Professional Documents
Culture Documents
Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik baik topikal maupun oral
merupakan obat yang sering diresepkan oleh ahli dermatologi untuk menangani
penyakin infeksi kulit dan dermatosis inflamasi. Data peresepan sejak 1999
sampai 2003 menunjukkan bahwa dermatolog meresepkan sekitar 9 juta
antibiotik oral, dengan 65% diantaranya golongan tetrasiklin, dan sebanyak 10%
sefalosporin. Pemberian antibiotik sistemik harus dipertimbangkan dengan sangat
hati-hati oleh karrena prevalensi dan penyebaran bakteri multiresisten terhadap
obat masih terus meningkat. Data menunjukkan bahwa 68-70% kasus infeksi kulit
di Amerika Serikat diakibatkan oleh S. Aureus resisten metisilin (MRSA).
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diperkirakan
sekitar 94.360 kasus infeksi MRSA, dimana MRSA juga terkait dengan 18.650
kematian.
Terdapat berbagai jenis klasifikasi antibiotik, beberapa diantaranya yaitu
berdasarkan sifat toksisitas, spektrum kerja dan mekanisme kerjanya. Berdasarkan
sifat toksisitas antibiotik terbagi menjadi bakterosidal dimana antibiotik bersifat
membunuh mikroba, dan bakteriostatik dimana antibiotik hanya menekan proses
perbanyakan diri mikroba. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik dibagi ke
dalam kelompok spektrum sempit dan spektrum luas. Berdasarkan mekanisme
kerjanya antibiotik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu yang mengganggu
metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid (PABA) antagonis,
menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu permeabilitas membrane
sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba, yang menghambat sintesis
atau merusak asam nukleat sel mikroba. Beberapa contoh yaitu penisilin dan
sefalosporin bekerja pada dinding sel bakteri, sulfonamida dan trimetroprim
menghambat sistesis asam nukleat, kuinolon bekerja pada enzim DNA gyrase,
metronidazol memecah rantai DNA bakteri, serta aminoglikosida, tetrasiklin,
klindamisin dan makrolida menyerang subunit ribosom yang berbeda-beda pada
bakteri.
1
Setiap golongan antibiotik memiliki karakteristik baik mekanisme kerja,
farmakokinetik, spektrum kerja (indikasi), interaksi dengan obat lain, dosis dan
efek samping yang berbeda-beda,. Pemahaman yang baik mengenai karakteristik
setiap antibiotik sangat penting dalam penentuan jenis antibiotik yang akan
diberikan dalam menangani kasus-kasus infeksi agar antibiotik yang diberikan
tepat dan bekerja optimal, tanpa mempengaruhi terapi lainnya serta meminimalisir
efek samping terapi.
2
PEMBAHASAN
I. Definisi
Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik merupakan zat yang
dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau
dapat membasmi mikroba jenis lain.
Bakteriostatik Bakterisidal
Kloramfenikol Aminoglikosida
Klindamisin Basitrasin
Eritromisin Karbapenem
Sulfonamida Monobaktam
Tetrasiklin Penisilin
Trimetoprim Polymyxin B
Kuinolon
Vankomisin
3
negatif dan Gram-positif. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi
dalam lima kelompok, yaitu:
1. mengganggu metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid (PABA)
antagonis,
2. menghambat sintesis dinding sel mikroba,
3. mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba,
4. menghambat sintesis protein sel mikroba, dan
5. menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
4
Gambar 1. Ilustrasi gambar sel bakteri dan tempat mekanisme kerja
antibiotik.
5
1) Sifilis.
2) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus sp. (erysipelas,
demam scarlet, impetigo, dll).
3) Antraks (bila sensitif).
4) Aktinomikosis.
5) Gigitan serangga yang terinfeksi.
d.
Sediaan dan Dosis
Tabel 3. Sediaan dan dosis antibiotik penisilin
6
f.
Efek Samping
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada
kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, Sindroma Steven
Johnson (SSJ), vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi
anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis pseudomembranosa.
3) Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada dosis tinggi),
infiltrat eosinofil pulmonal, serta reaksi hematologis dimediasi
imun jarang terjadi.
2. Sefalosporin
a.
Mekanisme Kerja
Merupakan golongan -laktam dengan mekanisme kerja yang sama
dengan penisilin. Baik sefalosporin maupun penislin memiliki struktur
dasar yang unik yang disebut cincin -laktam, yang menjadi dasar
mekanisme kerja kedua antibiotik. Cincin -laktam pada keduanya
berikatan pada tiazolidin dan membentuk asam nukleat 6-amino-
penisilanat (rantai samping R1). Sefalosporin berbeda dari penisilin
secara struktur dimana cincin -laktam juga terikat pada cincin
dihidrotiazin (rantai samping R2).
7
Streptococcus sp yang sensitif-metisilin, serta aktivitas yang sangat
terbatas melawan bakteri gram negatif. Generasi kedua antara lain
sefprozil, sefaklor, sefuroksim asetil, dan agen parenteral sefotetan,
sefoksitin, sefuroksim, dapat digunakan lebih luas pada bakteri gram
negatif dibanding generasi pertama, secara spesifik melawan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Generasi ketiga
termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral sefotksim,
seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif melawan bakteri
gram negatif dengan spektrum yang luas. Sefalosporin generasi ketiga
sangat efektif untuk infeksi nosokomial bakteri gram negatif. Satu-
satunya generasi keempat yang tersedia di Amerika adalah sefepim,
obat parenteral dengan aktivitas yang baik terhadap baik gram positif
maupun gram negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa.
b.
Farmakokinetik
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2
berdasarkan rute pemberian. Sefaleksin, sefadroksil, sefaklor,
sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat diberikan per
oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya
diberikan parenteral. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya
moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal. Sefalosporin juga melewati sawar
plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi
ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus.
Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin,
kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu.
Sefalosporin generasi pertama, kedua, dan ketiga dapat diberikan pada
ibu menyusui, dan ekskresi pada ASI berbeda-beda tiap obat.
c.
Indikasi
1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes tanpa komplikasi dapat diberikan
8
sefalosporin generasi pertama dan kedua, juga sefdinir dan
sefditoren.
2) Gonore
3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut, dan
sefuroksim pada onset awalnya.
d.
Sediaan dan Dosis
Tabel 4. Sediaan dan dosis antibiotik sefalosporin.
9
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria.
Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, SSJ,
vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi pseudokolelitiasis.
Nekrosis tubular ginjal, reaski disulfiram-like (spesifik),
tromboplebitis (lokasi IV), serum sickness like reaction
(sefaklor, sefprozil).
3. Tetrasiklin
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah
klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofacien. Tetrasiklin
sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat
diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
10
aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan
protozoa tertentu. Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin
sistemik generasi kedua yang paling umum digunakan dalam
dermatologi.
b.
Farmakokinetik
Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus kecil, yang
terutama dikonsumsi saat perut kosong. Doxycycline dan minocycline
tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya makanan dan mempunyai
waktu paruh lebih lama dari tetrasiklin, dan membutuhkan dosis yang
sedikit. Tetrasiklin tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan,
terutama yang mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat
mengurangi 50% penyerapan.
Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien dengan
gagal ginjal memerlukan dosis penyesuaian. Doxycycline
diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk gagal ginjal
atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar dimetabolisme
sebelum diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada pasien dengan gagal
hati. Tetrasiklin melewati plasenta dan terdapat dalam konsentrasi
tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat menumpuk dan mempengaruhi
pertumbuhan tulang dan gigi sehingga penggunaan selama kehamilan
dan saat menyusui harus dihindari.
c.
Indikasi
a) Aktinomikosis
b) Gigitan serangga (Pasteurella multocida)
c) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis)
d) Infeksi Chlamydia sp.
e) Ehrlichiosis
f) Penyakit Lyme
g) Infeksi MRSA
h) Penyakit riketsia
i) Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)
d.
Sediaan dan Dosis
11
Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan
tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik
(oksitetrasiklin) atau bentuk bubuk yang harus dilarutkan lebih dulu
(tetrasiklin HCL, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin).
e.
Peringatan
a) Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti anabolik)
b) Fotosensitifitas (doxycycline)
c) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun)
d) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium
(kation lainnya), besi, natrium bikarbonat, dan simetidin
e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan
fenitoin, karbamazepin, barbiturat, dan alkohol
12
f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes
g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin
h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal)
f.
Efek Samping
Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan
tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis
eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema angioneutrotik dan
reaksi anafilaksis. Pada pemberian minosiklin dapat terjadi
hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada lambung serta pada
anak- anak dapat terjadi hiperpigmentasi dari gigi. Terapi dalam waktu
lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis,
limfosit atipi, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
4. Florokuinolon
a.
Mekanisme kerja
Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama (nalidixic
acid). Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada
mikroba yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang
menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel mikroba yang kecil.
Antibiotik ini menghambat kerja enzim topoimerase II (DNA girase)
dan IV dimana enzim ini berfungsi pada replikasi DNA, transkripsi,
dan perbaikan DNA. Kuinolon aktif pada bakteri yang dihambat adalah
bakteri aerob gram-negatif, staphylococci, dan streptococci tetapi tidak
cukup aktif pada bakteri anaerob.
13
Gambar 4. Struktur kimia antibiotik florokuinolon.
14
Gambar 5. Mekanisme topoimerase tipe II pada DNA. Pengontrolan
supercoiling untuk menentukan jumlah rantai ganda yang dibutuhkan
menyusun kromosom bakteri.
b.
Farmakokinetik
Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral dengan
distribusi volume yang besar. Kuinolon terdistribusi dengan luas di
seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar dari konsentrasi yang
dicapai di plasma, feses, cairan empedu, jaringan prostat, dan jaringan
paru-paru.
Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan dua
kali sehari. Florokuinolon diekskresi oleh ginjal. Mofifloksasin
dieliminasi di hati dengan cara dikonjugasikan dengan glukoronid dan
sulfat. Florokuinolon tidak dapat dihilangkan dengan dialisis.
Kebanyakan diekskresi bersama ASI tetapi jarang menimbulkan efek
samping pada bayi. Ciprofloksasin bisa menimbulkan fototoksik,
kolitis psudomembran, dan erupsi gigi. Ketika digunakan dalam
kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti beta-laktam
dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis. Ciprofloxacin dan
rifampisin bersifat antagonis terhadap Staphylococcus aureus. Waktu
paruh kuinolon bervariasi mulai dari 1,5 jam sampai 16 jam,
kebanyakan diberikan setiap 12 jam sampai 24 jam.
15
c.
Indikasi
1) Terapi lini pertama
Antrhax, Skin and sof-tissue infection (SSTIs) akibat
mikroorganisme patogen gram-negatif, infeksi Pseudomonas
aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI).
2) Terapi lini kedua
Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea,
granuloma inguinale, infeksi Rickettsia sp.
d.
Sediaan dan Dosis
Tabel 6. Sediaan dan dosis antibiotic florokuinolon
5. Trimetoprim/Sulfametoksazol
16
a. Mekanisme Kerja
Trimetoprim / sulfametoksazol (kotrimoksazol) adalah kombinasi
dari trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX) dengan
perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat sintesis asam
nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur sintesis asam
tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini bersifat sinergis
yang relatif spesifik untuk sel-sel bakteri.
17
Gambar 7. Mekanisme kerja trimetoprim dan sulfametoksazol.
18
belum ada studi yang melaporkan dosis maksimum TMP-SMX untuk
gangguan ginjal.
c. Indikasi
Trimetoprim dan sulfametoksazol digunakan untuk community
acquired MRSA, infeksi Nocardia asteroids, Skin and Soft Tissue
Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan pada chancroid.
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 7. Sediaan dan dosis antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol.
e. Peringatan
Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS dapat
terjadi reaksi berat, pasien dengan terapi warfarin akan terjadi
pemanjangan protrombin, dan dikontraindikasikan terhadap pasien
yang mendapat metroteksat.
f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan antibiotik
TMP-SMX adalah adanya eksantem, fotosensitivitas, mual, muntah,
anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien HIV/AIDS).
Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah delirium,
sindroma steven johnson, nekrolisis epidermal toksik, vaskulitis,
urtikaria, erupsi pustular, Sweet Syndrome, hepatitis kolestatik,
nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas berat, sefalgia, halusinasi,
tremor, nefrolitiasis, dan nefritis intertisiel. Sekitar 8% antibiotik ini
juga dapat menyebabkan reaksi kulit tipikal pada pasien.
6. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui
modifikasi kimia dari linkomisin. Yang dimana penyerapan dan aktifitas
spektrumnya yang lebih baik dari pendahulunya, yang sekarang sudah
ditinggalkan.
a. Mekanisme Kerja
19
Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s dan
menghambat sintesis protein melalui blokade inisiasi rantai peptida.
Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis dan mengurangi
adhesi bakteri (sel inang) dan produksi eksotoksin stafilokokus.
Klindamisin efektif terhadap sebagian besar kokus Gram-positif,
anaerob, dan beberapa protozoa. Dalam bidang dermatologi,
klindamisin efektif terhadap sebagian besar jenis streptococcus
(termasuk S. viridans), methicillin-sensitif S. aureus, serta
S.epidermidis. Aktifitas spektrum anaerob termasuk Peptococci,
Peptostreptococci, Propionibacteria, Clostridium perfringens, serta
fusobacteria. Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan
kombinasi termasuk klindamisin.
b. Farmakokinetik
Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral.
Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi
absorpsi obat ini. Klindamisin merupakan obat pilihan dalam
kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada SSP.
Klindamisin memiliki daya serap peroral yang baik dan tidak ada
persyaratan dosis yang diperlukan jika terdapat penyakit ginjal,
klindamisin juga merupakan alternatif pada pasien yang alergi pada
penisilin. Klindamisin terutama dimetabolisme oleh hati serta
diekskresikan di empedu, meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis
harus disesuaikan untuk pasien dengan gagal hati atau kombinasi gagal
hati dengan gagal ginjal.
c. Indikasi
a) Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis
b) Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin
c) Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang
d) Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif)
e) Bakterial vaginosis
20
Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin
pada orang dewasa.
Rute pemberian Dosis
Klindamisin
Oral 150-450 mg per 6 jam
Intravena 600-800 mg per 8 jam
Untuk anak atau bayi berumur lebih dari 1 bulan diberikan 15-25
mg/kgBB sehari. Untuk infeksi berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari
yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian.
e. Peringatan
Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian jika
pasien dengan gagal hati, terdapat peningkatan blokade neuromuskular
dengan tubocurare dan pancuronium. Antibiotik ini bersifat antagonis
terhadap eritromisin.
f. Efek Samping
Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat
klindamisin. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan
menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri
abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. Bila selama terapi
timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat
terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang diberikan 4 kali 125
mg sehari peroral atau IV selama 7-10 hari atau metronidazole oral 3 x
500 mg/hari.
7. Makrolid
Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif termasuk
dirithromycin, klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid bervariasi dalam
aktivitasnya terhadap patogen Gram-positif: klaritromisin>eritromisin>
azitromisin. Makrolid secara luas digunakan untuk mengobati infeksi
ringan pada jaringan saluran pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap
bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, termasuk kuman intraseluler
seperti Chlamydia dan Legionella.
21
a.
Mekanisme Kerja
Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan
jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S dan
umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat
bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.
b.
Farmakokinetik
Makrolid terakumulasi secara intraseluler pada leukosit
polimorfonuklear dan makrofag, antara lain beraktivitas untuk
melawan bakteri patogen pada intraseluler. Eritromisin diserap baik
oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun karena dirusak
oleh asam lambung, eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau
digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat, adanya
makanan juga menghambat penyerapan eritromisin. Dibandingkan
dengan eritromisin, klaritromisin dan azitromisin lebih asam stabil dan
memiliki bioavailabilitas oral yang lebih besar.
Konsentrasi makrolid umumnya melewati kadar plasma.
Konsentrasi eritromisin dalam ASI sekitar 50% dari kadar serum.
Eritromisin dapat melewati plasenta, kecuali klaritromisin (kategori
kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori B.
Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4
(CYP3A4) menjadi bentuk enzim 14-hidroksi aktif dan enam produk
tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral klaritromisin diekskresikan
dalam urin sebagai 14-hidroksi metabolit yang aktif atau tidak
berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama dalam feses sebagai
obat yang tidak mengalami perubahan, dan ekskresi urin minimal.
Tidak seperti klaritromisin, azitromisin tidak berinteraksi dengan
sistem sitokrom P450.
c.
Indikasi
a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis)
b) Lyme disease
c) Chlamydia
d.
Sediaan dan Dosis
22
Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid.
e.
Peringatan
1) CYP 3A4 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum):
warfarin, karbamazepin, buspiron, benzodiazepin, kortikosteroid
(methylprednisolon), HMG CoA reductase inhibitor, kontrasepsi
oral, cyclosporine, tacrolimus, disopyramide, felodipin, ergot
alkaloid.
2) CYP 1A2 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum):
theophylline, omeprazol.
3) Lainnya
Digoxin (konsentrasinya meningkat akibat perubahan metabolisme
obat oleh gut flora), Fluconazol (meningkatkan konsentrasi
klaritromisin)
f.
Efek samping
Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi alergi
mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksantem yang
cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek samping klaritromosin adalah
iritasi saluran cerna dan peningkatan sementara enzim hati.
23
1. Terapi lini pertama
a. Kloksasilin: Dewasa 4 x 250-500 mg per hari per oral. Anak: 50
mg/kg per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5 sampai 7 hari.
b. Pada S.aureus yang resisten terhadap eritromisin dapat diberikan:
1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500 mg
per hari. Anak: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3 dosis
selama 5 - 7 hari.
2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4 dosis
selama 5-7 hari.
3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis.
2. Terapi lini kedua
a. Azitromisin: 1x500 mg per hari (hari pertama), dilanjutkan 1x250
mg (hari ke-2 sampai hari ke-5).
b. Klindamisin: 15 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis selama 10
hari.
c. Eritromisin: Dewasa 4x250-500 mg per hari. Anak: 20-50
mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari.
B.
Antraks
Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G parenteral 2
juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari (sampai edema
lokal menghilang atau lesi kulit mengering). Antibiotik yang
direkomendasikan saat ini adalah terapi siprofloksasin dengan dosis 20-
30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum untuk dewasa 500mg
2 kali sehari) atau doksisiklin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari.
Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan dosis
40mg/kgBB (BB kurang dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau 500mg
3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa.
C.
Acne Vulgaris
Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang sampai
berat, diberikan selama minimal 68 minggu, maksimal 1218 minggu.
Antibiotik oral pilihan:
24
1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang digunakan
karena terdapat resistensi terhadap tetrasiklin)
2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari
3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari
4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari
D.
Eritrasma
Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas, dimana
eritromisin terbukti efektif diberikan 1 gram sehari (4 x 250mg) selama 2-
3 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1 gram dosis tunggal.
E.
Aktinomikosis
Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta unit
secara intravena selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan dengan
penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12 bulan.
F.
Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA)
Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA
G.
Penyakit Lyme
1. Terapi lini pertama (per oral)
a. Doksisiklin 100mg peroral 2 x sehari
25
b. Amoksisilin 500mg peroral 3 x sehari
c. Cefuroxime 500mg peroral 2 x sehari
2. Terapi alternatif (peroral)
a. Azitromisin 500mg peroral 4 x sehari
b. Eritromisin 500mg peroral 4 x sehari
c. Klaritromisin 500mg peroral 2 x sehari
3. Terapi lini pertama (parenteral)
Ceftriaxone 2gr/intravena 4x/sehari
4. Terapi alternatif (parenteral)
a. Penisilin G (18-24 unit dibagi dalam 6 dosis tiap 4 jam)
b. Cefotaksim 2gr per intravena setiap 8 jam
c. Doksisiklin 200-400mg perhari per intavena dibagi dalam 2 dosis
H.
Sifilis
1. Terapi pilihan
a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun): Benzatinpenisilin
G 2,4 juta unit.
b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III): Benzatinpenisilin
G 7,2 juta unit (injeksi intramuskular Benzatinpenisilin G 2,4 juta
unit/kali dengan interval 1 minggu).
2. Terapi alternatif
a. Tetrasiklin 4x500mg/hari
b. Eritromisin 4x500mg/hari
c. Doksisiklin 2x100mg/hari
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari (stadium
lanjut).
I.
Gonore
1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral.
2. Terapi alternatif
a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal
26
b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal
c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak boleh
diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun)
J.
Infeksi Chlamydia sp
1.
Limfogranuloma venereum
a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau tetrasiklin
2 gr/hari atau tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin 300mg diikuti
200mg 2x/hari.
b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21 hari
terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan cycline, pada
wanita hamil dan menyusui.
d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari.
2.
Uretritis Non Gonore
a. Golongan tetrasiklin
1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari
2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
b. Golongan makrolid
1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk
resistensi tetrasiklin dan untuk wanita hamil
2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal
c. Golongan kuinolon
Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari
VI. Antibiotik Sistemik untuk Alergi Obat pada Pengobatan Penyakit Kulit
Antibiotik golongan beta laktam penisilin adalah antibiotik yang paling
sering digunakan. Antibiotik ini terbukti sebagai antibiotik yang efektif untuk
infeksi bakteri. Golongan beta laktam merupakan salah satu terapi pilihan pada
pengobatan penyakit kulit. Berdasarkan studi epidemiologi, dilaporkan bahwa
27
antibiotik sering menyebabkan alergi obat. Dari berbagai kelas antibiotik,
golongan antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) sering didapatkan
kasus alergi obat.
Golongan antibiotik yang termasuk aman adalah vankomisin. Vankomisin
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan alergi obat penisilin maupun
sefalosporin. Vankomisin juga aktif melawan bakteri penyebab MRSA.
Vankomisin adalah antibiotik glukopeptida trisiklik yang diproduksi oleh
Stretococcus orientalis yang dapat dibuktikan keamanannya melalui hasil
studi porspektif.
Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin
28
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30
13. Soni K. Fluoroquinolones: Chemistry & Action A Review. New Delhi:
Indo Global Journal of Pharmaceutical Sciences. 2012;2(1):43-53.
14. Redgrave. Fluoroquinolone resistance: mechanisms, impact on bacteria,
and role in evolutionary success. Birmingham: Trends in Microbiology.
2014;22(8):438-8.
15. Oliphant C. Quinolones: A Comprehensive Review. USA: American
Family Physician. 2002;65(3):455-64.
16. Brown GR. Cotrimoxazole - optimal dosing in the critically ill. Brown
Annals of Intensive Care. Canada: Springer. 2014;4(13):1-9.
17. Mohanasoundaram KM. The Prevalence of Inducible Clindamycin
Resistence Among Gram Positive Cocci From Various Clinical Spesimens. Journal
of Clinical and Diagnostic Research. 2011;5:38-40.
18. Alzolibani AA, Zedan K. Macrolides In Chronic Inflammatory Skin
Disorder. Hindawi Publishing Corporation. 2012.
19. Zuckerman JM, Qamat F, Bono BR. Review of Macrolide (Azithromycin),
Ketolids (Telithromycin) and Glycycyclines (Tigecycline). Med Clin N Am.
2011:761-791.
20. PERDOSKI. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta: PP PERDOSKI. 2011.
21. Aisah S et al. Panduan Pelayanan Medis Departemen Kulit dan Kelamin
RSCM. Jakarta: PPMDKK RSCM. 2007.
22. Stevens DL et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management
of Skin and Soft Tissue Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society
of America. USA: IDSA Guidline. 2014;59(2):e1052.
23. Amiruddin MD. Penyakit Menular Seksual. Jogjakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara. 2004.
24. Holloway K, Dijk LV. The World Medicines Situation 2011: Rational Use
of Medicines. Geneva: WHO. 2011:8.
25. Thong. Update on the Management of Antibiotic Allergy. Korea: Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2(2):77-86.
31
26. Bruniera et al. The use of vancomycin with its therapeutic and adverse
effects: a review. European Review for Medical and Pharmacological Sciences.
2015;19:694-700.
32