You are on page 1of 50

LONG CASE

General Anastesi LMA pada Pasien Post Operasi


Orif Clavicula Dextra Status ASA I

Disusun Oleh :
Nadia Alaydrus
20110310085

Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Presentasi Kasus dengan judul

General Anastesi LMA pada Pasien Post Operasi


Orif Clavicula Dextra Status ASA I

Disusun Oleh :

Nadia Alaydrus

20110310085
Mengetahui,

Dokter pembimbing,

dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An

BAB I
STATUS UJIAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
: 18 tahun
Umur
: Laki-laki
Jenis kelamin
: Pacetan Timbulharjo Sewon
Alamat
: Pelajar
Pekerjaan
: 6 Februari 2017
Tanggal masuk
: 60 kg
Berat badan
Diagnosis : Post Operasi Orif Clavicula Dextra

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Pasien mengeluh nyeri pada bahu sebelah kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien post operasi pemasangan implan datang ke Poliklinik Ortopedi dan
ingin melepas implan yang sudah terpasang kurang lebih 1 tahun.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat TBC : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat TBC : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Berat Badan : 60 kg
Tanda vital
- Suhu : 36,4 0C
- Nadi : 78 kali/menit, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 20 kali/menit, regular
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
Status general
1. Kepala : normochepal
- Mata : pupil isokor, konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-)
- Hidung : simetris, sekret (-/-)
- Mulut : mukosa bibir lembab, tonsil T0/T0, faring
hiperemis (-), tanda candidiasis (-), sariawan (-),
gusi berdarah (-),Mallampati II
- Telinga : simetris, serumen (-/-), gendang telinga intak
2. Leher
Pembesaran limfonodi (-) nyeri (-), peningkatan JVP (-), leher jarak
pendek (-), tyromandibula >6,5cm, buka mulut >3 jari, pergerakan leher
bebas.
3. Thorax
Jantung
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba pada sela iga ke-4 linea
midclavicula kiri
- Perkusi : batas atas kanan linea para sternalis kana sic 2,
batas kiri atas linea para sternalis kiri sic 2, batas
kanan bawah, linea para sternalis sic 4, batas kiri
bawah linea mid sternalis sic 4.
- Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 regular, murmur (-), gallop(-)
Paru-paru
- Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi
intracostal (-), retraksi substernal (-)
- Palpasi : fremitus (+/+)
- Perkusi : sonor (+/+)
- Auskultasi : vesicular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
4. Abdomen
- Inspeksi : supel
- Auskultasi : peristaltik (+)
- Perkusi : tympani (+)
- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan
(-)
5. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time < 2 detik, edema kaki (-/-),

A = Jalan nafas clear, jarak tyromandibula >6,5cm, buka mulut >3 jari,
mallampati II, pergerakan leher bebas.
B = Spontan, RR : 20x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
C = TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, S1-S2 reguler
Status lokalis :
Terdapat bekas jahitan pada bahu kanan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen Thorax : Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG : normal sinus rithym
EEG : tidak dilakukan
Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.7 14,0 18,0 gr/dL
Leukosit 6.57 4 11 ribu/uL
Eritosit 6.10 45 ribu/uL
Trombosit 298 150 450 ribu/uL
Hematokrit 46.1 36 46 ribu/uL
Eusinofil 1 24 %
Basofil 1 01 %
Batang 0 25 %
Segmen 51 51 67 %
Limfosit 42 20 35 %
Monosit 5 48 %
GOL. DARAH
Golongan darah A
HEMOSTASIS
PPT 12.9 12-16 detik
APTT 30.9 28-38 detik
Control PPT 13.5 11-16 detik
Control APTT 31.4 28-36,5 detik

Albumin 4.86 3,50 5,50 g/dl


FUNGSI GINJAL
Ureum 16 17 43 mg/dl
Creatinin 0.85 0,6 1,1 mg/dl
DIABETES
GDS 97 80 200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 139.9 137 145 mmol/l
Kalium 4.37 3,5 5,1 mmol/l
Klorida 104.4 98 107 mmol/l
HEPATITIS
HbsAg Negative negatif

E. DIAGNOSIS KERJA
Post operasi orif clavicula dextra dengan status ASA I
Rencana General Anastesi

F. PENATALAKSANAAN ANASTESI
1. Pra Anastesi
Instruksi pra anastesi
- Pasang IV line
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi

2. Anastesi
Diagnosis Pra Bedah : Post ORIF clavicula dextra
Diagnosis pasca Bedah : Post ROI
Premedikasi : Midazolam 2,5 mg
Fentanyl 50 g
Induksi : Propofol 100 mg
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik : Nafas bantu, LMA no 3
Pemeliharaan : O2, N2O, Sevofluran
Obat-obat : Ondansentron 4 mg
Ketorolac 30 mg
Jenis Cairan : Ringer laktat
Kebutuhan cairan selama Operasi
- MO (Maintenance Operasi) : 2 cc/kgBB
: 2 x 50 = 100 cc
- PP (Pengganti Puasa) : lama puasa (8 jam) x MO
: 8 x 100 = 800 cc
- SO (Stress Operasi) : 4 cc/kgBB/jam (operasi ringan)
: 4 x 50 = 200 cc
- Kebutuhan Cairan jam I : x 800 + 100 + 200 = 700
cc
- Perdarahan : 50 cc
- Urin Output :0
- Total kebutuhan cairan : Kebutuhan Cairan jam I +
perdarahan + Urin Output
: 700 cc + 50 cc + 0 cc =
750cc
- Jumlah pemberian cairan : RL 800 cc
- Sisa Kebutuhan : 800 -750 = -50 cc
- EBV (Estimastion Blood Volume) : 65 x 50 = 3250 cc
- ABL (Average Blood Loss) : 20% x 3250= 650 cc
Lama Operasi : 30 menit

3. Post Anastesi
Maintanence anastesi
B1 (Breathing): Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol
B2 (Bleeding) : Perdarahan 100 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) : terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : ROM ekstremitas bawah dextra terbatas
Pemantauan di ruang PACU/RR
- Monitoring Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, Saturasi O2
- Oksigenasi 2 lt/menit dengan nasal canul

Skor Aldrete Pasien


Jam I
Skor Aldrate Jam II Jam III Jam IV
(per 15 mnt)
Kesaadaran 1
Sirkulasi 2
Pernafasan 2
Aktifitas 2
Warna Kulit 2
TOTAL 9
Ket : Pasien boleh pindah ke bangsal jika Skor Aldrete >8
Instruksi Pasca Operasi
- Observasi : Awasi KU dan VS setiap jam
- Posisi : Supine
- Infus : Ringer Laktat 20 tpm
- Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 18.00
- Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam
18.00
- Mobilisasi : Jika sadar penuh, peristaltik (+) , mual (-), muntah
(-), coba makan minum bertahap
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur klavikula

Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi dan tulang
rawan epifise yang bersifat total maupun parsial. Untuk mengetahui mengapa dan
bagaimana tulang mengalami kepatahan, harus diketahui keadaan fisik tulang dan
keadaaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Kebanyakan fraktur
terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok,
memutar dan tarikan. Fraktur klavikula adalah kerusakan dari tulang klavikula
(biasanya disebut dengan tulang selangka). Tulang tersebut menghubungkan
sternum ke bahu. Fraktur klavikula dapat terjadi pada tiga tempat :
Pertengahan klavikula : merupakan tempat yang paling sering terjadi.
Sepertiga distal : ujung dari klavikula yang menghubungkan klavikula dengan
bahu.
Sepertiga medial : ujung klavikula yang menghubungkan klavikula dengan
Sternum
B. Anatomi
1. Osteologi
Pada potongan koronal, tulang klavikula merupakan tulang yang kecil dan tipis,
lebih lebar pada sisi medial dan terlihat jelas lebih tipis pada sepertiga lateral.
Pada potongan axial, struktur tiga dimensi tulang klavikula semakin jelas telihat.
Tulang klavikula berbentuk seperti huruf S, pada ujung sisi medial berbentuk
cembung dan ujung sisi lateral berbentuk cekung. Pada proyeksi axial, tulang
klavikula baik sisi medial maupun lateral mempunyai permukaan yang datar,
dihubungkan oleh bagian tengah klavikula yang berbentuk seperti tabung dan
tipis. Area transisi pertengahan tulang klavikula menunjukkan struktur
penghubung yang lemah. Pertengahan klavikula, merupakan daerah yang paling
sering terjadi fraktur. Pada akhirnya, jika terlihat pada potongan sagital, luas
daerah transisi tulang klavikula dari anterior ke posterior dapat terlihat dengan
jelas
2. Klasifikasi
Fraktur klavikula dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, termasuk lokasi
fraktur, pergeseran, angulasi, pola fraktur (greenstick, oblik, transverse) dan
kominutif. Klasifikasi berdasarkan Allman:
Grup I : Fraktur pada pertengahan klavikula (80%).
Merupakan tipe yang paling sering terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa.
Grup II : Fraktur pada sepertiga distal (15%).
Grup III : Fraktur pada sepertiga proximal (5%). Pergeseran minimal terjadi jika
ligamen-ligamen costoclavicular tetap utuh. Walaupun membantu dalam
pembagian tempat trauma, sistem tersebut tidak membagi berdasarkan pergeseran,
kominutif,atau pemendekan, dimana semua variabel tersebut sangat potensial
dalam menentukan prognosa dan penanganan. Neer membagi klasifikasi
berdasarkan Allmantipe 2 menjadi tiga tipe :
Tipe I : Ligamen coracoclavicular utuh.
Tipe II : Ligamen coracoclavicular lepas dari segmen medial tetapi ligamen
trapezoid utuh sampai ke segmen distal.
Tipe IIA : Coroid dan trapezoidmenempel sampai ke segmen distal.
Tipe IIB : Ligamen Conoid sobek, trapezoid menempel sampai ke segmen distal.
Tipe III: Intra-articular meluas sampai ke sendi acromioclavicular.
Subgrup tipe III yaitu:
Type I: Pergeseran minimal.
Type II: Bergeser .
Type III: Intraarticular
.Type IV: Terpisah pada epifisis.
Type V: Komunitif.

Klasifikasi menurut Craig


Grup I : Fraktur pertengahan klavikula.
Grup II: Fraktur sepertiga distal klavikula
Tipe 1 : pergeseran minimal (antar ligamen).
Tipe 2: pergeseran sekunder garis fraktur medial sampai ligamen
coracoclavicular
A : Ligamen conoid dan trapezoid tetap utuh.
B : Ligamen conoid robek, trapezoid tetap utuh.
* Tipe 3: Fraktur Intra artikular.
* Tipe 4: Ligamen-ligamen menempel pada periosteum dengan pergeseran pada
fragmen proximal.
* Tipe 5: Fraktur komunitif dengan ligamen-ligamen tetap menempel dengan
fragmen komunitif bagian inferior.
Grup III Fraktur sepertiga proksimal.
* Tipe1: Pergeseran minimal.
* Tipe 2: Pergeseran yang signifikan (ligament-ligamen ruptur).
* Tipe 3: Fraktur intraartikular.
* Tipe 4: Separasi dari epifisis
3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada fraktur klavikula biasanya penderita datang dengan
keluhan jatuh atau trauma. Pasien merasakan sakit bahu dan diperparah dengan
setiap gerakan lengan. Fraktur klavikula sangat mudah didiagnosa dengan
pemeriksaan fisik karena jaringan subkutis yang sangat tipis. Pada pemeriksaan
fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan kadang-kadang
terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol
akibat desakan dari fragmen fraktur. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai
perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi
yang mengikuti fraktur. Trauma pada pleksus brakhial yang berhubungan dengan
fraktur klavikula dapat terjadi. Kerusakan vaskular walaupun jarang tetapi dapat
terjadi terutama pada arteri subklavia.

4. Penanganan
Pada prinsipnya penangan patah tulang klavikula adalah untuk mencapai
penyembuhan tulang dengan minimum tingkat morbiditas, hilangnya fungsi, dan
sisa kelainan bentuk. Kebanyakan patah tulang klavikula telah berhasil ditangani
dengan metode tanpa operasi. Perawatan nonoperative dengan cara mengurangi
gerakan di daerah patah tulang. Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap
dalam posisi normalnya dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi
spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap
klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke
belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap
klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera
kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan
saraf kedua lengan harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran
dan terpotongnya ligamentcoracoclavicular atau acromioclavicular dapat
ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila fraktur 1/3 distal
disertai dengan terputusnya ligamen coracoclavicular, akan terjadi pergeseran,
yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna.
Selama imobilisasi pasien diperkenankan melakukan latihan gerakan tapi harus
menghindari aktivitas yang berat.Tindak lanjut perawatan dilakukan dengan
pemantauan yang dijadwalkan 1 hingga 2 minggu setelah cedera untuk menilai
gejala klinis dan kemudian setiap 2 hingga 3 minggu sampai pasien tanpa gejala
klinis. Pemeriksaan foto rontgen tidak perlu selama proses perawatan, tetapi akan
lebih baik dilakukan pada saat proses penyatuan tulang yang biasanya dapat
dilihat padaminggu ke 4 sampai minggu ke 6 (pada saat fase remodeling pada
proses penyembuhan tulang). Tanda klinis penyatuan tulang adalah berkurangnya
rasa sakit atau rasa sakit hilang, dapat melakukan gerakan bahu secara penuh, dan
kekuatan kembali normal. Tidakan pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi
hal-hal berikut :
- Fraktur terbuka.
- Terdapat cedera neurovaskuler.
- Fraktur komunitif.
- Tulang memendek karena fragmen fraktur tumpang tindih.
- Rasa sakit karena gagal penyambungan (nonunion).
-Masalah kosmetik, karena posisi penyatuan tulang tidak semestinya (malunion)

5. Komplikasi
Komplikasi dini
Cedera pembuluh darah : Hal ini jarang terjadi , biasanya terjadi karena trauma
awal atau tekanan sekunder dari kallus atau deformitas yang tersisa.
Pneumouthorax
Haemothorax
Cedera pleksus Brachialis
Komplikasi lanjut
Malunion:
Proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu semestinya,
namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal. Biasanya berupa pemendekan
dengan adanya angulasi. Sebagian besar merupakan masalah kosmetik, dimana
fungsi dari bahu masih normal.
Nonunion:
Didiagnosa dari jika tidak ada penyambungan tulang secara radiografi selama 4
sampai 6 bulan. Daerah yang paling sering terkena yaitu pada pertengahan
klavikula karena hanya sedikit jaringan lunak yang menempel. Insidensi sekitar
0,9 % sampai 4 %. Faktor predisposisinya yaitu karena immobilisasi yang tidak
adekuat, fragment fraktur yang terlalu bergeser, lokasi daerah fraktur, fraktur
terbuka, dan adanya refaktrur.

General Anastesi
1. Definisi
Anestesi umum / General anestesi adalah suatu tindakan medis dimana
tujuan utamanya adalah menghilangkan nyeri. Anestesi umum juga mempunyai
karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterograd yaitu
hilang ingatan kedepan maksudnya pasien tidak akan bisa mengingat apa yang
telah terjadi saat dia dianestesi / operasi, sehingga saat pasien bangun dia
hanya mengetahui kalo dia tidak pernah menjalani operasi. Karakteristik
selanjutnya adalah reversible yang berarti General anestesi akan menyebabkan
pasien bangun kembali tanpa efek samping. General anestesi juga dapat
diprediksi lama durasinya dengan menyesuaikan dosisnya.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurang mual dan muntah pasca bedah
Mengurangi isi cairan lambung
Membuat amnesia
Memperlancar induksi anestesi
Meminimalkan junmlah obat anestesi
Mengurangi reflek yang membahayakan.

2. Komponen ideal anestesi umum


1. Hipnotik
2. Analgesi
3. Relaksasi otot
General anestesi memiliki komponen ideal sperti yang disebutkan diatas, tetapi
tidak semua General anestesi harus memiliki 3 pilar tersebut. Minimal yang
harus ada adalah hipnotik dan analgesi.
3. Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan anastesi umum diantaranya adalah sejak awal operasi pasien
sudah tidak sadar dan tidak merasakan sakit, lama pembiusan disesuaikan
dengan lama operasi, dan kedalaman pembiusan dapat diatur sesuai kebutuhan.
Sedangkan kekurangannya adalah obat bius yang diberikan akan berefek ke
seluruh tubuh pasien termasuk ke aliran darah janin dalam kandungan, pasca
bedah pasien harus sadar penuh dan peristaltik baik sebelum diberikan minum,
serta waktu pemulihan yang lebih lama.

4. Stadium anastesi
1. Stadium I ( analgesia sampai kesadaran hilang)
2. Stadium II ( sampai respirasi teratur)
3. Stadium III
4. Stadium IV ( henti nafas dan henti jantung)

Dalam memberikan anestesi kita perlu mengetahui stadium2 anestesi untuk


memonitoring sejauh mana pasien bisa diberikan intervensi seperti
pembedahan. Untuk lebih jelasnya baca yg dibwah ini.
1. Stadium I
Stadium I dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan
terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium
ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflex bulu mata
(untuk mengecek reflek tersebut bisa kita raba bulu mata)
2. Stadium II
Stadium II Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan
yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan
hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga
hilangnya pernafasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernafasan
spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke
kiri dan kekanan dengan mudah.
4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal..

5. Teknik Anestesi LMA


Penemuan dan pengembangan laryngeal mask airway (LMA) oleh
seorang ahli anestesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan
dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anestesi, penanganan airway
yang sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara
penggunaan face mask dengan intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli
aeastesi alat baru penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat
ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal,
(2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anestesi
mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih
dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur
pembedahan.1,2,3

LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis, terdiri dari
masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai balon yang
dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30. LMA dapat
dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun demikian
juga tersedia LMA yang disposible.

Jenis-jenis LMA

Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan keunggulan dan tujuan
tertentu dari masin-masing jenis LMA. Jenis-jenis LMA yang telah tersedia
sebagai berikut:

1. LMA klasik

2. LMA flexible

3. LMA proseal

4. LMA fast track

LMA Klasik

Tidak seperti jalan nafas supraglotik, tersedia dalam berbagai ukuran, yang
cocok untuk semua penderita mulai dari bayi sampai dengan dewasa. Suatu
metode pemasangan LMA klasik dengan teknik standar direkomendasikan oleh
Dr Archie Brain. Setelah deflasi cuff secara penuh, LMA dimasukkan dengan
bantuan indek jari menekan masker kearah cranioposterior melewati kurva
palatofaringeal, dilanjutkan kearah caudal sampai dirasakan adanya tahanan di
mana ujung masker memasuki upper esophageal sphincter Keberhasilan LMA
yang klasik mendorong munculnya berbagai jenis LMA lainnya dengan beberapa
tujuan tertentu seperti untuk intubasi buta disertai dengan akses ke lambung
(Proseal LMA).

Gambar 1. LMA Klasik


Gambar 2. LMA Flexible

LMA Proseal

LMA proseal dengan akses lambung dapat mendekomprasi lambung seketika


LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis untuk jalan nafas dan
lebih cocok untuk ventilasi tekanan positif. Jenis LMA proseal memberikan dua
keuntungan: (1) adanya akses ke lambung memungkinkan untuk memasukkan
selang lambung dan kemudian dekompresi lambung; (2) desain ulang terhadap
balon LMA memungkinkan untuk mengembangkan balon LMA lebih besar dan
posisi balon LMA yang lebih tepat terhadap jalan nafas.1,2,3,4

Gambar 3. LMA Proseal

LMA Fast Track

Berbagai macam ukuran LMA1,2,3,4

Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)

1 <5 4

1,5 5 10 7

2 10 20 10

2 20 30 14
3 30 - 50 20

4 50 - 70 30

5 > 70 40

Indikasi Penggunaan LMA 1,2

Pemasangan Ventilasi Elektif

Kesulitan Jalan Nafas

Cardiac Arrest

Saluran Untuk Intubasi

Manajemen Jalan Nafas Prehospital

Anak-Anak

Kontraindikasi Penggunaan LMA 1,2

Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA :

1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus


intestinal)

2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya


artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan
memasukkan LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.

3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya

5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)

6. Ventilasi paru tunggal.

Teknik Insersi LMA

Macam-macam teknik insersi LMA :

1. Teknik Klasik/standard (Brains original technique)

2. Inverted/reserve/rotation approach

3. Lateral apporoach inflated atau deflated cuff

Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr. Archie Brain telah
menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien
dan prosedur pembedahan. Walaupun sampai sekarang telah banyak teknik
insersi yang dianjurkan namun demikian teknik dari dr.Brain ini membuktikan
secara konsisten lebih baik. Banyak teknik insersi lainnya yang menyebabkan
penempatan LMA yang teralalu tinggi dari jalan nafas atas dan pengembangan
balon terlalu besar untuk mencegah kebocoran gas anastesi disekeliling LMA.
Tekanan balon LMA yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembengkakan
struktur pharyngeal dan menyebabkan pengurangan toleransi terhadap LMA pada
kasus-kasus emergensi.

Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan. Setelah makanan


dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan terhadap langit-langit rongga
mulut berasamaan dengan otot-otot pharyngeal mendorong makanan kedalam
hipopharyng. Insersi LMA, dengan cara yang mirip balon LMA yang belum
terkembang dilekatkan menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk menekan
LMA menyusuri sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak terus
sampai ke hipopharyngx. Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa ataupun
anak-anak dan sesuai untuk semua model LMA.3,4
Gambar Teknik Insersi LMA : A. LMA dalam keadaan siap untuk diinsersi.
Balon harus dalam keadaan kempes dan rim membelakangi lubang LMA. Tidak
boleh ada lipatan pada ujung LMA. B. insersi awal LMA dengan melihat
langsung, ujung masker ditekan terhadap palatum durum. Jari tengah dapat
digunakan untuk menekan dagu kebawah. Masker ditekan kearah depan terus
maju ke dalam pharynx untuk memastikan bahwa ujungnya tetap datar dan
menolak lidah. Dagu tidak perlu dijaga agar tetap terbuka bila masker telah
masuk kedalam mulut. Tangan operator yang tidak terlibat proses intubasi dapat
menstabilisasi occiput. C. Dengan menarik jari sebelahnya dan dengan sedikit
pronasi dari lengan bawah, biasanya dengan mudah akan dapat mendorong
masker. Posisi leher tetap flexi dan kepala tetap extensi.D. LMA ditahan dengan
tangan sebelah dan jari telunjuk kemudian diangkat. Tangan menekan LMA ke
bawah dengan lembut sampai terasa tahanan. 4

Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut : 1,4

1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran
pada balon LMA

2. pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap
keluar berlawanan arah dengan lubang LMA

3. lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA

4. pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional)
sebelum mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan
kondisi yang lebih baik daripada thiopental.

5. posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing

6. gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum


durum terus turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang
meningkat. Garis hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap ke
cephalad (menghadap ke bibir atas pasien)

7. kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai

8. pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien

9. obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis yang
terlipat kebawah atau laryngospame sementara

10. hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA


sampai penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai
perintah).

Malposisi LMA
Gambar 7. Malposisi LMA yang umum terjadi

Maintenance ( Pemeliharaan )

Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode
yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi
jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak
sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering
lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru
dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara
umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.

Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan


nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya
pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak.
Kantung reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan
alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk
meyakinkan kejadian-kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk
di ubah, akan bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat
pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali kea sirkuit anestesi
dan periksa ulang jalan nafas.

Tehnik Extubasi

Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien


bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex
proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada
pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan
meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien
dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi
akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah
dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret
tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi
jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik dalam. Jika cLMA
ditarik dalam kondisi masih dalam, perhatikan mengenai obstruksi
jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap
untuk batuk dan terjadinya laryngospasme

Komplikasi Pemakaian LMA

cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru


karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan
cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti
: pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau
refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese. Insidensi nyeri tenggorokan
dengan menggunakan LMA sekitar 28 %.

Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi


jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic LMA
mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah
( rata-rata 18 20 cmH2O ), sehingga jika dilakukan ventilasi kendali
pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan
nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi
lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada
kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya
stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan

ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA


selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai
dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi
dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube
pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi
rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

6. Obat Premedikasi

Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan


mengurangi jumlah obat obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk
menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah
pemberian obat sebelum anestesi dilakukan.
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan
analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat
obat anestesi, menekan reflek reflek yang tidak diinginkan, mengurangi
sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.
Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

a Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-
benzodiazepindengan sifat yang sangat mirip dengan golongan
benzodiazepine.Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan
SSP.Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat
diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak,serebelum
system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadisekitar 1,5 menit
setelah pemberian intra vena bila sebelumnyadiberikan premedikasi obat
narkotika dan 2-2,5 menit tanpapremedikasi narkotika sebelumnya.

Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksianestesi,


basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahanyang
dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemelharaanselama
anestesi.Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitiveerhadap
golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensipernafasan, acut
narrow-angle claucoma.

Dosis premedikasi sebelum operasi :


Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami
nyerisebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi
denganantikolinergik atau analgesik.Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara
IM sesuai dengan keadaanumum pasien, lazimnya diberikan 5mg.Dosis usia
lanjut dan pasien lemah 0,025 - 0,05 mg/ kg BB (IM)Untuk basal sedation
pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10menit sebelum permulaan
operasi, pada orang tua dosis harusditurunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis
tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam
dapatmengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas
padaventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut
jantung.Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang
berhubungandengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang
ireversibelEfek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement,
bingung,pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis
dantrombosis.Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid,
simetidin, ketamine.
b Fentanyl

Fentanil adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil


piperidin, yang secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai
anestetik 75 125 kali lebih poten dari Morfin.Fentanil merupakan salah
satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi
tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5
mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid
yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual.Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut.Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.Lamanya
efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.Efek euphoria
dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV.Dosis
tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang
mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di
striatum.Efek ini di antagonis oleh nalokson.Fentanyl biasanya digunakan
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi.Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula
dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.Fentanyl dan droperidol
(suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-
sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan
dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disebut sebagai
neurolepanestesia.
c Ketorolac

Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau


intravena.Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan
intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit,
maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dan
penggunannya sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg. sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid,
yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat
antipiretik dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara
bersamaan dengan opioid.Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis
prostaglandin di perifir tanpa menggangu reseptor opioid di sistema saraf
pusat. Tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan
nyeri persalinan,wanita sedang menyusui, usia lanjut, anal usia < 4 tahun,
gangguan perdarahan.
d Ondansetron

Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang ual


dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal
rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi
konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme
obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau
sulfat dalam hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan untuk
premedikasi antara 4-8 mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi antara
Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea
ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi anestesi merupakan
suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi
trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.
7. Obat Induksi

Propofol

Pada kasus ini digunakan Propofol.Propofol adalah campuran 1%obat


dalam air dan emulsi yang berisi 10%soya bean oil, 1,2%phosphatide telur
dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2- 2,5mg/kgBB untuk induksi
tanpa premedikasi. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB/menit.dosis rumatan 0,1
mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali
lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara
cepat.Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis.Anestesi dapat dipertahankandengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2Odan/atau anestetik inhalasi
lain.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapiefek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan
curah jantung.Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pascaoperasi
yangminimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya
depresipernapasan, apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada
sistemkardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia,
bradikardia,hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.
8. Maintenance
a N2O dan O2

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengansoda lime absorber (pengikat CO2). . Mempunyai sifat
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai
sifat merelaksasi otot, olehkarena itu pada operasi abdomen dan ortopedi
perlu tambahan denganzat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan
analgesi yang berarti.Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

b Sevofluran

Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter.Induksi dan pulih


dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran.Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.Efek terhadap kardiovaskuler
cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.Efek terhadap sistem saraf
pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar.Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh
badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.
Teknik Anestesi LMA
Indikasi :
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
Kontraindikasi :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal
yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.
d. pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi.
Tehnik Induksi dan Insersi

Gambar ukuran LMA


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih
besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk
keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering
membuat posisi mask yang tidak sempurna
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust.
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot.
Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan
pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex
proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma
yang berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw
thrust tidak dilakukan.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk
atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi.
Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan
menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau
dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk
memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat
( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi
dibawah anestesi topikal.
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing
Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan
permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum
dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan
menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing.
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu
tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain
memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan
dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher
bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask
dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan.
Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum
kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat
cLMA berhenti selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus
( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah berada pada posisi yang
tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan
titik akhir ter-identifikasi.
Gambar Insersi LMA
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima
tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. End point yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari
pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk
dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan.
Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan
nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang
berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk
cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan laryngeal
recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat
perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan
pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi
kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan
campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam
cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan
dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging dengan
lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan
rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan
kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan
akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan
nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil.
Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini
mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang
partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi
ulang.
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya
migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit
tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan
capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi
yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat menurun pada
epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring dan
penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi
dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi, resiko
regurgitasi faring rendah.
Maintenance ( Pemeliharaan )
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang lama
kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan
akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube
trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana
anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi
dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-
anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang
bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat
terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit
anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus
digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-kejadian ini
terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana untuk melepas
jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan,
sambungkan kembali kea sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.

Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan
mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas
telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum
tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi
jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut mereka,
cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan
adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien
tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat
komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat
ditarik dalam. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih dalam, perhatikan
mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan
sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme
Komplikasi Pemakaian LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena
regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada
pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang
tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-
esofageal dan pada pasien obese. Insidensi nyeri tenggorokan dengan
menggunakan LMA sekitar 28 %.
Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang
lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic LMA mempunyai
kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18
20 cmH2O ), sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan
menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan
berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung. Lebih
lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi
lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi
dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama
ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50
% dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan
mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube pada
ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk
regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.
9. Obat Premedikasi
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi
jumlah obat obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi dilakukan.
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah
muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat obat anestesi, menekan
reflek reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
Golongan hipnotik sedatif: Barbiturat, Benzodiazepin,
Transquilizer.
Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
Neuroleptik : Droperidol,
Dehidrobenzoperidol.
Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

e Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepindengan sifat yang
sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP.Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak,serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi
terjadisekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnyadiberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpapremedikasi narkotika
sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksianestesi, basal
sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahanyang dilakukan di bawah
anestesi local serta induksi dan pemelharaanselama anestesi.Obat ini dikontra
indikasikan pada keadaan sensitiveerhadap golongan benzodiazepine, pasien
dengan insufisiensipernafasan, acut narrow-angle claucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyerisebelum tindakan
bedah, pemberian tunggal atau kombinasi denganantikolinergik atau
analgesik.Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaanumum
pasien, lazimnya diberikan 5mg.Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 - 0,05
mg/ kg BB (IM)Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-
10menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harusditurunkan 1- 1,5
mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapatmengakibatkan depresi
pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas padaventrikel dan perubahan pada
kontrol baroreflek dari denyut jantung.Efek yang berat dan ireversibel : selain
depresi SSP yang berhubungandengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek
samping yang ireversibelEfek samping simtomatik : agitasi, involuntary
movement, bingung,pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis
dantrombosis.Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid,
simetidin, ketamine.

f Fentanyl
Fentanil adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang
secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 125 kali
lebih poten dari Morfin.Fentanil merupakan salah satu preparat golongan
analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah
digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual.Opioid dosis tinggi
yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut.Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah
digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi
inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.Lamanya efek depresi
nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV.Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh
efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum.Efek ini di antagonis oleh
nalokson.Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi.Obat ini tersedia dalam bentuk larutan
untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan
droperidol.Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia
dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disebut
sebagai neurolepanestesia.
g Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.Tidak
dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular atau
intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam
dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dan penggunannya sesuai
kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk
berat < 50kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg. sifat
analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg morfin =
100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiinflamasinya rendah.
Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid.Cara kerja ketorolac
adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifir tanpa menggangu reseptor
opioid di sistema saraf pusat. Tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil,
menghilangkan nyeri persalinan,wanita sedang menyusui, usia lanjut, anal usia <
4 tahun, gangguan perdarahan.
h Ondansetron
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang ual dan
muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah.
Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi.
Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama
secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati.5 Dosis
ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8 mg/kgBB.
Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan
sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2
jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.

10. Obat Induksi


Propofol
Pada kasus ini digunakan Propofol.Propofol adalah campuran 1%obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10%soya bean oil, 1,2%phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2- 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB/menit.dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama
20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan
efek kerjanya 1-2 menit.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat.Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis.Anestesi dapat dipertahankandengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2Odan/atau anestetik inhalasi lain.Propofol
menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapiefek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan
ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konfusi pascaoperasi yangminimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresipernapasan, apnea,
brokospasme dan laringospasme. Pada sistemkardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardia, bradikardia,hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.
11. Maintenance
c N2O dan O2
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengansoda lime absorber (pengikat CO2). . Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
olehkarena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan denganzat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
d Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter.Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran.Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia.Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum
ada laporan toksik terhadap hepar.Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime),
tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis Post Operasi ORIF fraktur Clavicula Dextra pada pasien


ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan rontgen. Melalui anamnesa didapatkan data riwayat pasien
mengalami fraktur clavicula dextra sejak satu tahun yang lalu dan sudah
dilakukan operasi ORIF menggunakan wire. Riwayat terjatuh pada saat
beraktivitas satu tahun SMRS, riwayat kepala terbentur (-), pingsan (-).
Pasien mengatakan terasa kurang nyaman pada bagian kawat yang
terpasang, kadang terasa nyeri. Tidak ada keluhan setelah operasi setahun.
Untuk penatalaksanaannya selanjutnya akan dilakukan dilakukan ROI.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I ( pasien dalam
keadaan sehat ). Teknik general anestesi dengan LMA pada pasien ini
dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif singkat.
Sebelum operasi, sehari sebelumnya pasien diinstruksikan untuk berpuasa
8 jam sebelum operasi. Kemudian pada saat anastesi, pada pasien ini
diberikan premedikasi berupa Midazolam 2,5 mg (0,05-0,1 mg/kgBB) dan
selanjutnya diberikan Fentanyl 50 g (2-2,5 g/kgBB) secara intravena.
Induksi anestesia dilakukan dengan pemberian Ketamin 30 mg (0,5-1
mg/kgBB) dan Propofol 100 mg secara intravena. Pada pasien ini
diberikan maintenance oksigen 3 lt/menit. Oksigen diberikan untuk
mencukupi oksigenasi jaringan. Selama operasi berlangsung, dilakukan
monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi mendapatkan
informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja
dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi
mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama
operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL. Pasien
dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor Aldrete.
Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1 (merespon bila nama
dipanggil), aktivitas motorik 2 (dua ekstremitas dapat digerakkan),
pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam
kisaran < 20 % sebelum operasi) dan warna kulit 2 ( merah muda ). Jadi
aldrete score pada pasien ini 9 sehingga layak untuk pindah bangsal.
BAB IV

KESIMPULAN

Seorang laki-laki berusia 18 tahun dengan diagnosis Post Operasi


ORIF (Open Reduction Internal Fixation) clavicula dextra akan
direncanakan untuk dilakukan operasi ROI (Removal of Implant) dengan
general anestesi LMA dan pemeriksaan status preoperative pasien adalah
ASA I.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rifai, Z et al. Principles of Total Intravenous Anaesthesia, Emedicine.


Medscape 2015.

Appleys AG: System of orthopaedic and fractures. 7 th ed. ELBS with


ELBS Bitterwarth Heineman, 1995.

Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-


Hill Companies. 2006: 98.

Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts


General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217

Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Trauma.


Dalam: Colachis SC. 1986. ed. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta

Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. 2003. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

You might also like