You are on page 1of 7

B.

Analisa

1.

1. Tinjauan Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan

Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka
syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai

1. Adanya utang;

2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;

3. Adanya Kreditur lebih dari satu;

4. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan
Niaga

5. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.

Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat
dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim
harus menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit, sehingga dalam hal ini kepada
hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan judgement yang luas seperti pada perkara
lainnya.

Penulis akan menganalisa kepailitan TPI terutama mengenai terpenuhi atau tidaknya persyaratan
yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 sekaligus pasal 8 ayat (4) mengenai asas
pembuktian sederhana. Adapun uraian dari unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:

a) Minimal ada 2 kreditur atau lebih.

Dalam pasal 1 bitir 2 UUK 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Dalam kasus kepailitan
TPI, permohonan pailit diajukan oleh Crown Capital Global Limited yang diwakili oleh kuasa
hukumnya Ibrahim Senen. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU No.37/2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan
kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited.

Dengan demikian uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa syarat adanya minimal dua kreditur
atau lebih telah terpenuhi. Namun setelah proses perkara berjalan penulis menemukan data
mengenai adanya kekeliruan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga yaitu
ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua.
Tapi, ada kejanggalan, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited (CCGL).
Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur. Asian
Venture Limited (AVL) yang jelas-jelas tidak lagi memiliki tagihan kepada TPI, tetapi tetap saja
diterima oleh majelis hakim di Pengadilan Niaga yang dipimpin oleh Maryana sebagai salah satu
kreditor. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu.

b) Adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Berdasarkan UUK 2004 Pasal 1 angka 6, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan) atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
Utang merupakan kewajiban yang harus dilakukan atau dibayarkan oleh pihak lain, dimana
kewajiban dapat lahir dari Undang-undang dan perjanjian (pasal 1233 KUHPerdata). Jadi pada
dasarnya utang berarti dapat timbul dari undang-undnag maupun perjanjian.

Kemudian jika dikaitkan dengan kasus kepailitan TPI, Crown Capital Global Limited (CCGL)
yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki subordinated bond (surat utang)
senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British
Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS. Kewajiban
Subordinated Bonds sebesar USD 53 juta tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih di luar
bunga, denda, dan biaya lainnya. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah membeli surat
utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004. Karena
sudah mengantongi hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo
berakhir. Surat utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga
sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. Dan juga utang
kepada kreditur lain yaitu Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar
bunga, denda, dan biaya lainnya.

Setelah hasil penyelidikan TPI menemukan bahwa CCGL memperoleh sub bond tersebut dari
Filago pada Tahun 2004, yang berdiri di British Virgin Island namun menggunakan alamat di
Wijaya Graha Puri Blok A No. 3-4 Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan. Filago Ltd. Memperoleh sub
bond tersebut dari Benmall Ltd. yang didirikan di British Virgin Island yang ternyata sudah
dilikuidasi tahun 1998. TPI menemukan bahwa AVFL telah menjual tagihannya ke PT.
Khatulistiwa Prima Citra dengan harga 1 dollar AS pada tahun 2003. Dengan demikian, seluruh
klaim tagihan CCCGL dan AVFL kepada TPI adalah tidak sah.

Utang terhadap PT Crown Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah dilunasi
oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27 Desember 2004. Ini
menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan.
Transaksi jual beli Sub Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory
note sehingga tidak ada proses pembayaran. Belakangan diketahui bahwa Filago adalah
perusahaan yang beralamat di Wijaya Graha Puri Blok A No 3-4, Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan,
yang juga merupakan kantor dari salah satu pemilik lama. Semua transaksi pengalihan Sub Bond
tidak pernah diketahui dan dilaporkan ke TPI. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
transaksi tersebut adalah ilegal. Berdasarkan RUPS TPI tanggal 21 Juli 2006, PT Media
Nusantara Citra (MNC) menjadi pemegang saham TPI sebesar 75 persen. Dalam laporan
keuangan TPI tidak pernah tercatat utang dalam bentuk Sub Bonds senilai USD53 juta.

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, CCGL tidak mempunyai legal standing yang
jelas karena CCGL sebagai penggugat pailit tidak jelas pemiliknya dan hanya memiliki modal
sebesar USD. 50.000 sehingga sangat tidak mungkin perusahaan yang tidak jelas bidang
usahanya mampu mempunyai piutang sebesar USD. 53.000.000. Domisili perusahaan tersebut
adalah di British Virgin Island, tapi menumpang alamat di Camelot Trust Pte. Ltd., di 14 Ann
Siang Rd Unit 02-01 Singapore dan semua pengurus perusahaan tersebut adalah nominee.

Selanjutnya dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri terletak pada didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Padahal, kata Marx, pengacara PT TPI, bukti-bukti yang diajukan penggugat untuk
mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga
ada rekayasa laporan keuangan PT TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, di mana uang sebesar
itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).

1. Pembuktian Sederhana

Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut
penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentinagn dunia
usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum
kepailitan yaitu cepat dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan
sangat penting, mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal
60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang secara terbkti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan
pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus
suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit
dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana
dalam pasal 8 ayat (4) UUK 2004.

Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit TPI berdasarkan
keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh Pemohon secara sederhana teleh terpenuhi
dalam pasal 2 ayat (1). Termohon mempunyai kreditur lebih dari satu yaitu Crown Capital
Global Limited dan Asian Venture Finance Limited.

Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang
mengaku memiliki subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture
Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke
TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.

Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :

1. Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias
Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang
dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.

2. Di buat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx
menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed
Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari
tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening
Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI,
dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga
diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur
Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)

3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan
promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua
transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah
tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.

Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk memailitkan TPI pada 14 Oktober 2009.
Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukt-
bukti otentik melalui segala macam transaksi yangtercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang
menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993
telah ditandatangani Perjanjian yang piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA)
sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI
tapi ke rekening pribadi pemilik lama, utaang piutang antara TPI dengan Brunei Investment
Agency (BIA) sebesar USD50 juta.Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke
rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.

Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond
senilai USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan kantor
akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya
kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang-hutang obligasi jangka panjang tercatat
di dalam pembukuan. Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC sebagai pemilik saham 75 persen di
TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT MNC Tbk).

Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai
prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan
tahap verifikasi (Pencocokan piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua
anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh majelis
hakim terdahulu :

1. ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari
dua. Tapi, dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited,
dinilai perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur.
Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu,

2. menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated
bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam
peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit
adalah transaksi yang sederhana.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka TPI menganggap bahwa putusan PN Niaga Jakpus
sangat tidak berdasar dan merasa sangat dirugikan oleh perusahaan kecil yang domisili hukum
dan alamatnya tidak jelas. Hal ini sangat menganggu kelangsungan hidup perusahaan (going
concern) dan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan serta pihak ketiga yang mempunyai
hubungan kerja dengan TPI dan pada akhirnya dapat menganggu pelayanan TPI kepada
masyarakat melalui siarannya.

TPI akhirnya melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada
Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan bagaimana proses peradilan Indonesia
berjalan. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan-kesalahan yang belum
teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai Nampak. Sedikit demi sedikit bukti pembayaran
tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap persidangan kasasi. Dalam laporan keuangan
tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$53 juta yang jatuh tempo
pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada masalah lain yang lebih
kompleks tentang keberadaan surat-surat utang itu. Dengan meninjau kekeliruan-kekeliruan
tersebut, akhirnya Mahkamah Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan bahwa TPI tidak
pailit. Karena dalam hukum nasional, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan tertinggi,
maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT TPI resmi tidak pailit.

Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam memutus kasus pailit TPI
adalah menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated
bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam
peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah
transaksi yang sederhana. Namun dapat di anulir oleh Mahkamah Agung dalam upaya Hukum
kasasi, dimana Majelis hakim Memutus TPI tidak jadi dipailitkan karena pembuktiannya tidak
sedehana terapi sangat rumit dan kompleks.

1. Putusan pailit dan akibatnya


Pernyataan pailit seorang debitur oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (vonis),
tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). TPI diputus pailit oleh Majelis hakim Pengadilan
Niaga jakarta Pusat tanggal 14 Oktober 2009 yang dipimpin oleh Maryana selaku ketua majelis
hakim dengan dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin.

Dengan dipailitnya Termohon pada tingkat pengadilan niaga, maka sesuai dengan pasal 15 ayat 1
UUK 2004, harus diangkat Kurator dan seorang hakim Pengawas. Dalam perkara pailit TPI
diangkat Kurator Safitri Hariani, William Edward Daniel, dan asistennya melalui permohonan ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat cq. hakim pengawas Nani Indrawati. Berdasarkan Pasal 16 UU
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
KPKPU) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit meskipun putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali.

Kemudian TPI mengajukan permohonan Kasasi kepada MA. Dalam putusan No. 834
K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana lantaran
eksistensi adanya utang masih dalam konflik. Bahkan tentang sejauhmana keberadaan utang
masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.
376/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. Proses pidana terhadap penguasaan asli surat obligasi juga masih
berjalan. Atas dasar itu, majelis kasasi menyatakan perkara pailit TPI sifatnya kompleks dan
tidak sederhana. Pembuktian perkara ini cukup rumit dan sulit sehingga memerlukan ketelitian
dan pembuktian yang tidak sederhana pula.

Berdasarkan permohonan tersebut, tim kurator meminta pengadilan untuk menetapkan biaya
kepailitan perusahaan itu yang menurut perhitungan mencapai Rp537,479 juta, serta imbalan jasa
kurator dan asistennya yang totalnya mencapai Rp3,743 miliar. Permohonan penetapan ini
diajukan karena kepailitan TPI telah berakhir setelah pernyataan pailit atas TPI ditolak di tingkat
kasasi. Kurator telah menerima putusan Mahkamah Agung No.834/Pdt.Sus/ 2009 jo
NO.S2/PAHJT/ 2009/ PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 15 Desember 2009.

Akibat putusan Pengadilan Negeri untuk memailitkan PT TPI yang bekerja di bidang penyiaran,
timbullah pro-kontra tersendiri dari sisi :

1. PT TPI itu sendiri. Mereka merasa dan memiliki bukti otentik bahwa hutang USD53 juta
itu hanyalah rekayasa CCGL yang ingin merugikan TPI. Dikatakan bahwa surat berharga
dalam rupa Obligasi diterbitkan pada 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24
Desember 2006. Tapi hingga tanggal jatuh tempo, TPI tak kunjung melunasi utang
tersebut sehingga Crown pun mengajukan gugatan pailit. Sementara dalam laporan
keuangan TPI, obligasi itu tidak tercatat karena obligasi sudah pindah tangan.

2. Komisi Penyiaran Indonesia. Menurut komisi ini, seharusnya ada perbedaan perlakuan
hukum antara perusahaan media dengan perusahaan bisnis pada umumnya. Karena
apapun yang berkaitan dengan media, selalu ada hubungannya dengan masyarakat luas
yang menjadi pemirsa atau konsumen itu sendiri. Jangan sampai karena sengketa bisnis,
kepentingan pemirsa terabaikan.
3. DPR. Menurut mereka, masalah intern TPI jangan dibiarkan berlarut-larut. DPR sangat
memberi dukungan kepada TPI yang menjadi saluran informasi, pendidikan, dan hiburan
untuk masyarakat luas. Kepailitan TPI akan berdampak sistemik karena berkaitan dengan
tenaga kerja, saham,dan hilangnya akses informasi.

Beberapa hal yang patut dipertanyakan atas putusan PN Niaga Jakpus tentang dipailitkannya TPI
hari rabu tanggal 14 Oktober 2009 oleh CCGL, adalah sebagai berikut:

1. CCGL terbukti merupakan perusahaan yang tidak memiliki kualifikasi untuk dapat
mempailitkan perusahaan sebesar TPI.

2. Selama persidangan banyak hal-hal yang membuktikan argumentasi dan fakta yang
siginifikan yang dimiliki TPI diabaikan begitu saja.

3. Pemegang sub bond terakhir yaitu CCGL menggunakan sub bond tersebut senilai USD.
53.000.000 untuk mempailitkan TPI.

You might also like