Professional Documents
Culture Documents
ubjectivism
Subjektivisme
Secara historis, posisi ini diwakili oleh filsuf terbaik George Berkeley (1658-1753).
Ekspresi terkenalnya adalah untuk menjadi yang dirasakan. Berkeley mulai dengan filosofi
John Locke (1632-1704), yang percaya pada realitas substansi materi, substansi spiritual, dan
ide-ide. Locke memisahkan kualitas dari substasi material, substansi spiritual dan ide-ide.
Locke memisahkan kualitas dari substasi materi kedalam kualitas primer (bentuk, eksistensi,
soliditas, gerak, jumlah, dan sebagainya) dan kualitas sekunder (warna, suara, rasa, bau, dan
sebagainya). Kualitas sekunder tidak benar-benar milik badan di dunia luar; mereka
bervariasi dari orang ke orang dan oleh karena itu, dalam pikiran. Berkeley, bagaimanapun,
melanjutnkan untuk menunjukkan argument yang sama dapat diterapkan pada kualitas
primer. Dengan demikian substansi materi menghilang, dan semua kualitas konstruksi
mental. Hal ini meninggalkan Berkeleng dengan substansi spiritual saja dan ide-ide atau
dengan makhluk yang sadar dan sesansi atau ide-ide mereka. Jika kedua kualitas primer dan
kualitas sekunder ada dalam pikiran, apakah objek itu sendiri? Semua materi berjangka bisa
berarti kelompok tertentu atas kualitas, penampilan, atau ide. (Mahasiswa harus beralih ke
bab tentang idealism dan membaca bagian tentang Idealisme Subjektif, dimana posisi
yang dinyatakan lebih komplit. Hal ini mungkin, ia harus membaca tulisan Berkeley Prinsip
Pengetahuan Manusia dan mendapatkan kekuatan penuh untuk argumennya dan sanggahan
atas keberatan dengan posisinya saat ini.)
The problem before us in this section is what Ralph Barton Perry has called the
egocentric predicament No matter what we do or how hard we try, we cannot get outside
or beyond our own experience. Anything we know is always an object known. What it would
be apart from this relationship there is no way of knowing. When you thing of any object, you
must think of it in its various sense qualities. The object is red or smooth or sour. We have
already seen that the condition of the sense organs or mental factors enters into the
construction of these objects. Possibly there are no independent objects, and the world may
be a mental construct. To say that you can think of objects and can experience them as
existing independently does not alter the situation since you are still dealing with your
perceptions or sense data.
Masalah sebelum kami dalam bagian ini adalah apakah Ralph Barton Perry menyebut
keadaan egosentris. Tidak peduli apakah kami melakukan atau seberapa keras kami
mencoba, kami tidak dapat keluar atau diluar pengalaman kami sendiri. Apapun yang kami
tahu selalu ada objek yang dikenal. Apa yang akan terlepas dari hubungan ini, tidak ada cara
untuk mengetahuinya. Ketika anda ada hal dari objek apapun, anda harus memikirkan bahwa
hal itu ada dalam kualitas rasa yang beragam. _______________________ Kami telah
melihat bahwa kondisi dari organ rasa atau faktor mental masuk kedalam pemabgnunan objek
tersebut. Mungkin tidak ada objek idependen, dan mungkin dunia membangun konstruksi
mental. Untuk mengatakan bahwa kamu dapat memikirkan objek dan dapat mengalami
mereka secara independen dan tidak mengubang situasi sejak anda masih menghadapi
persepsi anda atau data rasa.
In The Ways of Knowing, W.P. Montague sets forth seven stages of subjectivism.
The student will do well to reflect upon these and to ask himself how many of the steps he is
willing to take. The stages are partly historical and partly logical in their development.
Subjektivitas atas benda seperti pengalaman sebagai mimpi, ilusi, halusinasi, dan seluruh
jajaran kesalahan persepsi. Mimpi yang mungkin tampak sangat nyata. Manusia primitive
yang sebenarnya berpikir bahwa jiwanya berkelana dan memiliki pengalaman-pengalaman
ini. Kami semua mengalami ilusi pada saat kami salah menyadari identitas dari beberapa
orang atau objek. Obat atau deman dapat membawa halusinasi untuk orang yang dinyatakan
normal. Kami menempatkan semua objek ini dari pengalaman dalam pemikiran dan tidak
dari dunia luar.
2. The subjectivity of our images or sense data from the examples given earlier in the
chapter, it appears that we need to make a distinction between whatever is given or present in
the outer world and our sense data. If two things can vary independently, then, they are not
identical. The sense data of the coin and the star were found to be quite variable.
Subjektivitas dari gambaran kami atau data dari contoh yang diberikan sebelumya dalam bab
ini, muncul bahwa kami perlu untuk membuat perbedaan ntara apa saja yang diberikan atau
yang ada dalam dunia luar dan data kami. Jika dua benda dapat bervariasi dengan
independen, maka mereka tidak identic. Data ini adalah koin dan bintang yang ditemukan
cukup untuk variabel.
3. The subjectivity of the secondary qualities, such as color, sound, wise, smell, and actual
sensations. Not only philosophers like John Locke but many modern scientists have
interpreted the outer world as quantitative relations alone, and have put the non-quantitative
qualities in conscious states. For example, colors and sounds are merely the effect of light
and sound waves of certain length upon human sensory organs. The way we experience
secondary qualities depends on the nature of our sensory equipment.
Subjektivitas dari kualitas sekunder seperti warna, suara, kebijaksanaan, bau, dan sensasi
yang sebenarnya. Tidak hanya filsuf seperti John Locke tetapi banyak ilmuwan modern telah
menafsirkan dunia luar sebagai hubungan kuantitatif saja, dan telah menempatkan kualitas
non-kuantitatif di Negara-negara yang sadar. Sebagai contoh, warna dan suara hanyalah efek
dari cahaya dan gelombang suara adalah organ sensorik manusia. Cara kami mengalami
kualitas sekunder bergantung pada sifat alami dari peralatan sensorik kami.
4. The subjectivity of the primary qualities, such as extension, figure, motion, mass, size,
and shape. If we take this step, we have arrived at the stage of subjectivism proper, or the
belief that there is no reality outside of experience.
Subjektivitas dari kualitas primer, seperti ekstensi, angka, gerak, massa, ukuran dan bentuk.
Jika kami mengambil langkah ini, kami telah sampai pada tahap subjektivisme yang tepat,
atau keyakinan bahwa tidak ada realitas diluar pengalaman.
This is the position taken by Berkeley. When we take this step, we pass from
epistemological dualism to epistemological monism. There is now a single realm of
knowledge, and it consists of conscious beings and their ideas. The subjectivist insists that
the primary qualities vary, and are affected by the condition of the sensory organs, and are
elements of experience, just as the secondary qualities are. However, there is some difference
which accounts for the distinctions that have been made between primary and secondary
qualities. The primary quality are common to many minds and are shareable on public
experiences: the secondary qualities are not. That is why they have been called physical
qualities or states, to distinguish them from the purely private experiences, which we call
mental or psychical.
Ini adalah posisi yang diambil oleh Berkeley. Ketika kami mengambil langkah ini, kami
telah lolos dari epostemologi dualism ke epistemology monism. Sekarang ada pengetahuan
tunggal, dan terdiri dari makhluk hidup dan ide-ide mereka. Subjektivis bersikeras bahwa
variasi kulitas primer, dan dipengaruhi oleh kondisi dari organ sensorik, dan unsur-unsur
pengalaman, seperti kulitas sekunder. Namun ada beberapa perbedaan yang telah membuat
perbedaan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer umumnya untuk
banyak pikiran yang dibagikan pada pengalaman public: kualitas sekunder tidak. Itulah
sebabnya mereka disebut kualitas fisik atau Negara, untuk membedakan mereka dari
pengalaman pribadi murni, yang kami sebut mental atau psikis.
Berkeley says that these common or shareable experiences, the primary qualities of our
world, are caused by something beyond ourselves, and are different from the secondary
qualities which arise out of our own mental activity. The agency is still, however, a conscious
being or conscious will infinitely wiser and more powerfull than we are. The order of nature
arises, according to Berkeley, from the ideas in the mind of God.
Berkeley mengatakan bahwa hal yang biasa atau pengalaman yang dapat dibagikan,
kualitas primer dari dunia kami, disebabkan oleh sesuatu diluar diri kami sendiri, dan berbeda
dari kualitas sekunder yang timbul dari aktivitas mental kami sendiri. Badan ini masih,
bagaimanapun, makhluk hidup atau uang sadar akan jauh lebih bijaksana dan lebih kuat
daripada kami. Urutan alam muncul, menurut Berkeley, dari ide dalam pikiran Tuhan.
5. The subjectivity of space and time, and the classes and laws of nature. The work of
Berkeley did not reach to the laws or relations that unite the various experiences of men: the
order and laws of nature seemed to be independent of the minds that experienced them.
Immanuel Kant made this fifth step. The mind, he said, imposes its own forms of organization
or synthesis upon the unorganized sensations it receives from an unknown source. The mind
functions through the three faculties of sensibility, understanding, and reason. The first set of
forms consists of space and time. The second set is called the "categories the higher classes
or divisions within which things are organized. These include such forms of relationship as
quantity, quality, cause, effect, unity, and plurality. The third set is the ideas. When as
scientists we marvel over the mathematical relations and harmonies of our own minds.
Subjektivitas ruang dan waktu, dan kelas dan hukum alam. Karya Berkeley tidak mencapai
hubungan hukum atau hubungun yang menyatukan berbagai pengalaman manusia : urutan
dan hukum alam tampaknya menjadi independen dari pikiran yang dialami oleh mereka.
Immanuel Kant membuat langkah kelima ini. Pikiran, kayanya, memberlakukan bentuk
organisasi sendiri atau sintesis pada sensasi yang tidak terorganisir yang diterima dari sumber
yang tidak diketahui. Fungsi pikiran melalui tiga bidang kepekaan, pemahaman, dan alasan.
Bentuk pertama terdiri dari ruang dan waktu. Bentuk kedua disebut kategori kelas yang
lebih tinggi atau divisi dimana hal yang terorganisir. Hal ini termasuk bentuk hubungan
sebagai kuantitas, kualitas, penyebab, efek, kesatuan, dan pluralitas. Bentuk ketiga dalah
ide-ide. Ketika para ilmuwan kami mengagumi hubungan matematika dan harmoni dari
pikiran kami sendiri.
Kants arguments are difficult and complicated and cannot be presented here in detail.
Merely a brief statement regarding his arguments for the subjectivity of space and time is in
order. A person can imagine the nonexistence of any particular object in space and time
themselves. Try to think of a limit to space. What is your limit? ls there a time when time
was not? That time and space adhere or stick to the mind is a proof of their subjectivity.
They exist, therefore in Kants view, logically and existentially prior to the bodies that occupy
them. Space and time exist within consciousness.
Argumen Kant sulit dan rumit dan tidak bisa disajikan disini dengan rinci. Hanya sebuah
pernyataan singkat mengenai argumennya tentang subjektivitas ruang dan waktu dalam
sebuah urutan. Seseorang bisa mebayangkan ketiadaan dari objek tertentu dalam ruang dan
waktu itu sendiri. Mencoba untuk berpikir tentang batasan ruang. Apa batasan mu? Apakah
adawaktu ketika waktu itu tidak? bahwa waktu dan ruang memathui atau menempel dengan
pikiran adalah bukti subjektivitas mereka. Mereka ada, karena itu dalam pandangan Kant,
secara logis dan eksistensial sebelum tubung yang menduduki mereka. Ruang dan waktu ada
dalam kesadaran.
Our thinking about the properties of space and time appears to possess certainty and a
necessity that are not present when we think about the various objects of our world. This can
be explained most adequately by the assumption that they are forms of the mind itself. If
space and time were objective, we would have to think of them as being either finite or
infinite, yet we are unable to do so. If we think of them as finite, we can easily pass in thought
beyond their limit. To think of them as infinite seems to imply their completion.
Pemikiran kami tentang sifat-sifat ruang dan waktu tampaknya memiliki kepastian dan
keharusan yang tidak hadir ketika kami berpikir tentang variasi objek dari dunia kami. Hal ini
dapat dijelaskan dengan memadai bahwa asumsi bentuk pemikiran mereka. Jika ruang dan
waktu itu objektif, kami harus memikirkan mereka sebagai yang terbatas maupun yang tidak
terbatas, namun kami tidak dapat melakukannya. Jika kami menganggap mereka sebagai
terbatas, kami dapat dengan mudah lulus dalam pemikiran yang melampaui batas mereka.
Unutk berpikir tentang mereka sebagai yang tampak tidak terbatas untuk menyiratkan
penyelesaian mereka.
The argument from selective relativity as Professor Montague points out, can be used
here as well as in the earlier stages of subjectivity. The object in time and space and the
various time and space relationships which we experience are determined, from this point of
view, primarily by the nature and condition of the conscious self, and only secondarily by
whatever (unknown and unknowable) may exist beyond the experiences of conscious selves.
Argumen dari relativitas selektif seperti yang dikemukakan oleh Professor Montague,
dapat digunakan disini sebagai tahapan awal subjektivitas. Objek dalam waktu dan ruang dan
berbagai hubungan waktu dan ruang yang kami alami ditentukan, dari sudut pandang,
terutama oleh alam dan kondisi sadar diri, dan hanya yang sekunder oleh apapun (diketahui
dan tidak diketahui) mungkin ada di luar pengalaman sadar diri.
6. The subjectivity of the ultimate basis of our sensations, so that the many selves become
parts of one all-inclusive absolute self. One single cosmic self or absolute self becomes the
ground of our sensations and of all the forms and relations of our experience. The deeper
selves in each of us constitute a universal self. This position has been accepted by various
post-Kantian idealists. The outstanding representative of this position is Hegel (1770-1831),
whom we consider briefly in the chapter on idealisms.
Subjektivitas dasar utama dari perasaan kami, sehingga banyak yang menjadi bagian dari satu
diri yang mutlak. Kosmik tunggal atau diri yang absolut menjadi dasar dari perasaan kami
dan semua bentuk dan relasi dari pengalaman kami. Lebih dalam tentang diri kami masing-
masing merupakan diri yang universal. Posisi ini telah diterima oleh berbagai idealis pasca-
Kantian. Perwakilan luar biasa dari posisi ini adalah Hegel (1770-1831), yang kami anggap
singkat dalam bab tentang idealisme.
7. A final possible stage, solipsism. Solipsism is the view that the individual self alone
exists. or "the subjectivity at the-absolute subject." This point of view has not been held by
any school of philosophers nor by any outstanding thinker. The term solipsism comes from
the Latin solus, meaning alone, and ipse, meaning "self". It is the reductio ad absurdum of
subjectivism.
Sebuah tahap akhir solipsism yang mungkin. Solipsism adalah pandangan bahwa individu
saja yang ada, atau subjektivitas pada subjek yang absolut. Pandangan ini belum dimiliki
oleh setiap sekolah para filsuf manapun oleh pemikir yang luar biasa. Solipsism berjangka
berasalah dari bahasa latin solus yang berarti sendiri, dan ipse, berarti diri. Hal ini adalah
reduction ad absurdum dari subjektivisme.
Objectivism
Objektivisme
Para objektif, atau epistemogis realis, menolak pandangan Berkeley yang ada menjadi pikiran
atau ide dalam beberapa pikiran. Mereka bersikeras bahwa ada realitas independen yang
tepisah dari pikira. Pada bagian awal dari bab ini kami dianggap realism naif, yang
menyatakan bahwa kami memandang objek fisik itu sendiri. Dalam bab tentang realism kami
akan menemukan bahwa realis baru memegang posisi yang lebih dekat dengan ini. Selama
abad ke 18 teori copy atau realism reoresentatif dari John Locke telah diterima secara
luas. Baginya, kualitas primer berada di dunia luar, tapi kualitas sekunder berada dipikiran.
Pikiran mengetahui salinan atau gambar dari hal-hal eksternal. Realis kritis pada abad ke 20
mengklaim bahwa apa yang kami rasakan bukanlah objek tetapi apa yang disebut dengan
data rasa. Realism, jenis, dan implikasi filosofis umum dianggap dalam bab berikutnya.
Berikut tertarik dalam memahami klaim epistemologis objektivisme.
Before considering the case for objectivism, let us ask: Where are the sense data
(sensa)? Where are these elements of our experience which we think are immediately in
consciousness? This is one of the most baffling issues in philosophy. Let us state some
possibilities, without elaborating the answers in detail. First, the sensa may be out in the
physical world, where they seem to be. If they are in the outer world, then they may exist
independently of their being sensed, or they may be created in the outer world by the knower
at the time of perception. These views seem difficult to hold in the light of the facts presented
earlier in the chapter. Second, the sensa may exist within the person who is the knower or
perceiver. In this case they may be the result of stimulation in the nervous system and the
brain or they may be explained as mental events which imply a dualism of mind and matter.
The idealists and some realists will prefer the latter statement, while others will not. Third,
the sense may not be located anywhere in particular. Excitations or signals in the form of a
pattern of waves may produce a pattern of "brain events", which have a correspondence with
the events from which the messages come. The sense then would be imaginative projections
of these brain states.
Let us turn next to some of the simpler arguments in the case for objectivism. Some of
these arguments are negative in that they attempt to show the weakness of the subjectivists
position; others are positive and constructive.
Mari kami beralih kesebelah beberapa argumen sederhada dalam kasus objektivisme.
Beberapa argument ini negatif bahwa mereka mencoba untuk menunjukkan kelemahan posisi
subjektivis; positif dan konstruktif yang lain.
1) Objectivists accuse the subjective idealists of the fallacy of non sequitur, or of drawing a
false conclusion from a true proposition.
Para objektif menuduh idealis subjektif dari kesalahan dari non sequitur, atau
menggambarkan kesimpulan yang salah dari proposisi yang benar.
The true proposition is, "It is impossible to discover anything that is not known,
since it becomes known by the mere process of being discovered. From this
proposition, it follows that it is impossible to discover with certainty what
characteristics things possess when they are not known. The idealist then
proceeds falsely to conclude. Things have no characteristics when they are not
known: therefore, the characteristics of being known is that which constitutes
their existence; therefore, things only exist when they are known."
Proporsi yang benar adalah tidak mungkin untuk menemukan sesuatu yang tidak
diketahui, karena menjadi dikenal oleh proses yang ditemukan. Dari proposisi
ini, diikuti bahwa tidak mungkin menemupkan dengan pasti apa karakteristik dari
hal yang dimiliki ketika mereka tidak mengetahui. Kemudian idealis mulai salah
dalam menyimpulkan. hal yang tidak memiliki karakteristik ketika mereka tidak
dikenal : oleh karena itu, karakteristik yang diketahui adalah bahwa yang
merupakan keberadaan mereka; oleh karena itu, hal-hal hanya ada ketika mereka
dikenal.
The only valid conclusion is that "all known things are known", and this is merely
a truism. Because we cannot tell for certain what characteristics things possess when
they are not known, it does not necessarily follow that all things are known or that
being known is a prerequisite to existence. The fact that l cannot know a thing unless
it is experienced does not mean that there cannot be unexperienced things.
Satu-satunya kesimpulan yang valid adalah semua hal yang diketahui adalah yang dikneal.
Dan hal ini hanya disangkal. Karena kami tidak dapat memberitahui keapda karakteristik apa
yang idmiliki ketika mereka tidak diketahui, hal ini tidak seharusnya mengikuti semua hal
yang diketahui atau untuk diketahui merupakan prasyarat untuk keberadaan. Fakta bahwa
saya tidak dapat mengetahui hal, kecuali telah dialami tidak berarti tidak ada hal yang kurang
berpengalaman.
2) The subjectivists are are accused of a misuse of the word idea when they use it for both
the subject and the object of human thinking. This double use of the word really "begs the
question" and assumes without proof that there is no real difference between the mind and
that toward which the minds experience is directed. Bertrand Russell says:
Para subjektivis yang dituduh menyalahgunakan sebuah ide dari kata yang mereka gunakan
ketika mereka menggunakannya untuk subjek dan objek dari pemikirna manusia. Penggunaan
ganti dari kata ini menimbulkan pertanyaan dan berasumsi tanpa bukti bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata antara pikiran dan yang mengarah pada pengalaman pikiran dirahakan.
Bertrand Russell mengatakan :
There is a confusion engendered by the use the word "idea." We think of an idea
as essentially something in somebodys mind, and thus when we are told that a
tree consists entirely of ideas, it is natural to suppose that, if so, the tree must be
entirely in minds. But the notion of being in the mind is ambiguous. We speak of
barring a person in mind, not meaning that the person is in our minds, but that a
thought of him is in our minds. When a man says that some business he had to
arrange went clean out of his minds, he does not mean to imply that the business
itself was ever in his mind. But only that a thought of the business was formerly in
his mind, but afterwards ceased to be in his mind. And so when Berkeley says that
the tree must be in our minds if we can know it, all that he really has a right to say
is that a thought of the tree must be in our minds. To argue that the tree itself must
be in our minds is like arguing that a person whom we bear in mind is himself in
our minds.
Ada kebingungan yang ditimbulkan oleh penggunaan kata ide. Kami
memikirkan sebuah ide dasar suatu pemikiran seseorang dan kami diberitahu
bahwa pohon terdiri dari ide-ide. Wajar untuk menganggap bahwa pojon menjadi
sepenuhnya dalam pikiran. Tapi gagasan berada dalam pikiran adalah ambigu.
Kami berbicara tentang pemabtasan seseorang dalam pikiran, bukan berarti bahwa
orang tersebut dalam pikiran kami, tapi pemikirannya dan dalam pemikiran kami.
Ketika seseorang berkata bahwa beberapa bisnis yang ia telah atur harus bersih
dari pikirannya, ia tidak bermasud untuk mengatakan bahwa bisnis itu pernah
dipikirannya. Tapi hanya pemikiran dari bisnis yang sebelumnya dalam pikirannya
tapi setelah itu tidak lagi menjadi pikirannya. Dan ketika Berkeley mengatakan
bahwa pohon harus dalam pikiran kami jika kami bisa tahu, semua yang benar-
benar memiliki hak untuk mengatakan bahwa pemikiran dari pohon harus ada
dalam pikiran kami. Untuk berpendapat bahwa pohon itu sendiri harus dalam
pikiran kami adalah seperti alasan bahwa seseorang yang kami ingat adalah
dirinya dalam pikiran kami.
Knowledge is the direct experience of things, and the object of the act of thought
should be clearly distinguished from the act of thought itself.
Pengetahuan adalah pengalaman langsung dari suatu hal, dan objek tindakan dari
pemikiran harus jelas dibedakan dari tindakan pikiran itu sendiri.
3) Belief in the existence of a world quite independent of our experience and knowledge of
it conforms to the assumptions of everyday life and is implied in all our special sciences.
Such an assumption, while it cannot be proved with finality, explains the events and the
peculiarities of our lives better than any alternative approach. In all our conscious acts we
are aware of something outside of or beyond ourselves. We are not only aware, at times, but
we are aware that we are aware. A common characteristic both of our sense perceptions and
of our moments of reflection is that we are aware of something other than ourselves. This
something, most men believe is unaffected by our consciousness of it.
Kepercayaan keberadaan dunia cukup independen dari pengalaman dan pengetahuan dari itu
kami sesuai dengan asumsi kehidupan sehari-hari dan tersirat dalam semua ilmu khusus
kami. asumsi tersebut, sementara itu tidak dapat dibuktikan dengan finalitas, menjelaskan
peristiwa dan kekhasan hidup kami lebih baik daripada pendekatan alternatif. Dalam semua
tindakan sadar kami kami menyadari sesuatu di luar atau di luar diri kami. Kami tidak hanya
menyadari, di kali, tetapi kami menyadari bahwa kami sadar. Karakteristik umum baik dari
persepsi rasa kami dan saat-saat kami refleksi adalah bahwa kami menyadari sesuatu selain
diri kami sendiri. sesuatu ini, kebanyakan pria percaya tidak dipengaruhi oleh kesadaran kami
itu.
The fact that the evidence from the different sense organs converges and builds up a
unified picture of our world furnishes us with additional evidence. Elements of time and
space fit into the series of events and appear to be genuine aspects of a world beyond us.
Astronomers, geologists, historians, and others report the details of a long process of
development which seems to be explained most adequately as an environing nature which we
are gradually coming to describe.
Fakta bahwa bukti dari organ-organ indera yang berbeda menyatu dan membangun
gambaran terpadu dunia kami memoles kami dengan bukti tambahan. Elemen ruang
dan waktu masuk ke dalam rangkaian acara dan tampak aspek asli dari dunia luar
kami. Astronom, ahli geologi, sejarawan, dan lain-lain melaporkan rincian dari proses
panjang pembangunan yang tampaknya akan menjelaskan yang paling memadai
sebagai sifat environing yang kami secara bertahap datang untuk menjelaskan.
Within our human experience there appears to be a clear distinction between those
experiences which we ourselves create, such as our imaginations, thinking, and dreams, and
the sense perceptions which are forced upon us by an external world. If objectivism is to
some degree true, this distinction is easily understood. If it is false then the distinction is
rather baffling. Our sense perceptions are ordinarily vivid, steady, and often confused. This
leads us to the next point.
Dalam pengalaman manusia tampaknya ada perbedaan yang jelas antara pengalaman-
pengalaman yang kami sendiri membuat, seperti imajinasi kami, pemikiran, dan
mimpi, dan persepsi rasa yang dipaksakan pada kami oleh dunia luar. Jika
obyektifisme adalah untuk beberapa derajat benar, perbedaan ini mudah dimengerti.
Jika itu adalah palsu maka perbedaan ini agak membingungkan. persepsi rasa kami
biasanya hidup, stabil, dan sering bingung. Hal ini membawa kami ke titik berikutnya.
4) Causal interactions are going on both within and beyond the realm on our experiences.
These perceptions or experiences must have a cause. Events that break into our field of
consciousness are often quite unrelated to our previous train of thought. Furthermore, they
seem to obey laws which are quite independent of our minds, so that we are unable to get rid
of them even by great effort.
Interaksi kasual yang terjadi baik didalam dan diluar ranah pengalaman kami. Persepsi ini
atau pengalaman harus memiliki penyebab. Peristiwa yang masuk ke bidang kesadaran kami
sering kali cukup berhubungan dengan pemikiran sebelumnya. Selain itu, mereka tampaknya
memathui hukum yang cukup independen dari pikiran kami, sehingga kami tidak dapat
menyingkirkan mereka bahkan oleh usaha yang besar.
A fire is burning briskly in our fireplace. We leave it, then return an hour or two later to
find that lt has burned low. These and other events lead man to believe that causal sequences
continue to operate in the same way whether or not they are within the knowledge of anyone.
Both Berkeley and Kant recognized this problem and attempted to meet it. Berkeley said that
God was the cause of the order of the external world. Kant posited a thing in itself which was
unknown and unknowable. The realist would say that to accept the world of our experience at
its face value is to hold the most reasonable position.
Api membakar dengan cepat di perapian kami. Kami meninggalkannya, kemudian kemali
satu atau dua jam kemudan dan memenemukan bahwa telah terbakar rendah. Ini adalah cara
lain yang menunjukkan manusia untuk percaya bahwa urutan kasual terus beroperasi dengan
cara yang sama atau tidak mereka berada dalam pengetahuan tentang siapapun. Berkeley dan
Kant menyadari permasalahan ini dan berusaha untuk memenuhinya. Berkeley berkata bahwa
Tuhan adalah penyebab dari urutan di dunia luar. Kant mengemukakan hal itu sendiri yang
tidak diktahui atau tidak dapat diketahui. Para realis akan mengatakan bahwa untuk
menerima dunia pengalaman kami pada nilainya adalah untuk memegang posisi yang paling
masuk akal.
5. Validitas Pengetahuan
Is the human mind capable of discovering or finding any genuine knowledge? When or under
what conditions is knowledge valid? Why are some beliefs true and others false? Centuries
ago, when Jesus stood before him for trial, Pilate asked What is truth? Before this,
Socrates, Plato, and other Greek philosophers had given thought to the question. Men are still
seeking the answer.
Apakah pikiran manusia mampu menemukan atau mencari pengetahuan yang sejati? Ketika
atau dalam kondisi apa pengetahuan yang valid? Mengapa beberapa keyakinan benar dan
yang lain salah? Beberapa abad yang lalu, ketika Yesus berdiri didepannya untuk siding,
Pilatus bertanya apakah kebenaran itu? Sebelum ini, Socrates, Plato, dan filsuf Yunani
lainnya telah memberikan pemikiran untuk pertanyaan itu. Manusia masih tetap mencari
jawabnya.
Throughout time, opinions and beliefs have tended to change not only the common everyday
beliefs but also the beliefs held in the fields of science and philosophy. Scientific theories that
were once accepted as true have been replaced by other theories. Are these beliefs more than
guesses or opinions based on the climate of opinion of the day? Among philosophers of the
past and of the present there has been a great diversity of belief. In attempting to determine
what beliefs are true, philosophers have relied, in the main, on three test of truth.
Sepanjang waktu, pendapat dan kepercayaan cenderung mengubang tidak hanya keyakinan
sehari-hari tetapi juga kepercayaan yang dianud dalam bidang ilmu dan pengetahuan filsafat.
Teori ilmiah yang pernah diterima sebagai kebenaran telah digantikan oleh teori lain. Apakah
keyakinan ini lebih dari tebakan atau pendapat berdasarkan iklim pendapat dari hari?
Diantara para filsuf dari masa lalu dan masa kini telah ada keragaman akan keyakinan. Dalam
upaya untuk menentukan apa keyakinan yang benar, filsuf telah mengandalkan, dalam yang
utama, pada 3 uji kebenaran.
Three Test of Truth
3 Uji Kebenaran
Men believed many things and were living on the basis of those beliefs before it occurred to
them to ask : why are some beliefs true and others false? Few informed persons would base
truth on custom or tradition alone. While custom and traditions are often valuable, they may
also lead one astrays. They sometimes conflict, and they do not provide for change and
progress. The appeal to universal agreement is equally insecure, since some beliefs that
have been widespread and firmly believed over long periods (for the past, have appealed to
instinct. The instinct theory, however, has been under criticism, and many things formerly
explained on the basis of instincts are now explained more adequately by conditioning. Still
others have appealed to the strong feeling that a thing is true; yet feelings may be determined
by our moods, our health, or our training.
Manusia percaya pada banyak hal dan hidup berdasarkan pada kepercayaan sebelum hal itu
terjadi mereka bertanya : mengapa beberapa kepercayaan bnar dan lainnya salah? Beberapa
orang yang diberitahu akan bersandar ada kebenaran atas kebiasaan atau tradisi itu sendiri.
Sementara kebiasaan dan tradisi sering berharga, mereka juga mungkin menyebabkan satu.
Terkadang mereka berkonflik, dan mereka tidak memberikan progres pada perubahan.
Bandingkan dengan kesepakatan universal biasanya sama-sama tidak aman, sejak beberapa
kepercayaan telah meluas dan sangat yakin dalam periode yang lama (untuk masa lalu, telah
mengajukan bandung ke insting. Teori insting, bagaimanaoun, telah berada dibawah kritik,
dan banyak hal yang dijelaskan sebelumnya oada dasar dari insting saat ini dijelaskan lebih
jelas dengan _____________. Masih dengan yang lain telah mengajukan banding terhadap
perasaan yang kuat bahwa hal ini benar, belum tentu perasaan dapat ditentukan oleh suasana
hati kita, kesehatan kita, atau pelatihan kita.
We shall find that there is no complete agreement regarding the tests of truth. Each answer
will call forth some severe criticisms from opposing points of view. The reader will do well to
ask : Is one of these tests the true and only one or does each one contain some angle or vision
of the truth? Do they need to be combined in some way? The three theories of the test of truth
which we shall consider are the correspondence theory, the coherence or consistency theory,
and the pragmatic theory.
Kita akan menemukan bahwa tidak ada perjanjian lengkap mengenai uji kebenaran. Setiap
jawaban akan menimbulkan beberapa kritik parah dari sudut pandang yang menetang.
Pembaca akan bertanya : apakah salah satu dari uji kebenaran dan hanya satu atau apakah
masing-masing terdiri atas beberapa sudut atu visi dari kebenaran? Apakah mereka perlu
untuk mengkombinasikan beberapa cara? 3 teori uji kebenaran yang akan kita pertimbangkan
adalah teori korespondensi, koherensi atau teori konsistensi, dan teori pragmatis.
The Correspondence Theory
Teori Korespondensi
The test of truth called the correspondence theory is the one most widely accepted by the
realists. According to this theory, truth is fidelity to objective reality. Truth is that which
conforms to fact or agrees with the actual situation. Truth is the agreement between the
statement of fact and the actual fact, or between the judgment claims to be an interpretation.
Things by themselves are neither true nor false; they just are or are not. Truth has to do with
the assertions or the claims that we make about things.
Tes kebenaran yang disebut sebagai teori korespondensi adalah salah satu yang paling banyak
diterima oleh para realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realitas
objektif. Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan fakta atau setuju dengan situasi actual.
Kebenaran adalah persetujuan antara pernyataan fakta dan fakta actual, atau diantara klaim
penilaian untuk menjadi interpretasi. Hal itu sendiri adalah tidak benar dan tidak salah;
mereka hanya iya atau tidak. Kebenaran harus dilakukan dengan pernyataan atau klaim yang
kita buat tentang hal-hal tertentu.
If I state that the United States is bounded on the north by Canada, my statement is true,
according to this approach, not because it happens to work, but because it corresponds to the
actual geographical situation. This, it is said, is what the word truth means in everyday
usage. It is also the characteristic view of the scientific man, who checks his ideas with his
data or findings and is glad to submit his conclusions to objective tests by others.
Jika saya menyatakan bahwa Amerika Serikat dibatasi oleh Kanada di bagian Utara,m
pernyataan saya ini benar, menurut pendekatan ini, bukan karena hal iu terjadi untuk bekerja,
tetapi karena sesuai dengan situasi geografis yang sebenarnya. Hal ini konon, adalah apa kata
kebenaran berarti dalam penggunaan sehari-hari. Itu juga merupakan pandangan
karakteristik dari manusia yang ilmiah, yang memeriksa ide dengan datanya atau menemukan
dan menyerahkan kesimpulannya untuk tes yang objektif oleh orang lain.
According to the correspondence theory, the presence or absence of belief has no direct
bearing on the issue of truth or falsehood, since truth and falsehood depend on the conditions
or set of conditions which has been affirmed or denied. If a judgment corresponds with the
facts, it is true; if not, it is false. If I say, There is an automobile parked in our driveway.
My statement can be found to be true or false by empirical investigation.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak memiliki hubungan langsung
dengan masalah kebenaran atau kepalsuan, sejak kebenaran dan kepalsuan tergantung pada
kondisi atau bentuk dari kondisi dimana telah ditegaskan atau dibantah. Jika penghakiman
koresponden dengan fakta, jika tidak, ini salah. Jika saya berkata, ada sebuah mobil yang
diparkir di jalan masung kami. Pernyataan saya dapat ditemukan benar atau salah dengan
investigasi empiris.
The critics of the correspondence theory, however, do not think that it is so clear and so self-
evident as its supporters affirm. The first critical question is usually this : How can we
compare our ideas with reality? We know only our own experiences. How can we get
outside our experiences so that we can compare our ideas with reality as it actually is? The
correspondence theory, they say, assumes that we know not only our judgments but also the
actual circumstances apart from our experiences.
Para kritikus dari teori korespondensi, bagaimanapun, tidak berpikir bahwa begitu jelas dan
juga pendukungnya menegaskan. Pertanyaan kritis pertama biasanya adalah : bagaimana
kita membandingkan ide kita dengan kenyataan? Kita dapat tahu hanya dengan pengalaman
kita. Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman kita jadi kita dapat membandingkan ide
kita dengan kenyataan yang ada? Teori korespondensi, mereka mengatakan, mengasumsikan
bahwa kita mengetahui tidak hanya dengan penilaian kita tetapi juga keadaan actual dari
pengalaman kita.
The theory of correspondence seems to assume that our sense data are always clear and
accurate, and that they disclose the nature of the world just as it is. Idealists and pragmatists
will seriously question this assumption, and will point out that in perception the mind tends to
enter into and to modify our views of the world. If our powers of perception were diminished
or inercased either in keenness or in are, or if we possessed fewer or additional sense organs,
the world might appear quite different from what it seems at present. Since we cannot know
an object or an event apart from what it seems at present. Since we cannot know an object or
an event apart from our sense data, it is foolish to talk about whether or not our judgments
correspond with the thing as it is in itself.
Teori korespondensi tampaknya berasumsi bahwa data kami selalu jelas dan akurat, dan
mereka mengungkapkan sifat dunia hanya seperti itu. Idealis dan pragmatis akan selalui
bertanya dengan serius tentang asumsi ini, dan akan menunjukkan bahwa dalam persepsi
pikiran cenderung untuk masuk kedalam dan memodifikasi pandangan kita tentang dunia.
Jika kekuatan kami atas persepsi yang berkurang atau naik baik dalam ketajaman atau
keberadaan, atau jika kita memiliki sedikit atau tambahan indera, dunia mungkin akan
muncul sedikit berbeda dari apa yang terlihat pada saat ini. Sejak kita tidak dapat mengetahui
bahwa objek atau peristiwa terpisah dari apa yang terlihat saat ini. Karena kita tidak dapat
mengetahui suatu objek atau peristiwa terpisah dari indera kita, itu adalah kebodohan untuk
dibicarakan atau tidak untuk penilaian koresponden dengan segala hal di dalamnya.
Finally, we have knowledge of meanings; relations and values, as in mathematics, logic, and
ethics. Some of these ideas, the truth of which we desire to know, have no objects outside the
area of human thought with which we can make comparisons and check to see whether they
correspond. In these areas at least, the correspondence theory of truth does not seem to apply.
Yet the knowledge in these fields possesses a high degree of certainty.
Akhirnya, kita memiliki pengetahuan tentang makna; hubungan dan nilai-nilai, seperti dalam
matematika, logika, dan etika. Beberapa ide ini, kebenaran yang kita ingin ketahui, tidak
memiliki objek dari luar area pemikiran manusia yang kita dapat dengan membuat
perbandungan dan memeriksa dengan melihat apakah mereka adalah koresponden. Dalam
daerah ini setidaknya, teori korespondensi adalah kebenaran yang tampaknya tidak berlaku.
Namun pengetahuan di bidang ini memiliki tingkat kepastian yang tinggi.
The Coherence Theory
Teori Koherensi
The coherence, or consistency, theory is the test of truth quite generally accepted by idealists,
although it is not necessarily confined to that school of thought. Since we cannot directly
compare our ideas and judgments with the world as it is, the coherence theory places its trust
in the consistency or harmony of all our judgment is true if it is consistent with other
judgments that are accepted or known to be true. True judgments are logically coherent with
other relevant judgments.
Teori koherensi, atau teori konsistensi, adalah teori uji kebenaran yang diterima cukup umum
oleh para idealis, walaupun idak selalu terbatas pada pemikiran. Karena kita tidak bisa
langsung membadingkan ide-ide dan penilaian dengan dunia ini, teori koherensi
menempatkan konsistensi atau harmoni pada semua penilai kita yang benar dan jika hal itu
konsistem dengan penilaian lain yang diterima atau diketahui benar. Penilaian benar secara
logika koheren dengan penilaian lain yang relevan.
Under ordinary circumstances, we judge a statement to be true or false on the ground that it is
or is not in harmony with what we have already discovered to be true. On this basis we reject
many ideas as absurd and pronounce some experiences to be illusions or false perceptions.
They do not fit in with what has happened in the past or with what we reasonably expect to
happen. This does not mean, however, that new ideas or new truths are not to be accepted.
Occasionally some new facts or ideas will force themselves upon us and impress us so
strongly with their truth that we need to revise our whole system of thought. The Copernican
world view and the biological theory of evolution are two such outstanding changes. We
accepted them because they gave us a larger degree of coherence and consistency-they
explained some things previously unexplained.
Dalam keadaan biasa, kita menilai pernyataan benar atau salah dengan berdasarkan pada
harmoni aau tidak dengan apa yang telah kita temukan untuk menjadi kenyataan. Atas dasar
ini kita menolak banyak ide yang absurd dan mengucapkan beberapa pengalaman menjadi
ilusi atau persepsi yang salah. Mereka tidak cocok dengan apa yang telah terjadi di masa
lalu atau dengan apa yang cukup beralasan untuk diharapkan terjadi. Ini tidak berarti,
bagaimanapun bahwa ide-ide baru atau kebenaran baru tidak akan diterima. Terkadang
beberapa fakta atau ide baru akan memaksa diri kepada kami dan membuat kami terkesan
dengan kebenaran mereka bahwa kita perlu merevisi sistem pemikiran kami. Pandangan
dunia Copernicus dan teori evolusi biologis adlah dua perubahan yang luar biasa. Kami
menerima mereka karena mereka memberi kami tingkat yang lebih besar dari koherensi dan
konsistensi, mereka menjelaskan beberapa hal yang sebelumnya belum dijelaskan.
The simplest form of the coherence theory demands an inner or formal consistency in the
system under consideration, quite apart from any interpretation of the universe as a whole.
For example, in mathematics, taking certain definitions and axioms for granted, men can
build up the system of geometry which is implied by the definitions and axioms and which is
consistent with them. This system is then accepted as true. The principle of consistency or the
principle of logical implication underlies our systems of mathematics and formal logic and, to
a considerable extent, any science or organized body of knowledge. Consistency with certain
formal laws of thought-like the law of contradiction, which it seems altogether impossible to
deny, is the very basis of such systems of truth, according to this approach.
Bentuk paling sederhana dari teori koherensi menuntut konsistensi dalam atau konsistensi
formal dalam sistem dibawah pertimbangan terlepas dari interpretasi alam semesta secara
keseluruhan. Misalnya, dalam matematika, mengambil definisi dan aksioma tertentu untuk
diberikan, manusia dapat membangun sistem geometri yang tersirat oleh definisi dan aksioma
dan yang konsisten dengan mereka. Sistem ini kemudia diterima sebagai kebenaran. Prinsip
konsisensi atau prinsip implikasi logis mendasari sistem kami tetang implikasi logika atas
matematika dan logika formal, dan setiap ilmu atau badan pengetahuan yang terorganisasi.
Konsistensi dengan hukum formal tertentu dari pemikiran seperti hukum kontradiksi, yang
tampaknya sama sekali tidak mungkin untuk menyangkal, adalah sangat dasar dari sistem
seperti kebenaran, menurut pendekatan ini.
The idealists tent to enlarge the principle of coherence, or consistency, to include an all
inclusive and self-consistent whole of reality. Plato as well as modern philosophers like
Hegel, Bradley, and Royce, enlarged the principle of coherence to include the universe, so
that every true judgment and every partial system of truth is continuous with the whole of
reality and gets its meaning from that whole. This leads us to the idealistic principle of
consistency according to which truth is a reciprocally consistent system of propositions, each
of which gets its truth from the whole system. The idealists add that It is the consistency of
our human beliefs with that whole which makes them true when they are true. Thus purely
formal consistency is abandoned and coherence with reality is made the essence of truth. It is
this aspect which justifies calling this a metaphysical form of the coherence theory.
Idealis untuk memperbesar prinsip koherensi, atau konsistensi, untuk menyertakan sebuah
semua inklusif dan konsisten diri dari seluruh kenyataan. Plato dan para filsuf modern
seperti Hegel, Bradley, dan Royce, memperbesar prinsip koherensi untuk menyertakan alam
semesta, sehingga setiap penilaian yang benar dan setiap sistem parsial yang benar dan setiap
sistem parsial atas kebenaran yang secara berkelanjutan dengan seluruh realitas dan mendapat
makna dari seluruhnya. hal ini membawa kita pada prinsip idealis dari konsistensi
berdasarkan pada yang sebenarnya adalah sistem timbal balik yang konsisten dari sistem
proposisi, yang masing-masing mendapat kebenarannya dari seluruh sistem. Para idealis
menambahkan bahwa ini adalah konsitensi keyakinan dari kepercayaan manusia dengan
semua uang membuatmereka benar ketika mereka benar. Ini adalah aspek yang
membenarkan penyebutan bentuk metafisik dari teori koherensi.
Advocates of the coherence theory claim that any adequate theory of truth besides satisfying
other requirements, must be able to explain the relativity of truth, or how a belief can be
held to be true at one time and false at a later time. The coherence theory meets this
requirement, insofar as every judgment is a partial meaning separated from the whole of
which it is only a part, it is to some extent one-sided and possesses only a degree of truth.
From this viewpoint, truth grows and is never complete or final until we reach the whole of
reality.
Para pendukung teori koherensi mengklaim bahwa teori yang memadai kebenran selain
memenuhi persyaratan lainnya, harus mampu menjelaskan relativitas kebenaran atau
bagaimana dalam satu waktu dan palsu dilain waktu. Teori koherensi memenui persyaratan
ini, sejauh setiap penghakiman adalah makna parsial yang dipisahkan dari seluruh bagian, hal
itu adalah untuk beberapa sejauh satu sisi dan hanya memiliki tingkat kebenaran. Dari sudut
pandang ini, kebenaran tumbuh dan tidak pernah selesai atau final sam[pai kita mencapai
seluruh realitas.
While inconsistency and incoherence do tend to disturb the human mind and to lead men to
seek unity, the critics of the coherence theory say that we can construct coherent systems
which are false as well as those which are logically consistent, yet apparently quite false.
Correspondence with facts is a condition which even the most self-consistent system must
meet. If however, our view of coherence embraces inclusiveness and systematic orderliness
as well as consistency, these criticisms have less point.
Sementara inkonsistensi dan inkoherensi cenderung mengganggu pikiran manusia dan
memimpin manusia untuk mencari persatuan, kritik pada teori koherensi mengatakan bahwa
kita dapat membangun sistem yang koheren yang salah dan juga yang secara logika
konsisten, namun tampaknya cukup salah. Korespondensi dengan fakta adalah suatu kondisi
yan gbahwan dalam sistem konsisten itu sendiri harus memenuhi. Jika demikian, pandangan
kami tentang koherensi mencakup inklusivitas dan ketertiban sistematis serta konsistensi,
kritik-kritik ini memiliki poin yang kurang.
Critics of the coherence theory say also that it is rationalistic and intellectualistic and deals
mainly with the logical realtions between propositions. Because of this, it fails to furnish an
adequate test for the judgments of everyday experience. If the test of coherence is used, then
it needs to be stated more in terms of factual consistency, or the agreement between a
judgment and a definite environmental situation. Other critics of these tests of truth suggest a
different approach the test of utility.
Kritik dari teori koherensi juga mengatakan bahwa itua dalah hal yang rasionalitstis dan
intelektualitas dan terutama berhubungan dengan relasi logika dan proposisi. Karena hal ini,
gagal untuk memberikan tes yang memadai untuk penilaian dari pengalaman sehari-hari. Jika
uji koherensi yang digunakan, maka perlu dinyatakan lebih dalam hal konsistensi faktual,
atau perjanjian anatara keputusan dan situasi lingkungan yang pasti. Kritikus lain dari tes atas
kebenaran ini menyarankan pendekatan yang berbeda dari ujian utilitas.
Beberapa sarjana mengklaim bahwa nilai adalah tak dapat dijelaskan dan
bahwa kebaikan, keindahan, dan cinta adalah pengalaman langsung dan
segera. Baik adalah gagasan sederhana, seperti 'kuning' adalah gagasan
sederhana, "kata George Edward Moore. Sama seperti Anda tidak bisa
menjelaskan kuning kepada orang yang belum pernah mengalaminya dan
yang tidak tahu itu, sehingga Anda tidak bisa menjelaskan sifat baik. "Baik
baik dan itu adalah akhir dari masalah ini." Kita bisa setuju dengan
Profesor Moore bahwa kata-kata dan definisi tidak dapat pengganti untuk
pengalaman, dan bahwa tanpa pengalaman hidup tidak ada pemahaman
yang memadai tentang nilai-nilai. Namun definisi dapat membawa ke
perhatian kita elemen umum dari pengalaman ini dan membantu pikiran
dan diskusi dari mereka kami.
Values as Subjective
Those who believe that values are subjective think that values exist
as sentiments or emotions of liking or disliking. An agreeable sensation is
a value, a disagreeable sensation is not a value. Eating, drinking, playing,
listening to music, observing a gorgeous sunset are valuable because
they evoke a pleasureable sense of appreciation of exhilaration, they
furnish us with personal experiences in the nature of sensations that we
enjoy.
Mereka yang percaya bahwa nilai-nilai subjektif berpikir bahwa nilai
eksis sebagai sesuatu yang sentimen atau emosi dari menyukai atau tidak
menyukai. Sensasi yang dapat disetujui adalah nilai, sensasi tidak dapat
disetujui bukan nilai. Makan, minum, bermain, mendengarkan musik,
mengamati matahari terbenam yang indah adalah suatu rasa yang
berharga karena mereka membangkitkan rasa mengapresiasi, mereka
memberi kami pengalaman pribadi tentang sifat yang kita nikmati.
(3) Satisfactions arising from the meeting of personal social standards set for
these satisfactions.
Kepuasan yang timbul dari pertemuan sosial yang standar mengatur untuk
kepuasan ini.
Values as Objective
Those who consider values objective believe that values are out
there in our world to be discovered. There is something in the object
which makes our judgment necessary and reasonable. There is some
quality, some assemblage of properties, that draws out our preference
and appreciative response. There is something independent of the
individual make up that is satisfying to the eye, the ear, the mora sense,
the aesthetic faculty, or the intelligence od men. A man takes an
interest in those things and experiences which appear to him to possess
value.
The supporter of the view that values are objective will point out
that values such as beauty and goodness exist for all minds alike and
that, among cultured persons, there is a large measure of agreement.
There is considerable agreement about which objects of art are valuable
and should be preserved, and about the virtues and vices which are
recognized by different peoples the world around. He may point out that,
after a few years of debate, a Universal Declaration of Human Rights was
approved by the General Assembly of the United Nations. Furthermore,
the objectivist will claim that these agreements concerning fundamental
values reflect the physical, psychological, and social conditions and needs
of men everywhere. If values were subjective, we might call anything we
wished beautiful or good. Yet whether the values to be sought are social,
moral or aesthetic, our choices are definitely limited. Individuals and
groups that depart too radically from these objective normas tend to
eliminate themselves from the acceptable. We can explain moral and
artistic progress only if there is some standart toward which the progress
points. Experience and training in the realm of values tend to bring the
judgments of men more and more toward a common standard.
Ada siswa kontemporer estetika membuat posisi ketiga ini jelas. C.J.
Ducasse mengatakan:
"Pertanyaan apakah keindahan objektif atau subjektif demikian
tidak jawab dengan mengatakan hanya" ya "untuk satu dan" tidak
"untuk yang lain dari dugaan alternatif. Satu-satunya jawaban yang
benar adalah bahwa kecantikan adalah bahwa properti dari objek
yang terdiri dalam kapasitas objek untuk menyebabkan kesenangan
dalam subjek yang merenungkan itu. Kecantikan, yang mengatakan,
adalah karakter dari beberapa objek, tetapi karakter relasional dari
mereka, karakter, yaitu, yang terdiri dalam mereka harus pikiran
tertentu (mata pelajaran) yang hanya relasi dijelaskan. Pertanyaan
apakah keindahan objektif atau subjektif demikian persis sejajar
logis dengan pertanyaan apakah poisonousness adalah tujuan atau
subjektif. Mengalami kesenangan, seperti sekarat, bukan kapasitas
tapi acara, yang beberapa hal yang mampu menyebabkan di
beberapa manusia. Di sisi lain, kecantikan, seperti poisonousness,
bukan suatu peristiwa atau kualitas, tetapi kapasitas, kapasitas
beberapa hal harus menyebabkan kesenangan dalam beberapa
memandangnya kontemplatif dari mereka."
Ralph Barton Perry relates value to interest, making anything
valuable for us when it is desired. An object acquires value when an
interest is taken in it, just as an object becomes a target when someone
aims at it. A judgment of value embraces three elements : a linguistic, a
formal, and an empirical. Through naming we identify some object. To this
object some intelligible meaning is applied. A descriptive element brings
to light some systematic structure of some realm of fact. If I judge that
bread is good to or for a straving man, I am the judging subject, While a
thing has value or is valueable when it is the object of interest, values are
not made good and bad by thinking them so.
Ralph Barton Perry berhubungan nilai bunga, membuat sesuatu yang
berharga bagi kita bila diinginkan. Sebuah objek mengakuisisi nilai ketika minat
diambil di dalamnya, hanya sebagai objek menjadi target ketika seseorang
bertujuan itu. Vonis nilai mencakup tiga unsur: linguistik, formal, dan empiris.
Melalui penamaan kami mengidentifikasi beberapa objek. Untuk objek ini
beberapa makna dimengerti diterapkan. Unsur deskriptif membawa cahaya
beberapa struktur sistematis beberapa ranah fakta. "Jika saya menilai roti yang
baik atau untuk seorang pria straving, saya subjek penjurian," Sementara hal
memiliki nilai atau berharga ketika objek yang menarik, nilai-nilai yang "tidak
dibuat baik dan buruk dengan berpikir mereka sehingga."
Persoalan nilai adalah salah satu pertanyaan penting dari kami yang
mungkin paling penting, namun juga salah satu persoalan yang paling
sulit untuk ditangani. Ada banyak penelitian yang berlangsung tetapi tidak
ada kesepakatan umum mengenai jawaban atas pertanyaan seperti : apa
itu nilai? bagaimana nilai akan diverifikasi? diantara studi baru-baru ini
merujuk pada empat. Laporan singkat dalam paragraph berigut
dipresentasikan hanya untuk memberikan para pembaca ide dari jenis
investigasi yang diperoleh pada, dan untuk mendorong ia untuk
memeriksa studi ini dan studi yang sejenis untuk dirinya sendiri.
Dari penelitian muncul skala lintas budaya untuk mengukur nilai dan
banyak data yang mendukung konsepsi bidang nilai, yaitu konsepsi
bahwa nilai dipengaruhi secara bersamaan oleh perbedaan dalam budaya,
fisik, temperamen, dan interaksi sosial. Oleh karena itu dikatakan bahwa
studi tentang nilai harus studi interdisipliner, menggabungkan pekerjaan
manusia dalam berbagai bidang.
Saat ini, Komite Kerja Filsafat pada Asosiasi Filsafat Amerka telah
melakukan pekerjaan berdasar pada teori kepentingan umum. Di Divisi
Timur Asosiasi Filsafat Amerka, sebuah kelompok yang tertarik pada
etika kreatif dan telah mengadakan pertemuan untuk beberapa tahun.
Dan pada musim panas tahun 1958 sebuah konferensi yang didukung
oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi oleh Asosiasi Pendidikan Nasional Amerika
Serikat, dan Lembaga Danforth yang memperhatikan nilai instruksi di
univeristas. Asosiasi Perguruan Tinggi bertujuan untuk mengumpulkan
informasi bahwa dalam subjek atau materi biasa dari kurikulum bisa ada
sadar dan bermanfaat untuk nilai-nilai yang terlibat.
Klasifikasi Nilai
Dari zaman Yunani kuno hingga saat ini, banyak filsuf yang telah
menekankan pada 3 nilang yang unggul dari yang lain : kebaikan,
keindahan, dan kebenaran. Nilai-nilai ini dikatakan mandiri. Meskipun
telah ada upaya untuk mengurangi satu dengan yang lainnya atau untuk
membuat satu yang tertinggi, upaya ini belum diterima secara luas. Untuk
kebaikan, keindahan dan kebenaran beberapa akan menampahkan
kebahagiaan. Yang lain akan mencakup nilai-nilai dalam kesatuan pada
Tuhan, nilai religius.
We shall make no attempt to set forth a rigid classification of values
as higher or lower. There are, however, certain principles which are quite
generally accepted in philosophical discussions.
Pria hidup didalam dua dunia, pada saat ini, persepsi akal dunia fisik
muncul dari dunia yang tidak terlihat atas cita dan nilai. Selama berabad-
abad terakhir manusia telah memperoleh kekuatan besar untuk
mengendalikan dunia material. Kesulitan kami adalah semua kemajuan
teknologi berarti dan mungkin digunakan untuk kebaikan atau untuk
kejahatan.
In The Abuse of Learning, Frederic Lilge has studied the reason for
the failure of an educated Germany to prevent the excesses to which that
nation went. Throughout the nineteenth century, with the rapid
development of specialization and of science and technology, the value
studies were pushed aside or they, too, became technical and the concern
of specialists only. The result was a nation of highly trained specialists
interested in the facts in their respective fields, but unconcerned about
the larger problems of the community and the world. Confusion of values
and moral paralysis made possible the triumph of Nazism.
Dalam penyalahgunaan pembelajaran, Frederic Lilge telah
mempelajari alasan dari gagalnya edukasi Jerman untuk mencegah
banyaknya bangsa yang telah pergi. Sepanjang abad ke 19, dengan
berkembangnya spesialisasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai
dari pembelajaran dikesampingkan atau mereka juga menjadi teknis dan
hanya fokus pada spesialis saja. Hasilnya adalah bangsa yang telah
terlatih menjadi spesialis tertarik pada fakta-fakta dibidang masing-
masing, tetapi tidak peduli pada masalah yang lebih besar tentang
masyarakat dan dunia. Kebingungan akan nilai-nilai dan kelumpuhan
moral memungkinkan kemenangan Nasisme.
Part of the problem we face in modern society stems from the fact
that we have depended too exclusively on facts, forgetting that such
knowledge is instrumental only and may be used for good or evil ends.
This knowledge increases our power to realize our intentions, but it does
not give us standards or enable us to discriminate between competing
value systems. Carl R. Rogers calls attention to the fact that during World
War II a group of German rocket scientists was perfecting guided missiles.
They worked faithfully for Hitler in order to destroy Russia, Britain, and
the United States. Later, depending on which group captured them, they
worked with equal zeal for totally different objectives. Rogers goes on to
say that if behavioral scientists are concerned solely with advancing their
science, it seems most probable that they will serve the purpose of
whatever individual or group has the power. He says further :
The great task before man today is to discover a new the genuine
values of life and to share them with his fellow men. Man must learn to
unify and harmonize the world of facts and the world of values. Facts and
means may serve the values and ends of human existence.