You are on page 1of 58

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah penyakit yang banyak dijumpai pada individu di


atas umur 50 tahun, dan sering menimbulkan kematian ataupun
kecacatan. Insiden penyakit ini di AS pada tahun 1986 adalah
500.000 kasus dengan angka kematian 147.800 kasus. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya lebih dari 50% penderita rawat inap di bangsal
penyakit saraf adalah kasus stroke. Pada usia kurang dari 65 tahun
stroke lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan diatas usia
tersebut jumlah kasus stroke pada pria kira-kira sama dengan wanita.

Data-data dari AS dan kanada menyatakan angka kematian


pada kasus stroke adalah 30%, 30% hidup dengan cacat berat yang
permanen, dan hanya 40% yang dapat pulih, sebagian sembuh
hampir sempurna, sedang sisanya menyandang cacat ringan tetapi
bisa bekerja lagi. 88% stroke fatal terjadi diatas usia 65 tahun.

Banyak faktor risiko yang memudahkan terjadinya stroke,


yaitu: (1) inherent biological traits; ras, umur, jenis kelamin; (2)
physiological characteristics; obesitas, hipertensi, diabetes,

1
hiperlipidemia, serum fibrinogen; (3) cara hidup yang kurang sehat;
diet terlalu bebas, merokok, alkohol, kontrasepsi oral, kurang
olahraga; dan (4) faktor lingkungan fisik, seperti temperatur.

Dengan mengetahui faktor-faktor risiko, banyak hal dapat kita


lakukan untuk mencegah stroke. Untuk hipertensi, hiperlipidemia,
merokok bisa dikerjakan pencegahan primer secara massal (mass
primary prevention) melalui informasi ke masyarakat; Untuk kasus
hipertensi dan kardiovaskular lain termasuk TIA (Transient Ischemic
Attack), perlu pencegahan primer intensif (high risk primary
prevention); Untuk kasus yang tertolong setelah stroke, perlu
pencegahan sekunder (secondary prevention) agar tidak terjadi
serangan berulang, dst. Kasus stroke sendiri perlu pengobatan cepat
dan tepat agar penderita terhindar dari maut, dan bila hidup agar
cacatnya tidak merupakan penghalang (handicap) dalam
kehidupannya sehari-hari.

Definisi

Stroke adalah kerusakan sebagian dari otak yang timbul


mendadak atau cepat, sebagai akibat terganggunya peredaran darah
otak.

2
WHO : Stroke is rapidly developing clinical sign of focal or global
disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or
longer with no apparent cause other than of vascular origin

Beberapa pakar berpendapat bahwa yang tergolong stroke


adalah hilangnya fungsi sebagian dari jaringan otak akibat
terganggunya peredaran darah otak pada jaringan tersebut.
Sedangkan gejala difus akibat hipotensi yang hebat disebut sebagai
gejala neurologis tambahan akibat penyakit sistemik lain.

Penyebab

1. Otak kekurangan darah, karena pembuluh darah tersumbat oleh


aterom atau emboli.

2. Otak kebanjiran darah, karena ada pembuluh darah yang pecah.


Akibatnya adalah stroke hemoragik.

3
BAB II
PATOFISIOLOGI

FISIOLOGI OTAK

Sebelum membicarakan patofisiologi dari stroke, akan


diuraikan secara ringkas fisiologi dari otak. Otak adalah jaringan
yang kecil tetapi terdiri dari beberapa milyar sel neuron, dimana
neuron-neuron tersebut terletak bergerombol sesuai dengan
fungsinya.

Dari tiap neuron keluar dendrit atau akson dalam jumlah ratusan
yang menghubungkan neuron tersebut dengan neuron lain didekatnya
maupun lewat akson yang panjang berhubungan dengan neuron dari
kelompok yang letaknya jauh. Akson panjang tersebut membuat
jaras-jaras saraf yang tampak sebagai substansia alba, sedangkan
kelompok neuron membentuk substansia grisea.

Pada bayi yang baru lahir otak sudah terbentuk lengkap, tetapi
belum berfungsi sempurna sehingga pada EEG tampak sebagai
gelombang lambat. Dengan berkembangnya kemampuan bayi
tersebut makin banyak kelompok neuron diaktifkan, sehingga pada

4
usia lima tahun kerja otak lebih aktif daripada otak dewasa. Setelah
usia lima tahun kerja neuron makin efisien, sehingga untuk
melaksanakan suatu tugas tidak perlu lagi sebagian besar neuron
bekerja, cukup beberapa kelompok bekerja menurut suatu engram
yang tercetak.

Sel neuron normal terdiri dari membran sel yang terbentuk dari
dua susunan atom fosfolipid yang saling membelakangi, sehingga
membentuk membran yang tidak dapat dilewati ion yang yang
terlarut dalam air. Akibatnya ada perbedaan kadar ion intraselular dan
ekstraselular yang menimbulkan beda potensial pada membran sel
tersebut. Beberapa bagian dari membran ini berlubang, tetapi terisi
oleh atom-atom protein dalam posisi tertentu, yang juga tidak dapat
dilewati oleh ion-ion secara bebas. Atom protein ini atas pengaruh
listrik atau atas pengaruh kimiawi akibat bereaksinya transmitter
pada reseptor neuron tersebut, akan berubah posisi sehingga
memungkinkan ion ekstraselular (seperti Ca++) masuk ke dalam sel.
Pada saat bersamaan terjadi aliran K+ dan H+ yang akan diserap oleh
glia, yang pada keadaan iskemia dapat berlebihan dan menimbulkan
edema pada glia.

5
Dalam keadaan normal gerbang ion (ion gate) ini akan terbuka
selama 25 mscc, kemudian akan otomatis menutup lagi. Begitu ion
Ca++ ini masuk ke dalam sel ia akan terikat sebagian dengan protein
intraselular, membentuk kalmodulin dan dibawa ke mitokondria,
yaitu pusat pembuatan, penyimpanan, dan penyalur neurotransmitter
pada saat ada transmisi impuls. Pada saat ini sodium calcium pump
yang memakai energi ATP dihidupkan untuk memompa kelebihan
Ca++ keluar dari sel dan mengembalikan beda potensial membran.

Tenaga kerja dari sel neuron adalah ATP yang dibentuk dari
glukosa. Pada keadaan aerob ia akan memasok sebagian besar dari
energi; 30% energi dipakai untuk transmisi impuls melalui
pembuatan, pengeluaran, dan reuptake neurotransmitter; 30% dipakai
untuk sodium calcium pump; dan 40% energi dipakai untuk
pemeliharaan arsitektur sel. Dalam keadaan darurat cadangan energi
adalah dari pemecahan glikolisis anaerob, tetapi keadaan ini hanya
mampu memberikan energi sekitar 15% saja dari normal.

Jenis neurotransmitter ada dua, yaitu jenis neuroeksitasi seperti


glutamate, aspartat, asteilkolin, yang akan membuka ion gate, dan
jenis neuroinhibisi seperti GABA yang justru menutup ion gate.

6
Beberapa mineral juga mempunyai pengaruh, seperti mangan dan
magnesium, menghambat pengeluaran neurotransmitter.

Proses kerja neuron secara normal dimulai dari: (1) signaling


strage: menerima neurotransmitter dari luar neuron yang disebut juga
first messenger; dan (2) transduction stage: reseptor luar yang
terangsang melepaskan second messenger yang bergerak bebas di
intraselular menuju target (struktur protein pada ion gate, dan enzim-
enzim lain yang merangsang proses fisiologi seperti cAMP,
fosforilasi), yang diikuti masuknya third messenger yaitu ion Ca++
yang bersama-sama dengan second messenger merangsang
mitokondria untuk proses meneruskan impuls.

PATOFISIOLOGI STROKE ISKEMIK

Jaringan otak dalam keadaan normal membutuhkan sangat


banyak oksigen dan glukosa untuk menjalankan fungsinya.
Kebutuhan ini dapat dicukupui bila ia mendapat aliran sekurang-
kurangnya 50 cc tiap menit untuk setiap 100 gram jaringan. Aliran
darah 30-35 cc/menit menimbulkan kenaikan H+ ekstraselular dan
edema glia. Bila aliran tersebut berkurang sampai 20cc/menit maka
neuron tidak bekerja, tetapi masih hidup. Keadaan ini disebut sebagai

7
electrical failure, dengan EEG menunjukkan flat recording. Bila
aliran mencapai 15 cc/menit mulai terjadi cell membrane
depolarisation dan peningkatan influks ion. Pada aliran 10 cc atau
kurang akan terjadi kerusakan irreversibel.

Toleransi terhadap iskemia berbeda antara neuron. Paling peka


adalah hipokampus, sel-sel piramidal dan neuron pada koteks lapisan
ke-3,5,6, sel purkinje serebelum, dan small & medium striated
neurons. Sel-sel ini akan terganggu pada iskemia global hebat, yang
berlangsung singkat antara 5-15 menit. Sel-sel tersebut di atas hampir
semua bersifat eksitasi post-sinaptik/glutamat. Toleransi terhadap
iskemia ini juga berbeda menurut usia, jenis kelamin, dan suhu tubuh
penderita. Lebih dingin suhu tubuh, akan lebih tahan terhadap
iskemia. Toleransi ini juga dipengaruhi kadar glukosa yang ada
dalam sel.

Iskemia pada otak dapat primer maupun sekunder. Iskemia


primer dapat merupakan: (1) iskemia global primer, misalnya setelah
cardiac arrest, tenggelam, intoksikasi CO, shock berat sesudah
perdarahan dibagian tubuh lain; dan (2) iskemia regional primer
misalnya karena penyumbatan pada CVA. Iskemia sekunder,
misalnya sesudah trauma, pada tumor, akibat vasospasme, dll.

8
Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% dari kasus stroke.
Sebgaian besar disebabkan oleh penyumbatan dari sistem arteri dan
sebagian kecil akibat penyumbatan sistem vena otak. Penyumbatan
sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus
ateromatous plaque pada bifurkasio dari arteri carotis. Keadaan ini
dijumpai terutama pada usia diatas 60 tahun, sedang pada kelompok
usia yang lebih muda umumnya penyebabnya adalah emboli trombus
yang berasal dari jantung (vegetasi valvula, mural trombus) atau dari
aorta dan cabang utamanya (fragmen-frgamen ateroma atau fibrin
trombi). Penyumbatan pada vena umumnya disebabkan oleh sepsis
bakterial ataupun mikosis, yang diserta flebotrombosis intrakranial.

Pada saat timbul gangguan aliran darah otak, mekanisme


perubahan badan akan membuat kompensasi dengan: (1) automatic
cerebral blood flow regulator, melalui vasospasme pada dinding
arteri, tetapi terbatas sampai diameter lumen maksmimal menyempit
75%; (2) sistem kolateral, yang akan berfungsi bila vasospasme
sudah maksimal; dan (3) bila tetap iskemia maka faktor lokal bekerja
sperti pH dan pCO2 yang akan membuat vasodilatasi lokal pada
daerah iskemia.

9
Mengapa dapat terbentuk trombus?

Trias dari Virchow menyatakan bahawa trombus terbentuk bila


terdapat: (1) kerusakan pembuluh darah (vascular damage); (2)
terbendungnya aliran darah (blood stasis); dan (3) gangguan
koagulasi darah (abnormal blood coagulation).

Kerusakan pembuluh darah dapat merupakan akibat dari


hipertensi berat dan lama, diabetes mellitus, macam-macam
gangguan metabolik, keradangan, dll. Kerusakan pembuluh darah ini
menyebabkan endotel tunika intima terkelupas, dan menimbulkan
reaksi pengendapan platelet, diikuti pembentukan plaque dan
trombosis in situ, yang lambat laun akan menimbulkan stasis dan
perlambatan aliran darah. Untungnya endotel pembuluh darah masih
mempunyai fungsi mencegah menumpuknya trombosis disitu,
melalui: (1) platelet dan vasodilatasi lokal; (2) placental
anticoagulation protein (PAP) yaitu sejenis protein pada endotel
yang mengikat fosfolipid yang bermuatan negatif sehingga
menghambat aktivasi dari protrombin; dan (3) protein C dan S pada
endotel yang bila teraktivasi melalui pelepasan tissue plasminogen
activator.

10
Koagulasi abnormal paling sering akibat hiperagregasi platelet
yang menurut Cermandy 75% dapat dideteksi dengan mengamati laju
endap darah (LED) dan hematokrit (PCV). Timbulnya trombosis
yang luas juga terjadi pada penderita dengan aPL (anti phospholipid
antibody), yaitu sejenis antibodi lupus pada penderita dengan
collagen vascular disease. aPL ini terikat langsung pada sel endotel.
Akibatnya prostasiklin, PAP serta protein C dan S tidak bekerja,
sehingga pada endotel pembuluh darah berbagai organ tubuh terjadi
endapan trombus yang tidak terkendali dan menyumbat lumen
pembuluh darah.

Umumnya endapan pada pembuluh darah akibat aPL adalah


pada vena, tetapi pada otak terdapat predileksi endapan arterial akibat
aPL, sehingga pada individu sekitar usia 40 tahun, dengan kadar aPL
tinggi, 31% mengalami iskemia otak. Endapan yang terjadi
kebanyakan didapatkan pada pembuluh darah kecil berupa stroke
lakunar, tetapi bila ada trombus pada jantung bisa juga didapatkan
pada arteria besar. Biasanya aPL related stroke sering disertai
gangguan joana penglihatan, akibat sumbatan pembuluh darah retina.

Dari ukuran pembuluh darah dan proses terbentuknya stroke


kita dapat menyimpulkan penyebab stroke sebagai berikut:

11
1. Primary large vessel thrombosis penyebabnya adalah:
a. Aterotrombosis
b. Arterial wall dissection
c. Arteritis
d. Migren
e. Obat-obatan (drug induced)
f. aPL dan koagulopati lainnya

2. Primary small penetrating arteri thrombosis disebabkan :


a. Mikroarteroma / lipohialinosis
b. Arteritis
c. Obat-obatan (drug induced)
d. aPL dan koagulopati lain
e. eklampsia

3. Tromboemboli pada semua ukuran arteri:


a. Arteriogenik
b. Kardiogenik: Atrial fibrilasi, post infark mural trombi,
kardiomiopati, katub buatan
c. Paradoxic origin / de.. vein thrombosis

12
Apa akibat dari penyumbatan pembuluh darah otak?

Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak


akan mengakibatkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan
pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel
tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami
kerusakan irreversibel sampai nekrosis beberapa jam kemudian, yang
diikuti perubahan permeabilitas vascular disekitarnya dan masuknya
cairan serta sel-sel radang.

Bila iskemia berlangsung lebih dari 5 menit tetapi kurang dari


satu jam, akan menimbulkan hiperpolarisasi membran karena agak
meningkatnya konduksi K+, sehingga mengurangi kepekaan reseptor.
Pada keadaan ini sel masih viable karena energi dalam sel masih
cukup. Bila iskemia berlangsung lebih lama dari satu jam akan
menimbulkan infark pada bagian tengah dari daerah iskemia, yang
akan meluas ke sekitarnya. Pada hewan coba tikus perluasan infark
timbul dalam jangka waktu 3-4 jam, pada monyet dalam jangka
waktu 6-8 jam. Ini merupakan waktu yang kritis, karena dalam waktu
ini bila diberi pengobatan akan mencegah terjadinya peluasan
kerusakan (Therapeutic window).

13
Di sekitar daerah iskemia timbul edema glia, akibat
berlebihannya H+ dari asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak
diserap oleh sel glia disertai retensi air, yang timbul dalam empat hari
pertama sesudah stroke. Edema ini menyebabkan daerah sekitar
nekrosis mengalami ganguan perfusi (misery perfusion), dan timbul
iskemia ringan tetapi jaringan otak masih hidup. Daerah ini adalah
ischemic penumbra yang perlu diselamatkan dari glutamat cascade.
Ion H+ menjadi katalisator dari ferrous ion mediated free radical
raction yang menimbulkan kerusakan pada glia.

Pada iskemia lama, sel neuron pada sentrum dari anoksia akan
mati dan melepaskan neurotransmitter-nya, dimana yang sangat
eksitoksik adalah glutamat yang kebetulan juga merupakan
neuroransmitter mayoritas pada hampir semua neuron otak. Dalam
keadaan normal, glutamat akan diambil kembali oleh neuron dan
glia, tetapi prosess membutuhkan energi yang justru tidak ada akibat
iskemia.

Setelah glutamat ini masuk dalam celah antara sel-sel otak,


maka mulai terjadi proses perusakan otak yang disebut glutamat
cascade, yang berlangsung melalui tiga tahapan:

14
1. Tahap induksi pada neuron
Glutamat dalam jumlah besar mengisi reseptor-reseptor:
N-Metil-D-Aspartat (NMDA), yang berakibat influks berlebih
dari Na+ dan Ca++
Alfa amino-3-hydroxy-5-Metil-4-isoxazol Propinonic Aspartate
(AMPA)/ kainate/ quisqualate (subtipe dari reseptor glutamat),
yang berakibat ifluks berlebih dari Na+ beserta Cl- dan air, yang
akan menimbulkan edema
Metaboreseptor (subtipe reseptor glutamat yang tidak terkait
dengan ion gate), menimbulkan pelepasan inositol 1,4,5-
triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG)
Reseptor NMDA bekerja hanya bila keadaan sekitarnya tidak
asam atau pH 7, sedangkan resptor AMPA tetap bekerja pada saat
suasana sekitarnya menjadi asam akibat asam laktat. Dalam tahap
ini sel neuron masih baik.

2. Tahap perluasan kerusakan di dalam neuron


Terlalu banyak ion positif intraselular membuka voltage
activated ion gate dan mempermudah ion Ca++ masuk sel.
Bersama itu juga carrier molecule yang diaktifkan oleh
berlebihnya Na+ intrasel akan membawa Na+ keluar dan ditukar
influks Ca++ lagi. IP3 juga melepas Ca++ dyang tersimpan di

15
intraselular. Berlebihnya Ca++ ditambah dengan DAG akan
mengaktifkan enzim yang memodifikasi membran sel dan
reseptornya serta membuat neuron lebih peka terhadap glutamat
dan transmitter lain. Keadaan ini juga merangsang mitokondria
melepaskan glutamat dan transmitter lain yang akan menyebar ke
neuron lain disekitarnya. Dalam tahap ini sel neuron membengkak
dan membran sel bocor.

3. Tahap penghacuran neuron


Ca++ juga mengaktifkan enzim lipase yang menghancurkan
fosfolipid dan membentuk asam arakidonat. Selanjutnya akan
melepas oxygen free radicals yang merusak membran sel,
eicosanoid molecule dan eicosanoid protein, yang terlepas
bersama-sama dengan Platelet Activating Factor (PAF), produk
dari hancurnya fosfoliipid. Keadaan ini akan menimbulkan spasme
pembuluh darah lain yang sebelunya sehat, sehingga iskemia
meluas.
Ca++ juga akan mengakifkan enzm protease, endonuklease yang
akan menghancurkan protein sel dan DNA, dengan hasil akhir
free radicals yang toksik untuk sel. Jadi jelas bahwa untuk
pencegahan, kita harus bertindak semasa sel neuron masih dalam

16
stadium terinduksi (ion gate belum terbuka, glutamat belum
terlepas).

Sel yang sensitif pada iskemia adalah yang mempunyai banyak


reseptor NMDA, sehingga pada iskemia global timbul SINN
(Selective Ischemic Neuron Necros). Pada iskemia parsial, hanya
reseptor NMDA yang terangsang, yang menyebabkan ligand
operated ion channel terbuka, tetapi voltage snsitive calcium channel
belum terbuka. Jadi saat ini masih dapat dicegah dengan NMDA
blocker. Pada iskemia hebat, semua ion channel sudah terbuka,
sehingga NMDA blocker tidak ada gunanya lagi digunakan untuk sel
tersebut, hanya ia masih dapat melindungi sel neuron disekitarnya.
Voltage senstive calcium channel ada tiga tipe, tetapi hanya tipe L
yang dapat dilindungi oleh calcium channel blocker seperti
dihidropiridin (nimotop), fenilakilamin (verapamil, flunarisin) atau
benzotiozepon (diltiazem).

Bahaya dapat terjadi saat reperfusi, sesudah revaskularisasi dan


trombolisis, oleh karena masih adanya produk sisa terutama PAF,
yang dapat menimbulkan vasokonstriksi. Hal ini dapat dicegah
dengan menggunakan derivat Gingko untuk menetralisir PAF
tersebut. Vasokonstriksi yang tidak dicegah, mempunyai potensi

17
menimbulkan iskemia baru dan hebat di daerah hilir dari sumbatan,
yang menyebabkan proses glutamat cascade partial menghebat dan
menimbulkan nekrosis sel.

Penyumbatan pembuluh darah total akan mengakibatkan


rusaknya pembuluh darah, sehingga pada saat terjadinya
revaskularisasi atau trombolisis, darah akan menembus pembuluh
darah yang rusak dan menimbulkan infark hemorhagic. Pada
kelainan jantung yang melepaskan hujan emboli ke otak, juga sering
terjadi penyumbatan total karena beberapa trombus yang menyumbat
satu pembuluh darah, dan ini mengakibatkan sering terjadi infark
hemorhagic.

PATOFISIOLOGI STROKE HEMORHAGIC

Berbeda dengan stroke iskemik dimana terjadi kerusakan sel


otak, pada stroke hemoragic sel otak masih utuh, tetapi terdorong
oleh darah (Brain tissue separated by blood). Hematom ini
menimbulkan kenaikan tekanan pada jaringan setempat, yang
berakibat kerusakan kapiler darah disekitarnya dan memperluas
perdarahan ke sekelilingnya.

18
Pada perdarahan besar, otak dapat robek (Disconnected and
lacerated brain tissue), yaitu terjadi dissection pada serabut saraf
(fiber tract). Hanya perdarahan dalam jaringan otak yang luas yang
dapat menimbulkan gejala klinis nyata (kira-kira 3 cm pada hemisfer
dan 1,5 cm pada serebelum atau batang otak, dimana diameter 3 cm
setara dengan kira-kira 50 cc darah). Lesi yang lebih kecil gejalanya
sering tidak nyata dan baru terdeteksi pada pemeriksaan dengan CT
scan pada saat penderita berobat karena keluhan lain dari kepalanya.

Lebih dari 50% kasus perdarahan otak terjadi akibat hipertensi


lama yang mengakibatkan terjadinya deposit hialin pada tunika
media (fibrinoid angiopaty). Sisanya timbul karena kerusakan
pembuluh darah seperti defek angiomatous pada anak-anak),
pembuluh darah rapuh dalam neoplasma, infeksi pembuluh darah
bakterial / mikotic (arteritis), serta penyakit darah seperti leukimia,
trombositopenia, sickle cell disese, dan diskrasia darah lain.
Penyebab yang lain adalah akibat obat-obatan seperti antikoagulan,
dan drug abuse seperti kokain, amfetamin yang menimbulkan drug
induced vasculitis serta merangsang output symphatetic yang
berakibat kenaikan tensi secara tinggi dan mendadak.. Intravenous
drug abuse juga mengakibatkan acute bacterial endocarditis dan
mycotic infection yang membentuk aneurisma.

19
Akibat dari perdarahan otak adalah putusnya hubungan atara
neuron atau antara traktus, sehingga fungsi transmisi tidak berjalan
lancar lagi. Perdarahan yang luas juga disertai dengan iskemia dan
edema. Bila perdarahan meluas terus menerus dapat menembus ke
ruangan subaraknoid, atau ke dalam sistem ventrikel otak. Bila
jumlah darah yang ke sistem ventrikel tersebut berjumlah banyak
maka dapat menganggu aliran likuor serebrospinalis dan dapat
berakibat hidrosefalus akut yang fatal. Darah yang masuk ke dalam
ruangan subaraknoid atau ke dalam sisterna bisa menimbulkan
vasospasme arterial yang hebat yang menimbulkan defek iskemia
sekunder yang luas serta sukar di obati.

20
BAB III

GEJALA KLINIS

Pada stroke terdapat tiga kelompok gejala, yaitu: (1) gejala


petanda (premonitory sign), (2) gejala umum, dan (3) gejala spesifik.

Gejala petanda (premonitory sign). Gejala ini tidak selalu


terlihat nyata. Pada stroke iskemik akibat ateroma pembuluh darah
besar dapat berupa TIA atau gejala ringan yang timbul pada daerah
yang sama, sedang pada emboli karena kelainan jantung dapat berupa
amaurosis, TIA, atau gejala ringan lain yang dapat mengenai daerah
otak yang berlainan. Pada SAH gejala dapat berupa penekanan oleh
aneurisma pada N III, IV, V, dan VI; sedangkan pada perdarahan
intraserebral gejala awal sangat minim bila kelainan pada small
penetrating artery.

Gejala umum. Gejala ini berupa sakit kepala, muntah atau


kejang, dan kesadaran menurun.

Gejala spesifik. Yaitu gejala-gejala yang timbul sesuai dengan


tempat yang mengalami keruakan. Gejala spesifik pada oklusi
pembuluh darah:

21
a. Arteri serebri media

Arteri serebri media dan cabang-cabangnya adalah yang paling


sering terganggu. Arteri ini memelihara sabagian besar korteks lobus
frontalis, parietalis, dan temporalis.

Afasia diserta kelumpuhan ekstremitas atas dan muka


menunjukkan lesi di sekitar fissura sentralis, pada korteks bicara
parasylvian, area vaskular dari arteri serebri media divisi
percabangan atas. Bila terjadi aleksia, agrafia, anosognosia, dan
defek joana penglihatan radiatio optika bagian atas, menunjukkan
gangguan pada daerah vaskularisasi percabangan posterior dari arteri
serebri media.

Cabang bagian dalam dari arteri serebri media memelihara


kapsula interna dan eksterna, basal ganglia, dan talamus. Gangguan
pada daerah subkortikal ini biasanya karena perdarahan intraserebral,
tetapi juga dapat akibat trombosis (stroke lakunar) dengan akibat
terjadi hemiplegi yang masif.

b. Arteri carotis interna

Penyumbatan arteri karotis interna menimbulkan gejala mirip


dengan penyumbatan arteri serebri media, yaitu mengenai regio

22
sentral dan lateral dari hemisfer. Umumnya penyebab kelainan adalah
ateroma pada bifurkasio arteri karotis komunis yang secara bertahap
menutup arteri karotis interna. 15% dari penyumbatan arteri karotis
interna tidak menimbulkan gejala karena adanya anastomosis
pembuluh darah kolateral. Perbedaan dengan lesi pada arteri serebri
media adalah adanya bruit pada auskultasi leher dan pada
oftalmodinamometri beda penekanan pada mata kanan dan kiri bisa
mencapai 50%.

c. Arteri serebri anterior

Oklusi arteri serebri anterior jarang terjadi karena adanya


hubungan arteri komunikans anterior. Tetap bila terdapat
penyempitan primer dari pembuluh darah, dapat terjadi iskemia
dengan gangguan fungsi korteks frontalis dan parietalis bagian
tengah, korpus kalosum, dan kadang-kadang nukleus kaudatus
dengan gejala hemiparesis dengan gangguan tungkai lebih nyata,
grasp reflex, inkontinensia urin, dan gangguan emosi pada lesi yang
luas.

d. Arteri serebri posterior

Oklusi arteri serebri posterior menimbulkan gangguan pada


lobus temporalis dan oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus,

23
hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus korioid dan
batang otak bagian atas. Gejala-gejalanya adalah hemianopsia,
hemisensory loss, kadang-kadang nyeri talamik spontan, bisa
hemibalisme, dan pada hemisfer dominan terjadi alexia.

e. Sistem vertebro-basiler

Oklusi cabang sistem vertebro-basiler menimbulkan gangguan


pada batang otak dan serebelum, dengan tanda hemiplegi alterans
dan gejala serebelar (hemiplegi ataksik), sedang penyumbatan total
pada arteri basilaris menimbulkan tetraplegi, gangguan kesadaran,
tanda gangguan psudobulbar, oftalmologi dan gangguan pupil,
kebutaan (karena korteks kalkarina terdapat darah dari sistem
vertebro-basiler), serta vertigo.

Gejala spesifik pada perdarahan intraserebral

Penyebab perdarahan intrserebral terbanyak adalah ruptur


pembuluh darah yang arteriosklerotik akibat hipertensi lama, atau
pembuluh darah yang mengalami iskemia karena terjadinya trombus
setempat. Umumnya perdarahan adalah tunggal dan luas, terjadi
paling sering pada cabang arteri serebri media bagian dalam yaitu
kapsula interna, basal ganglia dan talamus. Perdarahan akibat

24
penyakit-penyakit pembuluh darah dan lain biasanya kecil-kecil dan
multipel, serta mengenai hampir semua bagian otak.

Lesi subkortikal dapat menimbulkan paralisis yang masif atau


luas dan berat, umumnya timbul sebagai akibat perdarahan
intraserebral, tetapi dapat juga akibat trombosis small penetrating
artery1. perdarahan subkortikal sering disertai kejang-kejang. Gejala-
gejala sakit kepala, muntah, dan kesadaran menurun baru timbul pada
perdarahan besar yang disertai kenaikan tekanan intrakranial.

Perdarahan ganglia lateralis menimbulkan hemiparesis,


hemisensory loss, dan deviation conjugate ipsilateral. Kerusakan
pada bagian tengah putamen yang mengenai genu kapsula interna
menimbulkan hemiparesis hebat dan menentap, sedang hematom
agak ke depan menimbulkan hemiparesis yang tidak terlalu hebat dan
tidak menetap. Lesi putamen agak ke belakang menimbulkan
hemisensory loss disertai afasia (hemisfer dominan) atau visual
neglect (hemisfer non dominan).
1
Trombosis ini ditandai dengan TIA berulang kali pada area yang sama dan gejala yang
fluktuatif, misalnya hemiparesis sama berat pada lengan dan tungkai berlangsung 10 menit,
sembuh total, kumat lagi besok paginya, dst. Apalagi bila disertai gejala serebelum yang
menunjukkan sindrom klasik dari stroke lakunar.

25
Lesi nukleus kaudatus memberikan gangguan kemauan
(abulia), gelisah dan pelupa, yang bila meluas ke posterolateral ke
arah kapsula interna akan menimbulkan hemiparesis.

Lesi talamus ventrolateral berakibat hemisensory loss dan


ataksia. Lesi medial talamus menyebabkan perubahan kewaspadaan,
apatis, amnesia, kadang-kadang disertai visual neglect. Lesi ini sering
meluas ke bawah dan menekan upper midbrain yang menimbulkan
gejala pupil kecil dan reaktif lambat, upward gaze paralysis, serta
posisi bola mata ke bawah (sunset sign) pada saat mata istirahat
terjadi hiperadduksi satu atau kedua mata, disertai kesulitan abduksi
(pseudo abducens paresis), kadang-kadang diserta deviation
conjugate ke arah kontralateral dari lesi. Perdarahan dari talamus
sering meluas ke batang otak dan fatal. Demikian pula bila terjadi
pada batang otak dapat terjadi koma disertai gejala kegawatan
neurologis.

Tergantung dari kausa dan besarnya lesi, maka gejala bisa


sangat akut atau hanya sesaat (transient) dan cepat pulih. Misalnya
perdarahan serebelum, mungkin awaknya hanya dizziness, ataksia,
nistagmus, tetapi karena letaknya dalam ruang yang sempit dan

26
potensial menghambat aliran cairan otak, maka dalam waktu
beberapa jam bisa memburuk keadaannya dan berakibat fatal.

Perdarahan pada korteks dapat terjadi akibat degenerasi


amiloid, terapi antikoagulan, dan AVM. Gejala-gejala yang timbul
sesuai dengan korteks yang terganggu.

Perdarahan spontan dapat menimbulkan koma, quadriplegia,


small nonreactive pupil, spontaneus downward eye mevement
(occular bobbing) yang menandakan rostral brain stem gaze centre
masih intak. Perdarahan kecil pada pons menyebabkan hemiparesis
ataksik, dan lesi pada tegmen pons lateral menimbulkan gejala
hemisensory loss dan inter nuclear ophtalmoplegi (INO).

Perdarahan serebelum umumnya pada nukleus dentatus, jarang


terjadi pada vermis, sehingga gejala yang timbul adalah ataksia,
vertigo dan muntah, pupil lebih kecil ipsilateral, dan conjugate palsy
N. VI ipsilateral.

Perdarahan intraventrikular akan memberikan gejala sakit


kepala, muntah, kesadaran menurun, bilateral plantar response,
kadang-kadang dengan gangguan motoris, sensoris, maupun visual
yang asimetris. Umumnya penyebabnya adalah AVM ventrikular dan

27
periventrikular, kadang-kadang dapat juga sekunder dari perdarahan
di korteks atau pons.

Dibawah ini stroke berdasarkan onset dan gejala yang terjadi:

1. Stroke embolik

Onset : Mendadak, 20% dengan serangan berulang


dalam 24 jam, kadang-kdang didahului TIA
yang mengenai daerah-daerah vaskular lain.
Gejala : Sakit kepala pada saat atau setelah onset
Anatomis : Korteks superfisial, sering pada area arteri
serebri media, kadang-kadang serebelum (area
arteri serebri posterior).
Pemeriksaan : Pada CT scan didapatkan bentuk wedge shape,
superfisial atau bersambung sampai dalam
dengan densitas hipodens atau tampak hitam.
Hipodens terjadi akibat edema neuron dan glia,
yang mulai tampak setelah iskemia berjalan 12
jam (akan mencapai maksimal dalam 48 jam)

Pada MRI didapatkan T1 weighted hitam, dan


T2 weighted putih

28
2. Trombosis arteri besar

Onset : Subakut, sering didahului TIA (40%).


Umumnya TIA terjadi pada daerah vaskular
yang sama.
Gejala : Sakit kepala sebelum, pada saat, atau setelah
onset
Anatomis : Korteks superfisial, sering pada area arteri serebri
media, kadang-kadang serebelum (area arteri
serebri posterior).
Pemeriksaan : Pada CT scan : Hipodens pada border zone atau
pada centre of arterial supply.

Pada MRI : T1 weighted hitam, dan T2


weighted putih2

3. Trombosis small penetrating artery (stroke lakunar)

Onset : Subakut, sering didahului oleh TIA (25%)


Gejala : Tanpa keluhan sama sekali

2
T1 weighted dan T2 weighted adalah metode dimana diberikan impuls radio
frekuensi tertentu pada sentral prosesor MRI, dan dibuat hilangnya fase
koheren dari processing proton.

29
Anatomis : Struktur otak bagian dalam, yaitu pada
subcortical white matter, basal ganglia, talamus,
pons, dan serebelum.
Pemeriksaan : Pada CT scan : Lokasi lesi kecil dan dalam,
tampak hipodens

Pada MRI : T1 weighted hitam, dan T2


weighted putih

Penyebab kematian penderita stroke trombotik adalah infark


miokard yang ditandai dengan shock hipotensi. Gejala TIA
ataupun stroke kadang-kadang berkurang karena terjadi
trombolisis dan rekanalisasi segera. Gejala ini dapat bertambah
berat karena sirkulasi kolateral yang berubah akibat perubahan
tensi, volume cairan, ataupun akibat cardiac output dan posisi
penderita di tempat tidur. Fluktuasi gejala ini adalah tanda khas
pada iskemia otak regional.

4. Perdarahan subaraknoid

Onset : Mendadak, biasanya pada latihan fisik atau


olahraga
Gejala : Sakit kepala, muntah, kesadaran hilang

30
Anatomis : Ruang subaraknoid, otak tidak mengalami
gangguan
Pemeriksaan : Pada CT scan : Tampak hiperdens atau berwarna
putih di luar otak

Pada MRI : T1 weighted hitam, dan T2


weighted putih
Perdarahan subaraknoid terjadi oleh karena pecahnya AVM
atau aneurisma, dan melepaskan banyak darah ke dalam ruang
subaraknoid. Keadaan ini bisa menimbulkan sefalgia yang sangat
hebat di seluruh kepala. Sekitar 25-50% kasus didaului dengan
premonitory cefalgia dalam satu minggu sebelumnya. Pada SAH
jaringan otak tidak rusak, sehingga kesadaran hanya hilang
sebentar pada 50%. Darah tadi meliputi pembuluh darah dan
mengakibatkan vasospasme yang bisa bersifat difus dan fatal, bisa
juga bersifat segmental dengan defisit neurologis permanen. Darah
dalam likuor dapat dijumpai pada hari pertama, dan 50% darah
hilang dari liquor setelah satu minggu, sedang liquor kekuningan
timbul sesudah 12 jam dan menetap sampai dua minggu.

5. Perdarahan intraserebral

31
Onset : Mendadak, kadang-kadang pada latihan fisik
atau olahraga, dan dalam beberapa menit atau
jam gejala defisit neurologis bertambah
progresif, diikuti sakit kepala, kesadaran
menurun, dst.
Gejala : Sakit kepala, muntah, kesadaran menurun, dan
kejang bila perdarahan luas
Anatomis : Struktur otak bagian dalam yaitu subcortical
white matter, basal ganglia, talamus, serebelum,
atau pons.
Pemeriksaan : Pada CT scan : Terdapat hiperdens fokal,
kadang-kadang masuk ke ventrikel otak atau
menyebar ke permukaan otak.

Pada MRI : T1 weighted pada perdarahan akut


berwarna hitam, sedangkan pada perdarahan
kronis berwarna putih. T2 weighted berwarna
putih.

BAB IV

32
KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering pada stroke adalah herniasi


transtentorial. Herniasi pada perdarahan terjadi dalam 24 jam
pertama dan pada infark terjadi dalam 4-5 hari. Timbulnya herniasi
adalah akibat tekanan intrakranial yang meningkat karena edema
serebri yang menyertai stroke yang luas.

Pada evaluasi CT-Scan, 41% kasus didapatkan edema, tetapi


yang berbahaya adalah bila edema ini disertai mass effect/shift, yaitu
dimana edema terbentuk dan meluas dalam waktu yang singkat.
Edema ini adalah edema sitotoksik, dengan sawar darah otak (blood
brain barrier) masih intak. Umumnya edema terletak disekitar lesi,
bentuknya bulat dan berbatas jelas. Edema pada infark yang
terbentuk setelah minggu pertama, adalah akibat perubahan
permeabilitas untuk pembersihan nekrosis, yang bisa berlangsung
hingga 1 bulan. Edema pada infark ini tidak disertai oleh terjadinya
mass effect karena proses terjadinya edema secara perlahan (suatu
edema vasogenik).

Infark hemoragic terjadi sekitar 74% pada kasus stroke


kardioembolik dan 31% pada kasus stroke iskemik. Infark ini

33
biasanya terbentuk dalam 4 hari pertama. Oleh karena itu
antikoagulan jangan diberikan pada stroke yang luas, stroke dengan
adanya mass effect, dan dalam 4 hari pertama setelah stroke.

Kejang terjadi pada 11% kasus stroke dengan perdarahan.


Depresi terjadi sekitar 50% pada kasus stroke. Kenaikan kadar gula
darah terjadi pada 28% kasus stroke karena pengaruh stress akibat
naiknya katekolamin darah post stroke. Pada keadaan ini
pemeriksaan Hba1c akan membantu membedakan dengan kasus
diabetes biasa. Hal yang sama (kenaikan katekolamin darah) juga
menjelaskan terjadinya kenaikan tekanan darah pada 84% penderita
post stroke.

BAB V
DIAGNOSIS

34
Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah apakah ini betul stroke?

1. Pada stroke, gejala muncul mendadak dan mencapai puncaknya


dalam waktu kurang dari 24 jam. Penyebabnya adalah gangguan
vaskular yang spontan, bukan akibat trauma, tumor, atau lainnya.

2. Faktor risiko biasanya nyata, dan pada banyak kasus gejala


pertanda sebelumnya telah ada

Caplan menyatakan dari faktor risiko saja kita sudah mendapat


banyak petunjuk, misalnya ras kulit putih dan jenis kelamin laki-
laki mempunyai kecedrungan penyumbatan pada arteri karotis
ekstrakranial dan arteri vertebralis daerah leher, sedang pada kulit
berwarna dan wanita kebanyakan penyumbatan pada arteri serebri
media atau cabang vertebrobasiler intrakranial. Demikian pula
faktor risiko lemak, gula darah, dll.

TIA pada daerah yang sama adalah karena kelainan pembuluh


darah, sedangkan TIA yang menyerang daerah berbeda
kemungkinan adalah akibat emboli jantung.

35
Faktor risiko pada trombosis dan tromboembolik biasanya adalah
merokok, diabetes, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, sakit
jantung lain, penyakit vaskular periferal.

Faktor risiko pada trombosis small penetrating artery adalah:


diabetes, polisitemia, hipertensi.

Faktor risiko pada perdarahan subaraknoid tidak ada, kadang-


kadang oleh karena gangguan pembekuan darah atau obat-obatan.

3. Faktor pencetus dan onset penyakit membantu menetapkan kira-


kira stroke jenis apa yang sedang kita hadapi.

Bila betul stroke, maka pertanyaan berikutnya adalah: dimana letak


anatomis stroke, apa sebabnya, dan seberapa hebatnya stroke
tersebut?

Gejala klinik yang timbul menunjukkan letak anatomis dari


stroke. CT scan dan MRI akan menetapkan secara pasti letak dan
kausa dari stroke tersebut. Dimana MRI lebih cepat dalam
menunjukkan letak anatomis dari stroke karena 45 menit post stroke
MRI sudah dapat mendeteksi letak anatomis dari stroke.

Pada MRI sequential dapat terlihat dengan jelas kausa stroke,


bahkan stroke lakunar pun dapat dideteksi. Ulangan CT scan satu

36
minngu kemudian hanya perlu bila CT scan pada awal stroke
hasilnya negatif.

Selain itu, pada kasus stroke akibat oklusi dari pembuluh darah
selanjutnya perlu diikuti dengan pemeriksaan:

1. Ekokardiografi pada dugaan adanya tromboemboli kardiak


(transtorakal atau transesofageal).

2. Ultrasound scan arteri karotis, bila diduga adanya ateroma pada


arteri karotis. Disini dipakai prinsip doppler untuk menghasilkan
continous wave yang dapat mendeteksi derajat stenosis secara
akurat, serta juga plsed ultrasound devide yang dikaikan dengan
scanner (duplex scan).

3. Intra arterial digital sustraction angiografi, bila pada ultrasound


scan terdapat stenosis berat.

4. Transcranial doppler dapat membantu untuk melihat sejauh mana


anastomosis membantu daerah yang tersumbat.

5. Pemeriksaan darah lengkap perlu untuk mencari kelainan pada darah


penderita.

37
Pada perdarahan intraserebral diagnosis ditegakkan melalui
scan atau MRI, berupa lesi berbatas jelas, tepi licin, kadang-kadang
disertai edema dan midline shift. Pemeriksaan MRI pada awal
perdarahan menunjukkan T1 weighted hitam, T2 weighted putih;
setelah 72 jam MRI akan menunjukkan T1 weighted menjadi putih,
T2 weighted menjadi hitam; setelah satu minggu T1 weighted
maupun T2 weighted sama-sama putih; setelah beberapa tahun, bekas
hematom tersisa sebagai slit like defect dengan hemosiderin pada
dindingnya. Perdarahan korteks dan subkortikal pada penderita
dengan normotensi lebih baik dilanjutkan dengan pemeriksaan
angiografi untuk mencari adanya aneurisma atau AVM.

Semua pemeriksaan ini akan membantu kita untuk secara pasti


mengetahui pokok penyebab stroke, dan bagaimana kondisi
pembuluh darah yang lain, sehingga pilihan terapi akan sangat tepat
mengenai sasaran.

Sebelum diagnosis pasti dapat ditegakkan sebaiknya tidak


diberikan terapi kasual, tetapi cukup diberikan terapi penunjang dulu
(basic life suport). Hal ini ditujukan agar penderita tidak menjadi
bertambah gawat kondisinya, karena pengobatan otak yang
kekurangan darah dan otak yang kebanjiran darah sangat berbeda.

38
BAB VI

PENATALAKSANAAN

I. PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK

Stroke adalah medical emergency, sebab tiap neuron yang mati


tidak akan mengalami regenerasi. Pengobatan stroke harus dimulai
sedini mungkin. Hal ini disebabkan pada penelitian dengan hewan
coba, ternyata kerusakan neuron masih bersifat reversibel dengan
pemulihan sempurna bila iskemia ditolong dalam jangka waktu 60
menit sesudah terjadinya pentumbatan aliran darah. Beberapa penulis
lain berpendapat bahwa therapeutic window tersebut bisa sampai 3-6
jam.

Pengobatan secara umum yang dapat dilakukan adalah:

1. Pertahankan saluran pernapasan yang baik


2. Pertahankan tekanan darah yang cukup.
3. Evaluasi jantung dan organ vital lain juga merupakan hal penting
4. Pertahankan milleu intern kualitas darah, cairan dan elektrolit,
protein darah, dan keseimbangan asam basa yang baik.
5. Perhatikan kandung kemih dan rectum.

39
6. Hindarkan terjadinya febris dan pemakaian glukosa dalam nutrisi
parenteral

Khusus untuk otak, sangat diperlukan observasi dari fungsi otak


secara teratur meliputi GCS, motorik, sensorik, reflek batang otak,
koordinasi, gaze, serta pupil. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
apakah terjadi kemajuan atau kemunduran pada fungsi otak. Bila
terjadi kemunduran fungsi otak secara progresif maka cari segera
penyebabnya, mungkin saluran nafas, sistem kardiovaskular, atau
kelainan saraf yang perlu pengobatan intensif, misalnya timbul
edema otak yang bertambah luas.

Inti dari pengobatan pada stroke iskemik adalah:

1. Bagaimana memberikan aliran darah kembali pada bagian otak


tersebut

a. Membuka sumbatan
Pemberian trombolisis dengan streptokinase atau urokinase
akan merubah circulating plasminogen menjadi plasmin. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya systemic lytic state serta dapat
menimbulkan bahaya infark hemoragic.

40
Pemberian fibrinolisis lokal dengan tissue plasminogen
activator akan menyebabkan terjadinya fibrinolisis lokal yang
amat singkat.

b. Menghilangkan vasokonstriksi
Calcium channel blocker dapat diberikan pada 3 jam pertama
post stroke serta belum terjadi edema otak (GCS > 12)

c. Mengurangi viskositas darah dengan hemodilusi


d. Merubah hemoreologi darah dengan Pentoxyfilin
e. Menambah pengiriman oksigen dengan Perfluorocarbon,
Oksigen hiperbarik
f. Mengurangi edema yang ada dengan Manitol

2. Bagaimana mencegah kerusakan sel yang iskemik

a. Mengurangi kebutuhan oksigen dengan menurunkan temperatur


(hipotermi), Barbiturat

b. Menghambat pelepasan glutamat dengan merangsang reseptor


adenosin dari neuron

c. Mengurangi produksi glutamat dengan Methionin

41
d. Mengurangi akibat glutamat:

NMDA blocker pada iskemia regional (contoh obat: Ciba CGS


19755, Merck MK 801, Roche Dextrophan)

AMPA blocker pada iskemia global yang sering disertai


asidosis (contoh obat: NBOX)

e. Inhibisi enzim yang keluar dari neuron, seperti Ganglioside


GM1 yang dapat menginhibisi enzim protein kinase C yang
melarutkan membran sel.

f. Menetralisir radikal bebas dengan pemberian Vitamin C,


Vitamin E. Superoxyde dismutase (SOD) seperti 2-1
aminosteroid (Lazeroid) akan memperpanjang waktu paruh dari
endotelial derived relaxing factor.

g. Mengurangi produksi laktat dengan menurunkan gula darah


hingga mencapai nilai normal.

h. Mengurangi efek brain endorphine dengan Naloxone

3. Bagaimana memulihkan sel yang masih viable

Hari kedua setelah stroke, adalah waktu regrowth yang sangat


penting dimana sel yang hanya rusak sedikit mulai regenerasi, dan

42
neuron lain mulai menjalin kembali koneksi baru menggantikan yang
sudah terputus.

Feency dari universitas New mexico memberikan Amfetamin


untuk menaikkan transmisi katekolamin pada hewan coba tikus dan
kucing yang dibuat mengalami iskemia pada otak. Ternyata dengan
pemberian Amfetamin, kemampuan berjalan hewan coba tersebut
membaik secara permanen. Metabolic activator seperti citicholin
(Nicholin), piracetam, dan piritinol nampaknya dapat bekerja dalam
bidang ini.

4. Hilangkan sedapat mungkin semua faktor risiko yang ada

Pada peningkatan aPL tanpa adanya trombosis yang luas,


segera kurangi kemungkinan terjadinya penggumpalan dengan
Warfarin. Tetapi bila peningkatan aPL disertai ensefalopati akut atau
disseminated coagulation, dapat diberikan plasmaphorese atau
immunosupressant.

Pengobatan terhadap stroke ini dimulai secepat mungkin dan


dipertahankan selama beberapa hari untuk melindungi terhadap
kemungkinan iskemia rekuren, dan proses perusakan yang masih
berlangsung biarpun lambat pada beberapa neuron.

43
5. Penanganan terhadap penyebab infark

Sesudah fase akut lewat, dalam minggu kedua pada infark


pembuluh darah besar (bukan stroke lakunar) dapat dikerjakan
arteriografi. Bila penyumbatan arteri karotis menunjukkan stenosis
berat (diameter lumen hanya tersisa < 1,5 mm) berarti sumbatan >
70%. Bila keadaan klinis baik, segera lakukan operasi
endarterektomi.

Bila defisit neurologis nyata, berikan antikoagulan Warfarin


sodium untuk membuat Prothrombin Time 1,5 kali normal atau kira-
kira 18 detik. Setelah itu dilakukan endarterektomi bila lokasi
memungkinkan. Bila tidak dapat dilakukan endarterektomi, lanjutkan
pengobatan dengan aspirin.

Penyumbatan yang terjadi adalah red clot (thrombin dependent,


fibrin rich) yang cenderung terbentuk pada aliran darah yang lambat,
seperti pada stenosis arteri, dilatasi atrium kordis, aneurisma pada
ventrikel jantung (post infark kordis, fibrilasi atrium). Obat pencegah
terjadi penyumbatan yang dapat digunakan adalah Aspirin disertai
antikoagulan pada stadium akut.

Apabila terbentuk trombus pada aliran darah cepat dan trombus


ini melewati permukaan kasar (seperti arterial plaque atau protesa

44
katup jantung yang mengalami perkapuran), maka akan terbentuk
white clot yaitu gumpalan platelet dengan fibrin. Obat yang
bermanfaat pada keadaan ini adalah Aspirin untuk mengurangi
agregasi platelet ditambah dengan Tiklopidin untuk mengurangi daya
perlekatan dari fibrin.

Bila white clot diikuti dengan stenosis dan perlambatan aliran


darah progresif, maka terapi pilihan adalah antikoagulan sampai
penyebab dapat dihilangkan, atau sampai buntu total, dan aliran
darah hanya dari kolateral saja. Setelah ini baru antikoagulan
dihentikan dan diganti dengan aspirin.

Pada emboli akibat kelainan jantung obatnya adalah selalu


antikoagulan untuk seterusnya. Pada emboli akibat stenosis aorta atau
cabang-cabang arteri besar dan emboli vena, pengobatan pada
awalnya diberikan antikoagulan sampai pembuluh darah buntu, baru
setelah itu diberikan Aspirin untuk slow blood flow thrombosis
protection.

Penyebab dari kelainan pembuluh darah harus diatasi secara


tuntas, seperti arteritis dan juga bila ada kelainan darah seperti
polisitemia, trombositosis, ataupun fungsi koagulasi yang abnormal.

45
II. PENATALAKSANAAN TIA

ASA merupakan obat yang sangat bermanfaat, karena asetilasi


irreversibel dari siklo-oksigenase selama masa hidup dari platelet (7-
10 hari). Toole menganjurkan intervensi segera dalam waktu 48 jam
pada kasus penyumbatan yang baru berlangsung sebelum 4 minggu.
Dengan catatan bila gejala terus progresif, harus ditambahkan
Ticlopidin 2x250mg (pada orang barat) untuk menghambat
perlekatan fibrin pada ateroma, sehingga diharapkan penghambatan
terjadinya trombus akan lebih berhasil.

Pengobatan stroke yang lain adalah seperti di atas, dengan


catatan apabila penyebab provokasi dari terjadinya trombus sudah
tidak ada, baru dapat diberikan Aspirin. Aspirin dapat mulai
diberikan paling cepat sesudah hari ke-5 post stroke, sebaiknya
dilakukan CT scan ulangan untuk mengetahui tidak adanya tanda
stroke hemoragic.

46
III. PENATALAKSANAAN STROKE HEMORAGIC

Perdarahan subaraknoid (subarachnoid hemorhage / SAH )

Dengan mempertimbangkan risiko-risiko pada SAH :

1. Rebleeding

Dalam beberapa jam pertama 10% dari kasus terjadi rebleeding,


oleh karena itu perlu diberikan terapi antifibrinolitik seperti Asam
traneksamat dengan dosis 4-6 g/hari selama 10 hari, yang disertai
dengan pemberian calcium channel blocker. Hindarkan
manipulasi fisik kasar pada transportasi penderita. Tanpa terapi
maka dalam bulan pertama kemungkinan terjadi rebleeding sekitar
30%, dan tiap rebleeding 50% bersifat fatal. Yang harus
diperhatikan pada pengobatan Asam traneksamat adalah
kemungkinan timbulnya infark pada otak.

2. Hidrosefalus akut

Hidrosefalus timbul pada beberapa hari pertama (15-20%), dengan


tanda penurunan kesadaran secara graduil setelah stabil beberapa
lama. Hidrosefalus ini umumnya membaik dalam waktu 24 jam
kecuali pada perdarahan berat yang membutuhkan shunting.

47
3. Iskemia otak

Iskemia serebri terjadi antara hari ke-5 dan ke-14 (25%) mungkin
akibat penurunan tekanan darah, mungkin juga akibat vasospasme,
karena itu usahakan tekanan darah tetap stabil. Jaga agar volume
plasma dan milleu intern (darah) tetapi baik. Jangan terlalu
restriksi cairan.

Pengobatan definitif dari SAH adalah operasi segera dalam tiga


hari pertama.

Perdarahan intraserebral (intracerebral hemorhage / ICH)

Pengobatan perdarahan intraserebral tergantung dari lokasi


perdarahan, beratnya perdarahan, serta adanya komplikasi. Oleh
karena itu pada perdarahan intraserebral tidak selalu memerlukan
operasi. Pengobatan perdarahan intraserebral meliputi:

1. Mengontrol tekanan darah

Tekanan darah yang dituju adalah sistole 150-170 mmHg dengan


diastole maksimal 100 mmHg.

48
2. Mengurangi kenaikan TIK

Cara mengetahui tekanan intrakranial adalah dengan pengukuran


langsung, misalnya subarachnoid screw. Pengukuran bisa juga
langsung pada ventricular drain yang dipasang three way
stopcock, dimana bila tekanan naik di atas 20 mmHg keran bisa
langsung dibuka untuk menurunkan TIK.

Hati-hati pada perdarahan akibat aneurisma atau AVM, karena


TIK terlalu rendah bisa memprovokasi rebleeding.

Bila pengukuran TIK tidak dapat dilakukan secara langsung, maka


osmolaritas serum dari natrium dapat dipakai sebagai pegangan,
yaitu untuk penderita sadar usahakan osm 280-290 (Na = 140),
penderita drowsy osm 290-305 (Na = 145), serta pada pasien koma
osm 305-315 (Na = 150), melalui manipulasi forced
hyperventilation atau manitol dengan syarat penderita tidak
kekurangan cairan (BJ plasma normal). Perlu diingat bahwa
manitol tidak membuang cairan yang berada dalam edema, tetapi
dari jaringan otak yang sehat.

Bila tekanan intrakranial tidak dapat diturunkan sampai krang dari


25 mmHg, pemberian Barbiturat dapat memperbaiki outcome
penderita (Pits, 1988).

49
3. Mencegah kejang

Kejang harus dicegah oleh karena tiap kejang akan menimbulkan


peningkatan kebutuhan oksigen, yang apabila tidak terpenuhi
dapat menimbulkan edema. Semua perdarahan supratentorial yang
masif sebaiknya diberikan injeksi Dilantin.

4. Mencegah rebleeding

Untuk mencegah rebleeding dapat diberikan Asam traneksamat


atau epsilon amino caproic acid terutama pada perdarahan
subaraknoid.

Kadang-kadang memang diperlukan operasi, yang umumnya


baru dilakukan setelah 48 jam, bila kondisi neurologis stabil (Weiner,
1992) atau setelah 5-15 hari, sesudah initial vegetative strom reda
(Djoenaidi, 1988), tetapi bila amat gawat bisa segera dioperasi
dengan risiko rebleeding. Perdarahan < 2 cm tidak perlu dilakukan
operasi, sedang perdarahan > 4cm tidak ada manfaatnya apabila
dilakukan operasi karena biasanya bersifat fatal atau apabila
tertolong pun hanya hidup vegetatif. Pada perdarahan 2-4 cm dapat
dilakukan operasi bila letak perdarahan dapat dicapai, apalagi bila
gejala klinis memburuk. Pada angioma dan malformasi vaskular,

50
operasi sebaiknya ditunda sampai hematom mengalami resolusi,
kecuali apabila diperlukan drainase segera.

Bila tekanan intrakranial meningkat, segera berikan fored


hyperventilation, manitol, serta kortikosteroid lalu diikuti dengan
manometer atau CT scan sequential untuk diperbandingkan mid line
shift nya.

Penderita dengan hemiplegi yang masif, sekitar 35-75%


mengalami komplikasi tromboemboli vena, dan perlu
dipertimbangkan pemakaian pressure gradient stocking atau Heparin
dosis rendah (low dose heparin / molecular weight heparinoid).

Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari


perawatan medis penderita stroke sejak awal sampai penderita selesai
dirawat di rumah sakit. Cacat sisa baik berupa kelumpuhan maupun
berupa kesulitan kognitif, komunikasi, disfagia, diartria, ataksia,
ataupun cacat sisa ringan yang lain, tetap harus ditangani unit
rehabilitasi medik bersama dengan peranan keluarga. Keberhasilan
program sangat diperngaruhi oleh lingkungan yang mendukung dan
motivasi dari semua pihak guna membantu penderita mampu

51
melaksanakan aktivitas sehari-hari, atau bila memungkinkan agar
penderita dapat melakukan fungsi sosialnya kembali.

52
BAB VII
PROGNOSIS

Meramalkan apakah seseorang akan dapat sembuh amat sulit.


Beberapa kriteria yang menunjuk pada hal yang kurang
menguntungkan misalnya: usia lanjut, pernah stroke sebelumnya,
inkontinensia urin / alvi, maupun defisit visuo spatial dapat
membantu.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi prognosis penderita


stroke adalah:

1. Kondisi kesehatan penderita sebelum sakit, dan faktor risiko yang


diderita penderita

2. Jenis stroke dan beratnya kerusakan saat penderita datang:


a. Kesadaran
Kesadaran makin turun dan gejala deficit bertambah merupakan
pertanda jelek. GCS < 5 umumnya bersifat fatal. Hal ini
menandakan lesi RES pada batang otak atau TIK meningkat
dengan herniasi di daerah terjadinya perdarahan.

53
b. Besarnya perdarahan
Perdarahan > 50 cc, 90% bersifat fatal; < 50 cc, 10% bersifat
fatal (50 cc pada CT scan kira-kira berdiameter 3 cm); lesi > 2
cm sering disertai peningkatan TIK, lesi > 4 cm biasanya
bersifat fatal.
c. Tekanan intrakranial
d. Komplikasi ada atau tidak
e. Edema otak ada atau tidak

3. Cepat dan tepatnya pengobatan, serta perkembangan penyakit


Perbaikan yang cepat timbul dalam minggu-minggu pertama
disebabkan hilangnya edema dan terjadinya perbaikan pada lesi
otak. Perbaikan fungsi umumnya masih berlanjut sampai 6 bulan,
melalui kemampuan adaptasi memakai sisa otak dengan gaya
kerja yang baru.

Beberapa indikator yang dapat dipakai adalah:


a. Inkontinensia urin yang timbul pada saat stroke, adalah
penanda fatal atau akan memerlukan pengobatan yang lama.
b. Tidak adanya kemampuan berjabat tangan secara aktif dalam
minggu ke-3, petanda fungsi motorik yang bermanfaat tidak
bisa pulih.

54
c. Saat sadar pada stroke, bila tidak didapat mengerti suara dari
alat seperti radio, telepon berarti afasia akan berat dan
berlangsung lama.
d. Defisit neurologis awal yang hebat mempunyai kemungkinan
gejala-gejala bertambah dalam hari pertama akibat proses
trombosis progresif, dan dalam empat hari pertama akibat
edema.

Pengobatan yang baikpun masih sering meninggalkan


kecacatan yang kadang-kadang menjadi halangan untuk bekerja
kembali.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Allistair B. Advances ini cerebral ischemia, experimental


approaches, Neurol clinic. 1992, X-1, 49-61
2. Allen CMC. The management of acute stroke, Castle house
publication, Kent. 1988, 49-68
3. Ashbury, Arthur K. diseses of the nervous system, clinical
neurobiology, WB Saunders, Phil. 1992, 989-1062
4. Barnett, Henry J.M. stroke, Churchill Livingstone, New York.
1986, 921-1069
5. Bruce M. Coull. The role of antiphospholipid antibodies ini
stroke, Neurol clinic. 1992, X-1, 125-137
6. Caplan, Louis R. diagnosis and treatment o ischemic stroke,
JAMA SEA. 3-1992, 37-42
7. Caplan, Louis R. intracerebral hemorrhage, Lancet. 1992, 339:
656-658
8. Chandra B. Beberapa segi dari GPDO, Simposium Dimensi Baru
Pengelolaan Stroke, Surabaya. 1990
9. Cormandy JA. Clinical importance of blood viscosity, Excerpta
medica. 1979, II, 7-10
10.Derick T.Wade. Stroke, rehabilitation and long term care, Lncet.
339, 1992,: 791-793
11. Djoenaidi. Unpublished address on nimodipin, Dept of
Neurology RS Dr Soetomo. 1992
12.Gelmers HJ. Cerebral ischemia, Springger Verlag, Berlin
heidelberg. 1991, 17-51
13.Geoffrey A. Donnan. Investigation of patient with stroke and
TIA, Lancet, 339. 1992: 437-477

56
14.Gilroy, Meyer. Medical neurology, Mc Millan, New York. 1975,
509-590
15.Johnson, richard T. Current therapy in neurologic disease II, B.S
Decker Inc, Phill. 1987: 152-165
16.Kenneth, W. Lindsay. Neurology and neuro surgeru, Illust,
Churchill livingstone, new York. 1988, 226-264
17.Marmot M.G. Primary prevention of stroke, Lanscet. 1992, 339:
344-347
18.Martin Dennis. Strategy for stroke, BMJ. 1991, 303: 636-638
19.Moake, Joel L. Thrombotic disorder, Clin. Symp. Vol 37.
Number 4. 1985
20.Murray E. Brand. An overview of stroke rehabilitation, stroke
(suppl) 4 No 9. 1990, 40-43
21.Price. The medical treatment of stroke, Clin neurol emergency,
raven Press, new york. 1980, 83-94
22.Poerwadi T. Era baru tatalaksana stroke, Simposium stroke.
Banjarmasin. 1991
23.Piits LH. Intensive care of neurologis disease, Current op in
Neuro & Neurosurg. 1988, 1: 14-21
24.Ropper, Allan H. Cerebral hemorrhage, Current therapy in
neurologic disease, B.C Decker, Phil. 1987: 163-165
25.Rothrock, John F. Antithrombotic therapy in cerebrovascular
disease, American College of physician. 1991: 885-892
26.Ruth Bonita. Epidemiology of stroke, Lancet 339. 1992, 342-
347.
27.Saleman M. Neurologic emergency, Raven Press, New York.
1980, 1-16
28.Simpsn JA. Applied neurophysiology, Butterworth & Co,
Cambridge. 1988, 1-28
29.Stephen Oppenheimer. Complications of asute stroke, Lancet.
1992, 339: 721-724

57
30.Toole, Jamer F. Cerebrovascular disease, 4th edition, Raven
Press, New York. 1990, 151-161
31.Van Gijn J. Subarachnoid hemorrhage, Lancet. 1992, 339: 653-
655
32.Weiner HL. Management of spontaneous intracerebral
hemorrhage, Contemp neurosurgey
33.William J. Powers. Hemodynamics and metabolism in ischemic
cerebro vascular accident, Neurologic clinic. 1992, X-1, 31-48
34.William Pulsinelli. Pathphysiology of acute ischemic stroke,
Lancet. 1992, 339: 533-536
35.Zivin, Justin A. Stroke therapy, Scientific American. 1991, 36-43

58

You might also like