (1996) fungsi daripada tanah adalah:
1. Melestarikan aktivitas, diversitas, dan produktivitas biologis.
2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya.
3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik dan
organik yang meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari
atmosfer.
4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam boisfer.
5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis terkait
dengan pemukiman manusia.
Berbagai jenis tanah mempunyai sifat fisis dan sifat kimia yang berlainan satu
sama lain. Sifat-sifat ini tentu saja dipengaruhi oleh komposisi kimia dan lokasi
keberadaan tanah tersebut Pemberian perlakuan akan memberikan pengaruh yang berbeda,
tergantung pada karakteristik tanah asli. Sifat fisis dan sifat kimia ini tentu saja akan
berpengaruh pada sifat yang dikaitkan dengan pemanfaatannya, yaitu sifat adsorptif.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-133
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Kajian Sifat Adsorptif... Susila Kristianingrum
Salah satu jenis tanah yang akan dikaji adalah tanah diatomae.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ternyata bahwa tanah diatomae tersebut
mempunyai sifat adsorptif terhadap berbagai ion logam berat. Pemberian berbagai macam
perlakuan akan memberikan pengaruh yang berbeda pada sifat adsorptif terhadap berbagai
ion logam berat. Oleh karena itu agar tanah diatomae dapat berfungsi sebagai penjerap
secara optimal perlu diberikan jenis perlakuan yang paling tepat. Hal inilah yang menjadi
menarik untuk dikaji. Semakin berkembangnya industri-industri di Indonesia
mengakibatkan banyak didirikan pabrik-pabrik yang meskipun membawa hasil positif
terhadap perekonomian negara, tetapi juga mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan
dan manusia (http://id.wikipedia.org/wiki/kromium). Makalah ini akan memberikan
bahasan secara singkat tentang sifat adsorptif terhadap ion kromium, nikel, timbal,
tembaga, dan seng dari tanah diatomae yang telah diberi perlakuan dengan asam perklorat
maupun dengan asam nitrat.
Tanah Diatomae
Tanah diatomae merupakan salah satu bahan galian yang cukup melimpah di
wilayah Indonesia. Salah satu daerah yang tersusun dari tanah diatomae dalah wilayah
Sangiran, Sragen, Jawa Tengah. Tanah tersebut berasal dari hasil endapan kulit atau
kerangka mikroorganisme yang mengandung silika seperti alga bersel satu yang
terakumulasi membentuk endapan di dasar laut, air tawar, air danau atau payau. Diatomae
merupakan alga bersel satu yang sangat kecil, yang secara taksonomi termasuk dalam
filum Crysophyta dan kelas Bacillarophyceae.
Tanah diatomae dikenal dengan berbagai istilah seperti diatomit, kieselguhr, tripolit
atau tepung fosil (Johnstone & Johnstone, 1961) atau tanah serap (Hoeve, 1984). Menurut
Khan (1980) dinyatakan bahwa secara kimiawi komposisi utama tanah diatomae berupa
silika amorf yang kadarnya mencapai sekitar 55-70%, tergantung lingkungan setempat.
Kadar senyawa silika dalam tanah diatomae sangat bervariasi, demikian juga strukturnya.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh asalnya. Komponen tanah diatomae yang berhubungan
dengan sifat sebagai adsorben adalah silika, yang tentu saja berkaitan erat dengan struktur
senyawa silika tanah diatomae tersebut. Tanah diatomae sekarang digunakan untuk
berbagai hal, yaitu sebagai penyaring (filter), material pengisi, bahan isolasi, amplas atau
penggosok, bahan penjerap atau adsorben, katalis, sumber silika, bahan bangunan dan
campuran semen pozzolan. Di samping itu, tanah diatomae dapat pula digunakan sebagai
penyaring pada berbagai industri, seperti: gula, minyak mineral, jus buah, bir, anggur,
minyak tumbuhan, minyak binatang serta sabun cair.
Berbagai fungsi tersebut berhubungan dengan beberapa sifat penting, yaitu:
porositas, daya adsorpsi/daya jerap, ukuran partikel, serta konduktivitas. Polaritas
permukaan pada adsorben akan menentukan jenis zat yang akan teradsorpsi
(http//ias.vub.ac.be/General/Adsorption.htm).
Pemanfaatan tanah diatomae secara luas pada berbagai bidang maupun proses
pengolahan, dengan terlebih dahulu mengetahui keadaan dan sifat tanah diatomae tersebut
secara utuh. Sifat adsorptif suatu bahan dapat juga dinyatakan sebagai efisiensi adsorpsi
atau efisiensi penjerapan (Ep), yang merupakan rasio antara selisih konsentrasi awal ion
logam dalam larutan dengan konsentrasi ion logam dalam larutan setelah diberi perlakuan
adsorpsi terhadap konsentrasi awal ion logam dalam larutan.
Karakter tanah diatomae sebagai penjerap ion logam berat dinyatakan sebagai
efisiensi penjerapan. Karakter ini diperoleh dari hasil pengukuran konsentrasi larutan ion
logam sebelum dan sesudah dipakai untuk merendam tanah diatomae tersebut yang
dinyatakan sebagai efisiensi penjerapan dan dihitung dengan rumus:
Ep = (Ca-Ci) / Ca x 100 %
Ep = efisiensi penjerapan terhadap ion logam
Ca = konsentrasi ion logam mula-mula
Ci = konsentrasi ion logam setelah untuk merendam tanah diatomae
Konsentrasi larutan ion logam tersebut ditentukan secara spektroskopi serapan atom (SSA)
dengan tipe nyala udara-asetilena (Anonim, 1996).
10.0
1384.8
1433.0
%T
1631.7
5.0 920.0
3421.5 437.8
1035.7
0.0
4000.0 3000.0 2000.0 1500.0 1000.0 500.0
Tanah awal 1/cm
Berdasarkan spektra FTIR menunjukkan adanya gugus hidroksil (pita pada 3400-3700 cm-1
) pada tanah diatomae asli. Pita serapan pada daerah sekitar 1035,7 cm-1 muncul pada tanah
diatomae asli maupun yang sudah diberi perlakuan asam nitrat, pita ini menunjukkan
vibrasi ulur Si-O dari Si-O-Si.
15.0
15.0
%T
%T
10.0 10.0
1633.6 1633.6
5.0 5.0 692.4
3402.2
692.4 3402.2 920.0 786.9
920.0 786.9
1031.8 418.5 1033.8 418.5
0.0 0.0
4000.0 3000.0 2000.0 1500.0 1000.0 500.0 4000.0 3000.0 2000.0 1500.0 1000.0 500.0
HNO332,5% 1/cm HNO365% 1/cm
(a) (b)
Gambar 2. Spektra FTIR tanah diatomae setelah direndam dalam HNO3 32,50%(a)
HNO3 65%(b).
Penutup
Tanah diatomae mempunyai sifat adsorptif yang khas. Pemberian perlakuan akan
memberikan pengaruh yang berbeda, tergantung pada karakteristik tanah diatomae asli.
Oleh karena itu agar suatu tanah diatomae dapat berfungsi sebagai penjerap secara optimal
perlu diberikan jenis perlakuan yang paling tepat. Hal inilah yang selalu mengundang
untuk diadakannya berbagai penelitian di masa datang..
Daftar Pustaka
Anonim, (1996). Atomic Absorption Spectroscopy. Analytical Methods. USA: Perkin
Elmer Corporation.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-137
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Kajian Sifat Adsorptif... Susila Kristianingrum
Asep Marwan & Susila K. (2008). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Nitrat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Ni(II). Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Didi Feriawan & Susila K. (2007). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Perklorat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Zn(II). Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Euis Suprihatin & Susila K. (2008). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Nitrat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Timbal(II). Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Hany Fatu M & Susila K. (2008). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Nitrat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Kromium(VI). Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Hoeve, I.B. (1984). Ensiklopedi Indonesia. Volume 6.
http//ias.vub.ac.be/General/Adsorption.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/kromium. diakses tanggal 30 September 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah. Diakses tanggal 24 November 2007
Johnstone and Johnstone, M.G. (1961). Minerals for the Chemical and Applied
Industries. Edisi ke 2. New York: John Wiley & Sons.
Karlen, DL., MJ. Mausbach, JW. Doran, RG. Cline, RF. Harris, dan GE. Schuman
(1996). Soil Quality: Concept, Rationale and Research Needs. Soil. Sci. Am.J, 60:
33-43.
Khan. (1980). Pesticides in the Soil Environment. Amsterdam:Elsevier Scientific
Publishing Co.
Kurnia Ambarwati & Susila K. (2007). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Perklorat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Timbal. Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Nimah Choriyah & Susila K. (2008). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam
Nitrat Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Tembaga(II). Laporan
Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Siti Sulastri dan Susila K. (2003). Karakterisasi Tanah Diatomae dari Desa Sangiran dan
Hubungannya dengan Penjerapan Unsur Berbahaya dalam Bahan Lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Kimia. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Sutanto & Susila K. (2007). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam Perklorat
Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Cu(II). Laporan Penelitian.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
Tuti Rahmaida & Susila K. (2008). Pengaruh Variasi Konsentrasi Asam Nitrat Terhadap
Daya Jerap Ion Cr(III) Pada Tanah Diatomae. Laporan Penelitian. Yogyakarta:
FMIPA UNY.
Vetri Asih & Susila K. (2008). Pengaruh Penambahan Variasi Konsentrasi Asam Nitrat
Pada Daya Jerap Tanah Diatomae Terhadap Ion Zn(II). Laporan Penelitian.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
P. Yatiman
Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Penggunaan inhibitor kimia untuk pengendalian korosi telah didiskusikan.
Penggunaan inhibitor kimia masih merupakan alat pencegahan korosi yang paling praktis
dan murah, meskipun kemajuan dalam bahan tahan korosi terus berlangsung. Berdasarkan
reaksi elektrokimia yang terlibat dalam proses korosi, inhibitor dapat digolongkan sebagai
inhibitor anodik, katodik, pasivasi, campuran dan ohmik. Penggunaan bahan kimia untuk
menginhibisi korosi logam-logam tidak dapat dipungkiri lagi. Meskipun hasil-hasil yang
efektif sudah ada dalam penggunaan inhibitor pada banyak penerapan, praktik ini berada
dalam suatu keadaan perubahan. Inhibitor kimia yang berguna dalam satu lingkungan
(media) boleh jadi tidak berfungsi dalam lingkungan yang lain. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan mekanisme korosi yang berlangsung dalam lingkungan yang berbeda. Inhibitor
kimia yang dimanfaatkan hanya dapat dikembangkan secara efisien dari pemahaman yang
lebih besar tentang korosi dan mekanisme inhibisi.
Kata kunci: inhibitor kimia, pengendalian korosi, inhibitor anodik, katodik, pasivasi,
campuran dan ohmik, dan mekanisme inhibisi.
Abstract
The application of chemical inhibitors for corrosion control has been discussed.
The use of chemical inhibitors remains the most practical and cost effective means of
preventing corrosion, despite continuing advances in corrosion resistant materials. Based
on the electrochemical reactions involved in the corrosion process, inhibitors can be
classified as anodic, cathodic, passivating, mixed and ohmic inhibitors. The use of
chemicals to inhibit corrosion of metals in many environments is well established.
Although effective products are in use for many applications, this practice is in a state of
change. Chemical inhibitors that are useful in one environment (media) probably `do not
function in other environments. This is because of the difference in the corrosion
mechanisms operating in different environments. Improved chemical inhibitors can only be
developed efficiently from greater understanding of corrosion and inhibition mechanism.
Key words: chemical inhibitors, corrosion control, anodic, cathodic, passivating, mixed
and ohmic inhibitors, and inhibition mechanism.
Pendahuluan
Salah satu metode yang sangat penting untuk meminimalkan korosi dewasa ini
adalah penggunaan inhibitor kimia. Inhibitor kimia untuk pengendalian korosi digunakan
secara ekstensif dalam berbagai penggunaan dan banyak operasi pabrik bergantung pada
keberhasilan penggunaan inhibitor tersebut. Meskipun demikian, komposisi kimia dari
sebagian besar inhibitor korosi tidak merupakan pengetahuan yang umum dan biasanya
dipegang sebagai informasi yang diproteksi oleh perusahaan-perusahaan kimia. Literatur
teknik yang didistribusikan oleh perusahaan inhibitor tidak menjelaskan tentang metode
penggunaan inhibitor atau mekanisme proses inhibisi korosinya.
Secara umum inhibitor korosi didefinisikan sebagai suatu zat yang bila
ditambahkan pada konsentrasi yang kecil ke lingkungan yang korosif secara efektif
mengurangi laju korosi suatu logam yang dipaparkan dalam lingkungan tersebut
1. Inhibitor Anodik
Inhibitor anodik adalah inhibitor yang mempengaruhi secara langsung reaksi
anodik, yaitu proses pelarutan logam. Penambahan suatu inhibitor anodik pada sistem
korosi dapat menurunkan laju (yakni rapat arus pertukaran) proses anodik (I) atau
mempengaruhi mekanisme reaksi (II), yang mengakibatkan perubahan dalam kemiringan
(slope) Tafel (log j ) / E , sebagaimana dibandingkan dengan kemiringan Tafel dalam
larutan tanpa inhibitor. Dalam hal tersebut proses anodik dan katodik ditentukan oleh laju
reaksi yang dikendalikan aktivasi, hal ini menyebabkan pergeseran potensial korosi anodik
E co sistem tanpa inhibitor ke E cI (atau E cII ) dalam larutan yang mengandung inhibitor dan
penurunan rapat arus korosi dari j co ke j cI (atau j cII ).
Gambar 1. Diagram E log j yang menunjukkan pengaruh inhibitor anodik pada potensial
korosi E c dan rapat arus korosi j c untuk (a). proses katodik dikendalikan reaksi dan
(b). proses katodik dikendalikan difusi.
2. Inhibitor Katodik
Dengan cara yang sama, suatu inhibitor dapat mengganggu reaksi parsial katodik,
seperti ditunjukkan secara skematik pada diagram E log j dalam Gambar 2 (a). Dalam
hal ini, E c tergeser ke potensial lebih negatif, yang mengakibatkan rapat arus korosi j c
berkurang. Disamping itu, inhibitor dapat mempengaruhi laju (I) dan mekanisme (II)
proses katodik. Inhibitor katodik dapat juga efektif pada kondisi reaksi katodik yang
terkendali oleh difusi (Gambar 2 (b), dengan suatu penyeberangan yang menginduksi pada
kondisi reaksi yang terkendali (I) atau dengan pengurangan konsentrasi spesies pada
permukaan yang terlibat dalam reaksi ini (III), sebagai contoh dengan pembentukan
lapisan/film yang menghalangi perpindahan mereka pada permukaan.
Gambar 2. Diagram E log j untuk inhibitor katodik dalam hal (a). proses katodik
dikendalikan reaksi dan (b). proses katodik dikendalikan difusi.
3. Inhibitor Pasivasi
Beberapa inhibitor paling efektif mencegah/mengendalikan korosi dengan
peningkatan pasivasi permukaan logam, dengan pergeseran potensial korosi ke rentang
positif potensial pasivasi kritis E p . Untuk menginduksi pasivasi suatu permukaan aktif,
rapat arus korosi j c harus melebihi rapat arus kritis untuk pasivasi j crit . Hal ini dapat
dicapai dengan menaikkan j c melalui peningkatan laju reaksi katodik (Gambar 3 (a),
Kurva II) atau dengan menurunkan rapat arus kritis j crit . Hal yang pertama biasanya
menunjuk pada inhibitor yang secara mudah direduksi pada permukaan logam, yang
mengakibatkan kenaikan rapat arus katodik. Karena dalam tindakannya inhibitor ini adalah
mengoksidasi logam, maka inhibitor ini sering disebut inhibitor pengoksidasi. Sebaliknya
adalah inhibitor nonpengoksidasi, yang memerlukan adanya oksigen di dalam larutan
untuk mencapai inhibisi dalam larutan yang mendekati netral. Meskipun demikian,
sebagian besar inhibitor pasivasi (dan bahkan biasanya inhibitor pengoksidasi) pada
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA K-141
Yogyakarta, 30 Mei 2008
pokoknya termasuk pada mekanisme kedua, dalam mana proses anodik diinhibisi
(Turgoose, 1990). Pengaruh ini dapat disebabkan bahkan oleh inhibisi murni pelarutan
logam aktif, yang menyebabkan j crit cukup turun untuk menggeser potensial korosi anodik
E p (misalnya dalam rentang potensial pertumbuhan oksida pasif). Meskipun demikian,
inhibitor seringkali lebih terlibat secara langsung, yang mengakibatkan lapisan/film pasif
yang sangat berbeda dari lapisan/film yang terbentuk dalam larutan tanpa inhibitor dan
yang mengandung inhibitor atau produk reaksi yang terjadi oleh interaksi inhibitor dengan
permukaan logam yang terkorosi.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3 (a) efisiensi inhibitor pasivasi sangat
bergantung pada keberadaannya pada konsentrasi yang cukup (kritis). Di bawah
konsentrasi kritis (Kurva I) keadaan bistabil dapat meningkat, dalam mana potensial korosi
1
dapat berada dalam daerah pasif ( E cI ) atau daerah aktif E cI , yang secara umum
menghasilkan korosi sumuran (pitting corrosion). Karena masalah ini, yang bahkan dapat
menyebabkan kenaikan dalam arus korosi, inhibitor pengoksidasi sering disebut sebagai
berbahaya. Akhirnya, inhibitor pasivasi tidak hanya menginduksi pembentukan
lapisan/film pasif pada logam-logam aktif tetapi juga membantu untuk mempertahankan
pasivitas pada permukaan logam yang sudah terpasifkan, suatu sifat yang merupakan kunci
penting untuk penggunaan praktis. Hal ini dapat dirasionalisasikan dengan mekanisme
yang sama sebagaimana dikemukakan di atas, dengan inhibitor yang meningkatkan
repasivasi sisi-sisi aktif yang kecil. Dalam hal ini, bahkan inhibitor menutupi jauh di
bawah satu lapisan tunggal dapat menuju inhibisi yang efektif.
Gambar 3. Diagram E log j untuk inhibitor pasivasi dalam hal proses katodik
dikendalikan reaksi. Pasivasi dicapai (a). dengan peningkatan rapat arus katodik
dan (b). dengan penurunan rapat arus kritis untuk pasivasi.
Tabel 1. Beberapa contoh senyawa yang digunakan sebagai inhibitor korosi (Magnussen,
2003).
Kesimpulan
Penggunaan inhibitor kimia masih merupakan alat pencegahan/ pengendalian
korosi yang paling praktis dan murah, meskipun kemajuan dalam bahan tahan korosi terus
berlangsung. Berdasarkan reaksi elektrokimia yang terlibat dalam proses korosi, inhibitor
dapat digolongkan sebagai inhibitor anodik, katodik, pasivasi, campuran dan ohmik.
Inhibitor kimia yang berguna dalam satu lingkungan/media boleh jadi tidak
berfungsi dalam lingkungan yang lain, misalnya inhibitor yang berguna dalam larutan
asam tidak dapat berfungsi secara efektif dalam larutan netral. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan mekanisme korosi yang berlangsung dalam lingkungan yang satu dengan
lingkungan yang lainnya. Inhibitor kimia yang dimanfaatkan hanya dapat dikembangkan
secara efisien dari pemahaman yang lebih besar tentang korosi dan mekanisme inhibisi.
Daftar Pustaka
Bentiss, F., Lagrenee, M., Traisnel, M and Hornez, J.C. (1999). The Corrosion Inhibition
of Mild Steel in Acidic Media by a New Triazole Derivative. Corros. Sci. 41. 789
803.
Kuznetsov, Y.I. (1996). Organic Inhibitors of Corrosion of Metals. New York: Plenum
Press.
Lorenz, W.J and Mansfield, F. (1988). Corrosion Inhibition. Dalam R.H. Hausler (Ed.).
International Corrosion Conference Series. Houston, Texas: NACE.
Lorenz, W.J and Mansfield, F. (1987). Corrosion Mechanisms. New York: Marcel Dekker.
Magnussen, O.M. (2003). Corrosion Protection by Inhibition. Dalam A.J. Bard, M.
Stratmann & G.S. Frankel (Ed.). Encyclopedia of Electrochemistry, Volume 4:
Corrosion and Oxide Films. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmBH & Co.