You are on page 1of 3

Kanker Serviks

Kanker serviks berawal dari infeksi virus HPV (human papilloma virus) yang merangsang
perubahan perilaku sel epitel serviks. Sel yang bermutasi ini melakukan pembelahan yang tidak
terkendali, imortal dan menginvasi jaringan stroma di bawahnya. Infeksi virus HPV dan beberapa
kondisi lain seperti perilaku seksual, kontrasepsi, atau merokok akan meningkatkan kerentanan
terhadap kanker serviks. Mekanisme timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang
kompleks dan sangat bervariasi hingga sulit untuk dipahami. Insidens dan mortalitas kanker serviks di
dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara.

Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah aktivitas seksual terlalu muda
(<16 tahun), jumlah pasangan sekual yang tinggi (> 4 orang), dan adanya riwayat infeksi berpapil
(warts). Karena hubungannya yang erat dengan infeksi HPV, wanita yang mendapat atau
menggunakan penekan kekebalan (immunosuppresive) dan penderita HIV berisiko menderita kanker
serviks. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok.
Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV mencetuskan
transformasi maligna.

Peranan HPV

Virus HPV termasuk famili papovirus yaitu suatu virus DNA. Virus ini menginfeksi
membrana basalis pada daerah metaplasia dan daerah transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel
epitel serviks sebagai upaya untuk bekembang biak, virus ini akan meninggalkan genomnya pada sel
inang. Genom HPV berupa episomal, yaitu berbentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA
inang dijumpai pada CIN dan berintegrasi dengan DNA inang pada kanker invasif. Pada percobaan
invitro HPV terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal.

Dewasa ini infeksi HPV cenderung terus meningkat dan terus dilakukan usaha-usaha untuk
mengidentifikasi tipe virus ini. Dari hasil pemeriksaan urutan DNA yang berbeda, hingga saat ini
telah dikenal lebih dari 200 tipe HPV. Kebanyakan infeksi HPV bersifat jinak. Tiga puluh diantaranya
ditularkan melalui hubungan seksual dengan masing-masing kemampuan mengubah sel epitel serviks.

Tipe risiko rendah seperti tipe 6 dan 11 berhubungan dengan kondiloma dan displasia ringan.
Sebaliknya, tipe risiko tinggi seperti tipe 16, 18, 31, 33, dan 35 berhubungan dengan displasia sedang
sampai karsinoma in situ. Hubungan antara infeksi HPV dengan kanker serviks pertama kali di
cetuskan oleh Harold zur Hassen pada tahun 1980. Hubungan antara infeksi HPV dengan kanker
serviks tampaknya jauh lebih kuat jika dibanding dengan merokok dan kanker paru-paru. Infeksi
terjadi melalui kontak langsung. Pemakaian kondom tidak cukup aman untuk mencegah penyebaran
virus ini karena kondom hanya menutupi sebagian organ genital saja sementara labia, skrotum dan
daerah anal tidak terlindungi. Tipe virus risiko tinggi menghasilkan protein yang dikenal dengan
protein E6 dan E7 yang mampu berikatan dan menonaktifkan protein p53 dan pRb epitel serviks. P53
dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan dalam menghambat kelangsungan siklus sel.
Dengan tidak aktifnya p53 dan pRb , sel yang telah bermutasi akibat infeksi HPV dapat meneruskan
siklus sel tanpa harus memperbaiki kelainan DNA-nya. Ikatan E6 dan E7 seta adanya mutasi DNA
merupakan dasar utama terjadinya kanker.

Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50%
kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Dari banyak tipe HPV, tipe 16 dan 18 mempunyai
peranan penting untuk urutan gen E6 dan E7 dengan mengode pembentukan protein-protein yang
penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan menjadikan gen penekan tumor
(p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7 akan berikatan dan menjadikan produk gen
retinoblastoma (pRb) menjad tidak aktif.

Gejala dan tanda

Lesi kanker serviks yang sangat dini dikenal sebagai neoplasia intraepitelial serviks (Cervical
Intraepithelial Neoplasia) yang ditandai dengan adanya perubahan displastik epitel serviks. Kecepatan
pertumbuhan kanker berbeda-beda pada satu kasus dan kasus lainnya namun mekanismenya belum
dapat dijelaskan. Semakin dini penyakit dapat dikenali dan diberikan terapi secara adekuat, semakin
memberikan hasil yang sempurna. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker
serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala. Tanda dini kanker serviks tidak spesifik seperti
adanya sekret vagina yang agak banyak dan kadang-kadang dengan bercak perdarahan. Umumnya
tanda yang masih sangat minimal ini di abaikan oleh penderita.

Tanda yang lebih klasik adalah perdarahan bercak yang berulang, atau perdarahan bercak
setelah bersetubuh atau membersihkan vagina. Makin bertumbuhnya penyakit, tanda-tanda dan gejala
semakin jelas. Perdarahan lebih banyak, lebih sering dan berlangsung lama. Dapat dijumpai pula
sekret vagina berbau terutama karena massa nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan
tumor yang cepat tidak diimbangi pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) sehingga tidak
mendapat aliran darah yang cukup. Hal ini menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan
non spesifik. Pada stadium lanjut, tumor telah menyebar ke luar serviks dan melibatkan jaringan di
rongga pelvis dan dapat dijumpai tanda lain seperti nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki. Hal ini
menandakan keterlibatan ureter, dinding panggul, atau nervus skiatik. Beberapa penderita
mengeluhkan nyeri berkemih, hematuria, perdarahan rektum, sampai sulit berkemih dan buang air
besar. Penyebaran ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat menumbulkan oedema tungkai
bawah tungkai bawah, atau terjadi penyumbatan kedua ureter.

Optimalisasi Pap Smear (Prevention International : No Cervical Cancer)

Program skrining yang diaplikasikan di negara berkembang sejak tahun 1980-an telah
dianggap kurang efektif dalam mengurangi angka kematian. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan
hanya 5% wanita di negara berkembang yang melakukan skrining dengan benar. Alasan kurangnya
efektivitas dari program skrining antara lain, kurangnya biaya, akses yang tidak memadai di daerah
pedesaan dimana sebagian besar masyarakat negara berkembang tinggal, rendahnya kesadaran dan
pendidikan untuk melakukan skrining, dan tindak lanjut yang buruk. Dari 50% kasus yang terjadi,
hanya 5% yang mendapat penanganan serius. (Kitchener, The Lancet 1999 ;
www.pincc.org/pincc_events). Hal ini membuktikan bahwa pengenalan dan sosialisasi pap smear di
negara berkembang masih belum mencapai sasaran.

Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama kematian wanita dan kasusnya turun
secara drastis semenjak diperkenalkannya teknik skrining pap smear oleh Papanicolau. Namun,
hingga saat ini program skrining belum disosialisasikan dengan baik pada masyarakat, hingga mudah
dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih tetap tinggi.

Perlu dimasyarakatkan upaya pengenalan kasus secara dini melalui program skrining. Tingkat
keberhasilan pengobatan sangat baik pada stadium dini dan hampir tidak terobati bila tumor telah
menyebar sampai dinding panggul atau organ di sekitarnya seperti rektum dan kandung kemih.
Pemeriksaan pap smear bertujuan untuk mengenali adanya perubahan awal sel epitel serviks hingga
dapat dilakukan tindakan penceghan terjadinya kanker infasif. Pap smear ini menjadikan kanker
serviks sebagai suatu penyakit yang dapat dicegah.

You might also like