You are on page 1of 19

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA

DISUSUN OLEH

Audina Andhini Susilo

2012.730.015

PEMBIMBING

dr. Primo Parmato, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Data didapatkan dari alloanamnesa dengan orang tua pasien tanggal 13 September 2016
Nama : An. G
Usia : 2 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Cakung Barat
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Tanggal masuk rumah sakit : 12 September 2016
No. Rekam medis : 002299**
Nama ayah : Tn. C
Usia : 35 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Nama ibu : Ny. S
Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang bersama ibunya ke IGD pada atanggal 12 September 2016

dengan keluhan sesak sejak 1 hari SMRS. Pasien mengalami demam terus

menerus sejak 3 hari yang lalu, demam semakin hari hari semakin tinggi. Ibu

pasien mengatakan anaknya juga mengalami batuk berdahak 3 hari yang lalu,

batuk semakin berat jika pasien menangis, dan pasien tidak dapat

mengeluarkan dahak. Keluhan mual dan muntah disangkal. Pasien tidak ada

BAB cair, dalam sehari pasien BAB 2 kali, dan BAK tidak ada keluhan..
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat saat usia 8 hari di PICU selama 11 hari karena infeksi

paru. Pasien tidak ada riwayat kejang dan asma disangkal.


d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan sama seperti pasien.
Riwayat asma dan TBC disangkal.
e. Riwayat Pengobatan :
Pasien belum berobat ke dokter untuk mengurangi keluhan dan belum

mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan.


f. Riwayat Psikososial :
Pasien menyusu dengan ASI dan jika ASI ibu pasien tidak keluar dibantu

dengan susu formula. Dalam sehari pemberian susu formula dapat dierikan 1

botol kecil oleh ibu pasien. Merk susu formula pasien SGM Presinutri. Selama

sakit ibu pasien mengaku pasien susah untuk menyusu. Ibu pasien mengatakan

sering memberikan ASI saat berbaring. Tidak ada yang merokok dan

membakar asap disekeliling pasien.


g. Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.
h. Riwayat persalinan :
Pasien anak kedua dari 2 bersaudara dengan jarak kelahiran 4 tahun. Pasien

lahir spontan cukup bulan dan dibantu oleh bidan. Ibu pasien mengaku rajin

memeriksa kandungan ke bidan. Berat badan lahir pasien 2600.


i. Riwayat alergi :
Alergi debu, makanan dan antibiotik disangkal.
j. Riwayat tumbuh kembang :
Perkembangan motorik kasar : menumpu beban pada kaki, duduk kepala tegak,

kepala terangkat 900.


Bahasa : berteriak, tertawa, oo/aa
Adaptif : mengikuti lewat garis tengah, mengikuti ke garis tengah.
Perkembangan sosial : mengamati tangannya, tersenyum spontan, membalas senyum.
1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda Vital :
o Suhu : 38,1oC
o Nadi : 140 x/menit
o Pernapasan : 59 x/menit
o Tekanan darah : tidak diperiksa
d. Antropometri
o BB : 5,5 kg
o TB : 61 cm
e. Status gizi :
o BB/U : 5,5/5,1 x 100% = 107 % (BB baik)
o PB / U : 61/57 x 100% = 107 % (PB normal)
o BB / PB : 5,5/6 x 100% = 91 % (Gizi baik)
o Kesan : status gizi baik
f. Status Generalis
1. Kepala : Normocephal, ubun- ubun cekung.
2. Mata : konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), edema palpebra (-/-), air mata (+/+)
3. Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-), nafas
cuping hidung (+/+)
4. Telinga : Normotia, serumen (-/-), darah (-/-), pembesaran KGB retro /
post auricular (-/-)
5. Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-),
6. Leher : Pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (+/+),
7. Thorax :
Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba pada intercostae 4 linea midklavicularis sinistra

Perkusi : Batas jantung kiri setinggi intercostaeIV, 4 jari lateral linea


midklavikula sinistra dan batas kanan 1 jari lateral linea parasternalis
dextra.

Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), Gallop (-).

Pulmo :

inspeksi : normochest, gerakan dada simetris, terlihat retraksi intercosta, dan


substernal

Palpasi : simetris kiri = kanan


Perkusi : sonor kedua lapang paru

Auskultasi : Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), krepitasi (+/-).

8. Abdomen : inspeksi : datar, supel.


Auskultasi :bising usus (+)
Perkusi : timpani 4 kuadran abdomen
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), turgor kulit kembali cepat <2
detik.

9. Ektremitas sup: Akral: hangat, Sianosis (-/-) capillary refill < 2 (-/-), edema (-/-)
10. Ektremitas inf : Akral: hangat,Sianosis (-/-) capillary refill < 2 (-/-), edema (-/-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang :


a. Laboratorium

Tanggal 13 September 2016


Hb 9,6 gr/dL
Leukosit 10.300 mm3
Segmental 43
Lymfosit 57
Trombosit 373.000 mm3
Hematokr 31%
it

b. Pemeriksaan rontgen thorax


jantung tidak membesar
bronkopneumonia

1.5 Differential diagnosis


a. Bronkoneumonia
b. Asma Bronkial

1.6 Diagnosis Kerja


Bronkopneumonia

1.7 Resume
Anak G usia 2 bulan, pada anamnesis didapatkan :
sesak napas sejak 1 hari SMRS, demam terus menerus dari 3 hari yang lalu, disertai
batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak 3 hari yang lalu dan semakin bertambah
berat jika menangis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
Tanda Vital :
o Suhu : 38,1oC (demam +)
o Nadi : 140 x/menit
o Pernapasan : 59 x/menit, thoracoabdominal ( takipnea +)
o Tekanan darah : tidak diperiksa
o Hidung : pernafasan cuping hidung (+/+)
o Leher : retraksi suprasternal (+)
o Thorax : retraksi intercosta (+) dan retraksi substerna (+), rhonki (+/+),
krepitasi (+/-).
o Akral : hangat, CRT < 2 detik.
Pada pemeriksaan laboraturium darah perifer didapatkan :
o Hb : 9,6 gr% (n= 13 16)
o Leukosit : 10.300 mm3 (n= 4000- 11.000)
o Segmental : 43
o Lymfosit : 57
o Hematokrit : 31% (n = 40-45)

Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan bronkopneumonia.

1.8 Tatalakasana
a. Oksigen dengan nasal kanul 1 liter/ menit
b. Ampicilin 4 x 1,25 ml iv
c. Gentamicin 1 x 3,75 ml iv
d. Paracetamol 3 x 60 mg (jika demam > 38 C)
e. Nebulizer combiven ampul + 2 cc Nacl 0,9 % per 6 jam
f. Terapi maintenance RL 8 tpm
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A Pengertian Bronkopneumonia
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia
disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan
akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli. Pada keadaan normal,
alveolus terisi udara, namun pada pasien dengan bronkopneumonia, alveoli akan terisi
dengan pus dan cairan, sehingga menyebabkan nyeri dada, hambatan oksigenasi dan
sesak napas.

B Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia
anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan
bakteri gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan balita pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.11
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup
15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus
dan adenovirus. Insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33,8 juta kasus baru
di seluruh dunia dengan 3,4 juta kasus pneumonia berat yang perlu rawat-inap.
Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000-199.000 anak balita karena pneumonia
RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. RSV adalah patogen yang menjadi
etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab
tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia12

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri


E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 minggu 3 bulan Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia Legionella sp
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus

Adenovirus

C Faktor Risiko
Faktor-dasar (fundamental) yang menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas
pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah :
1 Kemiskinan yang luas
Kemiskinan yang luas berdampak besar dan menyebabkan derajat kesehatan rendah
dan status sosio-ekologi menjadi buruk
2 Derajat kesehatan rendah
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis
dan infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria,
campak, gizi kurang, defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn), tingginya prevalensi
kolonisasi patogen di nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak
ada atau tidak memberikan ASI dan imunisasi yang tidak adekuat memperburuk
derajat kesehatan.
3 Status sosio-ekologi buruk
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam-ruang akibat penggunaan biomass
(bahan bakar rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar-ruang.
Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya
adat kebiasaan dan kepercayaan lokal yang salah.
4 Pembiayaan kesehatan sangat kecil
Di negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan
kesehatan yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur
kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga
kesehatan yang terampil terbatas, di tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan
sangat kurang.
5 Proporsi populasi anak lebih besar
Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah proporsi populasi anak
37%, di negara berpenghasilan menengah 27% dan di negara berpenghasilan tinggi
hanya 18% dari total jumlah penduduk. Besarnya proporsi populasi anak akan
menambah tekanan pada pengendalian dan pencegahan pneumonia terutama pada
aspek pembiayaan.

D Patogenesis
Sebagian besar bronkopneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen.
Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam
keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
1 Filtrasi partikel di hidung
2 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
3 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
4 Pembersihan ke arah kranial oleh mukosiliar
5 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
6 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
7 Drainase melalui sistem limfatik.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh dan patogen dari luar, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Gangguan pertahanan tubuh akan menyebabkan mikroorganisme sampai ke alveoli
dan menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
1 Stadium Kongesti atau Hiperemis (4-12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen haemoglobin.
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
Gambar 2. Stasium hepatisasi merah. Tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel
sel inflamasi (neutrofil)17

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.

Gambar 3. Stadium hepatisasi kelabu. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan
netrofil

4 Stadium Resolusi (7-11 hari)


Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

E Gambaran Klinis
1 Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas
(rhinitis atau faringitis). Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus,
sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri
dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi kecil sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh sesak, nyeri kepala, nyeri abdomen disertai
muntah.
2 Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, napas cuping
hidung, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan
grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, napas cuping hidung, retraksi,
sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Tanda takipneu ditandai dengan napas cepat yang
dihitung selama satu menit dalam keadaan tenang. Frekuensi napas yang patut
dicurigai pneumonia adalah :
a
Anak usia kurang dari 2 bulan : lebih dari atau sama dengan 60 kali/ menit
b
Anak 2-11 bulan : lebih dari atau sama dengan 50 kali/ menit
c
Anak 12-59 bulan : lebih dari atau sama dengan 40 kali/ menit.
WHO menyebutkan bahwa takipneu merupakan temuan yang sensitif dan spesifik
untuk pneumonia. Sensitivitasnya mencapai 61% dengan spesifisitas 79% pada pasien
malnutrisi. Pada pasien dengan gizi normal, nilai sensitivitas meningkat hingga 79%
dan spesivitasnya 65%.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding
dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
3 Pemeriksaan Penunjang
a Pemeriksaan Darah
Pada bronkpneumona virus jumah leukosit dapat normal atau menurun
(leukopenia), sedangkan mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas
normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan darah pada bronkopneumonia karena
bakteri umumnya didapatkan leukositosis hingga >15.000/mm3 seringkali
dijumpai dengan dominasi polimorfonuklear (netrofil) pada hitung jenis.
Trombositosis >500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih
mengarah kepada infeksi virus.
b Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada
pasien bayi. Pada bronkopneumonia ditemukan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkhial.

Gambar 4. Foto toraks PA pada bronkopneumonia

c C-reaktif Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP
digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non
infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dibandingkan pada infeksi bakteri.
CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
d Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
e Pemeriksaan Mikrobiologi
Bila pasien dalam keadaan kritis, atau pengobatan antibiotik belum dapat
memperbaiki kondisi klinis, perlu dipikirkan pemeriksaan mikrobiologi. Namun
pemeriksaan tersebut juga sulit dilakukan karena anak-anak sulit mengeluarkan
dahak, pemeriksaan dengan darah juga sulit karena kurang dari 10% kasus yang
berhubungan dengan bakteriemia. Pemeriksaan terbaik biasanya dilakukan
dengan sekret yang diaspirasi dari nasofaring.
f Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat
kontak dengan TBC dewasa. Pada setiap anak dirawat inap dengan
bronkopneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry.
4 Dasar Diagnosis
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan dasar diagnosis
bronkopneumonia secara ringkas adalah sebagai berikut :
a Anamnesis
Pada alloanamnesis ditemukan : demam, batuk, dan sesak napas yang timbul
tidak mendadak.
b Pemeriksaan fisik
1 Keadaan umum pasien tampak sesak atau sianosis
2 Pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan peningkatan suhu, takipneu, dan
dapat diikuti dengan takikardi
3 Pada hidung dapat ditemukan napas cuping hidung
4 Pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda :
Inspeksi : gerakan paru simetris, dan ditemukan retraksi
Palpasi : vokal fremitus paru kanan = kiri
Perkusi : bisa sonor atau redup, tergantung jumlah konsolidasi
Auskultasi: suara dasar vesikuler meningkat, ronkhi basah halus di seluruh
lapang paru, dan krepitasi.
c Pemeriksaan penunjang
1 Pemeriksaan darah yang khas adalah ditemukannya leukositosis dengan
dominasi leukosit polimorfonuklear pada infeksi bakteri, sedangkan pada
infeksi virus dapat ditemukan leukopenia
2 Pemeriksaan foto thorak posisi akan ditemukan bercak-bercak infiltrat
homogen di seluruh lapang paru
3 Pemeriksaan penunjang lain jarang digunakan sebagai dasar diagnosis.
5 Differensial Diagnosis
Pada penegakan diagnosis bronkopneumonia, perlu diperhatikan diagnosis banding
penyakit ini, sehingga anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan dapat terarah.
a Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi kurang
dari 2 tahun. Kondisi penyakit mirip dengan bronkopneumonia, yaitu adanya
batuk, demam, dan sesak yang tidak mendadak. Perbedaannya adalah pada
temuan pemeriksaan fisik. Pada bronkiolitis terdapat suara perkusi hipersonor,
ekspirium memanjang disertai dengan mengi. Foto thoraks ditemukan adanya
hiperaerasi dan diameter antero-posterior yang membesar.
b Asma bronkhial
Asma adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut : timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(noktural), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien dan/atau keluarganya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penyingkiran diagnosis asma sudah dapat
dilakukan dengan anamnesis yang teliti. Pada pemeriksaan fisik, biasanya
terdapat mengi, dan tidak ditemukan ronkhi. Untuk mendukung diagnosis, dapat
dilakukan nebulisasi dengan bronkodilator, anak dengan asma akan memberikan
respon terhadap pengobatan, sedangkan anak dengan bronkopneumonia tidak.
c Tuberkulosis (tb) paru
Pada tb paru, gejalanya adalah batuk lama (lebih dari 3 minggu), demam lama
(lebih dari 2 minggu), dan adanya penurunan berat badan atau status gizi kurang.
Pemeriksaan dengan skoring tb termasuk uji tuberkulin di dalamnya dapat
dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan tb paru.

F Tata Laksana
1 Kriteria Rawat Inap
Neonatus hingga usia 20 hari dengan gejala dan tanda curiga bronkpneumonia
sebaiknya dirawat inap untuk monitoring dan mencegah komplikasi.
Bayi
- Saturasi oksigen 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x/menit
- Distress pernapasan, apnea intermitten, atau grunting
- Tidak mau minum/ menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
Anak
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/menit
- Distress pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidradi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.

2 Tatalaksana Umum
- Pasien dengan saturasi oksigen 92%, berikan terapi oksigen dengan kanul nasal,
head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucociliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya 4 jam sekali,
termasuk saturasi oksigen.
3 Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia
pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav,
cefaclor, eritromisin, dan azitromisin
- M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik
golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak 5
tahun
- Makrolid diberikan jika M. Pneumoniae atau C. Pneumoniae dicurigai sebagai
penyebab
- Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab
- Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucioxacillin dengan amoksisilin
- Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat per oral (misalnya karena muntah) atau termasuk dalam pneumonia berat
- Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah : ampisilin dan kloramfenikol, co-
amoxiclav, cefuriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
- Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapatkan antibiotik intravena
- Rekomendasi untuk community acquired pneumonia adalah sebagai berikut :
Neonatus 2 bulan : ampisilin dan gentamisin
Lebih dari 2 bulan : lini pertama ampisilin, jika dalam 3 hari tidak ada perbaikan
ditambahkan kloramfenikol. Lini kedua sefriakson.
Bila klinis perbaikan, antibiotik intravena dapat diganti dengan preparat oral
dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Tabel 2. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia


Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/ kg/ Tiap 4 jam S. pneumonia
kali, dosis
tunggal max
4.000.000 unit
Ampisillin 100 mg/ kg/ hari Tiap 6 jam
Kloramfenico 100 mg/ kg/ hari Tiap 6 jam
l
Cefriaxone 50 mg/ kg/ hari, 1 x/ hari S. pneumonia, H. influenza
dosis tunggal
max 2 gram
Cefuroxime 50 mg/ kg/ hari, Tiap 8 jam S. pneumonia, H. influenza
dosis tunggal
max 2 gram
Clindamycin 10 mg/ kg/ kali, Tiap 6 jam Group A. Streptococcus, S.
dosis tunggal Aureus, S. Pneumoniae
max 1,2 gram (alternatif jika alergi beta
laktam)
Eritromisin 10 mg/ kg/ kali, Tiap 6 jam S. pneumoniae, Chlamydia
dosis tunggal pneumonia, Mycoplasma
maks 1 gram pneumonia

4 Nutrisi
- Pada anak dengan distress pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau itravena.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami
overhidrasi, karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik.

5 Fisioterapi Dada/ Postural Drainase


Postural drainase (PD) adalah cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru
dengan mempergunakan gaya berat dari sekret itu sendiri. Mengingat kelainan pada
paru bisa terjadi pada berbagai lokasi, maka PD dilakukan pada berbagai posisi
disesuaikan dengan kelainan parunya. PD dapat dilakukan untuk mencegah
terkumpulnya sekret dalam saluran napas, tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret
sehingga tidak terjadi atelectasis.
6 Kriteria Pulang
- Gejala dan tanda pneumonia hilang
- Asupan per oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.5

G Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada
anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi terhadap
patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan strategi pencegahan
spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan non-spesifik misalnya
mengatasi berbagai faktor risiko seperti polusi udara dalam-ruang, merokok, kebiasaan
perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain.
1 Imunisasi
Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak adalah imunisasi
DPT dan campak dengan angka cakupan yang menggembirakan; DPT berkisar 89,6
%-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.
Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus
konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus pneumonia
pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus
pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang direkomendasikan vaksin
Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus
konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan.
2 Non Imunisasi
Di samping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-imunisasi sebagai
upaya pencegahan non-spesifik merupakan komponen yang masih sangat strategis.
Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada
berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu anak dan balita tentang besarnya
masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif
sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi
dengan pola makanan sehat. Penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat
badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang
yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah
dan pencegahan serta tatalaksana infeksi HIV.
Suplementasi zinc dan vitamin A juga merupakan salah satu metode strategis untuk
mencegah pneumonia. Zinc dan vitamin A merupakan mikronutrien penting dalam
fungsi imunitas, defisiensi zinc dapat menyebabkan regenerasi sel dan gangguan
fungsi epitel. Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi zinc dan vitamin A
berhubungan dengan penurunan insidensi dan prevalensi pneumonia, sehingga
menurunkan angka kematian anak.

H Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis puruenta,
pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema
torasis merupakan kompliasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Ilten et al. (2004) melaporkan komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan
meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak usia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang
fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.

You might also like