You are on page 1of 357

PANDUAN LAYANAN KLINIS

DOKTER SPESIALIS

I
DERMATOLOGI

SK
DAN
VENEREOLOGI
R DO
PE

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA


(PERDOSKI)
Tahun 2014
I
SK
PAND
DUAN LAYANAN KLINIS
K
D
DOKTE
ER SPEESIALIIS
DO
DERMATOLOGGI DAN VENE
EREOLOGI
R
PE

Perhimp
punan Do
okter Speesialis Ku
ulit dan Kelamin
K In
ndonesia
a
(P
PERDOSK KI)
T
Tahun 2014

i
I
P
PANDUAN LAYANAN KLINIS
DOKTER SPESIA
ALIS DER
RMATOLOG
GI DAN VEENEREOLO
OGI
PERDOSKI

SK
P
PANDUAN LAYANAN KLINIS
DOKTER SPESIA Ta
ahun 2014 GI DAN VE
ALIS DER
RMATOLOG ENEREOLO
OGI
PERDOSKI
Ta
ahun 2014
Tim Penyusun dan Ed ditor
DR.Dr. Aida Suriadire edja, Sp.KK(K), FINSDV, FAAD DV
Prof. Dr. Theresia L. To oruan, Sp.KK(K K), FINSDV, FAA ADV
Dr. Sandra Widaty y, Sp.KK(K),
Tim Penyusun dan Ed FIN
NSDV,
ditor FAADV
Dr. M.
M Aida
DR.DR.Dr. Yulianto Listy
Suriadireyawan,
edja, Sp.KK(K),
Sp.KK(K), FINSDV,
FINSDV, FA
FAADAADV
DV
Dr.Dr.
Prof. A Theresia
Agnes Sri Siswa ati,
L. To Sp.KK(K),
oruan, FK), FINSDV,
FINSDV,
Sp.KK(K FAADVVADV
FAA
DR. Med. Dr. Retno o Danarti, Sp.K
Dr. Sandra Widatyy, Sp.KK(K), FIN KK(K), FINSDV
NSDV, FAADV
DR. DR. D Yulianto
Dr.
Dr. M.
M Cita Rosita SP
Listy Sp.KK(K),
yawan, Sp.KK(FK), FINSDV,
FINSDV, FAADV VAADV
FA
Sri Dr. Nati, Sp.KK(K),
Nopriyati, Sp.KKK
DO
Dr. Agnes
A Siswa F
FINSDV, FAADV V
DR. Med. Dr. Retno o Danarti, Sp.KKK(K), FINSDV
DR. Dr.
D Cita Rosita SP Sp.KK(K), FINSDV,
F FAADV V
Dr. Sekretaris
S
N
Nopriyati, Sp.KKK
Dr. Benny Nelson

S
Sekretaris
K Benny Nelson
Kontributor
Dr.
Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual
K
Kelomp pok Studi Herp pes
K
Kelompok StudKontributor
Ki Dermatosis Akibat
A Kerja
K Kelompok
Kelompok StudStudi
Si Infeksi
Morbus
Menu Hlar Seksual
Hansen
Kelompok Stu
Kelomp udi
pokImuno Derpes
Studi Herp matologi
K
KelompokKelomp
Studpok Studi Psoria
i Dermatosis Aasis Kerja
Akibat
Kelompok
KelompokStudi
SStudi
S Dematom
Morbusmikologi
H
Hansen
Kellompok StudiStu
Dudi Imuno Der
Dermatologi Annak Indonesia
R

Kelompok matologi
Kelommpok Studi Der
Kelomp rmatologi
pok Kosmmetik
Studi Psoriaasis Indonesia a
Kelom
mpokKelompok
Studi Tummor
S dan
Studi Bedahmikologi
Dematom Kulit Indonesia
Kel
Kelompok
lompokStudi
StudiDermatologi
DDermatologi
D Las
Anser Indonesia
nak Indonesia
PmpokPakar
Para
Kelom StudiDerm
Der matologi
rmatologidan
KosmVmetik Indonesia
Venereologi a
Kelommpok Studi Tum mor dan Bedah Kulit Indonesia
Kelompok Studi Dermatologi
D Lasser Indonesia
Seekretariat:
PE

P
Para Pakar Derm matologi dan Venereologi
V
PPP PERDOSKI

Ruko Grand Salemba


Seekretariat: a
Jala
an Salemba I No
o. 22, Jakarta 10430, Indonesia
PP
P PERDOSKI

Ruko Grand Salemba a


Jala
an Salemba I No
o. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PE
ERHIMPUNA
AN DOKTER SPESIALIS KULIT
K DAN KELAMIN
K IND
DONESIA (PERDOSKI)
JAKKARTA 2014

PE
ERHIMPUNA
AN DOKTER SPESIALIS KULIT
K DAN KELAMIN
K IND
DONESIA (PERDOSKI)
JAKKARTA 2014

ii
Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia
Para Pakar Dermatologi dan Venereologi

Sekretariat:
PP PERDOSKI
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat 10430
Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta
Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

I
SK
DISCLAIMER

- PLK PERDOSKI disusun berdasarkan asupan dari para pakar


Dermatologi dan Venereologi serta Kelompok Studi terkait
- Buku PLK dimaksudkan untuk penatalaksanaan pasien sehingga tidak
berisi informasi lengkap tentang penyakit atau kondisi kesehatan
tertentu
- Buku PLK ini digunakan untuk pedoman penatalaksanaan pasien
DO
- Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim
penyusun PLK
- Pemilihan tatalaksana agar disesuaikan dengan kompetensi & legalitas
obat terkait
R

ISBN : 978-602-98468-4-3
PE

iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb,
Undang-Undang Republik Indonesia no. 29 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat 1 menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.

I
Sehubungan dengan hal tersebut, PERDOSKI menerbitkan Panduan Layanan Klinis
(PLK) tahun 2014 ini yang merupakan revisi dari Panduan Pelayanan Medik PERDOSKI
tahun 2011.

SK
Tim penyusun buku ini terdiri atas anggota PERDOSKI yang berasal dari beberapa cabang dan
juga bekerja di institusi pendidikan. Setelah selesai merevisi, bahan diberikan kepada
Kelompok Studi (KS) dan atau peer group (bila tidak ada KS-nya) untuk lebih disempurnakan.
Terakhir bahan dikembalikan kepada tim penyusun untuk editing.

Penyakit dan tindakan pada PLK ini mengacu pada dermatologi non infeksi, dermatologi
infeksi, genodermatosis, dermato-alergo-imunologi, dermatologi kosmetik termasuk laser,
tumor dan bedah kulit, venereologi (infeksi menular seksual) dan kedaruratan kulit. Umumnya
penyakit maupun tindakan tersebut telah diperoleh pada waktu pendidikan dokter spesialis
sebagaimana telah tertera dalam Standar Kompetensi Kolegium Dermatologi dan Venereologi
DO
Indonesia. Adapun ketrampilan tindakan yang memerlukan sertifikat kualifikasi tambahan dari
Kolegium adalah tindakan yang belum pernah diperoleh sewaktu menjadi peserta program
pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau didapat dalam pelatihan lintas disiplin ilmu lain.

Dengan selesainya buku ini, ucapan terima kasih pertama-tama dihaturkan kepada Ketua
Umum dan Ketua Bidang II PP PERDOSKI tahun 2011-2014 atas kepercayaannya
menunjuk Tim Penyusun. Selanjutnya penghargaan yang tinggi diberikan kepada seluruh
anggota Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga buku ini dapat terwujud. Tidak lupa
terima kasih sebesar-besarnya ditujukan kepada Kelompok Studi dan para pakar (peer
group) yang telah ikut menyempurnakan isi buku ini. Last but not least terima kasih
sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. Benny Nelson sebagai sekretaris yang telah
berupaya semaksimal mungkin hingga akhirnya buku ini selesai.
R

Walaupun telah berusaha keras namun tidak ada gading yang tidak retak. Karena itu pada
kesempatan ini disampaikan juga permohonan apabila ada kesalahan. Mohon agar
koreksi dan asupan dapat diberikan langsung kepada PP PERDOSKI.
Akhirnya diharapkan agar PLK ini dapat menjadi panduan dan membantu para dokter
PE

spesialis dermatologi dan venereologi dalam melakukan pelayanan kedokteran. Dengan


demikian tercapai pelayanan yang optimal kepada seluruh rakyat Indonesia terutama
pelayanan kesehatan dermatologi dan venereologi.

Jakarta, Agustus 2014


Atas nama Tim Penyusun

DR.Dr. Aida SD Suriadiredja, Sp.KK(K)


FINSDV, FAADV

iv
iv
SAMBUTAN
KETUA UMUM PP PERDOSKI
2011-2014

Sejawat terhormat,

I
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku
panduan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Panduan Layanan Klinis ini (PLK) adalah

SK
revisi dari buku Panduan Pelayanan Medis (PPM) yang telah dimiliki dan digunakan oleh
PERDOSKI sebelumnya.

Sesuai dengan kebutuhan dan arahan Kementerian Kesehatan bahwa diperlukan


Panduan dalam melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara
nasional mulai dari layanan tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan
sesuai dengan keilmuan yang berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk
pencapaian service excellent.

Panduan ini direncanakan akan dapat diakses secara online oleh seluruh anggota
PERDOSKI. Buku ini adalah rangkaian buku yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN DOKTER
SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA, mulai dari standar kewenangan medik
DO
dan clinical pathway, serta standar profesi. Didahului oleh pembentukan Pokja, yang terdiri
dari utusan anggota dari berbagai daerah, dilanjutkan dengan pertemuan yang intensif
dari seluruh bidang terkait dipandu oleh bidang Pendidikan dan Profesi PERDOSKI, serta
asupan dari seluruh kelompok studi terkait, maka makin sempurnalah panduan ini.

Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya
oleh seluruh anggota dalam melaksanakan layanan dengan target peningkatan
kesehatan nasional di bidang kesehatan kulit dan kelamin.

Tak ada pekerjaan yang sempurna, masih diperlukan asupan dari teman sejawat sekalian
terhadap panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah
R

yang spesifik, dan kami sangat terbuka untuk hal tersebut.

Manfaatkan panduan ini dengan baik dalam membantu teman sejawat melaksanakan
layanan.
PE

Jakarta, Agustus 2014


Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK


FINSDV, FAADV

v
v
Sambutan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin
Kolegium Dermatologi dan Venereologi

Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan dalam derajat yang
optimal dan peningkatan derajat kesehatannya harus segera diupayakan, pernyataan ini

I
tertera dalam UUD 1945 pasal 28. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah
perundangan dan peraturan untuk memfasilitasi terciptanya amanah UUD 1945 tersebut,
antara lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

SK
yang menyatakan perlunya Standar Pelayanan Medis. Standar ini menjadi pedoman yang
dirancang oleh profesi agar para dokter yang berkepentingan dapat menjalankan pelayanan
kesehatan secara baku, aman dan bermanfaat optimal bagi masyarakat luas. Dengan
semangat kesehatan adalah hak seluruh rakyat indonesia dan merujuk Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka
diperlukan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan sebagai standar yang digunakan di seluruh
pusat pelayanan kesehatan tingkat satu, dua dan tiga.
Kolegium Dermatologi dan Venereologi merupakan badan pengampu ilmu yang selalu
mencari pembaharuan dalam bidang penatalaksanaan penyakit dan gangguan estetis
untuk meraih kesehatan serta kesempurnaan penampilan kulit dan kelamin. Semua jenis
DO
pelayanan kesehatan kulit dan kelamin ini dituangkan dalam standar kompetensi yang
selalu dinilai kembali dan direvisi secara berkala. Penentuan kompetensi spesialis ini
mendapat asupan dari profesi melalui kelompok studi dan dalam pendidikan dokter
spesialis dermatologi dan venereologi dituang dalam bentuk modul penatalaksanaan
gangguan kesehatan kulit dan kelamin. Penetapan jenis dan modul layanan medis
tersebut harus merujuk pada pelayanan berbasis bukti (evidence based medicine) yang
berasal dari pakar-pakar dalam dan luar negeri yang berkecimpung di dunia dermatologi
dan venereologi khususnya, dan ilmu kedokteran umumnya. Saat ini Standar Kompetensi
Dermatologi dan Venereologi tahun 2014 telah tersusun, dan pedoman ini menjadi titik
tolak penentuan jenis layanan yang harus dikuasai dokter spesialis dermatologi dan
venereologi.
Standar kompetensi dan modul pelayanan medis ini disetujui oleh Konsil Kedokteran
R

Indonesia serta menjadi dasar penyusunan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan untuk
bidang dermatologi dan venereologi. Dengan bantuan panduan ini diharapkan para dokter
spesialis dermatologi dan venereologi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat
serta pihak terkait dapat memakainya sebagai penilaian baku mutu juga perkiraan biaya
kesehatan bidang penyakit kulit dan kelamin.
PE

Jakarta, Agustus 2014


Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi 2011-2014

DR.Dr.Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K)


FINSDV, FAADV

vi
vi
SALINAN

SURAT KEPUTUSAN
No. 003/SK/PERDOSKI/PP/II/13

TENTANG

TIM REVISI

I
PANDUAN LAYANAN KLINIK (PLK)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA

SK
Menimbang:
a. Dalam rangka menjamin mutu pelayanan medik Spesialis Kulit dan Kelamin perlu adanya
penyempurnaan PLK Spesialis Kulit dan Kelamin.
b. Bahwa untuk menyempurnakan PLK tersebut perlu dibentuk Panitia /Tim.
c. Bahwa nama-nama tercantum di bawah ini dianggap cakap dan mampu sebagai Tim Revisi PLK.

Mengingat:
1. AD dan ART PERDOSKI
2. Buku Kompendium
3. KONAS PERDOSKI XIII Manado 2011
4. Renstra PERDOSKI 2011-2014
DO
Memperhatikan :
a. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK).
b. Usulan dari PP PERDOSKI, PERDOSKI Cabang, Kelompok Studi dan Institusi Pendidikan Dokter
Spesialis (IPDS) untuk revisi PLK.
c. Hasil Rapat Pertemuan PP PERDOSKI dan Kolegium IKKK untuk membentuk Tim Revisi PLK.

MEMUTUSKAN

1. Menetapkan Tim Revisi PLK PERDOSKI:

Ketua : DR.Dr. Aida Suriadiredja, Sp.KK(K), FINS-DV


Anggota : Prof. Dr. Theresia L. Toruan, Sp.KK(K), FAADV
Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV
DR. Dr. M. Yulianto Listyawan, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV
Dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINS-DV
R

DR. Med. Dr. Retno Danarti, Sp.KK


DR. Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K)
Dr. Nopriyati, Sp.KK

2. Tim Revisi menyerahkan PLK yang telah direvisi kepada PP PERDOSKI selambatnya 1 (satu)
bulan sebelum Kongres Nasional (KONAS) XIV PERDOSKI Bandung bulan Agustus 2014.
PE

Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan catatan apabila terdapat kekeliruan akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal : 13 Februari 2013

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK, FINS-DV, FAADV


Ketua Umum

vii vii
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar Tim Penyusun .................................................................................. iv
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI .............................................. v
Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan venereologi ........................................ vi

I
Surat Keputusan Tentang Tim Revisi
Panduan Layanan Klinis PERDOSKI ....................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................... viii

SK
Daftar Singkatan ........................................................................................................ xii

Pendahuluan .......................................................................................................... 1

A. Dermatologi Non Infeksi


A. 1. Dermatitis numularis ................................................................................. 5
A. 2. Dermatitis popok ...................................................................................... 8
A. 3. Dermatitis seboroik .................................................................................... 10
A. 4. Liken simpleks kronikus ............................................................................ 14
A. 5. Miliaria ....................................................................................................... 16
A. 6. Pitiriasis alba ............................................................................................. 19
A. 7. Pitiriasis rosea ........................................................................................... 21
DO
A. 8. Prurigo aktinik ............................................................................................ 23
A. 9. Prurigo nodularis ....................................................................................... 25
A. 10. Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP) ...................... 27

B. Dermatologi Infeksi
B. 1. Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans) ............ 30
B. 2. Dermatofitosis ............................................................................................ 32
B. 3. Herpes zoster............................................................................................. 38
B. 4. Hand-Foot-Mouth Disease ......................................................................... 41
B. 5. Histoplasmosis ........................................................................................... 43
B. 6. Kandidiasis / kandidosis............................................................................. 45
B. 7. Kriptokokosis.............................................................................................. 50
B. 8. Kusta .......................................................................................................... 52
R

B. 9. Malassezia folikulitis .................................................................................. 62


B. 10. Mikosis profunda ....................................................................................... 64
B. 11. Moluskum kontagiosum ............................................................................. 70
B. 12. Pioderma ................................................................................................... 73
B. 13. Pitiriasis versikolor ..................................................................................... 78
B. 14. Skabies ...................................................................................................... 80
PE

B. 15. Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS)........................................ 84


B. 16. Toxic shock syndrome (TSS) .................................................................... 86
B. 17. Tuberkulosis kutis ...................................................................................... 88
B. 18. Varisela ..................................................................................................... 93
B. 19. Veruka vulgaris / common warts ............................................................... 96

C. Genodermatosis
C. 1. Akrodermatitis enteropatika ....................................................................... 99
C. 2. Inkontinensia pigmenti (sindrom Bloch-Sulzberger) ................................... 102
C. 3. Epidermolisis bulosa yang diturunkan ........................................................ 106

viii
viii
C. 4. Tuberous sclerosis complex ....................................................................... 113
C. 5. Displasia ektodermal ................................................................................. 117
C. 6. Iktiosis ........................................................................................................ 123
C. 7. Neurofibromatosis tipe 1 ............................................................................ 130

D. Dermato-Alergo-Imunologi
D. 1. Cutaneus lupus eritematosus spesifik ........................................................ 132

I
D. 2. Dermatosis IgA linear ................................................................................. 137
D. 3. Dermatitis herpetiformis Duhring ................................................................ 141
D. 4. Dermatitis kontak alergi .............................................................................. 145

SK
D. 5. Dermatitis kontak iritan ............................................................................... 148
D. 6. Erupsi kulit akibat alergi obat ..................................................................... 151
D. 7. Pemfigus .................................................................................................... 155
D. 8. Urtikaria ...................................................................................................... 159
D. 9. Psoriasis .................................................................................................... 166

E. Dermatologi Kosmetik
E. 1. Akne vulgaris ............................................................................................. 180
E. 2. Melasma ................................................................................................... 184
E. 3. Freckles ..................................................................................................... 188
E. 4. Vitiligo ........................................................................................................ 190
DO
E. 5. Alopesia androgenik .................................................................................. 194
E. 6. Penuaan kulit ............................................................................................. 198
E. 7. Deposit lemak dan selulit .......................................................................... 199
E. 8. Hiperhidrosis ............................................................................................. 200
E. 9. Bromhidrosis dan Osmidrosis ................................................................... 202

Laser
E. 10. Laser CO2 untuk kelainan kulit ................................................................. 204
E. 11. Laser untuk kelainan vaskular ................................................................... 205
E. 12. Laser untuk skar ........................................................................................ 206
E. 13. Laser dan IPL untuk kelainan pigmen ....................................................... 208
E. 14. Laser penghilang tato ................................................................................ 209
E. 15. Laser dan IPL penghilang rambut ............................................................. 210
E. 16. Laser untuk resurfacing ............................................................................. 211
R

E. 17. Laser dan sinar untuk akne vulgaris .......................................................... 213

F. Tumor dan Bedah Kulit:


Tumor Jinak
Adneksa
PE

F. 1. Siringoma .................................................................................................. 216


F. 2. Trikoepitelioma .......................................................................................... 217
Epidermis dan kista epidermis
F. 3. Keratosis seboroik ..................................................................................... 218
F. 4. Kista epidermal .......................................................................................... 220
F. 5. Nevus verukosus ....................................................................................... 221
Jaringan ikat
F. 6. Dermatofibroma ......................................................................................... 222
F. 7. Fibroma mole............................................................................................. 223
F. 8. Keloid......................................................................................................... 224

ix
ix
Karena virus, neoplasma, hiperplasia, dan malformasi vaskular
F. 9. Angiokeratoma ........................................................................................... 225
F. 10. Granuloma piogenikum ............................................................................. 226
F. 11. Limfangioma .............................................................................................. 227
F. 12. Nevus flameus ........................................................................................... 228
Sel melanosit dan sel nevus
F. 13. Nevus melanositik ..................................................................................... 229

I
Pra Kanker
F. 14. Keratosis aktinik ....................................................................................... 232

SK
F. 15. Leukoplakia .............................................................................................. 233
F. 16. Penyakit Bowen ........................................................................................ 234

Tumor Ganas
Epidermis dan adneksa
F. 17. Karsinoma sel basal ................................................................................. 236
F. 18. Karsinoma sel skuamosa ......................................................................... 240
Sel melanosit
F. 19. Melanoma maligna .................................................................................... 244

Tindakan Bedah Dalam Dermatologi


DO
F. 20. Biopsi kulit ................................................................................................. 251
F. 21. Eksisi/flap/graft .......................................................................................... 253
F. 22. Bedah listrik ............................................................................................... 254
F. 23. Bedah beku ............................................................................................... 256
F. 24. Bedah kimia (chemical peeling) ................................................................. 257
F. 25. Subsisi ..................................................................................................... 258
F. 26. Skin Needling ........................................................................................... 259
F. 27. Dermabrasi dan Mikrodermabrasi ............................................................ 260
F. 28. Bedah sedot lemak ................................................................................... 261
F. 29. Injeksi bahan pengisi (filler) ....................................................................... 263
F. 30. Injeksi toksin botulinum ............................................................................ 264
F. 31. Blefaroplasti .............................................................................................. 265
F. 32. Transplantasi rambut ................................................................................ 266
R

F. 33. Bedah kuku ............................................................................................... 267


F. 34. Skleroterapi .............................................................................................. 269
F. 35. Bedah Mohs ............................................................................................. 270
F. 36. Face Lift menggunakan benang ................................................................ 271
F. 37. Minimum incision face lift ........................................................................... 272
F.38. Non-surgical face lift ................................................................................... 273
PE

F.39. Vitiligo ......................................................................................................... 275

G. Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


G. 1. Infeksi gonore ............................................................................................ 278
G. 2. Herpes simpleks genitalis (HG) .................................................................. 282
G. 3. Infeksi genital non spesifik (IGNS) .............................................................. 286
G. 4. Kandidosis vulvovaginalis (KVV) ................................................................ 291
G. 5. Kondiloma akuminata (KA) ......................................................................... 294
G. 6. Sifilis ............................................................................................................ 296
G. 7. Trikomoniasis .............................................................................................. 299

x
x
G. 8. Ulkus mole .................................................................................................. 302
G. 9. Vaginosis bakterial ...................................................................................... 304

H. Kedaruratan Kulit
H. 1. Angioedema ................................................................................................ 307
H. 2. Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET) ........................................................... 313

I
H. 3. Sindrom DRESS ......................................................................................... 317

Lampiran

SK
1. Uji Tempel ........................................................................................................ 321
2. Uji Intradermal ................................................................................................. 327
3. Uji Provokasi Obat ........................................................................................... 329
4. Uji Tusuk .......................................................................................................... 335
5. Himbauan Tim Perumus .................................................................................. 342
R DO
PE

xi
xi
DAFTAR SINGKATAN

AD : autosomal dominan
ADULT : acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth syndrome
AEC : ankyloblepharon filiforme adnatum-ectodermal dysplasi-cleft palate syndrome
AH : antihistamin
AHA : alpha hydroxy acid

I
AIDS : acquired immunodeficiency syndrome
AJCC : American joint committee on cancer
ANA : anti nuclear antibody

SK
Anti DNA : anti double stranded DNA
APD : alat pelindung diri
AR : autosomal recessive
BMZ : basement membrane zone
BPO : benzoil peroksida
C3 : complement C3
CBC : complete blood count
CBDC : chronic bullous disease of chilldhood
CLND : complete lymph node dissection
CT : computed tomography
CTCL : cutaneous T-cell lymphoma
CXR : chest X-ray
DAL : dermatosis IgA linear
DO
DEB : dystrophic epidermolysis bullosa
DIF : direct immunofluorecence
DKA : dermatitis kontak alergi
DKI : dermatitis kontak iritan
DLE : discoid lupus erythematosus
DM : diabetes melitus
DNA : deoxyribose nucleic acid
Dr. Sp.KK : dokter spesialis kulit dan kelamin
EB : epidermolisis bulosa
EBA : epidermolisis bulosa akuisita
EBS : epidermolisis bulosa simpleks
EEC : ectrodactyl-ED-cleft lip/plate syndrome
EIA : enzyme Immnunoassay
R

ELISA : enzyme-linked immunosorbent assay


EM : electron microscope
EN : eritema nodusum
EOA : erupsi obat alergi
FDE : fixed drug eruption
FNAB : fine needle aspiration biopsy
PE

HE : hematoksilin eosin
HED : hypohidrotic ectodermal dysplasia
HG : herpes genitalis
HIV : human immunodeficiency virus
HPV : human papilloma virus
HRT : hormon replacement therapy
HZ : herpes zoster
IgA : imunoglobulin A
IgE : imunoglobulin E
IFN : interferon
IGNS : infeksi genital nonspesifik

xii
xii
ILVEN : inflammatory linear verrucous epidermal nevous
IM : immune defects
IMS : infeksi menular seksual
IPL : Intense Pulsed Light Source
IVIG : intravenous immunoglobulin
JEB : junctional epidermolysis bullosa
k/p : kalau perlu

I
KA : kondilomata akuminata
KSB : karsinoma sel basal
KSBK : kelompok studi bedah kulit
KSS : karsinoma sel skuamosa

SK
KVV : kandidosis vulvovaginalis
LAD : linear IgA dermatoses
LDH : lactate dehydrogenase
LE : lupus eritematosus
LED : laju endap darah
LGV : limfogranuloma venereum
MK : moluskum kontagiosum
MLPA : mycobacterium leprae particle agglutination
MM : melanoma maligna
NB : narrow band
NET : nekrolisis epidermal toksik
P3K : pertolongan pertama pada kecelakaan
PASI : psoriasis area and severity index
DO
PEGA : pustular eksantema generalisata akut
PET : positron emission tomography
PPD 5TU : purified protein derivative
PSD : personal safety devices
PUPPP : Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy
PVC : pityriasis versicolor chronic
RDEB : recessive dystrophic EB
ROAT : repeated open application test
SC : subcutan
SLE : systemic lupus erythematosus
SLNB : sentinel-lymph-node-biopsy
SSJ : Sindrom Stevens Johnson
SSP : susunan syaraf pusat
TB : tuberkulosis
R

TCA : tricloro acetic acid


THT : telinga hidung tenggorok
TNM : tumor, node, metastasis
TPHA : treponema pallidum hemagglutination assay
TSS : tes serologik untuk sifilis
UNG : uretritis nongonore
UNS : uretritis nonspesifik
PE

UPO : uji provokasi oral


UVA : ultraviolet A
UVB : ultraviolet B
VDRL : venereal disease research laboratory
VHS 1 : virus herpes simpleks 1
VHS 2 : virus herpes simpleks 2
X-LR : X-linked recessive

xiii

xiii
I
SK
DO
PENDAHULUAN
R
PE

1
PELAYANAN DERMATOLOGI DAN
VENEREOLOGI

Sesuai dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik, tingkat

I
layanan dibagi menjadi PPK1 (Pusat Pelayanan Kesehatan), PPK 2,
dan PPK 3. PPK 2 masih dibagi menjadi 2A dan 2B. PPK 2A adalah

SK
RS tipe C dan D yang memiliki Spesialis Dermatovenereologi
PELAYANAN DERMATOLOGI
PELAYANAN DANDAN
DERMATOLOGI VENEREOLOGI
VENEREOLOGI
Pelayanan
Dibagi
Dibagi Dermatologi
menjadi layanan
menjadi di PPK1,
layanan dan
PPK
di PPK1, 2, PPK
PPK Venereologi
2, 3. PPK
PPK 2 dibagi
3. PPK di
menjadi
2 dibagi Rumah
2A
menjadidan
2A 2B, Sakit
dimana (dise
dan dimana
2B,
suaikan dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik Berdasarkan
2A adalah RS tipe
2A adalah RSCtipe
dan
CD yang
dan memiliki
D yang Spesialis
memiliki Dermatovenereologi
Spesialis Dermatovenereologi

Tingkat Pelayanan
Pelayanan
Standar
Dermatologi
Pelayanan
Kewenangan
Standar
Kesehatan
dan Venereologi
Dermatologi
MedikMedik
Kewenangan Berdasarkan
Dermatologi
di Rumah
dan Venereologi
Tingkat
Berdasarkan
SakitSakit
di Rumah
Pelayanan
Tingkat
dandengan
(disesuaikan
Kesehatan
Pelayanan
Venereologi)
(disesuaikan Pedoman
dengan
Dermatologi
Kesehatan
Pedoman
dan dan
Dermatologi
Venereologi)
Venereologi)

Tempat
Tempat : : PPK 1PPK 1 PPK 2PPK 2 PPK 3PPK 3
pelayanan
pelayanan
2A 2A 2B 2B
I IJenis Jenis - - Merupakan
Merupakan - Merupakan
- Merupakan - Merupakan
- Merupakan - Merupakan
- Merupakan
DO
pelayanan
pelayanan pemeriksaan
pemeriksaan pemeriksaan
pemeriksaan pemeriksaan
pemeriksaan kesehatan
kesehatan pemeriksaan pemeriksaan
kesehatan kulit dan
kesehatan kulit dan kesehatan kulit dan
kesehatan kulit dan kulit dan kulitkelamin
dan kelamin kesehatan
kesehatankulit dan
kulit dan
kelamin dengan
kelamin atau atau kelamin
dengan dengan
kelamin atau atau dengan
dengan atau tanpa
dengan atau tanpa kelamin dengan
kelamin dengan
tanpa tanpa
tindakan medikmedik tanpa tanpa
tindakan tindakan medikmedik tindakan
tindakan medikmedik
tindakan tindakan medikmedik
tindakan
sederhana
sederhana sederhana
sederhana sederhana
sederhana spesialistik
spesialistik
- Dapat- Dapat
dilakukan oleh oleh- Dapat
dilakukan - Dapat
dilakukan oleh oleh
dilakukan - Dapat- Dapat
dilakukan oleh oleh - Dilakukan
dilakukan - Dilakukan
oleh oleh
dokterdokter
umumumum di tempat di tempatdokterdokter
umumumum di di dokterdokter
spesialis kulit dan
spesialis kulit dandokterdokterspesialis kulit kulit
spesialis
praktek pribadipribadi
praktek atau atau tempattempat
praktek pribadipribadi kelamin
praktek di tempat
kelamin di tempat dan kelamin
dan kelamindi di
Pusat Pusat
kesehatankesehatan atau rumah sakit tipe
atau rumah sakit tipe praktek pribadipribadi
praktek atau atau rumahrumahsakit tipe
sakitB tipe B
primerprimer C danCB dan B rumahrumah
sakit tipe
sakitC tipe
danC dan dan A dan (pendidikan)
A (pendidikan)
(nonpendidikan)
(nonpendidikan) B (nonpendidikan)
B (nonpendidikan)
II IITenaga
Tenaga : : Paramedik
Paramedik Paramedik
Paramedik Dr.Sp.KK
Dr.Sp.KK Dr.Sp.KK
Dr.Sp.KK dan dan
Nonmedik
Nonmedik Nonmedik
Nonmedik Paramedik
Paramedik Sp.KK(K) Sp.KK(K)
Nonmedik
Nonmedik Paramedik
Paramedik
Nonmedik
Nonmedik
III Kegiatan
III Kegiatan : 1. : Melakukan
1. Melakukan 1. Melakukan
1. Melakukan 1. Melakukan
1. Melakukan anamnesisanamnesis 1. Melakukan
1. Melakukan
pelayanan
pelayanan anamnesisanamnesis anamnesis
anamnesis 2. Menjelaskan
2. Menjelaskan pemeriksaan
pemeriksaandan dan
2. Menjelaskan
2. Menjelaskan 2. Menjelaskan
2. Menjelaskan pemeriksaan
pemeriksaan tindaktindak
medikmedik
pemeriksaan
pemeriksaan pemeriksaan
pemeriksaan dermatologik dan atau
dermatologik dan atau layanan kesehatan
layanan kesehatan
dermatologik
dermatologik dan dan dermatologik
dermatologikdan dan venereologik yang yang
venereologik kulit dankulitkelamin
dan kelamin
R

atau venereologik
atau venereologik atau venereologik
atau venereologik akan dijalani pasienpasien
akan dijalani tingkattingkat
pratama pratama
yang akanyang dijalani
akan dijalani yang akan akan dijalani3. Melakukan
yang dijalani 3. Melakukan 2. Melakukan
2. Melakukan
pasienpasien pasienpasien pemeriksaan
pemeriksaanfisis fisis penanganan lanjut lanjut
penanganan
3. Melakukan
3. Melakukan 3. Melakukan
3. Melakukan dermatologik dan atau
dermatologik dan atau terhadap pasienpasien
terhadap
pemeriksaan
pemeriksaan fisis fisis pemeriksaan
pemeriksaan fisis fisis venereologik
venereologik rujukanrujukan
dari sarana
dari sarana
dermatologik
dermatologik dan dan dermatologik
dermatologikdan dan 4. Membuat 4. Membuat sediaan sediaan kesehatan di
kesehatan di
atau venereologik
atau venereologik atau venereologik
atau venereologik laboratorium
laboratorium tingkattingkat
pratama pratama
4. Membuat
4. Membuat sediaan sediaan 4. Membuat
4. Membuatsediaan sediaan sederhana:
sederhana: 3. Melakukan
3. Melakukan
laboratorium
laboratorium laboratorium
laboratorium a. Kerokan
a. Kerokan kulit kulit pemeriksaan
pemeriksaandan dan
PE

sederhana:
sederhana: sederhana:
sederhana: untuk untuk
sediaan sediaan tindaktindak
medikmedik
kulit kulit
a. Kerokan
a. Kerokan kulit kulit a. Kerokan
a. Kerokan kulit kulit mikologikmikologik dan kelamin
dan kelamin
untuk untuk
sediaan sediaan untuk untuk
sediaan sediaan b. Slit b. skin
Slitsmear
skin smear spesialistik atau atau
spesialistik
mikologikmikologik mikologik
mikologik untuk untuk
sediaan sediaan subspesialistik
subspesialistik
b. Usap b. duh Usaptubuh duh tubuh b. Usap b. duhUsaptubuh duh tubuh kusta kusta meliputi:meliputi:
vagina, serviks,
vagina, serviks, vagina, serviks,
vagina, serviks, c. Usap c. duhUsaptubuhduh tubuh a. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan
uretra uretra
untuk untuk uretra uretra
untuk untuk vagina, serviks,
vagina, serviks, laboratorium
laboratorium
sediaan sediaan sediaan sediaan uretra uretra
untuk untuk penunjangpenunjang
venereologik
venereologik venereologik
venereologik sediaan sediaan lain: lain:
5. Melakukan
5. Melakukan tindakan tindakan5. Melakukan
5. Melakukan tindakan tindakan venereologik
venereologik biopsi/histopat
biopsi/histopat
pengobatan,
pengobatan, tindakan tindakan pengobatan,
pengobatan, d. Tindakan
d. Tindakan bedahbedah ologik,ologik,
biakan, biakan,
filler, botox, chemical
filler, botox, chemical tindakan tindakan
filler, botox,
filler, botox, mayormayor serologikserologik
peeling, tindakan
peeling, tindakan chemical peeling,
chemical peeling, 5. Melakukan
5. Melakukan uji kulit,
uji kulit, b. Tindakan
b. Tindakan
eksisi eksisi
(bedah minor)minor) tindakan
(bedah eksisi eksisi
tindakan yaitu uji tusuk,
yaitu uji
uji tusuk, uji bedahbedahmayormayor
6. Mampu
6. Mampu melakukan melakukan (bedah(bedah
minor)minor) tempel, uji tempel-
tempel, uji tempel- c. Perawatan
c. Perawatan
pertolongan
pertolonganpertama 6. Mampu
pertama melakukan
6. Mampu melakukan sinar (photo-patch),
sinar (photo-patch), uji uji pra/pascapra/pasca

2 2

2
pada keadaan pertolongan pertama provokasi bedah
darurat penyakit kulit pada keadaan 6. Melakukan tindakan 4. Melakukan
7. Mengadakan darurat penyakit kulit pengobatan, tindakan pemeriksaan dan
penyuluhan 7. Mengadakan filler, botox, chemical tindak medik kulit
kesehatan kulit dan penyuluhan peeling, tindakan dan kelamin sesuai
kelamin kesehatan kulit dan eksisi (bedah minor) dengan
kelamin 7. Mampu melakukan tersedianya tenaga
pertolongan pertama ahli dan sarana
pada keadaan darurat yang ada

I
penyakit kulit 5. Penyuluhan
8. Mengadakan kesehatan kulit
penyuluhan kesehatan dan kelamin
kulit dan kelamin

SK
IV Fasilitas / : Ruang periksa Ruang periksa Ruang periksa Ruang periksa
ruang Ruang tunggu Ruang Tunggu Ruang Tunggu Ruang Tunggu
Kamar kecil Kamar kecil Kamar kecil Kamar kecil
Ruang tindakan Ruang Ruang tindakan/ruang Ruang
tindakan/ruang bedah tindakan/ruang
bedah Laboratorium bedah
Laboratorium Rawat rawat inap Ruang sinar UVB
Rawat rawat inap (bila mampu)
Laboratorium
Rawat rawat inap
V Alat : Peralatan diagnostik Peralatan diagnostik Peralatan diagnostik Peralatan diagnostik
Stetoskop dan Peralatan diagnostik Peralatan diagnostik Peralatan
tensimeter pada PPK 1 pada PPK 1 diagnostik pada
Lampu periksa Perlengkapan Uji tusuk dan uji PPK 1 dan 2
dengan kaca laboratorium tempel Laboratorium
pembesar sederhana untuk Peralatan tindakan histopatologik dan
DO
Mikroskop cahaya pemeriksaan Peralatan tindakan serologik
Lampu Wood dermatologik dan pada PPK 1 Mikroskop Lapang
Peralatan tindakan venereologik Set tindakan pandang gelap
Komedo ekstraktor Peralatan tindakan rejuvenasi Dermoskopi
Set bedah minor Peralatan tindakan Elektrokauter Peralatan tindakan
Perlengkapan alat pada PPK 1 Set bedah krio Peralatan tindakan
dan obat untuk Kit uji tusuk dan uji pada PPK 1 dan 2
mengatasi syok tempel Set bedah laser
anafilaktik UVB cabin
Perlengkapan cuci
alat, sterilisasi, dan
pembuangan
sampah
Set tes IVA
Kursi Ginekologik

Dikutip dari Standar Kewenangan Medik Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan PERDOSKI
R

tahun 2014
PE

3
I
SK
A
DO
DERMATOLOGI
NON-INFEKSI
R
PE

4 Dermatologi Non-Infeksi
A.1. DERMATITIS
A.1. DERMATITIS NUMULARIS
NUMULARIS (L30.0) (L30.0)
I. Definisi : Dermatitis numularis (DN) ialah dermatitis dengan
penyebab tidak diketahui, lesi berbentuk bulat seperti mata
uang logam, berbatas tegas dengan efloresensi berupa
papul atau papulovesikel yang bergabung, biasanya mudah

I
pecah sehingga basah (oozing) dengan penyulit.
Klasifikasi penyakit:
Dermatitis numularis

SK
Dermatitis numularis dengan infeksi sekunder
Dermatitis numularis yang meluas (generalisata)
Varian:
Dermatitis likenoid dan diskoid eksudatif (Sulzberger-Garbe)

II Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat perjalanan penyakit: didahului rasa gatal
dengan papul eritematosa mirip insect bites, kemudian
melebar sebesar koin (numular) atau seluas plakat,
bagian tengah resolusi membentuk lesi anular, dapat
setempat atau meluas (generalisata), sering kambuh
(kronik-residif)
DO
Menyerang terutama orang dewasa (50-65 th), bayi dan
anak-anak (jarang), pria lebih sering daripada wanita
Predileksi ekstremitas bagian atas, tangan bagian dorsal
(wanita); ekstremitas bawah (pria)

Diagnosis banding : Dermatitis kontak alergik


Dermatitis stasis
Dermatitis atopik
Tinea korporis

Selalu harus disingkirkan


Tinea korporis
R

Pemeriksaan : - Tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus


penunjang
III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :
Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering.
Konsultasi: Bila ada stres konsul ke ahli psikologi atau
psikiater
PE

Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus serta menekan inflamasi dan
infeksi
1. Topikal:
- Kortikosteroid potensi sedang sampai kuat bergantung
pada stadium dan berat penyakit.
- Inhibitor kalsineurin: takrolimus dan pimekrolimus
- Preparat tar
- Emolien untuk xerosis

Dermatologi NonInfeksi |5

Dermatologi Non-Infeksi 5
- Bila akut dan eksudatif sebaiknya dikompres dulu dengan
larutan NaCl 0,9%.
- Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri: antibiotik
2.Sistemik:
- Antihistamin (bila pruritus hebat)
- Kortikosteroid jangka pendek: untuk kasus berat dan

I
luas
- Antibiotik yang sesuai bila disertai infeksi sekunder

SK
Bila penyakit luas:
Fototerapi broad/narrow band UVB

IV. Kepustakaan : 1. Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatricks


Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New
York : Mc Graw-Hill, 2012.h. 182-4.
2. Paller AS, Mancini AJ. Nummular dermatitis. Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p.
59-60.
R DO
PE

Dermatologi NonInfeksi |6

6 Dermatologi Non-Infeksi
V. V. Bagan Alur
Bagan Alur

Dermatitis numularis

I
Plak numular dengan Plak numular Generalisata
erosi, ekskoriasi, Skuama, likenifikasi,

SK
eksudasi/transudasi xerosis kronik

Infeksi sekunder
oleh bakteri

Antibiotik Kompres Antihistamin Fototerapi


sistemik/topikal
DO
Lesi membaik:
- infeksi sekunder (-)
- eksudasi (-)
- kortikosteroid topikal
potensi sedang kuat
- preparat tar
- emolien
- inhibitor kalsineurin

Sembuh Kambuh Rekalsitrans


R

Pikirkan faktor risiko


Diagnosis alternatif
PE

Dermatologi NonInfeksi |7

Dermatologi Non-Infeksi 7
A.2. DERMATITIS
A.2. DERMATITIS POPOKPOPOK
(L.22) (L.22)
I. Definisi : Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis):
adalah dermatitis di daerah genitokrural sesuai dengan
tempat kontak popok (bagian yang cembung) dengan
kelainan kulit ini dijumpai pada bayi dan orang dewasa yang
memakai popok.

I
Klasifikasi:
Dermatitis popok iritan
Dermatitis popok kandida

SK
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat perjalanan penyakit: kontak lama dengan
popok basah (urin/feses)
Tempat predileksi genitokrural sesuai dengan tempat
kontak popok
Makula eritematosa, berbatas agak tegas, (bentuk mengikuti
bentuk popok yang berkontak), disertai papul, vesikel, erosi,
dan ekskoriasi.
Bila berat dapat menjadi infiltrat dan ulkus.
Bila terinfeksi jamur kandida tampak plak eritematosa
(merah cerah), lebih membasah disertai maserasi,
DO
kadang pustul, dan lesi satelit.

Diagnosis banding : 1. Penyakit Leterrer-Siwe


2. Akrodermatitis enteropatika
3. Sebo-psoriasis
Pemeriksaan :
penunjang Tidak ada pemeriksaan khusus. Bila diduga terinfeksi
jamur kandida, pemeriksaan KOH/Gram dari kerokan
kulit.

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Edukasi cara menghindari penyebab dan menjaga
higiene, serta cara penggunaan popok dan mengganti
R

secepatnya bila basah (popok tradisional), mengganti


popok sekali pakai bila kapasitasnya telah penuh.
Dianjurkan pakai popok sekali pakai jenis highly
absorbent.

Medikamentosa:
PE

Prinsip: menekan inflamasi dan mengatasi infeksi kandida

1.Topikal:
- Bila ringan: krim/salap bersifat protektif (seng oksida,
pantenol)
- Kortikosteroid potensi lemah (salap hidrokortison 1% /
2,5%) waktu singkat (3 7 hari)
- Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida, yaitu
nistatin atau derivat azol dikombinasi dengan seng
oksida.
DermatologiNonInfeksi |8
2.Sistemik:
- Tidak perlu

8 Dermatologi Non-Infeksi
IV. Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL,
oksida.

2.Sistemik:
- Tidak perlu

IV. Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,

I
2012.
2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of Dermatology,
3rd ed. New York: Elsevier; 2012. p. 230-31.

SK
3. Ravanfar P, Wallace JS, Pace NC. Diaper dermatitis: A
review and update. Curr Opin Pediatr 2012; 24: 472-9.

V. Bagan Alur

DO Riwayat pemakaian popok

Genitalia dan bokong Genitalia, bokong (lipatan)


(permukaan konveks) papul eritematosa, merah terang,
Makula eritematosa, lembab, lembab, plak eritematosa, lesi satelit
skuama, erosi

KOH/Gram:
kandida(+)

Dermatitis popok iritan Dermatitis popok kandida


R

Krim bersifat A: air (udara)popok dibuka saat tidur Kombinasi


protektif B: barrier ointment: (pasta seng antikandida
Steroid topikal oksida,petrolatum) topikal (nistatin /
PE

potensi lemah C: cleansing dan antikandida (air biasa, derivat azol)


minyak mineral) dengan seng
D: diapers ganti sesering mungkin oksida
E: edukasi orangtua dan pengasuh

DermatologiNonInfeksi |9

Dermatologi Non-Infeksi 9
A.3. DERMATITIS SEBOROIK (L21.9)

I. Definisi : Dermatitis seboroik (DS) ialah penyakit kulit yang didasari


oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik
dengan penyulit.

I
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat perjalanan penyakit: dapat dimulai pada masa
bayi berusia 2 pekan, menyembuh sebelum usia 1 tahun.

SK
Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama
membentuk plakat eritroskuamosa di tempat predileksi
(daerah sebore), yaitu wajah terutama di alis dan
nasolabial, skalp, retroaurikular, sternal terutama daerah
V, interskapula, aksila, umbilikus dan genito-krural
Pada bayi dan anak: relatif tidak gatal, dapat
menyerupai dermatitis atopik atau dianggap sebagai
awal dermatitis atopik (sebo-atopik), skuama dan krusta
lebih berminyak (oleosa). Di skalp krusta dapat menebal
dan menyerupai topi (cradle cap). Bila meluas dapat
menjadi eritroderma, dapat merupakan bagian dari
sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan muntah,
DO
serta infeksi sekunder bakteri.
Pada dewasa: kelainan kulit lebih kering, tempat predileksi
terutama daerah berambut atau kepala (pitiriasis
sika/dandruff). Gatal terutama bila berkeringat atau
udara panas.
DS yang berat: kronik residif, meluas sehingga menjadi
eritroderma, atau bentuk psoriasiformis (skuama yang
tebal)
Pada pasien defisiensi imun pertimbangkan
kemungkinan pengidap virus HIV/AIDS
Diagnosis banding : 1. Pada bayi: dermatitis atopik
2. Pada dewasa: psoriasis
3. Di lipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis
R

Harus disingkirkan:
Histiositosis sel Langerhans (pada bayi)
Pemeriksaan : Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis
penunjang

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :


Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat.
PE

Medikamentosa:
Prinsip:
Menghilangkan dan mengeluarkan skuama dan krusta,
menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi
sekunder, mengurangi eritema dan gatal.

Topikal:
Bayi:
Skalp: untuk mengangkat krusta: asam salisilat 3% dalam

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 10

10 Dermatologi Non-Infeksi
minyak olive/kelapa atau vehikulum yang larut dalam air;
kompres minyak olive/kelapa hangat; aplikasi steroid
potensi lemah (hidrokortison 1%) krim atau lotion
selama beberapa hari; sampo imidazol, krim/ losio
ketokonazol 2%, sampo ketokonazol 1%; sampo bayi;
perawatan kulit umum dengan emolien, krim, atau pasta
lunak.

I
Daerah intertriginosa: kliokuinol 0,2 0,5% dalam lotion
atau minyak zink. Untuk kandidiasis, krim nistatin diikuti

SK
pasta lunak.
Dermatitis basah: aplikasi gentian violet, 0,1 0,25%
atau ketokonazol 2% krim, lotion atau pasta lunak.

Dewasa:
Skalp:
Sampo selenium sulfida 1,0 2,5%, imidazol
(ketokonazol 2%), zinc pyrithione, benzoil peroksida,
asam salisilat, tar.
Krusta atau skuama: aplikasi semalaman
glukokortikosteroid atau asam salisilat dalam vehikulum
yang larut dalam air, atau secara oklusif.
DO
Wajah dan badan
Hidrokortison 1% salap atau krim

Otitis eksterna seboroik:


Glukokortikosteroid potensi lemah krim atau salap.
Untuk pemeliharaan: solusio aluminium asetat 1 atau 2 kali
sehari.
Pimekrolimus topikal juga efektif.
Blefaritis seboroik:
Kompres hangat, debridemen halus dengan aplikator
berujung kapas, dan sampo bayi satu atau beberapa kali
sehari. Antibiotik topikal berupa natrium sulfacetamide
ophthalmic ointment. Untuk penggunaan preparat mata
R

yang mengandung glukokortikosteroid dikonsulkan ke


spesialis mata. Jika Demodex folliculorum ditemukan
dalam jumlah banyak, dapat digunakan krotamiton,
permetrin, benzil benzoat.
Dermatitis seboroik berat atau eritroderma:
Kortikosteroid sistemik
PE

Pilihan terapi:
Antijamur:
Topikal: imidazol. (ketokonazol 2%, itrakonazol,
mikonazol, flukonazol, ekonazol, bifonazol, klimbazol,
siklopiroks, siklopiroksolamin, butenafin 1% krim.
Oral: ketokonazol, itrakonazol, terbinafin.
Metronidazol:

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 11

Dermatologi Non-Infeksi 11
Topikal: metronidazol 1-2% (gel, krim), 0,75% (lotion), 1
atau 2 kali/hari
Inhibitor kalsineurin:
Salap takrolimus atau krim pimekrolimus
Analog vitamin D3:
Kalsipotriol (krim, lotion, salap), takalsitol salap

I
Isotretinoin:
Isotretinoin oral 0,05 0,10 mg/kg BB/hari selama
beberapa bulan.untuk yang berat / rekalsitran

SK
Fototerapi
Narrow-band UVB
Psoralen dan UVA untuk yang luas (eritroderma) dan
rekalsitran
Konsultasi:
Bila ada stres ke psikolog atau psikiater.
Bila ada kelainan sistemik ke dokter spesialis anak atau
penyakit dalam.

Tindak lanjut:
Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner:
perlu dirawat untuk pemantauan penggunaan antibiotik dan
DO
kortikosteroid sistemik jangka panjang.
Bila ada kecurigaan penyakit LeterrerSiwe perlu kerjasama
dengan dokter spesialis anak

IV. Kepustakaan : 1. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ,editor. : Fitzpatricks Dematology in General Medicine.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill; 2012.h.259-66.
2. Paller AS, Mancini AJ. Seborrheic dermatitis. Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p.
56-57.
3. Reider N, Fritsch PO. Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd
R

ed. New York: Elsevier; 2012. p. 219-21.


PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 12

12 Dermatologi Non-Infeksi
V. Bagan Alur
Riwayat bintik
Riwayat bintik dansebore
dan bercak bercak kemerahan
kemerahan bersisik di daerah

bersisik di daerah sebore

Gambaran klinis
Papul-plak eritroskuamosa, krusta

I
SK
Bayi Dewasa

Skalp Intertriginosa Skalp Wajah & badan Kanalis otikus


Krim hidro- Minyak seng Selenium sulfid Krim kortiko- eksterna
kortison 1% Kliokuinol 1-2,5 % steroid potensi Krim kortiko-
Sampo ringan lotion/minyak Ketokonazol 2 lemah steroid potensi
untuk bayi 0,2-0,5 % % sampo (hidrokortison lemah
Sampo anti Candida: Sampo seng 1%) Krim pimekrolimus
jamur Nystatin pyrition untuk
Benzoil maintenance
DO
Emolien
Asam salisilat peroksida Aluminium asetat
3% dalam Asam salisilat solution 1-2 x/hari
minyak olive/ Coal tar
kelapa

Seluruh tubuh (eritroderma)


Sistemik:
Kortikosteroid
Antibiotik
Topikal:
Kortikosteroid potensi lemah
Emolien
R
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 13

Dermatologi Non-Infeksi 13
A.4. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (L28.0)

I. Definisi : Liken simpleks kronikus (neurodermatitis sirkumskripta)


merupakan peradangan kulit kronik, sirkumskrip, sangat gatal,
ditandai kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol
akibat garukan atau gosokan berulang.

I
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Terutama menyerang dewasa, usia 30 50 tahun
Perempuan lebih banyak daripada laki-laki
Sangat gatal, sampai dapat mengganggu tidur, terutama

SK
pada waktu tidak sibuk. Gatal dapat paroksismal, terus-
menerus, sporadik, menghebat bila ada stres psikis.
Garukan secara sadar merupakan cara untuk
menggantikan rasa gatal dengan nyeri.
Lesi biasanya tunggal tetapi dapat lebih dari satu
Ukuran lesi lentikular sampai plakat
Bentuk umumnya lonjong
Letak lesi dapat dimana saja, terutama mudah dijangkau
oleh tangan (skalp, tengkuk leher, ekstremitas ekstensor,
pergelangan tangan dan anogenital)
Stadium awal berupa eritema dan edema atau kelompokan
papul
Stadium lanjut berupa kulit menebal dengan ekskoriasi,
DO
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Karena garukan berulang, bagian tengah menebal,
kering dan berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi

Diagnosis banding : 1. Dermatitis atopik likenifikasi


2. Psoriasis likenifikasi
3. Liken planus hipertrofik
Selalu disingkirkan:
1. Liken sklerosus, infeksi human papiloma virus (HPV),
tinea kruris (vulva,perianal)
3. Infeksi HPV, tinea kruris (skrotum)

Pemeriksaan penunjang : Histopatologik.

III. Penatalaksanaan : Ditujukan untuk menghambat siklus gatal-garuk


R

Kelainan sistemik yang menyebabkan gatal harus


disingkirkan terlebih dahulu
Steroid topikal, biasanya potensi kuat, bila perlu diberi
penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan
preparat tar/emolien
Preparat antipruritus nonsteroid yaitu: mentol, fenol dan
pramoxine
KS intralesi (triamsinolon asetonid)
PE

Topikal takrolimus
Antihistamin sedatif (hidroksizin)
Inhibitor reuptake serotonin selektif
Antidepresan trisiklik (doksepin) malam hari
Konsultasi psikiater bila diperlukan

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 14

14 Dermatologi Non-Infeksi
IV. Kepustakaan 1. Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith
LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 184-7
2. Paller AS, Mancini AJ. Lichen simplex chronicus.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 55-56.

I
3. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG.
Lichen simplex chronicus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd ed.
New York: Elsevier; 2012. p. 115-16.

SK
V. Bagan Alur

Gatal, riwayat bercak dan bintik-bintik


(skalp/leher (tengkuk)/ ekstremitas
(ekstensor) pergelangan tangan/anogenital
Papul-papul eritematosa, makula, edema
DO
Antihistamin sedatif/nonsedatif
Steroid topikal potensi sesuai derajat
inflamasi

Sembuh

Kulit menebal,
Stres psikis Kambuh/kumat-kumatan hiperpigmentasi,
R

skuama

Antidepresan trisiklik Steroid topikal, biasanya


(doksepin) malam hari potensi kuat, bila perlu diberi
Konsultasi psikiater bila penutup impermeable, dapat
dikombinasi dengan preparat
PE

diperlukan
tar/emolien
KS intralesi (triamsinolon
asetonid)
Antihistamin sedatif
(hidroksizin)

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 15

Dermatologi Non-Infeksi 15
A.5. MILIARIA (L74.3)

I. Definisi : Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat,


ditandai dengan vesikel miliar disertai penyulit, tersebar
di tempat predileksi, dapat mengenai bayi, anak, dan
dewasa.

I
Klasifikasi (berdasarkan gambaran klinis dan
histopatologi):
Miliaria kristalina (sudamina)
Miliaria rubra (prickly heat)

SK
Miliaria pustulosa
Miliaria profunda

II. Kriteria diagnostic :


Klinis : Riwayat hiperhidrosis, berada di lingkungan
panas dan lembab, bayi yang dirawat dalam
inkubator
Miliaria kristalina: terdiri atas vesikel miliar (1-2
mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah
pecah dengan garukan, dan deskuamasi dalam
beberapa hari.
DO
Miliaria rubra: jenis tersering, vesikel miliar atau
papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar
lubang keringat, tersebar diskret
Miliaria pustulosa. berasal dari miliaria rubra
dimana vesikelnya berubah menjadi pustul
Miliaria profunda: merupakan kelanjutan miliaria
rubra, berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat
disertai pustul

Diagnosis banding : 1. Campak (morbili)


2. Erupsi obat morbiliformis
3. Eritema toksikum neonatorum
4. Folikulitis
R

Pemeriksaan : Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk


penunjang diagnosis
Histopatologi: menunjukkan obstruksi kelenjar keringat
parakeratotik sesuai dengan masing-masing tipe
miliaria.
PE

Miliaria kristalina: di stratum korneum


Miliaria rubra/pustulosa: stratum spinosum/mid-
epidermis
Miliaria profunda: di dermo-epidermal junction.

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan
yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
Mandi air dingin dan memakai sabun. Pakai pakaian
tipis dan menyerap keringat.

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 16

16 Dermatologi Non-Infeksi
Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi,
membuka retensi keringat
1. Topikal:
- Liquor Faberi
- Bedak kocok mengandung kalamin, dapat

I
ditambahkan antipruritus (mentol, kamfer)
- Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah
timbulnya miliaria profunda

SK
2. Sistemik:
- Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi
dan anak) atau nonsedatif

Tindak lanjut:
Pada umumnya tidak perlu, kecuali mencurigai erupsi
morbiliformis akibat alergi obat.

IV. Kepustakaan : 1. Fealey RD, Hebert AA. Disorders of the eccrine sweat
glands and sweating. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 946.
DO
2. Goddard DS, Gilliam AE, Frieden IJ. Vesicobullous and
erosive diseases in newborn. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York:
Elsevier; 2013. p. 528-9.
3. Paller AS, Mancini AJ. Cutaneous disorders of newborn.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 15.
4. Coulson IH. Disorders of sweat glands. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of
Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey Blackwell;
2010. p.44.15-6.
R
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 17

Dermatologi Non-Infeksi 17
V. Bagan Alur

Miliaria

I
Miliaria kristalina Miliaria rubra Miliaria pustulosa Miliaria profunda
(vesikel miliar, tanpa (vesikel/papulovesikel di (vesikel menjadi (papul, mirip folikulitis,

SK
radang, mudah pecah) atas dasar eritematosa pustul) dapat pustul;

Nonmedikamentosa :
Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan
sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi air dingin dan memakai sabun.
Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.

Medikamentosa:
1. Topikal:
DO
- Liquor Faberi
- Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambah
antipruritus (mentol, kamfer)
- Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah timbul miliaria
profunda
2. Sistemik:
- Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi dan anak) atau
nonsedatif
3. Untuk kasus miliaria rubra dengan superinfeksi: antibiotik
R
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 18

18 Dermatologi Non-Infeksi
A.6. PITIRIASIS ALBA (L30.5)

I. Definisi : Pitiriasis alba adalah dermatitis tidak spesifik, sering


dijumpai pada anak dan remaja, terutama mengenai
daerah wajah dan leher.
Etiologi dan patogenesisnya diduga berhubungan
langsung dengan atopi, jumlah pajanan sinar matahari,

I
dan tidak memakai tabir surya. Kadar tembaga yang
rendah dalam serum, sebagai kofaktor tirosin, penting
dalam patogenesis penyakit ini.

SK
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Didahului plak eritematosa ringan dengan tepi
sedikit meninggi, yang memudar setelah beberapa
pekan menjadi makula/plak berwarna merah
muda/pucat dengan skuama putih halus di atasnya
(powdery white scale). Lesi kemudian berkembang
menjadi makula/ patch hipopigmentasi tanpa
skuama yang menetap sampai beberapa bulan
atau tahun.
Tempat predileksi: wajah, lengan sisi ekstensor,
punggung, badan.
DO
Plak hipopigmentasi atau sewarna kulit dengan
skuama halus, bentuk bulat-oval tak beraturan,
batas agak tegas, ukuran lentikular, numular
sampai plakat.
Pitiriasis alba pigmented merupakan varian dari yang
klasik dengan infeksi dermatofit superfisial, hampir
selalu mengenai wajah. Secara klinis ditandai oleh
hiperpigmentasi yang dikelilingi daerah
hipopigmentasi berskuama.
Diagnosis banding : 1. Hipopigmentasi pasca inflamasi
2. Pitiriasis versikolor
3. Nevus depigmentosus, nevus anemikus
4. Vitiligo
R

5. Mikosis fungoides
Pemeriksaan : Tidak ada yang khusus, kecuali ada keraguan
penunjang Bila sangat diperlukan, dilakukan biopsi kulit untuk
pemeriksaan histopatologi (pada pitiriasis alba
gambaran dermatopatologi tidak spesifik).

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


PE

Terapi suportif, yaitu menghindari/mengurangi pajanan


sinar matahari, pemakaian tabir surya, mengurangi
suhu air mandi
Medikamentosa:
Pitiriasis alba adalah penyakit yang swasirna Steroid
topikal dan emolien sangat membantu
Tretinoin topikal dapat digunakan namun bersifat
iritasi
Pitiriasis alba yang luas dan yang berpigmen

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 19

Dermatologi Non-Infeksi 19
memberi respons lebih baik terhadap terapi UV dan
antijamur oral.

IV. Kepustakaan : 1. Ruiz-Maldonado R. Hypomelanotic conditions of the


newborn and infant. Dermatol Clin 2007; 25: 373-82.
2. Lin RL, Janniger CK. Pityriasis alba. Cutis 2005; 76: 21-
4.

I
3. Lapeere H, Boone B, De Schepper S, et al.
Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam:
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-

SK
8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ. Mc Grew Hill: New York, 2012 p.
807-8.
R DO
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 20

20 Dermatologi Non-Infeksi
A.7. PITIRIASIS ROSEA (L.42)

I. Definisi : Pitiriasis rosea adalah erupsi kulit yang akut dan sering
dijumpai, bersifat hilang sendiri, secara khas dimulai
sebagai plak oval dengan skuama halus pada badan
(herald patch) disertai penyulit. Lesi awal ini diikuti
beberapa hari sampai beberapa pekan kemudian oleh

I
lesi-lesi serupa yang lebih kecil di badan yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage).
Berhubungan dengan reaktivasi virus HHV 7 dan HHV6

SK
Biasa asimptomatik, kadang flu-like symptoms

II. Kriteria diagnostik :


Klinis : Dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch)
pada 50-90% kasus. Lesi ini berbatas tegas,
diameter 2-4 cm, bentuk oval atau bulat, berwarna
salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi (terutama
pada pasien dengan kulit gelap); dengan skuama
halus di bagian dalam tepi perifer plak. Lesi primer
ini biasanya terletak di bagian badan yang tertutup
baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas
proksimal. Jarang di wajah atau penis.
DO
Timbulnya lesi sekunder bervariasi antara 2 hari
sampai 2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya
dalam 2 pekan setelah plak primer. Erupsi
simetris terutama pada badan, leher dan
ekstremitas proksimal. Terdapat 2 tipe utama lesi
sekunder: (1) plak kecil menyerupai plak primer
tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan aksis
panjang lines of cleavage dengan distribusi
seperti pola pohon cemara dan (2) papul kecil,
kemerahan, biasanya tanpa skuama, yang secara
bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke
perifer. Kedua tipe lesi ini dapat terjadi
bersamaan.
R

Morfologi lesi sekunder dapat tidak khas, dapat


berupa makula tanpa skuama, papul folikuler,
plak menyerupai psoriasis, maupun plak tidak
khas. Daerah palmar dan plantar dapat terkena
dengan gambaran klinis menyerupai erupsi
eksematosa. Pitiriasis rosea tipe vesikular jarang
PE

dijumpai, biasanya pada anak dan dewasa muda.


Dapat pula dijumpai varian pitiriasis rosea bentuk
urtikaria, pustular, purpurik,atau menyerupai
eritema multiformis.

Diagnosis banding : Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer


menyerupai sifilis sekunder
Pitiriasis rosea yang hanya berupa plak primer atau
bila letaknya di daerah inguinal dapat menyerupai
tinea korporis.
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 21

Dermatologi Non-Infeksi 21
Pemeriksaan : Tidak diperlukan
penunjang

III. Penatalaksanaan : Pitiriasis rosea adalah penyakit yang hilang


sendiri, tidak diperlukan terapi bila tanpa
komplikasi.

I
Kortikosteroid topikal potensi sedang dapat
digunakan sebagai terapi simtomatik untuk
pruritus.

SK
Fototerapi efektif pada pitiriasis rosea, namun
dapat terjadi hiperpigmentasi pasca inflamasi.

IV. Kepustakaan : 1. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 458-63.
2. Wood GS, Reizner GT. Other papulosquamous
disorders. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV.
Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 165-
7.
3. Paller AS, Mancini AJ. Papulosquamous and related
DO
disorders. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 86-7.
4. Sterling JC. Virus infections. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th
ed. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p.33.78-81.

V. Bagan Alur

Lesi awal berupa plak oval dengan skuama halus pada


badan (herald patch)
Diikuti lesi serupa lebih kecil di badan yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage)
Asimptomatik, kadang flu-like symptoms
R

Pitiriasis rosea
PE

Tanpa terapi dapat hilang sendiri


Kortikosteroid topikal potensi sedang
Fototerapi

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 22

22 Dermatologi Non-Infeksi
A.8. PRURIGO AKTINIK (L57.0)

I. Definisi : Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan


gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari.
Kelainan ini persisten dan jarang.

II. Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Gambaran klinis: papul atau nodul disertai
ekskoriasi dan krusta dapat soliter atau
berkelompok, gatal

SK
Tempat predileksi: area terpajan sinar matahari
seperti dahi, pipi, dagu, telinga, dan lengan
Rasio perempuan:lelaki adalah 2:1
Awitan pada anak terutama usia 10 tahun
Riwayat penyakit prurigo aktinik dalam keluarga

Diagnosis banding : Polymorphic light eruption, dermatitis atopik,


dermatitis seboroik, insect bites, prurigo nodularis

Pemeriksaan : Histopatologi: akantosis, spongiosis, eksositosis


penunjang di epidermis disertai infiltrat limfohistiositik
Cutaneous phototesting
DO
III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
Menghindari pajanan sinar matahari

Medikamentosa:
Prinsip: fotoproteksi
1. Topikal:
- Tabir surya
- Kortikosteroid potensi kuat untuk mengatasi
inflamasi dan gatal
- Fototerapi NB-UVB atau PUVA
- Takrolimus atau pimekrolimus
2. Sistemik:
R

- Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin

IV. Kepustakaan : 1. Vandergriff TW, Bergstresser PR. Abnormal responses


to ultraviolet radiation: idiopathic, probably immunologic,
and photoexacerbated. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
PE

York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1053-5.


2. Lim HW, Hawk JL. Phorodermatologic disorders. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd
ed. New York: Elsevier; 2013. p. 1470-1.
3. Paller AS, Mancini AJ. Photosensitivity and
photoreactions. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology.
4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 440-1
4. Hawk JL, Young AR, Fergusson J. Cutaneous
photobiology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th ed.
United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 23

V. Bagan Alur Dermatologi Non-Infeksi 23


Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal
terutama di area yang terpajan sinar matahari
Biasa pada anak usia 10 tahun
United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5

V. Bagan Alur

Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal


terutama di area yang terpajan sinar matahari
Biasa pada anak usia 10 tahun

I
Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+)

SK
Tidak
Persisten Penyakit lain

Ya

Prurigo aktinik

Prinsip: Fotoproteksi
1. Topikal:
DO
- Tabir surya
- Kortikosteroid potensi kuat
- Fototerapi NB-UVB atau PUVA
- Takrolimus atau pimekrolimus
2. Sistemik:
- Talidomid 50-100 mg/hari
- Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin
R
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 24

24 Dermatologi Non-Infeksi
A.9. PRURIGO NODULARIS (L28.1)

I. Definisi : Kelainan kronik ditandai nodul hiperkeratotik dan


gatal akibat tusukan dan garukan berulang.

II. Kriteria diagnostic :

I
Klinis : Lesi berupa nodul diameter 0,5-3 cm, permukaan
hiperkeratotik
Sangat gatal

SK
Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum
Dapat terjadi pada semua usia, terutama 20-60
tahun
Berhubungan dengan dermatitis atopik

Diagnosis banding : Perforating disease, liken planus hipertrofik,


pemfigoid nodularis, prurigo aktinik, keratoakantoma
multipel

Pemeriksaan : Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, hati


penunjang dan tiroid untuk mengetahui kelainan penyebab
gatal
DO
Rontgen thorak
Tes HIV
Histopatologi: serupa dengan LSK

III. Penatalaksanaan : Prinsip: menghambat siklus gatal-garuk


1.Topikal:
- Kortikosteroid poten
- Antipruritus nonsteroid seperti mentol dan fenol
- Emolien
- Takrolimus
2.Sistemik:
- Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik
- Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
R

- Kalsipotrien
3. Intervensi
- Triamsinolon asetonid intralesi

IV. Kepustakaan : 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus,


and prurigo nodularis. In: Goldsmith LA, Katz SI,
PE

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.


Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 184-7.
2. Weisshar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Croplay TG.
Pruritus and dysesthesia. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier;
2013. p. 114-5

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 25

Dermatologi Non-Infeksi 25

V. Bagan Alur

Nodul hiperkeratotik, gatal


Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum

I
Riwayat tusukan dan garukan berulang
Riwayat dermatitis atopik

SK
Prurigo nodularis

Prinsip: mencegah siklus gatal-garuk


1.Topikal:
- Kortikosteroid poten
DO
- Antipruritus nonsteroid seperti mentol dan fenol
- Emolien
- Triamsinolon asetonid intralesi
- Takrolimus
2.Sistemik:
- Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik
- Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
- Kalsipotrien
- Talidomid
R

- Siklosporin
3. Bedah beku
4. BB-UVB, PUVA, fototerapi UVA1
PE

26 Dermatologi Non-Infeksi
A.10. PRURITIC URTICARIA PAPULE AND PLAQUE IN PREGNANCY (O26.8)

I. Definisi : Dermatosis pruritus yang terjadi paling sering pada


primigravida pada kehamilan lanjut.

II. Kriteria diagnostik :


:

I
Klinis Terjadi pada primigravida selama kehamilan
lanjut; namun dapat terjadi lebih cepat.
Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular,
purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa.

SK
Lesi ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa
dikelilingi halo pucat yang sempit.
Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam
striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal.
Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan
terlokalisasi pada kulit yang terlibat
Diagnosis banding : Paling sering: pemfigoid gestasionis, atopic
eruption of pregnancy, dermatitis kontak
Pikirkan: erupsi obat, viral eksantem, pitiriasis
rosea, dermatitis eksvoliativa atau ekzematosa
Singkirkan: skabies
DO
Pemeriksaan : Pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan
penunjang abnormalitas
Pemeriksaan histopatologik meliputi
parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang
eksositosis eosinofil
III. Penatalaksanaan : Medikamentosa :
Pruritus kadang-kadang sangat mengganggu. Terapi
pruritus secara simtomatis.

IV Kepustakaan : 1. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in


pregnancy. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor.
Mc Grew Hill: New York, 2012 p. 1204-12
R

2. Shornick KJ. Dermatosis in pregnancy. Dalam:


Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editor. Mosby: London. 2008 p. 398-9.
3. Geraghty LN, Pomeranz MK. Physiologic changes and
dermatoses of pregnancy. Int J Dermatol 2011; 50: 771-
82
PE

4. Bremmer M. The skin disorders of pregnancy: A family


physicians guide. JFP 2010 Feb; 59(2): 89-96

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 27

Dermatologi Non-Infeksi 27
BAGAN ALUR

Primigravida selama kehamilan lanjut. Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik
dalam striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal. Pruritus biasanya pararel
dengan erupsi dan terlokalisasi pada kulit yang terlibat.

I
Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular,
purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa. Lesi

SK
ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa dikelilingi
halo pucat yang sempit.

Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam


striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal.
Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan
terlokalisasi pada kulit yang terlibat.
DO
pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan
abnormalitas, pemeriksaan histopatologik meliputi
parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang
eksositosis eosinofil.

PRURITIC URTICARIA PAPUL AND PLAQUE IN


PREGNANCY
R
PE

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 28

28 Dermatologi Non-Infeksi
I
SK
B
DO
DERMATOLOGI
INFEKSI
R
PE

Dermatologi Infeksi 29
B.1. Creeping Eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans) (B76.9)

I Definisi : Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang yang


seharusnya hidup pada hewan, contohnya A.braziliense,
A. caninum, Uncinaria stenocephala, Bunostomum
phlebotomum.

I
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Sumber penularan adalah kontak dengan feses hewan

SK
yang terinfeksi. Larva akan penetrasi kulit manusia dan
bermigrasi beberapa sentimeter per hari pada lapisan
antara stratum germinativum dan stratum corneum.
Kebanyakan dari larva tersebut tidak dapat menembus
lapisan yang lebih dalam dan akhirnya mati dalam
hitungan hari atau bulan.
Lesi kulit tipikal muncul 1-5 hari setelah paparan berupa
plak eritematosa, vesikular, atau linear, serpiginosa.
Lebar lesi kira-kira 3mm, panjang 15-20cm. Lesi tunggal
atau multipel, terasa gatal bahkan nyeri.
Tempat predileksi adalah kaki dan bokong.
Karena infeksi ini memicu reaksi inflamasi eosinofilik,
DO
pada beberapa pasien dapat disertai dengan
wheezing, urtkaria, dan batuk kering.

Diagnosis banding : -

Pemeriksaan : Biopsi kulit jika diperlukan


penunjang

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


1. Pada tempat yang endemik, disarankan pasien
memakai pelindung berupa sepatu atau sandal
2. Pasien disarankan tidak duduk langsung di atas
pasir ataupun yang hanya dialasi handuk. Sebaik-
R

nya gunakan matras atau kursi.


Medikamentosa:
Penyakit ini sebenarnya self-limiting dan sembuh
sendiri setelah 1-3 bulan. Obat-obatan diperlukan
karena rasa gatal yang lama dan berat yang jika
digaruk ditakutkan menjadi superinfeksi.
PE

Sistemik :
1. Albendazole 800mg selama 3 hari, jika terdapat
gangguan gastrointestinal dosis dapat diturunkan
menjadi 400mg selama 5 hari , atau
2. Ivermektin 200 g/kg selama 1-2 hari
Topikal :
1. Albendazole 10% dioleskan 3 kali sehari selama
7-10 hari

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 30

30 Dermatologi Infeksi
IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2544-2560
2. Dwight D. Bowman, Susan P. Montgomery, Anne M.
Zajac, Mark L. Eberhard, Kevin R. Kazacos. Hookworms

I
of dogs and cats as Agents of Cutaneous Larva
Migrans.Trends in Parasitology, 26 (2010),pp162-167
3. Cord Sunderktter, Esther von Stebut, Helmut Schfer,
Martin Mempel, et al. S1 guideline diagnosis and

SK
therapy of cutaneous larva migrans (creeping
disease). Journal der Deutschen Dermatologischen
Gesellschaft, 12(2014),pp 86-91

V Alur Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek Creeping eruption

Tidak Ya
DO
Diagnosis banding Creeping eruption
lainnya

Medikamentosa
Albendazole
Ivermektin
R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 31
Dermatologi Infeksi 31
B.2. DERMATOFITOSIS (B35)

I Definisi : Merupakan penyakit jamur superfisial yang di-


sebabkan oleh kelompok dermatofita (Trichophyton
sp., Epidermophyton sp.dan Microsporum sp).
Terminologi tinea atau ringworm secara tepat

I
menggambarkan dermato-mikosis, dan
dibedakan berdasarkan lokasi anatomi infeksi.
Klasifikasi menurut lokasi:

SK
Tinea kapitis (ICD 10 : B35.0)
Tinea korporis (ICD 10 : B35.4)
Tinea kruris (ICD 10 : B35.6)
Tinea peds (ICD 10 : B35.3)
Tinea manum (ICD 10 : B35.2)
Tinea unguium (ICD 10 : B35.1)
Tinea Imbrikata (ICD 10 : B35.5)
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Tinea kapitis
Bergantung pada etiologinya.
o Noninflammatory, human, atau epidemic type
(grey patch)
DO
Inflamasi minimal, rambut pada daerah ter-
kena berubah warna menjadi abu-abu dan
tidak berkilat, mudah patah di atas per-
mukaan skalp.
Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, batas
tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi
dengan lampu Wood.
o Inflammatory type, kerion
Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau
geofilik. Spektrum inflamasi berkisar mulai
dari folikulitis pustular sampai kerion. Sering
terjadi alopesia sikatrisial.
Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri,
R

limfadenopati servikal posterior, demam, dan


lesi lain pada kulit glabrosa. Fluoresensi
lampu Wood dapat positif.
o Black dot
Disebabkan oleh organisme endotriks antro-
pofilik. Rambut mudah patah pada permukaan
PE

skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada


daerah alopesia (black dot). Kadang masih
terdapat sisa rambut normal di antara
alopesia. Dapat bervariasi, hanya skuama
difus dengan sedikit rambut rontok.
Tinea korporis
Mengenai kulit tidak berambut, keluhan gatal
terutama bila berkeringat, dan secara klinis
tampak: lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif
karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 32

32 Dermatologi Infeksi
terdiri atas eritema, skuama dan kadang papul dan
vesikel di tepi, normal di tengah (central clearing).
Tinea kruris
Lesi serupa tinea korporis, terletak di daerah
inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum,
perianal dan bokong. Area genital dan skrotum

I
dapat terkena pada pasien tertentu
Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi
sekunder.

SK
Tinea pedis
Tipe interdigital (chronic intertriginous type)
Bentuk klinis paling banyak. Dimulai dengan
skuamasi, erosi dan eritema pada daerah
interdigital dan subdigital kaki, terutama pada
tiga jari lateral
Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar
ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian
kura-kura kaki. Jarang mengenai dorsum
kaki.
Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri segera
menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor
DO
(dermatofitosis kompleks atau athletes foot).
Tipe hiperkeratotik kronik
Klinis tampak skuama difus atau setempat,
bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki,
aspek lateral dan medial kaki), dikenal
sebagai moccasin-type. Dapat timbul sedikit
vesikel, meninggalkan skuama kolaret
dengan diameter kurang dari 2 mm.
Tinea manum unilateral umumnya terjadi
berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik
sehingga terjadi two feet-one hand syndrome.
Tipe vesikobulosa
Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter
R

lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau bula pada


kulit tipis telapak kaki dan periplantar.
Jarang dilaporkan pada anak-anak.
Tipe ulseratif akut
Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif
menyebabkan vesikopustul dan daerah luas
PE

dengan ulserasi purulen pada permukaan


plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis,
limfadenopati, dan demam.
Tinea manum
Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk:
Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa
vesikel dengan skuama di tepi pada telapak
tangan, jari tangan, dan tepi lateral tangan.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 33

Dermatologi Infeksi 33
Hiperkeratotik: vesikel mengering dan mem-
bentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa,
dengan skuama. Lesi kronik dapat mengenai
seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.

I
Tinea unguium
Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada
kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita,
jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts).

SK
Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki,
dengan bentuk klinis:
1. Onikomikosis subungual proksimal (OSP)
1. Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL)
2. Onikomikosis superfisial putih (OSP)
3. Onikomikosis endoniks (OE)
4. Onikomikosis distrofik totalis (ODT)

Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis,


onikolisis, debris subungual, perubahan warna
kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.
DO
Tinea Imbrikata
Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum
terlepas dengan bagian bebasnya menghadap
sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris
tersusun seperti susunan genting. Bila kronis,
peradangan sangat ringan dan asimtomatik.
Rambut tidak pernah terkena.

Diagnosis banding : a. Tinea kapitis


Dermatitis seboroik, pitiriasis sika, psoriasis,
dermatitis atopik, liken simpleks kronik,
alopesia areata, trikotilomania.
R

b. Tinea pedis dan manum


Dermatitis kontak, psoriasis, sifilis sekunder,
keratoderma, skabies, pompoliks (eksema
dishidrotik)
c. Tinea korporis
Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen
PB/ MB, eritema anulare centrifugum, tinea
PE

imbrikata
d. Tinea kruris
Eritrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa,
dermatitis seboroik
e. Tinea unguium
Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penye-
bab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy (trachyo-
nychia), brittle nail, dermatitis kronis
f. Tinea imbrikata
Tinea korporis

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 34

34 Dermatologi Infeksi
Pemeriksaan : Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit
penunjang atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH
20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.
Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus
(Mycosel, Mycobiotic) : pada suhu 28o C
selama 14 pekan. (bila dihubungkan dengan

I
pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan
kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood
hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang

SK
disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali
M.gypsium).
III Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Topikal:
- Obat pilihan: Golongan alilamin (krim
terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1
2 pekan
- Alternatif :
Golongan azol : misal, krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol
Siklopiroksolamin
DO
Asam undesilinat
Tolnaftat
2 kali sehari selama 2 4 pekan
b. Sistemik:
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai
indikasi
1. Griseofulvin oral 10 25 mg/kgBB/hari,
ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol
2 x 100 mg/hari.
2. Terbinafin oral 1 x 250 mg/hari hingga klinis
membaik dan hasil pemeriksaan labo-
ratorium negatif
Catatan:
R

o Lama pemberian disesuaikan dengan


diagnosis
o Hati-hati efek samping obat sistemik,
khususnya ketokonazol.
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 35

Dermatologi Infeksi 35
: Pengobatan khusus untuk:
Tinea kapitis:
Sistemik:
Obat pilihan untuk spesies microsporum:
Griseofulvin fine particle/ microsize, 20 25
mg/kgBB/hari, 6-8 pekan

I
Alternatif: Itrakonazol 3-5 mg/hari, 4-6 pekan
Terbinafin 62,5-250 mg/hari (bergantung
berat badan) selama 2-4 pekan

SK
Obat pilihan untuk spesies Trikopiton :
Terbinafin : 62,5-250mg/hari
Alternatif : Griseofulvin atau flukonazol
Rambut dicuci dengan sampo antimikotik:
selenium sulfida 1,8% 2-4 x/pekan atau
Sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali

Tinea unguium:
- Terbinafin 1x250mg/hari selama 6 pekan
untuk kuku tangan dan 12-16 pekan untuk
kuku kaki
DO
- Itrakonazol dosis denyut (2x200mg/hari
selama 7 hari, istirahat 3 pekan) sebanyak 2
denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut
untuk kuku kaki

Tinea pedis
Khusus bentuk mocassin foot: itrakonazol 2 x
100 mg/hari atau terbinafin 1 x 250 mg/hari
selama 4 6 pekan.

Tinea imbrikata
- Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung
R

KgBB) selama 4-6 pekan


- Griseofulfin microsize 10-20 mg/KgBB/hari
selama 6-8 pekan
PE

36 Dermatologi Infeksi
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 36
IV Kepustakaan : a. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM,
Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam
Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta :
BP FKUI, 2013; 24-99
b. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis
and treatment. J Am Acad Dermatol
2006;54:1050-5.

I
c. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow
M, Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal
Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin

SK
Dermatol 2004; 5 (4): 225-237
d. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based
Dermatology 2nd ed. Peoples Meical Publishing
House. USA. 2011;353-363
e. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2277

V Bagan Alur
DO
Pasien dengan gambaran
klinis dan gejala
suspek dermatofitosis

Tidak Ya

Diagnosis Diagnosis
banding lainnya Pemeriksaan klinis,
mikroskopis, kultur (untuk
t. unguium), memastikan
diagnosis
R

Tinea korporis/ Tinea kapitis Tinea pedis/ Tinea unguium


kruris/ imbrikata manum
PE

Nonmedikamentosa
Edukasi pasien
Medikamentosa
Topikal
Sistemik (mempertimbangkan
luas dan berat, rekuren,
rekalsitran, lokasi )

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 37

Dermatologi Infeksi 37
B.3. HERPES ZOSTER (B02)

I Definisi : Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh


reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela-zoster yang
terjadi setelah infeksi primer.
II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama 1
pekan, masa resolusi berlangsung 1-2 pekan
Gejala prodromal:

SK
Sistemik: demam, pusing, malese
Lokal: nyeri otot-tulang, gatal, pegal, dsb
Timbul eritema yang segera menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan
edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi
keruh, dapat menjadi pustul dan krusta
Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai
tempat persarafan
Bentuk khusus:
Herpes zoster oftalmikus: timbul kelainan pada
mata dan kulit di daerah persarafan cabang kesatu
nervus trigeminus
DO
Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot
muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea,
juga gangguan pengecapan
Neuralgia pasca herpes:
Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi
HZ menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang
masih timbul 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh.
Umumnya nyeri akan berkurang dan spontan
menghilang setelah 16 bulan.

Diagnosis banding : 1. Infeksi virus herpes simpleks


2. Bila terdapat di daerah setinggi jantung, dapat salah
diagnosis dengan angina pektoris pada fase prodromal
R

3. Dermatitis venenata

Pemeriksaan : Tidak diperlukan


penunjang

III Penatalaksanaan : Medikamentosa:


PE

1. Topikal:
Stadium vesikular: bedak salisil 2% atau bedak
kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah
Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan
kompres terbuka dengan larutan antiseptik dan krim
antiseptik/ antibiotik.
Jika agak basah atau berkrusta dapat diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 38

38 Dermatologi Infeksi
2. Sistemik:
Usia < 50 tahun
Umumnya ringan dan sembuh spontan.
Cukup diberikan terapi simtomatik analgetik :
asam mefenamat 3-4 x 250 500 mg/hari , atau
dipiron 3 x 500 mg/hari, atau

I
parasetamol 3 x 500 mg/hari ditambah kodein 3 x
10 mg/hari
Bila lesi luas :

SK
asiklovir oral 5 x 800 mg/ hari, atau
valasiklovir 3 x 1000 mg/hari
Usia > 50 tahun
Perjalanan penyakit seringkali berat
Terapi simtomatik
asiklovir oral 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari,
atau valasiklovir 3 x 1000 mg/hari atau famsiklovir
3 x 500 mg/hari
bila lesi luas diberikan asiklovir intravena 3 x 10
mg/kgBB/hari selama 5 hari

Herpes zoster oftalmikus


DO
Asiklovir / valasiklovir sampai 10 hari pada semua
pasien
Rujuk ke dokter mata

Herpes zoster otikus dengan paresis nervus


fasialis
Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid
4060 mg/hari selama 1 pekan pada semua pasien
Rujuk THT

Kemungkinan terjadi neuralgia pasca Herpes


zoster
Selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat
R

diberikan antidepresan trisiklik (amitriptilin 10 75


mg/hari) sampai 3 6 bulan setelah rasa sakit
berkurang atau Gababentin 300 mg---- dose/hari 4-
6 pekan, atau Pregabalin 50-70 mg ---- dose/hari 2-
4 pekan
PE

Vaksinasi
Dosis tunggal direkomendasikan kepada semua
yang berusia lebih dari 50 tahun, baik yang sudah
memiliki riwayat terkena varisela ataupun belum.
Tidak boleh diberikan pada pasien imunokompromis

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 39

Dermatologi Infeksi 39
IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012;2383.
2. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd
ed. Peoples Meical Publishing House. USA. 2011;337-345
3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for

I
Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster :
Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath
AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12

SK
V Bagan Alur

Gejala & pemeriksaan fisik

Tidak Sesuai

DD lainnya Herpes zoster


DO
Imunokompeten Imunokompromais

< 50 thn > 50thn, atau


mengenai mata

Ringan Berat
R

Ringan Berat Antiviral


Prednison

Simtomatis Antiviral
Antiviral
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 40

40 Dermatologi Infeksi
B.4. Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD) (B08.4)

I Definisi : Penyakit yang disebabkan entervirus nonpolio, yang


paling sering coxsackie A16 dan enterovirus 71, dan
umumnya ditemukan pada anak-anak.

Kriteria diagnostik :

I
II
Klinis : Masa inkubasi 3-6 hari. Gejala yang dikeluhkan
adalah demam, malaise, nyeri perut, dan gejala ISPA.

SK
Kelainan tersering berupa lesi oral multipel disertai
nyeri di lidah, mukosa bukal, palatum durum, ataupun
orofaring. Lesi oral diawali makula dan papul
berwarna merah muda yang berkembang menjadi
vesikel kecil dengan eritema di sekelilingnya. Lesi
mudah terkikis, membentuk erosi berwarna kuning
keabuan dikelilingi lingkaran eritematosa. Lesi kulit
muncul setelah lesi oral, terutama di telapak dan sisi
tangan dan kaki, bokong, dan terkadang genitalia
eksternal serta wajah. Lesi kulit berkembang mirip
dengan lesi oral. Lesi yang sudah berkrusta akan
sembuh dalam waktu 7-10 hari.
DO
Diagnosis banding : Herpangina
Varisela
Erupsi obat
Eritema multiforme
Herpes gingivostomatitis

Pemeriksaan : Jika epidemik terjadi, dapat dilakukan kultur atau


penunjang PCR untuk determinasi strain

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Disarankan isolasi orang yang sedang sakit.
Medikamentosa:
R

Penyakit ini merupakan penyakit swasirna. Diberikan


pengobatan simptomatik bila perlu.

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
PE

: Mc Graw-Hill, 2012;2360-2562
2. Zhang Y, Zhu Z, Yang W, et al. An emerging
recombinant human enterovirus 71 responsible for the
2008 outbreak of Hand Foot and Mouth Disease in
Fuyang city of China. Virology Journal 2010, 7:94
3. Wong SS, Yip CC, Lau SK, Yuen KY. Human
enterovirus 71 and hand, foot and mouth disease.
Epidemiol Infect 2010; 138: 1071-89.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 41

Dermatologi Infeksi 41
V Alur Pasien dengan gambaran Pasien dengan gambaran
klinis dan gejala klinis dan gejala
suspek HFMD suspek HFMD

I
SK
Tidak Ya
Tidak
Diagnosis banding HFMD
lainnya Diagnosis banding H
lainnya

Medikamentosa
Simtomatik Medikamento
DO
Simtoma
R
PE

42 Dermatologi Infeksi
B.5. HISTOPLASMOSIS (B39)

I Definisi : Histoplasmosis adalah infeksi jamur dimorfik yaitu


Histoplasma sp.

II Kriteria diagnostik

I
Klinis : Infeksi dimulai dari infeksi paru dan biasanya
asimtomatik dan swasirna pada sebagian besar
pasien. Lesi kulit pada infeksi primer hasil formasii

SK
kompleks-imun atau akibat penyebaran langsung
dari paru. Walaupun asimtomatik, hasil
pemeriksaan histoplasmin pada kulit akan
menunjukkan hasil yang positif.
Pada pasien dengan gejala akut, ditandai batuk,
nyeri dada, demam, nyeri sendi, dan ruam yang
dapat berupa eritema toksik, eritema multiforme,
atau eritema nodusum. Pasien dengan gejala
progresif disertai penurunan berat badan yang
cepat, hepatosplenomegali, anemia, dan lesi kulit
berupa papul, nodul kecil, atau seperti moluskum
kecil, serta ulkus oral atau faringeal pada pasien
DO
kronik, dapat pula ditemukan Addison disease jika
kelenjar adrenal sudah terinfiltrasi.

Diagnosis banding : Moluskum kontagiosum


Kriptokokosis
Infeksi yang disebabkan P.marneffei
(Penicilliosis)
Blastomikosis
Kala-azar

Pemeriksaan : Pemeriksaan sputum, darah perifer, sumsum


penunjang tulang, atau spesimen biopsi untuk menemukan
sel intraselular yang seperti ragi (histoplasma)
R

Kultur jika diperlukan (perlu kehati-hatian)


Tes serologi jika diperlukan

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Medikamentosa:
1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/ hari
PE

selama 4-6 pekan dapat dipakai untuk infeksi


berat dan penyebaran luas. Amphotericin B
aman untuk ibu hamil
2. Itrakonazol 3x200-300mg selama 3 hari kemudian
1-2x200mg selama 6-12 pekan merupakan terapi
yang memiliki efektivitas tinggi. Itrakonazol 1-
2x200mg juga dapat digunakan sebagai pro-
filaksis dan direkomendasikan pada pasien HIV
dengan CD4 < 150 sel/mm3

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 43

Dermatologi Infeksi 43
IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
2. L.Joseph Wheat, Alison G. Freifeld, Martin B.
Kleiman, et al. Clinical Practice Guideline for The

I
Management of Patients with Histoplasmosis: 2007
Update by The Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis. (2007) 45 (7):807-825.

SK
3. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin
infection in HIV-1 disease. Pathophysiology,
diagnosis and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12
: 87-107.

V Alur
Pasien dengan gambaran
klinis dan gejala
suspek Histoplasmosis

Ya
DO
Tidak

Diagnosis banding Histoplasmosis


lainnya

Medikamentosa
Amphotericin B atau
Itrakonazol

Edukasi
R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 44

44 Dermatologi Infeksi
B.6. KANDIDIASIS / KANDIDOSIS (B37)

I Definisi : Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan


kelompok penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Candida albicans atau oleh spesies lain genus
Candida.
Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi

I
kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi
dapat juga menyebabkan penyakit sistemik.
Klasifikasi:

SK
Kandidiasis kutis (ICD 10 : B37.2)
Kandidiasis oral (ICD 10 : B37.0)
Kandidiasis vulvovaginal (ICD 10 : B37.3)
Kandida balanitis/ balanopostitis (ICD 10 : B37.4)
Kandidiasis kuku (ICD 10 : B37.2)
Kandidiasis mukokutan kronik (ICD 10 : P37.5)
Kandidiasis diseminata (ICD 10 : B37.8)

II Kriteria diagnostik :
Klinis : Kandidiasis kutis
Dapat ditemukan pada semua umur usia, mengenai
daerah intertriginosa yang lembab dan mudah
DO
mengalami maserasi, misalnya: sela paha, ketiak,
sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga
dapat meluas ke bagian tubuh lainnya.
Kulit tampak bercak eritematosa berbatas tegas,
bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa
papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya.

Kandidiasis mukosa
Merupakan infeksi oportunis, dapat berupa:
Kandidiasis oral :
Kandidiasis pseudomembran akut (thrush):
Bercak berwarna putih (pseudomembran) tebal,
diskret atau konfluen pada mukosa bukal, lidah,
R

palatum,dan gusi
Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa):
Bercak halus (papila lidah menipis) tertutup oleh
pseudomembran tipis pada permukaan dorsal
lidah
Dapat disertai rasa panas atau nyeri.
PE

Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis):


Mukosa palatum yang kontak dengan gigi
tampak edematosa dan eritematosa, bersifat
kronik
Dapat dijumpai keilitis angularis
Keilosis kandidal (keilitis angularis/perleche):
- Pada sudut mulut tampak eritema, fisura,
maserasi yang terasa nyeri.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 45

Dermatologi Infeksi 45
Kandidiasis area genitalia:
Kandidiasis vulvovaginal:
Keluhan: Duh vagina berwarna putih susu,
disertai rasa gatal dan panas, kadang disuria
Pemeriksaan: tampak plak berwarna putih, dasar
eritematosa, pada dinding vagina disertai edema
di sekitarnya yang dapat meluas sampai ke labia

I
dan perineum
Balanitis dan balanopostitis kandida:
Keluhan: kulit penis tampak eritematosa, panas

SK
transien, muncul setelah hubungan seksual
Pemeriksaan: Papul atau papulopustul rapuh
pada glans penis atau sulkus koronarius penis
Kandidiasis kuku
Tampak perubahan kuku sekunder, tebal mengeras,
onikolisis, Beaus line dengan diskolorisasi kuku
berwarna coklat atau hijau sepanjang sisi lateral
kuku, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat
debris di bawah kuku.
Paronikia kandida:
Tampak kemerahan, bengkak, dan nyeri pada
kuku disertai retraksi kutikula sampai lipat kuku
DO
proksimal, dapat disertai pus.
Kandidiasis mukokutan kronik
Merupakan suatu sindrom kandidosis kronik rekuren
pada pasien yang ditandai dengan infeksi resisten
terhadap terapi. Onset sebelum usia 6 tahun.
Merupakan manifestasi akibat defek sistem
imunologi, umumnya defek imunitas selular. Berupa
infeksi yang luas, eritematosa atau granulomatosa,
pada membran mukosa, kulit dan kuku.
Kandidiasis diseminata
Infeksi kandida yang meluas secara hematogen dari
orofaring atau saluran cerna, dan melibatkan
banyak organ, kadang ke kulit.
R

Karakteristik lesi kulit: papul-papul eritematosa ver-


diameter 0,5-1 cm, bagian tengah tampak hemoragik
atau pustular, kadang nekrotik. Lokasi lesi pada
badan, ekstremitas. Gejala sistemik: demam dan
mialgia
Diagnosis Banding : Kandidiasis kutis : eritrasma, dermatitis intertriginosa,
PE

dermatofitosis, dermatitis seboroik


Kandidiasis kuku: tinea unguium, brittle nail, tra-
chyonychia, dermatitis kronis
Kandidiasis oral : difteri, leukoplakia, kheilitis, liken
planus, infeksi herpes, eritema multiforme
Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis vaginalis, gonore
akut, infeksi genital nonspesifik, vaginosis bakteri,
vaginitis bakteri.
Kandida balanitis/balonopostitis : infeksi bakteri, herpes
simplek, psoriaris, liken planus
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 46

46 Dermatologi Infeksi
Pemeriksaan Diperlukan jika klinis tidak khas, dilakukan di tingkat
Penunjang pelayanan lanjut:
Kandidiasis superfisialis :
Pewarnaan sediaan langsung kerokan kulit
dengan KOH 20% atau Gram : ditemukan
pseudohifa

I
Kultur dengan agar Saboraud: tampak koloni
berwarna putih, tumbuh dalam 2-5 hari
Kandidiasis sistemik :

SK
Jika ada lesi kulit; dari kerokan kulit dapat
dilakukan pemeriksan histopatologi dan kultur
jaringan kulit.

III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa


Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi

Medikamentosa
Kandidiasis kutis
Topikal: Nistatin dan krim Imidazol (mikonazol)
Sistemik : Ketokonazol 1x 200 mg/hari selama 14
hari
Bedak mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan
DO
Kandidiasis oral :
Nistatin 400.000-600.000 unit, 4x/hari selama 14 hari
Solusio gentian violet 1-2% 2x/hari selama 3 hari
Sistemik : Ketokonazol 200-400 mg/hari selama 2-5
pekan atau Flukonazol 150-200 mg dosis tunggal
Kandidiasis vulvovagina:
Topikal:
Imidazol: klotrimazol 500 mg dosis tunggal
Nystatin intravagina, 1x/hari, selama 10-14
hari. Aman untuk wanita hamil
Sistemik:
Ketokonazol 1x 200 mg selama 5-7 hari
R

Flukonazol 150 mg dosis tunggal


Itrakonazol 2x100 mg, selama 3 hari
Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren ( kambuh
4x/th)
Klotrimazol 500 mg intravagina 1x/pekan
selama 3-6 bulan
PE

Flukonazol 150 mg per oral pada hari 1, 4, 7


(3 hari) dilanjutkan 150 mg per pekan selama
3-6 bulan
Ketokonazol 2x 200 mg/hari selama 14 hari
dilanjutkan 1 x 100 mg / hari selama 6 bulan
Balanitis/Balanopostitis kandida :
Topikal : Krim mikonazol 2 x sehari 2-4 pekan
Sistemik :
Flukonazol 150 mg dosis tunggal
Ketokonazol 1 x 200 mg /hari selama 7-14 hari

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 47

Dermatologi Infeksi 47
Paronikia kandida :
Topikal: solusio imidazol : Timol 4% dlm alkohol
absolut/kloroform
Sistemik :
Ketokonazol 1x 200mg/hari sampai sembuh
Flukonazol 150 mg/ pekan sampai sembuh

I
Kandidiasis kuku
Lihat tinea unguium, tetapi terbinafin tidak efektif.
Kandidiasis mukokutan kronik

SK
o Flukonazol 100-400 mg/ hari sampai sembuh
o Itrakonazol 200-600 mg/ hari sampai sembuh
Dilanjutkan terapi maintenance dengan obat sama
selama hidup
Kandidiasis diseminata
Sistemik: amfoterisin B deoksikolat: 0,7 mg/kg
BB/hari IV, pengobatan bekerjasama dengan
Spesialis Penyakit Dalam.
Alternatif lain: Amfoterisin B liposomal, Flukonazol,
Vorikonazol, dengan memperhatikan resistensi
spesies Candida
DO
IV Kepustakaan : 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S,
Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis
edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 100-148
2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2298
3. Sexually Transmitted Infection. Management Guidelines
Department of STI Control.2007
4. Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, Filler SG, Dismukes WE,
Walsh TJ, et al . Guidelines for treatment of candidiasis.
Clin Infect Dis 2004;38:161-89.
5. Roberts DT, Taylor WD, Boyle J. Guidelines for treatment
R

of onychomycosis. Br J Dermatol 2003;(148):402-410.


6. Samaranayake LP, Cheung LK, Samaranayake YH.
Candidiasis and other fungal diseases of the month.
Dermatol Ther 2002;15:251-269.
PE

V Bagan Alur

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 48

48 Dermatologi Infeksi
V Bagan Alur

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 48
KANDIDIASIS

I
Mukokutan Diseminata

SK
Kutis Kuku Oral Genital

Diagnosis
Tidak
Klinis sesuai ? Banding

Pemeriksaan
DIAGNOSIS Penunjang
DO
TERAPI

Edukasi Topikal Sistemik


R
PE

Dermatologi
D e r m a t o l oInfeksi
g i I n f e k s 49
i | 49
B.7. KRIPTOKOKOSIS (B45)

I Definisi : Kriptokokosis merupakan penyakit infeksi yang


disebabkan oleh jamur C.neoformans.

II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Manifestasi klinis yang tersering adalah meningoense-
falitis. Terdapat bentuk subklinikal, dengan hasil tes kulit
positif. Lesi kutaneus tidak patognomonik, seperti

SK
papul atau pustul akneiformis yang berkembang
menjadi nodul atau plak krusta tidak rata, ulkus, dan
infiltrat. Abses dingin, selulitis, dan lesi noduler juga
dapat muncul
Inokulasi langsung pada kulit memberikan gambaran
nodul soliter yang kemudian pecah dan menjadi ulkus

Diagnosis banding : Histoplasmosis


Penisiliosis
Moluskum kontagiosum

Pemeriksaan : Pemeriksaan mikroskop dengan tinta India


DO
penunjang Kultur jika diperlukan
Tes serologi jika diperlukan
Latex agglutination atau enzyme-linked immu-
nosorbent assay

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Medikamentosa:
1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/hari ditambah
dengan flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
per oral selama paling sedikit 2 pekan. Kemudian
dilanjutkan dengan flukonazol 400mg/hari per oral
selama minimal 8-10 pekan.
R

2. Flukonazol 1200mg/hari ditambah flusitosin


100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis per oral selama 6
pekan
3. Tanpa penyakit susunan syaraf pusat
Flukonazol 200-400 mg / hari sampai sembuh
4. Profilaksis : Flukonazol 200 mg/ hari selama hidup
PE

untuk CD4 < 50 cell / mm3

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
2. John R Perfect, William E, Dismukes, Francoise
Dromer, et al. Clinical Practice Guidelines for the
Management of Cryptococcal Disease 2010 Update by
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis. (2010) 50 (3):291-322.doi: 10.1086/649858

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 50

50 Dermatologi Infeksi
3. Venkatesan P, Perfect JR, Myers SA. Evaluation and
Management of fungal infection in Immuno-
compromised patients. Dermatol Therapy 2005; 18 :
44-57.
4. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin
infection in HIV-1 disease. Pathophysiology, diagnosis
and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12 : 87-107.

I
SK
Pasien dengan gambaran
V Alur klinis dan gejala
suspek kriptokokosis

Tidak Ya

Diagnosis banding Kriptokokosis


lainnya
DO
Medikamentosa
Amphotericin B +
flusitosin flukonazol
Flukonazol + flusitosin
Flukonazol
Profilaksis

Edukasi
R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 51

Dermatologi Infeksi 51
B.8. KUSTA (A30)

I. Definisi Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan


basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, selanjutnya dapat
menyebar ke organ lain, kecuali susunan saraf pusat.

I
II. Kriteria diagnostik
Klinis Diagnosis didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama) menurut WHO, yaitu:

SK
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak
bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu,
dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat /tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu
DO
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang
bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita
hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.

Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat


berikut:
R

Riwayat kontak dengan pasien


Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah
endemis, dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat pengobatan

Pemeriksaan fisik meliputi:


PE

Inspeksi: Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya


dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi, morfologi) harus
diperhatikan
Palpasi:
Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus,
khususnya pada tangan dan kaki
Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran,
konsistensi, nyeri tekan, nyeri spontan)
Tes fungsi saraf:
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 52

52 Dermatologi Infeksi
Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu
Tes otonom
Tes motoris: Voluntary muscle test (VMT)

Diagnosis Lesi kulit

I
banding Makula hipopigmentasi : leukoderma, vitiligo, tinea versikolor,
pitiriasis alba, morfea dan parut
Plak eritema : tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus,

SK
granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoidosis, leukemia
kutis dan mikosis fungoides
Ulkus : ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit
Raynaud & Buerger
Gangguan saraf
Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma

Pemeriksaan Laboratorium
penunjang Bakterioskopik : sediaan kerokan jaringan kulit dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen
Biopsi / PA
Lain-lain: pemeriksaan serologi
DO
Komplikasi Komplikasi imunologis : reaksi reversal, reaksi eritema
nodosum leprosum
Komplikasi neurologis : ulkus, claw hand, drop hand, drop
foot, kontraktur,mutilasi, absorbsi

III. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa


Pengobatan kusta adalah Multi Drug Treatment (MDT), standar
WHO (2012)
Tipe PB
Jenis Obat < 10thn 10-15 thn >15 thn Keteranga
n
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
depan
R

petugas
DDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di
depan
petugas
25 mg/hari 50 mg/hari 100 Minum di
mg/hari rumah
PE

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan


dalam 6-9 bulan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 53

Dermatologi Infeksi 53
Tipe MB
Jenis Obat < 10thn 10-15 thn >15 thn Keteranga
n
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
depan
petugas

I
Dapson 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di
depan
petugas

SK
25 mg/hari 50 mg/hari 100 Minum di
mg/hari rumah
Klofazimin 100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln Minum di
(Lampren) depan
petugas
50 mg/2x 50 mg/ 50 mg/hari Minum di
sepekan setiap 2 rumah
hari

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan


dalam 12-18 bulan
DO
1.4. MDT alternatif
Bila pasien tidak dapat minum rifampisin karena efek
samping dan/atau menderita penyakit penyerta seperti
hepatitis kronis, diberikan klofazimin 50 mg/hari bersama
dengan 2 obat berikut -- ofloksasin 400 mg/hari, minosiklin
100 mg/hari atau klaritromisin 500 mg/ hari -- selama 6
bulan. Dilanjutkan dengan klofazimin 50mg/hari, ofloksasin
400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 18 bulan.
Bila terjadi toksisitas terhadap DDS, seperti sindrom
dapson, pada pasien MH tipe PB, DDS diganti klofazimin
dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6
bulan. Pada pasien MH tipe MB, MDT tetap dilanjutkan
tanpa DDS selama 12 bulan.
Bila pasien menolak pemberian klofazimin, maka
R

klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan


ofloksasin 400 mg /hari atau minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan, atau rifampisin 600 mg/bulan,
ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan
(ROM) selama 24 bulan
PE

2. Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
Efek samping obat berat
Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat
Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)
Pasien dengan rencana tindakan operatif

3. Nonmedikamentosa
Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, tindakan bedah,

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 54

54 Dermatologi Infeksi
penggunaan protese, dan terapi okupasi
Rehabilitasi nonmedik, meliputi: rehabilitasi mental,
karya, dan sosial
Penyuluhan kepada pasien, keluarga dan masyarakat

REAKSI KUSTA
I. Definisi Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada

I
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta
terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema
nodosum leprosum)

SK
II. Klinis Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut:

Gejala / tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Tipe kusta Dapat terjadi pada Hanya pada kusta
kusta tipe PB maupun tipe MB
MB
Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 Biasanya setelah
bulan pertama mendapatkan
pengobatan pengobatan yang
lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
DO
Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai
demam ringan (sub berat disertai
febris) atau tanpa kelemahan umum
demam dan demam tinggi
Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih kemerahan, lunak
meradang (merah), & nyeri tekan.
bengkak, berkilat, Biasanya pada
hangat. Kadang- lengan & tungkai
kadang hanya pada Nodus dapat pcah
sebagian lesi. Dapat (ulserasi)
timbul bercak baru
Neuritis Sering terjadi, berupa Dapat terjadi
R

nyeri tekan saraf dan


atau gangguan fungsi
saraf.
Silent neuritis (-)
Radang mata Dapat terjadi pada Hanya pada kusta
kusta tipe PB maupun tipe MB
PE

MB
Udem pada (+) (-)
ekstri-mitas
Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
pada organ lain kelenjar getah
bening, sendi, ginjal,
testis dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 55

Dermatologi Infeksi 55
Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya makula pecah atau nodusl pecah
Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi
Adanya gangguan pada organ lain

I
III. Penatalaksan 1. Penanganan Reaksi
aan Prinsip pengobatan reaksi ringan

SK
Berobat jalan,
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT diberikan terus dengan dosis yang sama*
Menghindari / menghilangkan faktor pencetus
Imbolisasi organ tubuh yang terkena neuritis
Prinsip pengobatan reaksi berat
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis yang sama*
Menghindari / menghilangkan faktor pencetus.
Memberikan obat anti reaksi: Prednison, Lamprene,
talidomid (bila tersedia)
Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
DO
*Catatan:
MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan
selama pengobatan. Bila telah release from treatment (RFT),
MDT tidak diberikan lagi

2. Obat anti reaksi terdiri dari :


Prednison
Cara pemberiannya:
2 pekan pertama: 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan kedua: 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan ketiga: 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari
R

sesudah makan
2 pekan keempat:15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan kelima: 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan keenam: 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah
PE

makan
Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis lain
dengan dosis yang setara dan penurunan dosis secara
bertahap juga.
Lampren
Obat dipergunakan untuk penanganan/pengobatan
reaksi ENL yang berulang-ulang dan tergantung steroid.
Cara pemberian:
1 x 300 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan
1x 200 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 56

56 Dermatologi Infeksi
1 x 100 mg/hari selama 2 bulan
Bila terdapat keluhan keluhan gastrointestinal, dapat
diberikan dengan dosis terbagi
Thalidomid, bila obat ini tersedia (hanya untuk reaksi
tipe 2)

I
SK
RELAPS
I. Definisi Relaps adalah timbulnya tanda dan gejala kusta pada pasien
yang telah menyelesaikan pengobatan yang adekuat, baik selama
masa pengawasan maupun setelahnya. Pengobatan harus sesuai
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dan dihentikan oleh
petugas yang berwenang.

Anamnesis
1. Riwayat pengobatan MH sebelumnya: pernah mendapat
terapi MDT dan dinyatakan telah RFT yang ditentukan
oleh wasor atau dokter kusta yang berwenang
2. Terdapat lesi baru dan/atau gangguan sensibilitas baru
DO
II. Diagnosis dan/atau perluasan gangguan yang sudah ada sebelumnya,
dan/atau pembesaran saraf baru.
3. Telaah hasil pemeriksaan lab sebelumnya (slit skin smear,
histopatologi, dan serologi)
Pemeriksaan status dermatologikus:
1. Relaps pada kasus PB:
Lesi kulit sebelumnya memperlihatkan tanda aktif
kembali, seperti adanya infiltrasi, eritema bertambah
luas, atau tampak adanya lesi satelit. Seringkali
jumlah lesi juga bertambah.
Terdapat pembesaran saraf dan nyeri disertai
dengan bertambahluasnya daerah lesi yang
mengalami anestesi dan/atau disertai defisit motorik.
R

Dapat ditemukan keluhan nyeri/sakit pada lokasi


sepanjang saraf perifer tanpa bukti-bukti kerusakan
saraf.
Dapat terjadi neural relapse yaitu terjadinya relaps
yang hanya mengenai saraf tanpa kelainan kulit.
Spektrum klinis MH dapat berubah ketika relaps.
PE

2. Relaps pada kasus MB:


Lesi infiltrasi di dahi,, punggung bawah, dorsum
manus /pedis dan bagian atas bokong. Dapat
ditemukan papul dan nodul kemerahan, mengkilap,
lunak tanpa atau dengan infiltrasi padalokasi-lokasi
di atas. Dapat ditemukan nodul subkutan pada
daerah lengan bagian belakang dan paha bagian
anterolateral.
Pada saraf dapat ditemukan edema nodular
sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang
menyertai penebalanD edan/atau
r m a t o lnyeri
o g i Isaraf s i | 57
n f e kbaru
dengan gangguan fungsi.
Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulan-
bulan.
Pada kasus MH yang sebelumnya Dermatologi
melibatkan Infeksi
mata, dapat57
terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk
lepromata.
Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa
papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan
sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang
menyertai penebalan dan/atau nyeri saraf baru
dengan gangguan fungsi.
Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulan-
bulan.
Pada kasus MH yang sebelumnya melibatkan mata, dapat
terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk
lepromata.

I
Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa
papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan
glans penis.

SK
Kriteria diagnosis MH relaps:
1. Kriteria klinis (peningkatan ukuran dan perluasan lesi yang
sudah ada, timbul lesi baru, timbul eritema dan infiltrasi
kembali pada lesi yang sudah membaik, penebalan atau
nyeri saraf)
2. Kriteria bakteriologis: dua kali pemeriksaan BTA positif
(selama periode pengobatan) pada pasien yang
sebelumnya BTA negatif pada lokasi mana saja. Atau jika
terdapat peningkatan BI 2+ atau lebih dibandingkan dengan
pemeriksaan BI sebelumnya pada 2 lokasi, dan tetap positif
pada pemeriksaan ulang. Hal ini dikatakan relaps jika
DO
pasien sudah menyelesaikan terapi MDT sebelumnya
(WHO)
3. Kriteria teurapetik: untuk membedakan dengan RR, dapat
dilakukan sbb: pasien diterapi dengan prednison/-
prednisolon (1kg/kgbb). Jika RR, maka akan terdapat
perbaikan klinis secara berangsur dalam 2 bulan. Jika tidak
ada perbaikan gejala atau hanya sebagian membaik atau
justru lebih bertambah, dapat dikatakan tersangka relaps.
4. Kriteria histopatologis: muncul kembali granuloma pada
kasus PB dan meningkatnya infiltrasi makrofag disertai
dengan ditemukannya basil solid serta peningkatan BI pada
kasus MB.
5. Kriteria serologis: pada kasus LL, pengukuran antibody
R

PGL-1 IgM merupakan indikator yang bagus untuk


terjadinya relaps
Catatan: 3 kriteria pertama sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis relaps.

Perbedaan reaksi reversal dan relaps dapat dilihat pada tabel


PE

berikut:
No Gejala Reaksi tipe 1 Relaps
. (reaksi reversal)
1. Interval/onset Umumnya dalam 1 tahun atau
4 pekan 6 lebih setelah
bulan RFT:
pengobatan atau PB: 3 tahun
dalam 6 bulan pada non
setelah RFT. lepromatosa
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 58

58 Dermatologi Infeksi
Pada reaksi Borderline: 5
berulang sampai tahun
2 tahun setelah MB: 9 tahun
RFT
2. Timbulnya gejala Mendadak, cepat Lambat,
bertahap

I
3. Tipe kusta BT, BB, BL Semua tipe
4. Lesi lama Beberapa atau Eritema dan
seluruh lesi plak di tepi lesi.

SK
menjadi berkilap, Lesi bertambah
eritematosa, dan dan meluas.
bengkak; nyeri
tekan (+);
konsistensi
lunak. Terjadi
perubahan tipe
ke arah yang
lebih baik;
edema tangan
dan kaki
5. Lesi baru Jumlah Jumlah banyak
DO
beberapa,
morfologi sama
6. Ulserasi (+) pada reaksi (-)
berat
7. Keterlibatan saraf Neuritis akut Terjadi
yang nyeri; ada keterlibatan
nyeri spontan; saraf baru;
abses saraf; tiba- tanpa nyeri
tiba ada paralisis spontan; nyeri
otot disertai tekan (+);
meluasnya gangguan
gangguan motoris dan
sensoris sensoris terjadi
R

lambat/perlahan
8. Gangguan Mungkin (+) Mungkin (-)
sistemik
9. BTA Terjadi IB mungkin (+)
penurunan IB, pada pasien
peningkatan dengan IB yang
PE

bentuk granuler sebelumnya (-)


10. Tes lepromin Reaksi Hasil tes
Fernandez (+) tergantung tipe
pada tipe BL dan saat relaps
BB yang menjadi
secara berurutan
menjadi BB dan
BT

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 59

Dermatologi Infeksi 59
11. Respons terhadap Excellent. Lesi Respons tidak
pemberian steroid membaik dalam ada atau
2-4 pekan; tetap sedikit.
membaik dengan
pengobatan 2
bulan.

I
III. Penatalaksanaan Pasien diobati MDT sesuai hasil pemeriksaan dan tipe relaps
yang ditemukan pada saat itu.

SK
Kepustakaan 1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam : Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi ke-7
New York : Mc Graw-Hill, 2012.
2. Jopling WHJ., Mc Doughall AC. Handbook of Leprosy. Edisi ke-5.
New Delhi; CBS publishers & Distrubutors,1988.
3. Brycesson A., Pflatzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London; Churchill
Livingstone, 1990.
4. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP),
2002. 234 Blythe Road London, W14 OHJ, Great Britain. How to
Diagnose and Treat Leprosy. Learning Guide One.
5. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP),
DO
2002. How to recognize and manage Leprosy Reaction, 234 Blythe
Road London, W14 OHJ, Great Britain. Learning Guide Two.
6. Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, penyunting. Kusta,
edisi ke-2. Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 2003.
st
7. IAL Textbook of Leprosy. Kar and Kumar editors. 1 edition. Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd New Delhi, St Louis 2010
8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report (WHO Technical
Report Series ; no 369) , 2012
9. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Direktorat
Jenderal Pengandalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2013
R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 60

60 Dermatologi Infeksi
Bagan Alur
Tanda kardinal

I
Ada Ragu Tidak Ada

SK
Kusta Tersangka Bukan Kusta

Jumlah bercak Observasi


Penebalan saraf BTA / 3-6 bulan
& ggn Fungsi, Histopatologi
Pem. BTA

Tanda kardinal

Bercak 5 Bercak >5


Saraf 1 Saraf >1
DO
BTA (-) BTA (+)
Ada Tidak Ada Ragu

PB MB

RUJUK
ke konsultan
MDT PB / MB

Bila terdapat Bila terdapat Reaksi Bila terdapat Relaps


kontraindikasi / efek
samping
R

MDT Alternatif Terapi reaksi MDT ulang


PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 61

Dermatologi Infeksi 61
B.9. MALASSEZIA FOLIKULITIS

I Definisi : Merupakan radang pada folikel pilosebasea


yang disebabkan oleh genus Malassezia.

II Kriteria diagnostik :
Klinis : Lesi biasanya terdapat di dada, punggung, leher,

I
dan lengan, berupa papul eritematosa atau
pustul perifolikular berukuran 2-3 mm. Gatal lebih
sering dijumpai dibandingkan pada Pitiriasis

SK
Versikolor. Penyakit ini kadang dijumpai
bersamaan dengan akne vulgaris yang
rekalsitran, hal ini mungkin berkaitan dengan kulit
yang berminyak.
Faktor predisposisi antara lain: diabetes melitus,
penggunaan glukokortikoid, antibiotik, dan obat
imunosupresif, kehamilan, keganasan (leukemia,
penyakit Hodgkin), transplantasi organ (ginjal,
jantung, sumsum tulang), AIDS, serta sindroma
Down
Diagnosis banding : - Akne korporis
- Erupsi akneiformis
- Folikulitis kandida
DO
- Folikulitis bakterial
- Insect bites
- Miliaria
- Dermatitis kontak
Pemeriksaan : Pemeriksaan langsung dengan memakai larutan
penunjang KOH 20%. Spesimen berasal dari bagian dalam
isi pustul, papul atau papul komedo yang diambil
menggunakan ekstraksi komedo.
Hasil positif ditentukan sebagai +3 atau +4
berdasarkan grading jumlah spora per lapangan
pandang besar mikroskop.
Grading spora:
+1: bila ditemukan 1-2 spora, tidak ada
kelompokkan spora
R

+2: bila ditemukan kelompok kecil spora yang


terdiri dari < 6 spora atau 12 spora yang
tersebar
+3: bila ditemukan kelompok besar spora yang
terdiri dari 7-12 spora atau 20 spora yang
tersebar
PE

+4: bila ditemukan kelompok spora yang terdiri


dari >12 spora atau 21 spora yang tersebar.

Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan


ostium folikel melebar dan bercampur dengan
materi keratin. Dapat terjadi ruptur dinding folikel

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 62

62 Dermatologi Infeksi
sehingga terlihat respons radang campuran dan
sel datia benda asing

III Penatalaksanaan : Terapi sistemik:


Ketokonazol 200mg/hari selama 4 pekan,
atau

I
Flukonazol 150 mg/pekan selama 2-4
pekan, atau
Itrakonazol 200 mg/hari selama 2 pekan

SK
IV Kepustakaan : 1. Pfaller MA, Diekema DJ, Merz WG. Infections
caused by non-Candida, non-Cryptococcus
yeasts. Dalam: Anaisse EJ, McGinnis MR,
Pfaller MA, editor. Clinical Mycology; edisi ke-
2. New York: Churchill Livingstone Elsevier,
2009: 251-70
2. Janik MP, Heffernan MP. Martin. Yeast
infections: Candidiasis and Tinea (Pytiriasis)
Versikolor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Dermatology in general medicine; edisi
ke-7. New York: Mc Graw Hill, 2008:1822-30
DO
3. Jacinto-Jamora S, Tamesis J, Katigbak ML.
Pytirosporum folliculitis in the Philippines:
diagnosis, prevalence and management.
Journal American Academic of
Dermatology.1991;24:693-6

V Bagan Alur

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek Malassezia Folikulitis
R

Ya
Tidak
Malassezia
Diagnosis banding
Folikulitis
lainnya
PE

Medikamentosa
Ketokonazol
200mg/hari selama
4 minggu
Flukonazol 150
mg/minggu selama
2-4 minggu
Itrakonazol 200
mg/hari selama 2
minggu
Edukasi
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 63

Dermatologi Infeksi 63
B.10. MIKOSIS PROFUNDA

I Definisi : Mikosis profunda merupakan suatu kelompok


heterogen infeksi jamur yang berkembang dari trauma
transkutaneus. Infeksi berkembang perlahan, umumnya
tidak nyeri, sesuai dengan pertumbuhan agen

I
penyebabnya dan beradaptasi dengan lingkungan
jaringan penjamunya.
Berikut dibahas : misetoma (eumisetoma,
aktinomisetoma), sporotrikosis, kromomikosis, dan

SK
zigomikosis subkutan.
Misetoma (Eumisetoma ICD10 : B47.0
Aktinomisetoma ICD10 : B47.1)
Misetoma adalah penyakit infeksi jamur kronik
supuratif jaringan subkutan, khas ditandai dengan
tumefaksi, abses, sinus, fistul dan granul. Penyebab
dapat jamur (eumisetoma) atau oleh Actinomycetes
(aktinomisetoma).
Sporotrikosis (ICD10 : B42)
Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis yang
disebabkan oleh Sporotrichium schenkii.
Klasifikasi : tipe lokalisata, tipe limfangitis kronis
DO
(tersering, ICD10 : B42.1), tipe kutaneus menetap,
dan tipe diseminata
Kromoblastomikosis/ Kromomikosis (ICD10 :
B43)
Adalah penyakit jamur kronis invasif pada kulit dan
jaringan subkutan yang disebabkan oleh bermacam
jamur berpigmen (dermatiaceae) yang membentuk
sel muriform (badan sklerotik).
Zigomikosis subkutan/ Basidiobolomikosis
(ICD10 : 46.8)
Penyakit infeksi yang disebabkan tersering oleh
Basidiobolus ranarum.
II Kriteria diagnostik :
R

Klinis : Misetoma: pada lokasi inokulasi (umumnya


ekstremitas) terbentuk papul/nodus. Selanjutnya
terjadi pembengkakan, abses, sinus, dan fistel
multipel, serta keluar granul. Warna granul membantu
dugaan penyebab: granul hitam pada eumisetoma,
granul merah, kuning pada aktinomisetoma, warna
PE

lain dapat oleh keduanya. Lesi lanjut terdapat


gambaran parut. Dapat mengenai tulang.
Sporotrikosis: Bentuk limfokutan berupa pembesaran
kelenjar getah bening, kulit dan jaringan subkutis di
atas nodus sering melunak dan pecah membentuk
ulkus indolen mengikuti garis aliran limfa.
Kromoblastomikosis: pada tempat inokulasi timbul
nodus verukosus kutan yang perlahan membentuk
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 64

64 Dermatologi Infeksi
vegetasi papiloma besar. Tempat predileksi: tungkai
dan kaki.
Zigomikosis subkutan: nodus subkutan yang
membesar dan tidak nyeri, teraba keras seperti kayu,
kadang gatal.

I
Diagnosis banding : 1. Misetoma : tuberkulosis kutis, infeksi bacterial
(botriomisetoma), osteomielitis kronik, aktino
misetoma.
2. Sporotrikosis: Infeksi Mikobakterium atipik,

SK
leismaniasis
3. Kromoblastomikosis: Veruka vulgaris, tuberculosis
kutis verukosa, elefantiasis, karsinoma sel skuamosa.

Pemeriksaan : Sediaan langsung :


penunjang i. Misetoma: sediaan KOH granul berwarna tampak
filamen halus (aktinomisetoma) atau lebar (eumisetoma)
ii. Kromoblastomikosis: sediaan KOH kerokan kulit
dapat ditemui sel muriform (badan/ sel sklerotik
berpigmen).
Perlu konfirmasi dengan:
1. Pemeriksaan histopatologis. Tampak granuloma
DO
tanpa perkijuan dan ada eosinofil.
2. Kultur untuk memastikan spesies penyebab.
Dilakukan dengan 3 kultur yaitu Sabouraud dextrose
agar (SDA), SDA + antibiotik dan SDA + antibiotik+
sikloheksimid

III Penatalaksanaan : Sporotrikosis :


Obat pilihan : itrakonazol 200 mg/hari, atau solusio
kalium iodida jenuh (KI) 3 X 5 tetes / hari dinaikkan
perlahan sampai terjadi gejala toksik mual, muntah,
hipersalivasi dan lakrimasi, kemudian diturunkan dan
dipertahankan pada dosis sebelum terjadi gejala toksik.
Dapat dengan tablet Jodkali 200 mg/ tablet, dosis 30
mg/ KgBB/ hari
R

Kromomikosis : penyembuhan sulit dan sering


kambuh.
Obat pilihan : Itrakonazol 200-400 mg/hari (dengan atau
tanpa 5 fluoro-urasil) selama beberapa bulan, dapat
kombinasi itrakonazol dan terbinafin 250-500 mg/hari.
Lesi kecil dapat bedah eksisi. Lesi lanjut dapat berakhir
PE

amputasi.
Alternatif: kombinasi itrakonazol dengan bedah beku,
pemanasan topikal.
Zigomikosis subkutan :
Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari selama 3 bulan
atau solusio kalium yodida jenuh/ tablet Jodkali 200
mg/tablet dosis 30 mg/KgBB/hari.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 65

Dermatologi Infeksi 65
Aktinomisetoma
Obat pilihan : kombinasi antibiotik
Rifampisin 600 mg/ hari dan kotrimoksazol 2 x 2 tablet
(2x1 tablet forte)
Streptomisin sulfat 14 mg/kgBB/hari IM 1 bulan kemudian
tiap 2 hari sekali, dikombinasi dengan ko-trimokasozol
yang terdiri atas: 23 mg/kgBB/hari sulfametoksazol + 4,6

I
mg/kgBB/hari trimetoprim.
Alternatif kombinasi streptomisin: dengan dapson 100
mg/hari, atau rifampisin 4,3 mg/kgBB/hari, atau sulfadoksin-

SK
pirimetamin 500 mg 2x/pekan.
Penambahan Amikasin 15 mg/kgBB/hari selama 3
pekan dalam tiap siklus 5 pekan ko-trimoksazol dapat
diberikan pada penyebab Nocardia yang rekalsitran
(regimen Walsh).
Eumisetoma: sulit, lama (bulan s/d tahun) dan hasil
bervariasi bergantung penyebab.
Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari. Pada penyebab M.
mycetomatis dan M. grisea dapat dengan ketokonazol 200
mg/hari. Dapat dengan terbinafin 250-500 mg/hari. Lesi
lanjut dapat berakhir amputasi.
Catatan:
DO
Perhatikan semua kontraindikasi dan kemungkinan efek
samping akibat obat antijamur sistemik maupun antibiotik
jangka panjang.
Kriteria sembuh : sembuh klinis dan laboratoris.

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2312
2. Richardson M and Lass-Flo C. Changing epidemiology of
systemic fungal infections. Clin Microbiol Infect, 2008; 14
(Suppl. 4): 524
3. Hay RJ. Deep fungal infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ. Fitzpatricks
R

Dermatology in General Medicine. 7th ed., vol.1, Mc Graw Hill,


2007: ch 190; 1831-1835
4. Revankar SG. Dematiaceous fungi. Mycosis, 2007; 50: 91-101
5. Fluckiger U, Marchetti O, Bille J, Eggimann P, Zimmerlie S,
Imhof A, et al. Treatment options of invasive fungal infections in
adults. Swiss Med Wkly, 2006; 136: 447463
6. Trying KS, Lupi O, Hengge UR. Dalam: Tropical Dermatology.
PE

st
1 ed., Elsevier Inc., 2006: 197-214

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 66

66 Dermatologi Infeksi
V Bagan Alur

Lesi kulit dicurigai sebagai Misetoma

I
Anamnesis

SK
1. Riwayat trauma
2. Peninggian lesi, pembentukan nodul, abses, fistula, drainage grain
3. Warna dan ukuran granul

Pemeriksaan
1. Pemeriksaan granul dengan KOH 10-20%
2. Histopatologi
DO
3. Kultur isolasi dan identifikasi agen
4. Foto rontgen, untuk deseksi lesi tulang dan perubahan jaringan lunak

Aktinomisetoma Eumisetoma
R

Antibiotik Antijamur
Yang sesuai Yang sesuai

Edukasi
Edukasi
PE

Dermatologi Infeksi 67
Lesi kulit yang dicurigai Sporotrikosis

Anamnesis
1. Sering terjadi pada tukang kebun, petani, buruh lapangan
2. Riwayat pajanan tanah atau tumbuhan misalnya mawar, rumput

I
Klinis :

SK
Nodus multiple yang muncul dari distal ke proksimal sepanjang limfe,selanjutnya membentuk ulkus-
ulkus kecil tidak nyeri, pada ekstremitas atas dan bawah, dan wajah pada anak-anak. Atau nodus
tunggal yang menjadi ulkus menetap tanpa nyeri

Diagnosis banding Sporotrikosis

Pemeriksaan penunjang
Isolasi jamur dari kultur eksudat
DO
Biopsi kulit
Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding

Sesuai sporotrikosis

Itrakonazol
Solusio Kalium Iodida
jenuh atau
Tablet Jodkali
R

Edukasi
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 68

68 Dermatologi Infeksi
Lesi kulit dicurigai Kromoblastomikosis

Anamnesis
1. Sering terjadi pada penduduk daerah pedesaan (petani, pemotong kayu, pemotong karet)

I
2. Sering terjadi pada usia 35 40 tahun

SK
Klinis :
Satu atau lebih nodul pada daerah trauma membentuk plak eritematous batas tegas. Lesi berkembang
papilomatosa atau verukosa ireguler. Sering disertai ulserasi. Infeksi dapat menyebar secara limfatik atau
hematogen.

Diagnosis banding Kromoblastomikosis


DO
Pemeriksaan penunjang :
KOH dari krusta, eksudat
Kultur untuk isolasi jamur pada medium Sabouraud
Biopsi (dan kultur utk diagnosis banding tuberculosis kutis)

Sesuai kromoblastomikosis :
Kecil: bedah eksisi dilanjutkan itrakonazol
Besar: Itrakonazole 200mg perhari (dengan atau tanpa Flusitosin 30 mg/ kg/ hr)
atau Terbinafine 250 mg, atau kombinasi ke 2 nya
R

Ketokonazol 10 mg/KgBB/hari

Edukasi
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 69
Dermatologi Infeksi 69
B.11. MOLUSKUM KONTAGIOSUM (B08.1)

I Definisi : Moluskum kontagiosum ( MK ) ialah penyakit infeksi


kulit yang disebabkan oleh Poxvirus.
II Kriteria diagnostik
Klinis : Terutama menyerang anak usia sekolah, dewasa
muda yang aktif secara seksual, dan pasien

I
imunokompromais.
Masa inkubasi berlangsung satu sampai
beberapa pekan.

SK
Tidak ada keluhan.
Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk
kubah, di tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika
dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih
seperti nasi yang merupakan badan moluskum.
Kadang berbentuk lentikular dan berwarna putih
seperti lilin.
Dapat terjadi infeksi sekunder sehingga timbul
supurasi.
Lokasi: muka, badan, dan ekstremitas.

Diagnosis banding : Veruka, granuloma piogenik, melanoma amelanotik,


DO

karsinoma sel basal, varisela, epitelioma, papiloma.
Pada pasien imunokompromais perlu dipikirkan
infeksi jamur yaitu kriptokokosis, histoplasmosis, dan
penisilosis
Pemeriksaan : Biasanya tidak diperlukan.
penunjang Pemeriksaan Giemsa terhadap bahan massa putih
dari bagian tengah papul menunjukkan badan inklusi
moluskum di dalam sitoplasma.
Pemeriksaan histopatologik dilakukan apabila
gambaran lesi tidak khas MK. Tampak gambaran
epidermis hipertrofi dan hiperplasia. Di atas lapisan
sel basal didapatkan sel membesar yang
mengandung partikel virus disebut badan moluskum
R

atau Henderson-Paterson bodies


III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
Penjelasan/penyuluhan pada orangtua pasien:
Tanpa pengobatan, MK dapat sembuh sendiri
dalam beberapa bulan/tahun. Tetapi dalam kurun
waktu tersebut dapat meluas ke seluruh tubuh dan
PE

menularkan ke orang lain, timbul infeksi sekunder,


serta menimbulkan gangguan kosmetis.
Moluskum dapat diobati dengan obat topikal, tetapi
memerlukan ketekunan dan kesabaran serta
memakan waktu lama.

Medikamentosa:
1. Tindakan bedah kuretase/enukleasi:

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 70

70 Dermatologi Infeksi
Lesi kulit dibersihkan dengan alkohol 70%
Bila perlu diberi anestesi krim EMLA 5%
dioleskan pada tiap lesi, tutup plester dan
dibiarkan 1-2 jam
Dengan memakai pinset mata, lesi moluskum
dijepit agar isi keluar, atau dengan ujung skalpel

I
no 11 untuk membuka papul dan mengeluarkan
isi papul.
Luka diolesi dengan salep antibiotik

SK
Tindakan terapi beku/nitrogen cair diulang
dengan interval 3 pekan

2. Terapi topikal :
Kantaridin (0,7% atau 0,9%) dioleskan pada
lesi dan dibiarkan selama 3-4 jam, setelah itu
dicuci. Dalam 1-2 hari timbul lepuh yang akan
pecah menimbulkan erosi/ekskoriasi. Dapat
diberikan salap antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder. Dapat dilakukan sebulan
sekali sampai tidak ada lesi lagi.
Podofilin (10%-25% dalam bentuk resin) atau
(0,3% atau 0,5% dalam bentuk krim).
DO
Dioleskan pada tiap lesi sepekan sekali
Krim imikuimod 5% 3-5 kali/pekan
Gel retinoid 0,1%
Pasta perak nitrat
Asam trikoloroasetat (25% - 35%)
Sidovovir topikal (gel 1%, 3% atau krim 1%,
3%)
Kalium hidroksida (10%) 2 kali/hari selama
30 hari atau sampai terjadi inflamasi dan
ulserasi di permukaan papul
Campuran asam salisilat dan asam laktat
topikal
R

Krim adapalen 1% selama 1 bulan


Pulsed dye laser: pulsa ganda untuk tiap lesi
menggunakan sinar laser 585 nm lebar pulsa
450 usec dan 5 mm spot size pada 6,8-7,2
J/cm2.
PE

3. Terapi Sistemik :
Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis
dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari
Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk
pasien imunokompromais:
sidovovir oral
sub kutan.
interferon-

IV Kepustakaan : 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum:


Reflections on the last challenging pox virus infection.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 71

Dermatologi Infeksi 71
3. Terapi Sistemik :
Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis
dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari
Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk
pasien imunokompromais:
sidovovir oral
interferon- sub kutan.

IV Kepustakaan : 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum:


Reflections on the last challenging pox virus infection.
Part1. Cutis 2010; 86: 230-6.
2. Lee R. Schwartz RA. DPediatric
e r m a molluscum I n f e k s i | 71
t o l o g i contagiosum:
Reflections on the last challenging pox virus infection.
Part2. Cutis 2010; 86: 287-92.
3. An update on the clinical management of cutaneous

I
molluscum contagiosum. Skin Therapy Lett 2014; 19: 5-8.
4. Nguyen HP, Franz E, Stiegel KR, et al. Treatment of
molluscum contagiosum in adult, pediatric, and

SK
immunodeficient populations. J Cutan Med Surg 2014;
18: 1-8.
5. Olsen JR, Gallacher J, Piguet V, Francis NA.
Epidemiology of molluscum contagiosum in children: A
systematic review. Fam Pract 2014; 31: 130-6.
6. Chen X, Anstey AV, Bugert JJ. Molluscum
contagiosum virus infection. Lancet Infect Dis 2013;
13: 877-88.

V Bagan Alur
Kelainan berupa papul kemerahan
sewarna kulit atau putih mutiara
pada kulit atau mukosa sangat
mungkin suatu MK
DO
DIAGNOSIS Pemeriksaan Penunjang
TIDAK
Apakah gambaran Giemsa
klinis sesuai MK? Histopatologis

YA

Non Medikamentosa DIAGNOSIS


YA Konfirma TIDAK
Terapi topikal BANDING
si MK?
Terapi sistemik
R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 72

72 Dermatologi Infeksi
B.12. PIODERMA (L08.0)

I Definisi : Pioderma adalah istilah yang digunakan untuk infeksi


kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri
piogenik, yang paling sering adalah S. aureus dan
Streptokokkus -hemolitik grup A antara lain S.
pyogenes.

I
Terdapat 2 bentuk pioderma:
1. Pioderma superfisialis, lesi terbatas pada

SK
epidermis
Impetigo nonbulosa
Impetigo bulosa
Ektima
Folikulitis
Furunkel
Karbunkel
2. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan
dermis
Erisipelas
Selulitis
Flegmon
DO
Abses multipel kelenjar keringat
Hidradenitis
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Pioderma superfisialis
Gejala konstitusi tidak ada.
a. Impetigo nonbulosa
Tempat predileksi: daerah wajah, terutama di sekitar
nares dan mulut
Lesi awal berupa vesikel atau pustul berdinding tipis
yang mudah pecah membentuk krusta tebal
kekuningan (honey colour). Lesi dapat melebar
sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya.
R

Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi.


b. Impetigo bulosa
Tempat predileksi: daerah intertriginosa (aksila,
inguinal, gluteal), dada dan punggung
Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih; dapat
timbul bula hipopion di atas kulit normal.
Tanda Nikolsky negatif.
PE

Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan


bagian tengah eritematosa (kolaret) dan cepat
mengering
c. Ektima
Merupakan bentuk pioderma ulseratif yang
disebabkan oleh S. aureus dan atau Streptococcus
grup A.
Predileksi: ekstremitas bawah atau daerah terbuka
Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lengket,
berwarna kuning keabuan kotor.
D e r m tampak
Apabila krusta diangkat, a t o l o ulkus f e k s i | 73
g i I n bentuk
punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi,
berwarna keunguan.
d. Folikulitis
Merupakan salah satu Dermatologi Infeksi
bentuk pioderma pada 73
folikel rambut dan jaringan sekitarnya.
Dibedakan menjadi 2 bentuk:
1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/
impetigo folikular )
Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila,
berwarna kuning keabuan kotor.
Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk
punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi,
berwarna keunguan.
d. Folikulitis
Merupakan salah satu bentuk pioderma pada
folikel rambut dan jaringan sekitarnya.
Dibedakan menjadi 2 bentuk:

I
1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/
impetigo folikular )
Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila,

SK
ekstremitas bawah, bokong (dewasa).
Terdapat rasa gatal dan panas.
Kelainan berupa pustul kecil dome-shaped,
mudah pecah, pada folikel rambut, multipel.
2. Folikulitis profunda (sycosis barbae)
Predileksi: dagu, atas bibir.
Nodus eritematosa dengan perabaan hangat,
nyeri
e. Furunkel/karbunkel
Merupakan peradangan pada folikel rambut dan
jaringan sekitarnya.
Predileksi: daerah berambut yang sering
mengalami gesekan, oklusif, berkeringat,
DO
misalnya leher, wajah, aksila, dan bokong.
Lesi berupa nodus eritematosa, awalnya keras,
nyeri tekan, dapat membesar 1-3 cm, setelah
beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah keluar
pus.
Karbunkel timbul bila yang terkena beberapa folikel
rambut.
Karbunkel lebih besar, diameter dapat mencapai 3-
10 cm, dasar lebih dalam. Nyeri, sering disertai
gejala konstitusi. Pecahnya lebih lambat, sembuh
dengan skar.

Pioderma profunda
Terdapat gejala konstitusi
Erupsi kulit diikuti rasa nyeri:
R

1. Erisipelas: merah cerah, infiltrat di bagian


pinggir, edema, vesikel dan bula di atas lesi
2. Selulitis: infiltrat eritematosa difus
3. Flegmon: selulitis dengan supurasi
4. Abses kelenjar keringat: tidak nyeri, bersama
miliaria, nodus eritematosa bentuk kubah
PE

5. Hidradenitis: nodus, abses, fistel di daerah


ketiak atau perineum
6. Ulkus piogenik : ulkus dengan pus
Diagnosis banding : 1. Impetigo nonbulosa: ektima
2. Impetigo vesikobulosa:

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 74

74 Dermatologi Infeksi
Dermatofitosis
Pemfigus vulgaris
Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Ektima: impetigo nonbulosa
4. Folikulitis:
a. Pseudofolikulitis barbae
b. Folikulitis keloidal (acne keloidal nuchae)

I
c. Folikulitis pitirosporum
d. Hot tub folikulitis
5. Erisipelas: selulitis

SK
6. Hidradenitis: skrofuloderma
7. Karbunkel
Akne kistik
Hidradenitis supurativa
Pemeriksaan penunjang : Bila diperlukan:
Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram
Kultur dan resistensi spesimen lesi
Kultur dan resistensi darah bila diduga bakteremia

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Membatasi penularan: edukasi terhadap pasien dan
keluarganya agar menjaga higiene perorangan yang
DO
baik.
Mengatasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid,
misalnya infestasi parasit atau dermatitis atopik
Medikamentosa:
Prinsip: pasien berobat jalan, kecuali pada erisipelas,
selulitis dan flegmon dianjurkan rawat inap.
1. Topikal:
Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka
dengan permanganas kalikus 1/5000, rivanol
1, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali
sehari masing-masing 1 jam selama keadaan
akut
Bila tidak tertutup pus atau krusta: *salap/krim
R

asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan


basitrasin.
Dioleskan 23 x sehari, selama 710 hari.
2. Sistemik: minimal selama 7 hari
First line:
Kloksasilin: dewasa 4 x 250500 mg/hari per
PE

oral; anak-anak 50 mg/kgBB/hari terbagi


dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
Pada S.aureus resisten eritromisin
Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3 x
250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari.
Sefaleksin: 40-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam
4 dosis, selama 5-7 hari.
Trimetoprim-sulfometoxazol 160/800mg selama
7 hari
Tetrasiklin 3 xD 250-500mg
e r m a t o l oterbagi f e k s i 7| 75
g i I nselama
hari
Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7
hari
Second line: Dermatologi Infeksi 75
Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan
1 x 250 mg (hari II-V)
Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis,
selama 10 hari
Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anak-
7 hari
Tetrasiklin 3 x 250-500mg terbagi selama 7
hari
Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7
hari
Second line:
Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan
1 x 250 mg (hari II-V)

I
Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis,
selama 10 hari
Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anak-

SK
anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis,
selama 5-7 hari
Kasus yang berat atau infeksi di daerah berbahaya
(misalnya maksila), antibiotik diberikan parenteral.
Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent
Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat:
vankomisin 12 gram/hari dalam dosis terbagi, intravena,
selama 7 hari
Apabila lesi besar, nyeri, disertai fluktuasi, dilakukan
insisi dan drainase
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil
kultur dan resistensi
DO
Tindakan:
Bila ada abses, dapat dilakukan insisi

IV Kepustakaan : 1. Gorwitz RJ. A review of community-associated


methicillin-resistant Staphylococcus aureus skin and
soft tissue infections. Pediatr Infect Dis 2008; 27(1):1-7
2. Tschachler E, Brockmeyer N, Effendy I, Geiss HK, Harder
S, Hartmann M, et al. Streptococcal infections of the skin
and mucous membranes. JDDG 2007; 6: 527-532
3. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and management of
Staphylococcus aureus infections of the skin and soft
tissue. Int Med J 2005; 35: S97-105
4. Ki V, Rotstein C. Bacterial skin and soft tissue
R

infections in adults: A review of their epidemiology,


pathogenesis, diagnosis, treatment and site of care.
Can J Infect Dis Med Microbiol 2008;19:173-84.
5. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology
2nd ed. Peoples Meical Publishing House. USA.
2011;349-352
PE

6. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2128-2147

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 76

76 Dermatologi Infeksi
V Bagan Alur

I
SK
Tidak
Diagnosis Banding

Ringan Sedang
Berat

Antibiotika Sistemik
DO
Antibiotik Topikal Pilihan I:
- Kloksasilin
Pilihan I: - Amoksisilin asam klavulanat
Mupirosin - Sefalosporin generasi I
Asam fusidat - Sefalosporin generasi II

Pilihan II: Pilihan II:


Basitrasin - Azitromisin
- Klindamisin
- Eritromisin

Ya Tidak Kultur & Resistensi

Apabila pasien gagal


R

diterapi dengan obat


Sembuh pilihan I

Terapi berdasarkan:
PE

- Hasil kultur dan


resistensi
- Mupirosin di sekitar
nares untuk karier

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 77

Dermatologi Infeksi 77
B.13. PITIRIASIS VERSIKOLOR (B36.0)

I Definisi : Penyakit infeksi oportunistik kulit epidermomikosis,


disebabkan oleh jamur Malassezia sp. (Pitryrosporum
orbiculare / P.ovale) yang ditandai dengan makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan kadang
eritematosa.

I
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Penyakit ditemukan pada semua usia, terutama pada
usia 20 40 tahun, lesi terutama pada daerah

SK
seboroik; tidak menular, serta ada kecenderungan
genetik
Keluhan umumnya tidak ada, kadang timbul rasa gatal
terutama bila berkeringat.
Status dermatologi :
Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu
tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas;
berupa bercak hipopigmentasi, eritema hingga
kecoklatan, konfluen dengan skuama halus.

Diagnosis banding : Sering Jarang


Pitiriasis alba Vitiligo
DO
Pitiriasis rosea Psoriasis gutata
Dermatitis seboroik Pitiriasis rubra pilaris
Infeksi dermatomikosis Morbus Hansen
Leukoderma
Pemeriksaan : Pemeriksaan dengan lampu Wood : terlihat
penunjang fluoresensi berwana kuning keemasan.
Pemeriksaan langsung dengan mikroskop dan
larutan KOH 20% : tampak spora berkelompok dan
hifa pendek.
Spora berkelompok merupakan tanda kolonisasi,
sedangkan hifa menunjukkan adanya infeksi.
Kultur : tidak diperlukan
III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
R

Hindari suasana lembab, panas, dan keringat berlebih.


Medikamentosa:
1. Topikal
Obat pilihan : Sampo selenium sulfida 2,5% atau
sampo zinc pyrithione dioleskan di seluruh daerah
yang terinfeksi/ seluruh badan, 7-10 menit sebelum
mandi, sekali/hari atau 3-4 kali sepekan. Khusus
PE

untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum


solutio atau golongan azol topikal (krim mikonazol 2x /
hari).
Alternatif : sampo ketokonazole 2 % dioleskan pada
daerah yang terinfeksi/ seluruh badan, 5 menit
sebelum mandi, selama 3 hari berturut-turut, atau
terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi,
2x/hari selama 7 hari

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 78

78 Dermatologi Infeksi
2. Untuk lesi luas atau jika sulit disembuhkan dapat
digunakan ketokonazol oral 200 mg/hari selama 10
hari.
Alternatif: itrakonazol 200-400 mg/hari selama 7 hari
dan flukonazol 400mg single dose
Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu Wood,
dan pemeriksaan mikologis langsung berturut-turut

I
selang sepekan telah negatif.
3. Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan
dengan topikal tiap 1-2 pekan atau sistemik ketokonazol

SK
2X200 mg/hari sekali sebulan.

IV Kepustakaan : 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S,


Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis edisi
ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 24-34
2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc
Graw-Hill, 2012;2307
3. Lange DS, et all/ Ketokonazol 2 % shampoo in the
treatment of tinea versicolor: A multicentre randomized,
double blind, placebo controlled trial. J A A D,1998; 39 ( 6 ):
DO
944-950

V Bagan Alur
Pasien dengan gambaran
klinis dan gejala
suspek pitiriasis versikolor

Ya
Tidak

Diagnosis banding Pitiriasis versikolor


lainnya
R

Nonmedikamentosa
Edukasi pasien
Medikamentosa
Topikal
Oral (mempertimbangkan
PE

lesi luas dan berat,


rekuren, rekalsitran)

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 79

Dermatologi Infeksi 79
B.14. SKABIES (B86)

I Definisi : Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis dan
produknya.
Manifestasi klinis skabies meliputi :

I
Lesi pada tempat infestasi
Manifestasi kutan hipersensitif terhadap kutu
Lesi sekunder olek karena garukan

SK
Lesi sekunder oleh karena infeksi
Lesi varian : skabies pada bayi, skabies pada orang
bersih, skabies incognito, skabies nodularis, skabies
yang ditularkan hewan, skabies dengan HIV/AIDS,
skabies Norwegia (skabies berkrusta)

II Kriteria diagnostik :
Klinis : Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok,
Keadaan umum pasien baik

Diagnosis perkiraan (presumtif)


DO
apabila ditemukan trias:
1. Lesi kulit pada daerah predileksi.
Lesi kulit: terowongan (kunikulus) berbentuk garis
lurus atau berkelok, warna putih atau abu-abu
dengan ujung papul atau vesikel. Apabila terjadi
infeksi sekunder timbul pustul atau nodul.
Daerah predileksi pada tempat dengan stratum
korneum tipis, yaitu: sela jari tangan, pergelangan
tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak,
areola mamae, umbilikus, bokong, genitalia
eksterna, dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
2. Gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal).
R

3. Terdapat riwayat sakit serupa dalam satu


rumah/kontak.

Diagnosis pasti
Apabila ditemukan: tungau, larva, telur atau kotorannya
melalui pemeriksaan penunjang (mikroskopis).
PE

Diagnosis banding : Prurigo


Pedikulosis korporis
Dermatitis atopik
Papular urtikaria
Insect bite

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 80
80 Dermatologi Infeksi
Pemeriksaan : Beberapa cara untuk menemukan terowongan:
penunjang Kaca pembesar
Tinta cina
Uji tetrasiklin
Epiluminescence microscopy (dermatoskopi).

I
Beberapa cara untuk menemukan tungau:
Kerokan diambil dari beberapa lesi (papul baru, tidak
eksoriasi) pada tempat predileksi, kemudian

SK
diletakkan di atas gelas obyek, ditetesi KOH/NaCl/
minyak mineral, ditutup dengan kaca penutup, lalu
diperiksa di bawah mikroskop.
Membuat biopsi irisan kulit

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :


Penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan
Pengobatan secara tepat dan benar, serta seluruh
orang yang tinggal serumah harus serempak
mendapat pengobatan.
Medikamentosa :
1. Topikal:
DO
Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit dan
dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang setelah
satu pekan.
Salap sulfur 5-10%, dioleskan 3 malam berturut-
turut.
Krim krotamiton 10% dioleskan selama 8 jam
pada hari ke 1,2,3, dan 8
Emulsi benzilbenzoat (10%), dioleskan selama
24 jam penuh
Gama benzen heksaklorida (gameksan) 1%
dalam krim atau losio, cukup sekali pemakaian,
dapat diulang bila belum sembuh.
R

2. Sistemik :
Antihistamin sedative (oral) untuk mengurangi
gatal.
Bila infeksi sekunder dapat ditambah antibiotik
sistemik.
Ivermektin (oral) 0,2 mg/kg dosis tunggal, 2-3
PE

dosis setiap 8 10 hari. Tidak boleh pada anak-


anak dengan berat kurang dari 15 kg, wanita
hamil dan menyusui

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 81
Dermatologi Infeksi 81
IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2569
2. Shimose L, Munoz-Price LS. Diagnosis, prevention, and
treatment of scabies. Curr Infect Dis Rep. 2013;15: 426-
31.

I
3. FitzGerald D, Grainger RJ, Reid A. Interventions for
preventing the spread of infestation in close contacts of
people with scabies. Cochrane Database Syst Rev. 2014.
doi: 10.1002/14651858.CD009943.pub2.

SK
V Bagan Alur

Pasien dengan gatal dan


lesi skabies

DIAGNOSIS
Diagnosis Apakah gejala klinis dan hasil
banding Tidak
laboratorium menyokong
skabies?
DO
Ya

EVALUASI
Terapi sesuai
Apakah pasien menunjukkan Ya skabis berkrusta
gejala skabies berkrusta?

Tidak

Terapi untuk pasien dan semua kontak


R

risiko tinggi
Edukasi pasien
Farmakoterapi
Lini pertama (skabisid topikal):
o Permetrin
Lini kedua (skabisid topikal):
o Benzil benzoat
Follow-up
PE

o Crotamiton
o Sulfur lihat algoritme
Terapi simtomatik: follow up
o Antihistamin oral
o Kortikosteroid topikal
Infeksi bakterial sekunder:
o Terapi dengan antibiotik yang
sesuai

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 82

82 Dermatologi Infeksi
Terapi skabies
berkrusta?

I
C. Edukasi pasien
D. Farmakoterapi
Ivermectin (oral)

SK
Ditambah
Skabisid (topikal)
Terapi hiperkeratosis:
Obat keratolitik (misalnya: asam salisilat)
Terapi simptomatik
o Antihistamin oral
o Kortikosteroid topikal
Infeksi bakterial sekunder:
o Terapi dengan antibiotik yang sesuai
DO
Follow up
Terapi untuk Pemeriksaan ulang pasien,
skabies non-krusta 1-2 pekan setelah terapi awal

Evaluasi
Apakah terjadi perbaikan
Tidak terhadap rasa gatal & lesi kulit Ya
atau lewat mikroskopis?
R

Ulang terapi Tidak memerlukan


terapi lanjut
PE

Dermatologi Infeksi 83
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 83
B.15.B.15.
STAPHYLOCOCCAL
STAPHYLOCOCCAL
SCALDED-SKIN (SSSS)
SCALDED-SKIN (SSSS)
/ SINDROM
/ SINDROM
KULIT
KULIT
LEPUH
LEPUH
STAFILOKOKAL
STAFILOKOKAL

I I Definisi
Definisi : SSSS
: SSSS merupakan
merupakan penyakit infeksi
penyakit yangyang
infeksi
mengancam
mengancam nyawa,nyawa,disebabkan oleh oleh
disebabkan toksintoksin
eksfoliatif oleh oleh
eksfoliatif bakteribakteri
Staphylococcus
Staphylococcusaureus
aureus

I
padapada
lapisan kulit. kulit.
lapisan

II II Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik : :

SK
Klinis
Klinis : Gejala
: Gejala
awal awaldapatdapat berupa berupa
demam demam dengan dengan
ruamruam
berwarna
berwarnamerah-oranye, merah-oranye,pucat, pucat,makula makula
eksantema,
eksantema, terbatas di kepala
terbatas dan menyebar
di kepala dan menyebar ke ke
bagian tubuhtubuh
bagian lain dalam
lain dalambeberapa jam. jam.
beberapa Gejala ini ini
Gejala
disertai dengan
disertai denganrhinorrhea purulen,
rhinorrhea konjungtivitis,
purulen, konjungtivitis,
atau atau
otitis otitis
media. media.Tanda Nikolsky
Tanda positif.
Nikolsky positif.
DalamDalam waktuwaktu 24-4824-48 jam, jam,
makulamakula eksantema
eksantema
secara
secarabertahap
bertahap berubah menjadi
berubah menjadilepuh, secara
lepuh, secara
khusus
khusus berbentuk
berbentuk bullae besarbesar
bullae lembut yangyang
lembut
merupakan
merupakan lapisan epidermis
lapisan yangyang
epidermis berkerut dan dan
berkerut
tampak
tampakseperti kertas
seperti tisu. tisu.
kertas
Setelah
Setelah 24 24 jam, jam, bullaebullaetersebuttersebutpecah pecah
DO
meninggalkan
meninggalkan krusta krustaberkilat, lembab,
berkilat, lembab, dan dan
memiliki permukaan
memiliki permukaan berwarna merah.
berwarna merah.PadaPadatahaptahap
ini pasien akanakan
ini pasien iritabel, sakit,sakit,
iritabel, demam demam dengandengan
sad sad
man man
facies, krusta
facies, perioral,
krusta fisurafisura
perioral, bibir bibir
dan edema
dan edema
wajahwajah
ringan.ringan.

Diagnosis banding : : Nekrolisis


banding
Diagnosis Nekrolisis
epidermal
epidermal
toksiktoksik
(NET)(NET)
Penyakit
Penyakit
Kawasaki
Kawasaki
Penyakit
Penyakit
Leiner
Leiner
Pemeriksaan
Pemeriksaan : Bila
: diperlukan:
Bila diperlukan:
penunjang
penunjang Pemeriksaan
Pemeriksaan sederhana
sederhana
dengandengan
pewarnaan
pewarnaan
GramGram
R

Kultur
Kultur
dan resistensi
dan resistensi
spesimen
spesimen
lesi lesi
Kultur
Kultur dan dan resistensi
resistensi darahdarahbila bila diduga
diduga
bakteremia
bakteremia

III IIIPenatalaksanaan
Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
PE

Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip: eradikasi
Prinsip: eradikasi
S.aureus. Pasien
S.aureus. biasanya
Pasien harusharus
biasanya
dirawat inap inap
dirawat dan mendapatkan
dan mendapatkan antibiotik sistemik
antibiotik sistemik
dan terapi suportif
dan terapi lainnya
suportif yangyang
lainnya diperlukan.
diperlukan.
1. Antibiotik antistafilokokal
1. Antibiotik IV : IV :
antistafilokokal
Lini
pertama :
Lini pertama :
a. Metisilin 25mg/kgBB
a. Metisilin tiap tiap
25mg/kgBB 6 jam jika jika
6 jam
<40kg atau atau
<40kg 1g/kgBB tiap 6
1g/kgBB jam
tiap 6 jika
jam jika
>50kg>50kg
b. Flukloksasilin 6,25-12,5mg/kgBB
b. Flukloksasilin 6,25-12,5mg/kgBB tiap tiap

o al ot go il oI gn if eI kn sf ei k| 84
D e r Dmeartm s i | 84

84 Dermatologi Infeksi
6 jam jika <40kg atau 250-500mg tiap
6 jam jika > 50kg
Lini kedua : makrolid (eritromisin 1-4g/hari
terbagi 4 dosis atau klaritromisin
7,5mg/kgBB tiap 12 jam)
2. Terapi parenteral dapat diganti dengan terapi

I
oral antibiotik beta-laktamase selama 1 pekan
(dicloxacillin, cloxacillin, cephalexin)

SK
Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent
Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat:
vankomisin 12 gram/hari dalam dosis terbagi,
intravena, selama 7 hari
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan
hasil kultur dan resistensi

IV Kepustakaan : 1. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and


management of Staphylococcus aureus infections
of the skin and soft tissue. Int Med J 2005; 35: S97-
105
2. Braunstein I, Wanat KA, Abuabara K, et al.
Antibiotic sensitivity and resistance patterns in
DO
pediatric staphylococcal scalded skin syndrome.
Pediatr Dermatol 2014; 31: 305-8.
3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
4. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish,
Lawrence Charles Parish, editor. Dalam:
Emergency Dermatology. China : Everbest,
2010;109-114

Alur
R

V Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek SSSS

Ya
PE

Tidak

Diagnosis banding SSSS


lainnya

Medikamentosa
Rawat Inap
Antibiotik IV
antistafilokokal / makrolid

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 85

Dermatologi Infeksi 85
B.16.B.16.
TOXICTOXIC SHOCK
SHOCK (TSS)(TSS)
SYNDROME
SYNDROME / SINDROM
/ SINDROM SYOK
SYOK TOKSIK
TOKSIK (A48.3)
(A48.3)

I Definisi
I Definisi : TSS: TSS merupakan
merupakan respons
respons inflamasi
inflamasi terhadap
terhadap
superantigen
superantigen dari dari Staphylococcus
Staphylococcus sp. sp.atau atau
Streptococcus
Streptococcus sp, yang
sp, yang secara
secara klinisklinis ditandai
ditandai oleh oleh
demam,
demam, ruam,ruam, hipotensi
hipotensi dan dan keterlibatan
keterlibatan

I
multiorgan
multiorgan yang yang menggambarkan
menggambarkan spektrum
spektrum berat.berat.

Kriteria
II Kriteria diagnostik
diagnostik : :

SK
II
Klinis
Klinis : Sindrom
: Sindrom syok syok
toksiktoksik stafilokokal
stafilokokal
Gejala
Gejala awal awalonsetonsetakut akut
berupa berupa
demam, demam,nyeri nyeri
tenggorokan,
tenggorokan, dan mialgia.
dan mialgia. Secara Secara
klinisklinis ditemukan
ditemukan
makula
makula eritematosa
eritematosa diikutidiikuti deskuamasi
deskuamasi dalamdalam1-2 1-2
pekan.
pekan. Erupsi Erupsi
dimulaidimulai dari batang
dari batang tubuh, tubuh, menyebar
menyebar
ke ekstremitas
ke ekstremitas hingga hingga ke telapak
ke telapak tangan tangan dan kaki.
dan kaki.
DapatDapat
terjaditerjadi selulitis,
selulitis, dan dan apabila
apabila terjaditerjadi
invasiinvasi
streptokokalke keperedaran
streptokokal peredarandarahdarahdapatdapat
menimbulkan
menimbulkan fasciitis
fasciitis necrotizing
necrotizing dan miositis.
dan miositis.
Kelainan
Kelainan ini dapat
ini dapat disertai
disertai diarediare
dan dan muntah,muntah,
hipotensi,
hipotensi, pingsan,
pingsan, atau ataubahkanbahkansyok.syok.PadaPada
DO
pemeriksaan
pemeriksaan klinisklinis
dapatdapat ditemukan
ditemukan konjungtiva
konjungtiva
hiperemis,
hiperemis, inflamasi
inflamasi faring,
faring, dan strawberry
dan strawberry tongue.
tongue.

Diagnosis
Diagnosis banding : : SyokSyok
banding sepsis
sepsis
Penyakit
Penyakit Kawasaki
Kawasaki
Sindrom
Sindrom eksfoliatif
eksfoliatif stafilokokal
stafilokokal
Sindrom
Sindrom Stevens-Johnson
Stevens-Johnson
Leptospirosis
Leptospirosis
SyokSyok hemoragik
hemoragik viral viral
Campak
Campak
R

RockyRocky Mountain
Mountain spottedspotted
feverfever

Pemeriksaan
Pemeriksaan : diperlukan:
: Bila Bila diperlukan:
penunjang
penunjang Pemeriksaan
Pemeriksaan sederhana
sederhana dengan
dengan pewarnaan
pewarnaan
GramGram
Kultur
Kultur dan resistensi
dan resistensi spesimen
spesimen lesi lesi
PE

III Penatalaksanaan
IIIPenatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip:
Prinsip: eradikasi
eradikasi S.aureus.
S.aureus. PasienPasien
harusharus dirawat
dirawat
inapmendapatkan
inap dan dan mendapatkan antibiotik
antibiotik sistemik
sistemik dan terapi
dan terapi
suportif
suportif yang yang diperlukan.
diperlukan.
Antibiotik
Antibiotik yang yang disarankan
disarankan adalahadalah vankomisin
vankomisin 15- 15-
20mg/kgBB
20mg/kgBB setiapsetiap
8 jam8 jam
dan dan klindamisin
klindamisin 600- 600-
900mg900mg
setiapsetiap
8 jam8 jam

DerD
m ea rt m s i | 86
o laot go il oI gn if eI kn sf ie |k86

86 Dermatologi Infeksi
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan
hasil kultur dan resistensi

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi

I
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2154-2156
2. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish,
Lawrence Charles Parish, editor. Dalam: Emergency

SK
Dermatology. China : Everbest, 2010;98-107
3. Kulhankova K, King J, Salgado-Pabn W.
Staphylococcal toxic shock syndrome: Superantigen-
mediated enhancement of endotoxin shock and
adaptive immune suppression. Immunol Res. 2014
May 11. [Epub ahead of print]

Pasien dengan gambaran


V Alur klinis dan gejala
suspek TSS
DO
Tidak Ya

Diagnosis banding TSS


lainnya

Medikamentosa
Rawat Inap
Antibiotik vankomisin +
klindamisin

R
PE

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 87

Dermatologi Infeksi 87
B.17. TUBERKULOSIS KUTIS (A18.4)

I Definisi : Infeksi pada kulit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis (jenis human) atau
Mycobacterium atipik
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Gambaran klinis yang paling sering terjadi:

I
Skrofuloderma
Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit akibat
penjalaran langsung organ di bawah kulit yang telah

SK
terkena tuberkulosis, tersering berasal dari KGB,
tulang atau sendi.
Predileksi adalah tempat yang banyak kelenjar
getah bening: leher, ketiak, paling jarang lipat
paha, kadang ketiganya diserang sekaligus.
Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa
kelenjar, kemudian makin banyak dan
berkonfluensi.
Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan
dengan jaringan sekitarnya
Kelenjar mengalami perlunakan tidak serentak
sehingga konsistensi bermacam-macam: keras,
DO
kenyal, lunak (abses dingin).
Abses akan memecah membentuk fistel yang
kemudian menjadi ulkus khas: bentuk memanjang
dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding
bergaung, jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen atau kaseosa yang mengandung M.
tuberculosis.
Ulkus dapat sembuh spontan menjadi
sikatriks/parut memanjang dan tidak teratur (cord
like cicatrices), dapat ditemukan jembatan kulit
(skin bridge) di atas sikatrik.

Tuberkulosis kutis verukosa


Merupakan kelainan reinfeksi M. tuberculosis, terjadi
R

inokulasi langsung ke kulit.


Tempat predileksi: tungkai bawah dan kaki,
bokong, tempat yang sering terkena trauma.
Lesi biasanya berbentuk bulan sabit akibat
penjalaran serpiginosa.
Terdiri atas wart like papul / plak dengan halo
PE

violaseous berukuran lentikular di atas kulit


eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat
sikatriks.

Lupus vulgaris
Merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh
M. tuberculosis yang disebarkan secara hematogen
atau limfogen dari fokus tuberkulosis ekstrakutan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 88

88 Dermatologi Infeksi
(endogen maupun eksogen).
Tempat predileksi: muka, badan, ekstremitas,
bokong
Kelompok papul / nodus merah yang berubah
warna menjadi kuning pada penekanan (apple
jelly colour)

I
Bila nodus berkonfluensi terbentuk plak, bersifat
destruktif, sering terjadi ulkus
Pada involusi terjadi sikatriks

SK
Inokulasi primer (tuberculosis chancre)
Merupakan inokulasi langsung M. tuberculosis pada
kulit.
Predileksi wajah, ekstremitas, daerah yang mudah
terkena trauma
Dapat berupa papul, nodus, pustul, atau ulkus
indolen, indurasi positif, dan dinding bergaung.
Tuberkulosis miliar kutis
Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit dengan
rute hematogen dari fokus di badan.
Fokus infeksi pada paru atau selaput otak.
DO
Pada individu imunosupresif.
Lesi diseminata seluruh tubuh berupa papul,
vesikel, pustul hemoragik atau ulkus.
Prognosis buruk.
Tuberkulosis kutis orifisialis
Merupakan infeksi M. tuberculosis yang terjadi
secara autoinokulasi pada periorifisial dan membrana
mukosa.
Terjadi pada pasien dengan tuberkulosis organ
dalam.
Predilkesi sekitar mulut, orifisium uretra
eksternum, perianal.
Lesi berupa papulonodular yang membentuk ulkus
R

hemoragik / purulen, dinding menggaung, dolen.


Prognosis buruk.

Diagnosis banding : Lupus vulgaris


Morbus Hansen, granumolma fasiale
Sarkoidosis
PE

Tuberkulosis kutis verukosa


Kromomikosis
Veruka vulgaris
Blastomikosis
Skrofuloderma
Hidradenitis supurativa, limfogranuloma venereum
Tuberkulosis milier kutis
Reaksi obat papuler

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 89

Dermatologi Infeksi 89
Tuberkulosis kutis orifisialis
KSS
Stomatitis aphthosa
Pemeriksaan Prinsip:
penunjang Pemeriksaan darah tepi dan LED.
Tes tuberkulin: PPD-5TU hasil positif > 10 mm.

I
Pemeriksaan bakteriologik: sediaan apus
ditemukan basil tahan asam (hasil lebih kurang
delapan pekan).

SK
Pemeriksaan histopatologik.
Skrofuloderma
Pengecatan Ziehl Neelsen dari pus: tampak BTA.
Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuber-
culosis.
Histopatologis bagian tengah lesi tampak masif
nekrosis dan pembentukan abses/tepi abses/
dermis terdiri atas granuloma tuberkuloid

Tuberkulosis kutis verukosa


Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M.
tuberculosis.
Histopatologis: hiperplasia pseudoepiteliomatosa,
DO
dengan infiltrat inflamasi neutrofil dan limfosit.

Lupus vulgaris
Diaskopi: apple jelly .
Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M.
tuberculosis.
Histopatologis: granuloma tuberkel dengan sel
epiteloid, sel raksasa Langhans, dan infiltrat
mononuklear
Inokulasi primer (tuberculosis chancre)
Tes tuberkulin positif setelah afek primer
beberapa pekan
Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis
R

Tuberkulosis milier kutis


Tes tuberkulin umumnya negatif
Histopatologis: nekrosis jaringan dengan infiltrat
nonspesifik. Basil tuberkel banyak ditemukan
Tuberkulosis kutis orifisialis
PE

Tes tuberkulin positif kuat


Histopatologis: bakteri tahan asam banyak
ditemukan pada tuberkel maupun dinding ulkus

III Penatalaksanaan : Medikamentosa


1. Topikal
- Pada bentuk ulkus: kompres kalium permanganas
1/5000

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 90

90 Dermatologi Infeksi
2. Sistemik
Tahap intensif (dua bulan)
INH dewasa : 5 mg/kgBB/hari, oral, dosis
tunggal
Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, oral, dosis
tunggal pada saat lambung kosong (sebelum

I
makan pagi)
o Anak : 10-20mg/kgBB/hari. Maksimal :
600mg/hari
Etambutol : 15-25 mg/kgBB/hari, oral, dosis

SK
tunggal
o Anak: Maksimal 1250mg/hari
Pirazinamid: 20-30 mg/kgBB/hari, oral, dosis
terbagi
o Anak : 30-40mg/kgBB/hari. Maksimal :
2000mg/hari

Tindak lanjut (empat bulan berikut)


o INH: dewasa 5 mg/kgBB/hari, anak 10
mg/kgBB/hari (maksimal 300mg/hari), oral,
dosis tunggal
o Rifampisin: 10 mg/kgBB/hari, anak 10-
DO
20mg/kgBB/hari (maksimal 600mg/hari), oral,
dosis tunggal pada saat lambung kosong

Kriteria penyembuhan:
Skrofuloderma:
Fistel dan ulkus menutup
Kelenjar getah bening mengecil, berdiameter
kurang dari 1 cm, dan konsistensi keras
Sikatriks eritematosa menjadi tidak merah lagi
Laju endap darah menurun dan normal kembali

Tuberkulosis verukosa
Tidak dijumpai lesi serpiginosa
R

Dijumpai sikatriks tidak eritematosa


Laju endap darah menurun dan normal kembali.

IV Kepustakaan : 1. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis and


treatment. J Am Acad Dermatol 2006;54:1050-5.
2. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M,
PE

Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal


Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin
Dermatol 2004; 5 (4): 225-37
3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2225

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 91

Dermatologi Infeksi 91
V Bagan Alur

Observasi tuberkulosis kutis

I
Pemeriksaan
penunjang
(biopsi kulit)

SK
Tidak Ya

Rontgen
paru
DO
Negatif Positif
R

Terapi Terapi
sesuai sesuai
TB kulit TB kulit
PE

DermatologiInfeksi |

92 Dermatologi Infeksi
B.18. VARISELA (B01)

I Definisi : Infeksi akut oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit


dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorfi, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Kelainan pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
infeksi primer virus varisela-zoster dengan karakateristik

I
demam, malese, dan vesikel yang tersebar generalisata
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum timbul ruam

SK
kulit.
Lesi berupa makula eritematosa yang dapat berubah
menjadi vesikel dewdrop on rose petal appearance
Dalam beberapa jam sampai 1-2 hari lesi membentuk
krusta dan mulai menyembuh.
Lesi biasanya mulai dari kepala atau badan berupa
makula eritematosa yang cepat berubah menjadi
vesikel.
Lesi menyebar sentrifugal (dari sentral ke perifer)
sehingga dapat ditemukan lesi baru di ekstremitas,
sedangkan di badan lesi sudah berkrusta.
Pada anak-anak, erupsi kulit terutama berbentuk
DO
vesikular: beberapa kelompok vesikel timbul 1-2 hari
sebelum erupsi meluas.
Jumlah lesi bervariasi, mulai dari beberapa sampai
ratusan. Umumnya pada anak-anak lesi lebih sedikit,
biasanya lebih banyak pada bayi (usia < 1 tahun),
pubertas dan dewasa.
Kadang-kadang lesi dapat berbentuk bula atau
hemoragik.
Selaput lendir sering terkena, terutama mulut, dapat
juga konjungtiva palpebra, dan vulva.
Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah,
frekuensi nadi, suhu, dsb) dapat memberikan petunjuk
tentang berat ringannya penyakit.
R

Status imun pasien perlu diketahui untuk menentukan


apakah obat antivirus perlu diberikan. Untuk itu perlu
diperhatikan beberapa hal yang dapat membantu
menentukan status imun pasien, antara lain:
Keadaan imunokompromis, misalnya keganasan, infeksi
HIV/AIDS,pengobatan dengan imunosupresan,
PE

misalnya kortikosteroid jangka panjang atau sitostatik,


kehamilan, bayi
berat badan rendah akan menyebabkan gejala dan
klinik lebih berat

Diagnosis : 1. Hand, food and mouth disease ; pola penyebaran lebih


banding akral, mukosa lebih banyak terkena, sel Tzank tidak
ditemukan.
2. Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga: seringkali
berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 93
papular dengan titik di tengahnya.
3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel
raksasa bertumpukan inti.
4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et
varioliformis akut, skabiesDermatologi
impetigenisata,Infeksi
moluskum 93
kontagiosum, impetigo

Pemeriksaan : Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi


penunjang Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat
sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun
berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria
papular dengan titik di tengahnya.
3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel
raksasa bertumpukan inti.
4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et
varioliformis akut, skabies impetigenisata, moluskum
kontagiosum, impetigo

I
Pemeriksaan : Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi
penunjang Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat

SK
sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun
beberapa hari pertama.
Ensim hepatik : kadang meningkat.
Sel raksasa berinti bantak dengan pemeriksaanTzank;
biasanya positif, tetapi juga ditemukan pada infeksi HSV
Kultur virus dari cairan vesikel : seringkali positif pada 3
hari pertama, tetapi tidak dilakukan karena sulit dan
mahal.

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa


Bila mandi, harus hati-hati agar vesikel tidak pecah
Jangan menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah,
DO
biarkan mengering dan lepas sendiri
Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah
mencapai stadium krustasi
Rawat bila berat, bayi, usia lanjut dan dengan
komplikasi
Makanan lunak, terutama bila terdapat banyak lesi di
mulut

Medikamentosa:
1. Topikal
Lesi vesikular: diberi bedak agar vesikel tidak pecah,
dapat ditambahkan mentol 2% atau antipruritus lain
Vesikel sudah pecah/krusta: antiseptik
R

2. Sistemik:
Antivirus
Dapat diberikan pada : usia pubertas, dewasa, pasien
yang tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang
menderita varisela 2 hari sebelum sampai 4 hari
PE

sesudah melahirkan.
Bermanfaat terutama bila diberikan < 24 jam setelah
timbulnya erupsi kulit
Dosis :
Asiklovir
Bayi/anak : 4 x 20-40 mg/kg (maks. 800 mg/hr)
selama 5-7 hari
Dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 5-7 hari
Valasiklovir, untuk dewasa 3 x 1 gram/hari selama 7
hari
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 94
Simtomatik
Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat
karena dapat menimbulkan sindrom Reye
Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif,
94 Dermatologi Infeksi atau sedativa
Vaksinasi
Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak
menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali
mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi
parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan
hari
Simtomatik
Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat
karena dapat menimbulkan sindrom Reye
Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif,
atau sedativa
Vaksinasi
Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak

I
menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali
mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi
parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan

SK
jarak 4 pekan.

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012; 2383.
2. KSHI. Penatalaksanaan kelompok penyakit herpes di
Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: 2002.
3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for
Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster :
Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath
AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12
DO
V Bagan Alur Gejala & pemeriksaan
klinis suspek varisela

Tidak
Ya

VARISELA
Diagnosis
banding lainnya
R

Imunokompeten Imunokompromais
PE

Simtomatis
Antipruritus : Antihistamin
Antipiretik : Parasetamol

Farmakoterapi
Antiviral

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 95

Dermatologi Infeksi 95
B.19.B.19.
VERUKAVERUKA VULGARIS
VULGARIS / COMMON
/ COMMON (B07)(B07)
WARTS
WARTS

I Definisi
Definisi
I : Penyakit
: Penyakit disebabkan
disebabkan berbagai
berbagai tipe tipe papilomavirus
papilomavirus
ditandai
ditandai proliferasi
proliferasi jinak jinak epitelial
epitelial kutan.kutan.
InfeksiInfeksi diawali
diawali
inokulasi
inokulasi virus virus ke epidermis
ke epidermis melaluimelalui
barierbarier epidermal.
epidermal.
Maserasi
Maserasi kulit merupakan
kulit merupakan faktorfaktor predisposisi
predisposisi utama. utama.
Pada Pada
kasuskasus imunokompromis, lesi dapat
luas luas
dan dan

I
imunokompromis, lesi dapat
rekalsitran.
rekalsitran.

Kriteria
Kriteria diagnostik
diagnostik : :

SK
II II
Klinis
Klinis : Veruka
: Veruka Vulgaris
Vulgaris KutanKutan
DItemukan
DItemukan lesi lesi
kulit kulit
tunggaltunggal
atau atau berkelompok,
berkelompok,
bersisik,
bersisik, memiliki
memiliki permukaan
permukaan kasarkasar berupa
berupa papulpapul
atau atau
nodulnodul
yang yang
sepertiseperti duri. muncul
duri. Lesi Lesi muncul secara
secara perlahan
perlahan
dan dan
dapatdapat bertahan
bertahan dengan dengan ukuran
ukuran kecil, kecil,
atau atau
membesar.
membesar. Lesi dapat
Lesi dapat menyebar
menyebar ke bagian
ke bagian tubuhtubuh
lain. lain.

VerukaVeruka vulgaris
vulgaris Mukosa Mukosa
Lesi Lesi
umumnyaumumnya
kecil, kecil,
lunak,lunak, berwarna
berwarna merahmerah
mudamuda
atau putih.
atau putih. Biasanya
Biasanya ditemukan
ditemukan di gusi,
di gusi, mukosa
mukosa labial,labial,
lidah,lidah,
atau atau palatum
palatum durum. durum. Terkadang
Terkadang dapatdapat
pula pula
DO
munculmuncul di uretra
di uretra dan dapat
dan dapat menyebar
menyebar ke kandung
ke kandung
kemih.kemih.
DapatDapat disebabkan
disebabkan karenakarena
kontakkontak seksual.
seksual.

Diagnosis
Diagnosis banding : : KalusKalus
banding dan klavus
dan klavus
Kista Kista epidermal
epidermal inklusiinklusi
Keratosis
Keratosis arsenik
arsenik
Granuloma
Granuloma piogenik
piogenik
Psoriasis
Psoriasis
Sifilis Sifilis
sekundersekunder
Karsinoma
Karsinoma kunikulatum
kunikulatum
Milkers Milkers
nodulesnodules
Orf Orf
R

Pemeriksaan
Pemeriksaan : : Pemeriksaan
Pemeriksaan histopatologi
histopatologi
penunjang
penunjang

III Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
III : Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
Penularan
Penularan verukaveruka vulgaris
vulgaris adalah adalah
melaluimelalui
paparan paparan
langsung
langsung pada pada lesi yang
lesi yang mengandung
mengandung virus.virus.
PE

HindariHindari
paparan paparan langsung.
langsung.
Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip
Prinsip terapiterapi : destruksi
: destruksi sel terinfeksi,
sel terinfeksi, dan rekurensi
dan rekurensi
seringkali
seringkali terjadi,
terjadi, apapun apapun modalitas
modalitas yang yang dipakai.dipakai.
Pemilihan
Pemilihan pengobatan
pengobatan bergantung
bergantung dari lokasi,
dari lokasi, jumlah, jumlah,
dan ukuran,
dan ukuran, serta serta
umur umur dan kooperasi
dan kooperasi dari pasien.
dari pasien.
Pada Padapasienpasien anak-anak,
anak-anak, biasanya
biasanya tidak tidak diperlukan
diperlukan
terapi,terapi,
karena karena biasanya
biasanya akan akan regresi regresi dengan dengan
sendirinya.
sendirinya. Yang Yangharusharus diperhatikan
diperhatikan adalah adalah
virus virus
tersebut dapat menyebar ke orang lain.
Terapi: Derm D ea rt m s i | 96
o laotgoi l oI ng fi eI knsf ie |k96
1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam
laktik, asam triklorasetat, asam retinoat
2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil)
96 Dermatologi Infeksi 3. 5-fluorouracil
4. Bleomisin intralesi
5. Isotretinoin oral
6. Cantharidin
Tindakan :
1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang
tersebut dapat menyebar ke orang lain.
Terapi:
1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam
laktik, asam triklorasetat, asam retinoat
2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil)
3. 5-fluorouracil
4. Bleomisin intralesi
5. Isotretinoin oral

I
6. Cantharidin
Tindakan :
1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang

SK
dibubuhi pada ujung kapas atau tabung
semprot
2. Kuretase atau eksisi pada yang tidak respons
pada pengobatan topikal
3. Laser

IV Kepustakaan : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2421-2433
2. Chunjun Yang, Shengxiu Liu, Sen Yang. Treatment of
facial recalcitrant verruca vulgaris with holmium: YAG
DO
laser: An update. Journal of Cosmetic and Laser
Therapy. 2013. 15(1).pp 39-41
3. Federica DallOglio, Valentina DAmico, Maria R.
Nasca, Giuseppe Micali. Treatment of Cutaneous
Warts. Am J Dermatol 2012 : 13(2),pp73-96

V Alur
Pasien dengan gambaran
klinis dan gejala
suspek veruka vulgaris

Tidak Ya
R

Diagnosis banding Veruka Vulgaris


lainnya
PE

Medikamentosa
Terapi
Bedah

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 97

Dermatologi Infeksi 97
I
SK
C
DO
GENODERMATOSIS
R
PE

98 Genodermatosis
C.1. AKRODERMATITIS ENTEROPATIKA (E83.2)

I. Definisi : Akrodermatitis enteropatika (AE, MIM 201100): ialah


kelainan akibat defisiensi zink yang diturunkan secara
resesif autosomal. Penyebab pasti belum diketahui,
diduga karena mutasi gen SLC39A4 pada kromosom

I
8q24.3, yang mengkode transporter zink Zip4
menyebabkan defek absorpsi zink di usus halus.

SK
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Terjadi beberapa hari hingga pekan setelah lahir
pada bayi yang diberi susu formula, atau segera
setelah disapih.
Ditandai trias: lesi kulit akral dan periorifisial,
diare, dan alopesia
Tempat predileksi: akral jari tangan dan kaki,
perioral, periokular, anogenital
Kelainan kulit: dermatitis eksematosa, simetris,
bula dan erosi dibatasi krusta pada bagian perifer
lesi.
Keadaan umum buruk, lemah, anoreksia.
DO
Dapat disertai gejala sistemik lainnya akibat
defisiensi zinc

Diagnosis banding : 1. Malabsorpsi akibat defisiensi zink didapat, biotin,


vitamin B12, asam lemak esensial
2. Kwashiorkor
3. Fibrosis kistik

Pemeriksaan : Pengukuran kadar zink plasma: <50 g/dl


penunjang (normal: 70 250 g/dl, defisiensi ringan: 40 60
g/dl)
Histopatologi: parakeratosis konfluen, spogiosis
R

fokal, akantosis epidermal, serta gambaran


dermatitis psoriasiformis

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Mengkonsumsi makanan berkadar zink tinggi,
(daging, ikan, unggas, telur) dan suplemen makanan
PE

mengandung zink.

Medikamentosa:
Prinsip: suplementasi zink seumur hidup
1. Topikal:
Krim pelembab atau krim antibiotik (bila ada infeksi
sekunder)
2. Sistemik:
Anak: zink elemental 0,5-1 mg/kg 1-2 kali/hari
Dewasa: zink elemental 15-30 mg/hari

G e n o d e r m a t o s i s | 99

Genodermatosis 99
Tindak lanjut:
Untuk kelainan bawaan dipantau kadar zink plasma
setiap 6 bulan sekali secara teratur

IV. Kepustakaan : 1. Jen M, Yan AC. Cutaneous changes in nutriotional

I
disease. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc
Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1521-3.

SK
2. Paller AS, Mancini AJ. Inborn errors of metabolism.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 548-50.
3. Ruiz-Maldonado R, Orozco-Covarrubias L. Skin
manifestastions of nutritional disorders. Dalam: Harper J,
Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric
dermatology.Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Science; 2006.h.
603 (Mohon gunakan referensi terbaru)
4. Corbo MD, Lam J. Zinc deficiency and its management
in the pediatric population: a literature review and
proposed etiologic classification. J Am Acad Dermatol
2013; 69: 616-25.
R DO
PE

G e n o d e r m a t o s i s |100

100 Genodermatosis
V. Bagan Alur

Riwayat:

eksematisasi akut, dermatitis erosif, diare

I
Gambaran klinis:

pada tepi lesi


Erosi-ekskoriasi disertai bula dan krusta

SK
di daerah akral, perioral, periokular, anogenital, tangan

Kadar zink serum

Normal

< 50 g/dl

Akrodermatitis enteropatika
Penyakit lain
DO
Konsumsi makanan kaya zink
Bila perlu:
Konsul spesialis gizi?
Sistemik
Seng pikolinat atau seng glukonat
(dosis sesuai kadar zink serum)
Topikal:


Krim antibiotik (infeksi sekunder)
R

Sembuh Evaluasi kadar zink setiap 6 bulan


PE

G e n o d e r m a t o s i s |101

Genodermatosis 101
C.2. INKONTINENSIA PIGMENTI (SINDROM BLOCH-SULZBERGER) (L80)

I. Definisi : Inkontinensia pigmenti (IP, MIM 308300) merupakan


sindrom neurokutan yang diturunkan secara dominan
terkait X dan dan bersifat letal in utero pada sebagian
besar laki-laki yang terkena dan ekspresinya bervariasi

I
pada wanita.
Berbagai kelainan rambut, kuku, skeletal, anomali gigi,
mata dan saraf berkaitan dengan kelainan ini. Mutasi

SK
pada gen NEMO (nuclear factor-kappa B (NF-B)
essential modulator) yang terletak pada kromosom
Xq28 ditemukan sebagai penyebab IP. NEMO
dibutuhkan untuk aktivasi faktor transkripsi NF-B dan
oleh karenanya sangat penting pada berbagai jalur
imunologi, inflamasi dan apoptosis.

II. Kriteria diagnostik :


Klinis : Manifestasi pada kulit secara klasik dibagi menjadi
4 stadium, namun demikian tidak seluruh stadium
DO
muncul dan beberapa stadium dapat tumpang
tindih. Kelainan yang terjadi pada kulit terdistribusi
mengikuti garis Blaschko. Lesi kulit pada stadium
yang berbeda ditandai oleh:
Stadium 1: eritema, vesikel dan pustul
Stadium 2: papul, lesi verukosa, dan
hiperkeratosis
Stadium 3: hiperpigmentasi
Stadium 4: hipopigmentasi, atrofi dan
skar/sikatriks

Stadium 1 biasanya terjadi dalam beberapa


R

minggu pertama kehidupan dan ditandai oleh


vesikel atau pustul yang timbul di atas kulit yang
eritematosa. Vesikel dapat ditemukan di manapun
pada tubuh tetapi biasanya tidak pada wajah.
Secara khas erupsi vesikobulosa tampak pada
saat atau segera setelah lahir, dan mengikuti garis
PE

Blaschko. Vesikel/ bula menyembuh dalam


beberapa minggu dan kadang-kadang diikuti oleh
erupsi baru. Stadium 1 berakhir dalam 4 bulan,
meskipun episode erupsi vesikobulosa pernah
dilaporkan kambuh pada sebagian kasus pada
usia dewasa yang dipicu oleh demam atau infeksi.
Lesi hiperkeratotik pada stadium 2 dapat timbul
lebih awal (usia 4 minggu). Biasanya lesi tersebut
timbul pada ekstremitas bawah, saat lesi
G e n o d e r m a t o s i s |102

102 Genodermatosis
vesikobulosa mulai menyembuh. Pada lebih dari
80% kasus lesi hiperkeratotik menyembuh dalam 6
bulan.
Stadium 3 adalah lesi IP yang paling khas, berupa
garis hiperpigmentasi, terutama pada badan
mengikuti garis Blaschko. Hiperpigmentasi

I
memudar dan menghilang pada akhir usia dekade
ke-2.
Stadium 4 terjadi pada sebagian kecil pasien IP,
ditandai oleh patch atau alur hipopigmentasi tak

SK
berambut (hairless) terutama pada tungkai
bawah.
Selain hal tersebut di atas, gambaran khas IP
adalah focal absence of sweating. Pada kuku
dapat dijumpai rigi, pitting dan perubahan
menyerupai onikogrifosis. Dapat pula timbul tumor
hiperkeratotik subungual. Alopesia sikatrikal pada
vertex sering didapatkan, dan dapat ditemukan
sebagai tanda sisa (residual sign) IP pada pasien
yang lebih tua.
Manifestasi okular pada pasien IP sering
DO
asimetrik dan didapatkan pada 25%-77% pasien,
a.l.: iskemia retina, neovaskularisasi retina
dengan perdarahan dan eksudasi, gliosis
preretina, atrofi optik dan hipoplasi foveal;
mikroftalmos, katarak, pigmentasi konjungtiva,
perubahan kornea, hipoplasia iris, uveitis, ftisis;
nistagmus, strabismus, miopia.
Kelainan neurologis meliputi kejang (sering dimulai
pada minggu-minggu awal kehidupan), paralisis
spastik, retardasi mental dan motorik, serta
mikrosefalus.
Kelainan gigi terjadi pada lebih dari 80% kasus,
berupa tidak tumbuh gigi, gigi bentuk konus
R

dengan tambahan Cup di gigi posterior, dan gigi


terlambat tumbuh. Kelainan pada gigi tersebut
dapat membantu menegakkan diagnosis IP.
Anomali kardiovaskular kadang-kadang
dilaporkan terjadi pada pasien IP, meliputi:
fibrosis endomiokardial, tetralogi Fallot asianosis
dan insufisiensi trikuspidalis, hipertensi pulmonal.
PE

Diagnosis banding : Bergantung pada stadium klinis IP.


Lesi vesikular: herpes simpleks, varisela, impetigo,
kandidiasis, eritema toksikum, melanosis pustular,
akropustulosis infantil, dan miliaria rubra.
Lesi verukosa: nevus linear epidermal
Lesi hiperpigmentasi: sindrom Naegeli-Francheschetti-
Jadassohn.

G e n o d e r m a t o s i s |103

Genodermatosis 103
Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologik (HE) pada setiap fase:
penunjang Fase-1: spongiosis intraepidermal dan vesikel/bula
dengan eosinofil dan sel-sel diskeratotik
Fase-2: lesi hiperkeratosis dengan diskeratosis
dan eosinofil
Fase-3: pigmen inkontinensiakadang-kadang

I
dengan clumps besar
Fase-4: tanpa pigmen di epidermis, tidak ada
inkontinensia, tidak ada eosinofil, tidak

SK
didapatkan glandula ekrin.
Diagnosis pasti dengan ditemukannya mutasi gen
NEMO pada kromosom Xq28.

Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
Edukasi tentang penyakit dan himbauan untuk
skrining oftalmologi secara rutin sebulan sekali pada
tahun pertama kehidupan, kemudian evaluasi tiap
tahun karena adanya insidensi tinggi terjadinya
squint dan ambliopia.
DO
Monitor neurologik yang teliti karena keterlibatan
saraf pusat sering manifes dalam mingu-minggu
awal kehidupan.
Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko
pada setiap kelahiran anak perempuan,
umumnya bila laki-laki terkena, berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan
tidak hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ
lain. Kelainan kulit menjadi hipopigmentasi
pada stadium 4, kemudian dapat menghilang.
R

- Konseling marital

Medikamentosa:
Prinsip:
- Terapi lokal terhadap lesi vesikel/bula untuk
PE

melindungi terhadap infeksi dan skar. Pada stadium


yang 2,3,4, kulit mungkin kering dan perawatan kulit
dengan pelembab sangat penting.
- Konsultasi ke dokter spesialis anak, mata, gigi, dan
saraf

G e n o d e r m a t o s i s |104


104 Genodermatosis
IV. Kepustakaan : 1. Berlin AL, Paller AS, Chan LS. Incontinentia pigmenti: A
review and update on the molecular basis of
pathophysiology. J Am Acad Dermatol 2002; 47: 169-
87.
2. Aradhya S, Nelson DL. NF-kappaB signaling and
human disease. Curr Opin Genet Dev 2001; 11: 300-6.
3. The International Incontinentia Pigmenti Consortium.

I
Genomic rearrangement in NEMO impairs NF-kappaB
activation and is cause of incontinentia pigmenti. Nature
2000; 405: 466-72.

SK
4. Aradhya S, Woffendin H, Jakins T, et al. A recurrent
deletion in the ubiquitously expressed NEMO (IKK-
gamma) gene accounts for the vast majority of
incontinentia pigmenti mutations. Hum Mol Genet
2001; 10: 2171-9.
5. Mini S, Trpinac D, Obradovi M. Systematic review of
central nervous system anomalies in incontinentia
pigmenti. Orphanet J Rare Dis 2013. doi:
10.1186/1750-1172-8-25.
R DO
PE

G e n o d e r m a t o s i s |105

Genodermatosis 105
C.3. EPIDERMOLISIS BULOSA YANG DITURUNKAN (Q81.9)

I. Definisi : Istilah epidermolisis bulosa (EB) mengacu kepada


kelompok heterogen kelainan mekanobulosa yang
diturunkan secara genetik, khas ditandai oleh bula
pada kulit, dan kadang-kadang pada mukosa,

I
karena respons terhadap trauma gesekan ringan.

Klasifikasi:

SK
Telah dilakukan revisi klasifikasi EB yang
diturunkan, berdasarkan fenotip klinis dan genotip,
yaitu:
1. EB-Simpleks (EBS, epidermolytic EB) yang
meliputi:
EBS-WC (Weber-Cockayne; protein/gen yang
terlibat: K5, K14); OMIM 131800
EBS-K (Kbner; protein/gen yang terlibat: K5,
K14); OMIM 131900
DM (Dowling-Meara; protein/gen yang terlibat:
K5, K14); OMIM 131760
EBS-MD (with muscular dystrophy; protein/gen
DO
yang terlibat: Plectin)
2. Junctional EB (JEB)
JEB-H (Herlitz; protein/gen yang terlibat:
laminin-5)
JEB-nH (non-Herlitz; protein/gen yang terlibat:
Laminin-5; kolagen tipe XVII)
JEB-PA (with pyloric atresia; protein/gen yang
terlibat: integrin 64)
3. Dystrophic EB, DEB)
DDEB (Dominant dystrophic EB; protein/gen
yang terlibat: kolagen tipe VII); OMIM 131750
RDEB-HS (recessive dysrophic EB; Hallopeau-
R

Siemens; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe


VII); OMIM 226600
RDEB-nHS (recessive dystrophic EB; non-
Hallopeau-Siemens; protein/gen yang terlibat:
kolagen tipe VII)
PE

Cara penurunan EB yang diturunkan


Tipe Cara transmisi Cara transmisi
utama yang sering yang jarang
EB
EBS Dominan autosomal Resesif autosomal
JEB Resesif autosomal -
DEB Dominan autosomal Dominan autosomal-/
Resesif autosomal Resesif autosomal
Heterozigot

G e n o d e r m a t o s i s | 106

106 Genodermatosis
Kriteria diagnostik

Tabel 1. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB simpleks

EBS, Weber- EBS, Kbner EBS, Dowling-


Cockayne Meara

I
Cara penurunan ADA ADA ADA
Awitan (biasanya) Bayi atau kanak- Sejak lahir Sejak lahir
kanak awal

SK
Distribusi kulit (predominan) Telapak tangan Generalisata Generalisata
dan telapak kaki (jarang pada
telapak tangan dan
telapak kaki)
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
Milia 1%-5% 10,1%-25% 10,1%-25%
Skar atrofik 10,1%-25% 50,1%-75% 25,1%-50%
Distrofi kuku atau tak ada 10,1%-25% 50,1%-75% 75,1%-100%
kuku
Jaringan granulasi <1% 1%-5% Tidak ada
Abnormalitas kepala <1% 5,1%-10% 1%-5%
Keratoderma (telapak Kalus fokal Kalus fokal Sering konfluen
DO
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada Bula tersusun
herpetiformis
Relative inducibility bulla Bervariasi Sering Sering
(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 1%-5% 10,1%-25% 5,1%-10%
Retardasi pertumbuhan <1% 1%-5% 10,1%-25%
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan
lunak
Hipoplasi enamel 10,1%-25% 10,1%-25% 10,1%-25%
Karies Frekuensi normal Frekuensi normal Frekuensi normal
R

Saluran gastrointestinal 1%-5% 10,1%-25% 10,1%-25%


Saluran genitourin <1% 1%-5% 1%-5%
Okular <1% 1%-5% 5,1%-10%
Pseudosindaktili Tidak ada Tidak ada 1%-5%
Saluran pernafasan <1% 1%-5% 5,1%-10%
Risiko kumulatif pada usia 30
untk menderita:
PE

Karsinoma sel skuamosa Tidak ada Tidak ada Tidak ada


Melanoma maligna Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Karsinoma sel basal Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Mati (semua penyebab) 0,6% 0,6% 1,4%

Ket:ADA:dominanautosomal

G e n o d e r m a t o s i s |107

Genodermatosis 107
Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB junctional

JEB, Herlitz JEB, non-Herlitz


Cara penurunan RA RA
Awutan (biasanya) Sejak lahir Sejak lahir
Distribusi kulit (predominan) Generalisata Generalisata

I
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100%
Milia 5,1%-10% 5,1%-10%

SK
Skar atrofik 50,1%-75% 50,1%-75%
Distrofi kuku atau tak ada kuku 75,1%-100% 75,1%-100%
Jaringan granulasi 50,1%-75% 10,1%-25%
Abnormalitas kepala 10,1%-25% 25,1%-50%
Keratoderma (telapak tangan dan Absen Absen
telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Relative inducibility bulla Tinggi Tinggi
(munculnya bula setelah trauma)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 50,1%-75% 5,1%-10%
Retardasi pertumbuhan 25,1%-50% 10,1%-25%
Kavitas oral
DO
Abnormalitas jaringan lunak 50,1%-75% 75,1%-100%
Hipoplasia enamel 75,1%-100% 75,1%-100%
Karies Eksesif Eksesif
Saluran gastrointestinal 25,1%-50% 10,1%-25%
Saluran genitourin 5,1%-10% 5,1%-10%
Okular 25,1%-50% 25,1%-50%
Pseudosindaktili 5,1%-10% Absen
Saluran pernafasan 25,1%-50% 10,1%-25%
Risiko kumulatif pada usia 30 untuk
menderita:
Karsinoma sel skuamosa Tidak ada Jarang
Melanoma maligna Tidak ada Tidak ada
Karsinoma sel basal Tidak ada Tidak ada
R

Mati (semua penyebab) 42,2% 38,2%

Ket:RA:resesifautosomal
PE

108 Genodermatosis G e n o d e r m a t o s i s |108

Tabel 3. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB distrofik

DDEB RDEB, Hallopeau-Siemens RDEB, non-


Hallopeau-
Siemens
Cara penurunan ADA RA RA
Awitan (biasanya) Sejak lahir Sejak lahir Sejak lahir

I
Distribusi kulit (predominan) Generalisata Generalisata Generalisata
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%

SK
Milia 75,1%-100% 75,1%-100%
Skar atrofik 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
Distrofi kuku atau tak ada 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
kuku
Jaringan granulasi Absen 10,1%-25% 10,1%-25%
Abnormalitas kepala 10,1%-25% 25,1%-50% 10,1%-25%
Keratoderma (telapak Tidak ada Tidak ada Tidak ada
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Relative inducibility bulla Bervariasi Tinggi Tinggi
(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 10,1%-25% 75,1%-100% 25,1%-50%
DO
Retardasi pertumbuhan 1%-5% 75,1%-100% 10,1%-25%
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan 50,1%-75% 75,1%-100% 75,1%-100%
lunak
Hipoplasia enamel 10,1%-25% 10,1%-25% 25,1%-50%
Karies Frekuensi normal Frekuensi normal Frekuensi
normal
Saluran gastrointestinal 10,1%-25% 75,1%-100% 25,1%-50%
Saluran genitourin 1%-5% 1%-5% 1%-5%
Okular Absen 50,1%-75% 10,1%-25%
Pseudosindaktili Absen 75,1%-100% 25,1%-50%
Saluran pernafasan Absen 1%-5% 1%-5%
Risiko kumulatif pada usia 30
untuk menderita:
R

Karsinoma sel skuamosa Tidak ada 39,6% 14,3%


Melanoma maligna 0,8% 2,5% (sampai usia 12) 0,7% (sampai
usia 12)
Karsinoma sel basal 0,9% Tidak ada Tidak ada
Mati (semua penyebab) Tidak ada 38,7% 10%

PE

III. Penatalaksanaan : Di tingkat pelayanan dasar:


EB ringan EB simpleks
Di tingkat pelayanan lanjut:
EB berat

Nonmedikamentosa :
Cara perawatan kulit berlepuh: hindari tindakan
yang menimbulkan trauma ringan; pakaian
kasar, plester gosokan saat mandi. Sepatu
G e n o d e r m a t o s i s |109

Genodermatosis 109
sebaiknya lembut dan longgar. Perlu kerjasama
dengan fisioterapis untuk mencegah kontraktur.
Menjaga nutrisi: makanan tinggi kalori dan tinggi
protein. Pada bentuk distrofik makanan harus
lembut atau cair. Pada bayi hindari penggunaan
bottle feeding, makanan/ susu dapat diberikan

I
dengan sendok lembut, serta hindari makanan
panas/ terlalu dingin.
Perawatan intensif di ruang perinatal intensive

SK
care unit, bekerjasama dengan dokter spesialis
anak, mata, THT, gizi, dll. Perawatan di
inkubator, infus cairan dan nutrisi.
Konseling genetik:
- Penjelasan pola penurunan genetik
dan risiko pada setiap kelahiran
- Penjelasan penyakit dan
progresivitas
- Konseling marital

Medikamentosa:
Prinsip:
DO
Melindungi kulit terbuka dan mencegah infeksi/
sepsis, terapi paliatif.
Pada kondisi berat harus dirawat intensif di ruang
perinatal dan ditangani oleh dokter spesialis anak,
kulit, dan fisioterapis.

1.Topikal:
- Antibiotik untuk bagian yang mengalami
erosi atau ekskoriasi, dirawat terbuka
sesuai perawatan luka bakar.
- Kortikosteroid pada kasus yang berat
(misalnya tipe Herlitz)
2.Sistemik:
R

- Kortikosteroid pada kasus yang berat dan


fatal
- Vitamin E dosis tinggi untuk tipe distrofik
(anti kolagenase): 600-2000 i/ hari
- Difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari harus
hati-hati karena jarak dosis terapeutik-dosis
PE

letal sangat pendek.

Tindak lanjut:
1. Pantau setiap 1 bulan terhadap kelainan kulit
yang timbul
2. Konsultasikan keadaan umum, pada dokter
spesialis anak/ perinatologi untuk komplikasi
dan nutrisi.

G e n o d e r m a t o s i s |110

110 Genodermatosis
IV. Kepustakaan : 1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,
2012
2. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric
Dermatology. A Textbook of Skin Disorders of Childhood

I
th
and Adolescence. 4 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011. p.30313.
3. Atherton DJ. Mellerio JE, Denver JE. Epidermolysis

SK
bullosa. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor.
Textbook of Pediatric dermatology. Edisi ke-3. Oxford:
Blackwell Science, 2006.

5. Bruckner AL. Epidermolysis bullosa. In: Eichenfield LF,


FriedenIJ,EsterlyNB,eds.NeonatalDermatology.2nded.
Philadelphia:SaundersElsevier;2008.p.15972.
DO.
R
PE

G e n o d e r m a t o s i s |111

Genodermatosis 111
Bagan Alur: Pendekatan diagnosis pasien epidermolisis bulosa yang diturunkan (genetik)

I
SK
R DO
PE

G e n o d e r m a t o s i s |112

112 Genodermatosis
C.4. TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (Q85.1)

i. Definisi : Tuberous sclerosis complex (TS; OMIM 191100) merupakan kelainan


yang diturunkan secara dominan autosomal dengan ekspresivitas
yang bervariasi, ditandai oleh hamartoma di berbagai organ terutama
kulit, otak, mata, jantung dan ginjal. TS diperkirakan terjadi pada 1 :
10000 populasi dan terjadi pada semua kelompok etnis. TS disebabkan

I
oleh mutasi pada 2 gen yang berbeda, yaitu TSC1 pada kromosom
9q34 dan TSC2 pada kromosom 16p13.
II. Kriteria diagnostik :

SK
Klinis : Pada bayi dan anak sering didahului oleh kejang mioklonik
generalisata atau fokal. Namun demikian, tidak ada gambaran EEG
yang patognomonik pada penyakit ini.
Kelambatan tumbuh kembang, retardasi mental, autisme, dan
gangguan perilaku merupakan tanda yang paling sering ditemukan.
Terdapat korelasi antara spasme infantil atau kejang generalisata
dengan retardasi mental, maupun antara usia awitan kejang
dengan beratnya retardasi mental.
Makula hipopigmentasi berbentuk bulat atau oval, tetapi lesi yang
paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya
bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah lesi
bervariasi dari beberapa sampai lebih dari 75.
DO
Diagnosis spesifik pada usia anak dimungkinkan apabila:
o Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi
pembuluh darah (kapiler) penuh atau angiografi fluoresen
ditemukan hamartoma retina, atau
o CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan
gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radio-
opak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang
menyebabkan pelebaran atau elevasi girus serebral. Bila
terjadi kalsifikasi, lesi ini tampak pada radiografi kepala
sebagai gambaran batu pada otak (brain stones).
Angiofibroma kutan (dulu disebut adenoma sebaseum) biasanya
timbul antara usia 2 dan 6 tahun, tetapi dapat ditemukan sejak lahir
bahkan sampai usia 20an tahun. Lesi ini patognomonik untuk TS,
R

terjadi pada 65%-90% pasien, dan terdiri atas papul 1-10 mm


dengan permukaan dome-shape, warna merah muda sampai
merah, terdistribusi simetris pada lipatan nasolabial, pipi dan dagu,
dan jarang pada dahi, kelopak mata, telinga dan kepala.
Plak fibrosis atau nodus dapat ditemukan pada dahi, pipi, dan
kepala dan dapat timbul sejak lahir. Pemeriksaan histopatologi me-
PE

nunjukkan nevi jaringan ikat tipe kolagen tanpa pelebaran vaskular.


Shagreen patch atau peau chagrine adalah plak yang ditemukan
pada badan, permukaan tidak rata mirip kulit jeruk, kadang
berbenjol-benjol, sewarna dengan kulit.
Fibroma subungual dan periungual (tumor Knen) merupakan lesi
patognomonik dan dilaporkan pada 10%-50% pasien; biasanya
G e n o d e r m a t o s i s |113

Genodermatosis 113
muncul setelah pubertas. Secara klinis terdiri atas papul 5-10 mm,
firm, smooth, budlike, tumbuh dari nail bed.
Lesi kulit yang jarang ditemukan dan tidak spesifik: bercak caf-au-
lait, polip fibroepitelial, plak merah keunguan, diffuse skin bronzing,
dan neuroma mukosal; juga fibroma gingiva dan pit pada enamel
gigi.

I
Hamartoma retina patognomonik untuk TS dan dilaporkan pada 50-
76% pasien. Dapat dijumpai 2 tipe: (1) lesi datar abu-abu atau
kekuningan, smooth semi-transparan dengan tepi tidak tegas atau
(2) lesi multinodular yang digambarkan seperti mulberry, telur

SK
katak, atau telur salmon.
Hamartoma renal, misalnya angiomiolipoma dan ginjal polikistik,
terjadi pada sekitar 15% pasien dan tidak pernah ditemukan pada
periode prenatal atau neonatal.

Diagnosis : 1. Kejang: epilepsi


banding 2. Hipopigmentasi: vitiligo
3. Angiofibroma: akne vulgaris, akne rosasea, trikoepitelioma,
trikilemoma, milia, xantoma, moluskum kontagiosum.
4. Kalsifikasi intrakranial: sindrom Sturge-Weber, toksoplasmosis
kongenital
DO
Pemeriksaan : Rntgen tulang kepala/CT scan (ditemukan tuber) ( Rntgen adalah
penunjang nama orang, jadi tidak bisa diubah mjd bahasa Indonesia)
USG/MRI: mencari tumor organ internal
Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya

IIi. Penatalaksanaan : Kerjasama antar multidisiplin:


Ilmu kesehatan kulit, kesehatan anak, psikiatri, psikolog, neurologi,
mata, penyakit dalam, radiologi, bedah, bedah saraf
R

Nonmedikamentosa:
Kepada orangtua atau pengasuhnya: penjelasan perkembangan
penyakit (kelainan apa yang harus diperhatikan untuk segera
dilaporkan pada dokter) dan tentang penatalaksanaan penyakit
yang diderita.
Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap
PE

kelahiran
- Penjelasan penyakit dan progresivitas
- Konseling marital

G e n o d e r m a t o s i s |114

114 Genodermatosis
Medikamentosa:
Prinsip:
Umumnya tanpa terapi, kecuali bila ada tumor yang mengganggu
fungsi atau estetika.
Pencegahan kejang, terutama pada usia awal, dapat meningkatkan
perkembangan mental. Intervensi neurologis mungkin diperlukan
bila terjadi tanda peningkatan tekanan intrakranial (misalnya nyeri

I
kepala, muntah, gangguan penglihatan, edema papil)
Angifibroma dapat diterapi dengan dermabrasi, elektrokauter, atau
laser.

SK
IV. Prognosis : Prognosis bervariasi, bergantung pada berat penyakit. Beberapa
pasien mempunyai inteligensi normal, tanpa kejang, hidup normal.
Penyebab tersering kematian adalah komplikasi neurologis,
rabdomioma kardial, penyakit ginjal, dan tumor otak.

BAGAN ALUR:

Makula hipopigmentasi bulat/oval, tetapi lesi yang


paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot).
Ukurannya bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa
DO
cm, dan jumlah lesi bervariasi dari beberapa sampai
lebih dari 75.

Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh darah


(kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan hamartoma
retina, atau
CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan
gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radio-
opak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang menyebabkan
pelebaran atau elevasi girus serebral.
R

Rntgen tulang kepala/CT-scan (ditemukan tuber)


USG/MRI: mencari tumor organ internal
Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya
PE

Tuberous sclerosis complex

G e n o d e r m a t o s i s |115

Genodermatosis 115
V. Kepustakaan : 1. Krueger DA, Northrup H; International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous
Sclerosis Complex surveillance and management:
Recommendation of the 2012 International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr
Neurol 2013; 49: 255-65.

I
2. Northrup H, Krueger DA; International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous
Sclerosis Complex diagnostic criteria update:

SK
Recommendation of the 2012 International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr
Neurol 2013; 49: 243-54.
3. Rovira A, Ruiz-Falc ML, Garca-Esparza E, et al.
Recommendation for the radiological diagnosis and
follow-up of neuropathological abnormalities associated
with tuberous sclerosis complex. J Neurooncol 2014
Apr 27. (Epub ahead of print)

DO

PE

G e n o d e r m a t o s i s |116

116 Genodermatosis
C.5. DISPLASIA EKTODERMAL (Q82.4)

I. Definisi : Displasia ektodermal (DE) adalah kelompok kelainan


yang diturunkan, secara karakteristik ditandai oleh
defek perkembangan yang melibatkan setidaknya dua
struktur utama embrionik ektodermal: kulit, rambut,

I
gigi, kuku, glandula sebasea.

II. Kriteria diagnostik : (Bagan terlampir)

SK
Klinis : DISPLASIA EKTODERMAL HIPOHIDROTIK
(displasia ektodermal anhidrotik, sindrom Christ-
Siemens-Touraine; OMIM 305100)
X-LHED
Insidens:1 dalam 100.000 kelahiran
Secara khas kelainan diturunkan secara resesif
terkait-X (X-linked recessive). Pada laki-laki yang
terkena ekspresinya lengkap (full blown).
sedangkan pada wanita pembawa gen (carrier)
dapat tanpa kelainan, atau apabila terdapat
kelainan biasanya terdistribusi patchy.
DO
Kelainan ini dapat diturunkan dari ibu pembawa
gen atau timbul pada seseorang karena mutasi de
novo. Sekitar 70% laki-laki yang terkena
mendapatkan mutasi ini dari ibu pembawa gen.
Antara 60-80% wanita pembawa gen menunjukkan
beberapa tanda klinis kelainan ini, yang paling
sering adalah hipotrikosis patchy dan hipodonsia.

Gambaran klinis
Dermatologis
Pada laki-laki yang terkena, saat lahir dapat
ditandai oleh membran kolodion atau dengan
skuama, menyerupai iktiosis kongenital.
R

Rambut kepala jarang, tipis, dan tumbuh lambat.


Rambut tubuh yang lain biasanya jarang atau tidak
ada.
Kemampuan untuk berkeringat terganggu secara
signifikan. Sebagian besar laki-laki yang terkena
menderita intoleransi panas yang nyata.
PE

Pori-pori kelenjar keringat biasanya tidak dapat


dilihat pada pemeriksaan fisik dan rigi sidik jari tidak
tampak jelas.
Gangguan berkeringat (ketidakmampuan berkeringat
secara adekuat terhadap panas lingkungan)
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Terjadinya
panas tinggi yang tak dapat dijelaskan, biasanya
menyebabkan kecurigaan penyakit infeksi,
keganasan, atau penyakit autoimun sebelum
G e n o d e r m a t o s i s | 117

Genodermatosis 117
diagnosis yang benar dapat ditegakkan. Anak-anak
yang menderita kelainan ini secara khas
menunjukkan intoleransi panas dengan episode
hiperpireksia, yang dapat menyebabkan kejang dan
kerusakan neurologis.
Kuku biasanya normal.

I
Keriput dan hiperpigmentasi periorbital khas dan
sering dijumpai, walaupun sering tidak diperhatikan
pada saat lahir.

SK
Hiperplasia glandula sebaseus, terutama pada
wajah dapat muncul setiap saat dan tampak
sebagai papul-papul miliar seperti pearl (mutiara),
berwarna kecoklatan sampai putih menyerupai
milia.
Tidak adanya puncta lacrimal merupakan temuan
khas.
Wanita karier dengan displasia ektodermal
hipohidrotik terkait-X, menunjukkan gambaran kulit
normal dan abnormal mengikuti garis Blaschko.

Sistemik
DO
Hipodonsia, oligodonsia, atau anodonsia
merupakan gambaran yang dapat dijumpai pada
X-LHED pada laki-laki yang terkena.
Adanya hypoplastic gum ridges pada bayi yang
terkena dapat merupakan petunjuk awal diagnosis
penyakit.
Gigi primer dan sekunder berbentuk peg shaped
merupakan gambaran khas
Pasien menunjukkan wajah yang khas dengan
frontal bossing, depressed nasal bridge, saddle
nose, dan bibir bawah yang besar.
Manifestasi otolaringologis meliputi sekresi nasal
R

kental dan impaksi, sinusitis, infeksi saluran nafas


atas yang berulang dan pneumonia, produksi saliva
berkurang, suara menyerupai suara kuda, dan
frekuensi asma meningkat.
Refluks gastroesofageal dan kesulitan makan
mungkin merupakan masalah pada masa anak.
PE

Wanita pembawa gen X-LHED dapat terkena


sama beratnya dengan pasien laki-laki atau hanya
menunjukkan sedikit tanda penyakit ini. Intoleransi
terhadap panas, bila ada, biasanya ringan.
Kelainan pada gigi dapat berupa anodonsia atau
pegshaped, dan rambut kepala tipis atau patchy.
Pemeriksaan dermatologis yang teliti terhadap kulit
wanita pembawa gen sering ditemukan keringat dari
pori-pori berkurang atau distribusi yang patchy.

G e n o d e r m a t o s i s |118

118 Genodermatosis
Diagnosis dan diagnosis banding
Kulit berskuama saat lahir sering salah diagnosis
dengan iktiosis kongenital.
Demam berulang sering diduga infeksi
Diagnosis HED dapat cepat diketahui jika sudah
ada dugaan sebelumnya, misalnya anak laki-laki

I
berisiko dilahirkan dari keluarga dimana penyakit
ini sudah diketahui/ didiagnosis.
Pemeriksaan pori-pori keringat dan foto panorama

SK
rahang dapat menuntun ke arah diagnosis dengan
cepat.

DISPLASIA EKTODERMAL HIDROTIK (Sindrom


Clouston; OMIM 129500)
Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada gen
connexin, GJB6 atau connexin 30 pada kromosom
13q11-q12.1.

Gambaran klinis
Rambut kepala wry, brittle, berwarna terang, dan
sering didapatkan alopesia setempat.
DO
Sering didapatkan makula hiperpigmentasi
retikular atau difus. Kulit di atas lutut, siku, jari, dan
sendi sering menebal dan hiperpigmentasi. Kuku
tampak menebal dan terjadi perubahan warna;
sering disertai infeksi paronikia persisten.
Abnormalitas pada mata meliputi strabismus,
pterigium, konjungtivitis dan katarak prematur.
Gigi biasanya tak ada kelainan tetapi sering
terdapat karies.
Kelainan ektodermal lain adalah leukoplakia oral, tuli
sensorineural, polidaktili, sindaktili, dan poromatosis
ekrin difus.
R

Berlawanan dengan bentuk hipohidrotik, sebagian


besar pasien mempunyai kemampuan berkeringat
normal dan kelenjar sebaseus berfungsi normal.

Diagnosis banding
Kelainan pada kuku sering didiagnosis banding
PE

dengan pakionikia kongenita


SINDROM AEC, ANKYLOBLEPHARON FILIFORME
ADNATUM-ECTODERMAL DYSPLASIA-CLEFT
PALATE SYNDROME (HAY-WELLS SYNDROME;
OMIM 106260)
Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada tumor
suppressor gene p63, gen yang juga berperan pada
patogenesis sindrom EEC, limb-mammary
syndrome, acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth
(ADULT) syndrome.
G e n o d e r m a t o s i s |119

Genodermatosis 119

Mutasi yang menyebabkan EEC dan AEC terletak
pada kelompok (cluster) yang berbeda pada gen
tsb.
Sindrom AEC merupakan kelainan dominan
autosomal dengan penetransi lengkap dan
ekspresi bervariasi.

I
Gambaran klinis
Dermatologi
Pada 90% bayi yang terkena, saat lahir

SK
didapatkan kulit mengelupas dan erosi superfisial,
menyerupai membran kolodion. Skuama akan
mengelupas dalam beberapa minggu dan kulit
di bawahnya kering dan tipis.

Sering didapatkan dermatitis erosif kronik


dengan granulasi abnormal pada kulit kepala.
Pada kulit kepala juga sering terjadi infeksi
bakterial rekuren.
Pada kulit kepala selalu terdapat alopesia
patchy, dan rambut kepala yang ada sering wiry,
DO
kasar dan berwarna terang. Rambut tubuh jarang
bahkan tidak ada.
Biasa dijumpai atresia atau obstruksi duktus
lakrimalis.
Kuku dapat normal, atau hiperkonfeks dan
menebal, distrofi parsial atau bahkan tidak ada
kuku. Seluruh perubahan dapat ditemukan
pada pasien yang sama.
Kemampuan berkeringat biasanya normal,
meskipun beberapa pasien merasakan intoleransi
panas secara subyektif.

Sistemik
R

Celah palatum dengan atau tanpa celah bibir


terjadi pada 80% pasien yang dilaporkan.
Mungkin didapati hipodonsia dengan gigi yang
tidak tumbuh atau salah tumbuh.
Sering terjadi otitis media berulang dan
PE

kehilangan pendengaran konduktf sekunder,


yang mungkin merupakan konsekuensi celah
palatum.

SINDROM EEC, ECTRODACTYLY-ECTODERMAL


DYSPLASIA CLEFT LIP/PALATE SYNDROME
(EEC, OMIM 129900)
Sindrom ini diturunkan secara dominan autosomal
yang melibatkan jaringan ektodermal dan
mesodermal.

G e n o d e r m a t o s i s |120

120 Genodermatosis
Gambaran klinis
Sindrom EEC ditandai oleh ektrodaktili (split hand
or foot deformity, lobster-claw deformity) yang
merupakan gambaran utama. Selain itu didapatkan
juga celah bibir/palatum, hipotrikosis, hipodonsia,
distrofi kuku, anomali duktus lakrimalis, dan kadang

I
hipohidrosis.
Pada kasus tanpa celah bibir/palatum, morfologi
wajah khas dengan hipoplasia maksilaris, filtrum

SK
pendek, dan broad nasal tip.
Kelainan gigi meliputi mikrodonsia dan oligodonsia
dengan hilangnya gigi sekunder yang
awal/prematur. Sering terjadi karies berat.
Dapat terjadi hipohidrosis, tetapi relatif ringan.
Kuku dapat hipoplastik dan distrofik
Retardasi mental terjadi pada 5-10% kasus.
Kelainan genitourin sering ditemukan, meliputi
hipospadia glandular, uretheric reflux, dan
hidronefrosis.

Diagnosis banding
DO
Odontotrichomelic syndrome (OMIM 273400)
Aplasia kutis kongenital dengan defek ekstremitas
(sindrom Adams-Oliver; OMIM 100300)
Ektrodaktili dengan celah palatum tanpa displasia
ektodermal (OMIM 129830)

III. Penatalaksanaan umum : Nonmedikamentosa:


Menjaga keseimbangan suhu tubuh (termoregulasi)
dengan senantiasa berada di ruang sejuk (ber-AC)
atau lembab, mandi air dingin, pakaian tipis, banyak
minum, menghindari udara panas, dan mengurangi
aktivitas yang menyebabkan berkeringat.
R

Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan
risiko pada setiap kelahiran anak
perempuan umumnya, dan bila laki-laki
terkena dapat berakibat berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas:
PE

kelainan tidak hanya di kulit tetapi dapat


mengenai organ lainnya
Konseling pra-marital

Medikamentosa:
Penatalaksanaan penyakit dikerjakan secara
multidisiplin:
1. Topikal:
Pelembab (misalnya urea 10%) untuk kulit
kering
G e n o d e r m a t o s i s |121

Genodermatosis 121
Asam salisilat 3-5% dalam salap/emolien untuk
hiperkeratosis palmoplantar
Perbaikan/restorasi gigi, konsultasi dokter gigi
Mata: air mata artifisial
Tenggorokan kering: saliva artifisial
Paru: hindari rokok, lingkungan berdebu.

I
2. Sistemik:
Antibiotik bila terjadi infeksi pada kuku atau infeksi
lainnya. Konsultasi dengan dokter spesialis lain

SK
sesuai dengan organ yang terkena.

Tindak lanjut:
Pantau setiap satu bulan sekali
Konsultasikan ke dokter spesialis sesuai kebutuhan

IV. Kepustakaan : 1. Bree AF, Agim N, Sybert VP. Ectodermal Dysplasias.


Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor. Mc Grew
Hill: New York, 2012 p. 1691-702.
2. Bergendal B. Orodental manifestations in ectodermal
dysplasia: A review. Am J Med Genet A. 2014 doi:
10.1002/ajmg.a.36571. [Epub ahead of print]
DO
3. Itin PH. Etiology and pathogenesia of ectodermal
dysplasias: Am J Med Genet A. 2014. doi:
10.1002/ajmg.a.36550. [Epub ahead of print]

.
R
PE

G e n o d e r m a t o s i s |122

122 Genodermatosis
C.6. IKTIOSIS (Q80.9)

I. Definisi : Istilah iktiosis digunakan untuk kelompok kelainan


kulit yang mempunyai gambaran utama berupa
skuama generalisata. Kelompok iktiosis secara klinis
maupun etiologi sangat heterogen sehingga terdapat

I
kesulitan dalam klasifikasinya.
Pada PPM ini klasifikasi didasarkan pada iktiosis
yang tidak disertai sindrom, iktiosis yang disertai

SK
sindrom, kelainan yang berkaitan dengan iktiosis, dan
iktiosis didapat (Tabel.1)
Secara prinsip, iktiosis dapat diturunkan atau didapat,
timbul sejak lahir atau setelahnya, dapat terbatas
hanya pada kulit atau merupakan bagian dari
kelainan multisistem. Keparahan penyakit dapat
bervariasi, mulai dari kekeringan kulit misalnya pada
iktiosis vulgaris sampai yang bersifat fatal misalnya
iktiosis harlequin.

Iktiosis vulgaris (OMIM 146700)


Iktiosis vulgaris dominan autosomal adalah penyakit
DO
yang cukup sering dijumpai dan relatif ringan.
Kelainan ini tidak dijumpai saat lahir tetapi biasanya
timbul dalam tahun pertama kehidupan.
Gambaran klinis
Khas skuama putih keabuan yang menutupi terutama
permukaan ekstensor ektremitas dan badan. Skuama
lebih prominen pada permukaan ekstensor
ekstremitas, tidak dijumpai pada sisi fleksor dan
daerah diaper. Skuama halus, putih sering dijumpai
pada daerah yang luas. Ekstremitas bawah sering
merupakan daerah yang paling berat terkena, skuama
melekat di tengah, dengan cracking (fisura superfisial
pada stratum korneum) pada tepinya.
R

Beberapa kelainan yang sering ditemukan pada


iktiosis vulgaris adalah:
Keratosis folikularis, ditemukan terutama pada
anak-anak dan remaja.
Aksentuasi palmoplantar marking yang
merupakan gambaran khas dan terdapat pada
PE

80-90% pasien.

Penatalaksanaan
Iktiosis vulgaris berespons baik terhadap salap
topikal yang mengandung urea atau asam laktat.
Hati-hati penggunaan urea pada daerah tubuh
yang luas sebelum usia 1 tahun (boleh diberikan,
tetapi harus dalam pengawasan dokter bila
daerah luas)
G e n o d e r m a t o s i s | 123

Genodermatosis 123
Iktiosis vulgaris tidak boleh diterapi dengan salap
yang mengandung salisilat karena dapat
menyebabkan keracunan yang membahayakan
jiwa disebabkan oleh absorpsi perkutan.
Diagnosis pasti: riwayat keluarga dan pemeriksaan
tambahan, misalnya pemeriksaan histopatologi atau

I
biokimia untuk menyingkirkan iktiosis resesif terkait-
X (X-linked recessive ichthyosis), misalnya tes
steroid sulfatase atau elektroforesis lipoprotein.

SK
Iktiosis resesif terkait X (X-linked XRI)
XRI merupakan iktiosis tipe ke 2 terbanyak
Diagnosis prenatal defisiensi sulfatase plasenta
memungkinkan diketahuinya diagnosis sejak awal,
tetapi pemeriksaan ini belum pernah dilakukan di
Indonesia.
Saat lahir skuama halus tidak terlihat nyata; mulai
usia 2-6 bulan hiperkeratosis tebal berwarna
coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi
badan, ekstremitas, dan leher. Skuama tidak
didapatkan pada wajah namun didapatkan pada
DO
preaurikular.
Palmar dan plantar normal yang dapat
membedakan dengan iktiosis vulgaris.
Abnormalitas pada mata jarang didapatkan, tetapi
10-50% laki-laki yang terkena dan pada beberapa
wanita karier ditemukan opasitas kornea
asimtomatik.
Dari beberapa laporan kasus tidak didapatkan
ektropion, eklabium, kelainan kuku maupun
rambut.

Epidermolitik hiperkeratosis
(sin: Bullous congenital ichthyosiform erythro-
R

derma of Brocq, Bullous ichthyosis; OMIM 113800)


Merupakan kelainan dominan autosomal dengan
penetrans lengkap tetapi mempunyai variabilitas
klinis yang luas.
Sangat jarang, insidens sekitar 1:200000 sampai
1:300000;
PE

Disebabkan oleh mutasi heterozgot pada gen


yang mengkode keratin 1 dan keratin 10 (KRT1,
KRT10) yang diekspresikan pada lapisan
epidermis yang berdiferensiasi.
Hampir separuh kasus terjadi secara sporadik
dan menunjukkan mutasi baru.

G e n o d e r m a t o s i s |124

124 Genodermatosis
Gambaran klinis
Biasanya diketahui sejak lahir dengan adanya
erosi dan daerah luas kulit yang denuded serta
eritroderma, yang disebabkan oleh peningkatan
fragilitas epidermis dan dipicu oleh trauma
friksional selama proses persalinan.
Pada masa selanjutnya komponen bulosa menjadi

I
kurang prominen dan mulai tampak hiperkeratosis
berat
Kulit kepala sering terkena dan parah sehingga

SK
menyebabkan gangguan batang rambut dan
kerontokan rambut.
Bibir, mata, membran mukosa, dan gigi normal.
Pada masa bayi morbiditas perinatal tinggi serta
potensial mortalitas karena sepsis dan ketidak-
seimbangan cairan dan elektrolit.
Diagnosis banding
Staphylococcal scalded skin syndrome dan
nekrolisis epidermal toksik
Penatalaksanaan
Bayi dengan eritema, bula, erosi luas, dan kulit
DO
yang denuded memerlukan perawatan di neonatal
intensive care unit. Harus dihindari trauma
terhadap kulit dan timbulnya bula, monitor
terhadap terjadinya sepsis
Pada beberapa pasien diperlukan terapi dengan
antibiotik spektrum luas
Terapi topikal:
Seperti iktiosis kongenital lain, terapi
hiperkeratosis epidermolitik adalah simtomatik
Hiperkeratosis yang luas, tebal, keras
memerlukan hidrasi, lubrikasi, dan terapi
keratolitik (krim dan lotion yang mengandung
urea, asam salisilat, asam alfa hidroksi, atau
R

propilen glikol). Namun demikian sering tidak


dapat ditoleransi dengan baik terutama pada
anak-anak, karena adanya rasa terbakar dan
stinging jika terdapat fisura atau kulit denuded.
Aplikasi topikal asam salisilat dan asam laktat
harus hati-hati karena risiko absorbsi sistemik
PE

Tretinoin topikal dan preparat Vit D efektif tetapi


dapat menyebabkan iritasi kulit.
Berendam untuk melembabkan kulit dan abrasi
mekanis pada stratum korneum yang menebal
(gosok hati-hati dengan sikat lembut, spons, dsb)
Pemakaian antiseptik, misalnya sabun anti-
bakterial, klorheksidin, atau iodin dapat membantu
mengontrol kolonisasi bakterial.
G e n o d e r m a t o s i s |125

Genodermatosis 125
Dianjurkan penggunakan lubrikans dan emolien
setidaknya 2 kali sehari, dilakukan segera setelah
mandi
Infeksi kulit bakterial biasa dijumpai pada hiper-
keratosis epidermolitik dan sering memicu bula
sehingga memerlukan terapi topikal dengan salap

I
antibiotik atau bahkan antibiotik oral.

Terapi sistemik

SK
Retinoid oral sangat efektif untuk mengurangi
hiperkeratosis dan frekuensi infeksi pada pasien
dengan EH generalisata, namun demikian obat ini
dapat meningkatkan fragilitas epidermis dan dapat
menyebabkan eksaserbasi bula. Dianjurkan
memulai terapi dengan dosis yang sangat rendah
dengan tujuan mencapai dosis pemeliharaan
serendah mungkin.

Meskipun antibiotik oral sangat membantu selama


episode bula dan superinfeksi bakterial, terapi
preventif yang terus-menerus (antibiotik oral atau
DO
topikal) harus dihindari karena risiko ber-
kembangnya resistensi bakterial.

Iktiosis lamelar (IL)


(sin: Nonbullous congenital ichthyosiform erythro-
derma, Non-erythrodermic autosomal recessive
lamellar ichthyosis)
Kelainan genetik heterogen dan pada sebagian
besar keluarga diturunkan secara resesif
autosomal
Sangat jarang, prevalensi sekitar 1:200000
sampai 1:300000 kelahiran hidup
Gambaran klinis
R

IL merupakan kelainan kornifikasi berat yang


tampak sejak lahir.
Sebagian besar bayi yang terkena saat lahir ter-
bungkus oleh membran kolodion disertai eritroderma.
Dalam beberapa minggu pertama kehidupan,
membran kolodion secara bertahap menjadi skuama
PE

lebar generalisata
Secara khas IL ditandai oleh skuama lebar, coklat
gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan
eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama
melekat di tengah dan meninggi pada tepinya,
sering menimbulkan fisura superfisial. Skuama lebar
ini selain terdapat pada hampir seluruh tubuh juga
terdapat pada wajah, fleksura, telapak tangan dan
telapak kaki.
G e n o d e r m a t o s i s |126

126 Genodermatosis
Ketegangan kulit wajah sering menyebabkan
ektropion, eklabium, serta hipoplasia kartilago
nasal dan aurikular.
Ektropion yang parah dapat menimbulkan
madarosis, konjungtivitis, dan penutupan kelopak
mata yang tidak sempurna yang dapat

I
menyebabkan keratitis.
Pada kepala terdapat alopesia skar (scarring
alopecia) terutama pada bagian perifer skalp,

SK
yang merupakan gambaran umum pada IL.
Peradangan pada lipatan kuku (nail folds) dapat
menyebabkan distrofi kuku dengan penebalan
lempeng kuku dan rigi kuku.

Diagnosis banding
Eritroderma iktiosiformis kongenital (congenital
ichthyosiform erythroderma), sindrom Netherton,
sindrom Sjgren-Larsson, dan trikotiodistrofi.

Penatalaksanaan
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
DO
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi topikal:
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi sistemik
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

II. Kriteria diagnostik :


Klinis : Awitan dan riwayat perjalanan penyakit
R

Penurunan genetik
Tempat predileksi: lokal, generalisata atau
universalis
Skuama yang spesifik mirip sisik ikan, variasi
ukuran, warna dan tebal bergantung jenis.
- Gambaran klinis: kelainan pada kulit, kuku,
PE

rambut, SSP, dan mata


- Gejala sistemik yang menyertai
Diagnosis banding :
- Pemeriksaan : Pemeriksaan PA
penunjang Iktiosis vulgaris: hiperkeratosis dan stratum
granulosum menipis
Resesif terkait-X (X-linked): hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal
Iktiosis lamelar klasik: hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal
G e n o d e r m a t o s i s |127

Genodermatosis 127
Iktiosiform eritroderma nonbulosa: akantosis,
para- keratosis, hipergranulosis.
Epidermolitik hiperkeratosis: hiperkeratosis,
vakuolisasi (mikro-vesikel)

III. Kepustakaan : 1. Richard G, Moss C, Traupe H, et al. Ichthyosis and

I
disorders of cornification. Dalam: Pediatric
Dermatology. Schachner LA, Hansen RC, editor.
London:Mosby 2003. p. 385-445.

SK
2. Oji V, Traupe H., Ichthyoses: Differential diagnosis and
molecular genetics. Eur J Dermatol 2006; 16: 349-59.
3. Fleckman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyosis. Dalam:
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al.
Editor. 2012, Mc Graw Hill: New York. p. 507-37
4. Richard G, Ringpfeil F. Ichthyoses,
erythrokeratodermas and related disorders. Dalam
Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editor. Mosby, London 2013. P837-862.
5. 5. Judge MR, Mclean WHI, Munro Cs. Disorders of
Keratinization. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th ed.
DO
United Kingdom: Willey Blackwell;2010. 19.4-19.64

PE

G e n o d e r m a t o s i s |128

128 Genodermatosis
Tabel 1. Klasifikasi iktiosis
Tipe Diagnosis OMIM
Iktiosis non- Iktiosis vulgaris 146700
sindromik
Iktiosis terkait-X 308100
Epidermolitik hiperkeratosis Brocq (EHK) 113800
146600

I
Iktiosis bullosa Siemens 146800
Iktiosis histriks Curth-Macklin 146590
Nonbullous congenital ichtyosiform erythroderma (NBCIE) 242100
604780

SK
Iktiosis lamellar 242300
601277
604777
CIE/ iktiosis lamellar tipe intermediate 604781
Iktiosis lamellar autosomal dominan kongenital iktiosiformis eritroderma 146750
Iktiosis in confetti
Harlequin fetus 242500
Sindrom peeling skin tipe A

Iktiosis disertai Sindrom Netherton/ iktiosis linearis sirkumfleksa 256500


sindrom
Sindrom Sjgren-Larsson 270200
Neutral lipid storage disease 275630
Penyakit Refsum 266500
DO
Trikotiodistrofi 601675
Infantile Gaucher disease
Sindrom Neu-Laxova
Sindrom Zunich-Kaye (Sindrom CHIME: ocular colobomas, congenital hearth
disease, early onset ichthyosiform dermatosis, mental retardation and ear
anomalies (conductive hearing loss), epilepsy),
X-linked dominant chondrodysplasia punctata (sindromConradi-Hnermann-
Happle)
Rhyzomelic chondrodysplasia punctata
Cardiofasciocutaneous syndrome
Restrictive dermopathy
Multiple sulfatase deficiency

Kelainan yang Sindrom KID (keratitis-ichthyosis-like-deafness)


berkaitan
Sindrom CHILD (Congenital hemydysplasia ichthyosiform nevus and limb
R

defect)
Mutilating keratoderma dengan iktiosis
Sindrom KLICK (keratosis linearis with ichthyosis congenita and sclerosing
keratoderma)
Keratosis spinulosa decalvans.
Sindrom IFAP (Ichthyosis follicularis, atrichia, and photophobia)
Ichthyosis, follicular atrophoderma, hypotrichosis, and hypohidrosis
PE

Migratory ichthyosis with diabetes mellitus


Ichthyosis, hepatosplenomegaly, and cerebellar degeneration
Ichthyosis-mental retardation syndrome with large keratohyalin granules in the
skin
Sindrom eritroderma iktiosiformis, keterlibatan kornea, ketulian; autosomal
resesif

Iktiosis didapat

G e n o d e r m a t o s i s |129

Genodermatosis 129
C.7. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 (Q85.01)

I. Definisi : Kondisi autosomal dominan dengan insiden 1:3000


kelahiran hidup
II. Kriteria diagnostik :

I
Klinis : 1. Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih
besar dari 5 mm pada individu prepubertal,
dan lebih dari 15 mm pada individu

SK
postpubertal
2. Dua atau lebih neurofibroma tipe apapun atau
satu neurofibroma pleksiform
3. Freckling pada regio aksila atau inguinal
4. Glioma optikum
5. Dua atau lebih nodul Lisch iris
6. Lesi tulang yang dapat dibedakan seperti
sphenoid displasia atau penipisan korteks
tulang panjang dengan atau tanpa
pseudarthrosis
7. Saudara tingkat pertama (orang tua, saudara)
dengan NF-1 dengan kriteria di atas
DO
Diagnosis banding : Neurofibromatosis tipe 1
Neurofibromatosis tipe 2
Familial cafe-au-lait spots
Sindrom LEOPARD

III. : 1. Pemeriksaan histopatologi


Pemeriksaan penunjang
2. Evaluasi radiologik

IV. Penatalaksanaan : 1. Konseling genetik


2. Pemeriksaan ophtalmologik
R

3. Pemeriksaan tekanan darah


4. Bedah LASER untuk caf-au-lait spots
5. Bedah eksisi untuk Neurofibroma kutaneus

V. Kepustakaan : 1. Robert Listernick dan Joel Charrow. The


Neurofibromatoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
PE

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds.


Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p.1680-8
2. Disorders of Pigmentation. In: Paller A dan Mancini
A, eds. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th
ed. London: Elsevier; 2011.p. 234-67

G e n o d e r m a t o s i s | 130

130 Genodermatosis
I
SK
D
DO
DERMATOLOGI
ALERGO-IMUNOLOGI
R
PE

Dermatologi Alergo-Imunologi 131


D.1. CUTANEUS LUPUS ERITEMATOSUS SPESIFIK (L93)

I Definisi : Cutaneous lupus eritematosus: merupakan satu


bentuk penyakit lupus eritematosus ringan, kelainan
terbatas terutama dikulit, perjalanan penyakit mulai
akut, subakut dan menjadi kronis.

I
Penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut,
menyerang multiorgan, menjadi lupus eritematosus
sistemik (SLE).

SK
Klasifikasi:
LE spesifik: yang terdiri dari
a. LE kutan akut (ACLE)
localized ACLE, generalized ACLE
b. LE kutan subakut (SCLE)
annular SCLE, papulosquamous SCLE
c. LE kutan kronik (CCLE)
Classic discoid LE/DLE (Localized DLE, generalized
DLE), Hypertropic/verrucous DLE, Lupus profundus/
lupus panikulitis, Mucosal DLE (oral DLE,
conjunctival DLE), Lupus tumidus, Childblain LE,
Lichenoid DLE/ Lichen planus overlap/lupus planus
DO
II Kriteria diagnostik :
Klinis : LE-spesifik:
1) ACLE
Lokalisata maupun generalisata, ter-
gantung dari distribusi lesi.
Area kulit yang terpapar sinar UV
Hiperpigmentasi paska inflamasi sangat
sering terjadi pada pasien berkulit gelap
Tidak terjadi jaringan parut kecuali
terjadi infeksi bakteri sekunder
Lokalisata: classic buterfly rash/malar
rash of SLE; bisa meliputi daerah dahi,
R

dagu dan daerah V pada leher; bisa


terjadi pembengkakan hebat pada
wajah; diawali dengan makula atau
papula pada wajah yang selanjutnya
saling menyatu dan hiperkeratotik.
Generalisata:erupsi eksantematosa atau
PE

morbiliformis yang tersebar dan sering-


kali terpusat pada bagian ekstensor dari
lengan dan tangan yang ditandai dengan
ruas-ruas jari yang terpisah. ACLE yang
sangat akut bisa mencetuskan timbulnya
TEN (Toxic Epidermal necrolysis) namun
sangat jarang terjadi
2) SCLE
Makula eritematosa dan atau papula
yang kemudian menjadi plak papu-

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 132

132 Dermatologi Alergo-Imunologi


loskuamosa atau anulare yang
hiperkeratotik
Fotosensitif dan timbul pada area yang
terpapar sinar UV
Biasanya sembuh berupa leukoderma
yang mirip vitiligo dan teleangiektasia

I
tanpa jaringan parut yang bertahan
lama bahkan permanen
Umumnya terdapat pada area leher,

SK
bahu, ekstremitas superior dan batang
tubuh
3) CCLE
Riwayat perjalanan penyakit: kronik
gejala prodromal, gejala subjektif,
gejala sistemik: demam, nyeri sendi,
fotosensitivitas, rambut rontok
Tempat predileksi: wajah, skalp, area V
pada leher, bagian ekstensor lengan.
Morfologi: plak eritematosa, berbatas
tegas, ukuran bervariasi lentikular-
DO
numular-sampai plak, skuama melekat
(adheren) bila diangkat tampak sum-
batan keratin folikular, dapat disertai
atrofi dengan tepi yang lebih kemerahan
atau dengan zona hiperpigmentasi

Diagnosis banding : 1. Dermatitis numularis


2. Dermatitis atopic
R
PE

Dermatologi Alergo-Imunologi 133


D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 133
Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologik: (HE): Penipisan
penunjang epidermis disertai hiperkeratosis relatif dan sumbat
keratin pada muara folikel. Penebalan membran
basal epidermis, disertai degenerasi mencair pada
sel lapisan basal epidermis, infiltrat limfositik
berbentuk pita dengan sedikit sel plasma dan
histiosit, terutama di sekitar apendiks kulit yang

I
atrofik. Perubahan degenerasi jaringan ikat terdiri
atas hialinisasi, edema, perubahan fibrinoid,
terutama di bawah epidermis, degenerasi elastotik

SK
prematur pada kulit yang terpajan matahari.
Pemeriksaan direct immunoflourescence (DIF)/
lupus band test: ditemukan endapan IgG, IgA,
IgM dan komponen komplemen (C3,C4, Ciq,
properdin, faktor B dan Membrane attact complex
C5b0C9) terdeposit pada taut dermo-epidermal
berupa pita yang tersusun lurus atau granular
kontinyu.
Pemeriksaan laboratorium: urin rutin, darah dan
sel LE serta pungsi sumsum tulang.
Pemeriksaan serologi: kadar ANA dalam serum,
anti DsDNA, anti Sm, C3, TSS (tes serologi untuk
DO
sifilis)

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Hindari pajanan matahari atau menggunakan
pelindung matahari secara fisik dan kimia.
Medikamentosa:
Prinsip:
Mengendalikan penyakit
Mencegah perluasan
Deteksi dini penyakit menjadi sistemik
1. Topikal:
Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya
triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area wajah
R

topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol


propionat 0,05% atau bethamethasone propionat
0,05%
Kortikosteroid intralesi misalnya triamsinolon
asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml
Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan
PE

takrolimus 0,1% ointment


Penggunaan tabir surya spektrum luas dan kedap
air dengan SPF30.
2. Sistemik:
- Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6
minggu, diturunkan sesuai dengan perbaikan
klinis dan serologis
- Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal
pagi hari, dievaluasi diturunkan sesuai dengan
perbaikan klinis/ serologis.
- Terapi alternatif: siklofosfamid, metotreksat
D e r m a tharus
(pemberian o l o gberhati-hati).
i A l e r g o - I m u n o l o g i | 134
Tindak lanjut:
Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi
berkala
134 Dermatologi Alergo-Imunologi
Pemantauan efek samping pemakaian koti-
kostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.
Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria
(klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek
samping pada mata).
perbaikan klinis/ serologis.
- Terapi alternatif: siklofosfamid, metotreksat
(pemberian harus berhati-hati).
Tindak lanjut:
Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi
berkala
Pemantauan efek samping pemakaian koti-

I
kostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.
Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria
(klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek

SK
samping pada mata).
Konsultasi ke dokter spesialis mata: pemantauan
fotofobia dan gangguan penglihatan, terutama buta
warna.
Konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam
konsultan hematologi dan alergi-imunologi
Pemantauan pasien menerapkan upaya pen-
cegahan pajanan sinar matahari

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)


Komplikasi Ulserasi yang bisa berakibat pada sekunder
infeksi
DO
TEN
Post Inflamatory Hiperpigmentation
Scarring/ disfigurement
Kalsifikasi Distrofik
Hipotrofi kulit
Lupus Mastitis

IV Kepustakaan : 1. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In:


Goldsmith LA, Ktz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ, Wolff K,editors. Fitzpatrick,s : Dermatology in
General Medicine 8th ed .New York: The McGraw Hill
company, 2012.
R

2. Winkelmann RR, Kim GK, Del Rosso JQ. Treatment of


cutaneous lupus erythematosus: Review and
assessment of treatment benefits based on Oxford
Centre for Evidence-based Medicine criteria. Clin
Aesthetic Dermatol 2013; 6: 27-38
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 135

Dermatologi Alergo-Imunologi 135


V. ALUR
Area yang terpapar sinar UV

Papula/plak hiperkeratotik

I
SK
-Malar rash/ -Plak hiperkeratotik -Batas jelas
classic butterfly atau anular -Berbentuk koin
rash -Sembuh berupa -Tertutup oleh skuama
-Sembuh berupa lekoderma yang yang lekat
Makula menyerupai vitiligo -Eritema dan
hiperpigmentasi dan teleangiektasia hiperpigmentasi pada
bagian tepi dan jaringan
parut atrofi pada bagian
sentral, teleangiektasia
dan hipopigmentasi
DO
-Kenaikan titer ANA -Anti Ro/SS-A (70-
yang bermakna -ANA test positif pada
90%)
-Anti dsDNA positif 30-40% pasien
-Anti La/SS-B (30-50%)
-AntiSm -Faktor rematoid
-ANA test (60-80%)
-Hipokomplementemia positif
-Faktor rematoid
Positif

ACLE SCLE CCLE


R

1. Topikal:
Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area
wajah topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol propionat 0,05% atau
bethamethasone propionat 0,05%
PE

Kortikosteroid intralesi: triamsinolon asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml


Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan takrolimus 0,1% ointment
Tabir surya spektrum luas dan kedap air dengan SPF30.
2. Sistemik:
- Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6 minggu.
- Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal pagi hari.
- Alternatif: siklofosfamid, metotreksat.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 136

136 Dermatologi Alergo-Imunologi


D.2. DERMATOSIS IgA LINEAR

I Definisi : Dermatosis IgA linear atau chronic bullous disease of


childhood (CBDC): merupakan penyakit bulosa didapat -
pada kulit dan membran mukosa yang ditandai secara
khas oleh deposisi linear IgA sepanjang zona membran

I
basalis. Kelainan ini didapatkan pada anak usia 3-9
tahun. Tempat predileksi di wajah, genitalia, meluas ke
perineal dan bokong, tangan dan kaki. Mukosa dapat

SK
terkena (70% kasus).
Erupsi ini dapat disebabkan oleh obat misalnya
vancomycin.
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.
Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia,
perianal, pantat. Keterlibatan mukosa terjadi pada 50%
kasus.
Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal
Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar
eritematosa, berukuran miliar sampai lentikular,
berkelompok tersusun mirip rosette (cluster of jewel)
DO
Diagnosis banding : 1. Eritema multiforme bulosum
2. Dermatitis herpetiformis Duhring
3. Pemfigoid bulosa
4. Epidermolisis bulosa

Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologi kulit dengan pengecatan


penunjang HE: ditemukan celah subepidermal dengan neutrofil
sepanjang basal membran.
Direct immuno fluorescence (DIF): Ditemukan
deposisi IgA dan C3 berbentuk pita di sepanjang
taut dermo-epidermal.
R
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 137

Dermatologi Alergo-Imunologi 137


III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :
Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien
terhadap penyakit dan kepatuhan berobat.
Beberapa penderita dapat mengalami remisi spontan
Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi

I
1. Topikal:
Diberikan apabila penyakit terlokalisata, yaitu:
- Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik topikal Mupirosin

SK
2% atau Asam fusidat 2-5%
- Dapat diberikan kortikosteroid topikal potensi
tinggi (Klobetasol Propionate 0,05%).
- Dapat juga diberikan tacrolimus sebagai terapi
topikal tambahan
- Kompres dengan Nacl 0,9%

2. Sistemik:
- Antihistamin golongan sedatif bila ada keluhan
gatal
CTM 0,09 mg/kg/ dosis 3x sehari
- Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai
DO
dengan steroid sparing agent (azathioprine atau
MTX). Dosis mingguan MTX mungkin efektif dan lebih
nyaman untuk pasien. Dosis steroid diturunkan
secara perlahan untuk mencegah relaps.
- Dapson 0,5-1mg/kg BB/hari atau 25-50 mg/hari
setelah ada perbaikan dosis dapat diturunkan hingga
12,5-25 mg/hari atau kurang. Dosis diturunkan
perlahan-lahan sampai dosis pemeliharaan dicapai.
- Bila tidak toleran dengan dapsone dapat diganti
dengan sulfapiridin
- Bila tidak responsif dapat dikombinasi dengan
Prednison 0,5-1 mg/kg BB/hari
- Bila kasus sulit diatasi, dapat dipertimbangan
R

pemberian Azathioprine, Mycophenolate mofetil,


Intravenous immunoglobulin (IVIG)

3. Obat alternatif:
- Sulfonamid
- Siklosporin A
PE

- Eritromisin

Tindak lanjut:
Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis
obat dan mencapai dosis pemeliharaan.
Pemantauan efek simpang sulfone antara lain terhadap
kemungkinan terjadi methemoglobinemia (pemeriksaan
kadar G6PD)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 138

138 Dermatologi Alergo-Imunologi


IV Komplikasi - Simblefaron
- Penurunan penglihatan
- Keganasan
- Infeksi
- Paraproteinemia

I
V Kepustakaan : 1. Rao CL, Hall III RP. Linear Immunoglobulin A dermatosis
and chronic bullous disease of childhood. In: Wolf K,
Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ,
editors. Fitzpatricks Dematology in general medicine. 8th

SK
ed. New York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 623-9.
2. Patsatsi A. Chronic bullous disease or linear IgA
dermatosis of childhood- revisited. J Genet Syndr Gene
Ther 2013; 4: 6.
3. Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM.
Practical management of thr most common bullous
disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55.
4. Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune bullous disorders with systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.
5. Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal
immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102.
6. Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of
DO
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.
R
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 139
Dermatologi Alergo-Imunologi 139
VI Bagan Alur

Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.


Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia, perianal, bokong
Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal

I
Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar eritematosa,
berukuran miliar sampai lentikular, berkelompok tersusun mirip rosette
(cluster of jewel)

SK
Histopatologi: celah subepidermal dengan neutrofil pada
basal membran
Direct immuno fluorescence (DIF): endapan IgA dan C3
berbentuk pita di sepanjang taut dermo-epidermal.
DO
Dermatosis Ig A linear

(CBDC)

Topikal :- Antibiotik ( Mupirosin 2%, Na Fusidat 2-5%)


- Kortikosteroid potensi tinggi (Klobetasol propionate
0,05%) atau Tacrolimus
- Kompres dengan Nacl 0,9%
Sistemik : - Antihistamin (CTM 0,09 mg/kg/x 3dd1)
- Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai
dengan steroid sparing agent
- Dapson 0,5-1mg /kgBB/hari atau 25-50 mg/hr
R

- Sulfapiridin
PE

Perbaikan + Perbaikan -

Dosis dapson diturunkan Terapi kombinasi dengan


perlahan hingga dosis 12,5- Prednison 0,5-1 mg/kg/ hari
25mg/hri
Atau obat alternatif

140 Dermatologi Alergo-Imunologi


D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 140
D.3. DERMATITIS HERPETIFORMIS DUHRING (L13.0)

I Definisi : Dermatitis herpetiformis Duhring ialah penyakit bulosa


autoimun bersifat kronik dan kambuhan, dengan gejala
ruam bersifat polimorfik terutama berupa papulo-
vesikular, tersusun berkelompok dan simetrik disertai

I
rasa sangat gatal. Kelainan ini berkaitan dengan
deposit IgA pada kulit dan enteropati sensitif-gluten.
Banyak terjadi pada usia antara 30-40 tahun, mes-

SK
kipun dapat terjadi pada usia anak. Perbandingan
laki-laki:perempuan = 2:1.
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat perjalanan penyakit: kronik, hilang
timbul.
Tempat predileksi biasanya pada area ekstensor
ekstremitas dan badan dengan distribusi simetris,
dapat timbul pada skalp dan/atau nuchal
posterior.
Lesi dapat diawali dengan suatu papul eritematus,
plak menyerupai urtikaria selanjutnya juga timbul
DO
vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar
eritematosa. Garukan menyebabkan erosi,
ekskoriasi, krusta. Dispigmentasi postinflamasi
terjadi setelah sembuh.
Keluhan dapat bervariasi dari rasa panas yang
hebat serta gatal hingga tanpa gejala.
Berkaitan dengan sensitivitas pasien terhadap
gluten dan iodida
R
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 141
Dermatologi Alergo-Imunologi 141
Diagnosis banding : 1. Eritema multiforme bulosum
2. Dermatosis IgA linear
3. Pemfigoid bulosa

Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologi kulit dengan penge-


penunjang catan HE ditemukan kumpulan mikroabses

I
neutrofil pada papila dermis dan terdapat celah
subepidermal
Direct immuno fluorescence (DIF): ditemukan

SK
deposit IgA granular pada papila dermis atau
dermal epidermal junction.

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :


Diet rendah gluten: menghindari makanan berasal
dari gandum, misalnya roti, kue, oats, mie, dan obat
yang mengandung iodida

Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi
1. Topikal:
- Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik
DO
- Kortikosteroid topikal yang sangat poten

2. Sistemik:
- Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari
hingga 300-400 mg/hari atau pada anak dapat 1-
2 mg/kgBB/hari.
- Sulfapiridin: dosis dewasa 1-1,5 g/hari dapat
digunakan pada pasien dengan intoleransi
terhadap dapson, pasien lanjut usia, serta pada
pasien dengan masalah kardiopulmoner
- Antihistamin golongan sedatif
R

Tindak lanjut:
Pemantauan efek simpang pemakaian dapson
dan sulfapiridin, keduanya menyebabkan methemo-
globinemia terutama pada pasien dengan defi-
siensi G6PD, kontrol setiap 1 bulan.
Kontrol teratur setiap bulan untuk mencapai dosis
PE

pemeliharaan.
Konsultasi ke Bagian Gastroenterologi bila ada
dugaan coeliac diseases
Konsultasi ke ahli gizi untuk diet bebas atau
rendah gluten.

Komplikasi Enteropati sensitif gluten dapat mengakibatkan


steatorrhea, malabsorpsi, anemia yang diakibatkan
defisiensi besi atau folat.

142 Dermatologi Alergo-Imunologi


Dermatologi A l e r g o - I m u n o l o g i | 142
IV Kepustakaan : 1. Wolf K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller
AS Leffel DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-
Hill, 2012
2. Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune bullous disorders with systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.

I
3. Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal
immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102
4. Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of

SK
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.
5. Herrero-Gonzalez JE. Clinical Guidelines for th
Diagnosis and Treatment of Dermatitis Herpetiformis.
Actas Dermosifiliogr 2010;101(10):820-6.
R DO
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 143
Dermatologi Alergo-Imunologi 143
V Bagan Alur

Riwayat perjalanan penyakit: kronis residif.


Tempat predileksi pada area ekstensor ekstremitas dengan penyebaran
simetris

I
Vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar eritematosa,
meninggalkan erosi, ekskoriasi, krusta

SK
Berkaitan dengan sensitivitas terhadap gluten dan iodida

Histopatologi kulit: kumpulan mikroabses neutrofil pada papila dermis dan


terdapat celah subepidermal
Direct immuno fluorescence (DIF): deposit IgA granular di puncak papila
dermis atau dermal epidermal junction
DO
Dermatitis herpetiformis duhring

Diet bebas gluten


Topikal:: Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik
Sistemik:
- Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari atau pada anak dapat 1-
2 mg/kgBB
- Sulfapiridin: dewasa dosis 1-1,5 g/hari
- Antihistamin golongan sedatif, kortikosteroid topikal yang sangat poten
R
PE

Penyakit terkontrol:
Dapson 25 mg/minggu
Atau sulfapirindin: 1-1,5 gr per hari

144 Dermatologi Alergo-Imunologi


D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 144
D.4. DERMATITIS KONTAK ALERGI (L23)

I Definisi : Dermatitis kontak alergi (DKA) ialah dermatitis yang


terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di luar tubuh
Klasifikasi:
DKA lokalisata

I
DKA sistemik
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Riwayat terpajan dengan bahan allergen

SK
Terjadi reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan
ulang dengan alergen tersangka yang sama
Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, sedangkan bila
pajanan berulang lesi memberat
Gejala subyektif berupa rasa gatal
Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)
Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai
dengan bahan penyebab
Pada DKA sistemik, lesi dapat tersebar luas/generalisata
Efloresensi polimorf

Diagnosis banding : 1. Dermatitis kontak iritan


DO
2. Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat oval)
3. Dermatitis seboroik (di kepala)
4. Dishidrosis (bila mengenai telapak tangan dan kaki)

Pemeriksaan : Tes kulit (tes tempel) untuk mencari penyebab


penunjang Pada DKA kosmetika, apabila tes tempel negatif dapat
dilanjutkan dengan tes pakai (use test), tes pakai
berulang (repeated open application test ROAT)

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Hentikan pajanan alergen tersangka
Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang
R

kemungkinan sumber alergen berasal dari tempat kerja.


Penilaian identifikasi alergen (tes tempel lanjut dengan
bahan-bahan yang lebih spesifik)
Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) yang
sesuai: sarung tangan, krim barier
Medikamentosa:
Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan gambaran
PE

klinis
Gatal: beri antihistamin generasi kedua
DKA akut derajat sedang berat, refrakter: dapat
ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison
20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)
Siklosporin oral
Topikal: sesuai dengan sajian klinis
o Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3
lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 145

Dermatologi Alergo-Imunologi 145


o Vesikular akut: aluminum sulfat/kalsium asetat
topikal
o Kering/kronik/likenifikasi: beri krim kortikosteroid
potensi kuat (momethasone furoate), emolien,
inhibitor kalsineurin: takrolimus , pimekrolimus
Refrakter/tidak dapat menghindari faktor-faktor pen-

I
cetus: fototerapi shortwave UVB
Tindak lanjut:
Pada DKA yang mengenai telapak tangan (hand

SK
dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk melak-
sanakan tugas sehari-hari sehingga dianjurkan
pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Infeksi Sekunder (penatalaksanaan sesuai dengan


lesi, pemilihan jenis antibiotik sesuai kebijakan
Komplikasi masing-masing rumah sakit)
Patch test:
Hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska
inflamasi
Hasil positif yang persisten
DO
Koebner Fenomena pada pasien yang memiliki
psoriasis aktif atau liken planus

IV Kepustakaan : 1. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic contact dermatitis.


In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the
managementof contact dermatitis:an update. British J Derm
2009. 160:946-954.
3. English JSC. Current concept of irriitant contact dermatitis.
Occup environ med 2004. 61:722-726.
R

4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management and


prevention of occupational contact dermatitis. Clin Med
2010. 5:487-90.
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 146

146 Dermatologi Alergo-Imunologi


V Bagan Alur

Riwayat kontak dengan alergen


Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila kontak berulang
lesi memberat

I
Tanda dermatitis
o Akut, subakut, kronik
o Gejala subjektif: gatal

SK
Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai bahan
penyebab

Tes tempel

Cari kemungkinan false-negative karena Dermatitis kontak alergi


efek anti-inflamasi
DO
Nonmedikamentosa: Medikamentosa:

Hentikan pajanan dengan alergen Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan


tersangka gambaran klinis
Anjuran penggunaan alat Gatal: beri antihistamin generasi kedua
pelindung diri/APD (sarung tangan Derajat sakit berat: dapat ditambah
, krim barier) kortikosteroid oral setara dengan
prednison 20 mg/hari dalam jangka
pendek
(3 hari)
R

Topikal: sesuai dengan sajian klnis


Basah (madidans): beri kompres terbuka
Kering: beri krim kortikosteroid potensi
sedang
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 147

Dermatologi Alergo-Imunologi 147


D.5. DERMATITIS KONTAK IRITAN (L24)

I Definisi : Dermatitis kontak iritan (DKI) ialah dermatitis yang


terjadi sebagai akibat pajanan dengan bahan iritan di
luar tubuh, baik iritan lemah maupun iritan kuat
Klasifikasi:

I
DKI Akut
DKI kronik kumulatif
II Kriteria diagnostic :

SK
Klinis : Riwayat terpajan dengan bahan iritan
Terjadi reaksi berupa dermatitis, pada iritan kuat
akan terjadi dermatitis akut pada pajanan pertama
(satu kali), sedangkan pada iritan lemah akan
terjadi dermatitis kronis setelah pajanan berulang
Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila pajanan
berulang lesi bertambah berat
Gejala subyektif berupa rasa gatal, terbakar / nyeri
Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)
Lesi lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai
dengan luas kontak bahan penyebab
Efloresensi monomorf
DO
Diagnosis banding : 1. Dermatitis kontak alergi
2. Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat)
3. Dermatitis seboroik (bila di kepala)
Harus disingkirkan:
Lokalisata: 1. DKA
2. Penyakit Bowen
Diseminata: 1. DKA
2. Sifilis sekunder
3. Cutaneus T Cell Lymphoma
Pemeriksaan : Tes kulit (tes tempel) hanya diperlukan apabila tidak
penunjang dapat dibedakan dengan dermatitis kontak alergi
R

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Identifikasi dan eliminasi bahan iritan tersangka.
Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang
kemungkinan sumber iritan berasal dari tempat
PE

kerja.
Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) :
sarung tangan, krim barier
Medikamentosa:
1.Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan sajian klinis
Gatal: beri antihistamin generasi kedua
Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid
oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam
jangka pendek (3 hari)
2.Topikal: sesuai dengan sajian klinis

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 148

148 Dermatologi Alergo-Imunologi


o Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3
lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%
o Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang
(flusinolon asetonid)
o Emolien dengan bahan dasar petrolatum
o Pimekrolimus sebagai pengganti kortikosteroid

I
topikal potensi lemah
Pada kasus yang berat dan kronis, bisa digunakan
Psoralen + UVA/UVB atau obat sistemik misalnya

SK
azathioprine dan siklosporin
Bila ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal /
sistemik
Tindak lanjut:
Pada DKI kumulatif yang mengenai telapak tangan
(hand dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk
melaksanakan tugas sehari-hari, sehingga dianjurkan
pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Komplikasi Infeksi sekunder (terapi infeksi sekunder sesuai


dengan klinis dan pemilihan jenis antibiotik sesuai
DO
dengan kebijakan masing-masing rumah sakit)

IV Kepustakaan : 1. Amado A, Sood A, Taylor JS. Irritant contact dermatitis.


In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the
managementof contact dermatitis:an update. British J
Derm 2009. 160:946-954
3. English JSC. Current concept of irriitant contact
dermatitis. Occup environ med 2004. 61:722-726.
4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management
and prevention of occupational contact dermatitis. Clin
R

Med 2010. 5:487-90.


PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 149

Dermatologi Alergo-Imunologi 149


V Bagan Alur

Riwayat kontak dengan bahan iritan

Iritan lemah: Iritan kuat:

I
Sabun, deterjen, surfaktan, pelarut Bahan kimia kaustik (asam dan basa)
organic, minyak

SK
Berhari-hari, berbulan-
bulan, bertahun-tahun Segera setelah
setelah kontak kontak

Gatal, nyeri, Rasa terbakar, gatal, nyeri seperti


Bercak-bercak eritem, tersengat
hyperkeratosis, fisura Eritema, edema, batas tegas
sesuai bahan penyebab,
vesikulasi, eksudasi, bula, nekrosis
jaringan
DO
DKI kronik DKA DKI akut
kumulatif

+
Tes tempel

Topikal: Topikal:

Kortikosteroid potensi Lesi basah : kompres terbuka


sesuai derajat Lesi kering : kortikosteroid potensi
inflamasi sesuai derajat inflamasi
Emolien
Emolien (petrolatum
R

based)
Inhibitor kalsineurin Sistemik :
Fototerapi (psoralen+UVA Identifikasi &
/UVB) eliminasi Kortikosteroid setara prednison 20
bahan-bahan mg/hari 3 hari
iritan Antihistamin
Sistemik : Proteksi

Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri:


PE

Antihistamin
Azathioprine
Antibiotika sistemik/topikal

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 150

150 Dermatologi Alergo-Imunologi


D.6. ERUPSI KULIT AKIBAT ALERGI OBAT (L27)

I Definisi : Erupsi kulit akibat alergi obat atau allergic drug


eruption adalah reaksi alergi pada kulit atau
mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat
sistemik, baik yang masuk ke dalam tubuh secara

I
peroral, pervaginam, per-rektal, atau parenteral.
Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, pengobatan, profilaksis.

SK
Termasuk dalam pengertian obat ialah jamu. Perlu
diingat bahwa obat topikal dapat pula menyebabkan
gejala sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit.

Klasifikasi*:
a. Bentuk ringan
1. Urtikaria dengan atau tanpa angioedema
2. Erupsi eksantematosa
3. Dermatitis medikamentosa
4. Purpura
5. Eksantema fikstum (fixed drug eruption/FDE)
6. Eritema nodosum
DO
7. Eritema multiforme
8. Lupus eritematosus

b. Bentuk berat
1. Pustular eksantema generalisata akut (PEGA)
2. Eritroderma
3. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
4. Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau sindrom
Lyell
5.Drug Rash with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS)
* Lihat bab terkait
II Kriteria diagnostik :
R

Klinis : Riwayat menggunakan obat secara sistemik


(jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, runtutan pemberian pengaruh
paparan matahari) atau kontak obat pada kulit
yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus).
Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak
PE

waktu pemberian obat, apakah timbul segera,


beberapa saat atau jam atau hari. Jenis kelainan
kulit yang terjadi antara lain pruritus, eritema,
skuama, urtikaria, lepuh, erosi, ekskoriasi ulkus
maupun nodus.
Keluhan sistemik.
Riwayat atopi diri dan keluarga, alergi terhadap
alergen lain, serta alergi obat sebelumnya.
Kelainan kulit umumnya generalisata atau universal,
dapat setempat misalnya eksantema fikstum.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 151

Dermatologi Alergo-Imunologi 151


Jenis kelainan kulit yang lazim pada erupsi yang
ringan atau berat.

Diagnosis banding : Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi, misalnya:


1. Eritroderma: dapat disebabkan oleh perluasan
penyakit seboroik dan psoriasis, atau akibat
keganasan;

I
2. Eritema nodosum (EN): EN akibat kusta, demam
rheuma dan keganasan.
3. Eritema: morbili.

SK
4. Purpura: Idiopatik trombositopenik purpura, dengue
hemoragic fever.
5. FDE: eritema multiforme bulosum
6. PEGA: pustular psoriasis
7. SSJ: pemfigus vulgaris
8. NET: kombustio

Pemeriksaan : Dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi


penunjang kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan
memenuhi syarat uji kulit, dilakukan di tahap lanjut:
1. Uji tempel tertutup,
DO
2. Uji tusuk bila uji tempel negatif
3. Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif

III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa:


Penjelasan kondisi pasien, diminta menghentikan
obat tersangka penyebab.
Bila pasien sembuh: Berikan kartu alergi, berisi
daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu
tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas
kesehatan setiap kali berobat.
Pasien diberi daftar jenis obat yang harus
dihindarinya (obat dengan rumus kimia yang sama).
R

Medikamentosa:
Prinsip:
1. Hentikan obat
2. Atasi keadaan umum, terutama pada yang
berat untuk life saving.
3. Berikan obat antialergi yang paling aman dan
PE

sesuai.

1. Topikal:
- Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti
prinsip dermatoterapi)
- Pada purpura dan eritema nodosum tidak perlu
- Eritroderma, SSJ, NET (lihat bab masing-
masing)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 152

152 Dermatologi Alergo-Imunologi


2. Sistemik:
- Atasi keadaan umum terutama kondisi vital.
- Pada yang ringan: prednison 30 mg/ hari.
- Anthistamin: merupakan lini pertama pada
urtikaria dan pruritus, atau EOA yang disertai rasa
gatal. Dapat digunakan antihistamin sedatif atau
nonsedatif.

I
- Pada eritroderma dan PEGA: prednison 40-60
mg/hari, Bila berat: rawat inap (lihat PPM SSJ
dan TEN).

SK
Komplikasi
Infeksi sekunder
Eritrodermi
Sepsis

IV Kepustakaan 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller


AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-
Hill, 2012.
2. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J
DO
Med 366;26, 2012.
3. Joint Council of Allergy, Asthma & Immunology. Drug
Allergy: An Updated Practice Parameter. Annals of
Allergy, Asthma & Immunology vol. 105, (10), 2010.
4. Warrington R and Silviu-Dan F. Drug allergy. AACI
7(suppl1): 510, 2011.
R
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 153
Dermatologi Alergo-Imunologi 153
V Bagan Alur

Riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak obat


pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus)

I
Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu
pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa saat atau
jam atau hari.
Kelainan kulit: eritema, papul, skuama, urtikaria, vesikel/ bula,

SK
erosi, ekskoriasi sampai ulkus dan nodus.
Pruritus

Ringan: Berat:

1. Urtikaria dengan/tanpa angioedema 1. Pustular eksantema generalisata


2. Erupsi eksantematosa akut (PEGA)
3. Dermatitis medikamentosa 2. Eritroderma
4. Purpura 3. Sindrom Stevens-Johnson
5. Eksantema fikstum (fixed drug 4. Nekrolisis epidermal toksik (NET)
eruption) atau sindrom Lyell
6. Eritema nodosum
DO
7. Eritema multiforme

1. Topikal: Sesuai PPM masing-masing


- Ikuti prinsip dermatoterapi
- Pada purpura dan eritema nodosum
tidak perlu

2. Sistemik:
- Atasi keadaan umum terutama
kondisi vital.
- Ringan: prednison 30 mg/ hari.
- Anthistamin: merupakan lini pertama
pada urtikaria dan pruritus, atau EOA
R

yang disertai rasa gatal. Dapat


digunakan antihistamin sedatif atau
nonsedatif.
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 154

154 Dermatologi Alergo-Imunologi


D.7. PEMFIGUS

I Definisi : Pemfigus merupakan penyakit autoimun bulosa serius


yang menyebabkan akantolisis kulit dan membran
mukosa dan sering menyebabkan kematian apabila tidak
diterapi secara adekuat. Umumnya mengenai usia

I
dekade ke-4 atau ke-6, tetapi dapat mengenai semua
usia.

SK
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Keadaan umum buruk
Lesi kulit umumnya gatal, diawali oleh lesi oral
yang nyeri sebelum berlanjut menjadi erupsi kulit
generalisata berupa bula kendor pada kulit normal,
meluas hingga ke seluruh tubuh. Karena bula ini
mudah pecah, kadang hanya dapat dilihat erosi
yang sangat nyeri pada beberapa pasien.
Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang
nyeri
Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular
sampai numular, di atas dasar kulit normal atau
DO
eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi
keruh.
Tanda Nikolsky positif
Perjalanan klinis kambuhan, sering diperlukan
terapi seumur hidup.

Diagnosis banding : 1. Dermatitis herpetiformis Duhring


2. Pemfigoid bulosa
Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologik HE: terdapat bula intra-
penunjang epidermal supra basal, akantolisis.
Pemeriksaan imunofluoresens direk: didapatkan
deposit IgG dan C3 di interselular epidermis baik
R

pada kulit lesi maupun perilesi.


Pemeriksaan serologik: kadar IgG di dalam serum
meningkat (titer IgG, autoantibodi terhadap desmoglein
3, biasanya berkorelasi dengan aktifitas penyakit; oleh
karenanya respon klinis dapat dimonitor dengan titer
PE

antibodi)
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin dilakukan;
Pada pemberian krotikosteroid jangka panjang
perlu diperiksa fungsi ginjal dan fungsi hati, kadar
gula darah puasa dan 2 jam setelah makan serta
reduksi urin; Pada pemberian terapi ajuvan
Azathioprine perlu diperiksa kadar TPMT (Thiopurine
methyl-transferase)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 155
Dermatologi Alergo-Imunologi 155
III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :
Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai
penyakit, terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara
merawat lepuh, menghindari penggunaan obat-obat
tanpa sepengetahuan dokter
Medikamentosa:
Prinsip:

I
Mengatasi keadaan umum yang buruk
Mengendalikan reaksi autoimun
Penatalaksanaan multidisiplin, terutama bila

SK
menggunakan kortikosteroid jangka panjang dan
sitostatika yaitu antara lain bersama dengan Bagian
Penyakit Dalam, Hematologi, Alergi-imunologik
1. Topikal:
- Bila banyak lesi erosif atau ekskoriasi dapat
diberikan krim mupirosin 2% atau asam fusidat
2-5%.
- Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan
kompres terbuka dengan NaCl 0,9%.
2. Sistemik:
- Terapi lini pertama: glukokortikoid sistemik,
dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Respon
DO
klinis yang bagus biasanya tampak setelah 2-3
bulan, kemudian dosis dapat diturunkan menjadi
40mg/hari dan di tapering of selama 6-9 bulan
sampai dosis pemeliharaan 5 mg selang sehari).
Tapering dapat dilakukan baik dengan menu-
runkan dosis 10 mg/bulan dan kemudian 5
mg/bulan atau dengan selang sehari: 40/20,
40/0, 30/0, 20/0, 15/0, 10/0, dan 5/0 dilanjutkan
dengan 5/0 untuk pemeliharaan.
- Pada klinis yang berat dapat diberikan kortikos-
teroid terapi denyut. Cara pemberian kortikosteroid
secara terapi denyut (pulsed therapy): metal-
R

prednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3 jam,


250-1000 mg. Atau injeksi deksametason atau
metil prednisolon i.v 1 g/hari selama 4-5 hari.
- Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya
diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi
sekunder.
PE

- Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan


sebagai steroid sparing agent: mikofenolat
mofetil (2-2,5 g/hari 2xsehari), azathioprine (1-3
mg/kgBB/hari atau 50mg setiap 12 jam namun
disesuaikan dengan kadar TPMT), siklofosfamid
(50-200 mg/hari), Dapsone (100 mg/hari),
imunoglobulin intravena (1,2-2 g/kg BB terbagi
dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu
untuk 1-34 siklus), Rituximab (0,4 g/kgBB/hari
selama 5 hari dan dapat diulang sebagai
monoterapi setiap 21 hari)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 156

156 Dermatologi Alergo-Imunologi


- Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata cukup
dengan terapi topikal kortikosteroid, namun bila
lesi maka terapi ~ pemfigus vulgaris
- Pemberian sitostatik harus dilakukan dengan
kerjasama Bagian Hematologi atau atas anjuran
Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi,

I
dan diberikan bila tidak ada kontraindikasi.

Tindak lanjut:

SK
1. Pemantauan keadaan umum: bila dirawat
dilakukan setiap hari, bila berobat jalan 1 x
seminggu, atau bergantung kondisi pasien.
2. Pemantauan IgG dalam serum.
3. Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid
atau sitostatik jangka panjang
4. Kerjasama dengan Bagian Penyakit Dalam,
Alergi-imunologi, dan departemen lain yang
terkait.

IV Komplikasi - Malnutrisi
- Dehidrasi
DO
- Sepsis

V Kepustakaan : 1. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith


LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editors.
Fitzpatricks Dematology in general medicine. 8th ed. New
York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 586-99.
2. Harman KE, Albert S, Black MM. Guidelines for the
management of pemphigus vulgaris. Br J Dermatol
2003; 149:926-37.
3. Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM.
Practical management of thr most common bullous
disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55.
4. Hofmann S, Jakob T. Bulous autoimmune skin disease.
In: Shoenfeld Y, Meroni PL, editors. The general
R

practice guide to autoimmune diseases. Berlin:Pabst


Science. 2012. p. 127-34.
5. Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune bullous disorders with systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.
6. Strowd LC, Taylor SL, Jorizzo JI, Namazi MR.
Therapeutic ladder for pemphigus vulgaris: Emphasis
PE

on achieving complete remission. J Am Acad Dermatol


2011; 64: 490-4.
7. Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 157

Dermatologi Alergo-Imunologi 157


VI Bagan Alur

Keadaan umum buruk


Lesi kulit umumnya tidak gatal namun nyeri. Timbul lepuh berbulan-bulan, mula-mula
di kulit kepala berambut, ke kulit lainnya dan selaput lendir, meluas ke seluruh badan
Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang nyeri
Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas dasar
kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi keruh.

I
Tanda Nikolsky positif

SK
Histopatologi: bula intraepidermal suprabasal, akantolisis
Imunofloresen: deposit IgG & C3 interseluler

Pemfigus

Ringan Sedang-berat

Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik topikal
topikal (Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5% (Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5%
Kortikosteroid topikal Kortikosteroid sistemik: Prednison 1 mg/kg/hari bila
tidak didapatkan respon dalam 7-10 hari dtingkatkan
atau
DO
1,5 mg/kgBB /hari. Pada klinis yang berat diberikan
Prednison dosis rendah 1mg/kgBB/hari suntikan deksametason atau metil prednisolon i.v 1
Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata g/hari selama 4-5 hari.
cukup dengan terapi topikal kortikosteroid,
namun bila lesi maka terapi ~ pemfigus
vulgaris

Perbaikan + Perbaikan -

Perbaikan + Perbaikan -

Dosis Pertimbangan terapi ajuvan:


kortikosteroid - Mikofenolat mofetil (2-2,5 g/hari
diturunkan 2xsehari),
secara perlahan - Azathioprine (1-3 mg/kgBB/hari
hingga dosis atau 50mg setiap 12 jam namun
R

setara dengan disesuaikan dengan kadar TPMT)


prednison 15-20 - Siklofosfamid (50-200 mg/hari)
mg/ hari - Dapsone (100 mg/hari)
- imunoglobulin intravena (1,2-2
g/kg BB terbagi dalam 3-5 hari
yang diberikan setiap 2-4 minggu
untuk 1-34 siklus),
- Rituximab(0,4 g/kgBB/hari selama
PE

5 hari dan dapat diulang sebagai


monoterapi setiap 21 hari)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 158

158 Dermatologi Alergo-Imunologi


D.8. URTIKARIA (L50)

I Definisi : Urtikaria merupakan suatu kelompok penyakit/kelainan/


kondisi yang mempunyai kesamaan pola reaksi kulit yang
khas yaitu perkembangan lesi kulit urtikarial yang berakhir 1-
24 jam dan/atau angioedema yang berakhir sampai 72 jam.

I
Urtikaria diklasifikasikan menjadi 3 grup (Tabel 1).
Angioedema merupakan pembengkakan mendadak yang
non-pitting pada kulit, membran mukosa atau keduanya,

SK
termasuk traktus respiratorius atas dan gastrointestinalis,
yang biasanya bertahan selama beberapa jam sampai 3 hari.
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria

Grup Sub grup Keterangan


Urtikaria Urtikaria akut Wheal spontan < 6 minggu
spontan
Urtikaria kronik Wheal spontan > 6 minggu
Urtikaria Urtikaria kontak dingin Faktor pencetus:
fisik (cold contact urticaria) udara/air/angin dingin

Delayed pressure Faktor pencetus: tekanan


DO
urticaria vertikal (wheal arising with
a 3-8 latency)

Urtikaria kontak panas Faktor pencetus: panas


(hot contact urticaria) yang terlokalisir

Urtikaria solaris Faktor pencetus: UV


dan/atau sinar tampak

Urtikaria factitia/ Faktor pencetus: kekuatan


Urtikaria dermografik mekanis (wheal muncul
setelah 1-5 menit)
R

Urtikaria/ angioedema Faktor pencetus: misal


fibratori pneumatic hammer
Kelainan Urtikaria angiogenik Faktor pencetus: air
urtikaria
lain
Urtikaria kolinergik Dicetuskan oleh naiknya
PE

temperatur tubuh

Urtikaria kontak Dicetuskan oleh kontak


dengan bahan yang
bersifat urtikariogenik

Urtikaria yang Faktor pencetus: latihan


diinduksi oleh latihan fisik
fisik (exercise)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 159

Dermatologi Alergo-Imunologi 159


II Kriteria diagnostik :
Klinis : Urtikaria ditandai secara khas oleh timbulnya wheals
dan/atau angioedema secara cepat. Wheal terdiri atas
tiga gambaran klinis khas yaitu (i) udem di bagian
sentral dengan ukuran bervariasi, hampir selalu
dikelilingi oleh eritema, (ii) disertai oleh gatal atau

I
kadang-kadang sensasi seperti terbakar, dan (iii)
berakhir cepat, kulit kembali ke kondisi normal
biasanya dalam waktu 1-24 jam.

SK
Pedoman untuk diagnosis diawali dengan evaluasi
rutin pasien, yang meliputi anamnesis lengkap dan
pemeriksaan fisik, dan menyingkirkan penyakit sistemik
berat dengan pemeriksaan laboratorium dasar. Tes
provokasi dan laboratorium spesifik sebaiknya dilakukan
secara individual dengan didasarkan penyebab yang
dicurigai. Anamnesis sebaiknya meliputi:
1) Waktu mulai munculnya urtikaria (onset),
2) Frekuensi dan durasi wheals,
3) Variasi diurnal,
4) Bentuk, ukuran, dan distribusi wheals,
5) Apakah disertai angioedema,
6) Gejala subjektif yang dirasakan pada lesi, misal
DO
gatal, nyeri,
7) Riwayat keluarga terkait urtikaria, atopi,
8) Alergi yang dulu atau saat ini, infeksi, penyakit
internal, atau penyebab lain yang mungkin,
9) Induksi oleh bahan fisik atau latihan fisik (exercise),
10) Penggunaan obat (NSAID, injeksi, imunisasi,
hormon, obat pencahar (laxatives), suppositoria,
tetes mata atau telinga, dan obat-obat alternatif),
11) Makanan,
12) Kebiasaan merokok
13) Jenis pekerjaan
14) Hobi
15) Kejadian berkaitan dengan akhir pekan, liburan,
R

dan perjalanan ke daerah lain


16) Implantasi bedah
17) Reaksi terhadap sengatan serangga
18) Hubungan dengan siklus menstruasi
19) Respon terhadap terapi
20) Stres
PE

21) Kualitas hidup terkait urtikaria

Langkah kedua adalah pemeriksaan fisik pasien, yang


sebaiknya juga meliputi tes dermografisme (terapi
antihistamin harus dihentikan setidaknya 2-3 hari dan
terapi immunosupresi untuk 1 minggu). Langkah
diagnostik selanjutnya bergantung pada subtipe
urtikaria, seperti dirangkum pada Tabel 2

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 160

160 Dermatologi Alergo-Imunologi


Diagnosis banding : Penyakit kulit yang dapat bermanifestasi sebagai lesi
urtikaria

Biasa dijumpai Dermatitis urtikarial


Dermatitis kontak (iritan atau alergik)
Reaksi gigitan arthropoda
Erupsi obat eksantematosa

I
Mastositosis (anak-anak)
Penyakit bulosa autoimun
Subepidermal: pemfigoid bulosa,

SK
pemfigoid gestasional, dermatosis
IgA linear, EB akuisita, Dermatitis
herpetiformis Duhring
Intraepidermal: Pemfigus
herpetiformis
PUPPP (pruritic urticarial papules and
plaques of pregnancy)
Small-vessel vasculitis (vaskulitis
urtikarial)
Jarang Dermatitis progesteron/estrogen
Autoimun
Dermatitis granulomatosa interstisial
DO
Selulitis eosinofilik (sindrom Wells)
Hidradenitis ekrin neutofilik
Musinosis folikular urticarial-like
R
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 161

Dermatologi Alergo-Imunologi 161


Pemeriksaan penunjang
o Gambaran histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan udem pada dermis atas dan tengah,
disertai dilatasi venula postkapiler dan pembuluh limfatik dermis atas.

o Tabel 2. Tes Diagnostik Urtikaria

I
Grup Sub grup Tes diagnostik Program diagnostik lanjutan (bergantung
rutin pada penyebab yang dicurigai)
Urtikaria Urtikaria akut Tidak ada (kecuali Tidak ada (kecuali sangat dicurigai pada
spontan sangat dicurigai riwayat pasien, misal alergi)

SK
pada riwayat pasien,
misal alergi)
Urtikaria kronik DL, erythrocyte Tes untuk (i) penyakit infeksi (misal
sedimentation rate Helicobacter pylori), (ii) alergi tipe I, (iii)
(ESR) /C-reactive autoantibodi, (iv) hormon tiroid, (iv) tes fisik,
protein (CRP), (v) diet bebas-pseudoalergen untuk 3 minggu
menyingkirkan obat dan triptase, biopsi
yang dicurigai (misal
NSAID)
Urtikaria Urtikaria Tes provokasi (dan DL dan ESR/CRP, cryoproteins
fisik kontak dingin threshold test) menyingkirkan penyakit lain, terutama infeksi
(cold contact dingin (balok es, air
urticaria) dingin, angin dingin)
Delayed Tes tekan (0,2- Tidak ada
DO
pressure 1,5kg/cm2 selama
urticaria 10 dan 20 menit)
Urtikaria Tes provokasi panas Tidak ada
kontak panas dan threshold test
(hot contact (air hangat)
urticaria)
Urtikaria UV dan sinar Singkirkan dermatoses lain yang diinduksi
solaris tampak pada cahaya
berbagai panjang
gelombang
Urtikaria Elisitasi DL, ESR/CRP
factitia/ dermografisme
Urtikaria
dermografik
Kelainan Urtikaria Pakaian basah pada Tidak ada
R

urtikaria angiogenik temperatur tubuh


lain diaplikasikan selama
20 menit
Urtikaria Latihan fisik dan Tidak ada
kolinergik provokasi
rendam/mandi air
panas
Urtikaria Tes tusuk/tempel Tidak ada
PE

kontak dibaca setelah 20


menit
Urtikaria/ Bergantung pada Tidak ada
anafilaksis riwayat tes latihan
yang diinduksi fisik dengan/ tanpa
oleh latihan makanan
fisik

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 162

162 Dermatologi Alergo-Imunologi


III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa : Identifikasi dan menghindari
kemungkinan penyebab.
Medikamentosa:
Prinsip: Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat
dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan /

I
atau dikonsulkan ke Spesialis THT
1. Topikal:
Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer

SK
2. Sistemik:
Urtikaria akut:
- Antihistamin (AH) nonsedatif
- Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil, dapat
digunakan hydroxyzine atau diphenhydramine 25
50 mg qid.
- Angioedema disertai obstruksi saluran napas:
a. Epinefrin dapat mengatasi urtikaria berat atau
angioedema atau jika terdapat edema laring.
b. Kortikosteroid setara Prednison 60-80 mg/hari
selama 3 hari, dosis diturunkan 5 10 mg/hari.
c. Konsul THT
Urtikaria kronik:
DO
Terapi lini pertama:
Antihistamin H1 generasi kedua non sedasi (non-
sedating second generation H1-AH/ nsAH)
Terapi lini kedua:
Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin
H1 generasi kedua non sedasi dapat dinaikkan
dosisnya sampai 4x.
Terapi lini ketiga:
Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, dosis
regimen terapi nsAH dapat diganti generasi pertama
antihistamin sedasi atau antihistamin non sedasi
generasi kedua dengan pilihan menambahkan
R

antagonis leukotrien. Jika terjadi eksaserbasi gejala


dapat diberikan kortikosteroid sistemik untuk 3-7 hari.
Terapi lini keempat:
Jika gejala masih menetap sampai 1-4 minggu
regimen terapi nsAH dapat dilanjutkan dengan
PE

kombinasi siklosporin, antihistamin H2 non sedasi


generasi kedua, dapson, atau omalizumab. Apabila
masih terjadi eksaserbasi gejala, perlu ditambahkan
kortikosteroid sistemik selama 3-7 hari.

IV Komplikasi : Kesulitan menelan


Edema laring --> kesulitan bernafas --> kematian

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 163

Dermatologi Alergo-Imunologi 163


IV Kepustakaan : 1) Zuberbier 2T, Bindslev-Jensen C, Canonica W, et al.
EAACI/GA LEN/EDF guideline: definition, classification and
diagnosis of urticaria. Allergy 2006: 61: 316320
2) Zuberbier T. A Summary of the New International
EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guidelines in Urticaria . WAO
Journal 2012; 5:S1S5
3) Kaplan AP. Angioedema. WAO Journal 2008; 1:103-113

I
4) Peroni A, Colato C, Schena D, Girolomoni G. Urticarial
lesions: If not urticaria, what else? The differential diagnosis
of urticaria. Part I. Cutaneous diseases. J Am Acad
Dermatol 2010;62:541-55.

SK
5) Chow S. Management of chronic urticaria in Asia: 2010
AADV consensus guidelines. Asia Pac Allergy 2012;2:149-
160
6) Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Wolff K,
Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke 8.
New York: McGraw-Hill 2012; 414-430
R DO
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 164

164 Dermatologi Alergo-Imunologi


Penanganan Urtikaria/ Angioedema Kronik Idiopatik Autoimun:

Antihistamin nonsedatif:
Satu obat atau kombinasi 2-4 kali dosis yang Berespon
dianjurkan untuk rhinitis

I
Berespon
--> Pertahankan pada dosis Antihistamin lain hingga dosis maksimal, mis.

SK
dimana urtika ringan, tidak Hydroksizin atau difenhidramin (25-50 mg qid)
perlu sampai hilang Tambahan antagonis H2, antagonis leukotrien

Respon tidak memadai

Riwayat menggunakan kortikosteroid atau dengan Dosis rendah perhari (10 mg prednison atau setara)
hipertensi, diabetes, osteoporosis, striae berat, steroid atau steroid selang sehari (20-25 mg qod)
obesitas morbid dengan menurunkan dosis perlahan menggunakan
tablet prednison 5mg dan 1 mg
DO
Siklosporin bersama steroid hingga dosis maksimum 15
mg/ hari diturunkan bertahap dengan tujuan tidak
menggunakannya

Siklosporin tidak efektif atau ada efek samping Respon baik terhadap
Dosis rendah steroid seperti di atas steroid Respon kurang terhadap
Metotreksat mingguan Menurunkan dosis setiap steroid
globulin intravena 2-3 minggu bila dapat --> siklosporin, ketika
Plasmaferesis bagi subgrup autooimun ditoleransi respon dicapai, eliminasi
R

Tujuan: urtikaria ringan, kortikosteroid


angioedema jarang
PE

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 165

Dermatologi Alergo-Imunologi 165


D.9. PSORIASIS
I Definisi : Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik
residif ditandai oleh plak eritematosa, di atasnya terdapat
skuama kasar, transparan, berlapis-lapis, disertai adanya
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.
Psoriasis dapat timbul pada semua usia, tetapi jarang

I
pada usia kurang dari 10 tahun, sering muncul antara usia
15 dan 30 tahun.1

SK
II Kriteria diagnostik :
Klinis :
Psoriasis tipe plak
Tanda dan gejala
Bentuk psoriasis yang paling banyak
Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama
berwarna keperakan adalah karakteristik tetapi tidak
harus ada
Daerah yang terkena biasanya:
Siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar
Kadang-kadang genitalia juga terkena

Psoriasis guttata
DO
Onset mendadak dan biasanya terjadi setelah infeksi
streptokokal pada saluran pernafasan atas
Bentuk seperti tetesan air, plak merah muda dengan
skuama
Biasanya ditemukan pada badan dan ekstremitas

Psoriasis pustularis generalisata dan lokalisata


Generalisata
Juga disebut psoriasis von Zumbusch
Secara khas ditandai oleh pustul steril yang mengenai
sebagian besar area tubuh dan ekstremitas
Pada kasus yang berat pustul dapat bergabung dan
R

membentuk kumpulan pus (lake of pustules)


Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan
terhadap infeksi, hilangnya cairan dan nutrien
Sering disertai dengan gejala sistemik misal demam dan
malaise
Dapat membahayakan kehidupan
PE

Lokalisata
Pustul terlokalisasi pada palmar dan plantar
Pustul dapat terletak di atas plak
Sangat mengganggu karena kesulitan menggunakan
tangan atau kaki
Psoriasis eritroderma
Generalisata, berat, eritema yang luas dengan skuama
yang dapat mengenai sampai 100% luas permukaan
tubuh

29
166 Dermatologi Alergo-Imunologi
Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan
terhadap infeksi, temperatur tubuh yang tak dapat
terkontrol, hilangnya cairan dan nutrien
Sering disertai dengan gejala sistemik yaitu demam dan
Diagnosis malaise
Dapat membahayakan kehidupan

I
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

SK
Riwayat
Usia awitan bimodal: 16-22 tahun dan 57-60 tahun
Infeksi, terutama streptokokus dapat memicu atau
mengeksaserbasi penyakit
Obat (misal litium, antimalaria, alkohol, -bloker) dapat
memicu penyakit
Riwayat pengobatan dan pembedahan
Review riwayat keluarga, sosial, dan gejala

Pemeriksaan fisik
DO
Diagnosis biasanya dapat dibuat dari penampilan klinis
plak
Inspeksi semua area tubuh terutama permukaan
ekstensor, badan, perineum, kepala, kuku, sendi, serta
daerah prominen lain.

Tes diagnosis
Mungkin diperlukan untuk penyakit yang sulit atau atipik
Tidak ada petanda serologis atau tes laboratorium
yang patognomonik untuk psoriasis
Biopsi kulit, studi serologis sifilis, kultur bakteri, HLA
R

typing, pemeriksaan mikroskopis (KOH), dsb dapat


digunakan untuk membedakan psoriasis dari penyakit
yang lain.

Diagnosis : 1. Sifilis psoriasiformis


PE

banding 2. Dermatitis seboroik


3. Parapsoriasis
Pemeriksaan : Bila sangat perlu: biopsi kulit
penunjang Pemeriksaan ASTO
Pemeriksaan faktor rhematoid
Foto rontgen tulang sendi

Dermatologi Alergo-Imunologi 167

30
III Penatalaksanaan : A
EDUKASI PASIEN

Edukasi terhadap pasien dan keluarga merupakan


kunci penting untuk keberhasilan penatalaksanaan
Pasien harus disadarkan bahwa terapi hanya akan
mengontrol psoriasis tetapi tidak menyembuhkannya

I
Yakinkan pasien bahwa psoriasis banyak dijumpai dan
tidak menular
Diskusikan berbagai pilihan terapi, efek samping dan

SK
hasil yang diharapkan
Diskusikan kemungkinan faktor penyebab eksaserbasi

PRINSIP TERAPI
Pilihan terapi sangat individual
Sebagian besar pasien akan mendapatkan terapi multipel
simultan
Dokter harus memahami semua pilihan terapi sehingga
terapi yang tepat dapat dipilih untuk masing-masing pasien

Pertimbangan berikut akan mempengaruhi pilihan dan


frekuensi terapi:
DO
Keparahan, luas permukaan tubuh yang terkena, regio
tubuh yang terkena
Pengaruh psoriasis pada kualitas hidup
Derajat gangguan psikologis yang disebabkan oleh
penyakit
Rasio risiko vs keuntungan harus dipertimbangkan
untuk masing-masing rejimen terapi
Adanya komorbiditas misal penyakit hepar, hipertensi
dihubungkan dengan sindrom metabolik
Kenyamanan pasien
Biaya terapi
R

B FOTOTERAPI/ FOTOKEMOTERAPI
Fototerapi biasanya digunakan pada pasien dengan
psoriasis generalisata sedang sampai berat dengan
luas permukaan tubuh yang terkena > 3% (termasuk
psoriasis gutata) atau terdapat gejala mitigating lain
Kontraindikasi: pengobatan radiasi sinar pengion penyakit
PE

dengan fotosensitif misalnya lupus eritematosus, xero-


derma pigmentosus, porfiria, pengguna obat-obat bersifat
fotosensitizer: antara lain griseofulvin dan diuretika, pasien
dengan riwayat terapi arsenik, pasien melanoma, kanker
kulit non melanoma multipel. Kontraindikasi tambahan
untuk PUVA: penyakit hati, pemakai siklosporin atau
metotreksat, hamil dan menyusui.
Perhatian khusus: pasien tipe kulit 1-2, atopik,
eritroderma (vasodilatasi luas), mudah terbakar, pasien
tidak tahan panas atau tidak kuat berdiri.

31
168 Dermatologi Alergo-Imunologi
Toksisitas: akut: eritema, pruritus, terbakar kulit; kronis:
photoaging, lentigen, telangiektasia, secara teoritis
mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan. Toksisitas
tambahan PUVA: akut:mual dan muntah, pusing dan
sakit kepala, bula, onikolisis akibat sinar, melanokia;
kronis: fotokarsinogenesis untuk kaukasia tipe kulit I-III
setelah 200 penyinaran

I
Lubrikan dan emolien diperlukan untuk meningkatkan
dayaguna fototerapi
Jika memungkinkan, kulit yang tidak disinar harus

SK
dilindungi dengan tabir surya
Lindungi daerah payudara, okular, dan genital selama
sesi fototerapi
Monitoring: sebelum terapi: penapisan kanker kulit,
katarak, dan pada masa terapi evaluasi kulit
keseluruhan, awasi efek samping
Ultraviolet B (UVB) broadband (BB)
Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 4 minggu
terapi, kulit bersih (clearance) dapat tercapai setelah
20-30 terapi, terapi pemeliharaan (maintenance) dapat
memperpanjang masa remisi. Laju remisi 5% setahun
DO
Dosis awal: menurut tipe kulit 20-60mJ/cm2 atau 50%
minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 5-
30mJ/cm2 atau 25% MED awal, penyinaran 3-5
kali/minggu

Ultraviolet B (UVB) narrowband (NB)


Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 8-10 terapi,
kulit bersih dapat tercapai setelah 15-20 terapi, terapi
pemeliharaan dapat memperpanjang masa remisi.
Laju remisi 38% setahun
Dosis awal: menurut tipe kulit 130-400mJ/cm2 atau
50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan
R

15-65mJ/cm2 atau 10% MED awal, penyinaran 3-5


kali/minggu
UVB dapat dikombinasikan dengan:
o Analog Vit D topikal
o Coal tar topikal
o PUVA
PE

o Retinoid (dosis fototerapi harus direndahkan)


o Metotreksat (dapat digunakan dosis kumulatif rendah)
PUVA
Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan
terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam
20-25 kali terapi selama 5.3-11.6 minggu. Terapi
pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan
Dosis: 8-metoksi psoralen, 0.4-0.6mg/kgBB diminum
peroral 60-120 menit sebelum disinar UVA. Kaca mata
bertabir ultra violet diperlukan untuk perlindungan di

32
Dermatologi Alergo-Imunologi 169
luar rumah 12 jam setelah minum psoralen. Dosis UVA
menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan 0.5-1.5
J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu.
PUVA dapat dikombinasikan dengan:
o Retinoid oral (mempunyai efek sinergis, dapat
digunakan dosis rendah)
o Metotreksat (hanya dapat digunakan untuk psoriasis

I
berat)
o Analog Vit D
o Steroid topikal

SK
o UVB

Soak/ bath PUVA


Dapat digunakan pada pasien dengan psoriasis
lokalisata, terutama palmar dan plantar
Merupakan alternatif pada pasien dengan psoriasis
generalisata yang tidak dapat mentoleransi psoralen oral
Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan
terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam
30 kali terapi selama 5 -12 minggu. Terapi peme-
liharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan
DO
Dosis: 0.1% 8-metoksipsoralen dalam emolien, dioles
30 menit sebelum sinar; 50mg 8-metoksi psoralen
dalam 100 L air, dioles 20-30 menit sebelum. Dosis
UVA menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan
0.5-1.5 J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu.

C TERAPI TOPIKAL

Emolien:
Bagian penting dari terapi psoriasis, terutama pada
fase non-akut
Efek: Melembutkan dan menghaluskan stratum korneum
R

(soften & smoothen), dengan cara mekanisme trapping


sehingga menurunkan kecepatan hilangnya air transepi-
dermal
o Petrolatum, minyak mineral meningkatkan efikasi
fototerapi
o Beberapa emolien (misal yang mengandung asam)
PE

mungkin mengiritasi kulit yang inflamasi


Pilihan pasien dan daerah lesi menentukan formula yang
akan digunakan, misalnya petrolatum, parafin cair, minyak
mineral, gliserin, dsb

Kortikosteroid
Pilihan terapi untuk psoriasis pada wajah, hairline,
daerah postaurikular dan lipatan
Efek: anti inflamasi, vasokonstriksi dan menurunkan
turnover sel (sitostatik), sehingga kortikosteroid potensi

33
170 Dermatologi Alergo-Imunologi
sedang dan kuat lebih sesuai untuk psoriasis oleh
karena efek sitostatiknya.
Dosis: dapat dipakai 1-2 kali sehari, dapat dikombinasi
dengan obat topikal lain, fototerapi, obat sistemik
Takifilaksis (toleransi yang cepat) dan efek samping pada
terapi jangka lama membatasi pemakaian kortikosteroid.
Gunakan secara bijaksana untuk mencapai keun-

I
tungan maksimal dengan efek samping minimal
Pilihan sediaan bergantung pada lokasi lesi yang akan
diterapi, usia pasien, keparahan lesi, potensi (Stoughton-

SK
Cornell)
Skalp: lotion, spray, solusio dan gel lebih dipilih karena
dapat digosokkan pada skalp
Wajah: potensi rendah, hindari poten-superpoten
Lipatan tubuh: potensi rendah bentuk krim atau gel.
Palmar dan plantar: steroid potensi sangat poten,
hanya sedikit efektif
Flare-up psoriasis dapat terjadi setelah steroid dihentikan;
terapi kortikosteroid harus diturunkan perlahan
Digunakan sebagai kombinasi dengan bahan yang
ditoleransi lebih baik; tingkatkan potensi kortikosteroid
saat flare-up dan tapering jika dalam remisi
DO
Biasanya digunakan kombinasi dengan: analog Vit D
dan retinoid topikal

Ditranol (Antralin)
Terapi efektif untuk psoriasis plak, memperlambat
kecepatan proliferasi populasi sel stem sehingga jadi
keratinisasi normal
Efek: efikasi rendah bila merupakan monoterapi diban-
dingkan dengan kortikosteroid atau kalsipotriol
Dosing; kontak cepat diawali dengan konsentrasi 1%
Pewarnaan dan iritasi
Tidak sesuai untuk daerah yang luas dari lesi kecil, daerah
R

lipatan atau wajah


Kehamilan kategori C; anak dapat dipakai dengan
perhatian intensif
Keratolitik
Asam salisilat adalah keratolitik yang paling sering
digunakan
PE

Efek: tidak ada data bila dipakai secara tunggal dengan


kombinasi tacrolimus atau mometason furoate mem-
punyai potensi perbaikan lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian tacrolimus atau mometason tunggal.
Efek samping/kontraindikasi: bila pemakaian lebih dari
20% permukaan tubuh, penyerapan sistemik dapat
terjadi, terutama pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi hati ataupun fungsi ginjal. Asam salisilat dapat
mengurangi efikasi UVB, karena asam salisilat mem-
punyai efek tabir.

34

Dermatologi Alergo-Imunologi 171


Kehamilan asam salisilat dapat dipakai pada keha-
milan, hindari pemakaian pada anak-anak, karena efek
penyerapan oleh kulit yang besar.

Retinoid (topikal)
Tazaroten merupakan retinoid topikal yang efektif
untuk psoriasis

I
Dapat digunakan untuk terapi psoriasis tipe ringan-
sedang yang melibatkan < 20% luas permukaan tubuh
Efek dan dosis: memperantarai diferensiasi dan

SK
proliferasi sel. Lebih dari 50% perbaikan terlihat pada
63% dan 50% pasien yang diobati Tazarotene masing-
masing 0.1% gel dan 0.05% gel, sekali sehari selama
12 minggu, dibandingkan dengan 315 pasien yang
diobati vehikulum. Dalam 12 minggu lesi menghilang
pada 50-51% pasien yang diterapi Tazaroten dengan
konsentrasi masing-masing 0.1% dan 0.05%.
Paling baik dikombinasi dengan topikal kortikosteroid.
Efek samping dan Kontraindikasi iritasi pada lesi atau
sekitarnya, bersifat fotosensitizer.
Kehamilan dan menyusui: kategori X, anak-anak tidak
DO
ada data <18 tahun
Awitan lambat dan jika digunakan sebagai terapi
tunggal dapat menimbulkan iritasi kulit (dermatitis
retinoid), sehingga biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan kortikosteroid topikal
Dapat dikombinasikan dengan: steroid topikal

Analog Vit D
Preparat yang tersedia adalah kalsipotriol dan kalsitriol
Dapat digunakan untuk jangka lama
Efektif untuk psoriasis plak kronik ringan-sedang;
mungkin tidak sesuai untuk psoriasis inflamasi
Efek: 70-74% pasien diobati dengan salep kalsipotriol
R

atau kalsipotrien menghasilkan 75% perbaikan atau


bahkan sangat baik dibandingkan dengan plasebo
yang hanya 18-19%. Untuk pemakaian pada skalp
kalsipotriol atau kalsipotrien memperbaiki psoriasis
skalp 60% pasien dibandingkan dengan plasebo yang
hanya 17%. Bila dikombinasi dengan betametason
PE

dalam empat minggu berhasil membersihkan psoriasis


48% pasien plak psoriasis sedang dan berat, 16.5%
bila hanya kalsipotriol, 26.3% bila hanya betametason
dan 7.6% dengan plasebo. Kombinasi kalsipotriol dan
betametason sekali shari dalam 52 minggu berhasil
membersihkan psoriasis 70-80% tanpa efek samping.
Dosis: kalsipotriol 2 kali sehari, kalsipotriol kombinasi
dengan betametason sekali sehari.
Aksi onset lambat, efek mungkin tak tampak dalam 6-8
minggu

35
172 Dermatologi Alergo-Imunologi
Reaksi simpang/kontraindikasi: iritasi, peningkatan
kadar kalsium serum terutama bila diberikan 100
gram/hari, fotosensitif tetapi bisa dikombinasi dengan
fototerapi UVB, efek samping kortikosteroid topikal bila
dikombinasi dengan betametason.
Kehamilan; kategori C; anak-anak : aman
Dapat dikombinasikan dengan terapi lain:

I
o Kortikosteroid topikal
o UVB
o PUVA (Kalsipotriol harus diaplikasikan setelah

SK
paparan UVA karena UVA menginaktifasi kalsipotriol)
o Siklosporin-A
o Metotreksat
o Retinoid oral

Tar
Efektif digunakan untuk plak kronik pada psoriasis
ringan-sedang
Efek: Menekan sintesis DNA pada epidermis, dapat
menyebabkan folikulitis steril. Pengobatan dengan 1%
losio coal tar lebih baik dibandingkan dengan ekstrak
5% coal tar.
DO
Kurang disenangi pasien karena berbau/masalah pruritus
Dapat digunakan tunggal atau sebagai tar bath, atau
diaplikasikan langsung pada plak psoriasis (hindari
wajah dan fleksural/lipatan)
Lebih sering digunakan sebagai terapi untuk kulit
kepala dengan kortikosteroid atau kombinasi dengan
UVB (terapi Goeckerman)

D TERAPI SISTEMIK
Metotreksat
Antimetabolit yang dapat digunakan pada pasien yang
gagal dengan terapi topikal dan fotokemoterapi
R

Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis


sedang-berat (psoriasis yang mengenai > 10% luas
permukaan tubuh)
Sangat efektif terutama untuk terapi jangka lama
psoriasis berat termasuk psoriasis eritroderma dan
psoriasis pustularis
PE

Efek: 36% pasien terkendali dengan 7.5mg/minggu


secara oral, dosis dinaikkan bila perlu, PASI 75 dicapai
setelah 16 minggu.
Dosis: diberikan sebagai dosis oral tunggal mingguan.
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai
menghasilkan repons pengobatan yang optimal; dosis
maksimal tidak boleh melebhih 30mg/minggu. Dosis
harus diturunkan serendah mungkin sampai jumlah
yang dibutuhkan secara memadai dapat mengendalikan

36

Dermatologi Alergo-Imunologi 173


psoriasis dengan penambahan obat topikal. Dianjurkan
untuk melakukan dosis uji 2.5-5mg/minggu. Pemakaian
dapat berlangsung sepanjang tidak memberikan tanda
toksisitas hati dan sumsum tulang dengan pemantauan
yang memadai. Pemberian asam folat 1-5mg perhari
secara oral, kecuali pada hari pemberian metotreksat,
akan mengurangi efek samping

I
Toksisitas: peningkatan nilai fungsi hati (bila 2 kali lipat
pantau lebih sering; 3 kali lipat turunkan dosis dan bila
lebih dari 5 kali lipat hentikan pemberian). Anemia

SK
aplastik, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis inter-
sisial, stomatitis ulserativa, mual, muntah, diare, lemah,
cepat lelah, menggigil, demam, pusing, menurunnya
ketahanan terhadap infeksi, ulserasi dan perdarahan
lambung, fotosensitif dan alopesia.
Interaksi obat: obat hepatotoksik misalnya barbiturat,
sulfametoksazol, NSAID, penisilin, trimetoprim.
Biopsi hati dilakukan setelah pemberian metotreksat 3.5-
4 gram diikuti setiap 1.5 gram. Pasien dengan ririsko
kerusakan hati, biopsi hati dipertimbangkan setelah
pemberian metotreksat 1-1.5 gram.
DO
Kontraindikasi absolut: hamil, menyusui, alkoholisme,
penyakit hati kronis, sindroma imunodefisiensi, hipoplasia
sumsum tulang belakang, lekopenia, trombositopenia,
anemia yang bermakna, hipersensitivitas terhadap
metotreksat. Kontraindikasi relatif: abnormalitas fungsi
renal, hepar, infeksi aktif, obesitas, diabetes melitus.
Pemantauan: Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium; darah lengkap,fungsi hati dan
renal, biopsi sesuia anjuran, pemeriksaan kehamilan, uji
HIV, PPD, foto toraks.
Dapat dikombinasikan dengan:
o UVB
o PUVA
R

o Retinoid
o Siklosporin

Siklosporin
Efektif untuk psoriasis rekalsitran tipe plak sedang
sampai berat, psoriasis pustulosa generalisata, dewasa,
PE

nonimunocompromised, psoriasis palmoplantar.


Efek: 36% dan 65% pasien berhasil dengan dosis
masing-masing 3 dan 5 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Keberhasilan meningkat 50-70% pasien dengan dosis
yang sama hanya waktu yang lebih panjang 8-16 minggu
dan dapat mencapai melenyapkan lesi psoriasis 75%
(PASI 75)
Dosis: 2.5-5.0mg/kgBB/hari dosis terbagi. Dosis diku-
rangi 0.5-1.0 mg/kgbb/hari bila sudah berhasil, atau
mengalami efek samping. Pengobatan dapat diulang

37
174 Dermatologi Alergo-Imunologi
setelah masa istirahat tertentu, dan dapat berjalan
selama 1-2 tahun, selama tidak ada efek samping.
Pemakaian jangka lama (> 2 tahun) tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan
kemungkinan keganasan
Kontraindikasi: bersamaan dengan pemberian imuno-
supresan lain (metotreksat, PUVA, UVB, tar batubara,

I
radioterapi), fungsi renal terganggu, keganasan, hiper-
sensitif terhadap siklosporin, hindari vaksin, perhatian
seksama bila diberikan pada pasien dengan infeksi berat

SK
juga diabetes melitus tidak terkontrol.
Toksisitas: gangguan fungsi ginjal, hipertensi, kega-
nasan, hyeri kepala, hipertrikosis, hiperplasia ginggiva,
akne memburuk, mual, muntah, diare, mialgia, flulike
syndrome, letargia, hipertrigliserida, hipomagnesium,
hiperkalemia, hiperbilirubinemia, meningkatnya risiko
infeksi dan keganasan.
Jika memungkinkan rotasi penggunaannya dengan
terapi lain atau gunakan pada periode kambuh yang
berat
Interaksi obat: menginduksi/menghambat sitokrom P450
DO
3A4. Menurunkan pembuangan (clearence) digoksin,
prednisolon, statin, diuretik (potasium sparing), tiazid,
vaksin hidup, NSAID. Grapefruit
Monitoring: pemeriksaan fisik, tensi, ureum, kretinin,
urinalisis PPD, fungsi hati, pola lipid, magnesium, asam
urat, dan potasium, uji kehamilan.
Kehamilan kategori C, menyusui: kontraindikasi, anak-
anak hanya bila psoriasis berat
Pernah digunakan dengan kombinasi:
Analog Vit D topikal
Metotreksat (menurunkan dosis efektif lebih rendah
pada ke 2 obat)
R

Retinoid
Asitretin oral pilihan pada psoriasis dapat digunakan
sebagai monoterapi untuk psoriasis pustular dan psoriasis
eritroderma. Efek menguntungkan terjadi jauh lebih
lambat jika digunakan untuk psoriasis tipe plak dan
guttatae tetapi sangat baik jika dikombinasikan dengan
PE

PUVA dan UVB (diperlukan dalam dosis rendah)


Dosis: 10-50mg/hari, untuk mengurangi efek samping
lebih baik digunakan dalam dosis rendah dengan
kombinasi misalnya UV dengan radiasi rendah.
Kontraindikasi: perempuan reproduksi, gangguan
fungsi hati dan ginjal.
Toksisitas; kheilitis, alopesia, xerotic, pruritus, mulit
kering, paronikia, parestesia, sakit kepala, pseudomotor
serebri, nausea, nyeri perut, nyeri sendi, mialgia,
hipertrigliserida, fungsi hati abnormal.

38
Dermatologi Alergo-Imunologi 175
Interaksi obat: meningkatkan efek hipoglikemik gibenkla-
mid, mengganggu pil kontrasepsi: microdosed progestin,
hepatotoksik, reduksi ikatan protein dari fenitoin, dengan
tetrasiklin meningkatkan tekanan intrakranial.
Monitoring: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, kom-
binasi dengan turunan vitamin A lainnya.
Retinoid sangat teratogenik dan cenderung untuk

I
menetap pada jaringan tubuh
Dapat dikombinasikan dengan UVB, PUVA, metotreksat,

SK
siklosporin

Hidroksiurea
Antimetabolit yang dapat efektif sebagai monoterapi,
meskipun kurang efektif daripada obat sistemik lain
Diindikasikan untuk pasien yang gagal terhadap terapi
topikal, UVB, tidak dapat mentoleransi PUVA, meto-
treksat, atau terapi sistemik lain
Hampir separuh dari pasien yang mempunyai perbaikan
penyakit dengan terapi hidroksiurea menunjukkan
toksisitas sumsum tulang dengan leukopenia atau
DO
trombositopenia

Mikofenolat mofetil
Banyak pasien mencapai remisi jangka lama tetapi
mungkin perlu 12 minggu untuk melihat efek maksimal
Karena obat ini adalah imunosupresan, terdapat risiko
kecil untuk terjadinya penyakit limfoproliferatif dan
keganasan nonkutaneus
Dapat digunakan dalam kombinasi dengan Siklosporin
sehingga dosis Siklosporin dapat di taper off selama
remisi penyakit

Sulfasalazin
R

Efek: berguna pada psoriasis tipe plak sedang-berat


o Keefektifan cenderung lebih rendah daripada obat
sistemik lain
Efek samping biasa dijumpai tetapi cenderung tidak
terlalu berat dan reversibel
PE

Agen biologik
Penggunaan agen biologik disusun dalam buku tersendiri

39
176 Dermatologi Alergo-Imunologi
IV Kepustakaan : 1. GudjonssonJE,
1. Gudjonsson JE, Elder
Elder JT. JT. Psoriasis.
Psoriasis. Dalam:
Dalam: Fitzpatrick's
Fitzpatrick's
Dermatology
Dermatology in General
in General Medicine. Wolff K,
Medicine. GoldsmithLA,
Goldsmith LA, Katz
Katz SI,
SI,
etGilchrest
al. editor. BA,
Mc Grew
et al.Hill: NewMc
editor. York, 2008Hill:
Graw p. 169-193.
New York, 2012 p.
2. Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination therapy to
197-242.
treat moderate to severe psoriasis. J Am Acad Dermatol 2004; 50:
2. 416-430.
Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination
therapyM.toAdvances
3. Lebwohl treat moderate to severe
in psoriasis therapy. psoriasis. J Am
Dermatol Clin Acad
2000; 18:
13-19.
Dermatol 2004; 50: 416-430.

I
4. Lebwohl M, Ali S. Treatment of psoriasis. Part 2. Systemic
3. Lebwohl M. Advances in psoriasis therapy. Dermatol Clin
therapies. J Am Acad Dermatol 2001; 45: 649-661.
2000; 18:
5. Lebwohl M, 13-19.
Ali S. Treatment of psoriasis. Part 1. Topical therapy
4. and
Lebwohl M, Ali S. Treatment of psoriasis.
2001; 45:Part 2. Systemic

SK
phototherapy. J Am Acad Dermatol 487-498.
therapies.
6. Feldman SR,JKooAmJYM,
AcadMenter
Dermatol 2001;
A, Bagel J. 45: 649-661.
Decision points for the
5. initiation
Lebwohl of M,
systemic
Ali S.treatment
Treatment for psoriasis. J AmPart
of psoriasis. Acad1.Dermatol
Topical
2005; 53: 101-107.
therapy and phototherapy. J Am Acad Dermatol 2001; 45:
7. Lebwohl M. A clinicians paradigm in the treatment of psoriasis. J
487-498.
Am Acad Dermatol 2005; 53 (Suppl 1): S59-69.
6. Feldman
8. Menter SR, Koo
A, Chair, JYM,NJ,
Korman Menter
ElmetsA, CA,
Bagel J. Decision
Feldman points
SR, Gelfand
for Gordon
JM, the initiation
KB et ofall.systemic
Guidelines treatment for manangement
of care for psoriasis. J Am of
psoriasis and psoriatic
Acad Dermatol 2005;arthritis. Section 4. Guidelines of care for
53: 101-107.
7. the management and treatment of psoriasis with traditional
Lebwohl M. A clinicians paradigm in the treatment of pso-
systemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61: 451-85
riasis. A,
9. Menter J Am Acad NJ,
Korman Dermatol
Elmets2005; 53 (Suppl
CA, Feldman 1):Gelfand
SR, S59-69.JM,
8. Gordon
MenterKB A,etChair, Korman NJ,
all. Guidelines Elmets
of care CA, Feldman
for manangement of SR, Gel-
psoriasis
fandpsoriatic
and JM, Gordon KB etSection
arthritis. al. Guidelines of care for
5. Guidelines of management
care for the
treatment of psoriasis with phototherapy and photochmeotherapy.
DO
of psoriasis and psoriatic arthritis. Section 4. Guidelines of
J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35
care for the management and treatment of psoriasis with
traditional systemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61:
451-85
9. Menter A, Korman NJ, Elmets CA, Feldman SR, Gelfand
JM, Gordon KB et al. Guidelines of care for management
of psoriasis and psoriatic arthritis. Section 5. Guidelines of
care for the treatment of psoriasis with phototherapy and
photochemotherapy. J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35
R
PE

Dermatologi Alergo-Imunologi 177


40
V Bagan Alur Algoritme diagnosis dan terapi

Diagnosis Kesan klinis Keadaan klinis yang


tidak jelas mendukung diagnosis
psoriasis:
Lesi simetri
Distribusi ekstensor

I
Bukan Biopsi
Tanda Auspitz
psoriasis
Lesi berbatas tegas
Skuama keperakan

SK
Pikirkan
diagnosis Psoriasis
banding

Eritrodermik/ psoriasis Psoriasis Psoriasis guttata:


pustular kronis tipe Tanpa terapi
Asitretin plak NB-UVB
Siklosporin A BB-UVB
PUVA, NB-UVB Terapi topikal
Metotreksat o Analog Vit D3
Biologikal o Steroid topikal
Steroid sistemik*
DO
Berat Sedang Ringan
> 10% luas > 3%-10% luas < 3% luas
permukaan tubuh permukaan tubuh permukaan tubuh

Terapi sistemik Pusat pelayanan/RS Fototerapi Terapi topikal


Lini 1: Modifikasi Lini 1: Lini 1:
metotreksat Goeckerman NB-UVB Emolien
asitretin BB-UVB Glukokortikoid
biologikal Analog Vit D
Lini 2:
R

Lini 2: PUVA Lini 2:


asam fumarat ester Klimatoterapi Ditranol
siklosporin A Tazaroten
obat lain: tar
o hidroksiurea
o 6-tioguanin
o celicept
PE

o sulfasalazin

Keterangan: Panah titik-titik menunjukkan dapat dipakai sebagai terapi alternatif.

41

178 Dermatologi Alergo-Imunologi


I
SK
E
DO
DERMATOLOGI
KOSMETIK & LASER
R
PE

Dermatologi Kosmetik & Laser 179


E.1. AKNE VULGARIS (L.70.0)

I. Definisi : Akne vulgaris yaitu peradangan kronis pada folikel


pilosebaseus, secara klinis ditandai adanya komedo,
papul, pustul, nodul, kista dengan berbagai macam
tingkat dan keparahan yang sering dijumpai pada usia

I
remaja. Terkadang akne dapat sembuh sendiri,
meninggalkan sekuele berupa bintik atau skar
hipertropik

SK
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Terutama menyerang usia remaja
- Predileksi pada wajah, punggung, dada atas,
bahu dan lengan atas
- Efloresensi : komedo hitam dan putih, papul, pustul
nodus, kista, jaringan parut, hiperpigmentasi pasca
inflamasi
- Kriteria diagnosis : gradasi ringan, sedang dan
berat sesuai klasifikasi Lehman et al, 2002
Akne gradasi ringan : komedo < 20 atau lesi
inflamasi < 15, total lesi < 30.
DO
Akne gradasi sedang : komedo 20-100, atau
lesi inflamasi 15-50 atau total lesi 30-125
Akne gradasi berat : kista > 5 atau komedo >
100 atau lesi inflamasi > 50 atau total lesi >
125.

Diagnosis banding : 1. Rosasea


2. Dermatitis perioral
3. Erupsi akneiformis
4. Lupus miliaris diseminatus fasiei
5. Folikulitis Gram negatif
6. Pioderma fasiale
7. Akne venenata
R

8. Tumor kulit di wajah


Pemeriksaan : Ekskohleasi komedo
penunjang
III. Penatalaksanaan : 1. Umum
- Hindari pemencetan lesi dengan cara nonhigienis
- Pilih kosmetik nonkomedogenik
- Lakukan perawatan kulit wajah
PE

2. Medikamentosa
a. Derajat ringan
Topikal retinoid atau agen keratolitik +/- Benzoil
peroksida (BPO) atau antibiotik topikal (klindamisin
gel 1,2 dan sol 1,2% atau eritromisin sol 1%).

b. Derajat sedang
Retinoid topikal dan BPO atau antibiotik topikal,
+/- D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 167
antibiotik oral, pilihan :
- Tetrasiklin 500 mg 2x/hari
- Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari
180 Dermatologi Kosmetik & - Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari
Laser
- Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari
Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan.
c. Derajat berat
BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak
+/-
antibiotik oral, pilihan :
- Tetrasiklin 500 mg 2x/hari
- Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari
- Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari
- Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari
Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan.

I
c. Derajat berat
BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak
berhasil: isotretinoin oral: 0,1-2,0 mg/kgBB/hari s/d

SK
dosis kumulatif 120-150 mg/kgBB

Catatan:
- Antibiotik oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan
- Pemberian isotretinoin oral dengan persyaratan
ketat
- Untuk wanita dengan akne derajat sedang dan
berat dan ada indikasi faktor hormonal sebagai
penyebab dapat diberikan antiandrogen oral.
DO
Terapi pemeliharaan
- Retinoid topikal: tretinoin krim (0,025%; 0,05%
dan 0,1%), gel (0,025%) atau keratolitik +/- BPO

Tindakan khusus:
Ekstraksi komedo
Injeksi kortikosteroid intralesi
Peeling kimiawi (as. glikolat, as. trikloroasetat)
Dermabrasi
Punch graft
Colagen implant
R

Laser
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 168

Dermatologi Kosmetik & Laser 181

IV. Kepustakaan : 1. Zaenglein AL, Graber EM, Thibouttot DM. Ac


IV. Kepustakaan : 1. Zaenglein AL, Graber EM, Thibouttot DM. Acne
Vulgaris and acneiform Eruptions: Disorders of the
Sebaceous Gland: Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. In: Goldsmith LA, Kats SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 8th ed. United State:

I
McGraw-Hill Companies; 2012. p. 897-917
2. Layton AM. Acne Vulgaris: Disorders of Sebaceous
Glands. In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,

SK
editors. Rooks Textbook of Dermatology Volume 2. 8th
ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010. p.
42.17-27.
3. Zaenglein AL, Thiboutot DM. Acne Vulgaris: Adnexal
Diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP,
editors. Dermatology. 2nd ed. United Kingdom: Mosby
Elsevier; 2008. p. 495-508
4. Gollnick, Cunliffe W, Berson D, Dreno B, Finlay A,
Leyden JJ, dkk. Management of acne. J Am Acad
Dermatol. 2003; 49: S2-4.
5. Hasil Asean Meeting Saigon 2003.
R DO
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 169

182 Dermatologi Kosmetik & Laser


V. Bagan Alur

Akne Vulgaris

Kunjungan Awal DIAGNOSIS

I
Pasien dengan Keluhan Apakah gambaran
klinis
Akne Vulgaris sesuai akne?

SK
DIAGNOSIS
ALTERNATIF
Terapi pasien sesuai
Diagnosis

EVALUASI
Kategori Akne
Berdasarkan tipe
& keparahan
DO
DERAJAT RINGAN DERAJAT SEDANG DERAJAT BERAT

Edukasi pasien Edukasi pasien Edukasi pasien

Retinoid Retinoid BPO


topikal topikal +
atau dan Retinoid topikal
Keratolitik BPO +
+/- atau Antibiotik oral
R

BPO Antibiotik topikal atau


atau +/- Isotretinoin oral
Antibiotik Antibiotik oral bila terapi lain
topikal gagal
PE

TERAPI PEMELIHARAAN TERAPI PEMELIHARAAN


Retinoid topikal Retinoid topikal +/- BPO

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 170

Dermatologi Kosmetik & Laser 183


E.2. MELASMA (L.81.1)

I. Definisi : Hipermelanosis didapat terutama di wajah dan leher


berwarna coklat muda atau tua, dipengaruhi oleh faktor
hormonal, pajanan sinar matahari, kehamilan, genetik,
pemakaian kontrasepsi oral, obat-obatan dan kosmetik.

I
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Bercak kecoklatan, hiperpigmentasi, simetris,
ireguler, batas tegas

SK
Terdapat 3 pola utama distribusi lesi:
1. Pola sentrofasial : hipermelanosis meliputi pipi,
dahi, bibir atas, hidung dan dagu (63%)
2. Pola malar : meliputi pipi dan hidung (21%)
3. Pola mandibular : meliputi ramus mandibula (16%)

Genetik
Faktor pencetus Pajanan sinar ultraviolet
:
Hormon seks perempuan (estrogen dan progesteron)
Kontrasepsi (dietil stilbestrol),
Terapi sulih hormon pada perempuan
DO
postmenopouse,
Kehamilan dan
Kosmetik.
Disfungsi sedang tiroid dan ovarium,
Nutrisi,
Obat epilepsi

Diagnosis : 1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi,


banding 2. Freckles
3. Lentigo senilis
4. Okronosis eksogen
5. Drug-induced hyperpigmentation
R

6. Lichen planus pigmentosus


7. dermatitis kontak pimentid

Pemeriksaan : Sinar Wood


penunjang Pemeriksaan dengan sinar Wood dapat membedakan
hiperpigmentasi epidermal dengan dermal. Berdasarkan
PE

pemeriksaan dengan sinar Wood melasma dibagi atas:


- Melasma tipe epidermal: warna lesi tampak lebih
kontras dan jelas dibandingkan dengan kulit
sekitarnya.
- Melasma tipe dermal: warna lesi tidak bertambah
kontras.
- Melasma tipe campuran: lesi ada yang bertambah
kontras ada yang tidak.
Biopsi untuk DD/ okronosis eksogen

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 171

184 Dermatologi Kosmetik & Laser


III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
III. Penatalaksanaan : Hindari pajanan langsung sinar matahari terutama
Nonmedikamentosa:
antara
Hindaripukul 09.00
pajanan s/d 15.00sinar
langsung WIB matahari terutama
antara pukul 09.00 s/d 15.00 WIB
Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF
minimal
Gunakan30tabir bilasurya
keluar rumah pada
berspektrum pukul
luas 07.00SPF
dengan s/d
16.00
minimal WIB.
30 bila keluar rumah pada pukul 07.00 s/d

I
Menghilangkan
16.00 WIB. faktor etiologi atau predisposisi, antara
lain menghentikan
Menghilangkan faktorpemakaian obat
etiologi atau kontrasepsiantara
predisposisi, oral,
menghindari obat atau
lain menghentikan bahan yang
pemakaian menimbulkan
obat kontrasepsiiritasi,
oral,

SK
menyarankan
menghindari obatpenghentian
atau bahan yang pemakaian
menimbulkankosmetika
iritasi,
sedang dipakai, penghentian
menyarankan mencegah pemberian obat yang
pemakaian dapat
kosmetika
merangsang
sedang dipakai,hiperpigmentasi,
mencegah pemberianmemeriksa kemungkinan
obat yang dapat
adanya
merangsangpenyakit kulit lain atau
hiperpigmentasi, penyakit sistemik,
memeriksa kemungkinan dan
memberikan
adanya penyakit pertimbangan alternatif
kulit lain atau kegiatan
penyakit sehari-
sistemik, dan
hari/olahraga kepada pasien,
memberikan pertimbangan baik mengenai
alternatif waktu
kegiatan sehari-
maupun kondisi
hari/olahraga lingkungan.
kepada pasien, baik mengenai waktu
maupun kondisi lingkungan.
Medikamentosa:
Karena waktu pengobatan panjang maka diperlukan
Medikamentosa:
pertimbangan
Karena waktu seriuspengobatan terhadap
panjangefektifitas dan efek
maka diperlukan
DO
samping setiap serius
pertimbangan pengobatan terhadap
terhadap melasma.
efektifitas dan efek
samping setiap pengobatan terhadap melasma.
Pengobatan topikal:
A. Hidroquinon
Pengobatan 2-5% (krim, gel, losio)
topikal:
B.
A. Asam retinoat
Hidroquinon 0,05%
2-5% - 0,1%
(krim, gel, (krim
losio)dan gel)
C. azeleat 20%
B. Asam retinoat 0,05% (krim)
- 0,1% (krim dan gel)
D.
C. Asam glikolat
azeleat 8-15%
20% (krim)(krim, gel, losio)
E.
D. Asam kojik 4%8-15% (krim, gel, losio)
glikolat
E. Asam kojik 4%
Pengobatan oral:
Dianjurkan
Pengobatan bilaoral:pigmentasi meliputi daerah yang lebih
luas dan sampai
Dianjurkan bila ke dermis: meliputi daerah yang lebih
pigmentasi
R

1.
luasAsam askorbat
dan sampai ke dermis:
2.
1. Glutation
Asam askorbat
3.
2. Pycnogenol
Glutation
4.
3. Proanthocyanidin-rich
Pycnogenol
4. Proanthocyanidin-rich
Bedah kimia
PE

Asam
-Bedah glikolat 20-70%
kimia
- Asam trikloroasetat
glikolat 20-70% 10-30%
- Jessner
Asam trikloroasetat 10-30%
- Jessner
Dermabrasi
Dermabrasi
Kamuflase kosmetik
Kamuflase kosmetik
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172

Dermatologi Kosmetik & Laser 185


Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang
gelombang
532nm epidermal
1064nm dermal

Cara lain : HF, LED, Mesoterapi, Skin Needling.

I
Pengobatan dilakukan secara kombinasi dan simultan.

SK
IV. Kepustakaan : 1. Hilde Lapeere, Barbara Boone, Sofie De Schepper,
Evelien Verhaeghe et al. Hypomelanoses and
Hypermelanoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw-Hill; 2012.p. 1492-
2. Mary Wu Chang. Disorders of Hyperpigmentation. In:
Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors.
Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p1049-74
3. Aditya K. Gupta, Melissa D. Gover, et.al. The treatment
of melasma: A review. J Am Acad Dermatol 2006;
55:1048-65
DO
4. Micheal et.al. Open Label Treatment of Moderate or
Marked Melasma with a 4% Hydroquinone Skin Care
System Plus 0.05% Tretinoin Cream. J Clin Aesthet
Dermatol. 2013;6(11):3238.
R
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 173

186 Dermatologi Kosmetik & Laser


V. Bagan Alur

PASIEN DENGAN KELUHAN


MELASMA

I
Diagnosis Tidak
Apakah gambaran klinis Diagnosis Alternatif
sesuai melasma ?

SK
Ya

Evaluasi
kategori tipe
melasma

Epidermal Campuran Dermal


DO
Non medikamentosa : Non medikamentosa : Non medikamentosa :
Tabir surya SPF 30 Tabir surya SPF 30 Tabir surya SPF 30
+ + +
Edukasi pasien/terapi non Edukasi pasien/terapi non Edukasi pasien/terapi non
medikamentosa medikamentosa medikamentosa

Medikamentosa
- Hidrokinon
- Asam retinoat
- Asam azeleat
- Asam glikolat
- Asam kojik
R

Teruskan Ya Follow up
Terapi dengan
masa istirahat Adakah perbaikan
setiap 3 bulan setelah 3/6 bulan
PE

Tindakan lain :
peeling, laser, LED,
mesoterapi, dll

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 174

Dermatologi Kosmetik & Laser 187


E.3. FRECKLES (L.81.2)

I. Definisi : Merupakan salah satu jenis hipermelanosis berupa


bercak miliar sampai lentikular, tersebar di wajah.
Penyebab pasti tidak diketahui kemungkinan ber-
hubungan dengan pajanan sinar matahari dan genetik.

I
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Bercak kecoklatan miliar sampai lentikular batas tegas,

SK
ireguler, tersebar, predileksi di wajah.

Diagnosis banding : 1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi


2. Melasma
3. Lentigo senilis

Pemeriksaan : Sinar Wood


penunjang : Biopsi/PA
III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
- Hindari sinar matahari dengan selalu memakai tabir
surya/ pelindung fisik
DO
- Pengobatan saat kehamilan dan menyusui tidak
dianjurkan
- Lama pengobatan minimal 6 bulan.

Medikamentosa:
Topikal:
- Hidroquinon 2-5 %
- Tretinoin 0,025 0,1%
- Asam azeleat 20%
- Asam kojik 4%
- Tabir surya : SPF minimal 15
R

Tindakan :
- Bedah listrik
- Bedah kimia : Peeling: AHA, Jessner, TCA
- Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang
gelombang 532 nm.
PE

IV. Kepustakaan : 1. Park HY, Yaar M. Disorder of Melanocytes: Biology of


Melanocytes. In: Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy
SP, David JL, Klaus W, editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine 8th ed. United State: McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 847-9
2. Bishop JAN. Lentigos, Melanocytic Naevi and Melanoma:
The freckle or ephelis. In: Tony B, Stephen B, Neil C,
Christoper G, editors. Rooks Textbook of Dermatology 8th
ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010.p. 54.1-3

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 175

188 Dermatologi Kosmetik & Laser


V. Bagan Alur

Pasien dengan keluhan


freckles

I
DIAGNOSIS
Apakah anamnesis & Tidak

SK
Diagnosis alternatif
gambaran klinis
sesuai freckles

Ya

- Edukasi pasien
- Farmakoterapi:
DO
Sunscreen
Asam
retinoat
Asam alfa
hidroksi
Hidroquinon
Asam
azeleat
Asam kojik
- Tindakan lain:
Bedah kimia
Laser
Bedah listrik,
R

dll
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 176
Dermatologi Kosmetik & Laser 189
E.4. VITILIGO (L.80)
I. Definisi : Penyakit kulit dan membran mukosa kronis progresif
terjadi akibat destruksi melanosit, dengan karakteristik
hipo/amelanosis didapat, dengan makula-patch depig-
mentasi berbatas tegas diakibatkan oleh kehilangan
fungsi melanosit progresif. Faktor predisposisi/pemicu:

I
genetik, trauma fisik (burn, zat kimia), penyakit internal
(diabetes melitus, tiroid) serta penyakit autoimun,stres.

SK
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Makula depigmentasi atau hipo/amelanosis, batas
tegas
Predileksi: orifisium, wajah, genital, membran
mukosa, daerah ekstensor, tangan, dan kaki.
Etiolgi: trauma fisik, genetik, penyakit internal dan
auto imun, virus.
Klasifikasi :
1. Lokalisata : Fokal ( 1-2 regio )
Segmental
Mukosal
2. Generalisata : Akrofasial
DO
Vulgaris
Campuran
3. Universal ( lebih dari 80 % LPB)

Diagnosis banding : 1. Hipopigmentasi pasca inflamasi


2. Pitiriasis alba
3. Albinisme
4. Pitiriasis Versicolor Chronic (PVC)
5. Morbus Hansen
6. Cutaneous T-cell Lymphoma (CTCL)
7. Nevus anemicus
8. Piebaldism
R

9. Sarkoidosis

Pemeriksaan : Sinar Wood


penunjang Biopsi/histopatologi
Jika dalam anamnesis dicurigai adanya pengaruh
PE

faktor sistemik, dianjurkan untuk pemeriksaan yang


sesuai dengan kecurigaan sistemik.
Contoh: Diabetes Melitus pemeriksaan gula
darah puasa dan gula darah post prandial
Tiroid pemeriksaan T3, T4 dan TSH

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa


- Hindari stres
- Gunakan tabir surya
- Hindari trauma

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 177

190 Dermatologi Kosmetik & Laser


Medikamentosa:

Pengobatan bergantung klasifikasi


Topikal

I
Klasifikasi Pengobatan I Alternatif
1. Lokalisata Kortikosteroi delsoralen 0,01%
a. Fokal d potensi I, II, + sunlight

SK
III salap
(Evaluasi 1
bulan, jika
tidak
responsif,
ganti)
b. Segment Transplantasi PUVA
al autolog
Transplantasi PUVA +
c. Mukosal autolog Kalsipotriol
2. Generalisata
DO
a. Akrofasi PUVA PUVA +
al UVB NB kalsipotriol
b. Vulgaris UVB Kombinasi UVB
c. Campur NB/PUVA NB +
an Kortikosteroid
salap
3. Universal Depigmentas
i kulit normal
(Benzoquino
n 20%)
R

Protokol
1. Lama pengobatan NB UVB/PUVA maksimal 3
tahun, tetapi jika dalam waktu 6 bulan tidak ada
respons, pengobatan dihentikan.
2. Pada pengobatan depigmentasi, dilakukan
bertahap
PE

Topikal:
- Kortikosteroid topikal
- Takrolimus topikal
- Kalsipotriol Topikal

Oral
Detrovalen oral 10-60 mg/hari selama 2 jam
sebelum penyinaran diberikan dalam waktu 6
bulan -1 tahun.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 178

Dermatologi Kosmetik & Laser 191


Antioksidan: metionin sulfoksida reduktase
(MSR), katalase, superoksida dismutase, dan
polipodium leukotomos.
Kortikosteroid Sistemik
Tumor Nekrosis Faktor- Inhibitor : infliximab,
Imunosupresan Sistemik: azatioprin,

I
siklofosfamid.

Fotokemoterapi

SK
- Psoralen dan Terapi Ultraviolet A
- Radiasi narrowband Ultraviolet B (NBUVB)
-
Fototerapi khellin dan sinar UVA (KUVA).
Khellin: bahan organik dengan efek dan dapat
diberikan secara topikal atau oral.
- L-Fenilalanin

Terapi Laser
- Laser Excimer
- Bioskin
- Laser Helium Neon
DO
Terapi Bedah
- Autologous Thin Thiersch Grafting
- Suction Blister Grafts
- Autologous Mini-Punch Graft
- Transplantasi Kultur Melanosit Autologous

Kriteria penyembuhan
Repigmentasi berupa pulau pigmentasi folikular atau
pigmentasi marginal.
Pada vitiligo universal berupa depigmentasi bertahap.
R

IV. Kepustakaan : 1. Stanca A. Birlea, Richard A. Spritz, & David A. Norris.


Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc
Graw-Hill; 2012.p.232-6
2. Jean-Paul Ortonne and Thierry Passeron. Vitiligo and
Other Disorders of Hypopigmentation. In: Bolognia
PE

JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors.


Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p.1023-91
3. Ali Alikhan et al. Vitiligo: A comprehensive quality of
overview: PartI. Introduction, epidemiology, life,diagnosis,
differential diagnosis, associations, histopathology,
etiology, and work-up. J Am Acad Dermatol: 2011;65.p.
472-91
4. Felsten LM, Alikhan A, Petronic-Rosic V, 2011. Vitiligo:
A comprehensive overview treatment options and
approach to treatment. J Am Acad Dermatol: 2011;
65(3).p.493-514

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 179

192 Dermatologi Kosmetik & Laser


V. Bagan Alur
PASIEN DENGAN BERCAK
HIPOPIGMENTASI

I
DIAGNOSIS
Diagnosis Alternatif
Apakah gambaran
klinis sesuai vitiligo

SK
Ya

EVALUASI KLASIFIKASI VITILIGO

LOKALISATA GENERALISATA UNIVERSAL

KS salap Akrufosial PUVA


DO
Fokal
topikal
Alternatif :
Alternatif : PUVA +
Delsoralen Kalsipotriol
Depigmentasi
0,01% + kulit normal :
sunlight Benzokuinon
(MBEH) 20%

Transplantasi NBUVB
Autolog Alternatif :
Segmental Vulgaris
Alternatif : Kombinasi
PUVA NBUVB + KS
salap
R

Transplantasi
Autolog NBUVB /
PUVA
Mukosal Alternatif : Campuran
PUVA + Alternatif :
PE

Kalsipotriol Kombinasi
NBUVB + KS
salap

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 180

Dermatologi Kosmetik & Laser 193


E.5. ALOPESIA ANDROGENIK (L.64)

I. Definisi : Alopesia terpola akibat faktor hormon androgen dan genetik. Sifat fisik
yang diwariskan secara herediter, tergantung androgen, menyebabkan
konversi rambut terminal menjadi rambut velus dalam pola karakteristik

I
II. Kriteria :
diagnostik
Klinis : Kebotakan rambut kepala terpola:

SK
Pada pria penipisan rambut di temporal, frontal/parietal, verteks,
oksipital
Pada wanita penipisan rambut difus terutama di daerah frontal/
parietal

Diagnosis : Telogen efluvium


banding Alopesia areata difus
Trikotilomania
Sifilis sekunder

Pemeriksaan : Feritin
penunjang Thyrotrophin-stimulating hormone (TSH)
Biopsi skalp
DO
III. Penatalaksanaan : Medikamentosa:
1. Finasteride 1 mg/hari .
2. Dutasteride 0,5 mg/hari
3. Cyproteron acetat (CPA) 100 mg/hari (hari 5-15 siklus menstruasi),
ethinyl estradiol 50 g/hari (hari 25) atau 50 mg (hari 1-10 siklus
menstruasi) dan ethinyl estradiol 35 g/hari (hari 1-21)
4. Spironolakton 200 mg/hari

Pengobatan Topikal:
1. Minoksidil 2-5%, 2x sehari (1 ml atau 25 tetes)
2. 17-dan 17-estradiol
R

Non Medikamentosa:
1. Rambut palsu
2. Pembedahan
3. Laser

IV. Kepustakaan : 1. Otberg N, Shapiro J. Hair Growth Disorders. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
PE

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1818-77
2. Sperling LC, Sinclair RD, El Shabrawi-Cablen L. Alopecias. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid: Mosby;
2012. p. 1136-56
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 181

194 Dermatologi Kosmetik & Laser


3. Rogers NE, aurom MR. Medical Treatment for Male and Female Pattern Hair
Loss. J Am Acad Dermatol 2008; 59: 547-66
4. Vogt A, McElwee K.J, Blume-Peytavi U. Biology of Hair Follicle. In: Blume-
Peytavi, Tosti A, Whiting DA, Trueb RM. Hair Growth and Disorders. 1st ed.
Berlin: Springer-Verlag; 2008. p.1-22

V. Bagan Alur Pada pria:

I
Norwood-Hamilton Norwood-Hamilton stadium Va, VI,

SK
stadium III-IV VII

Finestride oral/dan Transplantasi rambut reduksi


larutan minoksidil skalp dan/atau
topikal dan/atau sinar
laser fluence rendah Finestride
selama 1 tahun Topikal minoksidil
Sinar laser fluence rendah
Rambut palsu
DO
Perbaikan atau stabilisasi

Ya Tidak

Terapi medis Transplantasi


dilanjutkan rambut
reduksi skalp
R
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 182

Dermatologi Kosmetik & Laser 195


Pada wanita:

Ludwig stadium I-II Ludwig stadium III

I
Larutan minoksidil topikal Endokrin
selama 1 tahun

SK
Rambut palsu dan/atau
Perbaikan atau stabilisasi Androgen/finestride
Sinar laser fluence rendah
Ya Tidak

Minoksidil Area occipital


topikal
DO
dilanjutkan Ya Tidak

Transplantasi rambut Rambut palsu


dan/atau dan/atau
Antiandrogen/finestride Antiandrogen/
Sinar laser fluence finestride
rendah Sinar laser fluence
R

rendah
PE

196 Dermatologi Kosmetik & Laser


I
SK
DO
R
PE

Dermatologi Kosmetik & Laser 197


E.6. PENUAAN KULIT

I. Definisi : Proses penurunan kemampuan mengembalikan fungsi


normal kulit

I
II. Kriteria diagnostik :
Klinis : Kekeringan kulit, kerut, kelonggaran kulit, berbagai
neoplasma jinak, elastis kulit hilang.

SK
Diagnosis :
banding
Pemeriksaan :
penunjang

III. Penatalaksanaan : Medikamentosa:


1. Topikal:
- Foto proteksi/tabir surya
- Asam retinoat
DO
- Asam alfa hidroksi (AHA)
2. Sistemik:
- Antioksidan: vit. A (retinol), vit. C, vit E, beta
karoten, biofavinoid.
- Terapi sulih hormon (HRT)
3. Lain-lain:
- Laser/ IPL
- lnjeksi botulinum toxin
- lnjeksi bahan pengisi (filler)
- Bedah kimia
- Bedah listrik, dll
R

IV. Kepustakaan : 1. Yaar M, Gilchrest BA. Aging of Skin. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1213-26
PE

2. Rohrer TE, Wesley NO, Glogau R, Dover JS. Evaluation


of Beauty and the Aging Face. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid:
Mosby; 2012. p. 2473-8
3. Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and
Practice. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Co. 2009. p. 34-
41
4. Farage MA, Miller KW, Elsner P, Maibach HI. Intrinsic and
Extrinsic Factors in Skin Ageing: A Review. Int J Cosmet
Sci, 2008: 30: 87-95

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 185
198 Dermatologi Kosmetik & Laser
E.7.DEPOSIT LEMAK DAN SELULIT (L.99)

I. Definisi : Deposit lemak: hiper- atau hipoakumulasi lemak di


area tubuh yang berbeda (kantong mata, buccal
(chipmunk feature), anterior neck, payudara pada pria,
abdomen, dan bokong).

I
Selulit: nodul dan lekuk pada kulit, terlihat dan teraba
ireguler, nampak seperti kulit jeruk.

SK
II. Klinis : - Stadium 0, permukaan kulit tidak rata
- Stadium I, kulit lunak saat berdiri atau berbaring,
namun beberapa selulit timbul apabila kulit dicubit
- Stadium II, kulit tampak berlekuk tanpa manipulasi
atau cubitan
- Stadium III, kulit tampak berlekuk dan meninggi pada
daerah yang sama

Diagnosis banding : Lipodistrofi

Pemeriksaan : Trigliserida
DO
penunjang

III. Penatalaksanaan : - Exercise 30 menit/hari


- Diet
- Infrared
- Diode laser
- Rediofrekuensi
- Liposuction
- Mesotherapy

IV. Kepustakaan : 1. Vessabhinanta V, Obagi S, Singh A, Baumann L. Fat and


R

The Subcutaneous Layer. In: Leslie Baumann. Cosmetic


Dermatology. Principles and Practice. New York: McGraw-
Hill Co. 2008; 14-21
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 186

Dermatologi Kosmetik & Laser 199


E.8.
E.8.HIPERHIDROSIS
HIPERHIDROSIS(L.74.8)
(L.74.8)

I. I. Definisi Hiperhidrosis : : Kelainan


DefinisiHiperhidrosis Kelainanproduksi
produksikeringat
keringatpada
padakelenjar
kelenjarekrin
ekrinatau
atau
primer
primer keringat
keringatberlebihan
berlebihanselama
selamaminimal
minimal6 6bulan
bulantanpa
tanpa
sebab
sebabyangyangjelas
jelasdan
dantidak
tidakdihubungkan
dihubungkandengan
dengan
penyakit
penyakitsistemik.
sistemik.

I
Definisi
DefinisiHiperhidrosis
Hiperhidrosis Kelainan
Kelainan produksi
produksi keringat
keringat disebabkan
disebabkan penyakit
penyakit
sekunder
sekunder sistemik
sistemikdapat
dapatbersifat
bersifatdapat
dapatlokal
lokalatau
atauumum.
umum.

SK
II.II. Kriteria
Kriteriadiagnostik
diagnostik
Klinis
Klinis : : Kriteria
Kriteriadiagnosis
diagnosishiperhidrosis
hiperhidrosisprimer:
primer:
1.1.Fokal,
Fokal,tampak
tampakkeringat
keringatberlebih
berlebih
2.2.Keringat
Keringatberlebihan
berlebihanselama
selamaselama
selama6 6bulan
bulan
3.3.Tidak
Tidakada
adapenyebab
penyebabsekunder
sekunderjelas jelas
4.4.Setidaknya
Setidaknyadua duadari
darihal
halberikut:
berikut:
Bilateral
Bilateraldan
dansimetris
simetris
Berkeringat
Berkeringatmengganggu
mengganggukegiatan kegiatansehari-hari
sehari-hari
Paling
Palingsedikit
sedikitsatu
satuepisode
episodeper perpekan
pekan
DO
Onset
Onsetusia
usia< <2525tahun
tahun
Terdapat
Terdapatriwayat
riwayatkeluarga
keluarga
Berhenti
Berhentiberkeringat
berkeringatselamaselamatidur
tidur
Predileksi
Predileksi: :telapak
telapaktangan,
tangan,telapak
telapakkaki,
kaki,tumit,
tumit,
aksila,
aksila,sedikit
sedikitpada
padaarea areakraniofasial
kraniofasialdan danpaha,
paha,
sering
seringterjadi
terjadiakibat
akibatsuhu,
suhu,stres,
stres,atau
ataugembira.
gembira.
Klasifikasi
Klasifikasi: :
1.1. Hiperhidrosis
Hiperhidrosisprimerprimer
2.2. Hiperhidrosis
Hiperhidrosissekunder
sekunder

Diagnosis
Diagnosisbanding
banding : : 1.1. Burning
Burningfeet
feetsyndrome
syndrome
2.2. Blue
BlueRubber
RubberBleb
BlebNevusNevusSyndrome
Syndrome
3.3. Demam
Demam(febrile
(febrileillnesses)
illnesses)
R

4.4. Diabetes
Diabetesmellitus
mellitus
5.5. Eccrine
Eccrineangiomatous
angiomatoushamartoma
hamartoma
6.6. Eccrine
Eccrinenevus
nevus
7.7. Gout
Gout
8.8. Hipoglikemia
Hipoglikemia
9.9. Hodgkin
Hodgkindisease
disease
PE

10.
10.Menopause
Menopause

Pemeriksaan
Pemeriksaan : : Kolorimetri
Kolorimetridandangravimetri
gravimetri
penunjang
penunjang Termografi
Termografi
Pemeriksaan
Pemeriksaanlaboratorium:
laboratorium:darahdarahrutin,
rutin,ureum
ureum
kreatinin,
kreatinin,fungsi
fungsitiroid
tiroiddll.
dll.
Pemeriksaan
Pemeriksaanradiologi
radiologi
Biopsi/histopatologi
Biopsi/histopatologi

D De er m
r ma ta ot ol ol og ig iK Ko os m
s me et itki k& &L aL sa es er r| 187
| 187

200 Dermatologi Kosmetik & Laser


III. Penatalaksanaan : Lini Pertama
Topikal:
- Aluminium klorida hexahydrate 6,25%, 15%,
20%
- Aluminium klorida 12%
- Garam zirkonium

I
- Aldehid
Obat topikal ini digunakan setiap malam
selama 3-5 malam, kemudian setiap beberapa

SK
hari sesuai kebutuhan.

Lini Kedua
Injeksi:
- Iontophoresis 2-3 kali sepekan
- Botulinum toxin A setiap 4-6 bulan
Terapi oral:
Oxybutynin 1,25-5 mg
Glycopyrrolate 1-2 mg
Clonidine 0,1-0,3 mg
Propranolol 10-40 mg
Clonazepam 0.25-0.5 mg
DO
Lini Ketiga
- Eksisi lokal
- Simpatektomi

IV. Kepustakaan : 1. Robert D. Fealey & Adelaide A. Hebert. Disorders of


the Eccrine Sweat Glands and Sweating. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill;
2012.p. 1743-61
2. Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine
Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini
R

RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed.


Edinburg: Mosby; 2012.p.587-602
3. D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. MacDonald
and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in
the human axilla has disease pathogenetic
implications, including axillary hyperhidrosis. British
PE

J Dermatol 2007; 156: pp1278 86


4. Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H.
Chan, MD, and Matthew C.K. Choi, MD.
Hyperhidrosis. Inter J Dermat 1999; 38: 5617

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 188

Dermatologi Kosmetik & Laser 201


E.9. BROMHIDROSIS DAN OSMIDROSIS (L.75.0)

I. Definisi : Bau badan yang berlebihan atau secara spesifik tidak


menyenangkan muncul setelah puberitas berasal dari
peningkatan sekresi kelenjar apokrin, sering berasal
dari aksila.

I
II. Klinis : Bau badan yang tidak enak.
Predileksi: aksila merupakan tempat yang paling

SK
sering terkena, tetapi dapat juga terjadi pada genital
atau plantar pedis.

Diagnosis banding : Ekrin bromhidrosis


Fish odor syndrome (trimethylaminuria)
Phenylketonuria
Sweaty feet syndrome
Odor of cat syndrome
Isovaleric acidemia
Hypermethioninemia
DO
Proses pencernaan makanan, obat-obatan, toksin:
Gagal hati (fetor hepaticus)
Gagal ginjal
Benda asing di nasal pada anak-anak
Hygiene yang buruk
Halusinasi olfaktori
Gangguan dismorfik tubuh

Pemeriksaan : Pemeriksaan laboratorium: tidak terdapat


penunjang kelainan yang berhubungan dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.
Biopsi
R

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa


Sering membilas atau mencuci aksila
Mengunakan deodoran atau anti perspirant
(alumunium klorida), parfum
PE

Mengganti pakaian yang kotor.


Mencabut bulu atau rambut aksila
Medikamentosa
Injeksi botulinum toxin A.
Laser Q-switched Nd:YAG
Simpatektomi

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 189

202 Dermatologi Kosmetik & Laser


IV. Kepustakaan : 1. Christos et.al. Disorders of the Apocrine Sweat Glands.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill;
2012.p. 1761-65
2. Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine
Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini

I
RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg:
Mosby; 2012.p.587-602
3. D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. Mac Donald

SK
and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in the
human axilla has disease pathogenetic implications,
including axillary hyperhidrosis. British J Dermatol 2007;
156: p1278 86
4. Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H. Chan,
MD, and Matthew C.K. Choi, MD. Hyperhydrosis with
symptoms of blue pigmented chromhidrosis
and bromhidrosis. British J Dermatol 2010; 62: p37
R DO
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 190

Dermatologi Kosmetik & Laser 203


E.10. Laser CO2 untuk Kelainan Kulit
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penatalaksanaan tumor jinak kulit dengan menggunakan

I
laser CO2

II Indikasi tindak : Tumor jinak kulit : seboroik keratosis, veruka vulgaris, skin

SK
medik tags, hiperplasia sebaseus, kutil (warts), xanthelasma,
syringoma, dll

III Penatalaksanaan : 1. Penjelasan informasi tentang penggunaan laser dan


efek samping yang mungkin terjadi
2. Persetujuan tindakan laser
3. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping
4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan
petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan
5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan
6. Anastesi topikal
DO
7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (power)
sesuai dengan kondisi penderita.
8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

IV Alat : Laser CO 2, hand piece konvensional, panjang gelombang


10.600 nm. Mode : continous pulsed
V Kepustakaan : 1. Goldberg DJ ed. Laser Dermatology. Berlin : Sringer Verlag,
2005.
2. Goldman MP. Cutaneus laser surgery. Boca Raton ; Taylor
and Francis Company. 2005.
3. Krupashankar DS. Standart guidelines of care CO2 laser for
R

removal of benign skin lesions and resurfacing. Indian Journal


of Dermatology Venereologyand Leprology. 2008. 74.7.61-67
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 191

204 Dermatologi Kosmetik & Laser


E.11. Laser untuk kelainan vaskuler
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penatalaksanaan kelaianan pembuluh darah di kulit dengan

I
menggunakan laser dan IPL
II Indikasi tindak : 1. Malformasi kapiler (Port wine stain)

SK
medik 2. Hemangioma
3. Spider angioma
4. Telangiectasis
5. Venous laike
6. Anomali vaskuler lain
7. Granuloma Piogenic

III Penatalaksanaan : 1. Penjelasan informasi tantang penggunaan laser dan efek


samping yang mungkin terjadi
2. Persetujuan tindakan laser
3. Dokumentasi kelainan vaskular dari depan dan samping
4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan
DO
petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan
5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan
6. Anastesi topikal
7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (fluence,
diameter spot, pulsed duration) sesuai dengan kondisi
penderita.
8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

IV Alat : 1. Frequency Doubled Nd YAG (Potassium-Tytanyl


Phosphate (KTP) 532nm dan 1064nm
2. Pulsed dye laser (PDL) 585-595nm
R

3. Alexandrite laser 710nm


4. Long Pulsed Neodymium:Yttrium-Aluminium-Garnet
(Nd:YAG). 1064nm
5. Kombinasi PDL dan Nd:YAG laser
6. Intense Pulsed Laser (IPL)
PE

V Kepustakaan : 1. Michael D, Kilmer S, Lasers for Treatment of Vascular Lesions


, in: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,
2011, Springer, London, New york, 33 44
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012
3. Goldman MP, Cutaneous and Cosmetic laser Surgery. Mosby,
2006

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 192

Dermatologi Kosmetik & Laser 205


E.12. Laser untuk Skar
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penatalaksanaan kelainan kulit berupa gangguan

I
penyembuhan luka berupa skar atropik, hipertropik skar
dan keloid dengan menggunakan laser CO2 Fractional,
Pulsed Dye Laser (PDL), laser Mid Infrared 1320 nm, 1450

SK
nm, 1540 nm.
II Indikasi tindak : Pengunaaan laser untuk mengobati skar atropik,
medik hipertropik dan keloid yang menyebabkan gangguan
fungsional, kosmetis, pruritus dan disestesia

III Penatalaksanaan : 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya skar


atau keloid dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan
ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
DO
4. Dokumentasi berupa foto yang diambil dari depan dan
samping.
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
6. Anastesi topical dan atau Zimmer.
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada
pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV Alat : 1. Skar hipertropik dan keloid dengan menggunakan


Pulsed Dye Laser 585 / 595 nano meter, laser CO2
fraksional.
R

2. Skar atropik menggunakan :


a. Laser resurfacing ablative (CO2 dan Erbium YAG
laser).
b. Laser resurfacing non ablative :
1. 1064 nm Q Switched Nd:YAG laser
2. 1064 nm Long pulse Nd:YAG
PE

3. 1320 nm Nd:YAG
4. 1450 nm diode
5. 1540 nm erbium-doped-phosphate glass
laser
6. 585 nm flash lamp-pumped pulsed dye
laser atau 595 nm long pulsed dye laser
3. Laser Fractional Resurfacing : non ablatif (Nd:YAG
1320/140 nm, Er: Glass 1540 nm dan ablatif (2940 nm
Erbium YAG dan 10.600 CO2)
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 193

V Kepustakaan : 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :


Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 .
206 Dermatologi Kosmetik
2. Manstein D, & Laser J. Fractional Photothermolysis.In:
Laubach
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 . 123 147
V Kepustakaan : 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 .
2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis.In:
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 . 123 147

I
SK
R DO
PE

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 194

Dermatologi Kosmetik & Laser 207


E.13. Laser dan IPL untuk Kelainan Pigmen
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti
pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan
oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Tindakan untuk menghilangkan kelainan pigmentasi di

I
kulit dengan menggunakan laser yang bersifat selektif
dan non selektif terhadap pigmen

SK
II Indikasi tindak : 1. Kelainan pigmentasi epidermal : lentigenes, Caf Au
medik Lait, makula, freckles, keratosis seboroik, nevus spilus,
nevus Becker dan post-inflammatory hyperpigmentation.
2. Kelainan pigmentasi dermal : nevi melanositik, nevus
Ota, melasma , post inflammatory hyperpigmentation
dan gangguan pigmentasi karena obat.

III Penatalaksanaan : 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya


pigmentasi dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan ditan-
datangani oleh pemberi informasi dan penerima
DO
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
4. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltratif.
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV Alat : 1. Laser yang bekerjaterhadap pigmen secara non


selektif : carbon dioxide (10.600 nm), erbium-YAG
R

(2940 nm), erbium (1540 nm), yttrium scandium


gallium garnet (YSGG, 2790 nm), fraksional CO 2 dan
fraksional Erbium-YAG, IPL .
2. Laser yang bekerja secara selektif terhadap pigmen :
Q-switched ruby 694 nm, Q-switched alexandrite (755
nm), Q-switch neodymium:YAG dan KTP (1064 dan
532 nm)
PE

V Kepustakaan : 1. Graber EM, Dover JS. Lasers and light for treating
pigmented lesions. In: Lasers in Dermatology and Medicine,
Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New York, 63 -81.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012 , 45 53.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 195

208 Dermatologi Kosmetik & Laser


E.14. Laser Penghilang Tato
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser di bawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penggunaan laser untuk menghilangkan tato. (amatir,

I
profesional, kosmetik, traumatik, medisinalis dan
iatrogenic)

SK
II Indikasi tindak : Tato dengan warna satu ataupun lebih pada berbagai
medik bagian tubuh
III Penatalaksanaan : 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama tato dibuat dan
terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan (penting diinformasikan bahwa
penghilangan tato tidak bisa dilakukan dalam satu
kali tindakan, diperlukan beberapa kali) dalam
formulir yang khusus dan ditandatangani oleh
pemberi informasi dan penerima informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan
DO
medik
4. Dokumentasi tato dari depan
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan
mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis
pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltrative atau sedasi
general anesthesia
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter
yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi
kelainan pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV Alat A. Nanosecond :
R

- Laser QS Nd: YAG Double frequency 532 nm untuk


warna hitam, biru, hijau
- Laser QS Rubby 694 nm untuk warna hitam, hijau,
Biru
- Laser QS Nd:YAG 1064 nm untuk warna hitam dan
biru
PE

B. Picosecond :
- Alexandrite 755 nm

V Kepustakaan : 1. Vejjanbhinanta V, Caperton CV, Wong C et al. Laser


treatment of tatto. In :Lasers in Dermatology and
Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London,
New york, 83 89.
2. Kirby W, Chen CL, Desai A, Desai T. Causes and
Recommendations for Unanticipated Ink Retention
Following Tatto Removal Treatment. The Journal of
Clinical Aesthetic Dermatology. July 2013.6.7. 27 - 31
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 196

Dermatologi Kosmetik & Laser 209


E.15. Laser dan IPL Penghilang Rambut
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penggunaan laser atau IPL untuk menghilangkan

I
rambut yang diakibatkan oleh suatu penyakit atau
rambut yang tidak dikehendaki

SK
II Indikasi tindak : Hirsutisme, hipertrichosis, atau estetika (unwanted hair)
medik
III Kontraindikasi : Pada area yang akan dihilangkan rambutnya terdapat
infeksi yang aktif, riwayat keloid, riwayat infeksi
berulang, vitiligo yang aktif dan psoriasis
IV Penatalaksanaan : 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama rambut tumbuh
dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan
ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima
DO
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
4. Dokumentasi area yang akan dihilangkan rambutnya.
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis
pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltratif
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter
yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi
kelainan pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

V Alat : 1. Long-Pulsed Ruby 694 nm


R

2. Long-Pulsed Alexandritte 755 nm


3. Pulsed Diode 800 nm
4. Long Pulsed Nd:YAG 1064 nm
5. Intense Pulsed light (IPL).
6. IPL dikombinasikan dengan Radiofrequency.
7. Q-Switch Nd:YAG 1064 nm (temporary hair
PE

removal)

VI Kepustakaan : 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair


removal. In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K
(eds) , 2011, Springer, London, New york, 91 102.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light,
Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 197

210 Dermatologi Kosmetik & Laser


E.16. Laser untuk Resurfacing
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Menggunakan laser sebagai usaha untuk memperbaiki

I
fungsi kulit yang terganggu yang merupakan bagian dari
proses pencegahan penuaan kulit dengan cara merang-
sang perbaikan fungsi jaringan ikat kolagen

SK
II Indikasi tindak : 1. Kerutan yang ringan atau sedang, terutama pada area
medik tubuh yang non movement.
2. Kerusakan kulit akibat paparan ultraviolet (dispigmentasi
dan keratosis)
3. Skar atropik yang dangkal, hipertrofik, dan keloid
4. Lesi kulit superfisial.

III Kontraindikasi : 1. Penderita dengan harapan yang berlebihan


2. Sering terkena paparan matahari atau terkena sunburn
3. Sedang menderita infeksi yang aktif
4. Penderita dengan riwayat terjadi skar atau mudah keloid
DO
IV Penatalaksanaan : 1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani
oleh pemberi informasi dan penerima informasi
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
4. Dokumentasi foto.
5. Anastesi topikal dan atau infiltratif
6. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
R

7. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

V Alat : 1. Ablative laser : CO2 (pulsed) 10.600 nm,Er.YAG


(pulsed) 2940 nm
2. Non ablative laser :
Pulsed dye 585 595nm
PE

Nd:YAG QS 1064 nm
Nd:YAG LP 1064 nm
Diode LP 1450 nm
Er:glass LP 1540 nm
IPL 515 1200nm
3. Fraksional :
a. Ablative :
CO 2 (10.600 nm)
Er:YAG (2940 nm)
Combine CO2 + Erbium
b. Non ablative :
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198

Dermatologi Kosmetik & Laser 211


Pulsed dye 585 595nm
Nd:YAG QS 1064 nm
Nd:YAG LP 1064 nm
Diode LP 1450 nm
Er:glass LP 1540 nm
IPL 515 1200nm
3. Fraksional :
a. Ablative :
CO 2 (10.600
Nd:YAG nm) nm)
(1320/1440
Er:YAG(1540
Er:Glass (2940nm)
nm)
Er:Glass
Combine CO2 + Erbium
(1550/1927 nm)
b. Non ablative
Combine CO2 : + Erbium

I
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198
VI Kepustakaan : 1. Wanitphakdeedecha R, Alster TS. Laserfor resurfacing. In:
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,

SK
2011, Springer, London, New york, 103 122.
2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis.
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,
2011, Springer, London, New york, 123 148.
3. Neal PM, Dobrescu A,Chapman J, Haseltine M. Devices
for rejuvenation of the Aging Face. Cos Derm. September
2012. 25.9 . 412 - 418
R DO
PE

212 Dermatologi
Dermatologi Kosmetik & Laser K o s m e t i k & L a s e r | 199
E.17. Laser dan Sinar untuk Akne Vulgaris
Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
I Definisi : Penatalaksaaan penderita akne vulgaris dengan menggu-

I
nakan laser dan sinar
II Indikasi tindak : Akne vulgaris

SK
medik

III Penatalaksanaan : 1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang


diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani
oleh pemberi informasi dan penerima informasi
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
4. Anastesi topikal dan atau infiltratif
5. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
DO
6. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV Alat 1. Laser :
a. Pulsed Dye laser (585 -595 nm)
b. Potassium Titanyl Phosphate (KTP,532 nm)
c. Diode (1450 nm)
d. Nd:YAG ( 320 nm)
e. ER: Glass (1540 nm)

2. Terapi berbasis sinar :


a. Sinar Biru (415 nm)
b. Kombinasi sinar Biru/Merah (400-500 / 600 - 650
nm)
R

c. Intense Pulsed light (IPL)

V Kepustakaan : 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair removal. In


: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 91 102.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
PE

Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 200

Dermatologi Kosmetik & Laser 213


I
SK
F
DO
TUMOR DAN BEDAH KULIT
R
PE

214 Tumor dan Bedah Kulit


I
SK
DO
TUMOR JINAK
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 202

Tumor dan Bedah Kulit 215


ADNEKSA

F.1. SIRINGOMA (D23.9)

I Definisi : Tumor jinak duktus kelenjar ekrin

I
II Kriteria diagnostik :

Klinis : Papul 1-2 mm,multipel, sewarna kulit/ kekuningan .

SK
Lebih banyak pada wanita, mulai muncul saat
pubertas. Predileksi ; dibawah mata, dapat
ditemukan pula di kelopak mata, wajah, aksila,
periumbilikalis, dada atas dan vulva.
Diagnosis banding :
Silindroma
Histopatologi :
Pada dermis ditemukan gambaran duktus ekrin
multipel menyerupai tanda koma (comma-like) atau
tadpoles

III Penatalaksanaan : Tindakan:


DO
Bedah listrik,
Bedah laser
Bedah pisau
Bedah beku
Dermabrasi

IV Kepustakaan : 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of


Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas R,
Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Levers Histopathology of
the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William &
Willkins, 2009. h. 851-910
2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and
Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks
R

Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York:


Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 203
216 Tumor dan Bedah Kulit
F.2. TRIKOEPITELIOMA (D23.9)

I Definisi : Tumor jinak folikel rambut. Terdapat 3 bentuk


klinis: soliter, multipel, dan desmoplastik

I
II Kriteria diagnostic :

Klinis : Tumbuh saat pubertas. Lesi muncul terutama pada

SK
wajah, namun dapat pula ditemukan pada kulit
kepala, leher, dan batang tubuh bagian atas. Lesi
: sering kali berupa papul milier, multipel, merah
muda atau sewarna dengan kulit, yang bertambah
besar dan banyak. Dapat pula ditemukan lesi
soliter berbentuk nodular atau berupa plak difus.
Diagnosis banding : Silindroma
Karsinoma sel basal

Histopatologi Ditemukan kista tanduk (horn cysts) dalam


berbagai ukuran dan pulau-pulau basaloid.
III Penatalaksanaan : Tindakan:
DO
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku
Bedah laser

IV Kepustakaan : 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of


Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas
R, Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 851-910.
2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and
R

Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith


LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 204

Tumor dan Bedah Kulit 217


EPIDERMIS DAN KISTA EPIDERMIS

F.3. KERATOSIS SEBOROIK (L82)

I Definisi : Tumor jinak epidermal yang paling sering


ditemukan

I
II Kriteria diagnostik
Klinis : Kelainan bersifat herediter. Muncul diatas usia 30
tahun. Lesi bervariasi dari papul kecil hingga plak,

SK
hiperpigmentasi, dengan permukaan verukosus.
Lesi dapat bertambah banyak seiring dengan
bertambahnya usia. Lesi dapat muncul pada wajah,
batang tubuh, dan ekstremitas. Pada wanita sering
kali ditemukan pada lipatan payudara.

Diagnosis banding : Nevus melanositik


Karsinoma sel basal
Karsinoma sel skuamosa
Melanoma maligna
DO
Histopatologi : Terdapat 6 tipe gambaran histologpatologi:
Irritated
Adenoid or reticulated
Plane
Clonal
Melanoachantoma
Inverted follicular keratosis
Benign squamous keratosis
Ditemukan hiperkeratosis, akantosis, dan
papilomatosis. Pada epidermis yang akantotik,
ditemukan 2 tipe sel, yaitu sel skuamosa dan sel
basaloid. Sel basaloid berukuran kecil,
berpenampilan sama dengan nukleus yang
R

berukuran relatif besar.


Pemeriksaan Ditemukan girus dan sulkus, millia-like cyst,
dermoskopis: comedo-like openings, fat fingers, hairpin vessels,
gambaran mouth-eaten pada tepi lesi.
PE

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah listrik
Bedah beku
Bedah laser
Dermabrasi
Topikal 5 FU

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 205

218 Tumor dan Bedah Kulit


IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and

I
hyperplasia.in ; Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Dalam: Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New

SK
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191.
R DO
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 206
Tumor dan Bedah Kulit 219
F.4. KISTA EPIDERMAL (L72)

I Definisi : Merupakan kista pada kulit yang paling sering


ditemukan. Berasal dari epidermis atau epitel
folikel rambut. Kista terbentuk dari sumbatan
epitel sehigga dermis terisi keratin dan debris
yang kaya akan lemak.

I
II Kriteria diagnostik

SK
Klinis : Tumbuh pada usia remaja hingga dewasa muda.
Lesi ditemukan pada wajah, leher, batang tubuh
bagian atas, dan skrotum. Lesi berupa nodul
dermal/subkutan 0.5-5 cm dengan punctum di
tengahnya. Biasanya soliter, namun dapat pula
ditemukan multipel.
Diagnosis banding : Lipoma, kista trikilemal, milia

Histopatologi : Dinding kista terdiri atas susunan sel epitel


skuamosa lengkap dengan lapisan granular.
Kista terisi sebukan keratin.
DO
III Penatalaksanaan : Tindakan:
Bedah pisau
Bedah listrik
Bedah laser

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks
R

Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New


York: Mc Graw-Hill, 2012. h.1319-1336
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 207

220 Tumor dan Bedah Kulit


F.5. NEVUS VERUKOSUS (Q82.5)

I Definisi : Tumor jinak epidermal

II Kriteria diagnostik

I
Klinis : Dapat ditemukan saat lahir atau usia anak-anak,
jarang ditemukan pada usia remaja. Lesi berupa
papul verukosus, warna bervariasi: sewarna kulit,

SK
cokelat, keabuan. Berbatas tegas, dapat tersusun
linier atau mengikuti Blaschko line.
Diagnosis banding : Nevus sebaseus
Liken striatus
Liken planus
Parakeratosis
Psoriasis

Histopatologi : Ditemukan gambaran hiperkeratosis,


papilomatosis, dan akantosis dengan elongasi
rete ridges.
DO
III Penatalaksanaan : Tindakan:
Bedah listrik
Bedah laser
Bedah pisau

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Levers


Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D,
Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke-
10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
R

Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks


Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 208
Tumor dan Bedah Kulit 221
JARINGAN IKAT

F.6. DERMATOFIBROMA (D23.9)

I Definisi : Tumor jinak jaringan ikat

I
II Kriteria diagnostik

Klinis : Lesi berupa nodul soliter dengan predileksi di

SK
ekstremitas. Nodul berdiameter 3-10 mm,
berbentuk kubah ataupun dapat berupa cekungan
dari kulit normal sekitarnya, licin mengkilat atau
berskuama, perabaan kenyal, Biasanya tidak
nyeri, warna bervariasi: sewarna kulit, merah
muda, cokelat. Batas tidak jelas, dimple sign
positif. Nodul dapat membesar dengan lambat,
dan menetap atau regresi spontan dalam
beberapa tahun.
Diagnosis banding :
Keloid
Hitopatologi :
DO
Sebukan sel spindle yang padat, dapat pula
ditemukan fibrosit dan makrofag pada dermis.
Pada lesi awal dapat ditemukan sel raksasa
benda asing. Lesi yang lanjut ditandai dengan
adanya serabut kolagen yang tersusun acak.
Pemeriksaan
dermatoskopis: Pigmentasi cokelat atau merah kebiruan, central
white-scar like patch, dengan white network pada
tengah lesi, pada tepi lesi dapat ditemukan
pigment network tersebar diskret.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah pisau
R

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Levers


Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D,
Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke-
10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009.
PE

h. 791-850.
2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic
myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 209
222 Tumor dan Bedah Kulit
F.7. FIBROMA MOLE

I Definisi : Tumor lunak jaringan ikat


Nama lain : Skin tag atau achrocordon

I
II Kriteria diagnostik :

Klinis : Mulai muncul pada usia dewasa. Lebih banyak


ditemukan pada wanita dan obesitas. Lesi

SK
berupa papul bertangkai dengan diameter 1-10
mm, lunak, sewarna kulit hingga
hiperpigmentasi. Lesi tidak nyeri. Predileksi lesi
pada leher, kelopak mata, aksila, inframammae,
dan inguinal.
Diagnosis banding : Neurofibroma, Keratosis seboroik, nevus
melanositik, moluscum contagiosum
Histopatologi : Ditemukan gambaran papilomatosis,
hiperkeratosis, dan akantosis reguler. Dapat
ditemukan kista tanduk (horn cysts). Tumpukan
jaringan ikat mengandung serabut kolagen yang
DO
longgar dan terkadang ditemukan dilatasi kapiler
yang berisi eritrosit.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah laser

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
R

2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336.
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 210
Tumor dan Bedah Kulit 223
F.8. KELOID

I Definisi : Tumor jinak jaringan ikat yang didahului trauma.


Tumbuh melebihi batas luka.

II Kriteria diagnostik

I
Klinis : Tumbuh paling sering saat usia 30 tahun. Pada
kulit berwarna. Lesi berupa papul atau nodul,
Warna bervariasi: sewarna kulit, eritema,

SK
hiperpigmentasi. Lesi dapat berbentuk linier, oval,
bulat atau clawlike. Permukaan licin, pada
perabaan kenyal hingga keras dan kadang disertai
nyeri. Predileksi lesi di daun telinga, bahu,
punggung, dan dada.
Diagnosis banding : Dermatofibroma
Skar hipertrofi
FIbromatosis

Histopatologi : Serabut kolagen eosinofilik tebal, homogen,


tersusun secara acak
DO
III Penatalaksanaan : Medikamentosa:
Topikal :
- Ekstrak cephae
- Ekstrak centella asiatica
- Kortikosteroid
- Silikon gel

Tindakan:
- Injeksi intralesi: kortikosteroid, 5FU
- Bedah beku
- Bedah pisau
- Bedah laser
R

- Radiasi

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:


Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
PE

2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic


myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 211
224 Tumor dan Bedah Kulit
KARENA VIRUS,NEOPLASMA,HIPERPLASIA,DAN
MALFORMASI VASKULAR

F.9. ANGIOKERATOMA (D28.0)

I Definisi : Dilatasi kapiler disertai hiperkeratosis

I
II Kriteria diagnostik :

SK
Klinis : Lesi berupa papul atau plak,hiperkeratotik,
berwarna ungu tua hingga kehitaman, perabaan
keras. Terdapat 4 variasi klinis angiokeratoma:
Solitary Angiokeratoma
Angiokeratoma of Fordyce
Lesi ditemukan di skrotum atau vulva.
Angiokeratoma of Mibelli
Lesi ditemukan di siku, lutut, dan dorsum
manus.
Angiokeratoma corporis diffusum (Fabry
Disease)
DO
Lesi ditemukan di batang tubuh bagian
bawah.
Diagnosis banding : Limfangioma
Melanoma maligna
Hemangioma
Fibrosarkoma
Fibro / rhabdomyoma
Histopatologi : Ditemukan pelebaran kapiler dan venule pada
dermis dan subkutis. Pada lesi lanjut dapat
ditemukan akantosis, hiperkeratosis dan
papilomatosis.
R

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah pisau
Bedah laser
Bedah beku
PE

IV Kepustakaan : 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like


condition of blood vessels and lymphatics. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr,
editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit 225
u l i t | 212
F.10. GRANULOMA PIOGENIKUM (L98.0)

I Definisi : Lesi vaskular yang tumbuh dengan cepat didahului


trauma ringan

II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa nodul eritematosa, warna dapat
bervariasi mulai dari merah terang, merah gelap,

SK
keunguan, hingga cokelat kehitaman. Lesi soliter,
permukaan licin dengan atau tanpa erosi dan krusta.
Lesi mudah berdarah. Muncul pada jari, bibir, mulut,
Diagnosis banding : batang tubuh, dan jari kaki.

Jaringan granulasi, hemangioma infantil, melanoma


Histopatologi : maligna

Proliferasi kapiler dengan edema dan sebukan


netrofil.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


DO
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku
Bedah laser
Topikal imiquimod

IV Kepustakaan : 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like


condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder
D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056.
2. Mathes EF, Frieden IJ. Vascular tumor. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
R

ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1456-1469


PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 213
226 Tumor dan Bedah Kulit
F.11. LIMFANGIOMA (D18.1)

I Definisi : Hiperplasia dan dilatasi pembuluh limfe

II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa vesikel multipel berkelompok, berisi
cairan jernih atau serosanguinosa, menyerupai
gambaran telur kodok (frog-spawn).

SK
Diagnosis banding : Angiokeratoma

Histopatologi : Ditemukan dilatasi pembuluh limfe pada dermis


superfisial, dilapisi oleh hiperplasia epidermis dan
hiperkeratosis padat.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku
DO
IV Kepustakaan : 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like
condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder
D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 214
Tumor dan Bedah Kulit 227
F.12. NEVUS FLAMEUS (Q82.5)

I Definisi : Malformasi kapiler


Nama lain: Port wine stain

II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa makula eritematosa atau kebiruan,

SK
tepi ireguler, muncul sejak lahir dan tidak pernah
hilang spontan. Umumnya ditemukan pada wajah
pada area persyarafan nervus trigeminus. Seiring
bertambahnya usia, warna lesi akan bertambah
gelap dan dapat disertai munculnya papul dan
nodus vaskular di atasnya.

Diagnosis banding : Sarkoma Kaposi

Histopatologi : Telangiektasis dapat ditemukan secara histologis


setelah usia 10 tahun. Dilatasi kapiler pada
lapisan dermis superfisial yang seiring dengan
DO
bertambahnya usia akan merambah ke pembuluh
kapiler di lapisan dermis yang lebih dalam hingga
subkutan.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah laser

IV Kepustakaan : 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like


condition of blood vessels and lymphatics. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009.
h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations.
R

Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 215
228 Tumor dan Bedah Kulit
SEL MELANOSIT DAN SEL NEVUS

F.13. NEVUS MELANOSITIK (D22.9)

I Definisi : Tumor jinak sel melanosit dan nevus

I
II Kriteria diagnostik :

Klinis : Muncul pada usia anak dan bertambah banyak

SK
pada saat dewasa. Selanjutnya lesi akan
berinvolusi secara bertahap dan sebagian besar
lesi hilang setelah mencapai usia 60 tahun. Lesi
berupa makula, papul, atau nodul
hiperpigmentasi, berbatas jelas, berukuran kecil
(<1 cm).
Diagnosis banding : Keratosis seboroik
Melanoma maligna

Histopatologi : Dibedakan menjadi 3:


Nevus melanositik junctional
Kumpulan sel nevus terletak setinggi dermal-
DO
epidermal junction.
Nevus melanositik compound
Kumpulan sel nevus terdapat pada dermis
dan epidermis.
Nevus melanositik dermal
Kumpulan sel nevus terletak pada dermis.
Pemeriksaan Dermoskopis: Ditemukan pigment network yang reguler, tepi
lesi difus, pola pigmentasi homogen, dan black
dots/globule.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Bedah pisau
R

Bedah listrik
Bedah laser

IV Kepustakaan : 1. Elder DE, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X. Benign


pigmented lesions and malignant melanoma.
Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr,
editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-
PE

10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,


2009. h. 699-790.
2. Grichnick JM, Rhodes AR, Sober AJ. Benign
Neoplasias and Hyperplasias of Melanocytes.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 1377-1416.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 216

Tumor dan Bedah Kulit 229


V Bagan Alur

Alur Tatalaksana tumor jinak

I
SK
Anamnesis
Keluhan tumor jinak

Pemeriksaan klinis
Lesi sesuai tumor jinak
DO
Dermoskopi Histopatologis
Sesuai tumor jinak Sesuai tumor jinak

Tumor jinak

Epidermal Dermal dan


Tehnik ablatif: Subkutan
- Bedah listrik - Eksisi
R

- Bedah beku
- Laser CO2
- Topikal keratolitik, misal: as.salisilat

Evaluasi 1-3 bulan


kemudian
PE

untuk rekurensi
dan bekas operasi

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 217
230 Tumor dan Bedah Kulit
I
SK
PRA KANKER
DO
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 218

Tumor dan Bedah Kulit 231


F.14. KERATOSIS AKTINIK (L57.0)

I Definisi : Proliferasi abnormal dari sel keratinosit epidermal


akibat pajanan sinar matahari. Merupakan lesi
prakanker dari karsinoma sel skuamosa.
II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa papul kuning kecoklatan, disertai
sqkuama kasar. Muncul pada area tubuh yang

SK
terpajan matahari, seperti: kepala, leher, lengan, dan
punggung tangan.
Diagnosis banding : Keratosis seboroik

Histopatologi : Pada lapisan basal meluas hingga folikel rambut


terdapat keratinosis berukuran besar berwarna
terang dengan pleomorfisme ringan sampai sedang.
Ditemukan juga keratinosit atipik dan parakeratosis.

III Penatalaksanaan : Medikamentosa:


Topikal: Imiquimod, 5FU
-Photodynamic therapy
DO
Tindakan:
Curatage
Bedah pisau (shave)
Bedah beku
Bedah listrik

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
R

Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith


LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1261-
1282.
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 219
232 Tumor dan Bedah Kulit
F.15. LEUKOPLAKIA (K13.2)

I Definisi : Displasia epitel pada mukosa oral. Merupakan lesi


prakanker dari karsinoma sel skuamosa.
II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa plak putih lekat pada mukosa oral.

Diagnosis banding : Liken planus, kandidiasis, leukoderma

SK
Histopatologi : Penebalan hiperkeratotik atau parakeratotik dari
lapisan tanduk. Ditemukan juga akantosis dan
sebukan infiltrat inflamasi kronik.

III Penatalaksanaan : Tindakan:


Topikal retinoid
Bedah laser (CO2)
Bedah pisau
Kerjasama dengan Departemen Ilmu Bedah
DO
IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1261-1282
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 220
Tumor dan Bedah Kulit 233
F.16. PENYAKIT BOWEN (D00-D09)

I Definisi : Karsinoma sel skuamosa in situ

II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Lesi berupa plak tipis eritematosa, tepi ireguler,
berbatas tegas, disertai skuama atau krusta,
menyerupai lesi psoriasis. Lesi membesar secara

SK
Diagnosis banding : lambat.
Psoriasis
Dermatitis
Dermatomikosis
Histopatologi :
Karsinoma in situ dengan hilangnya bentuk
epidermal dan diferensiasi reguler yang disebut
sebagai windblown appearance. Dinding
epidermis menebal dengan membran basal yang
tetap intak. Selain itu, ditemukan juga keratinosit
yang polimorfik, diskeratosis sel, peningkatan laju
Pemeriksaan Dermoskopis: mitosis, dan ditemukannya sel-sel multinuklear.
DO
Ditemukan glomerular vessels disertai dengan
skuama.

III Penatalaksanaan : Medikamentosa:


Topikal :
- 5 Fluorourasil (FU)
- Imiquimod

Tindakan:
Bedah pisau, eksisi, Mohs
Bedah beku
Curetage
R

IV Kepustakaan : 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
PE

Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith


LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1261-
1282.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. h. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 221

234 Tumor dan Bedah Kulit


I
SK
DO
TUMOR GANAS
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 222

Tumor dan Bedah Kulit 235


EPIDERMIS DAN ADNEKSA

F.17. KARSINOMA SEL BASAL (C44)

I Definisi : Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor


ganas yang berasal dari sel non-keratinisasi
yang membentuk lapisan basal epidermis.

I
Umumnya timbul di bagian tubuh yang terpajan
sinar matahari. Berukuran beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter. Jika tidak diobati,

SK
dapat menginvasi jaringan di sekitarnya, sehingga
menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetik.
KSB sangat jarang bermetastasis.

II Kriteria diagnostik

Klinis : KSB noduloulseratif


KSB berpigmen
KSB superfisial
KSB morfeaformis
Fibroepitelioma Pinkus

Diagnosis banding : 1. KSB nodular


DO
- Nevus melanositik dermal
- KSS
- Tumor adneksa
- Dermatofibroma
2. KSB berpigmen
- Melanoma nodular
- Superfisial spreading melanoma
- Lentigo maligna melanoma
- Tumor adneksa
- Nevus compound
- Nevus biru
3. KSB superfisial
- Penyakit Bowen
- Mammary atau extramammary
R

Pagets disease
- Superficial spreading melanoma
- Plak psoriasis soliter
- Plak dermatitis soliter
4. KSB morfeaformis
- Skar
PE

- Morfea
- Trikoepitelioma
5. Fibroepitelioma Pinkus
- Skin tag
- Fibroma
- Nevus dermapapilomatosa

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 223

236 Tumor dan Bedah Kulit


Pemeriksaan penunjang : Dermoskopi
KSB berpigmen
- Negative feature: pigment network
- Positive feature (paling sedikit satu
gambaran ditemukan)
Ulceration
Large blue-gray ovoid nests

I
Multiple blue gray globules
Leaf like areas
Spoke wheel areas

SK
Arborizing (tree like) telangiektasia

Histopatologi
Pembagian menurut Lever
Tidak berdiferensiasi, tipe solid, dibagi
atas circumscribe dan infiltratif
Berdiferensiasi : keratotik, sebasea dan
adenoid.

Pembagian menurut prognosis


- Tipe Agresif: Infiltratif, morfea-
formis dan basoskuamosa
DO
- Tipe Nonagresif : Nodular dan
superfisial

Radiodiagnostik
Karena KSB jarang bermetastasis, pemeriksaan
ini bukan merupakan suatu keharusan.

Pentahapan (penentuan stadium)


Sama dengan karsinoma sel skuamosa (lihat
PLK KSS)

Faktor risiko untuk rekuren


Anamnesis dan pemeriksaan fisis
R

Risiko rendah Risiko tinggi


Lokasi/ukuran Area L < 20 mm Area L > 20 mm
Area M < 10 mm Area M > 10 mm
Area H < 6 mm Area H > 6 mm
Tepi Batas jelas Batas tidak jelas
Primer/rekuren Primer Rekuren
PE

Pernah diradioterapi Negatif Positif


Patologi
Subtipe Nodular, superfisial Pertumbuhan agresif
Perineural atau vaskular Negatif Positif

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 224

Tumor dan Bedah Kulit 237


Pentahapan sama dengan Karsinoma Sel Skuamosa
III Penatalaksanaan : Tindakan bedah
1. Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat
dikerjakan dengan potong beku atau
langsung.
2. Mohs micrographic surgery
3. Radioterapi

I
4. Bedah beku
5. Elektrodesikasi dan kuret
6. Bedah laser CO2

SK
7. Terapi fotodinamik (PDT)
8. Terapi target (misalnya inhibitor gli1 dan gli2)*

Topikal*
1. 5-Fluorourasil (5-Fu)
2. Imiquimod

Sistemik*

Tindak lanjut
Setiap 6 bulan dalam 5 tahun pertama. Kemu-
dian setiap tahun seumur hidup.
DO
IV Kepustakaan : 1. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen JS. Basal cell
carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1294-
303.
2. Cockerell CJ, Tran TK, Carucci J, Tierney E,
Lang PL, Maize JC Sr, dkk.. Basal cell
carcinoma. Dalam: Rigel DS, Robinson JK, Ross
M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk.
Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York:
Elsevier-Saunders;2011.h.99-123.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009.
R

4. Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of The Skin.
Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott-Williams and
Wilkins, 2009. h. 791-849.
5. NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin
cancers. NCCN clinical practice guidelines in
PE

oncology (NCCN Guidelines). Version 2.2014.


6. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin
cancer (PDQ): Basal cell carcinoma of the skin.
Treatment. Health professional version. Tersedia di:
http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 25 Okt 2014. Diunduh tgl 27-07-
2014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 225

238 Tumor dan Bedah Kulit


V Bagan Alur

Karsinoma sel basal

I
Primer Rekuren

SK
Tumor non Tumor agresif Tumor yang Ukuran berapa
agresif pada pada badan berlokasi di saja atau lokasi
badan atau atau kantus, nasolabial, dimana saja
ekstremitas ekstremitas periorbital atau
retroaurikuler

- Eksisi atau Mohs - Eksisi atau Mohs


DO
micrographic
micrografic micrographic
micrografic
surgery surgery

Eksisi, radioterapi atau


terapi ablatif (bedah listrik,
bedah beku, bedah laser,
kemoterapi intralesi, terapi
fotodinamik, topikal* : 5-FU
dan imiquimod)
R

Keterangan:

* = Peringatan, menunggu persetujuan BPOM.


PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 226

Tumor dan Bedah Kulit 239


F.18. KARSINOMA SEL SKUAMOSA (C44)

I Definisi : Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah tumor


ganas yang berasal dari keratinosit epidermis
suprabasal. Umumnya pajanan ultraviolet
merupakan faktor risiko penting sehingga timbul di
bagian tubuh yang terpajan sinar matahari.

I
Sebagian besar muncul dari lesi prekursor. Jika
ditemukan dan diterapi sedini mungkin cure rate
dapat mencapai 95%, tapi KSS dapat tumbuh

SK
agresif dengan destruksi lokal dan bermetastasis.

II Kriteria diagnostik

Klinis : Faktor predisposisi


Lesi prekursor (keratosis aktinik, penyakit
Bowen)
Pajanan ultraviolet
Pajanan radiasi ionisasi
Pajanan terhadap karsinogen lingkungan
Imunosupresi
Luka bakar atau pajanan panas yang lama
DO
Skar kronik atau dermatosis inflamasi
Infeksi human papilloma virus
Genodermatosis (albinism, xeroderma pigmen-
tosum, porokeratosis, epidermolisis bulosa)
Mutasi P53, Bcl2, dll

Gambaran klinis
Plak atau papul keratotik sewarna kulit atau
eritematosa, kenyal keras tetapi kadang-
kadang berpigmen
Nodus yang berulserasi
R

Diagnosis banding : 1. Veruka vulgaris


2. Keratosis seboroik
3. Keratosis aktinik
4. Nevus melanositik
5. Granuloma piogenikum
6. Poroma ekrin
7. Infeksi jamur dalam (mis.kromomikosis)
PE

8. Penyakit Bowen
9. Karsinoma sel basal
10. Keratoakantoma
11. Tumor ganas kulit lainnya

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 227

240 Tumor dan Bedah Kulit


Pemeriksaan penunjang : Dermoskopi
- Glomerular (coiled) vessels
- Dotted vessels
- Scales
Histopatologi
- Keratinosit atipik, horn pearls

I
- Derajat diferensiasi menurut Broder

Radiodiagnostik

SK
- Foto thorax
- USG/CT Scan Abdomen
- Bone scan
- CT scan lesi

Gambaran risiko tinggi tumor primer


Kedalaman/invasi > 2 mm (ketebalan Breslow)
Clark level > 4
Invasi perineural
Anatomi Lesi primer di kuping
Lokasi Lokasi primer bibir
Diferensiasi Buruk atau tidak berdiferensiasi
DO
PENTAHAPAN
Tumor primer (T) Kelenjar limfe regional (N)
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan Nx Kelenjar limfe tidak dapat ditentukan
T0 Tumor primer tidak ada N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe
Tis Karsinoma insitu N1 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, < 3
T1 Tumor berukuran kurang dari 2 cm dengan cm (diameter terbesar)
kurang dari 2 gambaran risiko tinggi N2 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, > 3
T2 Tumor berukuran 2 cm atau tumor ukuran cm tetapi < 6 cm; atau KGB ipsilateral multipel,
berapa saja dengan lebih atau sama dengan < 6 cm; atau KGB bilateral atau kontralateral, <
2 gambaran risiko tinggi 6 cm
T3 Tumor dengan invasi ke maksila, mandibula, N2a Metastasis KGB ipsilateral soliter, > 3 cm
orbita, atau tulang temporal tetapi < 6 cm
T4 Tumor dengan invasi skeleton (aksial atau N2b Metastasis KGB ipsilateral multipel, < 6 cm
R

apendikular) atau invasi perineural ke dasar N2c Metastasis pada KGB kontralateral atau
tengkorak bilateral, < 6 cm
N3 Metastasis KGB > 6 cm

Metastasis jauh (M)


Mx Metastasis tidak dapat ditentukan
M0 Tidak ada metastasis jauh
PE

M1 Metastasis jauh

Tahap 0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IV T1 N2 M0

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 228

Tumor dan Bedah Kulit 241


T2 N2 M0
T3 N2 M0
T berapa saja N3 M0
T4 N berapa saja M0
T berapa saja N berapa saja M1

III Penatalaksanaan : Tindakan bedah :

I

- Mohs micrographic surgery
- Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat dikerjakan
dengan potong beku atau langsung.

SK
Non eksisi ablatif (KSS insitu atau
keadaan khusus)
- Elektrodesikasi dan kuret
- Bedah beku
- Bedah laser CO2

Radioterapi

Topikal : imiquimod, 5 fluorourasil*

Sistemik**

Tindak lanjut
DO
Setiap 3-6 bulan dalam 2 tahun pertama.
Selanjutnya setiap 6-12 bulan seumur hidup.

IV Kepustakaan : 1. Grossman D, Leffell DJ. Squamous cell carcinoma.


Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New
York: McGraw-Hill; 2012.h.1283-94.
2. Bhambri S, Dinehart S, Bhambri A. Squamous cell
carcinoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross
M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk.
Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: Elsevier-
Saunders;2011.h.124-39.
3. Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis.
Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john
B Jr, editor. Levers Histopathology of The
R

Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott-


Williams and Wilkins, 2009. h. 791-849.
4. Cutaneus squamous cell carcinoma and other
cutaneous carcinoma. Dalam: Edge SB, Byrd DR,
Compton CC, dkk. Penyunting: AJCC Cancer
Staging Manual. Edisi ke-7. New York: Springer,
2010.h.301-14.
PE

5. NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin


cancers. NCCN clinical practice guidelines in
oncology (NCCN Guidelines). Version 2.2014.
6. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin
cancer (PDQ): Squamous cell carcinoma of the skin
Treatment. Health professional version. Tersedia di:
http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 25 Okt 2013. Diunduh tgl 27-07-
2014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 229

242 Tumor dan Bedah Kulit


V Bagan Alur

Karsinoma sel skuamosa

I
Anamnesis

SK
- Keluhan sesuai KSS
- Faktor predisposisi

Pemeriksaan klinis
Lesi sesuai gambaran KSS

Histopatologi
DO
Tidak sesuai KSS Sesuai KSS

Tatalaksana sesuai
diagnosis KSS insitu/ non high risk High risk / metastasis
R

1. Eksisi 1. Eksisi
2. Terapi ablatif (non 2. Sistemik**
bedah) 3. Radiasi
3. Topikal*, misal: 4. Bedah Mohs
5FU, imiquimod

*)
*) Peringatan:
Peringatan:Menungggu persetujuan BPOM
Menunggupersetujuan BPOM
PE

**) Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 230

Tumor dan Bedah Kulit 243


SEL MELANOSIT

F.19. MELANOMA MALIGNA (C43)

I Definisi : Melanoma maligna (MM) adalah tumor ganas melanosit


yaitu sel yang menghasilkan melanin, berasal dari neural

I
crest. Walaupun sebagian besar MM muncul pada kulit tapi
dapat juga timbul di permukaan mukosa, misalnya uvea.
Apabila ditemukan dan diterapi sedini mungkin, ketahanan

SK
hidup 5 tahun masih di atas 90%, tapi berpotensi letal
dengan risiko yang meningkat bila terlambat didiagnosis
dan diterapi.

II Kriteria diagnostik

Klinis : Faktor risiko


Pajanan sinar ultraviolet
o Lepuh terbakar surya setiap saat; pajanan sinar UV
high levels intermiten atau sporadic
o Pajanan kronik berlebihan
Karakteristik fenotipe
DO
o Kulit terang, ketidakmampuan menjadi kecoklatan
(tan), kecenderungan terbakar surya atau frekles
(Skin phototype I dan II)
o Mata biru atau hijau
o Rambut merah atau pirang
o Mempunyai nevus melanositik (NM) yang banyak,
dan atau lebih dari satu NM atipik
o NM kongenital besar
Riwayat melanoma sebelumnya
Riwayat melanoma dalam keluarga
Mutasi p16, BRAF atau MC1R
Xeroderma pigmentosum
R

Supresi imun (kontroversi)

Gambaran klinis
Superficial spreading melanoma (SSM)
Nodular melanoma (NM)
Lentigo malignant melanoma (LLM)
PE

Acral lentigo melanoma (ALM)

Gambaran MM dini/ABCD
A= asimetris
B= border/tepi yang tidak teratur
C= color/warna yang bermacam-macam
D= diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat
perbedaan penampilan, misal ugly duckling
E= elevasi
Tidak berlaku untuk NM

244 Tumor dan Bedah Kulit T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 231


Diagnosis : I. SSM
banding 1. Nevus atipik
2. Nevus melanositik
3. Keratosis seboroik
4. KSB

I
II. NM
Berpigmen
1. Nevus melanositik

SK
2. Nevus biru
3. Nevus Spitz berpigmen
4. KSB berpigmen

Amelanotik
1. KSB
2. Hemangioma
3. Granuloma piogenik
4. Karsinoma sel Merkel

III. LLM
1. Lentigo solaris
DO
2. Keratosis aktinik berpigmen
3. Keratosis seboroik datar
4. KSB superfisialis berpigmen

IV. ALM termasuk ALM subungual


1. Veruka plantaris
2. Hematoma
3. Nevus palmoplantar
4. Melanokhia longitudinal
5. Onikomikosis
6. Granuloma piogenik

Pemeriksaan : Dermoskopi
R

penunjang - Negative feature (tidak ditemukan)


Symetrical pigmentation pattern
Presence of only a single color
- Positive feature (paling sedikit satu gambaran
ditemukan)
Blue white veil
PE

Multiple brown dots


Pseudopods
Radial streaming
Scar like depigmentation
Peripheral black dots/globules
Multiple (5-6) colors
Multiple blue gray dots
Broadened network

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 232
Tumor dan Bedah Kulit 245
Histopatologi
Radial (horizontal) growth phase
Vertical growth phase

Klasifikasi Tumor Nodes Metastasize (TNM) melanoma

I
T Ketebalan Ulserasi
(mm)
T1 < 1,O a. tanpa ulserasi &

SK
mitosis < 1/ mm2
b. dengan ulserasi atau
mitosis > 1/mm2
T2 1,01 2,0 a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi
T3 2,01 4,0 a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi
T4 > 4,0 a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi

N Jumlah KGB
metstasis
DO
N1 1 a. mikrometastasis
b. makrometastasis
N2 2-3 a. mikrometastasis
b. makrometastasis
N3 4 atau lebih c. in-transite metstasis
KGB, atau atau satelit tanpa KGB
KGB kusut metastasis
(matted nodes)
atau in-
transite/ KGB
satelit
M Lokasi Serum lactate
dehydrogenase (LDH)
R

M1a Kulit jauh, Normal


subkutan atau
metstasis
KGB
M1b Metastasis Normal
paru
PE

M1c Metastasis Normal


viseral yang
lain
Metastasis Meningkat
jauh lainnya

Pulasan (pewarnaan) khusus untuk diagnostik


- S 100
- HMB 45
- Melan-A (apabila fasilitas tersedia)

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 233
246 Tumor dan Bedah Kulit
Pulasan (pewarnaan) khusus untuk prognostik apabila
fasilitas tersedia
- BRAF
- P16
Pemeriksaan radiodiagnostik
- Foto thorax

I
- USG/CT scan abdomen
- Bone scan
- CT scan kepala (bila ada indikasi)

SK
- CT scan lesi (bila ada indikasi)

Sentinel lymph node biopsy


( bergantung pada adanya indikasi / fasilitas)

Pentahapan (Penentuan Stadium)


American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010
Berdasarkan TNM (Tumor, Node, Metastasis)
Pentahapan klinis Pentahapan patologis
T N M T N M
DO
0 T1s N0 M0 T1s N0 M0
IA T1a N0 M0 T1a N0 M0
IB T1b N0 M0 T1b N0 M0
T2a N0 M0 T2a N0 M0
IIA T2b N0 M0 T2b N0 M0
T3a N0 M0 T3a N0 M0
IIB T3b N0 M0 T3b N0 M0
T4a N0 M0 T4a N0 M0
IIC T4b N0 M0 T4b N0 M0
III T apa N1 M0
saja N2
N3
R

IIIA T1-4a N1a M0


T1-4a N2a M0
IIIB T1-4b N1a M0
T1-4b N2a M0
T1-4a N1b M0
T1-4a N2b M0
PE

T1-4 a/b N2c M0


IIIC T1-4b N1b M0
T1-4b N2b M0
T apa N3 M0
saja
IV T apa N M1 T apa N M1
saja apa apa saja apa apa
saja saja saja saja

Tumor dan Bedah Kulit 247


T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 234
Ketahanan hidup untuk melanoma TNM Tahap I-III
American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010

Tahap Tumor KGB Beban KGB Ketahanan


tumor hidup 5
tahun (%)

I
IA T1a NO - 97
IB T1b N0 - 94
IB T2a N0 - 91

SK
IIA T2b N0 - 82
IIA T3a N0 - 79
IIB T3b N0 - 68
IIB T4a N0 - 71
IIC T4b N0 - 53
IIIA T1- N1a/N2a mikroskopik 78
T4a
IIIB T1- N1a/N2a mikroskopik 55
T4b
IIIB T1- N1b/N2b makroskopik 48
T4a
IIIC T1- N1b/N2b/N3 Makroskopik 38
DO
T4b atau 4+
KGB apa
saja
IIIC T1- N3 4+ KGB apa 47
T4a saja

III Penatalaksanaan : Sesuai dengan stadium

Tindakan bedah:
- Eksisi dengan evaluasi tepi lesi
R

Ajuvan
- interferon- 2b
- BCG

Sistemik :**
1. Kemoterapi
PE

2. Imunoterapi
3. Terapi target

Radioterapi

Tindak lanjut
IA-IIA : Setiap 6-12 bulan selama 5 tahun. Kemudian setiap
tahun bila ada indikasi klinis
IIB-IV: Setiap 3-6 bulan selama 2 tahun. Sesudah itu setiap
tahun bila ada indikasi klinis

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 235
248 Tumor dan Bedah Kulit
IV Kepustakaan : 1. Bailey EC, Sober AJ, Tsao H, Mihm MC, Jr., Johnson TM.
Cutaneous melanoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi ke-8
New York: McGraw-Hill; 2012.h.1417-44.
2. Paek SC, Tsao H, Johnson TM. Melanocytic Tumor:
Cutaneous melanoma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,

I
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7.
New York:McGraw-Hill; 2008.h.1134-57

SK
3. Goulard JM, Halpern AC. Management of the patient with
melanoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M,
Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk. Cancer of the skin.
Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders; 2011.h.318-26.
4. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia,
2009.
5. Elder DE, Eletritsas R, Murphy GF, Xu X. Benign
pigmented lesion and malignant melanoma. Dalam: Elder
D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of The Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott-Williams and Wilkins, 2009. h. 699-789.
6. Balch CM, dkk. Melanoma of the skin. Dalam: Edge SE,
DO
Byrd DR, Carducci MA, Compton CC. AJCC cancer
staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer, 2010.
7. NCCN.org. Melanoma. NCCN clinical practice guidelines
in oncology (NCCN Guidelines). Version 4.2014.
8. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Melanoma
Treatment (PDQ): Health professional version. Tersedia
di:http://www.Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 11 Juli 2014. Diunduh tgl 27-07-2014.
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 236

Tumor dan Bedah Kulit 249


V Bagan Alur
Primer
lesi tersangka

Biopsi eksisi Biopsi insisi


(dianjurkan) Lesi luas/kecurigaan rendah

I
Ketebalan < 1 mm (0,75 mm
MM insitu 1,01 2 mm > 2 mm

SK
< 1 mm dgn SLNB (+))

Batas bebas Batas bebas Batas bebas Batas bebas Batas bebas
0,5-1,0 cm 1,0 cm 1,0 cm 1,0-2,0 cm 2,0 cm

pengawasan Pertimbangkan SLNB

CLND dan penetapan Pertimbangan IFN 2b,


FNA atau
DO
Lesi nodus tersangka (mis CXR, LDH, CT, atau uji klinis vs
biopsi terbuka MRI, PET) observasi

Curiga penyakit
telah menyebar

FNA dengan petunjuk CT


Pengawasan
atau biopsi terbuka

Soliter atau
Tersebar
terbatas
R

Metastasis
Observasi Tidak Metastasis
Pertimbang- SSP tidak
ulang ada per- SSP
kan reseksi ada
scan ubahan

Radiasi,
PE

Pengobatan reseksi
Progresif sistemik dacarbasin SSP beberapa
atau IL-2 atau stabil lesi (1-3),
uji klinis
uji klinis
SLNB : surgical lymph node biopsy
CLND : completion lymph node dissection
CXR : chest X-ray
CT : computed tomography ** = Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM
FNA : fine needle aspiration
LDH : lactate dehidrogenase
PET : positron emission tomography
SSP : susunan saraf pusat

250 Tumor dan Bedah Kulit


TINDAKAN BEDAH DALAM DERMATOLOGI
F.20. BIOPSI KULIT

I Definisi : Pengambilan jaringan kulit untuk diagnosis berbagai macam


tumor dan peradangan kulit

I
II Indikasi tindak : 1. Diagnosis untuk proses keganasan kulit
medik 2. Evaluasi berbagai diagnosis tumor jinak kulit
3. Evaluasi berbagai penyakit kulit yang diagnosisnya
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi

SK
III Penatalaksanaan : 1) Persetujuan tindak medik
2) Persiapan pasien, alat, petugas
3) Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4) Tindakan biopsi:
a) Shave biopsy menggunakan skalpel untuk lesi
eksofitik atau tumor epidermal
b) saucerization untuk lesi yang mencapai dermis
bagian atas atau tengah
c) Biopsi plong (punch biopsy): menggunakan biopsi
plong ukuran 1-10 mm. Indikasi: kelainan rambut,
lesi kulit yang uniformis, atau lesi yang mencapai
dermis bagian tengah dan subkutis, misalnya tumor
DO
epidermal, peradangan kulit, pemeriksaan
imunofluoresensi, mikroskop elektron, dan kultur
bakteri
d) Biopsy insisi untuk mendapatkan specimen yang
besar, atau kelainan matriks kuku
e) Wedge biopsy untuk memeriksa ulkus dan
mencakup kulit normal di sekitarnya
f) Biopsi eksisi dilakukan untuk pengangkatan total
seluruh lesi kulit dengan atau tanpa mengikut
sertakan kulit normal. Misalnya nevus yang diduga
melanoma.

IV Kepustakaan : 1. Elsaie ML, Vejjabhinanta V, Nouri K. Biopsy techniques. Dalam:


Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
R

Wiley-Blackwell, 2013:35-37
2. Garg A, Levin NA, Benhard JD. Structure of skin lesion and
fundamentals of clinical diagnosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-
Hill, 2012:26-42
3. Perez M, Lodha R, Nouri K. Skin biopsy techniques. Dalam: Nouri
K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:
PE

Mosby, 2003:75-9
4. Bisarccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002
5. Schultz BC. Skin biopsy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH.
Roenigks Dermatologic Surgery. Principle and Practice, edisi ke-2.
New York: Marcell Dekker,1996:177-90
6. Llamas Velasco.M, Paredes B.E. Basic concept in skin biopsy part
1. Acta Derm-Syph.2012, 103(1):12-20.
7. Llamas Velasco.M, Paredes BE. Basic concept in skin biopsy part
2.ActaDerm-Syph.2012,103(1):100-101

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 238

Tumor dan Bedah Kulit 251


V Bagan Alur

Biopsi Kulit

I
Kelainan peradangan dan tumor kulit

SK
Diagnosis
Radang dan tumor kulit (klinis dan PA)

Ya

Biopsi plong
Shaved biopsy
DO
Tumor superfisial, radang,
Eksofitik superfisial: seboroik,
imunofluoresensi,
aktinik keratosis jinak, papul
imunofenotiping,
angioma
mikroskop elektron, kultur

Biospi silet (saucerization)


Pengambilan jaringan sampai Biopsi eksisi
subkuit (KSS, melanoma, Neoplasma, KSS
nevus atipikal
R

Clip biopsy Biopsi insisi


Lesi sangat superfisial (skin Pengambilan jaringan kulit
PE

tag, veruko filiformis) yang sehat maupun tidak


sehat

Biopsi oral
Sama dengan biopsi kulit (liken planus,
leukoplakia, KSS)

252 Tumor dan Bedah Kulit


F.21. EKSISI/FLAP DAN GRAFT

I Definisi : Pemindahan jaringan kulit yang masih tersambung pada


tempat asalnya atau pengambilan tandur kulit untuk
menutupi defek pada bedah kulit

I
II Indikasi tindakan : Adanya defek kulit yang perlu ditutup akibat pembedahan
medik tumor jinak: lipoma, kista, nevus, tumor ganas: karsinoma

SK
sel basal, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna dan
kelainan kulit lain: revisi skar, dll

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: Eksisi, dibebaskan, kemudian dirapatkan
kembali dengan jahitan kulit. Untuk luka dengan tegangan
yang tinggi diperlukan jahitan subkutan
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan
DO
IV Kepustakaan : 1. Nguyen TH, McGinness JL. Skin flaps. Dalam: Nouri
K (ed). Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Sheehan J, Kingsley M, Rohrer TE. Excisional surgery
and repair, flaps, and grafts. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ [Ed]. Fitzpatricks dermatology in general
medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012:
2921-2949.
3. Rohrer TE, Cook JL, Nguyen TH, Mellette JR Jr.
Flaps and grafts in dermatologic surgery.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007.
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 240
Tumor dan Bedah Kulit 253
F.22. BEDAH LISTRIK

I Definisi :
Penggunaan arus listrik frekuensi tinggi pada jaringan
biologis dengan tujuan memotong, melakukan koagulasi,
desikasi, dan fulgurasi jaringan.
Sebutan tindakan bedah listrik mencakup elektrofulgurasi,

I
elektrodesikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi,
elektrokauter, dan, elektrolisis.
II Indikasi tindak : 1. Elektrofulgurasi: penggunaan elektroda tunggal yang

SK
medik mampu menghasilkan bunga api tanpa menyentuh
jaringan. Indikasi: veruka, skin tag, keratosis seboroik
2. Elektrodesikasi: pada prinsipnya sama dengan
elektrofulgurasi kecuali elektrodanya kontak dengan
jaringan dan tidak menghasilkan bunga api. Indikasi:
keratosis, veruka
3. Elektrokagulasi: tehnik yang digunakan untuk mencapai
hemostatis dan modalitas terapi beberapa lesi kulit.
Indikasi: hemostasis
4. Elektroseksi: untuk memotong jaringan dengan
perdarahan yang minimal
5. Elektrokauterisasi: menggunakan energi panas dengan
DO
voltase yang rendah
6. Elektrolisis: hanya digunakan untuk sistem biterminal

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: lesi patologis didestruksi atau dipotong
dengan jarum elektroda bedah listrik. Perdarahan
dihentikan dengan penekanan, fulgurasi, atau bedah
listrik bipolar.
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan
R

7. Pasien dengan IECD (implantable electronic cardiac


device) yang mendapatkan tindakan bedah listrik
sebaiknay diawasi oleh supervisor dan ahli anestesi.
Hasil EKG paling tidak 1 lead dimana spike dan atau
komlpeks QRS dapat terlihat dan teridentifikasi
PE

IV Kepustakaan : 1. Choudry S, Mcleod MP, Leal-Khouri S. Electrosurgery. Dalam:


Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Vujevich J.J, Goldberg L.H.: Cryosurgery and electrosurgery.
Dalam: Wolff K,Goldsmith LA, Katz A.I, Gilchrest B.A, Paller
A.S, Leffel D.J [Ed]. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012: 2968-
2976.
3. Leal-Khouri S, Lodha R, Nouri K. Electrosurgery..Dalam: Nouri
K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery.
Edinburgh; Mosby, 2003: 81-3

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 241

254 Tumor dan Bedah Kulit


4. Bisaccia E, Scarborough D.A. The Columbian Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill,
2002.
5. Bracamonte B.G, Rodriguez J, Casado R, Vanaclocha F.
Electrosurgery in patients with implantable electronic cardiac
devices (pacemakers and defibrillators). Acta Dermo Syph
2012: 128-132.

I
SK
V Bagan Alur

Bedah Listrik

Ya

Indikasi: pengobatan tumor


dan kelainan kulit lain
DO
Elektrokoagulasi Elektroseksi
Indikasi: lesi epidermal Indikasi: memotong jaringan
(keratosis seboroik, skin lesi dengan perdarahan
tags, veruka) minimal

Elektrodesikasi Elektrokauter
Indikasi: lesi epidermal, Indikasi: tumor jinak yang
telangiektasis kecil dan superfisial
R

Elektrokoagulasi Elektrolisis
Indikasi: hemostasis Indikasi: biterminal
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 242
Tumor dan Bedah Kulit 255
F.23. BEDAH BEKU (CRYOSURGERY)

I Definisi : Tindakan bedah menggunakan bahan kriogen/pembeku


dengan tujuan menghancurkan sel dari jaringan patologis

I
II Indikasi tindak : Lesi jinak : keratosis seboroik, veruka, lentigo solaris,
medik keloid dan skar hipertrofi, dermatofibroma, hiperplasia
sebaseus, skin tag, molluskum kontangiosum, milia.

SK
Lesi preganas/premalignant : keratosis aktinik, penyakit
Bowen (karsinoma intra-epitelial).
Lesi ganas/malignant : karsinoma sel basal, karsinoma sel
skuamosa, lentigo maligna.

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal atau topikal
5. Tindakan: tehnik spray atau teknik kapas lidi
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan
DO
IV Kepustakaan : 1. Pasquali P. Cryosurgery. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-
Blackwell, 2013:51-57.
2. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolf K, editor. Dalam: Fitzpatricks dematology in
general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Zimmerman E, Crawford P. Cutaneous cryosurgery.
American Family Physician, 2012; 86 (12) : 1118-1124
R
PE

256 Tumor dan Bedah Kulit T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 243


F.24. BEDAH KIMIA

I Definisi : Pembedahan menggunakan bahan kimia yang


diaplikasikan pada permukaan kulit

II Indikasi tindak : Indikasi sesuai tipe kedalaman peel.


medik Superfisial : Kerusakan kulit akibat matahari (kulit

I
kusam, kerutan, keratosis), gangguan pigmentasi
(melasma, PIH, solar lentigen), akne yang menetap (+/-
), ekstraksi komedo.

SK
Medium : photoaging (kerutan/keriput), gangguan
pigmentasi, skar atrofi superfisial
Dalam : photoaging berat, gangguan pigmentasi dan
skar/parut

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien (evaluasi priming), alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi dan tindakan
5. Siapkan peel di tempat yang sesuai; kepala pasien
dielevasikan 45 derajat. Kulit dibersihkan dari lemak
yang mengganggu absorbsi dengan alkohol/aseton.
DO
Oleskan petrolatum gel di ujung mata dan bibir.
Bahan kimia dioleskan dengan kapas lidi atau karet
busa dengan lama kontak 2-3 menit. Bahan AHA
perlu dinetralisasi dengan larutan natrium bikarbonat,
bahan lain tidak perlu
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1. Hexsel DM, Fernandes JD, Hexsel CL. Chemical


peeling. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery
step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell,
2013:217-222.
2. Rubin MG. Chemical peels. In: Procedures in
R

cosmetic dermatology. Elsevier, 2006.


3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels,
and dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds).
Fitzpatricks dematology in general medicine, edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 244
Tumor dan Bedah Kulit 257
F.25. SUBSISI

I Definisi : Tindakan pembebasan jaringan subkutis untuk


perbaikan sikatriks hipotrofik dan kerutan

II Indikasi tindak :
medic Skar hipotrofik yang tertarik ke dermis

I
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas

SK
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal dengan suntikan
5. Tindakan: aseptik kulit, jarum (18 G 1,5 inch Nokor
Admix ) ditusukkan 900 atau secara horizontal sejajar
permukaan kulit. Kemudian dilakukan gerakan
memotong seperti kipas atau maju-mundur guna
membebaskan permukaan kulit dari subkutis.
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan
DO
IV Kepustakaan :

1. Alsufyani MA. Subcision: a further modification, an ever


continuing process. Dermatology Research and Practice,
2012.
2. Kucuktas M, Engin B, Kutlubay Z, Serdaroglu S. Subcision
treatment of acne scars. Journal of the Turkish Academy of
Dermatology, 2013; 7(3) : 1-5
3. Sanchez FH. Treatment of acne scars. Dalam: Nouri K.
(ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013: 197-206
R
PE

258 Tumor dan Bedah Kulit T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 245


F.26. SKIN NEEDLING

I Definisi : Tindakan rejuvenasi kulit dengan proses inflammatory


healing dan platelet derived growth factor

II Indikasi tindak : 1. Skar atrofi/hipertrofi

I
medik 2. Wrinkle
3. Stretchmarks
4. Skin laxity

SK
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakan skin healing pada daerah yang akan diterapi.
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1. Orentreich DS, Orentreich N. Subcutanous incisonless


(subcision) surgery for the correction of depressed scars and
wrinkles. Dermatol Surg 1995;21(6):543-9
2. Fernandes D. Upper lip treatment. Paper presented at the
DO
ISAPS Conference. Taipei, Taiwan, October 1996
3. Falabell AF, Falanga V. Wound healing. Dalam: Fremkel FK,
Woodley DT [Ed]. The biology of the skin. New York:
Parthenon Publ Group, 2001
4. Kim SE, Koe DS, Lee AY, Moon HS. Medical conference
presentation. Medical science Lab of the Dept of Dermatology
at Eulji University School of Medicine and the Dept. Of
Dermatology, School of Medicine at Dongguk University
Dongguk University, 2005.
5. Schwartz et al. http://www.dermaroller.deCIT-findings.htm.
Abstract. Reflections about collagen induction therapy (CIT). A
hypothesis for the machanism of action of collagen induction
therapy (CIT) using microneedles. 1st. Ed. February 2006.
2nd Rev. January 2007
R
PE

T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit 259
u l i t | 246
F.27. DERMABRASI dan MIKRODERMABRASI

I Definisi : Tindakan meratakan kulit secara mekanis, dalam hal


mikrodermabrasi menggunakan silika
II Indikasi tindak : Kerusakan kulit akibat matahari, penuaan dini kulit,
medik kelainan pigmentasi, parut superfisial, parut akne vulgaris,

I
tumor jinak kulit
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas

SK
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal/umum
5. Tindakan: aseptik kulit, pada dermabrasi dilakukan
dengan diamond fraise putaran tinggi. Bila perlu kulit
dikeraskan dahulu dengan kriogen supaya lebih
mudah dikikis.
6. Pada mikrodermabrasi menggunakan kristal
7. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Allemann IB, Hafber J. Dermabrasion. Dalam: Nouri K.


(ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
DO
Wiley-Blackwell, 2013: 207-211
2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic
surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 2009.
3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels, and
dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds). Fitzpatricks
dematology in general medicine, edisi ke-8. New York:
Mc Graw-Hill, 2012.
R
PE

260 Tumor dan Bedah Kulit T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 247


F.28. BEDAH SEDOT LEMAK

Peringatan : Pengambilan lemak lebih dari 100 ml yaitu jumlah yang


sesuai untuk kebutuhan tandur kulit dan mesenchymal
stem cells, memerlukan surat keterangan kualifikasi
tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan

I
Kelamin

I Definisi :
Tindakan pengambilan kumpulan jaringan lemak subkutis

SK
untuk keperluan tandur dan donor mesenchymal stem cells
dan untuk menghilangkan lemak yang tidak dikehendaki
II Indikasi tindak : Tandur lemak untuk rekonstruksi maupun mendapatkan dan
medik perbaikan contour tubuh, lipoma, lipodistrofi, hiperhidrosis
aksilaris, rekonstruksi
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal pada lemak subkutis dengan tumesen (1000
cc NaCl 0.9%, 1 cc adrenalin/epinefrin 1:1000, 10 cc
natrium bikarbonat 8,4%, 50 cc lidokain 1%) Tunggu 15-
20 menit
DO
5. Tindakan: lemak disedot dengan kanula diameter 2-5
mm, tumpul (atraumatik) dengan menggunakan spuit
untuk harvest lemak atau alat suction untuk keperluan
baody contouring
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan
7. Pasca tindakan: daerah yang disedot harus diberikan
pembalut elastis/korset selama 7-10 hari untuk mencegah
hematoma

IV Kepustakaan : 1. Stebbins WG, Leonard AL, Hanke CW. Liposuction. Dalam


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
R

Wolf K (eds). Fitzpatricks dematology in general medicine,


edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012.
2. Narins RS. Safe liposuction and fat transfer. New York: Marcel
Dekker, Inc., 2003
3. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic surgery.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2002
4. Sattler G, Sonja G, Ferris KM, Al Qubaisy Y. Liposuction.
PE

Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West


Sussex: Wiley-Blcakwell, 2013:223-227

Tumor dan Bedah Kulit 261


T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 248
V Bagan Alur
(1) Kebutuhan akan tandur lemak atau
mesenchymal stem cells datau keluhan
Timbunan lemak yang tidak semestinya pada
bagian tubuh tertentu

I
(A) Edukasi
1. Merubah pola makan dan olahraga

SK
2. Farmakoterapi

(2) Evaluasi
Timbunan lemak tidak berkurang,
penderita menghendaki BSL

(3)
Dilakukan BSL
DO
(3A) (3B)
Body contouring: leher, Pengambilan lemak untuk
wajah, badan, perut, dan donor atau pengobatan:
ekstremitas lipoma, ginekomastia,
pseudoginekomastia,
broohidrosis, lipodistrofi

(3C)
Rekonstruksi kulit serta
penunjang flap (cutaneous
debulking
R
PE

262 Tumor dan Bedah Kulit


F.29. INJEKSI BAHAN PENGISI (FILLER)

I Definisi : Penggunaan bahan pengisi untuk perbaikan contour kulit

II Indikasi tindak : Kelainan kulit akibat penuaan dini dan revisi skar
medik

I
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

SK
4. Injeksi bahan pengisi sesuai teknik masing-masing bahan
(linear threading, fanning, cross-hatching, serial puncture
dan volumizing)
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Donofrio LM. Soft tissue augmentation. Dalam: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed].
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New
York, McGraw-Hill, 2012:3044-3052
2. Vujevick J, Baumann L. Permanent fillers. Dalam: Nouri K,
Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:
DO
Mosby;2003:259-80
3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002
4. Mariwalla K. Temporary fillers. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-
Blackwell, 2013:259-285
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 250
Tumor dan Bedah Kulit 263
F.30. INJEKSI TOKSIN BOTULINUM

I Definisi : Penyuntikan toksin botulinum untuk menghilangkan kerutan


dan indikasi kulit lainnya

II Indikasi tindak : Kerutan wajah dan leher, hiperhidrosis, bromhidrosis

I
medik
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas

SK
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Injeksi toksin pada otot yang akan didenervasi
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Glogau RG. Botulinum toxin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York,
McGraw-Hill, 2012:3053-3061
2. Carruthers J, Carruthers A. Botulinum toxin: procedures in
dermatology. Chicago: Saunders, 2013
3. Hexsel DM, Soreifmann M, Hexsel CM. Botulinum toxin.
DO
Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:253-258
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 251
264 Tumor dan Bedah Kulit
F.31. BLEFAROPLASTI

Peringatan : Pengambilan kulit lebih dalam dari epidermis,


memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan
dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I
I Definisi : Tindakan pembedahan kulit kelopak mata

II Indikasitindaktindak : Dermatochalasis, steatochalasis, blepharoschalasis,

SK
medik oriental-lids, xanthelasma , ptosis, floppy eyelid syndrome,
laxity of eyelids

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal/umum
5. Tindakan: kulit di buka dengan skalpel/ bedahlistrik/
laser CO2. Otot orbikularis okuli dibuang sedikit, lemak
dibawahnya dibuang dengan sangat memperhatikan
hemostasis. Kulit dirapatkan kembali dengan jahitan
halus, atau tidak perlu penjahitan (pada kelopak mata
DO
bawah, teknik transkonjungtiva).
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1. Lee WW, Samimi DH. Upper eyelid blepharoplasty. fillers.


Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step.
West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:229-232
2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of Cosmetic Surgery.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2002
3. Butani A. Blepharoplasty. Dalam: Alam M.(eds). Evidence
based procedural dermatology. New York:
Springer;2012:.403-415
4. Moody BR, Weber PJ. Blepharoplasty and browlift. Dalam:
R

Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel DM.


Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005:673-
690
PE

Tumor dan Bedah Kulit 265


T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 252
F.32. TRANSPLANTASI RAMBUT

I Definisi : Tindakan tandur alih rambut

II Indikasi tindak : Kebotakan male pattern/androgenic, trauma/luka bakar.


medik

I
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

SK
4. Anastesi lokal tumesen
5. Tindakan: pengambilan donor dengan eksisi atau pisau
plong (punch). Graft dipotong kecil-kecil diameter 2-3
mm. Penanaman tandur pada daerah resipien dengan
terlebih dahulu membuat lubang dengan plong/laser
CO2/skalpel. Selama tindakan, graft yang terdiri dari
rambut + akarnya (folikel) harus di tangani dengan hati-
hati, tetap dibasahi NaCl supaya tetap hidup.
6. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Withworth JM, Seager DJ. Hair restoration Dalam: Nouri K,


DO
Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery.
Edinburgh, Mosby;2003:217-32
2. Unaeze J, Ciocon DH. Hair transplantation. Dalam: Alam M
(eds). Evidence based procedural dermatology. New York:
Springer;2012 :.377-389
3. Unger WP, Unger RH, Unger MA. Hair transplantation and
alopecia reduction. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, et al. Dalam Fitzpattricks dermatology in
general medicine. 8th ed. New York: McGrawhill; 2013:3061-
3076
R
PE

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 253
266 Tumor dan Bedah Kulit
F.33. BEDAH KUKU

I Definisi : Tindakan bedah untuk kelainan pada kuku, yang bertujuan


untuk menegakkan diagnosa dengan biopsi, untuk
menyembuhkan infeksi, untuk mengurangi nyeri,
menghilangkan tumor, dan untuk memastikan hasil kosmetik
terbaik pada kelainan kuku yang kongenital ataupun

I
didapat.
II Kriteria Diagnostik : 1. Kelainan kongenital

SK
2. Infeksi
3. Proses peradangan
4. Tumor
5. Trauma kuku
6. Medikasi.

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
1) Alat yang dibutuhkan sama seperti peralatan bedah kulit
lainnya, namun ditambah nail elevator, single-or-double
pronged skin hooks, double-action nail splinter, clippers,
splitting scissor, English nail splitter, pointed scissors,
DO
curved iris scissors, small nosed hemostat, disposable
biopsy punches, penrose drains, Luer-lok syringe, jarum
30-gauge
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Drapping (menutup tangan yang akan dilakukan tindakan
dengan handscoen steril, yang ujung handscoennya telah
digunting pada jari yang akan dilakukan tindakan,
sedangkan pada kaki, hanya ditutup kain steril yang
difiksasi dengan clamps).
5. Anastesi lokal
2) Proximal digital block*
3) Distal digital block*
4) Transthecal block*
R

5) Wrist block*
6. Pemasangan Tourniquet
7. Tindakan bedah kuku
6) Nail avulsion*
7) Biopsi matriks kuku*
8) Matricectomy*
PE

8. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca


tindakan

IV Kepustakaan : 1. Baran R. Nail surgery. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz AI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York,
McGraw-Hill; 2012:2956-67
2. MacRarlane DF, Scher RK. Nail surgery. Dalam: Nouri K, Leal-
Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh,
Mosby; 2003:195-201

T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit 267
u l i t | 254
V Bagan Alur

1
Pasien dengan kelainan kuku

I
SK
A.
Pencegahan:
Edukasi penderita
Preparat topikal

2.
Evaluasi:
haruskah penderita
diberikan terapi
DO
nonfarmakologik

YA

Avulsi
Biopsi
Matricectomy
R
PE

268 Tumor dan Bedah Kulit


F.34. SKLEROTERAPI

I Definisi : Penyuntikan bahan sklerosan untuk pengobatan


telangiektasis dan venulektasis superfisial pada ekstremitas

I
inferior, termasuk penyuntikan sejumlah bahan iritan
tertentu pada dilatasi vena kulit yang tidak normal
dilanjutkan dengan pembebatan

SK
II Kriteria Diagnostik : 1. Telangiektasis
2. Vena retikular
3. Varises

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Injeksi bahan sklerosan intramuskular
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska
DO
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Weiss RA, Weiss MA. Treatment for varicose and telangiectatic
leg veins. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, Wolff K [Ed}. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;2012:2997-3008
2. Perez MI. Sclerotherapy. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S.
Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:Mosby;
2003:259-80
3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbian Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill, 2002
4. Goldman MP. Sclerotherapy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH.
R

Roenigk & Roenigks Dermatologic Surgery. Principle and


Practice, edisi ke-2. New York; Marcell Dekker:1169-84
5. Gloviczki P, Comerota AJ, Dalsing MC, Eklof BG, Gillespie DL,
Glovicski ML, etc. The care of patients with varicose veins and
associated chronic venous diseases: Clinical practice guidelines
of the Society for Vascular Surgery and the American Venous
PE

Forum. Journal of Vascular Surgery; 2011; 53(5): 2s-48s.


6. Gopal B, Keshava SN, Moses V, Surendrababu NSR, Stephan
E, Agarwal S, etc. Role of percutaneous sclerotherapy in
venous malformations of the trunk and extremities: A clinical
experience. Biomed Imaging Interv J; 2013; 9(3):e18:1-6
7. Parnis J, Cannataci C, Umana E, Cassar K. Foam
sclerotherapy: the Maltase experience. Malta Medical Journal;
2013; 25(1): 50-4

Tumor dan Bedah Kulit 269


F.35. BEDAH MOHS

Peringatan : Memerlukan surat keterangan kompetensi tambahan


dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I
I Definisi : Tindakan bedah kulit berupa eksisi in toto tumor disertai
pemeriksaan jaringan tumor dengan mikroskop secara

SK
horizontal frozen section

II Indikasi tindak : 1. Karsinoma Sel Basal (Basalioma)*


medik 2. Karsinoma Sel Skuamosa*
3. Melanoma*
4. Lentigo maligna
5. Dermatofibrosarcoma*

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
DO
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakah bedah MOHS
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan *paska
tindakan*

IV Kepustakaan : 1. Alcalay J, Alkalay R. Mohs micrographic surgery. Dalam:


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
Wolff K [Ed]. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine,
edisi ke-8. New York:McGraw-Hill; 2012:2950-6
2. Nouri K, Leal-Khouri, Lodha L. Mohs micrographic surgery .
R

Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology


Surgery. Edinburgh;Mosby;2003:103-16
3. Wheeland RG, Ratz JL, Bailin PL, Mohs micrographic surgery
technique. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH. Roenigk &
Roenigks Dermatologic Surgery Principle and Practice, edisi
ke-2. New York;Marcell Dekker:738-44
PE

4. Arnon O, Pagkalos VA, Xanthinaki AA, Silberstein E. Double-


Bladed Scalpel in Mohs micrographic surgery. ISRN
Dermatology; 2012: 1-4
5. Foroozan M, Sei JF, Amini M, Beauchet A, Saiag P. Efficacy
of Mohs micrographic surgery for the treatment of
derrmatofibrosarcoma protuberans: systematic review. Arch
Dermatol. 2012 Sep;148(9):1055-63.

270 Tumor dan Bedah Kulit


F.36. FACE LIFT MENGGUNAKAN BENANG

I
I Definisi : TIndakan bedah kulit untuk penanganan pengenduran
jaringan lunak kulit atau ptosis wajah akibat gravitasi

SK
menggunakan benang Aptos.
II Indikasi tindak : Ptosis lemak malar, ptosis kulit mandibula, ptosis alis
medik
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakah bedah
a. Marking
DO
b. Anesthesia tumesen
c. Insersi benang
d. Tarik kulit kearah kaudal
e. Pemotongan kelebihan benang
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska
tindakan

IV Kepustakaan : 1. Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift.
Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel
R

DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005;


657-672
2. Sulaimanidze MA, Fournier PF, Sulaimanidze GM. Removal of
facial soft tissue ptosis with special threads. Dermatol Surg
2000;28:367-371
PE

3. Sandhofer M, Sandhofer-Novak R, Blugerman G, Sattler G.


Aptos-lifting: Eine minimal invasive method zur
gesichtsrejuvenation. Aesthet Dermatol 2003;1:10-17
4. Lycka B, Bazan C, Poletti E, Treen B. The emerging technique
of the antiptosis subdermal suspension thread. Dermatol Surg
2004;30:41-44

Tumor dan Bedah Kulit 271


F.37. MINIMUM INCISION FACE LIFT

Peringatan : Memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari


Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I Definisi : Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher

I
dengan pembedahan kulit
II Indikasi tindak : Ptosis kulit akibat faktor gravitasi berupa kulit yang kendur
medik pada sisi mandibula dan bawah dagu

SK
III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakah bedah
a. Marking
b. Anestesia tumesen
c. Insisi
d. Undermining
e. Plikasi SMAS
f. Pemotongan kelebihan kulit
g. Penjahitan luka
DO
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1) Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift.
Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel
DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005;
657-672
2) Chipps LK, Moy RM. Facelifts. Dalam: Nouri K (ed):
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-
Blackwell: 2013:233-239.
R
PE

272 Tumor dan Bedah Kulit T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 259


F.38. NON SURGICAL FACE LIFT

I Definisi : Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher


tanpa pembedahan
II Indikasi tindak : Mengencangkan dan menarik kulit muka sehingga kerutan
medik berkurang, serta menghilangkan kulit yang kendur pada sisi

I
mandibula dan bawah dagu

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindak medik

SK
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakan non surgical face lift
Laser untuk pengencangan kulit
Radiofrekuensi
High Intensity Focused Ultrasound
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1. Weiss RA, Weiss MA, Munavalli G. Monopolar radiofrequency


facial tightening: a retrospective analysis of efficacy and safety
DO
inover 600 treatments. J Drug Dermatol 2006 Sep5(8):707-712
2. Alster TS, Tanzi E. Improvement of neck and cheek laxity with
a nonablative radiofrequency device: a lifting experience.
Dermatol Surg 2004;30(4 pt 1):503-507
3. Lauback HJ. Intensed focused ultrasound: evaluation of a new
treatment modality for precise microcoagulation within the skin.
Dermatol Surg 2008;34:727-734
4. Key DJ. Single treatment skin tightening by radiofrequency and
longpulsed 1064 nm Nd:Yag laser compared. Lasers Surg Med
2007;39:169-175
5. Chan HHL. Lasers for skin tightening. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-
Blackwell, 2013:391-395
6. Mayoral FA. Radiofrequency for skin tightening. Dalam: Nouri
R

K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:


Wiley-Blackwell, 2013:396-399
PE

Tumor dan Bedah Kulit 273


T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 260
V Bagan Alur (1) Penderita
Datang dengan keluhan penuaan dini berupa
sagging pada daerah wajah dan leher

I
(A) Edukasi
Berbagai alternatif untuk
mengatasi aging baik operatif

SK
maupun nonoperatif, serta
pencegahan aging yang berlanjut

(2)
Penderita minta untuk facelift
tanpa operasi
DO
1) Radiofrekuensi
2) Laser
3) Ultrasound
4) Benang anti ptosis
R
PE

274 Tumor dan Bedah Kulit


F.39. VITILIGO

I Definisi : Tindakan bedah untuk vitiligo yang telah stabil lebih dari 1
tahun dan usia di atas 12 tahun, Lesi < 3% luas tubuh

II Indikasi tindak : Vitiligo

I
medik

III Penatalaksanaan : 1. Persetujuan tindakan medis

SK
2. Persiapan penderita, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: autologous skin graft dengan menggunakan
biopsi plong, split thickness graft, epidermal blister
graft, cultured melanocyte graft, single hair graft
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV Kepustakaan : 1. Sheth R, Kamat A, Doshi A, Lodaya B. Cosmetic


dermatologic surgery in ethnic skin. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-
DO
Blackwell, 2013: 293-298
2. Avram MR, Tsao S, Tannous Z, Avram MM. Color atlas of
cosmetic dermatology. New York; McGraw-Hill, 2007
3. Savant SS. Miniature punch grafting. Dalam: Savant SS,
Shah R, Gore D [Ed]. Textbook and atlas of dermatosurgery
and cosmetology. Mumbai: ASCAD: 2004;998:235-9
4. Jin SIK BURM, Rhee SC, Kim YW. Superficial dermabrasion
and suction bilister epidermal grafting for postburn
dyspigmentation. Dalam: Asian Skin Dermatologic Surgery,
2007;33:326-32
5. Oiso N, Suzuki T, Kaneda MW, Tanemura A, Tanioka M,
Fujimoto T. Guidelines for the diagnosis and treatment of
vitiligo in Japan. Journal of Dermatology 2013;40:344-354
R

6. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. Dalam
Fitzpattricks dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: Mc Grawhill; 2012:792-803
PE

Tumor dan Bedah Kulit 275


T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 262
V Bagan Alur

(1)
Penderita mengeluh vitiligo

I
A. Edukasi
1. Penjelasan tentang berbagai

SK
hipotesis yang mendukung diagnosis
vitiligo
2. Menjelaskan berbagai metoda
pengobatan
3. Prognosis vitiligo serta pencegahan

(2)
Evaluasi
Haruskah penderita diberikan terapi
nonfarmakologi ?
DO
1. Ya, apabila vitiligo dalam keadaan stabil
minimal 6 bulan pada orang dewasa
2. Dengan topikal kurang berhasil
3. Penderita menghendaki pengobatan
nonfarmakologis

(3A) (3B)
Tandur kulit dengan tehnik Tandur kulit dengan tehnik
punch grafting suction blistering for epidermal
grafting
R

(3C)
Transfer melanosit autologus
melalui epidermal graft
PE

276 Tumor dan Bedah Kulit


I
SK
G
DO
VENEREOLOGI (INFEKSI
MENULAR SEKSUAL)
R
PE

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 277


V e n e r e o l o g i | 264
G.1. INFEKSI GONORE (A54)

I Definisi : Gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang


disebabkan oleh Neisseria gonnorrhoeae suatu kuman
gram negatif, berbentuk biji kopi, letaknya intra atau
ekstra seluler.

I
II Kriteria diagnostik Klinis : Anamnesis adanya coitus suspectus

SK
Anamnesis Gonoroe pada pria:
1. Gatal pada ujung kemaluan
2. Nyeri saat kencing
3. Keluar duh tubuh purulen dari uretra
Anamnesis Gonoroe pada wanita:
1. Keputihan
2. Kadang asimptomatik
Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak
seksual sebelumnya, dan atau gejala komplikasi
lainnya.

Pemeriksaan klinis:
DO
Gonore pada pria:
1. Edema dan eritematus pada orificium
uretradisertai disuria
2. Duh tubuh uretra mukopurulen dengan atau
tanpa massase
3. Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat
menimbulkan duh tubuh anal atau nyeri / rasa
tidak enak di anus / perianal
4. Infeksi pada farings biasanya asimtomatik

Gonoroe pada wanita:


1. Seringkali asimtomatik
R

2. Cerviks eritem, edem, kadang ektropion


3. Duh tubuh endoserviks mukopurulen
4. Kadang dijumpai swab bleeding
5. Dapat disertai nyeri pelvis /perut bagian bawah
6. Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria

Diagnosis banding : Pria:


PE

1. Ureteritis Non Gonoroe


2. Infeksi Saluran Kencing

Wanita:
1. Bacterial Vaginosis
2. Kandidiasis Vulvovaginal
3. Trikomoniasis

V e n e r e o l o g i | 265
278 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
Pemeriksaan penunjang : 1. Pemeriksaan gram dari sekret uretra atau serviks
ditemukan diplokokus Gram negatif di dalam leukosit
polimorfonuclear (DGNI)
2. Kultur menggunakan media selektif Thayer-Martin
dan agar coklat McLeod (jika tersedia)
3. Tes Thomson( Percobaan dua gelas) (jika tersedia)
4. Tes Definitif ( dari hasil kultur yang positif) (jika

I
tersedia)
- Tes Oksidasi
- Tes Fermentasi

SK
- Tes Beta-Laktamase
5. Tes resistensi/sensitivitas: kerjasama dengan
bagian Mikrobiologi.
Untuk kecurigaan infeksi pada faring dan anal dapat
dilakukan pemeriksaan dari bahan duh dengan kultur
Thayer Martin atau PCR terhadap N.gonorrhoeae dan
C.Trachomatis

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan
seksual tetapnya.
DO
Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara
laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya
memakai kondom.
Kunjungan ulang pada hari ke-3 dan hari ke-8.
Konseling: jelaskan mengenai penyakit gonore,
kemungkinan komplikasi, cara penularan, serta
pentingnya pengobatan pasangannya.
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit infeksi menular
seksual (IMS) lainnya
Medikamentosa :
Obat pilihan : Sefiksim 400 mg per oral
R

Obat alternatif :
Levofloksasin# 500 mg per oral dosis tunggal atau
Tiamfenikol 3,5 gram per oral dosis tunggal atau
Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal atau
Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis
tunggal
PE

#
tidak boleh diberikan pada ibu hamil,
menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

Bila sudah terjadi komplikasi seperti bartolinitis,


prostatitis

Obat pilihan : Sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari


Obat alternatif : Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari
atau Tiamfenikol 3,5 gram per oral 5 hari atau

V e n e r e o l o g i |266
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 279
Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari atau
Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari

Komplikasi pada pria : Epididymitis, orchitis, dan


infertilitas. Komplikasi pada wanita : pelvic inflammatory
disease (PID), bartholinitis, infertilitas

I
IV Kepustakaan 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,
Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:

SK
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc Graw-
Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
DO
Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases.
MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual 2011
R
PE

V e n e r e o l o g i |267
280 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
V Bagan alur
Penderita dengan
keluhan duh tubuh uretra
Pasiendengankeluhanduhtubuhuretra
Pasiendengankeluhanduhtubuhuretra
atauvagina atau vagina
atauvagina

I
Dilakukan
Dilakukananamnesisdanpemeriksaanklinis anamnesis dan pemerik
Dilakukananamnesisdanpemeriksaanklinis

SK
Duhtubuhuretraatauvaginadiperiksagramdanbasah
Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa
Duhtubuhuretraatauvaginadiperiksagramdanbasah
Leukositpenuh,ditemukandiplokokusgramnegatif
intrasel,diobatisebagaiGonore
Leuco penuh,ditemukan diplokokus g
intra sel, diobati sebagai Go
Leukositpenuh,ditemukandiplokokusgramnegatif
Kontrol7hari
intrasel,diobatisebagaiGonore
Kontrol 7 hari
Adakahkeluhan
DO
/gejala? Kontrol7hari
Adakah
keluhan /
Gejala?
Tidakada Ada
Adakahkeluhan
/gejala?
Kultur&tesresistensi

idak ada
Obatisesuaihasilresistensi Ada
R

Tidakada Adakahkeluhan
AdaKultur & Tes r
/gejala?

Obati sesuai has


Kultur&tesresistensi
PE

Ada Tidakada
Adakah
Obatisesuaihasilresistensi
Rujuk keluhan
Gejala?

Adakahkeluhan
/gejala?
Ada

Rujuk
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 281
Ada Tidak

Rujuk
G.2. HERPES SIMPLEKS GENITAL (HG) (A60)

I Definisi Penyakit infeksi genital yang disebabkan oleh virus Herpes


simplex (VHS) tipe 2 atau kadang tipe 1,bersifat rekurens. Infeksi
akibat kedua tipe VHS bersifat seumur hidup; virus berdiam di
jaringan saraf, tepatnya di ganglia dorsalis.
Perjalanan infeksi:

I
- HG episode pertama lesi primer
- HG episode pertama lesi non-primer
- HG rekuren

SK
- HG asimtomatik
- HG atipikal

II Kriteria diagnostic
Klinis Diagnosis umumnya cukup secara klinis
HG episode pertama lesi primer
Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar
eritematosa, disertai rasa nyeri.
Pasien lebih sering datang dalam keadaan lesi berupa ulkus
atau berkrusta
Dapat disertai disuria
DO
Dapat disertai duh tubuh vagina atau utera
Dapat disertai keluhan sistemik, demam, sakit kepala, nyeri
otot, nyeri dan pembengkakan inguinal
Keluhan neuropati (retensi urin, konstipati, parestia)
Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari
Berakhir dalam waktu 12-21 hari

HG episode pertama lesi non primer


Umumnya lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan
infeksi primer
Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari
Jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan
R

sistemik, dan neuropati.

HG rekuren
Lesi lebih sedikit dan lebih ringan
Bersifat lokal, unilateral
Berlangsung lebih singkat, dapat menghilang dalam waktu 5
PE

hari
Dapat didahului oleh keluhan parestesia 1-2 hari sebelum
timbul lesi
Umumnya mengenai daerah yang sama di penis, vulva, anus,
atau bokong.
Riwayat pernah berulang

V e n e r e o l o g i | 269
282 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
Terdapat faktor pencetus :
- Stres fisik / psikis
- Senggama berlebihan
- Minuman beralkohol
- Menstruasi
- Kadang kadang sukar ditentukan

I
HG atipikal menyerang kulit seperti H. Whitlow daerah jari,
putting susu bokong dlsbnya.
HG subklinik hanya berupa lesi kemerahan atau erosi yan

SK
ringan kadang2 ada vesikel. Keluhan nyeri radikulopathi.
HG asimtomatik. Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis
antibodi herpes positif
HG superklinik dengan gejala ulkus yang luas dan berlangsung
lama banyak pada penderita imunokompromis.
Diagnosis
banding 1. Infeksi Streptococcus
2. Sifilis
3. Chancroid
4. Lymfogranuloma Venereum
5. Granuloma Inguinale
DO
Pemeriksaan Tzanck test ditemukan multinucleated giant cells
penunjang
Jika tersedia sarana:
Pemeriksaan mikroskop elektron
Kultur jaringan
ELISA
IgM HSV1 & HSV2
IgG HSV1 & HSV2

III Penatalaksanaan HG lesi inisial (primer dan nonprimer)


Nonmedikamentosa :
Abstinensia
Konseling
R

- Kecenderungan berulang
- Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan
pertama setelah infeksi primer), serta potensi
menularkan kepada pasangan seksualnya
- Kemungkinan risiko tertular HIV
Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila
PE

memungkinkan

Medikamentosa :
1. Simtomatik
- Analgesik
- Kompres
2. Antivirus :
- Asiklovir : 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau
- Asiklovir : 3x400 mg/hari selama 7-10 hari atau
- Valasiklovir : 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari, atau

V e n e r e o l o g i |270
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 283
- Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari
3. Kasus berat perlu Rawat Inap di RS :
- Asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7-10 hari

HG rekuren
Medikamentosa :

I
1. Lesi ringan : terapi simtomatik
2. Lesi berat :
Asiklovir 5 x 200 mg/hari, per oral selama 5 hari atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/hari per oral, selama 5 hari

SK
o Asiklovir: 5 x 200 mg, selama 5 hari atau
o Asiklovir: 3 x 400 mg, selama 5 hari atau
o Valasiklovir 2 x 500 mg, selama 5 hari atau
o Famsiklovir 3 x 250 mg/hari selama 5 hari
3. Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih: diberi terapi supresif
- Asiklovir 2 x 400mg/hari atau
- Valasiklovir 1 x 500 mg/hari atau
- Famsiklovir 2 x 250 mg/hari
4. Abstinensia
5. Konseling :
- Kecenderungan berulang
- Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan
DO
pertama setelah infeksi inisial), serta potensi menularkan
kepada pasangan seksualnya
- Kemungkinan risiko tertular HIV
6. Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila
memungkinkan

IV Kepustakaan 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases.
Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke-
6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
R

diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001


4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually
transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
PE

Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

V e n e r e o l o g i |271
284 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
IV Bagan Alur

Pasien dengan
keluhan luka kecil-kecil,
sebelumnya berupa lenting
berisi cairan

I
Dilakukan anamnesis yang cermat, kambuhan,

SK
dan pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar

Bila perlu pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap negatif,


Pewarnaan Giemsa tidak ditemukan Haemophyllus ducreyi
Diobati sebagai HG

Kontrol 7 hari
R DO
PE

Venereologi (Infeksi Menular


V e n eSeksual) 285
r e o l o g i |272
G.3. INFEKSI GENITAL NONSPESIFIK (IGNS)

I Definisi : Infeksi saluran genital yang disebabkan oleh penyebab


nonspesifik. Istilah ini meliputi berbagai keadaan, yaitu
uretritis nonspesifik (UNS), uretritis non-gonore (UNG),
proktitis nonspesifik, dan infeksi genital nonspesifik pada
wanita

I
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Pria :

SK
Duh tubuh uretra spontan, atau diperoleh dengan
pengurutan / massage uretra
Disuria
Bisa Asimtomatik
Wanita :
Duh tubuh vagina
Duh tubuh endoserviks mukopurulen
Ektopia serviks disertai edema, serviks rapuh,
mudah berdarah
Perdarahan antara dua siklus menstruasi
DO
Perdarahan pascakoitus
Disuria, bila mengenai uretra
sebagian besar asimtomatik
Diagnosis banding : Uretritis/servisitis Gonore, Trikomoniasis, Kandidosis
Vulvo- Vaginalis, Vaginosis bakterrial

Pemeriksaan : Bahan dari duh tubuh genital


penunjang Sediaan apus Gram:
Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra selular-
dan ekstraselular,
Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, dan clue
cell
R

Jumlah leukosit PMN >5/LPB (pria) atau >30/LPB


(wanita)

Sediaan basah:
Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis
Untuk menentukan infeksi Chlamydia trachomatis:
PE

bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan cara


EIA (enzyme immunoassay): kerjasama dengan
Bagian Mikrobiologi dan Bagian Parasitologi.
III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
Abstinensia sampai terbukti sembuh secara
laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri
anjurkan memakai kondom.
Kunjungan ulang pada hari ke-8
Konseling: jelaskan mengenai IGNS dan
penyebabnya, kemungkinan komplikasi jangka

V e n e r e o l o g i | 273
286 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
panjang, cara penularan, pentingnya mematuhi
pengobatan, serta pentingnya penanganan
pasangan seksual tetapnya.
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular
HIV
Bila memungkinkan, periksa dan obati

I
pasangannya
Medikamentosa:
Obat pilihan :

SK
Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal

Obat alternatif :
Doksisiklin# 2 X 100 mg/hari,peroral selama 7 hari,
atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari per oral selama 7 hari

#
tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui,
atau anak dibawah 12 tahun

IV Kepustakaan : 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,


Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:
DO
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc Graw-
Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted
R

diseases. MMWR 2011


6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual 2011
PE

V e n e r e o l o g i |274
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 287
V Bagan alur

Pasien
dengan keluhan
duh tubuh uretra
atau vagina

I
SK
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa pewarnaan Gram dan sediaan basah

Leukosit >5/LPB untuk pria, >30/LPB untuk wanita


Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra dan ekstraselular
Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, Trichomonas vaginalis, dan clue cells
Diobati sebagai infeksi genital nonspesifik
DO
Kontrol 7 hari

Adakah
keluhan/
gejala?

Tidak Ada
R

Kultur MO & tes resistensi, PCR bila perlu

Obati sesuai hasil resistensi MO


PE

Ket.:
MO : mikroorganisme

288 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


I
SK
DO
R
PE

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 289


I
SK
R DO
PE

290 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


G.4.G.4. KANDIDOSIS
KANDIDOSIS VULVOVAGINAL
VULVOVAGINAL (KVV)(KVV) (B37.3)
(B37.3)

I Definisi
I Definisi Infeksi
Infeksi pada pada
vulva vulva dan vagina
dan vagina yang yang disebabkan
disebabkan oleh Candida
oleh Candida
albicans,
albicans, atau kadang
atau kadang oleh Candida
oleh Candida sp, Torulopsis
sp, Torulopsis atau ragi
sp,ragi
sp, atau
lainnya
lainnya

I
II Kriteria diagnostik
II Kriteria Keluhan
diagnostik :
Keluhan :
Klinis
Klinis Gatal pada pada
Gatal vulva vulva
Vulva lecet,lecet,
Vulva dapatdapat
timbultimbul
fisura fisura

SK
Dapat terjaditerjadi
Dapat dispareunia
dispareunia
PadaPada
vulvavulva
dan vagina tampak
dan vagina :
tampak :
Eritema
Eritema
Dapat
Dapattimbultimbul
fisurafisura
Edema
Edema jika berat
jika berat
Duh tubuhtubuh
Duh vagina, putih putih
vagina, sepertiseperti
susu, susu,
mungkin bergumpal,
mungkin bergumpal,
tidak tidak
berbau berbau
Jika
mengenai
Jika mengenai genitalia luar dapat
genitalia dijumpai
luar dapat patch patch
dijumpai eritem eritem
dg dg
lesi satelit
lesi satelit
Diagnosis banding Gonore, Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis
Diagnosis banding Gonore, Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis
bakterial
DO
bakterial
Pemeriksaan Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina
Pemeriksaan Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina
penunjang dilakukan pemeriksaan:
penunjang dilakukan pemeriksaan:
Sediaan apus dengan pewarnaan Gram: ditemukan
Sediaan
blastospora dan apus
pseudohifa dengan pewarnaan Gram: ditemukan
blastospora dan pseudohifa
Sediaan basah dengan larutan KOH 10%: ditemukan
Sediaan
pseudohifa dan basah dengan larutan KOH 10%: ditemukan
atau blastospora
Kulturpseudohifa
jamur dan atau blastospora
Kultur jamur
III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa :
III Penatalaksanaan Hindari
Nonmedikamentosa
bahan iritan lokal,: misalnya produk berparfum
Hindari
Hindari bahan
pakaian ketatiritan
ataulokal, misalnya
dari bahan produk berparfum
sintesis
Hindari pakaian
faktor ketat atau dari bahan sintesispemakaian
R

Hilangkan predisposisi: hormonal,


Hilangkan
kortikosteroid faktor yang
dan antibiotik predisposisi:
terlalu lama,hormonal,
kegemukan, pemakaian
dll
kortikosteroid dan antibiotik yang terlalu lama, kegemukan, dll
Medikamentosa :
ObatMedikamentosa
pilihan : :
Obat pilihan
Klotrimazol : vagina 500 mg dosis tunggal atau
kapsul
Klotrimazol
Klotrimazol kapsulkapsul
vaginavagina
200 mg 500 mg dosis
selama 3 haritunggal
atau atau
PE

Klotrimazol kapsulkapsul
Klotrimazol vaginavagina
100 mg selama
200 6 hari atau
mg selama 3 hari atau
Flukonazol kapsulkapsul
Klotrimazol 150 mg per oral
vagina 100dosis tunggal 6atau
mg selama hari atau
Itrakonazol kapsul
Flukonazol 2 x 200
kapsul 150mgmgper oral
per selama
oral dosis 1tunggal
hari atau
atau
Itrakonazol kapsulkapsul
Itrakonazol 1 x 200 2 xmg/hari
200 mgper peroral selama
oral selama 3 hari atau
1 hari atau
Ketokonazol kapsul
Itrakonazol 2 x 200
kapsul mg/hari
1 x 200 per oral
mg/hari per selama 7 hari3 hari atau
oral selama
Catatan:Ketokonazol
Wanita hamil sebaiknya
kapsul 2 x 200tidak diberikan
mg/hari per obat sistemik.7 hari
oral selama
PadaCatatan:
penderitaWanita
denganhamilimunokompeten
sebaiknya tidakjarang terjadi komplikasi,
diberikan obat sistemik.
sedangkan penderitadengan
Pada penderita denganimunokompeten
status imun rendah jaranginfeksi
terjadijamur
komplikasi,
dapatsedangkan
bersifat sistemik.
penderita dengan status imun rendah infeksi jamur
dapat bersifat sistemik.

V e n e r e o l o g i | 278
V e n e Seksual)
Venereologi (Infeksi Menular reologi | 278
291
IV Kepustakaan 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases.
Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012

I
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.

SK
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011
R DO
PE

292 Venereologi (Infeksi Menular Seksual) V e n e r e o l o g i |279


V Bagan alur

Pasien dengan
keluhan duh tubuh
vagina

I
Anamnesis dan pemeriksaan klinis

SK
Duh tubuh vagina diperiksa pewarnaan Gram dan
sediaan basah

PMN >30 untuk wanita


ditemukan pseudohifa atau blastospora
tidak ditemukan Diplococcus gram negatif,Clue cells dan
Trichomonas vaginalis.
obati sebagai Kandidosis vulvovaginalis
DO
Kontrol 7 hari

Adakah
keluhan /
gejala?

Tidak ada Ada


R

Kultur & tes resistensI


dan cari faktor predisposisi
PE

Obati sesuai hasil resistensi

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 293


V e n e r e o l o g i |280
G.5. KONDILOMATA AKUMINATA (KA) (A63.0)

I Definisi Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma


humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan berupa
fibroepitelioma pada kulit dan mukosa

I
II Kriteria diagnostik
Klinis Umumnya cukup secara klinis : terdapat vegetasi atau papul
soliter dapat juga multipel. (bentuk ; akuminata, papul, datar, dan

SK
Giant condyloma Buschke-Lowenstein)

Diagnosis Pearly penile papules, kondiloma lata, karsinoma sel skuamosa


banding

Pemeriksaan Pada lesi yang meragukan dapat dilakukan tes asam asetat ,
penunjang kolposkopi serta pemeriksaan histopatologi.

III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa :


Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan
seksualnya
Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV
DO
Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

Medikamentosa :
Obat pilihan :
1. Tinktura podofilin 10-25%, lindungi kulit sekitar lesi dengan
vaselin agar tidak terjadi iritasi, biarkan selama 1-4 jam,
kemudian cuci. Pemberian obat dilakukan seminggu dua
kali, sampai lesi hilang.
2. Asam Trikloroasetat 50-90%, aplikasikan seminggu sekali.
Respon baik terutama pada wanita hamil.
3. Tindakan bedah: bedah skalpel, listrik,beku dan laser.
R

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
IV Kepustakaan
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted
Diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
PE

diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001


4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

V e n e r e o l o g i | 281
294 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
V Bagan Alur

Pasien dengan keluhan


vegetasi pada genital

I
Anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis

SK
Didiagnosis KA

Acetowhite, kolposkopi atau bila perlu di biopsi

Diobati sebagai KA

Adakah
keluhan /
Gejala?
DO
Tidak ada Ada

Mencari faktor faktor predisposisi


tentang rekurensi
R
PE

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 295


V e n e r e o l o g i |282
G.6. SIFILIS (A53)

I Definisi Penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum.


Sifilis dapat diklasifikasikan atas sifilis didapat dan sifilis
kongenital. Sifilis di dapat terdiri atas stadium primer, sekunder,
dan tersier, dan periode laten di antara stadium sekunder dan
tersier

I
II Kriteria diagnostik
Klinis STADIUM I :

SK
Klinis : ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapat
indurasi, tidak nyeri; terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional
STADIUM II :
Klinis : terdapat lesi kulit yang polimorfi, tidak gatal dan lesi di
mukosa, disertai pembesaran kelenjar getah bening
generalisata
STADIUM II laten :
Klinis : tidak didapatkan lesi di genital atau kulit, hanya
ditemukan
tes serologi sifilis (TSS) yang reaktif
DO
STADIUM III
Klinis : didapatkan gumma, yaitu infiltrat sirkumskrip kronis yang
cenderung mengalami perlunakan dan bersifat destruktif. Dapat
mengenai kulit, mukosa dan tulang.
Diagnosis banding 1. S I : herpes simpleks, ulkus piogenik, skabies, balanitis, LGV,
karsinoma sel skuamosa, penyakit Behcet, ulkus mole
2. S II : erupsi obat alergik, morbili, pitiriasis rosea, psoriasis,
dermatitis seboroik, kondilomata akuminata, alopesia areata
3. S III : sporotrikosis, aktinomikosis, tuberkulosis kutis gumosa,
keganasan
Pemeriksaan STADIUM I :
penunjang Laboratorium
tes serologi sifilis : dapat (+) atau (-)
R

pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan Burry (+) atau (-)

STADIUM II :
Laboratorium :
pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap dan Burry
(+) / (-)
PE

tes serologi sifilis : RPR (++); VDRL (+); TPHA (+) titer tinggi

STADIUM II LATEN :
Laboratorium : TSS (+), tetapi tidak ada gejala klinis
III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa :
Penanganan pasangan seksual sedapat mungkin dilakukan
Konseling :
- Tentang penyakit sifilis dan penularannya, cara
pencegahan, pengobatan
- Kemungkinan risiko tertular HIV

V e n e r e o l o g i | 283
296 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
Medikamentosa :
1. Obat pilihan
Benzatin penisilin G dengan dosis bergantung pada
stadium,
Stadium dini: stadium I, II & laten < 2 tahun : 2,4 juta
unit

I
Stadium lanjut: stadium laten > 2 tahun & III : 7,2 juta
unit (injeksi intramuskuler, 2,4 juta unit/kali dengan interval
1 minggu)

SK
2. Obat alternatif :
Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari atau
Eritromisin 4 x 500 mg/hari atau
Doksisiklin 2 x 100 mg/hari
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau >30 hari
(stadium lanjut)

Evaluasi TSS (VDRL) :


1 bulan sesudah pengobatan selesai, ulangi TSS :
a. titer : tidak diberi pengobatan lagi
b. titer : pengobatan ulang
DO
c. titer tetap : tunggu 1 bulan lagi
1 bulan sesudah c :
Titer : tidak diberi pengobatan
Titer atau tetap : pengobatan ulang

Pemantauan TSS : pada bulan ke I, II, III, VI dan XII dan setiap
6 bulan pada tahun ke-2

IV Kepustakaan 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE,
Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted
Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt
R

SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.


Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
PE

5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for


treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

V e n e r e o l o g i |284
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 297
V Bagan Alur
Pasien dengan
keluhan ulkus di genital,
soliter, tidak nyeri

Dilakukan anamnesis yang cermat, dan

I
pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar getah bening

SK
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
(pergerakan Treponema pallidum positif)
pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL

Obati sebagai Sifilis stadium I

Kontrol 1 bulan

Tes Laboratorium ulang TSS


DO
Adakah
kenaikan
titer TSS

Tidak ada Ada

Terapi ulang
R
PE

V e n e r e o l o g i |285

298 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


G.7. TRIKOMONIASIS (A59.0)

I Definisi : Penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berflagel


Trichomonas vaginalis
II Kriteria diagnostik :

I
Klinis : Keluhan:
Wanita :

SK
10 50% asimtomatik
Duh tubuh vagina berbau busuk, jumlahnya sedikit
sampai banyak, encer, berwarna kuning kehijauan,
berbusa, dapat terjadi pada 10-30% wanita, dapat
disertai gatal pada vulva
Kadang terdapat rasa tidak enak di perut bagian bawah
Vulvitis dan vaginitis
Gambaran serviks strawberry dapat ditemukan pada
2% pasien

Pria:
15 50% asimtomatik, biasanya sebagai pasangan
DO
seksual wanita yang terinfeksi
Duh tubuh uretra sedikit atau sedang, dan/atau
disuria, dapat juga iritasi uretra dan sering miksi
jarang: duh tubuh uretra purulen

Diagnosis banding : Infeksi genital nonspesifik, uretritis gonore, kandidosis


vulvo-vaginalis, vaginosis bakterial
Pemeriksaan : Wanita:
penunjang Bahan duh tubuh yang berasal forniks posterior
dilakukan pemeriksaan sediaan basah dengan larutan
NaCL fisiologis: didapati parasit Trichomonas vaginalis
R

dengan pergerakan flagelanya yang khas


Pria:
Bahan sedimen urin sewaktu: dapat ditemukan
parasit Trichomonas vaginalis
III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
PE

Abstinensia sampai dinyatakan sembuh


Konseling: mengenai trikomoniasis, cara penularan,
pentingnya mematuhi pengobatan, dan pentingnya
penanganan pasangan
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular
HIV
Kunjungan ulang pada hari ke-8
Bila mungkin periksa dan obati pasangannya

V e n e r e o l o g i | 286
Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 299
Medikamentosa:

- Obat pilihan
1. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal
atau
2. Tinidazol 2 gram per oral dosis tunggal
- Obat alternatif

I
Metronidazol 2x400 atau 500 mg/hari per oral
selama 7 hari atau Tinidazol 2x500 mg/hari per
oral selama 7 hari

SK
- Bila mungkin periksa dan obati pasangannya
Catatan:
Pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol
selama pengobatan berlangsung sampai 48 jam
sesudahnya untuk menghindari disulfiram-like reaction

IV Kepustakaan : 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,


Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
DO
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-
Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted
diseases. MMWR 2011
6. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit
menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI. 2005.
R

7. Anonim. Pedoman tatalaksana infeksi menular seksual.


Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.2006.
PE

V e n e r e o l o g i |287
300 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
V Bagan Alur

Pasien dengan
keluhan duh

I
tubuh uretra
atau vagina

SK
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa gram dan basah

Leuco >5 untuk pria,>30 untuk wanita


Ditemukan Trichomonas vaginalis ,tidak ditemukan diplococcus
DO
gram negatip,blastospora, psedohifa dan clue cells
diobati sebagai Trikomoniasis
R
PE

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 301


G.8.. ULKUS MOLE (A57)

I Definisi Penyakit ulkus genital yang disebabkan oleh Haemophyllus


ducreyi

II Kriteria diagnostik

I
Klinis Umumnya cukup secara klinis : terdapat ulkus multipel, tepi tidak
teratur, dinding bergaung, dasar kotor, sangat nyeri

SK
Diagnosis Herpes genitalis, Sifilis stadium I, LGV, Granuloma inguinale
banding
Pemeriksaan Sediaan apus dari dasar ulkus dan diwarnai dengan pewarnaan
penunjang Gram atau Unna Pappenheim, ditemukan basil negatif Gram
yang berderet seperti rantai

Catatan :
Pemeriksaan laboratorium ini dapat mendukung diagnosis, tetapi
bila klinis jelas, dan laboratorium (-), tetap dianggap sebagai ulkus
mole

III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa :


DO
Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan
seksualnya
Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV
Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

Medikamentosa :
Obat pilihan :
Siprofloksasin 2 x 500 mg per oral selama 3 hari atau
Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal atau
Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 7 hari atau
Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
R

IV Kepustakaan Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted


Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt
SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
PE

diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001


4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

V e n e r e o l o g i | 289
302 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)
V Bagan Alur

Pasien dengan
Ulkus genital, multiple,
sangat nyeri, terdapat
tanda-tanda radang akut

I
Dilakukan anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis

SK
Pemeriksaan Gram : Haemophyllus ducreyi positif
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap Treponema pallidum negatif
pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL non reaktif

Obati sebagai Ulkus mole

Kontrol 7 hari
R DO
PE

V e n e r e o l o g i | 290

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 303


G.9. VAGINOSIS BAKTERIAL (N76)

I Definisi : Sindrom klinis yang disebabkan oleh pergantian


Lactobaccillus sp penghasil H2O2 yang normal di dalam
vagina dengan sekelompok bakteri anaerob batang gram
negatif (Prevotella sp, Mobiluncus sp) Gardnerella

I
vaginalis dan Mycoplasma horminis
II Kriteria diagnostik :

SK
Klinis : Duh tubuh vagina warna putih homogen, melekat
pada dinding vagina dan vestibulum, kadang-kadang
disertai rasa gatal.
Vagina tidak inflamatif
Cerviks tidak inflamatif
Terciumnya bau amis seperti ikan pada duh tubuh
vagina yang ditetesi dengan larutan KOH 10% (tes
amin/ Whiff test)
pH cairan vagina >4,5
50% wanita asimtomatik

Diagnosis banding : Infeksi genital nonspesifik, uretritis/servisitis gonore,


DO
Trikomoniasis, Kandidosis vulvo-vaginalis

Pemeriksaan : Bahan duh tubuh vagina, dilakukan pemeriksaan


penunjang Sediaan apus dengan pewarnaan Gram : ditemukan
clue cells atau
Sediaan basah dengan larutan NaCI fisiologis :
ditemukan clue cells

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :


Pasien dianjurkan untuk menghindari pemakaian
vaginal douching atau antiseptik
Komunikasi, informasi dan edukasi
R

Medikamentosa :
1. Obat pilihan :
Metronidazol 2 x 500 mg/hari selama 7 hari atau
Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal
2. Obat alternatif :
Klindamisin 2 x 300 mg/hari per oral selama 7
PE

hari

IV Kepustakaan 1. Holmes King K, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM. Stam
WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam : Sexually
Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York : MC Graw
Hill. 2008.
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012

V e n e r e o l o g i | 291

304 Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc Graw-Hill.
2003.
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines
on sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases.

I
MMWR 2011
6. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit
menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
2005.

SK
Pasien dengan
keluhan duh tubuh
V Bagan Alur vagina
DO
Anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh vagina diperiksa dengan pewarnaan


Gram dan sediaan basah

PMN >30
Ditemukan Clue cells
tidak ditemukan diplococcus gram negatif, blastospora,
pseudohifa dan Trichomonas vaginalis.
R

obati sebagai Vaginosis bakterial

Kontrol 7 hari
PE

V e n e r e o l o g i |292

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 305


I
SK
DO
H
KEGAWATDARURATAN
DERMATOLOGI
R
PE

306 Kegawatdaruratan Dermatologi


Kegawatdaruratan D e r m a t o l o g i | 293
H.1. ANGIOEDEMA (T78.3)

I Definisi : Kondisi ditandai edema mendadak pada dermis


bagian dalam dan jaringan subkutan atau membran
mukosa, disertai nyeri atau rasa terbakar (bukan
gatal), menyerang hampir seluruh bagian tubuh dapat

I
terlibat.
Lokasi yang sering terkena adalah kelopak mata,

SK
bibir, lidah, laring, faring, traktus gastrointestinal, dan
genitalia

Patogenesis dan Angioedema disebabkan peningkatan cepat


klasifikasi permeabilitas kapiler submukosa atau subkutan dan
venula postcapillary disertai ekstravasasi plasma
lokalisata. Klasifikasi:
1) Alergik
2) Terkait obat (ACE inhibitor, NSAID, salisilat)
3) C1 inhibitory deficiency (HAE, AAE)
4) Idiopatik
DO
5)Penyebab lain
Faktor penyebab angioedema harus selalu dicari,
meskipun pada sebagian besar pasien adalah
idiopatik.

Patofisiologi
Angioedema yang diperantarai histamin
Histamin yang berlebihan menyebabkan
peningkatan aliran darah, permeabilitas endotelial
dan edema yang bermanifes sebagai
angioedema, urtikaria, dan pada kasus berat:
anafilaksis. Pada reaksi yang diperantarai IgE,
R

ikatan alergen menghasilkan cross-linking IgE-sel


mast yang menyebabkan degradasi sel mast
serta pelepasan histamin dan mediator lain,
misalnya triptase.
Angioedema yang diperantarai bradikinin
Bradikinin (BK) memainkan peranan fisiologis
PE

pada kontrol tonus vaskular. BK terikat pada


reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK-
1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan
reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan
pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P
dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke
dalam ruang interstisial.
Mekanisme lain

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 294

Kegawatdaruratan Dermatologi 307


reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK-
1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan
reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan
pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P
dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke
dalam ruang interstisial.
Leukotrien lain
Mekanisme yang berlebihan karena inhibisi
produksi prostaglandin (terutama PGE) oleh
K e g a watau
salisilat a t d aobat
r u r aNSAID
t a n D dapat
e r m a tmenyebabkan
o l o g i |294
angioedema. Penyebab jarang misalnya komponen

kompemen vasoaktif, misalnya pada vaskulitis
urtikarial hipokomplemen.

I
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Edema non-pitting, eritematosa atau sewarna kulit
dengan batas tidak tegas.

SK
Anamnesis detil untuk menemukan kausa yang
mendasari/dicurigai
Gejala yang dirasakan: kesulitan menelan atau
bernafas, gejala sistemik, dan kemungkinan faktor
yang memicu dan memperparah.
Kecepatan onset
Kaitan dengan ada/tidaknya urtikaria
Tempat angioedema: fasial/perifer/nyeri abdominal
Faktor pencetus
o Obat (misal ACE inhibitor, aspirin, NSAID lain)
o Paparan pekerjaan (sensitifitas lateks)
DO
o Reaksi sengatan serangga
o Penyakit hipersensitifitas fisik (urtikaria dingin
yang dapat bermanifes sebagai angioedema
regional atau generalisata setelah paparan
dingin)
o Angioedema yang diinduksi oleh exercise,
dengan atau tanpa anafilaksis
o Sensitifitas yang diperantarai tekanan
(pressure-mediated sensitifity) yang dapat
menyebabkan angioedema pada telapak kaki
setelah berjalan atau berlari,
o Hipersensitifitas terhadap makanan.
Riwayat serangan
R

Usia pertama kali menderita


Respon terhadap terapi (antihistamin/ steroid/
epinefrin)
Riwayat obat
Riwayat keluarga
Gambaran lain untuk dugaan angioedema yang
PE

jarang: penyakit jaringan konektif atau gejala penyakit


limfoproliferatif

Diagnosis banding : Selulitis fasial


Penyakit sistemik: overload cairan, sindrom
permeabilitas sistemik kapiler
Obstruksi venosa (misal edema fasial yang
disebabkan oleh sindrom vena cava superior)
Dermatitis kontak

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |295

308 Kegawatdaruratan Dermatologi


Serum sickness
Obstruksi kelenjar parotid
Infeksi (viral, parasit)
Myxedema
Penyakit inflamatori kronik yang disebabkan
autoimun seperti dermatomiositis, keganasan,
limfedema, granulomatosis kronik dan atau penyakit

I
infiltratif seperti sarkoidosis, amiloidosis, dan
angioedema granulomatosa pada bibir dan area
perioral (misal sindrom Melkersson-Rosenthal)

SK
Pemeriksaan : Tes laboratorium yang relevan bergantung pada
penunjang penyebab yang mendasari/dicurigai berdasar
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tes skrining yang terdiri dari hitung darah lengkap,
analisis KED, urinalisis, uji fungsi hati.
Bila dicurigai anafilaksis, harus dilakukan pengu-
kuran serial serum triptase sel mast (Triptase
mempunyai waktu paruh 4 jam, peningkatan kadar
pada 1 dan 4 jam setelah reaksi, dan kembali ke
nilai normal setelah 24 jam, akan mendukung
DO
diagnosis anafilaksis).
Tes tusuk atau IgE spesifik antibodi apabila
diindikasikan

III Penatalaksanaan : Prinsip:


1. Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
karena dapat terjadi obstruksi saluran napas.
Dapat dilakukan bersama-sama dengan / atau
dikonsulkan spesialis THT
2. Mencari kemungkinan penyebab urtikaria.

Eliminasi/hindari faktor penyebab yang dicurigai


R

(misal obat, lateks,makanan, dingin, dll), namun


apabila penyebab yang mendasari tidak diketahui,
terapi dilakukan berdasarkan gejala.
Angioedema disertai obstruksi saluran napas
segera dikonsulkan ke Spesialis THT, dengan
terlebih dahulu diatasi keadaan darurat di Unit
PE

Gawat Darurat
Epinefrin atau adrenalin dosis 0,01 ml/ kgBB/ kali
subkutan ( maksimal 0,3 ml )
Angioedema pada wajah atau lidah dapat diterapi
dengan 60 mg prednison, dan 40 mg diberikan
pada hari berikutnya; terapi kemudian dapat
dihentikan atau skedul dosis selang sehari.
Untuk pasien dengan angioedema berat (melibatkan
edema wajah, lidah, dan faring), diphenhydramine
efektif diberikan
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |296

Kegawatdaruratan Dermatologi 309


Pada pasien dengan angioedema berulang yang
bermanifes sebagai anafilaksis sebaiknya selalu
membawa kit epinefrin emergensi.

IV Kepustakaan : 1. Kanokvalai K, Jiamton S, Boochangkool K, et al.


Angioedema: Clinical and etiological aspects. Clin Dev

I
Immunol 2007: 26438. doi: 10.1155/2007/26438
2. Kaplan A. Angioedema. WAO Journal 2008;103:103-
13.

SK
3. Kaplan A. Chronic urticaria and angioedema. N Engl J
Med. 2002; 346: 1759.
Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Canonica
GW, Church MK, et al; Dermatology Section of the
European Academy of Allergology and Clinical
Immunology; Global Allergy and Asthma European
Net- work; European Dermatology Forum; World
Allergy Organization. EAACI/GA(2)LEN/EDF/WAO
guideline: definition, classification and diagnosis of
urticaria. Allergy. 2009;64:14171426
DO

R
PE

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |297

310 Kegawatdaruratan Dermatologi


Bagan Alur Bagan alur

Pasiendenganlesidan/atauriwayatkonsisten
denganurtikariakronikdan/atauangioedema

Ya

I
Tidak Apakahpasien Evaluasiuntuk
hanyamenderita angioedema
angioedema?

SK
Apakahlesiurtikariasecara
morfologisesuaidengan
vaskulitisurtikariadan Apakahevaluasi
apakahmenetap>24jam? menemukankausa
yangmendasari?

Tidak
Ya
Evaluasi untuk vaskulitis:
Tidak
Pertimbangkan Ya Tatalaksana
spesifik
KED o Riwayat lengkap
Complement assays termasuk review sistem
biopsi Okupasional
Sengatan, gigitan
serangga
Pengobatan
Makanan
Infeksi
DO
Sensitifitas fisik
o Pemeriksaan fisik
Tidak o Pertimbangkan tes
Apakah pasien laboratorium dasar: CBC,
mempunyai UA, ESR, LFT
vaskulitis o Pertimbangkan tes yang
urtikaria? sesuai berdasar riwayat,
PE, ROS

Ya
Apakahriwayat,pemeriksaan
Tatalaksana
fisik,dan/ataulaboratoris
vaskulitis
mengindikasikanpenyebab
yangmendasari?

Ya Tidak

Tatalaksana spesifik Evaluasi yang lebih detil:


R

Hilangkan faktor yang Riwayat tambahan


mungkin memperparah Pemeriksaan fisik tambahan
atau menginduksi Kegawat ddan/atau
aruratanDermato l o g i |298
urtikaria/angioedem Tes laboratorium tambahan
Tatalaksana farmakologik Pertimbangkan biopsi kulit
spesifik
PE

Apakahevaluasi
tambahanakan
menentukanpenyebab?

Ya
Tidak

Tatalaksana spesifik
Hilangkan faktor yang Tatalaksana pasien
mungkin memperparah dengan urtikaria idiopatik
atau menginduksi dan/atau angioedem
urtikaria/angioedem
Tatalaksana farmakologik
spesifik

Kegawatdaruratan Dermatologi 311


Gb. Algoritme diagnostik untuk pasien dengan angioedema rekuren
Angioedemarekurentanpaurtikaria

Carikemungkinanfaktorpenyebab
(pertimbangkananafilaksisatipikaldan

I
obatmisalinhibitorACE)

SK
Ya Tidak

Singkirkanfaktorpenyebab SkrininguntukhereiditaryAE(HAE)atau
AEdidapat(AAE)

Angioedema Angioedema DisingkirkanHAE DiagnosisHAE


membaik menetap atauAAE atauAAE
DO
Pertimbangkan
danskrininguntuk
Tatalaksanayang
Ya penyebab
sesuai
angioedemjarang
atauangioedem
mimics

Tidak

Angioedema
R

idiopatik

Terapidengan
antihistamin
PE

Angioedem
histaminergik
idiopatik Respon Tanpa
baik respon

Angioedemnon
histaminergik Respon Terapidengan
idiopatik baik asamtraneksamik

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |300

312 Kegawatdaruratan Dermatologi


H.2.NEKROLISIS EPIDERMAL (L51.1-L51.3)

I Definisi : Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-


Johnson (SSJ) dan Epidermal Nekrolisis Toksik (NET),
adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa,
ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis

I
ekstensif. SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan
kulit dan membran mukosa, dan karena kesamaan
temuan klinis dan histopatologis, kedua kondisi ini

SK
digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang
serupa, yang hanya berbeda pada keparahan area
permukaan kulit yang terkena.
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Faktor etiologi terpenting adalah penggunaan obat.
Anamnesa riwayat menggunakan obat secara
sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara
pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian
obat, pengaruh pajanan matahari) atau kontak obat
pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus).
Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu
pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa
DO
saat atau jam atau hari.
Beberapa faktor pencetus lain adalah infeksi
(Mycoplasma pneumoniae, virus, imunisasi), dan
telah dilaporkan kejadian nekrolisis epidermal setelah
transplantasi sumsum tulang belakang.
Kelainan kulit antara lain: eritema, vesikel, papul,
erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman, kadang
purpura. Menurut total area lepasnya epidermis,
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: SSJ (<10%),
tumpang tindih SSJ/ NET (10-30%), dan NET
(>30% area tubuh).
Kelainan mukosa (hampir selalu, setidaknya pada
dua situs): dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri
R

pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata


seperti konjungtivitis kataralis, purulenta, atau dapat
menjadi ulkus. Kelainan mukosa oral seperti erosi
hemoragis nyeri yang tertutup pseudomembran
putih keabuan dan krusta. Kelainan genital seperti
erosi, dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
PE

Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan


kelemahan, keterlibatan organ dalam seperti
komplikasi pulmonar yang bermanifestasi sebagai
peningkatan kecepatan nafas dan batuk, komplikasi
digestif seperti diare profus, malabsorbsi, melena,
perforasi kolon.

Diagnosis banding : 1. Eritema multiforme minor (EEM)


2. Varisela
3. Pustulosis Exanthematus Generalisata Akuta
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |301

Kegawatdaruratan Dermatologi 313


4. Generalized Bullous Fixed Drug Eruption
5. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
6. Purpura fulminans

Pemeriksaan : 1. Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologik:


penunjang perhatikan letak lepuh: degenerasi hidropik di lapisan
basal celah di subepidermal, infiltrat mononuklear di

I
sekitar pembuluh darah.
2. Periksa keseimbangan cairan dan elektrolit (K+, Na+,
CL-)

SK
Diagnosis kausatif dilakukan setelah sembuh minimal 6
pekan setelah lesi kulit hilang dengan:
A Uji kulit:
Uji tempel tertutup,
Uji tusuk bila uji tempel negatif
B Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif

III Penatalaksanaan : Medikamentosa:


Prinsip:
Hentikan obat
Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat
untuk life saving. Terapi cairan dan elektrolit bila
DO
diperlukan.
Berikan obat antialergi yang paling aman dan
sesuai (contoh: kortikosteroid, siklosporin A).
Penatalaksanaan sesuai SCORTEN (paling baik
dilakukan pada hari ke-3).

1. Topikal:
- Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti
prinsip dermatoterapi)
- Pada mata sesuai anjuran konsultan Dokter Spesialis
Mata.
- Lesi di mulut dan bibir: steroid dalam vaselin atau
boraks-gliserin.
R

2. Sistemik:
- Hentikan obat yang dicurigai.
- Atasi keadaan umum terutama kondisi vital: berikan
infus sesuai kondisi
- Deksametason intravena 0,15-0,2 mg/kgBB/hari
dapat sampai 4-6 x 5 mg/hari, setelah masa kritis
diatasi (2-3 hari) dosis segera diturunan cepat (5
PE

mg/hari), setelah dosis rendah, bisa diganti peroral


(prednison 2x20 mg/hari)
- Antibiotik (yang jarang menyebabkan alergi),
spektrum luas, tidak nefrotoksik, dan bersifat
bakterisidal: gentamisin 2x80 mg atau klindamisin 2 x
600 mg intravena.
- Diet rendah garam dan tinggi protein
- Bila kalium turun, berikan KCl 3 x 500 mg/hari
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |302

314 Kegawatdaruratan Dermatologi


- Bila ada ketidakseimbangan cairan, berikan infus
larutan Darrow dan glukosa 5% atau sesuai anjuran
Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
- Bila ada pneumonia atau bronkopneumonia terapi
antibiotik sesuai anjuran Dokter Spesialis Paru.
Nonmedikamentosa :
Penjelasan mengenai kondisi pasien dan diminta

I
menghentikan obat tersangka penyebab.
Bila pasien sembuh: berikan kartu alergi, yang
berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi,

SK
kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas
kesehatan setiapkali berobat.
Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindari
(obat dengan rumus kimia yang sama).
Tindak lanjut:
: Pasien rawat inap: kontrol setiap hari, pantau
keadaan umum, kelainan kulit, orifisium, dan mata.
Setelah rawat inap, kontrol setiap pekan: perhatikan
kemajuan penyakit dan penurunan dosis obat, sampai
obat dihentikan.
Kartu alergi selalu dibawa.
DO
Sepsis
Komplikasi Kegagalan organ dalam
Kematian

IV Kepustakaan : 1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-


Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis).
Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller
A, Leffel D, editors. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012; 439-
448
2. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and
Steven-Johnson syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;
5:39
3. Magana BRD, Langner AL, et al. A systematic review of
R

treatment of drug-induced Steven-Johnson syndrome


and toxic epidermal necrolysis in children. J Popul Ther
Clin Pharmacol. 2011; 18(1): e121-e133.
PE

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |303

Kegawatdaruratan Dermatologi 315


V Bagan Alur

Riwayat menggunakan obat secara sistemik


atau kontak pada kulit terbuka

I
Gejala prodromal nonspesifik: Kelainan kulit: Kelainan mukosa: Pemeriksaan
1-14 hari (demam, malaise, Eritema, vesikel, papul, Mata, orifisium laboratorium: darah,
sakit kepala, rhinitis, batuk, erosi, ekskoriasi, krusta mulut, anogenital elektrolit, albumin, fungsi
nyeri menelan, nyeri dada, kehitaman, purpura. liver

SK
munth, diare, mialgia, dan Epidermolisis: Tzanck test
atralgia (+) (terutama TEN)

Body surface area (BSA)

< 10 % 10 30 % > 30 %

SSJ SSJ/TEN TEN

SCORTEN SCORE
DO
0 atau 1 >1

Ruang perawatan non-intensif Ruang perawatan intensif

Identifikasi & eliminasi agen Terapi aktif: Langkah-langkah suportif:


penyebab: - Kortikosteroid sistemik (IV/oral) Kulit:
- Menghentikan obat yang diduga - Intravenous Immunoglobulin - Erosi ditutup dengan kasa dan
sebagai penyebab (IVIG) hydrocolloid dressing
- Mengontrol infeksi - Keseimbangan hemodinamik, Mata:
protein, & elektrolit periksa - Lubrikan
kadar elektrolit serum - Steroid dan antibiotik tetes mata
- Antibiotik (yang jarang - Melepaskan adhesive lidglobe
R

menyebabkan alergi) secara perlahan


Saluran pernapasan:
- Postural drainage
SCORTEN: Sistem scoring prognostik Saluran pencernaan:
pada pasien epidermal nekrolisis - tinggi kalori, tinggi protein
Faktor-faktor Angka - IVFD
Prognostic
Usia > 40 tahun 1
PE

Denyut jantung >120 x/menit 1 SCORTEN Angka Mortalitas (%)


Keganasan (+ kanker darah) 1 0-1 3,2
Luas permukaan tubuh terkena >10 1 2 12,1
Kadar ureum serum >10 mM 1 3 35,8
Kadar bikarbonat serum <20 mM 1 4 58,3
Kadar glukosa serum >14 mM 1 5 90

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |304

316 Kegawatdaruratan Dermatologi


H.3.SINDROM DRESS (Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms) (T88.7)
I Definisi : Sindrom DRESS merupakan kumpulan gejala dan tanda
reaksi obat idiosinkratik berat pada pemberian obat
dalam dosis terapi, yang secara khas ditandai oleh:
1) Demam
2) Erupsi kulit

I
3) Abnormalitas hematologi (eosinofilia > 1500/L, atau
kelainan hematologi lain misal lekositosis, limfositosis,
atau limfosit atipik

SK
4) Keterlibatan sistemik (limfadenopati > 2cm, hepatitis
sitolitik dengan AST > 2x normal, nefritis intersitial,
pneumonia interstitial, atau miokarditis)

Sindrom ini terjadi secara akut dalam 2-8 pekan


pemakaian obat penyebab. Obat yang pernah dilaporkan
sebagai penyebab adalah: anti-konvulsan (karbamazapin,
fenobarbital, fenitoin, primidon, lamotrigin, asam valproat,
etoksuksimid), antiretroviral (indinavir, nevirapin),
alopurinol, siklosporin, kaptopril, diltiazem, preparat
emas, meksiletin, sorbinil, terbinafin, zalcitabin, minisiklin,
nitrofurantoin, golongan sulfon dan sulfonamid.
DO
II Kriteria diagnostik :
Klinis : Keadaan umum buruk
Demam dapat terjadi 2-3 hari sebelum atau
bersamaan dengan munculnya erupsi kulit.
Demam berkisar antara 38-39C, sering disertai
mialgia, arthralgia, faringitis, dan limfadenopati.
Erupsi kulit bervariasi dapat berupa erupsi obat
makulopapular, vesikobulosa, eritroderma, maupun
dermatitis eksfoliatifa.
Sering dijumpai edema pada wajah.
R

Keterlibatan mukosa jarang terjadi, biasanya


berupa stomatitis atau faringitis ringan.

Diagnosis banding : 1. Sindrom Stevens-Johnson


2. Dermatitis eksfoliatifa
PE

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 305

Kegawatdaruratan Dermatologi 317


Pemeriksaan : Pemeriksaan darah dan urin rutin; SGOT, SGPT,
penunjang eosinofil darah tepi.
Pemeriksaan HbSAg, antibodi anti virus Hepatitis-
A serta anti Hepatitis-C untuk menyingkirkan
infeksi virus sebagai penyebab hepatitis.
Pemeriksaan serum AFP dan CEA yang

I
dikonfirmasi pemeriksaan USG abdomen untuk
menyingkirkan hepatitis akibat keganasan primer
atau metastatik.

SK
Tes tempel untuk penegakan diagnosis kausatif
obat penyebab, sebaiknya dilakukan dalam waktu
6 pekan - 6 bulan sesudah pasien sembuh, atau
satu bulan bebas glukokortikoid sistemik kerja
lama atau obat imunosupresif lain, atau satu pekan
bebas glukokortikoid kerja singkat, atau dua pekan
bebas steroid topikal pada tempat yang akan
diperiksa.

III Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa :


Menghentikan segera obat yang dicurigai sebagai
DO
penyebab.
Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga
mengenai penyakit, terapi, serta prognosis.

Medikamentosa:
Prinsip:
Mengatasi keadaan umum yang buruk
Penatalaksanaan multidisiplin
Balans cairan dan elektrolit

Terapi sistemik:
Prednison 0,5 2 mg/kgBB selama 1-8 pekan dan
R

diturunkan berkala selama 6-8 pekan atau steroid


sistemik setara prednison 1-2 mg/kgBB
Bila keadaan klinis berat, steroid sistemik dapat
diberikan dalam dosis denyut yang besar
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(1,5gr MP i.v. selama 3 hari dilanjutkan dengan 30
PE

mg/hari sampai kondisi pasien membaik)


Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya
diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi
sekunder.
Bila demam dapat diberikan antipiretik, namun harus
hati-hati tentang kemungkinan obat penyebab.
Komplikasi Dehidrasi
Sepsis

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |306

318 Kegawatdaruratan Dermatologi


IV Kepustakaan : 1. Nam YH, Park MR, Nam HJ, et al. Drug reaction
with eosinophilia and systemic symptoms syndrome
is not uncommon and shows better clinical outcome
than generally recognised. Allergol Immunopathol
(Madr). 2014 doi: 10.1016/j.aller.2013.08.003. [Epub
ahead of print]
2. Criado PR, Avancini J, Santi CG, et al. Drug

I
reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS): A complex interaction of drugs, viruses
and the immune system. Isr Med Assoc J. 2012; 14:

SK
577-82.
3. Sullivan JR, Shear NH. The drug hypersensitivity
syndrome: What is the pathogenesis? Arch
Dermatol 2001; 137: 357-64.
4. Brockow K, Romano A, Bianca M, et al. General
considerations for skin test procedures in the
diagnosis of druh hypersensitivity. Allergy 2002; 57:
45-51.

R DO
PE

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |307

Kegawatdaruratan Dermatologi 319


I
SK
DO
TINDAKAN BEDAH
LAMPIRAN
R
PE

320 Lampiran
Lampiran 1

UJI TEMPEL

Batasan
Uji tempel adalah suatu uji kulit yang dilakukan secara in vivo guna memastikan

I
penyebab/ alergen yang diduga menjadi penyebab dermatitis kontak alergika (DKA).
Mekanisme terjadinya DKA diperantarai oleh hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity) terhadap bahan kimia atau bahan lain yang berkontak langsung dengan

SK
kulit, misalnya yang dioleskan ke kulit, atau yang terpapar pada kulit pasien, di rumah atau
di tempat kerja. Uji tempel dengan Finn chamber merupakan uji tempel yang paling sering
digunakan. Selama dilakukan uji tempel, penderita ditempeli alergen yang diduga sebagai
penyebab dalam konsentrasi tertentu, dan dilakukan sesuai prosedur baku. Pengambilan
keputusan alergen penyebab didasarkan atas analisis hasil pembacaan dan interpretasi
hasil

Patofisiologi respons kulit pada DKA


DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terdiri dari 2 fase yaitu fase
sensitisasi dan elisitasi.

Fase Sensitisasi
DO
Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah, larut
lemak dan memiliki reaktivitas tinggi. Pada saat kontak pertama alergen dengan kulit akan
dikenal dan direspons oleh limfosit yang disebut sebagai fase sensitisasi dimana pada
fase ini hapten yang merupakan alergen yang belum diproses, bila dipaparkan pada
stratum korneum, berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh
sel Langerhans melalui proses pinositosis. Di dalam sel setelah hapten dicerna oleh enzim
sitosolik menjadi antigen lengkap dan diekspresikan pada permukaan sel Langerhans.
Sel Langerhans berada dalam bentuk imatur dan dapat berfungsi sebagai
makrofag yang memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Pada saat
kulit terpapar alergen, keratinosit mensekresi sitokin yang menyebabkan sel Langerhans
matur dan menjadi aktif dan dapat menstimulasi limfosit T.
Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang
mengekspresikan molekul CD4. Pengenalan antigen yang telah diproses dalam sel
R

Langerhans oleh limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3. Selain itu
antigen tersebut dapat pula dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh
CD8.
Limfosit T yang telah tersensitisasi bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar
getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berploriferasi membentuk sel T efektor
yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Kemudian sel-sel tersebut masuk
PE

kedalam sirkulasi. Sebagian kembali ke kulit dan sistem limfoid, tersebar di seluruh tubuh
dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.

Fase elisitasi
Pada fase elisitasi terjadi kontak ulang dengan hapten yang sama atau serupa.
Hapten ditangkap dan dipresentasikan pada permukaan sel Langerhans yang
mengeluarkan IL-1 yang menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan IL-2 dan
mengekspresikan IL-2 reseptor (IL-2 R). Hal ini menyebabkan proliferasi dan ekspansi
populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktivasi mensekresi IFN yang mengaktifkan
keratinosit yang mengekspresikan ICAM 1 dan HLA-DR.

Lampiran 321
271
HLA-DR pada keratinosit berinteraksi dengan limfosit T CD4, melalui molekul
ICAM 1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target
limfosit Tc. Keratinosit aktif juga memproduksi beberapa sitokin seperti IL-1, IL-6 dan
GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T.
IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid, dimana
kombinasi eicosanoid dan sitokin akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Histamin
yang berasal dari sel mast dan histamine dan eicosanoid yang berasal dari sel mast dan

I
keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Kaskade ini merupakan respon
kulit pada DKA yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses perbaikan.

SK
Ekstrak alergen
Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel standar terdiri dari 24 jenis. yaitu :
1. Nickel
2. Wool alcohols
3. Neomycin sulfate
4. Potassium dichromate
5. Cain mix
6. Fragrance mix
7. Colophony
8. Epoxy resin
9. Quinoline mix
DO
10. Balsam of Peru
11. Ethylenediamine dihydrochloride
12. Cobalt chloride
13. p-tert-Butylphenolformaldehyde
14. Paraben mix
15. Carba mix
16. Black rubber mix
17. Kathon CG
18. Quaternium-
19. Mercaptobenzothiazole
20. p-Phenylenediamine
21. Formaldehyde
22. Mercapto mix
R

23. Thiomersal
24. Thiuram mix
Ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai harus memenuhi persyaratan tertentu:
1. kapasitas penetrasi intrinsik, termasuk tidak toksik
2. konsentrasi
3. vehikulum
PE

4. oklusivitas uji tempel


5. waktu paparan.

Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap, bergantung pada hasil uji
tempel standar dan uji tempel dengan ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai. Contoh
ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap bila hasil uji tempel standar
Fragrance mix hasilnya positif, antara lain:
1. amylcinnamaldehyde
2. cinnamaldehyde
3. cinnamil alcohol

272
322 Lampiran
4. eugenol
5. geraniol
6. hydroxycitronellal
7. isoeugenol
8. oak moss absolute

Indikasi Uji Tempel

I
1. DKA yang sudah tenang.
2. Dermatitis kontak iritan (DKI) dengan diagnosis banding DKA
3. Dermatitis kronis dengan penyebab belum diketahui

SK
Indikasi Kontra Uji Tempel
1. Dermatitis yang diderita masih dalam fase akut
2. Menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi reaksi kulit,
misalnya steroid, anti histamin dan imunomodulator.

Efek Samping Uji Tempel


1. sensitisasi
2. reaksi iritan
3. kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya
4. fenomena Kbner
5. reaksi positif yang resisten
DO
6. reaksi anafilaksis
7. lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi
positif
8. reaksi pustular
9. efek karena tekanan
10. infeksi bakteri dan virus
11. nekrosis, terbentuknya skar dan keloid

Persiapan:
1. Lesi kulit dalam keadaan tenang
2. Tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison > 10
mg/hari), minimal 3 hari sebelum tes atau sesuai dengan waktu paruh obat.l
3. Untuk alergen nonstandar perlu pengenceran 1/1.000, 1/100, 1/10
R

Alat dan Bahan untuk Uji Tempel


Alerger standar dan nonstandar, alumunium (Finn) chamber dengan plester scanpor.

Metode uji tempel


Uji tempel dapat dilakukan dengan menggunakan alumunium (Finn chamber) dengan
plester scanpor. Uji tempel dengan Finn chamber menggunakan sejumlah ekstrak alergen
PE

dalam petrolatum yang kemudian diletakkan dalam disc.

Prosedur Uji Tempel


Bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji tempel dan diberi tanda.
Uji tempel dapat dilaksanakan dengan posisi pasien duduk atau telungkup
Dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan kapas alkohol.
Jika hanya satu atau dua jenis yang digunakan, bahan dapat dioles pada daerah
lengan atas bagian luar.
Unit uji tempel ditempelkan di punggung dan diberi perekat tambahan berupa plester
hipoalergenik

273
Lampiran 323
Pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah kena air. Selama
dilakukan uji kulit pasien diberitahu untuk tidak mandi, tidak melakukan aktivitas yang
menimbulkan keringat berlebihan.
Pada deretan bahan yang dibawa pasien (di luar standar), apabila terasa sangat
perih/nyeri (reaksi iritan) dapat dibuka sendiri
Pembacaan dilakukan pada jam ke 48, 72 dan 96 ( atau dilepas lebih awal jika timbul
keluhan sangat gatal atau rasa terbakar pada lokasi uji tempel ).

I
Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis dan
gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab. (pembacaan
dilakukan 15 menit setelah plester di lepaskan)

SK
Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tempel


Setelah tes tempel dilepas, dilakukan penilaian (sistim grading NACDG) sebagai berikut :
? ............... meragukan, hanya makula eritematous
+ ............... lemah, eritema, infiltrasi, papul
++ ............... kuat, eritema, infiltrasi, papul,vesikel
+++ ............... sangat kuat, reaksi dengan bula
............... reaksi negatif
IR ............... reaksi iritan
NT ............... not tested
DO
Respon kulit harus diinterprestasikan sesuai dengan informasi sebelumnya dari riwayat
dan pemeriksaan klinis. Tidak jarang reaksi positif disebabkan oleh karena iritasi atau
sensitisasi yang tidak berhubungan dengan dermatitis sebelumnya. Jika ditemukan
relevansi dari reaksi positif, maka seharusnya dihindari bahan-bahan sebagai penyebab.
Bila hasil uji tempel meragukan, dapat dilakukan:
1. Diulang uji tempel dengan bahan tersebut pada penderita dengan serial dilusi
2. Dilakukan uji tempel dengan bahan tersebut pada subyek kontrol
3. Dilakukan pemeriksaan lanjutanpada penderita dengan menggunakan Repeated Open
Application Test (ROAT)

Reaksi positif palsu


Beberapa keadaan yang memberikan reaksi positif palsu antara lain :
1. Angry back (excited skin syndrome)
R

2. Konsentrasi bahan terlalu tinggi


3. Terlalu cepat dilakukan evaluasi
4. Dermatitis karena plester

Reaksi negatif palsu


Reaksi negatif palsu dapat timbul pada keadaan :
PE

1. Konsentrasi bahan untuk dilakukan tes terlalu rendah


2. Terlalu cepat melepaskan tes tempel dan melakukan interprestasi.
3. Vehikulum yang tidak sesuai
4. Kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis (keringat, gesekan, tekanan, ulserasi)
5. Penggunan kortikosteroid.
6. Fotoalergi

Faktor yang mempengaruhi hasil uji tempel


1. Lokasi
Punggung lebih reaktif dibandingkan dengan lengan.

274
324 Lampiran
2. Obat-obatan
Beberapa obat-obatan akan menurunkan reaksi dari uji tempel seperti antihistamin,
kortikosteroid, antidepresan trisiklik, dopamine dan clonidin.
3. Usia
Reaktivitas menurun saat bayi tapi kemudian meningkat pada usia anak-anak dan
semakin meningkat pada usia yang lebih tua.

I
4. Ritme harian dan variasi musim
Pada orang yang sensitif terhadap serbuk sari bunga, reaktifitas meningkat pada
musim bunga dan setelahnya tetapi reaktifitas menurun diluar musim bunga.
5. Kondisi patologi kulit

SK
Beberapa kelainan kulit seperti contohnya eksim dapat merubah reaksi dari uji tempel
sehingga dibutuhkan untuk menginterprestasi hasil dengan seksama.
6. Imunoterapi
Imunoterapi dapat menghambat reaksi kulit terhadap alergen yang spesifik.

Algoritme

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu


DO
Mengenali patofisiologi DKA dan
mencatat gejala dan tanda klinis
DKA.
Melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik Singkirkan DD
Status generalis

Status Dermatologikus:
Lokalisasi: Menyingkirkan DD
Morfologi kulit:

Menetapkan diagnosis DKA dan dugaan


alergen penyebab
R

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga dan alergen


pelengkap yang akan diuji
PE

Faktor yang Indikasi dan kontra


mempengaruhi indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku

Evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan menginterpretasikan hasil uji
tempel

275
Lampiran 325
Kepustakaan

1. Arshad SH. 2002. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton; Churchill
livingstone. p. 28-9.
2. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. In Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 6th ed. New

I
York: Mc Graw Hill, 2003.p.1164-77.
3. Devos SA, Pieter VDV. Epicutaneous Patch Testing. In: Devos SA, eds. The Importance
and Relevance of Epicutaneous Patch Testing. Eur J Dermatol. 2002; 12 (5): 506-13.
4. Fowler JF. How to Patch Test. 1992. In: Larsen WG, Adams RM, Maibach HI, eds. Color

SK
Text of Contact Dermatitis. Philadelphia: W.B Saunders Company..p. 8-18.
5. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. Patch Testing. In: Patch Testing and Prick Testing, A
Practical Guide. Berlin: Springer.p.7-69.
6. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. The standart and additional series of the patch test. In:
Patch Testing and Prick Testing, A Practical Guide. Berlin: Springer..p. 70-94.
R DO
PE

326 Lampiran
276
Lampiran 2

UJI INTRADERMAL

I Definisi : Salah satu dari uji kulit yang dilakukan untuk mengkonfirmasi
reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. 1,2 Uji intradermal

I
memiliki sensitivitas yang lebih baik dari pada tes perkutan
lainnya1,2 namun spesifisitasnya rendah.1

SK
Indikasi : Uji intradermal hanya dilakukan bila hasil prick test dengan
obat yang dicurigai memiliki hasil negatif dalam 20 menit.3

Bila sebelumnya pasien memiliki riwayat Erythema multiforme,


Steven Johnson Syndrome, Toxic Epidermal

Kontraindikasi : Necrolysis dan Vasculitis leucocytoclastic (histopatologi)3

II Prosedur : 1. Pengenceran bahan dilakukan tidak melebihi 2 jam


sebelum uji kulit intradermal dilakukan
2. Pasien berada dalam pengawasan dokter di rumah sakit
dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan.
DO
3. Bila hasil uji intradermal negatif maka glukosa intravena
diberikan dalam 2 jam setelah uji intradermal dilakukan.
Bila hasil uji intradermal positif maka glukosa diberikan
dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan
4. Selama pasien dalam pengawasan dokter di rumah sakit,
dilakukan monitoring tanda-tanda vital
5. Cara pengenceran obat: Solusio steril dari obat yang
dicurigai diencerkan menggunakan phenolated saline (0,5%
fenol dalam 0,9% larutan normal salin) atau dalam 0,9%
larutan normal salin sehingga diperoleh konsentrasi obat
10-4 ,10-3,10 -2, dan 10 -1
6. Prosedur penyuntikan: Phenolated saline atau normal salin
digunakan sebagai kontrol negatif. Uji Intradermal dimulai
R

dengan penyuntikan larutan obat dengan konsentrasi


terkecil yaitu 10-4. Sejumlah 0,04ml larutan disuntikkan
pada permukaan ekstensor sampai terbentuk papula
dengan diameter 4-6mm. Bila dalam 30 menit pengamatan
hasilnya negatif maka dilanjutkan dengan penyuntikan
larutan obat konsentrasi 10 -3 kemudian dilakukan
PE

pengamatan dalam 30 menit bila hasil negatif maka


dilanjutkan dengan penyuntikan larutan 10-2 dan
seterusnya sampai dengan larutan obat murni. Namun bila
hasil uji intradermal positif maka uji intradermal dinyatakan
selesai pada konsentrasi tersebut.
7. Pembacaan hasil: pada menit ke 30, jam ke 6 dan jam ke
24 setelah uji intradermal dilakukan. Bila terdapat reaksi
yang positif, maka diameter urtikaria diukur. Bila hasil uji
intradermal negatif, maka dilakukan evaluasi ulang
terhadap pasien dalam waktu 7 hari setelah tes dilakukan

277
Lampiran 327
untuk melihat apakah hasil tetap negatif atau menjadi
positif. Bila diperlukan bisa dilakukan evaluasi ulang setelah
hari ke 7 uji intradermal.

III Intepretasi Hasil : Uji intradermal disebut positif bila dalam 30 menit setelah
penyuntikan bahan obat terjadi urtikaria dengan diameter lebih
dari 10mm.

I
IV Kepustakaan : 1. Li,JT. Allergy testing. 2002. [cited 2014 May,21]. Available from

SK
URL: www.aafp.org/afp
2. Schwindt C, Hutcheson PS, Leu SY, Dykewicz MS. Role of
intradermal skin test in the evaluation of clinically relevant
respiratory allergy assesed using patient history and nasal
challenges. Ann Allergy Asthma Immunol 2005; 94: 627-33.
3. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for
performing skin test with drugs in the investigation of cutaneous
DO adverse drug reactions. Cont Derm. 2001; 45:321-328.
R
PE

328 Lampiran
278
Lampiran 3

UJI PROVOKASI OBAT ( UPO )

PENDAHULUAN

I
1) Uji Provokasi Obat ( UPO ) / Oral Challenge adalah metode pemberian obat terkontrol
untuk menegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat pada pasien
dengan riwayat dugaan alergi obat.1

SK
2) Prosedur diagnostik untuk penegakan diagnosis alergi dikelompokkan berdasar
riwayat pasien, uji kulit in vivo, tes laboratorium in vitro dan uji provokasi.5
3) Uji kulit akan memberikan bukti adanya sensitisasi terhadap obat spesifik tetapi harus
selalu diinterpretasikan dalam konteks klinis yang sesuai.6
4) Hasil uji kulit negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan obat sebagai penyebab
dalam ADR7,8,9 .
5) Riwayat penyakit tidak selalu dapat diandalkan, terutama bila didapatkan riwayat
penggunaan obat multipel.5
6) Uji Provokasi Oral (UPO) sangat direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada
kasus dengan hasil uji kulit negatif atau meragukan untuk mengkonfirmasi korelasi
antara obat dan reaksi.6,7,8,9
DO
PRINSIP-PRINSIP UPO
1. UPO, meskipun memiliki beberapa keterbatasan, secara luas dipertimbangkan
sebagai baku emas untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis hipersensitivitas
dan membuktikan ada tidaknya relevansi klinis.6
2. UPO dilakukan dalam pengawasan medis baik terhadap obat alternatif, obat-obat yang
memiliki hubungan struktur farmakologis, maupun terhadap obat yang dicurigai
sebagai penyebab reaksi hipersensitifitas.1,6,10
3. Dari sejumlah penelitian disimpulkan UPO berperan penting dalam penegakan
diagnosis etiologis pada reaksi hipersensitivitas obat tipe I dan tipe IV, terutama
terhadap golongan betalaktam.1,10,11,13
4. Jenis reaksi pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat, diantaranya adalah reaksi
non-immunologi, reaksi immediate, dan reaksi nonimmediate.9
5. Manifestasi klinis reaksi immediate yang diperantarai IgE terdiri dari generalized
R

urtikaria, rhinitis, angioedema, syok anafilaksis, dan asma brokhial. Pendekatan


pertama untuk diagnosis reaksi ini adalah berdasar riwayat reaksi obat yang
menekankan gejala yang harus muncul dalam 1 jam setelah konsumsi obat.5,9,11
6. Manifestasi klinis reaksi nonimmediate yang diperantarai sel T terdiri dari eksantem
makulopapular, fixed drug eruption, SJS, AGEP, TEN, vasculitis, lupus like syndrome,
DRESS. Reaksinya biasanya terjadi lebih dari 1 jam setelah konsumsi obat. Identifikasi
PE

reaksi nonimmediate ini terkadang sulit dilakukan karena heterogenisitas mekanisme


reaksi dan dapat ditemukannya secara bersama-sama dengan infeksi virus yang
mencetuskan reaksi.1,5,11

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


Penilaian resiko dan kemanfaatan masing-masing individu harus dilakukan sebelum UPO.
Prinsip kehati-hatian dan pengawasan harus dilakukan pada semua kasus.
Indikasi UPO, terbagi dalam 4 kelompok yang saling tumpang tindih :
1) Untuk menegakkan diagnosis hipersensitifitas obat dengan riwayat positif dengan
allergologic test negative, tidak dapat disimpulkan, atau tidak tersedia;

Lampiran 329
279
2) Untuk menyingkirkan kemungkinan hipersensitivitas pada reaksi hipersensitivitas
dengan riwayat yang kurang mendukung atau dengan gejala tidak khas, misalnya
gejala vagal pada pemberian anestesi lokal;
3) Untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi silang terhadap obat yang memiliki
hubungan dengan obat yang terbukti menyebabkan reaksi;
4) Untuk menilai toleransi obat-obat yang secara farmakologis aman atau obat-obat yang

I
secara struktural tidak berkaitan dengan reaksi hipersitifitas yang telah
ditegakkan.1,7,9
UPO juga dapat dilakukan untuk membantu individu yang sangat cemas, yang menolak

SK
semua obat tanpa bukti toleransi obat.
UPO terutama dilakukan pada obat yang sangat vital bagi pasien dan tidak dapat
digantikan dengan obat yang lain.1
Kontraindikasi UPO :
1. Wanita hamil merupakan kotraindikasi relatif UPO, dengan pengecualian pada obat
yang sangat dibutuhkan selama kehamilan atau pada saat persalinan.6,1
2. UPO juga tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan faktor komorbiditas seperti
alergi dan infeksi akut, asma yang tidak terkontrol, gangguan ginjal, hepar, dan ginjal.
3. Reaksi obat jenis yang berat dan mengancam kehidupan merupakan kontraindikasi
mutlak untuk UPO, termasuk diantaranya adalah Generalized Bullous Fixed Drug
Eruption; Acute Generalized Exanthematous Pustulosis; Toxic Epidermal Necrolysis;
Steven Johnson Syndrom; DRESS; Systemic Vasculitis; Systemic Organ
DO
Manifestations ( blood citopenia,hepatitis, nephritis, pneumonitis ); Severed
Anaphylaxis; Drug Induced Autoimmune Disease.4,9

PERSIAPAN UPO :
1. Tes dilakukan minimal 4 6 minggu setelah lesi kulit menyembuh.10
2. Pertimbangan etika mensyaratkan bahwa obat harus penting bagi pasien dan tidak
ada metode lain yang lebih aman atau hasil dari prosedur lainnya tidak dapat
disimpulkan. Obat-obat yang kegunaannya dimasa datang bagi pasien sangat terbatas
semestinya tidak memerlukan UPO.
3. Informed consent harus disampaikan pada pasien sebelum prosedur tes dilakukan.1
4. Protokol untuk masing-masing individu harus disiapkan dan prosedur tes harus
diawasi ahli dibidangnya.9
R

5. Selama prosedur UPO obat-obatan selain yang diteskan tidak diperbolehkan


dikonsumsi.
6. Beberapa jenis obat yang dikhawatirkan mempengaruhi atau mengganggu hasil tes
memerlukan periode washout termasuk diantaranya antihistamin, antidepresan,
glukokortikoid, beta-bloker, dan ACE-inhibitor (lampiran 1).1
PE

7. Pencatatan secara detail dilakukan pada setiap tahap UPO: 1) tahap awal termasuk
data pasien secara lengkap, riwayat medis, dan riwayat terapi obat sebelum UPO; 2)
tahap paparan dosis obat, hasil pemeriksaan fisik awal dan selama prosedur terutama
yang relevan dengan riwayat reaksi sebelumnya hingga deskripsi efek samping.1
PROSEDUR PELAKSANAAN UPO :
Salah satu guideline UPO yang sering dijadikan acuan adalah protokol dari European
Network for Drug Allergy ( ENDA) 2003.9 Protokol UPO yang lain berasal dari berbagai
penelitian kohort dalam skala kecil terhadap beberapa jenis obat, diantaranya aspirin,
cyclooxigenase-2 inhibitor, beta-laktams.10,12-19
A. Protokol European Network for Drug Allergy ( ENDA):

330 Lampiran
280
1) Pasien dengan riwayat reaksi obat berat dirawatinapkan, sedangkan prosedur
pada pasien dengan riwayat delayed type reaction atau pada pasien dengan
reaksi yang tidak membahayakan dapat dilakukan dengan rawat jalan.1
2) Pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan riwayat
bronkhospasme.
3) Pemasangan kateter intravena selama prosedur UPO harus dilakukan pada pasien
dengan riwayat syok anafilaksis sebelumnya.

I
4) Pemantauan tekanan
5) Obat-obat kegawatan seperti kortikosteroid, antihistamin, adrenalin, teofilin, dan
inhalan beta-mimetik harus sudah disiapkan pada saat prosedur UPO .

SK
6) Ketersediaan fasilitas resusitasi untuk kegawatan, termasuk diantaranya prosedur
intubasi, disarankan tergantung pada berat ringannya reaksi obat sebelumnya, dan
jenis obat yang diujikan. 1,10

B. Protokol Lammintausta et al, (2005), sebagai modifikasi protokol UPO dari ENDA:
1) UPO terbukti aman dilakukan dengan rawat jalan setelah pasien dengan riwayat
reaksi yang berat disingkirkan terlebih dahulu.12
2) Pengawasan ketat di rumah sakit hanya pada hari pertama UPO dengan
pemantauan pada reaksi kulit, tekanan darah, denyut jantung, dan suhu tubuh.
3) Pasien diijinkan untuk pulang ke rumah 3 hingga 4 jam setelah dosis terapi obat
tercapai dan bisa dilanjutkan dengan dosis harian regular selama 3-7 hari di
rumah. Jika reaksi tidak muncul pasien diminta menghubungi dan reaksi jika
DO
dirasakan muncul diminta segera menghubungi, menghentikan obat, dan segera
memeriksakan diri kembali.12,14

C. Blanca-Lopez et al, dalam uji provokasi obat terhadap golongan aminopenicilin dengan
riwayat reaksi nonimmediate, menetapkan setelah dosis terapi harian tercapai
dilakukan pengawasan selama 6 jam di rumahsakit. Pasien selanjutnya dapat
melakukan UPO di rumah dengan dosis harian selama 5 hari dengan pemantauan
dokter. Penderita diminta segera menghubungi dan mendatangi rumah sakit bila reaksi
muncul.10,15

Beberapa ketentuan lainnya dalam UPO :


Pemberian obat untuk UPO dapat dilakukan secara oral, parenteral(iv, im, sc) dan topikal
(nasal), bronkhial, konjuntiva, dan perkutan. Secara umum untuk cutaneus adverse drug
R

reactions jalur pemberian obat uji peroral lebih banyak dipilih dibandingkan parenteral
karena absorbsinya lebih lambat sehingga bila muncul reaksi dapat segera diterapi.1
1. Jenis obat yang diberikan biasanya merupakan preparat komersil. Khusus untuk obat
kombinasi, preparat penyusun obat juga harus diujikan dalam UPO yang terpisah.
Dalam hal ini uji terhadap kandungan dan bahan aditif dari obat dapat
dipertimbangkan karena komponen tersebut dapat pula memicu reaksi.1
PE

2. Dosis obat untuk UPO tergantung jenis obat, dan derajad keparahan reaksi
sebelumnya, rute pemberian, hingga waktu laten setelah aplikasi hingga reaksi, dan
status kesehatan pasien. Secara umum dosis dimulai dari dosis rendah, kemudian
dinaikkan secara hati-hati, dan dihentikan segera setelah reaksi muncul. Jika tidak ada
gejala yang muncul, dapat diberikan dosis maksimal tunggal atau diberikan dosis
harian tertentu (lampiran 2).1
3. ENDA menetapkan dosis awal UPO dengan reaksi tipe immediate (riwayat reaksi obat
kurang dari 1 jam setelah pemberian obat) dapat dimulai antara 1/10.000 hingga 1/10
dosis terapi tergantung berat ringannya riwayat reaksi. Dosis obat dinaikkan setiap
minimal 30 menit hingga dosis terapi tercapai atau hingga gejala reaksi obat

281
Lampiran 331
muncul.9,10 Pada reaksi non immediate (riwayat reaksi obat lebih dari 1 jam setelah
pemberian obat) ENDA menetapkan dosis awal obat tidak boleh lebih dari 1/100 dari
dosis terapi, dengan pengecualian pada fixed drug eruption.9
4. UPO harus dilakukan dengan kontrol plasebo (pil laktosa atau salin 0,9% untuk
prosedur parenteral), buta tunggal atau bila diperlukan buta ganda. Pemberian plasebo
paling sering dilakukan pada hari pertama provokasi tes dengan satu, dua, atau 3

I
dosis plasebo dalam interval waktu bervariasi disesuikan dengan interval obat yang
diujikan, rata-rata 1 hingga 4 jam. Plasebo dapat pula diberikan setelah UPO terhadap
obat uji selesai dilakukan untuk kofirmasi hasil yang meragukan dalam periode waktu

SK
yang berbeda.1,3
5. Pada Adverse Drug Reaction dengan kemungkinan obat penyebab yang multipel,
UPO pertama dilakukan terhadap obat yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk
menimbulkan reaksi alergi dan obat yang paling dicurigai sebagai penyebab reaksi
hipersensitifitas diberikan paling akhir. Provokasi selanjutnya dapat dilakukan dalam
beberapa hari hingga beberapa bulan ke depan tergantung pada jenis obat dan reaksi
UPO sebelumnya.1,3,10,12
6. Lama pengawasan UPO, tergantung pada riwayat reaksi obat sebelumnya dan obat
yang diujikan, dapat dilakukan hingga 5 kali waktu paruh obat uji untuk menjamin
eliminasi seluruhnya.9 ENDA menetapkan waktu untuk pengawasan ketat minimal 2
jam setelah stabilisasi, tetapi untuk pertimbangan keamanan menyarankan
pengawasan hingga 24 jam.1 Pada UPO dengan reaksi yang berat seperti syok
DO
anafilaksis pasien dapat diminta untuk rawat inap, karena adanya kemungkinan
episode bifasik yang dapat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan diterapi lebih awal. 9
Pasien dapat dibekali dengan obat-obat pertolongan pertama, termasuk antihistamin,
betamimetik, kortikosteroid, untuk gejala lanjutan yang mungkin masih bisa terjadi. 1

PENILAIAN HASIL UPO


1. UPO dinyatakan positif bila didapatkan adanya gejala atau tanda reaksi obat yang
sesuai dengan reaksi hipersensitivitas pada riwayat sebelumnya. Untuk tipe immediate
reaksi muncul dalam waktu 2 jam setelah dosis obat terakhir diberikan (3 jam untuk
obat golongan aspirin dan NSAID).
2. UPO dinyatakan negatif bila setelah dosis harian regular diberikan 2 hingga 4 kali
tidak ditemukan adanya gejala dan atau tanda-tanda reaksi hipersensitivitas.12
3. UPO ulangan dengan dosis terakhir sangat disarankan pada pasien dengan riwayat
R

reaksi obat dengan gejala subjektif, dengan hasil UPO yang serupa dan tidak khas,
setelah dikonfirmasi dengan placebo challenge hasilnya negatif.1
4. Spesifitas dan sensitivitas UPO memiliki keterbatasan karena uji ini tidak dapat
dilakukan pada pasien dengan hasil uji kulit positif atas pertimbangan etik.16 Nilai
prediksi UPO sangat tergantung pada mekanisme reaksi dan obat yang terlibat.
Keterbatasan lain dari tes ini yang harus dipertimbangkan pemeriksa adalah
PE

kemungkinan positif palsu dan negatif palsu, sehingga UPO dengan hasil negatif
bukan merupakan jaminan toleransi terhadap obat dimasa yang akan datang.1

PENATALAKSANAAN REAKSI OBAT OLEH KARENA UPO


1. Pada setiap prosedur UPO penilaian perlu tidaknya pemberian terapi terhadap reaksi
obat sangat bervariasi tergantung berat ringan dan tipe reaksi.
2. Tahap pertama adalah penghentian pemberian obat uji segera diikuti prosedur umum
maupun spesifik setelah reaksi muncul.
3. Pemberian terapi supresif atau remittive dapat mulai diberikan bila gejala cukup khas
sehingga dapat diambil kesimpulan dari hasil uji.

332
282 Lampiran
4. Prosedur penatalaksanaan reaksi harus disesuaikan dengan kondisi pasien dan
secara umum mengikuti kaidah umum terapi kegawatdaruratan.1
5. Pada tipe immediate dapat dipersiapkan prednisolon 40-60 mg dan antihistamin
selama 2 hari .
6. Pada kasus berat seperti reaksi anafilaksis terapi dapat ditambah dengan injeksi
intramuskular epinefrin 0,25g.10

I
Prosedur UPO dengan segala keterbatasannya terbukti cukup aman dan efektif
bila dilakukan secara hati-hati dan dilakukan dalam pengawasan ahli dan terbukti aman
dilakukan dengan rawat jalan pada pasien dengan riwayat reaksi yang tidak berat.

SK
DAFTAR PUSTAKA
1. Aberer W, Bircher A, Romano A, et al. Drug provocation testing in the diagnosis of drug
hypersensitivity reactions: General considerations. Allergy 2003; 58: 854-63.
2. Lazarou J, Pomeranz BH, Corey PN. Incidence of adverse drug reaction in hospitalized patient:
A meta-analysis of prospective studies. J Am Med Assoc 1998; 279: 1200-5.
3. Hunziker et al cyt Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing?
Allergy 2006; 61: 928-34.
4. Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing? Allergy 2006; 61: 928-
34.
5. Brockow K, Romano A, Blanca M, et al. Rostrum: General considerations for skin test
procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57: 43-51
DO
6. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guideline for the management of drug allergy.
Clin Exp Allergy 2008; 39: 43-61.
7. Waton J, Trechot P, Loss-Avay C, et al. Negative predictive value of drug skin tests in
investigating cutaneus adverse drug reactions. Br J Dermatol 2008; 160: 789-94.
8. Lammintausta K, Kortekangas-Savolainen O. The usefulness of skin test to prove drug
hypersensitivity. Br J Dermatol 2005; 152: 968-74.
9. Blanca M, Romano A, Torres MJ, et al. Update on the evaluation of hypersensitivity reaction to
betalactams. Allergy 2009; 64: 183-93.
10. Messad D, Sahla H. Benahmed S, et al. Drug provocation test in patiens with history
suggesting an immediate drug hypersensitivity reaction. Annals Internal Med 2004; 140:1001-6.
11. Aberer W, Kranke B. Clinical manifestations and mechanisms of skin reactions after systemic
drug administration. Drug Discovery Today: Disease Mechanisms 2008; 5: 237-47.
12. Lammintausta K, Kortekangas-Savalainen O. Oral challenge in patien with suspected cutaneus
adverse drug reactions: Finding in 784 patients during a 25-year-period. Acta Derm Venereol
R

2005; 85: 491-6.


13. Padial A, Antunez C, Blanca-Lopez N, et al. Non-immediate reactions to betalactams:
Diagnostic value of skin testing and drug provocation test. Clin Exp Allergy 2008; 38: 822-8.
14. Pichicero ME, Pichicero DM. Diagnosis of penicillin, amoxicillin, and cephalosporin allergy:
Reliability of examination assessed by skin testing and oral challenged. J Pediatric 1998; 132:
137-43.
15. Blanca-Lopez N, Zapatero L, Alonso E, et al. Skin testing and drug provocation in the diagnosis
PE

of nonimmediate reactions to aminopenicillins in children. Allergy 2009; 64: 229-33.


16. Romano A, Blanca M, Torres MJ. Diagnosis of nonimmediate reaction to betalactams
antibiotics. Allergy 2004; 59: 1153-60.
17. Hein UR, Hess SC, Worm M, et al. Evaluation of systemic provocation test in patients with
suspected Allergic and pseudoallergic drug reactions. Acta Derm Venereol 1999; 79: 139-42.
18. Kidon MI, Liew WK, Chiang WC, et al. Hypersensitivity to paracetamol in Asian children with
early onset of nonsteroidal anti-inflammatory drug allergy. Int Arch Allergy Immunol 2007; 144 :
51-6.
19. Kruse R, Ruzicka T, Grewe M. Intolerance reaction due to the selective cyclooxigenase type II
inhibitor Rofecoxib and Celecoxib, result of oral provocation test in patients with NSAID
hypersensitivity. Acta Derm Venereol 2003; 83 : 183-5.

283
Lampiran 333
20. Lee AY. Topical provocation in 31 cases of fixed drug eruption: Change of causative drug in 10
years. Contact Dermatitis 1998; 58: 258-60.
21. Ozkaya E. Fixed drug eruption: State of the art. JDGG 2007; 5: 1-6

Tabel.1 Daftar obat yang dapat mempengaruhi atau menggangu hasil tes1
Jenis Obat Rute obat IR NIR Wash out

I
Antihistamin Oral, iv + - 5 hari
Antidepresan Oral, iv + - 5 hari

SK
Glukokortikoid Topikal - ? ?
Jangka lama Oral, iv 3 minggu
Jangka pendek, dosis tinggi ( > 50 mg ) Oral, iv 1 minggu
Jangka pendek, dosis rendah (< 50 mg Oral, iv 3 hari
)
Beta bloker Oral + + 1 hari
Topikal _ -
ACE-inhibitor* Oral + + 1 hari
IR= immediate reaction; NIR= non immediate reaction ? = tidak relevan;
*= masih kontroversial
DO
Tabel 2 Peningkatan dosis bertahap pada UPO10
______________________________________________________________________________________________________________________

Obat Golongan Dosis Rute Dosis Harian_


R
PE

Pada syok anafilaksis dosis yang digunakan 1/10 dosis diatas

334
284 Lampiran
Lampiran 4

PRICK TEST / UJI TUSUK

Batasan

I
Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit yang merupakan pemeriksaan in vivo yang
telah digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis alergi dan memastikan
penyebabnya. Dengan cara melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian

SK
ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa
menyebabkan perdarahan.
Uji ini paling banyak digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit yang
disebabkan oleh reaksi alergi makanan maupun hirupan, karena sederhana, relatif mudah
dan murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. Walaupun teknik pelaksanaan uji
tusuk relatif mudah namun penentuan indikasi yang tepat dan interpretasi hasil uji tusuk
memerlukan keahlian khusus. Dalam satu kali pemeriksaan dapat diperiksa lebih dari 20
jenis alergen, akan tetapi lebih bijaksana untuk membatasi jumlah alergen yang paling
sering menjadi penyebab saja yang diperiksa.

Patofisiologi respons kulit


Uji tusuk merupakan pengujian secara biologis yang mencerminkan adanya peningkatan
DO
IgE dalam darah. Bila alergen disuntikkan ke kulit akan berinteraksi dengan IgE yang
terikat pada mastosit sehingga menyebabkan keluarnya beberapa mediator. Mediator
utama yang dikeluarkan oleh mastosit adalah histamin yang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga timbul eritema/
kemerahan/ flare dan edema/ bentol/ wheal (wheal-flare reaction) pada kulit tersebut.
Wheal terjadi karena vasodilatasi dan ekstravasasi plasma akibat pengeluaran histamin.
Flare terjadi karena respon neurovaskuler yang dicetuskan oleh histamin dan melibatkan
neuropeptid seperti substansi P. Ukuran reaksi kulit bergantung pada tingkat sensitisasi,
jumlah alergen yang disuntikkan, jumlah dan releasability dari mastosit dan reaktivitas dari
jaringan kulit terhadap histamin.

Ekstrak alergen
Sebaiknya alergen yang digunakan dalam uji tusuk dipilih yang sudah terstandarisasi dan
R

harus mencakup alergen utama seperti tungau debu rumah. Sebelum digunakan potensi
alergen diuji dengan metode in vivo dan in vitro. Secara in vitro, alergen diuji dengan
menggunakan teknik Radioallergosorbent test (RAST) inhibition. Alergen diuji terhadap
serum yang berasal dari individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tersebut, untuk
mengkonfirmasi adanya alergen utama dan untuk mengetahui reaktivitas dari ektrak
alergen. Potensi alergen sebaiknya juga diuji secara biologis dengan uji kulit secara serial
PE

menggunakan ekstrak alergen yang diencerkan 10 kali.


Untuk uji tusuk digunakan solusi alergen dengan konsentrasi tertentu yang telah
ditentukan alergen utama dari masing-masing ekstrak alergen. Namun, ekstrak alergen
yang telah terstandarisasi hanya tersedia untuk alergen hirupan yang umum seperti polen
dan tungau debu rumah, sedangkan alergen makanan umumnya tidak distandarisasi.
Ekstrak alergen sebaiknya disimpan pada lemari es pada suhu -4C. Untuk kontrol negatif
biasanya digunakan larutan normal salin atau bahan yang digunakan sebagai pelarut dari
ekstrak alergen. Bila terjadi reaksi pada kontrol negatif ini biasanya berupa dermografisme
yaitu reaksi non spesifik terhadap trauma. Untuk kontrol positif umumnya digunakan
larutan histamin 1-10 mg/ml, akan tetapi dapat pula digunakan bahan lain yang dapat
merangsang sekresi mediator oleh mastosit seperti larutan kodein fosfat.

Lampiran 335
285
Indikasi Uji Tusuk
1. Untuk mengetahui alergen penyebab/ pencetus berbagai penyakit yang didasari reaksi
hipersensitivitas tipe I/ diperantarai IgE, misalnya urtikaria dan asma. Tidak terdapat
batasan umur untuk uji tusuk, bahkan uji tusuk ini dapat dilakukan pada bayi.
2. Sebelum memulai imunoterapi dan selama monitoring perkembangan imunoterapi.

I
Indikasi kontra uji tusuk
1. Uji tusuk tidak dapat dilakukan bila sedang terjadi kekambuhan penyakit kulit pada
penderita misalnya sedang terdapat lesi urtikaria.

SK
2. Penderita sedang dalam terapi antihistamin, terapi kortikosteroid dosis tinggi (lebih dari
10 mg/hari), kortikosteroid topikal, obat antidepresan (imipramin, fenotiazin), dopamin,
clonidin. Antihistamin sebaiknya dihentikan minimal 3 hari sebelum tindakan atau
disesuaikan dengan waktu paruh dari masing-masing obat. Untuk golongan
antihistamin generasi I/antihistamin klasik yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin
generasi II seperti setirisin, loratadin, feksofenadin, desloratadin harus bebas selama
3-10 hari, sedangkan khusus untuk astemizole harus bebas selama 4-8 minggu.
3. Penderita menggunakan krim atau pelembab pada bagian volar lengan bawah tempat
yang akan digunakan untuk lokasi uji tusuk pada saat akan dilakukannya uji tusuk,
sebab dapat menyebabkan ekstrak alergen meleleh dan bercampur dengan ekstrak
alergen di dekatnya sehingga mengganggu interpretasi hasil.
4. Terdapat lesi kulit pada lokasi tindakan yang akan mengganggu pelaksanaan atau
DO
pembacaan hasil.
5. Uji tusuk sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil kecuali keuntungan yang
didapat dari uji tusuk ini melebihi resiko yang mungkin terjadi, sebab pada wanita hamil
yang mengalami reaksi alergi yang berat dapat menimbulkan kontraksi uterus.

Efek Samping Uji Tusuk


1. Reaksi anafilaksis, namun sangat jarang terjadi.
2. Uji tusuk kadang menyebabkan rasa tidak nyaman, tapi umumnya dapat ditoleransi
oleh penderita bahkan oleh bayi atau anak kecil. Rasa gatal dan pembengkakan lokal
yang terjadi biasanya menghilang sendiri dalam 1-2 jam dan kadang penderita
mengeluh merasa ngantuk setelah melakukan uji tusuk.
Alat dan Bahan untuk Uji Tusuk
1. Larutan ekstrak alergen beserta larutan kontrol dan alat ukur (diameter) untuk
R

interpretasi hasil
2. Jarum ukuran 26 G atau 27 G atau blood lancet
3. Penggaris dan spidol/pulpen
4. Alkohol 70%, kapas, tisu

Metode uji tusuk


PE

Terdapat dua metode uji tusuk yang umumnya digunakan. Prick-puncture test yaitu
menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm dan terdapat bahu yang
berperanan untuk mencegah penetrasi yang berlebihan. Metode yang kedua adalah
modified prick test yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian ujung
jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa
menyebabkan perdarahan.

Prosedur Uji Tusuk


1. Persiapan
Pengenalan reaksi dan tanda anafilaksis :

286
336 Lampiran
Terjadi beberapa detik atau menit (dapat pula beberapa jam) setelah paparan.
Gejala pada kulit: eritema, gatal pada ekstremitas berlanjut urtikaria dan
angioedema
Obstruksi jalan nafas sampai asfiksia karena edema laring
Obstruksi saluran nafas bawah: wheezing
Gangguan gastro intestinal: mual, muntah, nyeri perut dan diare
Hipotensi dan vaskular kolaps.

Prosedur / tatacara penanganan reaksi anafilaksis :


Epinephrine 1 : 1000 0.3 ml IM (deltoid)

SK
Ukur tekanan darah dan nadi
Beri oksigen
Ulang epinephrine tiap 15 menit
Untuk bronkospasme yang hebat: Aminophylline IV, Hydrocortison sodium
succinate 200 mg IV
Untuk sistole < 90 mm Hg: IV line, Dopamine 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml D5W
melalui infus sampai tekanan darah mencapai 90 mm Hg lalu titrasi.
2. Lokasi: Uji tusuk dapat dilakukan pada bagian atas punggung atau bagian volar lengan
bawah, namun umumnya uji tusuk dilakukan pada bagian volar lengan bawah.
3. Sebelum uji tusuk dilakukan, posisi penderita sebaiknya diatur terlebih dulu agar
penderita merasa nyaman.
4. Kulit tempat dilakukannya uji tusuk dibersihkan dengan alkohol 70% dan biarkan
DO
kering sendiri/jangan di keringkan dengan tisu.
5. Tandai kulit dengan penggaris dan spidol/pulpen untuk masing-masing alergen dengan
jarak yang cukup (jarak minimal 1,5 - 2 cm, bila memungkinkan jarak ideal 3.5 cm)
agar alergen saling terpisah dan hasil tidak tumpang tindih.
6. Teteskan satu tetes larutan histamin sebagai kontrol positif, satu tetes larutan normal
salin sebagai kontrol negatif dan masing-masing satu tetes ekstrak alergen sesuai
jenis alergen yang dicurigai.
7. Lakukan tusukan melalui larutan yang sudah diteteskan tersebut dengan jarum ukuran
26 G atau 27 G atau blood lancet menggunakan metode prick-puncture test atau
modified prick test harus diingat tidak boleh timbul perdarahan (perdarahan 1 titik
masih ditolerir). Ditunggu 15-20 menit untuk pembacaan hasil.

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tusuk


R

Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit. Alergen dibersihkan dengan tisu yang
menyerap alergen dan tidak boleh digosok. Reaksi yang timbul berupa eritema /
kemerahan dan juga edema / bentol. Apabila dalam waktu kurang dari 15 menit timbul
wheal yang sangat lebar, maka kulit sebaiknya di bersihkan dari larutan alergen untuk
menghindari terjadinya reaksi sistemik / reaksi anafilaksis.
PE

Pada pembacaan, kontrol negatif harus tidak ada reaksi, dan kontrol positif harus timbul
urtika / bentol. Reaksi ini kemudian dibaca dan dicatat, metode yang lebih akurat dalam
menentukan luas area reaksi adalah menggunakan planimetry. Untuk mendapatkan data
yang permanen dapat dilakukan cara sebagai berikut : batas dari bentol di tandai
menggunakan pulpen / pen fine tip, kemudian gambaran tersebut dipindahkan ke kertas
menggunakan plester tembus pandang / translucent tape. Hasil tes dibaca setelah 15
menit dengan melihat bentol yang timbul.

Untuk menilai ukuran bentol berdasar The Standardization Committee of Norhern


(Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol positif yang timbul

287
Lampiran 337
akibat histamin dengan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut
:
- bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya
antara bentol histamin dan larutan kontrol
- untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol histamin

I
dinilai ++++ (+4)

Penilaian ini tidak diukur dengan ukuran mm oleh karena adanya perbedaan reaksi kulit

SK
yang bersifat individual dan tidak tetap / berubah dari waktu ke waktu. Pada penderita
dengan hasil uji tusuk yang positif tetapi tanpa adanya gejala klinis, kemungkinan besar
terdapat pada fase laten atau alergi sub klinis.

Di Amerika cara penilaian ukuran bentol menurut Bousquet (2001) adalah sebagai berikut
:
0 : reaksi (-)
1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
2+ : diameter bentol 1 3 mm > dari kontrol (-)
3+ : diameter bentol 3 5 mm > dari kontrol (-)
4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema
DO
Secara umum reaksi minimal 3 mm atau setidaknya setengah dari reaksi yang timbul
akibat histamin, dinyatakan positif.

Dalam interpretasi hasil uji tusuk harus dipertimbangkan adanya positif palsu maupun
negatif palsu. Hasil dinyatakan positif palsu bila kontrol negatif memberikan hasil positif,
semua alergen positif dengan hasil serupa. Hasil positif palsu biasanya disebabkan oleh
karena dermografisme, reaksi iritasi, reaksi non spesifik yang berlebihan karena reaksi
kuat oleh alergen yang berdekatan, atau akibat perdarahan karena tusukan yang terlalu
dalam. Sedangkan hasil tes dinyatakan negatif palsu bila kontrol positif memberikan hasil
positif lemah atau negatif. Negatif palsu dapat disebabkan oleh kualitas dan potensi
alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi (antihistamin,
steroid), penyakit yang dapat meningkatkan respon kulit, penurunan reaktivtas kulit yang
biasanya dijumpai pada bayi dan orang tua, teknik tusukan yang salah (tusukan terlalu
R

lemah) atau waktu pembacaan yang tidak adekuat.

Faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk


7. Lokasi uji tusuk
Lokasi tes dapat mempengaruhi hasil uji tusuk, sebab reaktivitas alergen dan histamin
berbeda tergantung lokasi tempat tes dilakukan. Kulit pada lengan bagian belakang
PE

biasanya lebih reaktif daripada lengan bagian volar.


8. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes kulit harus dihentikan beberapa hari
sebelum dilakukan tes kulit, lama inhibisi reaksi dari antihistamin umumya berkaitan
dengan waktu paruhnya. Untuk golongan antihistamin generasi I/antihistamin klasik
yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin generasi II seperti setirisin, loratadin,
feksofenadin, desloratadin harus bebas selama 3-10 hari, sedangkan khusus untuk
astemizole harus bebas selama 4-8 minggu. Kortikosteroid sistemik dosis rendah atau
kortikosteroid inhalasi biasanya tidak mempengaruhi reaktivitas kulit akan tetapi
kortikosteroid dosis tinggi atau kortikosteroid topikal dapat menghambat responsivitas

288
338 Lampiran
kulit. Obat antidepresan seperti imipramin, fenotiazin dan juga obat penenang lainnya
harus dihindari selama 10 hari. Selain itu harus diwaspadai penggunaan dopamin atau
klonidin karena berperanan pula dalam menghambat reaktivitas kulit.
9. Usia
Pada bayi dan orang tua reaktivitas kulit cenderung menurun, dan meningkat sejak
masa anak-anak sampai dewasa. Tes kulit memberikan reaksi paling baik pada usia

I
dekade ketiga dan menurun secara signifikan setelah usia 50 tahun. Pada bayi, tes
kulit cenderung kurang reaktif sehingga bila hasil edema 2 mm atau lebih sudah
dikatakan positif.

SK
10. Ritme harian dan variasi musim
Faktor musim mempengaruhi hasil tes kulit karena berhubungan dengan sintesa Ig E
spesifik yang meningkat pada musim pollen sehingga sensitivitas kulit meningkat
setelah musim pollen dan menurun sampai musim pollen berikutnya. Terjadinya bentol
terhadap histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada
pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat minimal dan seringkali tidak berpengaruh.
11. Kualitas ekstrak alergen
Kualitas ekstrak alergen ini sangat penting dan mempengaruhi hasil tes kulit, oleh
karena itu bila memungkinkan sebaiknya dipakai alergen yang sudah terstandarisasi.
12. Kondisi patologi kulit
Jangan melakukan tes kulit pada penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria
DO
maupun dermatitis sebab akan mempengaruhi reaksi kulit terhadap alergen. Pada
penderita dengan keganasan. Limfoma, sarcoidosis, diabetik neuropati juga dijumpai
adanya penurunan reaktivitas terhadap tes kulit.
13. Imunoterapi
Imunoterapi yang sebelumnya didapat oleh seseorang akan menghambat reaksi kulit
terhadap alergen.
R
PE

Lampiran 339

289
Algoritme

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu

I
Mengenali patofisiologi DKA
dan mencatat gejala dan tanda
klinis DKA.

SK
Melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik Singkirkan
DD Papulo-eritroskuamosa
Status generalis

Status Dermatologikus:
Lokalisasi:
Morfologi kulit: Menyingkirkan DD
DO
Menetapkan diagnosis DKA dan
dugaan alergen penyebab

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga


dan alergen pelengkap yang akan diuji
R

Faktor yang Indikasi dan


mempengaruhi kontra indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku


PE

evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan


menginterpretasikan hasil uji tempel

290
340 Lampiran
Kepustakaan
1. Arshad SH. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton: Churchill
Livingstone, 2002.p. 24-7.
2. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of prick testing and its variants. In: Patch
testing and prick testing, a practical guide. Berlin: Springer, 2003. p 149-62.
3. McGrath. Anaphylaxis. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic
th
Diseases, Diagnosis and Management, 5 ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997.p.439-

I
58.
4. Soter NA, Kaplan AP. Urticaria and Angioedema. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine,

SK
6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p. 1129-39.
R DO
PE

Lampiran 341

291
Lampiran 5

HIMBAUAN

I
Kepada Yth.
Sejawat anggota PERDOSKI

SK
Di
Tempat

Buku Panduan Layanan Klinis Dokter Dermatologi dan Venereologi ini masih belum
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan Sejawat untuk
perbaikan /penyempurnaan buku ini.

Kritik dan saran dikirim melalui:


DO
PP PERDOSKI
Grand Ruko Salemba
Jl. Salemba Raya 1 no. 22, Unit no. 11
Telp/Fax. 021.3904517
Email: ppperdoski.org@gmail.com
ppperdoski@cbn.net.id atau ppperdoski@perdoski.org

Hormat kami,

Penyusun
R
PE

DILARANG MENGKOPI ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH


BUKU INI TANPA SEIJIN PEMEGANG HAK CIPTA YANG BERADA DI TANGAN
PERDOSKI MENURUT UU HAK CIPTA NO. 44 TAHUN 1987.

292 Lampiran
342
I
SK
R DO
PE

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA


(PERDOSKI)
Tahun 2014

You might also like