You are on page 1of 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat


pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena
merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima
tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan
dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak
lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi
pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman.
Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh
pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang
vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih
(obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga
dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan
dan perilaku keluarga dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat
rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan
dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals
(MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa
tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi
pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs
adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan
menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (indikator kelima).4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari
5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan,
tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.1
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi
NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target
pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk
NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum
melampaui target nasional 2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010,
dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011).
Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 prevalensi
gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.

2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1

3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta :


Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

You might also like