You are on page 1of 10

Honey: An Adjuvant Therapy in Acute Infant Diarrhea

Hala G. Elnadya, Naglaa Abdalmoneamc, Nadia A. Alya, Maysa T. Saleha,


Lobna S. Sherifa, and Shams Kholoussib
a. Departements of child health
b. Imunogenetics, national research center
c. Giza and departement of pediatric faculty of medicine for girls, Al-Zahra
University Hospital, Al-Azhar University of Cairo Egypt.

Pendahuluan: Diare adalah salah satu penyebab utama kematian pada bayi dan
balita di negara berkembang. Madu adalah makanan dengan banyak manfaat yang
memiliki komposisi yang unik, bersifat anti mikroba dan bifidogenic serta
memiliki efek anti inflamasi
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek penggunaan madu murni
sebagai alternatif oral rehydration solution (ORS) pada penatalaksanaan diare
akut pada anak.
Subjek & Metode: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek penggunaan
madu pada 150 bayi berusia 6-24 bulan pada anak yang menderita diare akut
dengan dehidrasi ringan-sedang. Subjek dipilih secara acak menjadi 3 kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari 50 bayi. Kelompok I hanya mendapatkan
WHO ORS. Kedua kelompok lainnya mendapatkan madu murni dengan dosis
yang berbeda. Kelompok II mendapatkan 50 ml madu dalam 1 liter ORS.
Kelompok III mendapatkan madu murni dengan dosis 5ml setiap 6 jam/hari dan
bersamaan dengan pemberian ORS. Subjek yang telah dibagi ke dalam kelompok
dilakukan observasi untuk menilai waktu rehidrasi, muntah, diare, dan waktu
pemulihan. Kultur feses dilakukan saat pertama kali. Sedangkan pH feses dan
tingkat serum sodium dan potasium diukur dan dipantau sampai waktu pemulihan.
Hasil: Waktu pemulihan memendek secara signifikan pada kelompok III yang
mendapat terapi madu dan ORS (3.10.6hari) dibandingkan dengan kelompok I
dan kelompok II (p<0.05). Selain itu, madu murni dan ORS mempersingkat waktu
pemulihan secara signifikan pada anak diare baik dengan infeksi bakteri dan
bukan bakteri. Korelasi positif secara signifikan ditemukan diantara derajat
dehidrasi dan frekuensi diare (r=-0.340, P<0.05).
Kesimpulan: Madu adalah bahan non-alergi, produk alami yang bernilai tinggi.
Madu murni diberikan sebagai terapi alternatif bersamaan dengan pemberian ORS
pada diare akut pada anak yang dapat mempersingkat waktu pemulihan secara
signifikan, penurunan frekuensi BAB cair, dan meningkatan konsistensi feses.
Penilitian lebih lanjut pada madu murni sebagai terapi aternatif pada diare pada
anak direkomendasikan pada skala besar.

Pendahuluan
Gastroenteritis akut adalah suatu penyakit yang umum terjadi. Di dunia,
gastroenteritis dapat mengenai tiga sampai lima milliar anak setiap tahun dan
menyumbangkan angka kematian sebesar 1,5 dari 2,5 juta kematian anak
pertahun (12% dari seluruh kematian). Gastroenteritis memberikan angka
kematian yang signifikan bagi negara berkembang dan merupakan beban ekonomi
bagi negara maju.
Diare akut dari semua etiologi dapat diterapi oleh cairan rehidrasi oral
dengan baik. WHO, the American Academy of Pediatric (AAP), dan the European
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN),
serta the Cochrane Library menyarankan terapi rehidrasi oral dan realimentasi
segera pada gastroenteritis ringan-sedang. Program pencegahan diare telah
terbukti efektif. The National Control of Diarrheal Diseases Project of Egypt
melaporkan bahwa terdapat peningkatan kesadaran terhadap penggunaan cairan
rehidrasi oral di negara tersebut pada tahun 1981 dan 1990, sehingga terjadi
penurunan angka kematian akibat diare dari 35,7 menjadi 9,3 per 1000 kelahiran
hidup pengurangan angka kematian sebanyak 74% namun tidak seiring dengan
penurunan jumlah kasus diare.
Madu telah digunakan sebagai obat sejak zaman dahulu oleh banyak
budaya dan masih digunakan sebagai pengobatan tradisional. Faktanya, madu
diketahui efektif melawan mikroorganisme dalam saluran kemih dan menjadi
terapi gastroenteritis pada bayi. Madu juga bermanfaat sebagai anti-inflamsi dan
anti-mikroba karena mengandung antioksidan yang tinggi.
Dalam Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW menyarankan madu
sebagai anti diare. Selain itu, Celcius, ahli Fisika Roman juga menggunakan madu
sebagai terapi untuk diare. Peneliti Islam, Ibnu Sina, mengatakan bahwa madu
mengandung nutrient, laxative, diuretic, dan antitusif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektitiftas penggunaan madu
sebagai terapi alternatif ORS dalam penatalaksanaan diare akut pada bayi.
Subjek dan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan percobaan klinik prospektif secara acak
sederhana yang dilakukan pada 150 bayi (usia 16-24 bulan) yang menderita diare
akut dengan dehidrasi ringansedang. Diare akut didefinisikan sebagai BAB
sering atau cair lebih dari 3x atau BAB sering dengan darah selama 24 jam.
Semua subjek penelitian merupakan pasien yang dirawat di RS Universitas Al
zahra, Kairo, Mesir. Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik lokal rumah
sakit dan mendapat persetujuan berupa informed consent dari orang tua bayi.
Pasien diekslusi jika termasuk dalam derajat dehidrasi berat (tanda vital
tidak stabil dan perfusi yang buruk), tingkat kesadaran menurun, kemungkinan
pembedahan perut, muntah darah atau muntah yang berasal dari saluran empedu,
diare berdarah, distensi dan tekanan pada abdomen, bising usus tidak ada, kejang,
nyeri perut kanan bawah, nyeri perut kuadran kanan bawah, atau kondisi penyakit
kronik (seperti inflammatory bowel disease, immunodeficiency syndrome,
gangguan metabolik, insulin-dependent diabetes, gangguan jantung dan ginjal,
dan riwayat bedah saraf)
Subjek dipilih secara acak sederhana dan dibagi dalam tiga kelompok
(masing-masing kelompok terdiri dari 50 pasien).

Kelompok 1
Kelompok ini adalah pasien diare yang hanya menerima WHO ORS. ORS yang
diberikan berdasarkan rekomendasi dari WHO.
Kelompok 2
Kelompok ini adalah pasien diare yang menerima rehidrasi berdasarkan WHO dan
ditambahkan madu dengan dosis 50ml dilarutkan dalam 1 liter ORS, yang dapat
menyebabkan peningkatan signifikan pada kadar glukosa (100 mmol/l dari 75
mmol/l) dan osmolaritas dari ORS (310 mOsmol/l dari 245 mOsmol/l).
Kelompok 3
Kelompok ini adalah pasien diare yang telah direhidrasi menggunakan WHO
ORS. Selain itu, pasien diberi madu murni dengan dosis 5 ml/5 jam.
Jenis madu yang digunakan adalah madu clover yang belum diproses yang
berasal dari Shabshir, Gharbia Governorate, Mesir. Madu diperoleh langsung dari
perternakan lebah. Diuji keberadaan spora Clostridium botolinum dengan
menggunakan supernatan dari hasil sentrifuse dan filtrasi lalu dilanjutkan dengan
kultur medium daging matang. Tidak ada spora yang terdeteksi. Campuran madu
dan ORS yang baru dibuat kemudian diberikan kepada subjek dalam waktu
kurang dari 2 jam untuk menghindari pertumbuhan jamur.
Semua pasien yang diteliti dilakukan pemeriksaan klinis terlebih dahulu,
kemudian evaluasi tiap 24 jam sampai pemulihan, evaluasi tersebut meliputi:
(a) Skor dehidrasi, menurut sistem penilaian yang dijelaskan oleh Duggen, untuk
menentukan waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi awal dan untuk
mempertahankan pasien dalam keadaan terehidrasi. Cairan rehidrasi diberikan
menggunakan cangkir dan sendok atau melalui nosopharingeal tubes setiap ada
indikasi. Pasien dianggap sepenuhnya direhidrasi ketika semua tanda tanda
dehidrasi menghilang, dan skor dehidrasi menjadi 0. (b) Jumlah gerakan /hari. (c)
Konsistensi dari feses. (d) Jumlah muntah (jika ada).
Waktu pemulihan dievaluasi untuk semua kelompok, yang didefinisikan
sebagai total jumlah waktu mulai dari pengobatan awal sampai feses menjadi
normal, dan pasien menunjukan hidrasi normal dan berat badannya memuaskan.
Pemerikasaan laboratorium meliputi: (a). Kultur tinja untuk Salmonella, Shigella,
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Campylobacter, dan Yersinia dengan
menggunakan metode standar, (b) Pemantauan harian kadar serum natrium dan
kalium, dan (c) monitor harian pH feses.

Analisis Statistik
Statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS, versi 20 (IBM
SPSS statistics 20, vayetteville, arkansas, USA). Data statistik dijelaskan dalam
bentuk rata rata dan SD, dan tiga kelompok pasien dibandingkan atas dasar
analisis tes uji varian one-way. Nilai probabilitas dianggap signifikan secara
statistik ketika nilai P kurang dari 0,05. Digunakan Korelasi bivariat pearson dan
dianggap signifikan pada nilai P kurang dari 0,05 (dua angka dibelakang koma).

Hasil Penelitian
Hasil deskripsi data pada tiga kelompok subjek penelitian dijelaskan pada
Tabel 1. Pada penelitian ini didapatkan 81 bayi laki-laki (54%) dan 69 bayi
perempuan (46%), berusia antara 6-24 bulan (rata-rata 11.75.0 bulan). Dehidrasi
ringan didapatkan pada 69 bayi (46%) dan dehidrasi sedang didapatkan pada 81
bayi (54%). Madu ditoleransi dengan baik oleh kedua kelompok.
Waktu pemulihan secara signifikan lebih singkat pada kelompok III
(diperlakukan dengan madu murni dan ORS) (3.10.6 hari) jika dibandingkan
dengan kelompok I dan II (p<0.05). Waktu pemulihan untuk kelompok II (madu
50 ml + 1 1 ORS) dan kelompok I menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan (p>0.05) (Tabel 1).
Hal ini menunjukkan bahwa madu murni mempersingkat waktu pemulihan
secara signifikan pada bayi yang menderita diare baik diare karena bakteri
maupun non-bakteri (Tabel 2).
Korelasi positif yang signifikan ditemukan antara tingkat dehidrasi dan
frekuensi diare (r=0.340, p<0.01). Waktu pemulihan secara signifikan berkorelasi
negatif dengan frekuensi diare dan pH feses (r=0.340, p<0.05). Namun, korelasi
positif tidak signifikan yang ditemukan antara waktu pemulihan dan tingkat
dehidrasi (Tabel 3).

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian


Parameters Group I (N = 50) Group II (N = 50) Group III (N = 50)
Age (months) 12.4 5.1 11.5 4.2 11.7 5.0
Sex (male/female) 30/20 24/26 27 / 23
Weight (kg) 10.0 2.1 10.6 1.9 10.0 2.0
Serum K 3.9 0.3 3.9 0.3 4.0 0.3
Serum Na 137.0 2.2 137.1 3.3 136.4 3.0
Stool pH 6.4 0.5 6.5 0.5 6.4 0.5
Stool culture (+ / ) 18/32 22/28 23 / 27
Dehydration 20/30 22/28 27 / 23
(mild/moderate)
Frequency (/day) 4.5 1.4 5.1 1.4 4.1 1.2
Recovery time (/day) 4.6 0.7 5.0 0.8 3.1 0.6*

Tabel 2. Waktu pemulihan pada setiap kelompok berdasarkan kultur feses


Positive stool Negative stool P
culture culture
Group 4.6 0.5 4.5 0.9 0.4
I 50
Group 5.1 0.7 4.8 0.5 0.2
II 46
Group 3.2 0.3* 3.0 0.4* 0.0
III 47

Tabel 3. Korelasi waktu pemulihan pada ketiga kelompok


Recovery time Frequency Dehydration Stool culture Stool pH
Group I
Pearsons correlation 0.013 0.005 0.191 0.104
Significance (two tailed) 0.929 0.973 0.188 0.478
Group II
Pearsons correlation 0.266 0.287 0.063 0.005
Significance (two tailed) 0.071 0.051 0.672 0.971
Group III
Pearsons correlation 0.340a 0.153 0.147 0.340*
Significance (two tailed) 0.017 0.292 0.312 0.017

Diskusi
Pentingnya madu dalam pengobatan telah tercatat sejak zaman kuno, dan
madu telah diketahui memiliki sifat anti mikroba dan penyembuh luka. Lebih dari
1400 tahun lalu Allah dan rasulnya Muhammad telah menyatakan bahwa madu
dapat menyembuhkan berbagai macam masalah medis. Firman Allah, "Dan
tuhanmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan bagimu. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yangmenyembuhkan
bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
bagi orang-orang yang memikirkannya. [24].
Dalam pengobatan Nabi, madu telah diketahui memiliki nilai dalam
pengobatan. Madu dianggap dapat membersihkan zat-zat berbahaya yang
terkumpul di dalam usus. Pengobatan dengan madu meningkatkan rehidrasi tubuh
dan dengan cepat menyembuhkan diare, gangguan perut dan muntah-muntah. [25]
Madu telah diterima sebagai alat terapi yang efektif oleh praktisi
pengobatan konvensional dan masyarakat umum karena hasil-hasil klinisnya yang
baik. [26]. Mengkonsumsi madu dalam jumlah kecil (1-2 sedok makan) secara
umum memiliki efek yang positif pada diare yang disebabkan oleh makanan atau
infeksi ringan. Namun, mengkonsumsi madu dalam jumlah besar umumnya
menyebabkan konstipasi ringan sampai berat. Madu telah diketahui efektif dalam
menyembuhkan luka-luka infeksi pasca operasi [27]. Madu juga dilaporkan
menghambat pertumbuhan bemacam bakteri seperti Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, Salmonella Dublin dan Shigella dysentirae [28, 29].
Dilaporkan juga madu menghambat pertumbuhan anaeorobic bacteroides [30].
Lebih jauh, Adebolu melaporkan bahwa dalam ketiadaan antibiotics, madu
dapat digunakan untuk mengobati bakterial diare. Dia menemukan bahwa madu
alami efektif dalam menghambat pertumbuhan semua organisme yang diuji,
dengan zona hambatan berkisar antara 5.0 sampai 20,0 mm, kecuali untuk C.
jejuni. Hmabatan madu pada E. Coli setara dengan amoxillin (20.0 mm) dan
chloramphenicol [17.0 mm]. Tetracyclin tidak memiliki efek penghambat pada
semua organisme yang diuji [31].
Ini mendukung penelitian-penelitian saat ini. Masa pemulihan pasien-
pasien diare yang diuji secara signifikan lebih singkat dari kelompok III
(kelompok pengobatan madu murni + ORS) dibanding dengan dua kelompok
pasien yang lain. Observasi menunjukkan bahwa madu murni secara signifikan
dapat mempersingkat masa pemulihan pada bayi-bayi penderita diare bakterial
dan non bakterial. Korelasi positif ditemukan antara tingkat dehidrasi dan
frekuensi diare. Masa pemulian berkorelasi secara negatif dengan frekuensi diare
dan pH feses. Namun, korelasi positif yang tidak signifikan ditemukan antara
masa pemulihan dengan tingkat dehidrasi.
Madu adalah produk alami dengan komposisi kimia yang kompleks.
Komposisi utamanya adalah fruktosa dan glukosa, namun juga mengandung 4-5%
fructooligosaccharide, sebagai agen prebiotik [32]. Dia mengandung lebih dari
180 zat, termasuk asam amino, vitamin, mineral dan enzim. Madu dilaporkan
membersihkan infeksi melalui sejumlah kandungan termasu meningkatkatkan
sistem imun, aksi anti- inflamasi, aktivitas anti oksidan dan perangsang
pertumbuhan sel. [34]. Bahkan komponen anti mikroba dari hydrogen peroxide
dan nonperoxide yang terkandung di dalam madu diteliti dalam beberapa
penelitian [35].
Molan [36]menjelaskan peran efektif madu dalam pengobatan diare dan
disentri dengan fakta bahwa madu adalah sumber gizi bagi Lactobacillus bifidus,
dengan faktor Lactobacillus bifidus yang terkandung di dalam flora usus, yang
mengubah lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri penyebab
disentri dan memberantasnya dalam beberapa hari. Wahdan [37] melaporkan
bahwa madu maningkatkan sistem ketahanan immun seluruh tubuh sehingga
dapat mengendalikan infeksi.
Namun, hasi dari penelitian ini gagal untuk menemukan perbedaan yang
signifikan antara hasil kelompok II (diberi perlakuan 50 ml madu yang
ditambahkan pada 11 ORS) dan kelompok I (diberi perlakuan hanya dengan
ORS). Ini berlawanan dengan hasil yang ditemukan Abdulrhman dkk [16] yang
melaporkan bahwa tambahan madu pada ORS menurunkan frekuensi diare pada
pasien dengan gastroenteritis. Haffejee dan Moosa [9] meneliti efek madu dari
larutan elektrolit-madu (berisi 50 ml madu perliter, atau 5%) pada bayi-bayi
pasien diare. Mereka menemukan bahwa keberadaan madu pada larutan dapat
menurunkan durasi dari bakterial diare jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Aktivitas anti-inflammatory dan antibacterial madu dapat dijelaskan
dengan efek osmotik. Madu adalah larutan gula jenuh (84% campuran fruktosa
dan glukosa); interaksi kuat moleku-molekul gula dengan molekul air menyisakan
sedikit air bagi mikroorganisme [38]. Kandungan tinggi gula pada madu dapat
digunakan untuk meningkatkan penyerapan sodium dan air dari usus.
Bahkan pH asamnya (antara 3.2 dan 4.5) menghambat beberapa patogen.
Aktivitas antibakterial utama dalam madu ditemukan disebabkan oleh hydrogen
peroksida, yang menghasilkan secara enzimatik larutan phenolic dan oksida
glukosa. Enzim oksida glukosa disekresi dari kelenjar hypopharyngeal pada lebah
menjadi nektar.
Kesimpulan
Madu adalah zat nonallergic alami bergizi tinggi telah dikenal sebagai
aktivitas antioksidan, antiinflamasi dan antibakterial. Madu murni yang diberikan
sebagai terapi tambahan pada ORS dengan diare akut infantile mempersingkat
masa pemulihan, menurunkan frekuensi mencret, dan memperbaiki konsistensi
tinja. Penelitian lebih jauh tentang madu sebagai bentuk terapi tambahan dalam
diare infantile direkomendasikan dilakukan dalam skala besar.

Daftar Pustaka

1. Santosham M. Oral rehydration therapy: reverse transfer of technology. Arch


Pediatr Adolesc Med 2002; 156:11771179.
2. By-Payne J, Elliott E. Gastroenteritis in children. Clin Evid 2004; 12: 443
454.
3. Chow Chung M, Leung Alexander KC, Hon Kam L. Acute gastroenteritis:
from guidelines to real life. Clin Exp Gastroenterol 2010; 3:97112.
4. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis
among children: oral rehydration, maintenance, and nutritional therapy.
MMWR Recomm Rep 2003; 52 (RR-16):116.
5. Guarino A, Albano F, Ashkenazi S, Dominique G, Hoekstra JH, Shamir R,
Szajewska H. European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition/European Society for Paediatric Infectious Diseases evidence-
based guidelines for the management of acute gastroenteritis in children in
Europe: executive summary. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2008; 46:619621.
6. EI-Rafi M, Hassouna WA, Hirschhorn N, Loza S, Miller P, Nagaty A. Effect
of diarrheal disease control on infant and childhood mortality in Egypt.
Report from the National Control of Diarrheal Diseases Project. Lancet 1990;
335:334338.
7. Miller P, Hirschhorn N. The effect of a national control of diarrheal diseases
program on mortality: the case of Egypt. Soc Sci Med 1995; 40:S1S30.
8. Ibrahim AS. Antimicrobial action of honey. Bull Islam Med 1981; 1:363365.
9. Haffejee IE, Moosa A. Honey in the treatment of infantile gastroenteritis.
British Med. J 1985; 290:18661867.
10. Molan PC, Cooper RA. The use of honey as an antisepticin managing
pseudomonas infection. J. Wound Care 1999; 8:161164.
11. Al-Bukhaari M. Holy Hadith (Sahih Al-Bukhari, Arabic). 3rd ed. Chicago:
Kazi Publications.
12. Celsus C. De medicina. London, UK: Heinemann.
13. Heppermann B, Jones JS. Honey for the symptomatic relief of cough in
children with upper respiratory tract infections. Emerg Med J 2009; 26:522
523.
14. Baqui AH, Black RE, Yunus M, Haque ARMA, Chowdhury HR, Sack RB.
Methodological issues in diarrheal diseases epidemiology: definition of
diarrheal episodes. Int J Epidemiol 1991; 20:10571063.
15. World Health Organization. Reduced osmolarity oral rehydration salts (ORS)
formulation. Geneva: World Health Organization.
16. Abdulrhman MA, Mekawy MA, Awadalla MM, Mohamed AH. Bee honey
added to the oral rehydration solution in treatment of gastroenteritis in infants
and children. J Med Food 2010; 13:605609.
17. Kuplulu O, Gancuogla M, Ozdemir H, Koluman A. Incidence of Clostridium
botulinium spores in honey in Turkey. Food Control 2006; 17:222224.
18. Molan PC. Honey as an antimicrobial agent. In: Mizrahi A, Lensky Y, editors.
Bee products: properties, applications and apitherapy. London: Plenum; 1997.
pp. 2737.
19. Duggan C, Refat M, Hashem M,Wolff M, Fayad I, Santosham M, et al. How
valid are clinical sings of dehydration in infants? J Pediatr Gastroenterol Nutr
1996; 22:5661.
20. Olesen B, Neimann J, Bo ttiger B, Ethelberg S, Schiellerup P, Jensen C, et al.
Etiology of diarrhea in young children in Denmark: a casecontrol study. J
Clin Microbiol 2005; 43:36363641.
21. Chou HF, Shen EY, Kuo YT. Utility of laboratory tests for children in the
emergency department with a first seizure. Pediatr Emerg Care 2011;
27:11421145.
22. Valencia I, Sklar E, Blanco F, Lipsky C, Pradell L, Joffe M, Legido A. The
role of routine serum laboratory tests in children presenting to the emergency
department with unprovoked seizures. Clin Pediatr (Phila) 2003; 42: 511
517.
23. Osuka A, Shimizu K, Ogura H, Tasaki O, Hamasaki T, Asahara T, et al.
Prognostic impact of fecal pH in critically ill patients. Crit Care 2012;
16:R119.
24. Quran: Surat An-Nah l. Available at: http://quran.com/16/68-69 [Accessed 11
January 2013].
25. Islamweb.net. Available at: http://www.islamweb.net/emainpage/ index.php?
page = articles&id = 157149 [Accessed 11 January 2013].
26. Molan PC. The role of honey in the management of wounds. J Wound Care
1999; 8:423426.
27. Al-Waili NS, Saloom KY. Effect of topical honey on post-operative wound
infection due to gram positive and gram negative bacteria following
caesarean section and hysterectomies. Eur J Med Res 1999; 4:126130.
28. El-Sukhon SN, Abu-Harfeil N, Sallal AK. Effects of honey on bacterial
growth and spore germination. J Food Prot 1994; 57:918920.
29. Ceyhan N, Ugar A. Investigation into in vitro antimicrobial activity of honey.
Revista di Biologia 2001; 94:363371.
30. Elbagoury E, Rasomy S. Antibacterial action of Manuka honey on anaerobic
bacteroides. Egypt Dent J 1993; 39:381386.
31. Adebolu TT. Effect of natural honey on local isolates of diarrhea causing
bacteria in southwestern Nigeria. Afr J Biotechnol 2005; 4:11721174.
32. Chow J. Probiotics and prebiotics: a brief overview. J Ren Nutr 2002; 12:76
86.
33. White JW. Composition of honey. In: Crane E, editor. In Honey: a
comprehensive survey. London: Heinemann; 1979. pp. 157192.
34. Ekanen JT, Yusuf OK. Some liver function indices and blood parameters in T.
brucei-infected rats treated with honey. Biokemistri 2007; 19 (No. 2): 8186.
35. Al-Mamarya M, Al-Meerib A, Al-Haborib M. Antioxidant activities and total
phenolics of different types of honey. Nutr Res 2002; 22: 10411047.
36. Molan PC. The antibacterial activity of honey. Bee World 1992; 73:528, 59-
76.
37. Wahdan HA. Causes of the antimicrobial activity of honey. Infection 1998;
26:2631.
38. Dubtsova E. Clinical studies with bee products for therapy of some nutritional
diseases. Russia: Central Moscow Institute of Gastroenterology Moscow;
2009. pp. 138.

You might also like