You are on page 1of 7

EROSI KORNEA

Menurut American Academy of Ophthalmology (AAO), erosi kornea adalah keadaan


dimana terlepasnya epitel kornea dari jaringan kornea di bawahnya, termasuk lapisan
Bowman atau membran basalis. Erosi kornea dapat terjadi karena adanya distrofi kornea dan
trauma mata. Segera sesudah trauma atau masuknya benda asing, penderita akan merasa sakit
sekali, akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata
menjadi berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh. Apabila
terjadi secara berulang-ulang maka disebut erosi kornea rekurens.

Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan
oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai
oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas
ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva (AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m, diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm (Riordan-Eva, 2010).
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Memiliki sifat tembus cahaya yang disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel.
Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan
pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal
sesaat yang 6 akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea,
obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.
Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah
terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur
(Biswell, 2010).
Kornea mendapatkan nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aqueous, dan
air mata. Persarafan sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmichus) dan nervus
kranialis trigeminus (Riordan-Eva, 2010). Saraf trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi
terhadap nyeri bila kornea disentuh (Hollwich, 1993).

Patofisiologi
Cedera pada permukaan kornea mengakibatkan defek epitel. Defek perbaikan epitel tejadi
melalui 3 fase, yaitu migrasi sel, proliferasi, dan diferensiasi. Trauma pada epitel kornea
menginduksi pergeseran dan perpindahan sel-sel epitel yang tersisa menuju area yang telah
rusak. Perubahan sel-sel dan interaksi sel matriks (sistem fibronectin-integrin) dan modulasi
ekstraseluler enzim proteolitik memiliki pernan yang penting (Arciniega, 2016).
Erosi terjadi pada saat adanya gangguan membran basal epitel karena peradangan dan
pelemahan adhesi ekstraseluler di hemidesmosom. Pasien dengan distrofi membran anterior
basement menunjukkan adanya kelonggaran epitel (Arciniega, 2016).

Diagnosis
Penegakkan diagnosis pada kasus erosi kornea dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik terutama pada mata, serta pemeriksaan tambahan seperti tes fluoresein.
Kertas tes fluoresein dapat digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan pada kornea. Tes
fluoresein merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui terdapatnya kerusakan
epitel kornea. Hasil positif pada tes ini dilihat dari permukaan kornea yang berwarna hijau
setelah kertas fluoresin disisipkan pada sakus konjungtiva inferior. Zat warna fluoresein jika
menempel pada epitel kornea yang mengalami kerusakan akan memberikan warna hijau
karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.
Penegakan diagnosis juga banyak dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp yang
menunjukkan ketidakteraturan epitel sampai hilangnya epitel dalam jumlah yang besar.
Pemeriksaan fluorescei dilakukan untuk membantu menunjukkan defek kornea (Arciniega,
2016).

Tata Laksana
Pengobatan untuk lesi kornea sebagai berikut:
- Debridement mekanis, dengan atau tanpa kauter kimia, tergantung pada ukuran defek
dan jumlah iritasi mata
- Pemberian cycloplegic lokal seperti atropin atau homatropin
- Memoles lapisan Bowman dengan diamond burr setelah debridement mekanis
- Delaminasi dari epitel kornea menggunakan alkohol atau perak nitrat, yang dapat
meningkatkan gejala erosi kornea yang tidak berespon terhadap lubrikasi topikal atau
lensa kontak perban (Verma, 2016).

LUKA BAKAR KORNEA

Luka bakar (combustio) kornea adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan pada kornea yang disebabkan karena adanya kontak dengan sumber panas
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Luka bakar merupakan cedera
yang cukup sering dihadapi dokter dan merupakan jemis trauma dengan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.

Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan karena adanya kontak dengan berbagai sumber
panas, seperti :
- api
- air panas
- listrik
- bahan kimia
Asam yang paling sering menyebabkan luka bakar okular adalah asam sulfat, asam
sulfur, asam klorida, asam nitrat, asam asetat, asam kromat, dan asam fluorida. Zat alkali
umum termasuk ammonium hidroksida, kalium hidroksida, natrium hidroksida, kalsium
hidroksida, dan magnesium hidroksida. Zat yang mengandung senyawa tersebut dan
dapat ditemukan di rumah termasuk alkali, semen, kapur, dan amonia (Salano, 2015).
- radiasi
Keratitis UV dapat disebabkan oleh sinar matahari. Tukang las yang bekerja tanpa
pelindung mata beresiko untuk terjadinya cedera. Laser yang digunakan dalam industri,
militer, dan praktek medis juga dapat menyebabkan luka bakar okular (Salano, 2015).

Patofisiologi
Kematian sel dari luka bakar terbatas pada epitel superfisial; Namun, nekrosis termal dan
penetrasi dapat terjadi. Dengan luka bakar UV dapat menyebabkan keratitis pungtata (Salano,
2015).
Cedera kimia sering terjadi pada pekerja lingkup industri meskipun telah adanya
peraturan keselamatan dan kewajiban penggunaan kacamata keselamatan. Luka bakar asam
biasanya terjadi dengan paparan asam kuat yang memiliki pH kurang dari 4. Asam klorida
(digunakan untuk membersihkan kolam renang) dan asam sulfat (ditemukan dalam baterai
mobil) adalah beberapa jenis asam yang umum dijumpai pada kondisi pasien darurat. Asam
cenderung denaturasi, mengental, dan menyebabkan endapan protein pada kornea,
menciptakan barrier yang mencegah asam penetrasi lebih dalam. Koagulasi protein ini
menghasilkan penampilan kornea ground-glass, dan sering terlihat pada luka bakar asam yang
parah. Sedangkan asam fluorida dapat dengan cepat menembus seluruh ketebalan kornea
melalui membran sel, menyebabkan kerusakan segmen kornea dan anterior signifikan
(Hemmati dan Colby, 2017).
Luka bakar alkali pada mata umumnya umunya disebabkan oleh natrium
hidroksida, amonia, dan kalsium hidroksida. Bahan kimia alkali yang lipofilik dapat
menembus membran sel melalui saponifikasi membran lipid. Ion hidroksil, bahan
kimia alkali yang umum, menyebabkan denaturasi matriks kolagen kornea dan
mengakibatkan penetrasi kimia lebih lanjut. Jaringan yang terkena bisa mengalami
nekrosis liquefaktif, di mana respon inflamasi memicu pelepasan enzim proteolitik,
yang mengarah ke kerusakan yang lebih lanjut. Alkalis kuat dapat mencapai ruang
anterior dalam waktu kurang dari 15 detik, menyebabkan kerusakan jaringan di kornea
dan ruang anterior (termasuk trabecular meshwork, lensa, dan badan ciliary).
Kerusakan kimia secara langsung mengakibatkan kornea kehilangan sel-sel progenitor
epitel kornea (Hemmati dan Colby, 2017).

Evaluasi Awal
Respon darurat. Pengobatan awal dari setiap luka bakar kimia harus dimulai segera pada
waktu dan tempat cedera. Mata yang terkena harus diairi deras dengan cairan noncaustic.
Irigasi harus terus di rumah sakit sampai pH permukaan okular telah dinormalisasi antara 7,0
dan 7,2. pH harus diperiksa ulang secara cepat dengan strip tes pH (antara 6 dan 8) di 15
hingga 30 menit setelah stabilisasi untuk konfirmasi ada tidaknya perubahan di luar kisaran
normal. Perubahan tersebut dapat menandakan kehadiran partikel tersembunyi di mata yang
terus mengelusi bahan kimia ke permukaan okular. Lensa Morgan dapat digunakan dengan
anestesi topikal untuk memfasilitasi proses irigasi pada pasien yang merasa tidak nyaman
(Hemmati dan Colby, 2017).
Setelah pH telah dinetralkan, pemeriksaan mata lengkap diperlukan untuk
mengkarakterisasi sejauh mana cedera dan merencanakan perawatan lebih lanjut.
Seperti dibahas di atas, penting untuk benar-benar menilai tingkat iskemia limbal serta
tingkat kekeruhan dan kecacatan epitel kornea. Fluorescein harus digunakan untuk
menilai status epitel kornea dan konjungtiva. Tekanan intraokular (TIO) harus
diperiksa, karena luka bakar kimia yang serius dapat meningkatkan atau menurunkan
tekanan. Pada kasus cedera kimia di salah satu mata, mata yang bagian kontralateral
tetap harus diperiksa untuk mengkofirmasi bahwa mata tersebut tidak terlibat dalam
luka bakar kimia (Hemmati dan Colby, 2017).

Tata Laksana
Pengobatan luka bakar kornea didasarkan pada tingkat injury. Bagi kebanyakan cedera,
tujuan pengobatan adalah untuk penyembuhan epitel dan mengurangi rasa sakit sekaligus
mengurangi peradangan dan mencegah superinfeksi bakteri (Hemmati dan Colby, 2017).
Tingkat I. Untuk cedera grade I ringan, salep antibiotik topikal seperti bacitracin atau
eritromisin biasanya diresepkan, bersama dengan air mata buatan diperlukan. Sebuah
steroid topikal seperti prednisolon asetat, digunakan empat kali sehari selama kurang
lebih seminggu, biasanya cukup untuk mengendalikan peradangan dan memfasilitasi re-
epitelisasi. Untuk kenyamanan, agen cycloplegic topikal seperti cyclopentolate 1%
digunakan tiga kali sehari. Pasien difollow up setiap hari sampai permukaan mata seluruh
telah sembuh; mereka harus terus diikuti jangka panjang untuk menilai mata kering dan
masalah lainnya (Hemmati dan Colby, 2017).
Tingkat II sampai IV. Untuk luka bakar lebih parah, kontrol peradangan pada fase akut,
terutama pada minggu pertama setelah cedera. Aplikasi prednisolon asetat 1% secara
topikal dianjurkan selama 7 sampai 10 hari, dan dilanjutkan sampai hari ke 14 untuk
meminimalkan risiko pencairan kornea (Hemmati dan Colby, 2017).
Cycloplegic long-acting seperti scopolamine hidroklorida atau atropin sulfat harus
digunakan untuk kenyamanan, bersama dengan obat nyeri oral. Untuk mencegah
suprainfection dalam kasus-kasus dengan kerugian epitel selesai, topikal antibiotik
spektrum luas (seperti fluorokuinolon) dapat diberikan empat kali sehari. Tetrasiklin oral
(seperti doxycycline) diberikan untuk mengurangi risiko pencairan kornea melalui
penghambatan matriks metalloproteinase. Pada suatu penelitian dengan hewan coba
menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi vitamin C topikal dan / atau oral dapat
mencegah atau menunda ulserasi (Hemmati dan Colby, 2017).
Kortikosteroid topikal umumnya diberikan setelah yang pertama tujuh sampai 10 hari
postinjury, karena setelah periode ini mereka mungkin ujung keseimbangan sintesis
kolagen dan kerusakan kolagen tidak baik. Jika tambahan pengobatan anti-inflamasi yang
dibutuhkan, steroid progestasional topikal seperti medroxyprogesterone 1 persen, yang
membawa risiko jauh lebih rendah merangsang pencairan kornea, dapat digunakan. Jika
dalam waktu 10 hari dari cedera, jika epitel gagal disembuhkan, perawatan bedah dapat
dipertimbangkan (Hemmati dan Colby, 2017).

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology (AAO). 2014. Corneal Erosion. Diakses dari:
American Academy of Ophthalmology. [31 Maret 2017].
2. Riordan-Eva, P., 2010. Anatomi & Embriologi Mata. In: Vaughan, Asbury.
Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
3. Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.
4. Hollwich, F., 1993. Oftalmologi Edisi Kedua. Jakarta: Binarupa Aksara.
5. Arciniega, Diana E . 2016. Recurrent Corneal Erosion. Diakses dari: American Academy
of Ophthalmology. [31 Maret 2017].
6. Verma, Arun. 2016. Recurrent Corneal Erosion Treatment & Management. Diakses dari:
Medscape. [31 Maret 2017].
7. Solano, Joshua. 2015. Ocular Burns. Diakses dari: Medscape. [31 Maret 2017].
8. Hemmati, Houman D. Colby, Kathryn A. 2017. Treating Acute Chemical Injuries of the
Cornea. Diakses dari: American Academy of Ophthalmology. [31 Maret 2017].

You might also like