You are on page 1of 15

REFERAT

AGITASI

Disusun oleh :

Raharjeng Cahyapuri

NIM : 1261050052

Dokter Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ (K)

dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ

dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked(KJ), Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 7 NOVEMBER 2016 10 DESEMBER 2016
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR
JAKARTA
BAB I

1
PENDAHULUAN

Kedaruratan psikiatrik merupakan sebuah gangguan akut dari perilaku, pikiran atau
mood dari seorang pasien yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan bahaya, baik untuk
dirinya ataupun kepada oranglain di lingkungannya. Kedaruratan psikiatri merupakan sebuah
keadaan yang sering diabaikan tetapi keadaan ini meningkatkan masalah bagian kedaruratan
di dunia. Dijumpai hingga 12% dari bagian kedaruratan pasien datang dengan keluhan
psikiatrik. Dari kedaruratan tingkah laku ini, gangguan psikotik akut, episode manik, depresi
mayor, gangguan bipolar, dan penyalahgunaan obat mencapai 6% dari keseluruhan kasus di
bagian kedaruratan. Tindak kekerasan atau agresif merupakan alasan umum untuk datang
pada bagian kedaruratan, dengan perilaku menyerang yang terlihat pada 3-10 % pasien
psikiatrik. Gejala agresif seperti penyerangan, perilaku dengan kata-kata kasar, dan kekerasan
dapat terjadi dengan gejala positif seperti delusi dan halusinasi, namun hal ini tidak semua
terjadi.

Keadaan agitasi (gaduh-gelisah) dapat dimasukkan ke dalam golongan kedaruratan


psikiatrik, bukan karena frekuensinya yang cukup tinggi; akan tetapi karena keadaan ini
berbahaya, baik bagi pasien sendiri maupun bagi lingkungannya, termasuk orang-orang dan
benda-benda di sekitar pasien. Keadaan agitasi biasanya timbul akut atau subakut. Gejala
utama adalah gangguan psikomotorik yang sangat meningkat. Orang itu banyak sekali
berbicara, berjalan mondar-mandir, tidak jarang ia berlari dan meloncat-loncat bila keadaan
itu berat. Gerakan tangan dan kaki serta mimik dan suaranya cepat dan hebat. Mukanya
kelihatan bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini mencerminkan adanya gangguan
afek-emosi dan proses berpikir yang tidak realistik lagi. Jalan pikiran biasanya cepat dan
sering terdapat waham curiga. Tidak jarang juga timbul halusinasi penglihatan terutama pada
sindrom otak organik yang akut atau halusinasi pendengaran terutama pada Skizofrenia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition (DSM-IV) dari American Psychiatric Association, agitasi didefinisikan
sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan dihubungkan dengan perasaan
ketegangan dari dalam diri.
Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi ini
terdapat pada sejumlah gangguan psikiatrik, dan penyalahgunaan zat (obat dan/atau
alkohol). Agitasi juga dapat menjadi manifestasi klinis yang penting pada beberapa
gangguan organik seperti gangguan sistem saraf pusat (Parkinsons disease,
Alzheimer, jenis lain dari demensia), ensefalitis, meningitis, dan beberapa kondisi
medis umum seperti hipoglikemi, tirotoksikosis. Pada korban trauma kepala
umumnya dapat ditemukan juga kondisi agitasi.

2. Etiologi Agitasi
Beberapa gangguan psikiatri, neurologis, dan kondisi medis dapat
mempengaruhi timbulnya agitasi. Penyebab utama yang akan dievaluasi dalam
kondisi kedaruratan psikiatri adalah psikosis, gangguan afektif, penyalahgunaan
NAPZA, demensia, delirium, dan akathisia, atau kombinasi dari gangguan diatas.
Sebagai tambahan, retardasi mental, gangguan kontrol impuls, gangguan penyesuaian,
dan gangguan kepribadian juga dapat menimbulkan sifat agresi. Pada anak-anak dan
remaja, gangguan perilaku juga dapat menimbulkan sifat agresi.
Penyebab munculnya perilaku agitasi adalah skozofrenia. Dari pasien yang
menderita penyakit skizofrenia dengan riwayar rawat inap berulang, sekitar 20% akan
memiliki episode agitasi selama hidup mereka. Agitasi yang muncul pada pasien
skizofrenia diketahui berhubungan dengan peningkatan dopamin. Begitu pula pada
pasien dengan gejala mania yang disertai agitasi ditemukan kadar dopamin yang
meningkat. Berbeda dengan gangguan afektif depresi, peningkatan responsivitas
serotonergik dan penurunan GABA berkontribusi pada timbulnya agitasi pada afek
depresi.
Pada padien dengan gangguan cemas juga dapat ditemukan perilaku agitasi
yang disebabkan oleh peningkatan norepinefrin dan penurunan GABA. Perilaku

3
agitasi juga dapat ditemukan pada pasien kasus intoksikasi zat seperti NAPZA
maupun pada fase withdrawal. Zat yang sering menimbulkan perilaku agitasi adalah
seperti kokain dan amfetamin.

3. Manifestasi Klinis Agitasi


DSM-V mendefinisikan agitasi sebagai aktivitas motorik yang berlebihan
yang berhubungan dengan perasaan yang tegang. Aktivitas pada perilaku agitasi
biasanya adalah perilaku yang non-produktif dan repetitif dan terdiri dari beberapa
kebiasaan seperti berjalan mondar-mandir, gelisah, meremas-remas tangan, menarik-
narik baju, dan ketidakmampuan untuk dapat duduk secara tenang. Meskipun
terkadang sikap agresi dan kekerasan bukanlah inti dari perilaku agitasi namun proses
agitasi dapat berlanjut dari tindakan yang tidak agresif menjadi agresif dan
menimbulkan perilaku kekerasan yang dapat membahayakan baik diri sendiri maupun
orang di sekitarnya.
Tindakan agresif yang muncul pada perilaku agitasi biasanya disebabkan
karena waham curiga/paranoid atau halusinasi yang sangat menakutkan, fase psikotik
akut, stressor masa kini, intoksikasi obat maupun zat lain seperti alkohol. Ancaman
perilaku untuk membunuh atau menyerang sangat sering terjadi dan dijumpai pada
bagian psikiatri. Umumnya pasien agitasi akan dibawa ke fasilitas kesehatan karena
perilaku yang agresif ini.

4. Triase
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1627/MENKES/SK/XI/2010, mengatur tentang triase pasien dengan
kegawatdaruratan psikiatri. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatri, termasuk kasus
agitasi meliputi pengkajian pasien, dan terapi jangka pendek yang efektif, cepat dan
tepat, evaluasi dari berbagai problem yang dihadapi. Dalam waktu yang relatif singkat
harus dapat dikaji masalah dan kebutuhan pasien, menentukan diagnosis, dan
mengambil tindakan.
Salah satu kegawatdaruratan dalam psikiatri adalah kasus agitasi. Secara
umum, pasien agitasi akan dibawa ke IGD karena marah-marah sampai mengancam
orang lain, berteriak-teriak sampai mengganggu orang lain, dan tindakan merusak
lainnya. Tanda-tanda vital penting untuk diketahui pertama kali, dan dapat dilakukan
apabila pasien kooperatif. . Sebelum melakukan evaluasi terhadap pasien agitasi,
pemeriksa juga harus memastikan bagaimana situasi ruang gawat darurat saat itu, pola
pelayanan dan komunikasi antar staf, serta jumlah orang dalam ruangan tersebut

4
cukup aman bagi pasien. Hal yang paling penting untuk dilakukan menghadapi pasien
dengan perilaku agitasi adalah melakukan pengamatan terhadap ucapan verbal dan
interaksi nonverbal pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan secara cepat apakah
penyebab perilaku ini karena kondisi medis, psikiatri ataukah kombinasi dari kedua
kondisi tersebut. Sebab penanganan terhadap perilaku agitasi akan berbeda sesuai
dengan penyebabnya. Indikasi rawat inap pada pasien agitasi adalah bila pasien
membahayakan diri sendiri atau orang lain, bila perawatan di rumah tidak memadai,
dan apabila diperlukan observasi yang lebih lanjut

Tabel 1. Skema Triase Pasien Kedaruratan


5. PANSS-EC Psikiatri
PANSS-EC (The Positive and Negative Syndrome Scale -Excited Component)
atau PANSS komponen gaduh gelisah adalah salah satu skala intuitif yang paling
sederhana untuk menilai pasien gaduh gelisah dimana perilaku tersebut dapat berisiko
terhadap pasien maupun orang lain. Tidak hanya menilai, tetapi juga dapat
menentukan penanganan pasien gaduh gelisah secara cepat. PANSS-EC merupakan
sub skala yang telah divalidasi dari PANSS (The Positive and Negative Syndrome
Scale). PANSS sendiri digunakan untuk menilai gejala skizofrenia. Didalam PANSS-
EC menilai lima gejala, yaitu :
a. Buruknya kontrol terhadap impuls

5
Gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan
pelepasan ketegangan dan emosi tiba-tiba yang tidak teratur dan tidak
terarah tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

SKOR INTERPRETASI
1 (Tidak Ada) Definisi tidak terpenuhi
2 (Minimal) Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal
3 (Ringan) Pasien cenderung mudah marah dan frustasi bila
menghadapi stress atau pemuasannya ditolak tetapi
jarang bertindak impulsif
4 (Sedang) Dengan provokasi yang minimal pasien menjadi marah
dan mencaci maki mungkin sekali-sekali mengancam,
merusak atau terdapat satu atau dua episode yang
melibatkan konfrontasi fisik atau perselisihan ringan
5 (Agak berat) Pasien memperlihatkan episode impulsif yang
berulang-ulang termasuk mencaci maki, pengrusakan
harta benda atau ancaman mungkin ada satu atau dua
episode yang melibatkan serangan serius sehingga
pasien perlu diisolas, difiksasi dan bila perlu diberi
sedasi
6 (Berat) Pasien sering agresif secara impulsif mengancam
menuntut dan merusak tanpa pertimbangan yang nyata
tentang konsekuensinya menunjukkan perilaku
menyerang dan mungkin juga serangan seksual dan
kemungkinan berperilaku yang merupakan respon
terhadap perintah-perintah yang bersifat halusinasi
7 (Sangat berat) Pasien memperlihatkan serangan yang dapat
membunuh orang, penyerangan seksual, kebrutalan
yang berulang atau perilaku yang merusak diri sendiri,
membutuhkan pengawasan langsung yang terus
menerus atau fiksasi karena ketidakmampuan
mengendalikan impuls yang berbahaya

b. Ketegangan
Bentuk perilaku yang dapat ditunjukkan pasien dengan ketegangan adalah
adanya ketakutan, kecemasan, tremor, keringat berlebihan, tidak dapat

6
tenang. Perilaku ini dapat terlihat pada saat pemeriksa memeriksa atau
melakukan wawancara dengan pasien.

SKOR INTERPRETASI
1 (Tidak Ada) Definisi tidak terpenuhi
2 (Minimal) Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal
3 (Ringan) Postur dan gerakan-gerakan menunjukkan
kekhawatiran ringan seperti rigiditas yang ringan,
ketidaktenangan yang sekali-sekali, perubahan posisi
atau tremor tangan yang halus dan cepat
4 (Sedang) Suatu penampilan yang nyata-nyata gelisah yang
terbukti dari adanya pelbagai manifestasi seperti
perilaku tidak tenang, tremor tangan yang nyata,
keringat berlebih atau mannerisme karena gugup
5 (Agak berat) Ketegangan yang berat yang dibuktikan oleh pelbagai
menifestasi seperti gemetaran karena gugup, keringat
sangat berlebihan, dan ketidaktenangan tetapi perilaku
selama wawancara tidak terpengaruh secara bermakna
6 (Berat) Ketegangan berat sedemikian rupa sehingga taraf
interaksi interpersonal terganggu misalnya pasien
mungkin terus menerus bergerak seperti cacing
kepanasan" tidak dapat tetap duduk untuk waktu lama
atau menunjukkan hiperventilasi
7 (Sangat berat) Ketegangan yang sangat mencolok yang
dimanifestasikan oleh tanda-tanda panik atau
percepatan gerakan motorik kasar seperti langkah
cepat yang gelisah dan ketidakmampuan tetap duduk
untuk waktu lebih lama dari semenit yang
menyebabkan percakapan tidak mungkin diteruskan

c. Permusuhan
Sikap permusuhan dapat dilihat secara verbal maupun non verbal.
Umumnya sikap permusuhan ditunjukkan dengan kemarahan, kebencian,
penyerangan. Hal ini dapat diamati secara interpersonal dan laporan dari
keluarga maupun orang yang mengantar pasien.

SKOR INTERPRETASI

7
1 (Tidak Ada) Definisi tidak terpenuhi
2 (Minimal) Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal
3 (Ringan) Melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau
ditahan seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi
bermusuhan dan kadang kadang iritabilitas
4 (Sedang) Adanya sikap bermusuhan yang nyata, sering
memperlihatkan iritabilitas dan ekspresi kemarahan
atau kebencian yang langsung
5 (Agak berat) Pasien sangat mudah marah dan kadang-kadang
memaki dengan kata-kata kasar atau mengancam
6 (Berat) Tidak kooperatif dan mencaci maki dengan kasar atau
mengancam khususnya mempengaruhi wawancara dan
berdampak serius terhadap relasi sosial. Pasien dapat
beringas dan merusak tetapi tidak menyerang orang
lain secara fisik
7 (Sangat berat) Kemarahan yang hebat berakibat sangat tidak
kooperatif menghalangi interaksi atau secara episodik
melakukan penyerangan fisik terhadap orang lain

d. Ketidakkooperatifan
Pasien menunjukkan secara nyata sikap menolak diperiksa. Dapat disertai
rasa tidak percaya, keras kepala, bersifat defensif, suka membangkang.
Pasien yang tidak kooperatif dapat diobservasi langsung pada saat
pemeriksaan.

SKOR INTERPRETASI
1 (Tidak Ada) Definisi tidak terpenuhi
2 (Minimal) Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal
3 (Ringan) Patuh tetapi disertai sikap marah, tidak sabaran atau
sarkasme, mungkin ada penolakan yang tidak
mengganggu terhadap penyelidikan yang sensitif
selama wawacara
4 (Sedang) Kadang-kadang terdapat penolakan langsung untuk
patuh terhadap tuntutan-tuntutan sosial yang normal
seperti merapikan tempat tidur, mengikuti acara yang
telah dijadwalkan dan sebagainya. Pasien mungkin

8
memproyeksikan hostilitas defensif atau bersikap
negatif tetapi biasanya masih dapat diatasi
5 (Agak berat) Pasien seringkali tidak patuh terhadap tuntutan
lingkungannya dan mungkin dijuluki orang sebagai
orang buangan atau orang yang mempunyai problem
yang serius. Ketidakkooperatifan tercermin dalam
jelas-jelas defensif atau iritabilitas terhadap
pewawancara dan mungkin tidak bersedia menghadapi
banyak pertanyaan
6 (Berat) Pasien sangat tidak kooperatif, negativistik, dan
mungkin juga suka membangkang, menolak untuk
patuh terhadap sebagian besar tuntutan sosial dan
mungkin tidak mau memulai atau mengikuti
wawancara sepenuhnya
7 (Sangat berat) Resistensi aktif yang jelas berdampak serius terhadap
benar-benar seluruh bidang fungsi utama. Pasien
mungkin menolak untuk ikut dalam aktivitas sosial
apapun, mengurus kebersihan diri, bercakap-cakap
dengan keluarga atau staf dan bahkan untuk
berpartisipasi dalam wawancara singkat sekalipun

e. Gaduh gelisah
Dasar penilaian gaduh gelisah dapat diperoleh dari perilaku pasien, laporan
keluarga ataupun orang yang saat itu sedang bersama pasien.

SKOR INTERPRETASI
1 (Tidak Ada) Definisi tidak terpenuhi
2 (Minimal) Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal
3 (Ringan) Cenderung sedikit agitatif, waspada berlebihan atau
sedikit mudah terangsang selama wawancara tetapi
tanpa esipode yang jelas dari gaduh gelisah atau
labilitas alam perasaan yang mencolok. Pembicaraan
mungkin sedikit mendesak
4 (Sedang) Agitasi atau mudah terangsang yang jelas terbukti
selama wawancara mempengaruhi pembicaraan dan
mobilitas umum atau ledakan-ledakan episodik yang

9
terjadi secara sporadik.
5 (Agak berat) Tampak hiperaktivitas yang bermakna atau sering
terjadi ledakan-ledakan atau aktivitas motorik yang
menyebabkan kesulitan bagi pasien tetap duduk untuk
waktu yang lebih lama dari beberapa menit dalam
setiap kesempatan
6 (Berat) Gaduh gelisah yang mencolok mendominasi
wawancara membatasi perhatian sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi fungsi sehari-hari seperti
makan dan tidur
7 (Sangat berat) Gaduh gelisah yang mencolok sangat serius
mempengaruhi kegiatan makan dan tidur serta jelas
tidak memungkinkan interaksi interpersonal.
Percepatan pembicaraan dan aktivitas motorik dapat
menimbulkan inkoherensi dan kelelahan

Masing-masing gejala dinilai pada skala 1-7. Dari perspektif klinis, PANSS-
EC adalah salah satu skala yang paling sederhana tetapi paling intuitif yang digunakan
untuk menilai pasien gaduh gelisah. Skala 1 menginterpretasikan tidak adanya tanda-
tanda agitasi, dan skala 7 menginterpretasikan tanda agitasi yang berat. Total skor
minimal pada PANSS-EC adalah 5, dan skor maksimal 35.

6. Tatalaksana Agitasi
Prinsip tatalaksana agitasi adalah yang pertama: mengurangi stimulus
(rangsangan) dan mencoba menenangkan secara verbal (de-eskalasi verbal), pilihan
terakhir jika pasien tidak dapat menenangkan dirinya sendiri maka dapat dilakukan
restrain, seklusi, dan pemberian obat-obatan, lalu segera menegakkan penyebab
setelah agitasi mereda.
Tujuan dari de-eskalasi verbal adalah untuk membantu pasien menenangkan
dirinya sendiri. Saat melakukan teknik de-eskalasi verbal pemeriksa harus
menunjukkan sikap berani dan tidak menunjukkan rasa takut pada pasien sebab hal itu
akan memicu sifat agresif dari pasien. Terdapat 10 langkah yang dalam de-eskalasi
verbal
1. Hormati ruang pribadi
2. Jangan bertindak provokatif
3. Lakukan bentuk kontak secara verbal
4. Gunakan kalimat yang singkat dan tidak bertele-tele

10
5. Identifikasi perasaan dan keinginan pasien
6. Mendengarkan apa yang pasien katakan (empati)
7. Senantiasa menyetujui apa yang dikeluhkan pasien
8. Buat batasan dan aturan yang jelas
9. Tawarkan pilihan yang terbaik dan optimisme
10. Terangkan pada pasien langkah apa, dan mengapa hal ini penting
dilakukan

Jika intervensi verbal kepada pasien agitasi tidak cukup atau merupakan
kontraindikasi, perlu dipikirkan obat atau pengekangan/pengikatan. Terapi
farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien agitasi adalah terapi yang memiliki
onset yang cepat. Pemberian terapi secara intramuskular akan membuat peningkatan
pesat kadar obat didalam plasma plasma pada konsentrasi tinggi, sehingga efek
menenangkan akan muncul lebih cepat dibandingkan dengan pemberian secara oral.

Saat menghadapi perilaku agitasi, penting bagi paramedis untuk menilai


apakah kasus yang dihadapi merupakan kasus medis, psikiatri atau kombinasi
keduanya sebab penangangannya akan berbeda. Setelah mengetahui penyebab
perilaku agitasi tersebut, maka penanganan juga bisa dilakukan secara cepat dan tepat.
Yang terpenting dalam menangani kasus agitasi yang disebabkan kedaruratan psikiatri
adalah seberapa jauh ketidakmampuan pasien dalam menilai realita dan buruknya
tilikan mempengaruhi kualitas hidupnya.

Terapi farmakologi biasanya terbatas pada 3 kelas obat: benzodiazepin,


antipsikosis tipikal, dan antipsikosis atipikal

a. Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin menghasilkan efek anti-agitasi melalui
modulasi dari neurotransmisi asam g-aminobutyric (GABA). Beberapa
bukti menunjukkan bahwa benzodiazepin memiliki efek yang hampir sama
dengan antipsikotik dalam penanganan agitasi. Benzodiazepin jarang
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal seperti yang ditimbulkan oleh
antipsikotik, tetapi benzodiazepin memiliki efek samping seperti depresi
pernafasan, ataksia dan efek sedasi berlebihan. Benzodiazepin dapat
digunakan pada kondisi intoksikasi stimulansia, gejala putus obat etanol,
atau agitasi yang belum diketahui penyebabnya.
Lorazepam adalah benzodiazepine paling sering dipakai untuk agitasi,
karena penyerapan secara intramuskular yang lengkap dan cepat, onset

11
dalam 60-90 menit. Lorazepam memiliki waktu paruh 12-15 jam, dan
durasi aksi 8-10 jam. Dosis awal lorazepam intramuskular adalah 2 mg,
dan dapat diulangi pemberiannya setelah 2 jam, dosis maksimal 12
mg/hari. Diazepam memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan
lorazepam, namun efek sedasi yang berkepanjangan membuat terapi
dengan lorazepam masih menjadi pilihan.
b. Anti Psikotis Tipikal
Anti Psikosis tipikal dapat menjadi pilihan dalam pengobatan agitasi.
Anti-psikotik bekerja dengan cara menghambat transmisi dopaminergik,
bersamaan dengan blokade histamin, dan noradrenalin. Efek samping
penggunaan antipsikotik tipikal terutama haloperidol lebih sering
ditemukan, biasanya sindrom ekstrapiramidal, sindrom distonia, akathisia,
dan Parkinsonism. Selain itu, antipsikotik (tipikal dan atipikal) membawa
risiko sindrom neuroleptik malignan, peningkatan risiko aritmia jantung
terkait dengan perpanjangan interval QT.
Haloperidol yang sering menjadi terapi skizofrenia baik sediaan oral
maupun intramuskular, memiliki efek yang efektif dan aman dalam
menangani agitasi akut. Haloperidol memiliki onset kerja 15 sampai 60
menit. Dosis awal haloperidol oral dan intramuskular 5 mg, dengan dosis
maksimal 20 mg/hari.
c. Anti-Psikosis Atipikal
Antipsikotik atipikal adalah perkembangan baru dalam penanganan
agitasi. Antipsikotik atipikal bekerja pada serotonergik serta reseptor
dopaminergik menimbulkan efek samping yang minimal dibandingkan
antipsikotik tipikal. Beberapa obat-obat antipsikotik atipikal seperti
olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole tersedia dalam sediaan
intramuskular dan sediaan oral. Risperidone hanya tersedia dalam bentuk
oral.
Expert Consensus Panel for Behavioral Emergencies pada tahun 2005
merekomedasikan antipsikotik atipikal sebagai lini pertama dalam
penanganan agitasi terkait skizofrenia dan bipolar. US Food and Drug
Administration (FDA) merekomendasikan ziprasidone untuk agitasi pada
skizofrenia saja, sedangkan olanzapine dan aripiprazole diindikasikan
untuk agitasi terkait dengan baik skizofrenia atau bipolar mania, demikian
juga risperidone.

12
i. Ziprasidone bertindak sebagai antagonis dopamin/serotonin
dengan onset kerja 30-45 menit. Ziprasidone memiliki potensi
rendah untuk menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Dosis awal
ziprasidone intramuskular adalah 10-20 mg, dengan dosis
maksimal 40 mg/hari.
ii. Olanzapine bekerja pada beberapa reseptor sekaligus dengan
onset kerja 15-45 menit. Dosis awal olanzapine intramuskular
adalah 10 mg, dengan dosis maksimal 30 mg/hari. Jika
memungkinkan, olanzapine oral harus diberikan dengan dosis
5-20 mg, karena hal ini telah terbukti aman dan efektif dengan
cepat menenangkan pasien psikotik akut dan agitasi.
Olanzapine oral dapat menjadi monoterapi atau digabung
dengan lorazepam oral.
iii. Aripriprazole berbeda secara farmakologi dari antipsikotik
atipikal yang lainnya. Aripriprazole merupakan antagonis
reseptor 5HT2a dan agonis parsial dari dopamine D2 dan
reseptor serotonin 5-HT1A. Dosis aripripazole intramuskular
yang disarankan adalah 9,75 mg. Aripiprazole menunjukkan
kontrol yang cepat dan efektif pada agitasi terkait skizofrenia
dan gangguan skizoafektif.
iv. Risperidone merupakan antagonis dopamin kuat dengan
afinitas tinggi untuk reseptor D2 dan beberapa reseptor
serotonergik. Terlepas dari kenyataan bahwa risperidone saat
ini belum tersedia dalam sediaan fast-acting intramuscular,
tetapi efektif dalam mengelola agitasi pada pasien yang dapat
meminum obat oral. Dosis awal risperidone oral adalah 2 mg,
dengan dosis maksimal 6 mg/hari.

13
BAB III

KESIMPULAN

Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan


dihubungkan dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Beberapa gangguan
psikiatri, kondisi medis penyalahgunaan/intoksikasi NAPZA dapat mempengaruhi
timbulnya agitasi.Manifestasi klinis yang biasa ditunjukkan pada agitasi adalah
perilaku yang non-produktif dan repetitif dan terdiri dari beberapa kebiasaan seperti
berjalan mondar-mandir, gelisah, meremas-remas tangan. Perilaku agitasi juga dapat
ditunjukkan dengan perilaku yang agresif seperti berteriak-teriak, marah-marah tanpa
alasan sambil mengancam orang lain, menunjukkan kehilangan pengendalian diri.
Hal pertama yang dapat dilakukan menghadapi perilaku agitasi adalah
mengevaluasi apa yang menjadi penyebab perilaku agitasi tersebut. Agitasi yang
disebabkan karena kondisi medis, harus di tatalaksana terlebih dahulu kondisi medis
tersebut. Penting untuk mengetahui tanda-tanda vital dan melakukan pemeriksaan
secara cepat untuk menentukan tindakan selanjutnya. Apabila agitasi disebabkan
karena kondisi psikiatri pemeriksan dapat mengurangi stimulus (rangsangan) yang
dapat memicu perilaku agitasi semakin agresif dan mencoba membuat pasien
menenangkan dirinya dengan cara de-eskalasi verbal. Jika pasien bertindak semakin
agresif dan membahayakan diri sendiri dan orang lain, tindakan restrain dan seklusi
dapat dilakukan. Sementara itu, terapi secara farmakologis juga dapat
dipertimbangkan.
Terapi obat-obatan oral dapat menjadi pilihan apabila pasien kooperatif dan
tidak ada kontraindikasi medis. Pada pasien yang tidak menampilkan psikosis
(halusinasi, delusi berpikir, paranoia), benzodiazepin direkomendasikan sebagai
pengobatan lini pertama. Antipsikotik dianjurkan pada pasien yang menampilkan
gejala psikotik. Antipsikotik atipikal merupakan manajemen agitasi akut lini pertama
dan menjadi pilihan karena efek samping sindrom ekstrapiramidal yang minimal tidak
seperti anti psikotik tipikal.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Medical Evaluation and Triage of the Agitated Patient: Consensus


Statement of the American Association for Emergency Psychiatry
Project BETA Medical Evaluation Workgroup diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3298208/.

2. Evaluation & Management of Agitation in Psychiatric Patients


diunduh dari http://alabamapsych.org/wp-
content/uploads/2014/10/EM-of-Agitation-in-Psychiatry-AAPA-
2014_Vasavada.pdf.

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1627/MENKES/SK/XI/2010 tentang Pedoman Pelayanan
Kegawatdaruratan Psikiatri diunduh dari

https://galihendradita.files.wordpress.com/2015/03/kmk-no-1627-2010-ttg-
kegawatdaruratan-psikiatrik.pdf.
4. The Psychopharmacology of Agitation: Consensus Statement of the American
Association for Emergency Psychiatry Project BETA Psychopharmacology Workgroup
diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3298219/.
5. Yulianti, Yuyun. Cetak Biru Pelayanan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat Tahun 2014. Jurnal ARSI,1(2015),89-90.
6. Glick, Rachel L., Berlin, Jon S.. Emergency Psychiatry: Principles and Practice.
Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins. p.117-144.
7. Schleifer, Justin J.Management of acute agitation in psychosis: an evidence-based
approach in the USA. Advances in psychiatric treatment, 17 (2011), 93-96.

15

You might also like