You are on page 1of 12

LAPORAN REFLEKSI KASUS

UVEITIS ANTERIOR

A. PENGALAMAN

1. IDENTITAS PASIEN:

- Nama pasien : Sdr. Mamat

- Umur : 23 tahun

- Jenis kelamin : Laki - laki

- Pendidikan : SMA

- Pekerjaan : Swasta

- Agama : Islam

- Suku/bangsa : Jawa/Indonesia

- Alamat : Rejosari, Bandongan, Magelang

II.1. ANAMNESIS :

- Keluhan Utama :

Pasien mengeluh mata kirinya terasa pegel pegel terutama saat terkena sinar
matahari.

- Keluhan Tambahan :

Mata kiri merah, terasa perih, berair, terasa mengganjal, kalau malam terasa nyut
nyutan, nyeri tekan (+).

- Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :

sejak 3 hari sebelum datang ke poli mata, pasien merasa terdapat bayangan
hitam, kemudian berkabut dan terasa sakit.

- Riwayat Penyakit Dahulu

1
Pasien sebelumnya pernah mengalami hal serupa kira kira 3 bulan yang lalu dan
itu terjadi pada kedua mata, kemudian mendapat pengobatan dan mata kanan
sembuh, akan tetapi mata kiri belum sembuh.

II.2. KESAN :

- Kesadaran : Compos Mentis

- Keadaan Umum : Baik

- OD : Mata tampak tenang.

- OS : Mata tampak merah dan kamera okuli anterior tampak sedikit keruh, serta
palpebra superior tampak udem.

II.3. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

PEMERIKSAAN OD OS

Visus Jauh 5/5 5/36


Refraksi - -
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visus Dekat Tidak ada addisi Tidak ada addisi
Proyeksi Sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proyeksi Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

II.4. PEMERIKSAAN OBYEKTIF

PEMERIKSAAN OD OS PENILAIAN

1. Sekitar mata N N Kedudukan alis baik,


(supersilia) jaringan parut (-),
simetris

2. Kelopak mata

- Pasangan N Tampak edem Asimetris


- Gerakan N N Gangguan gerak

2
(-), blefarospasme (-)

- Lebar rima 12 mm 10 mm Normal 9-13 mm


- Kulit N Hiperemi (+) OS tampak sedikit
kemerahan

- Tepi kelopak N Tampak edem trikiasis (-)

entropion (-)
ektropion (-)

OS Tanda
peradangan

(+)

- Margo intermarginalis N Tampak edem OS Tanda


peradangan

(+)

3. Apparatus Lakrimalis
Dakrioadenitis (-)
- Sekitar gland. N N
lakrimalis
Dakriosistitis (-)
- Sekitar sakus N N
lakrimalis

- Uji flurosensi - - Tidak Dilakukan

- Uji regurgitasi - - Tidak Dilakukan

4. Bola mata
- Pasangan N N Simetris
- Gerakan N N Tidak ada gangguan
gerak (syaraf dan
otot penggerak bola
mata normal)

- Ukuran Makroftalmos (-) Makroftalmos (-) DBN

Mikroftalmos (-) Mikroftalmos (-)

3
5. TIO N N Palpasi kenyal (tidak
ada peningkatan dan
penurunan TIO)

6. Konjungtiva

- Palpebra superior Hiperemi (-) Hiperemi (+)

OS tampak merah
- Forniks Dalam Dalam

- Palpebra inferior Hiperemi (-) Hiperemi (+)

- Bulbi Hiperemi (-) Hiperemi (+)

7. Sclera N N Sklera ikterik (-)

8. Kornea
- Ukuran 12 mm horizontal 12 mm horizontal N : 12 mm
- Kecembungan Lebih cembung dari Lebih cembung dari DBN
sklera sklera
- Limbus Benjolan (-) Benjolan (-) DBN

Benda asing (-) Benda asing (-)


- Permukaan Licin, Mengkilap Licin, sedikit keruh OS tampak sedikit

- Medium keruh
jernih sedikit keruh

- Dinding Belakang jernih sedikit keruh

- Uji flurosensi Tidak dilakukan Tidak dilakukan


DBN
- Placido Reguler konsentris Reguler konsentris

9. Kamera Okuli anterior


- Ukuran COA dalam COA dalam DBN

- Isi N Sedikit keruh, Fler OS tampak sel


(+), hifema (-), radang
hipopion (-)

4
10. Iris
- Warna Coklat Coklat
- Pasangan Asimetris Asimetris OS mendapat

- Gambaran Gambaran kripti baik Gambaran kripti baik midriatika

- Bentuk Bulat Tidak bulat

11. Pupil
- Ukuran 3 mm 3 mm N : 3-6 mm
- Bentuk Bulat Irreguler
- Tempat Sentral Sentral

- Tepi Reguler Irreguler

- Refleks direct + (positif) Tidak dapat dinilai OS mendapat


midriatika
- Refleks indrect Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

12. Lensa

- Ada/tidak Ada Ada

- Kejernihan jernih jernih

- Letak Di tengah belakang iris Di tengah belakang


iris

- Warna kekeruhan Tidak ada Tidak ada

13.Korpus Vitreum Jernih Jernih

14.Refleks fundus (+) orange (+) orange Refleks fundus


positif

II.5. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

OD OS

5
III. DIAGNOSIS

- OD : Emetrop, sehat

- OS : Uveitis Anterior

IV. TERAPI

- Prednisolone acetate 1% 1 tetes tiap 1-6 jam


- Homatropine 2-5% 3x1 tetes/hari

V. PROGNOSIS

Visum (Visam) : Dubia

Kesembuhan (Sanam) : Dubia

Jiwa (Vitam) : Baik

Kosmetika (Kosmeticam) : Dubia

B. MASALAH YANG DIKAJI

Bagaimana penatalaksanaan pada kasus Uveitis anterior?

C. ANALISIS

1. Tindakan dan edukasi kepada pasien

6
Untuk menjaga hygienesitas mata dan meningkatkan daya tahan tubuh, serta
mengurangi paparan mata dengan sinar Ultraviolet dengan memakai pelindung
seperti kacamata dan topi.

2. Terapi medikamentosa

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu


dengan cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat
dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi
aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya
peradangan yang bukan disebabkan karena infeksi.

- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

- Mengurangi pembentukan jaringan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga
sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal
untuk mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya
komplikasi. Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg
hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu,
kortikosteroid dihentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja
yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol
mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari
sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan
dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 - 5mg)
pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari
dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat.
Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal, kortikosteroid dapat
diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam 8), karena kadar
kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari

7
ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang
seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah
daripada dosis pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya
diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang
seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila
diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya
dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan

- Mengaktifkan proliferasi bakteri

- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

- Menambah kemungkinan infeksi jamur

- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan
pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik
atau uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes.
Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian
bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun
karena persediaan berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan
dahulu botol sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan
hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika


mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian tercapai inisial selam

8
3-4 minggu sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu
mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti
menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi
ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini
tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena
penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan

2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice
untuk uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan
mendepresi migrasi dari leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari
pembuluh darah. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga tidak boleh digunakan pada
pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi
jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa).
Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan
katarak dalam pemakaian jangka panjang.

b. Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi
untuk menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi
kontra. Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi absolut dan
relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada
keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas
biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif
kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.
Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive
purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak,
osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat

9
antilimfosit seperti fenilbutazon, indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan
golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs (NSAIDs) yang lainnya .
c. Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi
pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan
akomodasi. Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek
maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka
akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek
samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.

- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan


midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun
efek ini dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering
digunakan pada uveitis dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate
juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup
dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu
cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).

- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan


midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam
untuk sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent
of choice yang sering digunakan pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja
obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh
digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang
hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif
terhadap steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi
sebelumnya, immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan
terapi pilihan awal pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior),
Wegener granulomatosis, dan skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut
dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam jiwa, dan terdapat bukti

10
medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat meningkalkan kondisi pasien.
Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka panjang
dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-
koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.

Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target
spesifik yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah
dipelajari dan diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease,
persamaan pada patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang
sama untuk penanganan peyakit inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang
digunakan sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering
ditemukan pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis
Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2
contoh daclizumab.

Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui


injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya
manfaat dalam penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk
manajeman refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral
ini memiliki waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali
(multipel). Sehingga resiko terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan
intraokular, serta beresiko untuk terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar
0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam


manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika
menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang
menagalami opasitas untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat
dalam terapi inflamasi dan immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan
struktural yang dapat terjadi pada mata misalnya pembentukan katarak, glaukoma
sekunder, ablasio retina).

11
Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk
minimal jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi
komplit dari sel kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam
preoperative, topical prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam
kondisi sadar) dengan prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami.
Steroid intraokular dan periokular dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung.
Medikasi sistemik dan topikal diberikan dengan dosis diturunkan secara perlahan
tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.

Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-
up yaitu:
- Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan

- Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan
biomikroskopis/slit lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.

- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan


sikloplegik yang dipakai dalam terapi medikamentosa

- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.

DARTAR PUSTAKA

1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14,


Widya Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2009, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Abdullah Al-Fawaz, MD. 2010. Uveitis, Anterior, Granulomatous. Diakses
dari : www.emedicine.com
4. Abdullah Al-Fawaz, MD. 2010. Uveitis, Anterior, Nongranulomatous:
Treatment & Medication. Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1209595-treatment

12

You might also like