You are on page 1of 14

dr. I.B.

Etika Putra
DR. Koosnadi Saputra, dr., SpR.
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Akupunktur
Puslitbang Sisjakkes Depkes RI

Pendahuluan
Permasalahan nyeri selalu menarik untuk dibahas karena nyeri adalah merupakan problema
yang menyangkut seluruh umat manusia, apalagi akupunktur telah menunjukkan
keberhasilannya sejak ribuan tahun lalu untuk mengurangi bahkan membebaskan manusia
dari penderitaan nyeri, bahkan WHO pun telah merekomendasikan nyeri sebagai satu indikasi
untuk terapi akupunktur.
Sebagaimana didefinisikan oleh IASP (International Association for Study of Pain), nyeri
adalah unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue
damage or described in terms of such damage. Nyeri adalah sensasi yang mempunyai posisi
spesial diantara bentuk sensasi yang lain, merupakan satu mekanisme protektif untuk tubuh.
Disamping mempunyai nilai informatif, input dari reseptor nyeri sangat kuat mempengaruhi
status emosional manusia.
Maxilofacial adalah daerah yang penting, baik fungsional maupun kosmetik, dimana masalah
rahang dan wajah sangat menentukan kwalitas hidup, baik kelainan fungsi maupun keluhan
nyeri. Akupunktur sering menjadi pilihan bagi penderita maxilofacial, karena dapat sebagai
komplemen terapi medis yang lain.

Akupunktur dalam penelitian faal tubuh


Banyak studi yang menerangkan mekanisme fungsional akupunktur terutama regulasi fungsi
organ tubuh, cara kerja analgesik, proses imunologik dan fungsi penyembuhan jaringan yang
dicoba diterangkan dengan sistim sarah, sistim nerohumoral, neroendokrin.
Penjelasan diatas dihubungkan dengan saraf perifer, sumsum tulang belakang dan pusat-pusat
diotak.
Tusukan jarum dihubungkan dengan nerotransmiter khususnya opiat endogen yang sangat
populer dari mekanisme faal akupunktur. Han (1997) mengatakan efek rangsang spesifik titik
akupuktur yang tidak melalui struktur syaraf, kemungkinan berasal dari transmiter humoral
yang belum dapat diterangkan dengan jelas, tetapi reaksi morfofungsional organ atau jaringan
yang dapat mensekresi zat nerokimia dalam akupunktur dapat dibuktikan dengan berbagai
cara, baik pada hewan coba maupun relawan.
Secara umum, meskipun diketahui bahwa beberapa titik akupunktur dapat meningkatkan
kadar endorfin dalam darah maupun sistemik, tetapi mempunyai daerah tangkapnya berbeda,
antara lain :
1. Titik usus besar no.4 untuk daerah kepala atau leher
2. Titik perikardium no.6 untuk daerah dada
3. Titik lambung no.6 untuk daerah atas abdomen
4. Titik limpa no.6 untuk daerah pelvis

Dengan demikian penggunaan titik akupunkturpun berbeda sesuai dengan kebutuhan daerah
organ sasaran yang dituju, modulasi rangsangan titik akupunktur juga menentukan reaksi faal
dari organ sasaran (Han & Terenius, 1982)

Hantaran rangsang dari titik akupunktur


Nakatani, 1950 dalam Jing Yu, et al (1990) menamakan titik akupunktur sebagai Low
resistance point dan jalur meridian sebagai Low resistance line dengan pengukuran
hambatan kulit dibanding jaringan sekitarnya. Penelitian titik dan meridian akupunktur juga
dilakukan dengan teknologi kedokteran nuklir melalui penyuntikan isotop teknesium
perteknetat pada titik akupunktur dilanjutkan dengan pelacakan dibawah kamera gamma
(Saputra 1991, Vernejoul 1991)
Saputra 1999, membuktikan keberadaan titik akupunktur adalah daerah aktif listrik pada
permukaan tubuh sebagai model pace maker jaringan yang mempunyai aktifitas spesifik
sebagai model hantaran rangsang yang tidak selalu melalui model anatomis yang sudah
diketahui.

Akupunktur untuk anti inflamasi


Akupunktur yang mempunyai dasar filosofi Yin Yang dapat diartikan sebagai homeostasis
dalam kedokteran konvensional, dimana keseimbangan tersebut dapat melawan serangan
penyakit dari luar melalui regulasi bioenergi, menurut Bossy & Kahan dari Texas Medical
School, konsep Yin Yang diatas merupakan regulasi dari sistim imun. Menurut Nagano &
Bossy, dari semua sistim yang relatif paling berhubungan dengan akupunktur adalah
peningkatan opioid peptida.

Mekanisme penghambatan nyeri dan analgesia


Analgesia dapat dicapai dari berbagai jalan :
Di level medulla spinalis dimediasi oleh aktivasi oleh serabut naik kaliber besar (A dan A).
Rangsangan pada reseptor non noxious melalui serabut A dapat menghambat transmisi
signal nociceptive di cornu posterior. Hal tersebut merupakan dasar dari teori gerbang (gate
theory) dan Melzack dan Wall. Input ke cornu posterior juga berasal dari serabut descenderen
yang berasal dari supraspinal, melalui aktivasi interneuron yang menghambat (inhibitory
interneuron), terjadi di lamina II IV berasal dari
Periaquaductal grey (PAG) bersifat endorphinergic
Nucleus raphe magnus (NRM) bersifat serotonergic
Nucleus reticularis paragigantocellularis (NRPG) bersifat noradrenergic
Locus coeruleus (LC) bersifat noradrenergic
Semuanya akan merangsang/mengaktivasi interneuron melalui pelepasan enkephalin di
lamina II IV dimana berakhir di ujung-ujung syaraf C yang membawa rangsang nyeri
lambat.

A. TRIGEMINAL NEURALGIA
Trigeminal sensory system
Adalah digambarkan dalam bagian skematik seperti dibawah ini :

Masalah trigeminal neuralgia (Hopwood, 1997)


Terutama nyeri yang sangat mengganggu kwalitas hidup menimbulkan rasa ketakutan, marah
sekaligus putus asa dengan serangan yang sering mendadak timbul pada waktu aktif maupun
istirahat. Penyebab trigeminal neuralgia juga sering idiopatik, meskipun juga merupakan
simptom dari lesi sentral maupun tekanan dari ganglion N trigeminus. Oleh karena itu tujuan
dari terapi akupunktur adalah :
a. mengurangi sampai menghilangkan nyeri
b. menghilangkan spasme otot wajah
c. mengurangi kecemasan untuk mengembalikan keseimbangan hidup

Titik akupunktur yang dipakai untuk terapi trigeminal neuralgia


a. titik analgesia untuk daerah kepala dan leher, yaitu titik LI 4 yang terletak pada otot dorsal
manus inter ori I

b. titik paru pada telinga sebagai titik analgesia dan mempunyai akses langsung pembentukan
opiat endogen
c. titik lokal pada wajah dan daerah sensoris N trigeminus, yaitu :
daerah mandibula : ST 4, ST 5, ST 6
daerah pelipis : ST 8

Pola rangsangan pada titik akupunktur (Zaofa dkk, 1994)


a. titik Li.4 diberikan dengan frekwensi rendah dan intensitas tinggi (100Hz).
Tujuan rangsangan tersebut adalah :
Li.4 menimbulkan peningkatan sekresi opiat endogen ( endorphin) yang akan
mempengaruhi nucleus trigeminus pada mesensefalon.
Titik lokal wajah akan menghilangkan spasme otot dan blokade nyeri pada modalitas saraf
tepi setelah ganglion semi lunar untuk peningkatan met enkephalin dan serotonin.
Peningkatan opiat endogen juga merangsang imun respon pembentukan interleukin,
substansi P, dan pengingkatan peranan kelenjar pituitary juga hypothalamus anterior yang
memproduksi Corticotrophin Releasing Factor

Modalitas Laser pada Trigeminal Neuralgia


Laser untuk tujuan Biostimulasi secara umum mempengaruhi mediator biokimiawi antara
lain cytokines, histamine, bradykinin dan sistim komplemen, serotonin, dan prostaglandin
yang merangsang proliferasi sel dan Matrix Remodelling. Banyak penelitian pada hewan
coba dari laser untuk tujuan foto biomodulasi antara lain; rat, mouse, guinea pig, rabbit,
dengan hasil yang dilaporkan tentang elektrofisiologi pada jaringan setelah pemberian
penyinaran laser.
Penggunaan sinar laser lunak pada akupunkur pada awalnya dipikirkan untuk mengganti
jarum pada terapi akupunktur terutama untuk menghilangkan rasa nyeri otot oleh Dr.
Friederich Plong dari Canada tahun 1970 tanpa diketahui dasar penggunaan laser itu pada
akupunktur dan terus dikembangkan oleh Kroetlinger tahun 1980, juga pakar dari China,
Jepang, dan Eropa ; antara lain Wei 1981, Wu 1983, Qin 1987, Oshiro dan Calderhead 1988,
Shiroto et al 1989 dan Baxter 1989, dan mulai dapat diterangkan dasar penggunaan laser
lunak pada bio stimulasi akupunktur, tetapi yang terlihat sampai saat ini terutama hasil
empirik setelah perangsangan sinar laser. Sedangkan yang terjadi pada titiknya sendiri belum
dapat dijelaskan dengan tuntas. Sejak tahun 1991, Baxter mulai melakukan penelitian
penyembuhan luka dengan penyinaran laser dengan hasil 62 % baik. Sebelumnya, yaitu tahun
1982 mulai dilakukan penelitian laser untuk tujuan anesthesia lokal dan disimpulkan adanya
efek neurofarmakologi dan
neurofisiologi nyeri setelah pemberian laser.
Laser yang dipakai adalah jenis lunak (600 1300 nm). Setiap titik terapi 2 3 Joule/cm2
dilakukan 12 15 kali tergantung dari beratnya keluhan

Titik akupunktur untuk pengobatan Trigeminal Neuralgia dengan Laser

Modalitas stimulasi elektrik pada trigeminal neuralgia


Pada titik akupunktur yang mempunyai :
Titik tangkap analgesia daerah leher dan kepala, yaitu LI.4 diberikan rangsangan listrik.
Gelombang listrik kontinyu, frekwensi rendah (< 10 Hz) dan intensitas rendah selama 10 15
menit
Titik tangkap lokal daerah wajah diberikan rangsangan listrik. Gelombang listrik kontinyu,
frekwensi tinggi dan intensitas rendah selama 10 15 menit.

Frekwensi terapi
Apabila parah, 2 x setiap hari selama 10 hari, sedangkan apabila ringan setiap hari selama 1
bulan

B. TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISORDER


Temporomandibular joint (TMJ) atau sendi rahang adalah satu-satunya sendi bergerak yang
terdapat di daerah wajah. Sendi ini sering mengalami kelainan yang berkaitan dengan otot-
otot daerah leher dan bahu. Karena itu, kelainan pada TMJ harus selalu dipikirkan dalam
menghadapi kasus kelainan muskuloskeletal daerah leher, dan sebaliknya.

Anatomi dan Fisiologi TMJ


TMJ adalah sendi dengan tipe ball and socket (bola dan mangkok) yang menghubungkan
mandibula di bagian bawah dengan os temporalis di bagian atas. Mandibula memiliki ujung
yang bentuknya membulat (condylus mandibula) yang berperan sebagai bola dan bergerak
di dalam mangkok fossa temporalis. Di antara condylus mandibula dan fossa temporalis
terdapat suatu piringan (meniskus) dari jaringan fibrous yang berfungsi sebagai pelumas pada
pergerakan rahang sekaligus sebagai peredam guncangan.
Dalam menjalankan fungsinya TMJ berkaitan erat dengan otot-otot pengunyah di sekitarnya.
Otot-otot yang berperanan dalam pergerakan rahang ke atas-bawah, depan-belakang, dan
menyamping adalah m. masseter dan m. temporalis. Untuk melakukan gerakan mengunyah,
menguap, berbicara, dan gerakan-gerakan rahang yang lain diperlukan adanya koordinasi
yang baik antara TMJ dan otot-otot pengunyah di sekitarnya.

Definisi
Temporomandibular joint disorder (TMD) adalah kelainan pada TMJ yang ditandai dengan
nyeri tajam ataupun tumpul di daerah TMJ yang juga dapat menjalar ke sekitarnya,
keterbatasan atau gangguan pergerakan rahang, dan terkadang diikuti timbulnya suara
tambahan pada pergerakan rahang. Gejala-gejala tersebut menimbulkan gangguan dalam
proses mengunyah, menelan, menguap, maupun berbicara.

Etiologi
Adapun hal-hal yang dapat menimbulkan TMD adalah sebagai berikut:
Riwayat memiliki kebiasaan mengerot (bruxism)
Susunan gigi geligi yang tidak teratur
Pemasangan gigi palsu yang tidak tepat
Trauma, baik yang berat maupun yang lebih ringan (misalnya trauma yang terjadi pada saat
makan atau mengunyah, menguap)
Stres psikologis

Patofisiologi
Masalah yang terjadi pada TMD dapat meliputi otot, sendi, ataupun keduanya. Sedangkan
syaraf yang terlibat dalam patofisiologi TMD adalah N. Trigeminus (N V). Hal ini
menjelaskan mengapa nyeri yang timbul pada TMD dapat dirasakan di luar area TMJ (dapat
berupa sakit kepala, nyeri di daerah mata, rasa tertekan di sinus, nyeri di telinga ataupun di
gigi), sesuai dengan persyarafan N. V. Masing-masing cabang dari N. V terdiri atas dua jenis
serabut, yaitu serabut bermyelin dan serabut tak bermyelin. Serabut bermyielin
menghantarkan rangsangan nyeri dengan lebih cepat dan menimbulkan sensasi nyeri tajam.
Sedangkan serabut tak bermyelin yang berukuran lebih kecil lebih peka terhadap sensasi
nyeri tumpul kronik dan tekanan. Hal ini menjelaskan mengapa pada TMD dapat timbul
jenis nyeri yang berbeda pada kasus yang berbeda.

Kelainan Otot pada TMD


Kelainan otot dan jaringan konektif adalah penyebab TMD yang paling umum. Kelainan otot
yang dimaksud adalah kekakuan atau spastisitas dari otot-otot pengunyah (m. Masseter dan
m. Temporalis). Spastisitas akan menyebabkan gangguan aliran darah pada otot yang
bersangkutan, yang kemudian menimbulkan iskemia dan kerusakan jaringan disertai nyeri.
Nyeri itu sendiri akan menimbulkan spasme otot lebih jauh. Akhirnya akan terjadi siklus
spasme nyeri spasme yang berujung pada terjadinya TMD.
Spastisitas otot-otot pengunyah, seringkali disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari yang salah,
seperti menggertakkan gigi maupun mengerot. Menggertakkan gigi yang dimaksud adalah
kebiasaan menggigit atau mengunyah sesuatu secara terus menerus, seperti es, permen karet,
pensil, kuku-kuku jari tangan, saat seseorang dalam keadaan. Kebiasaan ini umumnya dipicu
oleh suatu stres emosional. Sedangkan mengerot (bruxism) adalah kebiasaan mengkertakkan
gigi saat dalam keadaan tidur (tidak sadar). Kedua kebiasaan tersebut menimbulkan kelelahan
pada otot-otot pengunyah yang selanjutnya akan mengalami spasme. Adanya masalah atau
kelainan pada susunan gigi geligi dan oklusi terkadang juga dapat menimbulkan ketegangan
pada otot-otot pengunyah dan memicu siklus spasme nyeri spasme.
Dalam banyak kasus, ketegangan otot secara primer terletak di daerah leher dan bahu, yang
kemudian menimbulkan nyeri pada TMJ. Dikatakan bahwa 75% dari nyeri di daerah mulut
dan wajah adalah nyeri alih (reffered pain) dari trigger points yang terletak pada otot-otot
daerah bahu dan leher. (16) Karena itu, untuk setiap kelainan TMD dengan spastisitas otot,
harus ditanyakan dan dilakukan pemeriksaan untuk mencari nyeri dan spastisitas otot-otot
daerah leher dan bahu.
Sistem stomatognathic adalah adalah suatu unit fungsional dari tubuh yang terdiri dari
beberapa jaringan dengan asal dan struktur yang berbeda-beda, namun bekerja dalam suatu
kesesuaian untuk melaksanakan tugas fungsional masing-masing. Komponen utama dalam
sistem tersebut adalah TMJ yang berhubungan dengan dengan otot dan ligamen di daerah
leher. Struktur lain yang terlibat antara lain komponen rangka (maxilla dan mandibula),
lengkung gigi, jaringan lunak (kelenjar liur, syaraf dan pembuluh darah). Semua struktur ini
saling bekerja sama untuk mencapai efisiensi yang maksimal dengan tetap memberikan
perlindungan untuk semua struktur yang terlibat.
Peningkatan aktivitas pada otot-otot pengunyah akan mempengaruhi otot-otot yang
berperanan dalam counter support (m. Sternocleidomastoideus dan m. Trapezius), yang
berakibat memendeknya otot-otot leher bagian posterior dan memanjangnya otot-otot bagian
bagian, disertai kecondongan badan ke anterior. Posisi kepala yang condong ke anterior
selanjutnya akan menyebabkan kelainan posisi dan fungsi dari mandibula sehingga terjadi
peningkatan ketegangan otot-otot pengunyah dan berujung pada terjadinya TMD.
Kelainan Sendi pada TMD
Kelainan yang dapat terjadi pada TMJ sama dengan kelainan yang umum terjadi pada sendi
tubuh, yaitu penggunaan sendi sacara berlebihan (overuse), arthritis, dislokasi, dan kelainan
perkembangan. (4) Masalah utama yang timbul pada kasus TMD adalah terjadinya
pergesaran cakram (meniscus) tulang rawan yang berperanan sebagai peredam guncangan di
dalam sendi ball and socket. Cakram ini juga bisa mengalami kompresi pada kasus dimana
terdapat kebiasaan mengerot (bruxism) atau menggertakkan gigi.
Dalam kasus-kasus yang pecah, cakram sendi dapat bergeser sepenuhnya, yang akhirnya
menyebabkan pecahnya cakram, sehingga tulang-tulang pembentuk sendi (mandibula dan
fossa temporalis) bergesakan secara langsung tanpa bantalan. Hal ini dapat disebabkan tidak
hanya oleh bruxism, melainkan juiga dapat disebabkan oleh trauma pada rahang. Dapat
timbul suara popping yang disebabkan oleh condilus mandibula di bawah cakram yang
bergeser dari tempatnya. Namun, adanya suara tambahan (popping atau clicking) saja belum
tentu menunjukkan adanya suatu kelainan.

Manifestasi Klinis
Pasien dengan TMD pada umumnya datang dengan tiga keluhan utama, yaitu nyeri,
gangguan pergerakan rahang, atau timbulnya suara tambahan pada pergerakan rahang. Nyeri
yang timbul seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat bersifat tumpul ataupun tajam. Nyeri
timbul pada pergerakan rahang, misalnya mengunyah, menguap, dan berbicara. Nyeri
dirasakan di area lokal TMJ, preauricular, pelipis, atau telinga. Nyeri juga dapat menjalar ke
telinga, wajah, mata, kepala, leher, atau bahu.
Selain nyeri, pasien umumnya mengeluhkan adanya gangguan pada pergerakan rahang.
Rahang terkadang tiba-tiba macet saat membuka atau menutup mulut, atau pada saat
mengunyah. Pasien harus menggoyang-goyangkan rahangnya beberapa saat untuk
menghilangkan sensasi macet tersebut. Pasien juga dapat mengalami kesulitan untuk
membuka mulutnya lebar-lebar. Akibat gangguan pergerakan rahang tersebut, pasien sering
kali harus memotong makanannya kecil-kecil atau mengganti jenis makanan tertentu dengan
jenis makanan yang lebih lunak.
Adanya suara tambahan (popping, clicking) pada pergerakan rahang terkadang juga
dikeluhkan oleh pasien. Suara tambahan tersebut menunjukkan bahwa kelainan terletak pada
bagian persendian dari TMJ.
Anamnesa
Selain ketiga keluhan di atas, pasien harus ditanya mengenai adanya riwayat traumapada
daerah rahang (terkena pukulan atau kecelakan saat mengendarai sepeda motor). Demikian
pula harus dicari kemungkinan adanya faktor-faktor psikologis dan psikososial sebagai
pencetus stres, yang berperan besar dalam menimbulkan gangguan otot pada TMD.
Selanjutnya harus ditanyakan mengenai keadaan sendi-sendi lain di luar TMJ, untuk mencari
kemungkinan adanya osteoarthritis atau rheumatoid arthritis sebagai pencetus keluhan pada
TMJ.

Pemeriksaan Fisik
Mula-mula harus dilakukan inspeksi secara umum untuk melihat keadaan gigi pasien
(susunan gigi, oklusi, pola menggigit yang abormal), TMJ, serta otot-otot daerah wajah dan
kepala, apakah didapatkan deformitas ataupun kekakuan otot. Selanjutnya harus diamati pola
gerakan membuka dan menutup rahang, apakah didapatkan deviasi atau deformitas.
Selanjutnya palpasi dilakukan di daerah preauricular, daerah m. Masseter dan m.Temporalis.
Sambil melakukan palpasi, pemeriksa meminta pasien untuk membuka dan menutup mulut
beberapa kali. Dengan demikian akan dapat diketahui ada tidaknya suara tambahan pada
pergerakan TMJ, sambil secara bersamaan dilakukan penekanan untuk memastikan apakah
suara tambahan yang muncul diikuti dengan nyeri atau tidak. Pasien diminta untuk membuka
mulut selebar mungkin untuk diamati jarak antara gigi rahang atas dan rahang bawah. Bila
berjarak kurang dari 4 cm, dikatakan terjadi keterbatasan gerak membuka mulut. Palpasi juga
bertujuan untuk menilai ada tidaknya ketegangan otot ataupun deformitas pada TMJ dan
sekitarnya.
Apabila pada palpasi saat membuka dan menutup mulut tidak didapatkan suara tambahan,
dapat dilakukan auskultasi dengan bantuan stetoskop pada area TMJ. Dengan menggunakan
stetoskop diharapkan adanya suara tambahan yang minimal sudah dapat diketahui sejak awal.

Pemeriksaan Tambahan
Sebagai pemeriksaan tembahan, dapat dilakukan panoramic dental X-rays untuk memeriksa
keadaan dan susunan gigi. Untuk susunan tulang dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan,
sementara MRI lebih sesuai untuk menilai keadaan jaringan lunak dari TMJ, seperti piringan
sendi atau ligamennya.

Nyeri Temporomandibular dengan TMJ


Terapi
Terapi TMD Secara Konvensional
Banyak faktor yang terlibat dalam proses terjadinya TMD, sehingga terapi untuk TMD juga
meliputi banyak modalitas, yaitu:
1. Perubahan gaya hidup. Penderita TMD perlu mengistirahatkan rahang dengan memilih
jenis makanan yang lebih lunak dan menggigitnya dalam ukuran yang lebih kecil. Pasien juga
perlu diberi pengertian untuk berusaha menghentikan kebiasaan menggertakkan gigi,
mengerot, ataupun mengunyah permen karet.
2. Medikamentosa. Untuk terapi TMD dapat digunakan obat-obatan yang umum digunakan
untuk nyeri sendi pada umumnya, antara lain NSAID, acetaminophen, muscle relaxants, dan
mungkin dapat ditambahkan obat-obatan anti depressants dosis rendah bila gejala psikologis.
3. Terapi fisik. Pemijatan dan latihan untuk pelemasan otot (stretching), penggunaan TENS
(Trans-cutaneous Electrical Nerve Stimulation). Dapat pula dilakukan kompres panas-dingin
bergantian untuk membantu mengurangi ketegangan otot dan dengan demikian mengurangi
nyeri.
4. Psikoterapi. Karena stres psikologis merupakan salah satu penyebab yang berperan besar
dalam proses terjadinyaTMD, maka psikoterapi harus dilaksanakan oleh pasien dengan
dugaan masalah psikologis sebagai penyebabnya.
5. Perawatan gigi. Penggunaan night guard (umumnya pada malam hari), dapat bermanfaat
untuk membuat otot-otot pengunyah relaks, sekaligus untuk mencegah pasien menggerakkan
gigi atau mengerot. Namun penggunaan night guard ini sebaiknya dikonsultasikan terlebih
dahulu pada dokter gigi yang berkompeten. Terkadang juga dibutuhkan koreksi susunan gigi
atau ataupun oklusi oleh orthodontist.
6. Operasi. Upaya koreksi dengan operasi adalah upaya terakhir yang dilakukan bila
modalitas terapi yang mlain gagal dan nyeri masih menetap.

TMD dalam Ilmu Akupunktur


Berdasarkan ilmu akupunktur, gangguan pada sendi rahang (TMD) berhubungan erat dengan
serangan faktor patogen angin dingin. Dingin, cenderung menyebabkan koagulasi dan
kontraksi dari otot-otot, tendon, dan pembuluh darah, sehingga menimbulkan spasme dari
otot-otot rahang.
Trauma dan regangan yang berlebihan pada sendi rahang (misalnya membuka mulut terlalu
lebar) juga merupakan salah satu faktor resiko. Faktor trauma ini dapat menimbulkan nyeri
pada rahang dan keterbatasan gerakan mulut.
Berdasarkan patofisiologinya, dalam ilmu akupunktur kelainan sendi rahang dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe serangan angin dingin
Onset terjadi perlahan-lahan, tidak mendadak, dan bertambah parah secara bertahap. Kondisi
ini dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Angin dan dingin adalah faktor patogen yang
menyebabkan koagulasi dan kontraksi dari meridian di daerah wajah dan otot-otot rahang.
Umumnya disebabkan oleh paparan angin dingin selama pasien tidur.
Gejala yang menyertai adalah spasme kronis dari otot-otot rahang, rasa nyeri seperti teregang,
kelemahan, kekakuan, adanya suara tambahan pada pergerakan sendi rahang, keterbatasan
pada pergerakan mulut ataupun abnormalitas pergerakan rahang bawah.
Pada pasien yang mengalami kondisi ini dalam waktu lama, dapat terjadi komplikasi seperti
berkunang-kunang, tinitus, kelemahan secara umum, wajah pucat, dan kelelahan. Gejala-
gejala tersebut umumnya disebabkan karena kesulitan menelan dalam waktu lama,
berkurangnya intake makanan, dan kondisi badan yang semakin melemah. Gejala lain yang
dapat dijumpai adalah selaput lidah putih tipis dan nadi yang lemah (membenang).

2. Tipe traumatik
Kondisi ini umumnya terjadi unilateral. Trauma menyebabkan pembengkakan ataupun nyeri
pada wajah di sekitar TMJ. Dengan detumescence yang bertahap, penderita akan mengalami
nyeri ataupun keterbatasan gerak pada sisi yang terkena saat mengunyah ataupun membuka
mulut. Beberapa orang pasien mengalami sakit kepala dan gangguan pendengaran. Dari
pemeriksaan didapatkan selaput lidah kuning tipis dan nadi yang dalam.
Sisi dagu yang terkena umumnya diposisikan sedikit legerakan rahang.bih tinggi
dibandingkan sisi yang normal. Selain itu juga didapatkan nyeriyang hebat di area sekitar
TMJ, keterbatasan pergerakan mulut, dan suara tambahan pada pergerakan rahang.

Terapi Akupunktur untuk TMD


Akupunktur adalah salah satu alternatif yang terapi untuk TMD yang memberikan hasil yang
memuaskan. Terapi akupunktur dilakukan berdasarkan patofisiologi yang terjadi, yaitu:

Tipe serangan angin dingin


Prinsip terapi mengusir dingin dan mengaktifkan meridian untuk menghilangkan nyeri.
Pemilihan titik : ST 7 (xiaguan), LI 4 (hegu), EX-HN 5 (taiyang), GB 20 (fengchi).
Penusukan dapat dilakukan unilateral maupun bilateral, dengan manipulasi sedasi
Tipe traumatik
Prinsip terapi menghilangkan stasis untuk mengaktifkan meridian, mengaktifkan aliran darah
untuk menghilangkan nyeri. Pemilihan titik : ST 7 (xia guan), LI 4 (he gu), EX-HN 5 (tai
yang). Penusukan dilakukan unilateral pada sisi yang terkena dengan metode manipulasi
sedasi. Skedul terapi setiap hari selama 10 x dan dapat diulang setelah evaluasi 3 hari.
Tambahan rangsangan LASER lunak pada TMJ dengan dosis 2 Joule setiap penderita datang
dan sangat meningkatkan kwalitas terapi.

Kesimpulan
Akupunktur dapat memberikan alternatif pengobatan pada Trigeminal Neuralgia dan
Temporomandibular joint disorder (TMD)
Modalitas elektrik dan Laser dapat meningkatkan kwalitas terapi akupunktur pada
Trigeminal Neuralgia

Daftar Pustaka
Baxter GD. Therapeutic Laser. Theory and Practice. Churchill Livingstone. 1994
Beiser A. Concept of Modern Physics. McGraw Hill Inc. 1981
Chen Moxun, et al. Atlas of cross sectional anatomy of human 14 meridians and acupoints.
science press, Beijing New York, 1998
Chester AN, Martellucci S, Scheggi AM. Laser System for Photobiology and Photomedicine.
Nato ASI Series. Plenum Press, New York London, 1991
Cho,Z.H., etal, Neuro Acupuncture, vol 1 : Neuroscience Basics, Q-puncture Inc, Los
Angeles, 2001.
David F Mayor. Electroacupuncture. A practical manual and resourse. Churchill Livingstone
Elsevier, 2007
Farber SD. Neurorehabilitation. A multisensory approach. WB.Saunders Co, 1982 : 65
Ganglin Yin, Di Fu. Three Needle Technique, Atlantic Institute of Oriental Medicine. 2002
Gellman H. Acupuncture Treatment for Musculosceletal Pain: Taylor & Francis Publ. Office
USA, 2002.
Han JS. The Neurochemical Basis of Pain Relief by Acupuncture. A Collection of Paper
1973-1987, Beijing Medicine University 1990.
Hopwood V, Lovesey M, Mokone S. Acupuncture and related technique in physical therapy.
Churchill Livingstone, 1997 : 191
Hou LD. Muscle Injuries and Pain Involving Back and Limbs. Clinical and experimental
studies on acupuncture treatment of muscle injuries: TCM Press CA 91744, USA, 2000.
Jie Lu Shao. Acupuncture for Musculoskeletal Injury, Peoples Medical Publsihing House,
Beijing-London-New york. 2008
Jin GY, et al. Contemporary Medical Acupuncture. A system Approach. Higher Education
Press, 2006.
Kittelberger,K.P., Borsook,D., Neural Basis of Pain in Borsook,D., etal, The Massachusetts
General Hospital Handbook of Pain Management, Little, Brown and Company, Boston, 1995
Lu Shaojie. Handbook of Acupuncture in the treatment of Nervous System Disorders. Donica
Publ. 2002
Myers TW. Anatomy Trains. Myofascial Meridian for Manual and Movement Therapists.
Churchill Livingstone, 2001.
Naeser MA, Wei XB. Laser acupuncture. An introductory textbook for treatment of pain,
paralysis, spasticity and other disorders. Boston Chinese Med., 1994 : 72
Naeser MA, Wei XB. Short Synopsis : Efficacy of Low Energy Laser in the Stimulation of
Hair Growth in Alopecia Areata ang Alopecia Totalis in Adults and Children. Naeser Lecture
Notes.
Saputra K. Acupuncture Technique Treating Trigger Point. Konas Indonesian Pain Society
25-27 April 2002.
Saputra K. Acupuncture. Bioenergetic and Homeostasis Network, LP3A 2003.
Saputra K. Akupunktur analgesia. Meridian Vol. IV/3. DPD PAKSI Jatim, 1997 : 142 151
Saputra K. Laser untuk biostimulasi pada akupunktur. Meridian Vol. IV/1. DPD PAKSI
Jatim, 1997 : 48-50
Saputra, Koosnadi, dkk., Akupunktur untuk cedera otot dalam buku Akupunktur Olahraga,
LP3A-AAS-Hidami, Surabaya. 2008.
Schneideman I. Medical acupuncture, Acupuncture in the inner ealer. Everbest Printing Co
Ltd, Hongkong 1988
Sherwood,L; Human Physiology From Cell to System, Chapter 4 Neuronal Physiology
Chapter 5 The Central Nervous System, Chapter 6 the Peripheral Nervous System : Afferent
Division, Thomson, Brooks/Cole, Australia, 2004.
Sidharta Priguna, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam praktek umum. PT. Dian Rakyat,
Jakarta. 1983.
Starmard,C.F., Booth,S., Churchills Pocketbook of Pain, Chapter 1 Anatomy and Physiology
of Pain, Churchill Livingstone, Edinburgh, 1998.
Starwynn D. 2004. Microcurrent Electro-Acupuncture. Bio-electric Principles, Evaluation
and Treatment. Desert Heart Press, Phoenix, Arizona.
Stone, R. A Course in Manipulative Therapy with Principles and Illustrations of the New
Energy Concept of the Healing Art.
Tao Ma Y, Mila Ma, Zang Hee Ch. Biomedical Acupuncture for Pain Management. An
integrative approach. Elsevier Churchill Livingstone, 2005
. WHO International Standard Terminologies on Traditional Medicine in the Western Pacific
Region. World Health Organization Western Pacific Region, WHO 2007
. WHO Standard Acupuncture Point Locations in the Western Pacific Region. World Health
Organization Western Pacific Region, WHO 2008
Wright,A., Neurophysiology of pain and pain modulation, in Strong,J., etal, Pain : a Textbook
for Therapists, Churchill Livingstone, Edinburgh, 2004.
Zaofa Z, Ding Z, Xiping J. Fundamental and clinical practice of electroacupuncture. Beijin
Science & Tech. Press, 1994 : 175

You might also like