You are on page 1of 16

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya

dalam Pembelajaran
Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai


hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin
kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement
and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of
Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant
Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark
Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh
aliran behavioristik.
A. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula
dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan
dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
B. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
C. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk
menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis
(drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan
dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
D. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada
respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil
belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan
respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering
mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih
kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan
pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus
respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus
dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang
mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
E. Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam
memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami
hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami
konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa
dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik


Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun
isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara
hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi
tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih
tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak
memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju
atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh
yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun
apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan
Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman
dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada
bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika
siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia
melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini
mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut
penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif
(positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon.
Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat
negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan
penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua
merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori
ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang
paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku
dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman
masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik.
Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur
dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran
yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar
siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena
sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin
atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan
potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar,
sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem
yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic,
yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan
pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara benar sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara
individual.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat
bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif
yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena
itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang
harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar
pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena
sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin
atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur
rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan
pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian
juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di
luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic,
yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan
pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara benar
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian
yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah
selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan pebelajar secara individual.

Pengembangan Perilaku Perspektif Teori belajar Behavioristik


Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada
dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru
yakni shaping dan modelling.
1. Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang
kompleks, bukan hanya simple response. Tingkah laku yang kompleks ini
dapat diajarkan melalui proses shaping atau successive
approximations (menguatkan komponen-komponen respon final dalam
usaha mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa
tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal. Bila guru membimbing
siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada
langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik
yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar
terbentuknya tingkah laku operant baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping
untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah
perbaikan tingkah laku belajar murid antara lain:
Datang di kelas pada waktunya.
Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
Mengerjakan pokerjaan rumah.
Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku menunjukkan
bahwa kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan. Yang
lebih penting lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di kelas
dan menggunakan waktu belajar mereka lebih efektif.
2. Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat
oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam
modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain
sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui
modeling atau isekolahtasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar
dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik
dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat
terjadi, baik dengan direct reinforcement maupun dengan vicarious
reinforcement. Sekolahsalnya, seseorang yang menjadi idola kita
menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa
memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk
melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman
belajar pertama termasuk reinforcement langsung dengan meniru model
(orang tuanya). Hal yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan
bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan sebagaimana yang telah
dikerjakan orang tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan
akadesekolahs dan motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru
menggunakan modelling untuk mengembangkan sekolahnat murid-murid
terhadap literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca buku bahasa
Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan
dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan sekolahnat anak terhadap buku
itu.
Modelling bisa diterapkan di SEKOLAH dengan mengambil guru maupun
orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah
laku, mungkin pelajaran akidah akhlak, Quran Hadits, Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik
dan akadesekolahs. Suatu sekolahsal siswa diajak ke suatu tempat di mana
terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model
tersebut ke dalam kelas/ sekolah.
Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku.
Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan
tingkah laku yang diinginkan sekolahsalnya dengan kegiatan kegiatan
kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-
kelakuan menentang, melamun, dan hilir mudik.
Sekolah misalnya, sekelompok siswa SEKOLAH memperlihatkan tingkah
laku yang tidak diinginkan, yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah
guru, berkelahi, berjalan sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-
aturan kelas kepada siswa, guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku
siswa yang mengacau dan memuji tingkah laku siswa yang memberi
kesempatan guru untuk mengajar. Dalam beberapa waktu, social
reinforcement untuk tingkah laku yang tepat mengurangi tingkah laku yang
tidak diinginkan.
3. Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak
mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan
membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi
dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti modelling dan
social reinforcement. Sekolahsalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga
SEKOLAH selalu mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para
siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru tidak memberikan perhatian
pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya tersebut. Suatu ketika
Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para
siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Guru-guru sering mengalasekolah kesulitan mengadakan ekstingsi karena
mereka harus belajar mengabaikan sekolahsbehaviors tertentu. Tentu
saja ada jenis-jenis tingkah laku yang tidak dapat diabaikan oleh guru-guru
terutama tingkah laku yang menyinggung perasaan murid-murid.
Ekstingsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian.
Apabila murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan interaksi
guru murid akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.
4. Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan
berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah
yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai
habis satu pak sehingga anak itu bosan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku yang diulang
berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat.
Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali.
Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk
menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.
5. Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli
yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara
gaduh di luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika
suatu tugas yang sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti
dengan tugas yang kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid
yang termenung saja, guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka.
6. Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas
dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak
diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan
reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid,
sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas
lebih efektif daripada tidak menghukum.
Ada dua bentuk hukuman:
Pemberian stimulus derita, sekolah misalnya: bentakan, cemoohan, atau
ancaman.
Pembatalan perlakuan positif, sekolah misalnya: mengambil kembali
suatu mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-
temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman sering tidak
disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum seorang
anak jika temantemannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu.
Hukuman hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, disertai
reinforcement dan konsisten.

Langkah-langkah Dasar Modifikasi Tingkah Laku


Berikut ini adalah langkah-langkah bagi guru SEKOLAH dalam mengadakan
analisa dan modifikasi tingkah laku pada peserta didik:
1. Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang
dapat diubah. Contoh, guru mendefinisikan dan menyatakan secara
operasional tingkah laku yang akan diubah. Guru menulis tingkah laku
khusus pada papan yang ditempelkan di kelas: (a) Saya akan tetap di
tempat duduk, kecuali diberi izin untuk meninggalkannya dan (b) Saya
tidak akan bicara dengan teman dan gaduh selama mengikuti pelajaran.
2. Melakukan pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang perlu diubah.
Sekolahsalnya, berapa kali siswa meninggalkan tempat duduk dalam waktu
satu jam atau selama pelajaran berlangsung? Guru kemudian membuat
catatan rata-rata pelanggaran dari aturan yang dia buat. Dia mengacak 12
observasi yang dia lakukan selama 5 menit tiap hari dalam beberapa hari.
Ditemukan bahwa rata-rata siswa meninggalkan tempat duduk 12 kali.
Bicara dengan teman selama mengikuti pelajaran rata-rata 15 kali dalam
satu hari. Dan sebagainya.
3. Menciptakan situasi belajar atau treatment sehingga terjadi tingkah laku
yang diinginkan. Sebelum memulai reinforcement untuk tingkah laku yang
tepat, cobalah periksa untuk menentukan apakah individu dapat mengatasi
hambatan sehingga sampai pada tingkah laku yang diinginkan seperti
dengan persekolahntaan verbal atau dengan mengembangkan suatu situasi
di mana tingkah laku yang kita inginkan itu barangkali terjadi. Contoh,
marilah anak-anak kita bersihkan masjid agar bisa kita pakai untuk sholat
berjamaah.
4. Mengidentifikasi reinforcers yang potensial. Suatu stimuli tidak diperkuat
secara tepat. Selain itu, apakah diperkuat pada suatu waktu tidak akan
diperkuat lagi. Contoh, guru menciptakan menu dari reinforcement dengan
mesekolahnta siswa untuk mengisi suatu survey reinforcement. Angket ini
menanyakan tentang kegiatan yang mereka lakukan di kelas, makanan
cesekolahlan yang mereka sukai, barang-barang yang mereka sukai, dan
lain-lain.
5. Memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan
prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah laku yang tidak pantas.
Sekolahsalnya, guru memberi system token kepada kelas. Ia menjelaskan
bagaimana setiap siswa akan mendapatkan angka setiap kali guru
menangkap siswa mengikuti aturan kelas. Angka ini dicatat oleh guru pada
kartu identitas dan kemudian akan dibagikan pada hari tertentu.
6. Menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan
kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah bertambah. Dengan
membandingkan kemajuan pada waktu perlakuan (treatment) atau pada
waktu belajar pada awal atau pada pertengahan belajar, kita akan tahu
apakah kemungkinan reinforcement akan mempunyai dampak pada
modifikasi tingkah laku. Jika reinforcement tidak berpengaruh pada tingkah
laku, kita kemudian harus menentukan mengapa hal itu terjadi kemudian
membuat penyesuaian. Sekolahsalnya, guru berusaha mesekolahnimalisir
tingkah laku siswa yang tidak diinginkan agar pada gilirannya tingkah laku
tersebut tidak muncul sama sekali.

Pengajaran Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip operant conditioning
bagi belajar siswa di sekolah. Pengajaran ini berlangsung seperti halnya
paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun
secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap-tiap pekerjaan
murid langsung diberi feedback. Program dapat tertuang dalam buku-buku,
mesin-mesin mengajar, atau komputer (Computer Asisten Instruction).
Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan:
Memerinci bahan pelajaran menjadi unit-unit kecil.
Memaksa murid mereaksi unit-unit kecil itu.
Memberitahukan hasil belajar secara langsung, dan
Memberi kesempatan untuk bekerja sendiri.
Ada bermacam-macarn pengajaran terprogram, antara lain:
Program linear: program ini dikembangkan oleh Skinner. Penyusun Program
menentukan urut-urutan kegiatan murid untuk menyelesaikan program.
Tiap bagian program berisi perincian kecil pengetahuan.
Program intrinsik atau branching program: Program ini dikembangkan
oleh Croder. Dalam program ini respon-respon murid menentukan rute atau
arah kegiatan murid-murid menentukan rute atau arah kegiatan murid itu.
Rute-rute alternatif disebut branches yang merupakan prediktor-prediktor
permasalahan yang akan memperbaiki respon murid, Crowder
menggunakan peryataan-pernyataan pilihan ganda.
Dalam pengajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok murid dalam belajar,
yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria terhadap metode
pengajaran terprogram, antara lain : kurang mengembangkan kreatifitas,
kurang memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan untuk
merespon dengan berbagai aktivitas.

Program Pengajaran Individual


Prinsip-prinsip pengajaran terprogram telah diterapkan dalam program-
program pengajaran individual. Program pengajaran individual telah
dikembangkan pada beberapa lembaga pendidikan seperti:
Program for learning in Accordance With Needs (PLAN), pada Westinghouse
Corporation.
Individually Guide Education (IGE), pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Belajar Kognitif Universitas Pittsburgh.
Program pengajaran individual disusun dalam bentuk unit-unit belajar-
mengajar dengan rumusan tujuan, bahan pelajaran, dan cara-cara untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Tiap-tiap unit belajar mengajar dimulai dengan tujuan belajar yang akan
dicapai oleh murid, baru kemudian aktivitas belajarnya. Aktivitas belajar terdiri
atas bahan-bahan pelajaran, pertanyaan tes, dan pertanyaan-pertanyaan
diskusi. Jika murid dapat menyelesaikan tes-tes dengan baik, ia melanjutkan
belajar pada unit-unit berikutnya. Jika ia gagal, ia hendaknya berkonsultasi
dengan guru.
Bagi siswa SEKOLAH, sistem ini dipakai untuk memantau kemajuan dan
performance siswa dengan selalu didampingi oleh guru terutama bagi kelas
rendah di SEKOLAH. Dengan menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar, serta Indikator siswa diarahkan dalam kegiatan belajar atau les baik
privat maupun non privat. Dalam hal ini, bisa dicontohkan homeschooling
seperti marak disekolahnati masyarakat saat ini.

Analisa Tugas
Komponen-komponen pengajaran yang penting menurut pandangan
behaviorisme adalah kebutuhan akan:
Perumusan tugas atau tujuan belajar secara behavioral.
Membagi task menjadi subtasks.
Menentukan hubungan dan aturan logis antara subtasks.
Menetapkan bahan dan prosedur pengajaran tiap-tiap subtasks
Memberi feedback pada setiap penyelesaian subtasks atau tujuan-tujuan
tiap kompetensi dasar.
Salah satu fungsi guru yang terpenting setelah ia menentukan tujuan ialah
menganalisa tugas. Analisa tugas akan membantu guru dalam membimbing
belajar murid. Bagi penyusun program, analisa tugas membantu menentukan
susunan bahan pelajaran dalam mesin mengajar. Perencanaan kurikulum
dapat mengatur urutan unit-unit belajar.

You might also like