You are on page 1of 18

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

ASMA BRONKIALE

Disusun oleh:

Diah Rahmawati

H1A007014

Pembimbing:

dr. Mayuarsih Kartika Sari

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/

PUSKESMAS NARMADA

2013

1
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan dewasa baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Menurut data WHO, sekitar 300 juta manusia di
dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada
tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan efektif, angka morbiditas dan mortalitas asma
masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma. 1 Angka
mortalitas penyakit asma di dunia mencapai 17,4% dan penyakit ini menduduki peringkat 5
besar sebagai penyebab kematian.2
Indonesia dewasa ini menghadapi triple burden yaitu beban penyakit menular yang
belum sepenuhnya dapat diatasi, munculnya penyakit emerging dan re-emerging disease
seperti flu burung, serta beban penyakit menular yang menjadi penyebab kematian tertinggi
di Indonesia.1
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2004
memperlihatkan asma masih menempati urutan ke 3 dari 10 penyebab kematian utama di
Indonesia dan prevalens penyakit asma berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 4%.2
Meskipun belum ada survei asma secara nasional di Indonesia, dari penelitian yang ada
menyimpulkan bahwa prevalens asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah daripada di daerah
urban (6,5%) dan yang tertinggi adalah di kota besar seperti di Jakarta (16,4%).1
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan akan tetapi penderita dapat sembuh dalam arti
asmanya terkontrol. Bila tidak, akan mengganggu kualitas hidup penderita yang
menyebabkan kehilangan waktu sekolah dan kehilangan jam kerja. Disamping itu penderita
harus mampu meminimalkan faktor-faktor pemicu penyakit tersebut seperti keadaan
lingkungan dimana kita berada dan perilaku. 2 Polusi udara dan kurangnya kebersihan
lingkungan yang terdapat di kota-kota besar bahkan termasuk kota pinggiran menjadi faktor
penyebab yang sangat dominan meningkatkan serangan asma di Indonesia. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat di perkirakan menjadi penyebab meningkatnya
penderita asma di Indonesia yang hingga sampai saat ini belum terpecahkan. Tingginya angka
kematian akibat asma banyak disebabkan oleh kontrol asma yang buruk serta sikap pasien
dan dokter yang sering kali meremehkan tingkat keparahan. Padahal asma yang tidak
terkontrol dapat membatasi kualitas hidup secara drastis dan kesejahteraan penderita beserta
2
anggota keluarganya. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan
Eropa.5
Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat
dini dengan berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan. Pada
saat ini, hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Pada akhir-akhir ini dilaporkan adanya
peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia terutama didaerah
perkotaan dan industri. Prevalensi yang tinggi ini menunjukkan bahwa pengelolaan asma
belum berhasil. Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan ini yaitu adanya kekurangan
dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau
evaluasi sebelum terapi, sistematika dan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan
penyuluhan.6

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Asma
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.18
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan
dapat menimbulkan kematian.18
2.2.2. Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan. 18,19,20
1. Faktor genetik
a. Hipereaktivitas
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan
b. Atopi/alergi bronkus
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak
dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan
asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan
penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai
risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua
orang tua asmatisk.
Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak.
Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan
orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu
rumah.
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi

4
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan
IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas.
Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada
perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur
10 tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada
masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.
e. Ras/etnik
Ras kulit hitam menpunyai prevalensi lebih tinggi untuk terjadi asma
dibandingkan dengan ras kulit putih di Amerika Serikat, namun hal ini juga
dicetuskan oleh kondisi dari sosioekonomi, paparan terhadap alergen serta
faktor-faktor diet, dan tidak hanya karena ras/etnik saja.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen inhalan, yaitu sesuatu yang masuk melalui saluran
pernapasan, terdiri dari :
- Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur dll)
- Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu
rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang
terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3
mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak
mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi,
terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan
koran-koran, buku-buku, pakaian lama.
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat
menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein
yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen
tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat
terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung
dan hewan menyusui.

5
b. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut,
kacang, berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan
pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodum
glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Penderita asma berisiko mengalami
reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa.
Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah
kacang, ikan laut dan telor. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai
salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan
sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2%-5% anak dengan asma.
c. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker
dll)
d. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan
lain-lain)
e. Ekpresi emosi berlebih/stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
f. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Pada perokok pasif, sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik
dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan
nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit
saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan
serangan asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma
meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif
g. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

6
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus,
bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion
products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap
dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih,
kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang
disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti
thinner.
Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur,
karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi
pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya
respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat
menyebabkan reaksi peradangan paru.
h. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut
i. Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
j. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
k. Sosioekonomi
l. Infeksi pernapasan (virus)
Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan pada pasien asma dipikirkan
melalui kemungkinan: 21

7
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik
asma
baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.

Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada pasien asma 21

2.2.3. Patofisiologi dan Mekanisme terjadinya Asma


Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. 18

Gambar 2. Mekanisme dasar kelainan asma21

8
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini
dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk
menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi
beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik. 18
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma
dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR).
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi sub-akut atau kronik. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma
merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast
yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah
membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel
lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel
jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. 18
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma: 18
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan
lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu
menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan
pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok;
pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian 2 agonis.18
Sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas
fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. Secara skematis mekanisme terjadinya asma
digambarkan sebagai berikut: 18
9
Hipereaktifitas obstruksi
bronkus

Faktor
genetik
Sensitisa
si inflama Gejala
si Asma

Faktor
lingkungan
Pemicu Pemacu Pencetus
(inducer) (enhancer) (trigger)

Gambar 3. Mekanisme terjadinya asma.


18

Gambar 4. Patofisiologi asma. 19


2.2.4. Diagnosis
A. Anamnesis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke
dokter. 21
10
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis
yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik. 21
Riwayat penyakit / gejala : 21
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : 21
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan.
Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling
sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi
diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat berat mengi dapat tidak terdengar
(silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.21
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma: 21
Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain asma.

2.2.5. Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2

11
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang
dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis
termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang
sangat penting dalam penatalaksanaannya.18
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten;
2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel 1)
Tabel 4. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa18

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermitten Bulanan APE80%


- Gej 2 kali sebulan - VEP1
ala<1x/minggu. 80% nilai prediksi
- Tan APE80%
pa gejala diluar nilai terbaik.
serangan. - Varia
- Sera biliti APE<20%.
ngan singkat.
Persisten ringan Mingguan APE>80%
- Gej >2 kali sebulan - VEP1
ala>1x/minggu 80% nilai prediksi
tetapi<1x/hari. APE80% nilai
- Sera terbaik.
ngan dapat - Varia
mengganggu aktifiti biliti APE 20-30%.
dan tidur
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gej >2 kali sebulan - V
ala setiap hari. EP1 60-80% nilai
- Sera prediksi APE 60-
ngan mengganggu 80% nilai terbaik.
aktifiti dan tidur. - Variab

12
- Me iliti APE>30%.
mbutuhkan
bronkodilator setiap
hari.
Persisten berat Kontinyu APE 60%
- Gej Sering - VEP1
ala terus menerus 60% nilai prediksi
- Seri APE60% nilai
ng kambuh terbaik
- Akti - Varia
fiti fisik terbatas biliti APE>30%

2. Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan
ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. 18
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).
Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan
saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian. 18

2.2.6. Tatalaksana Pasien Asma


Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). 18
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

13
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan
pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi
yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini
merupakan kunci keberhasilan pengobatan.18
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen : 21
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang
mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu : 21
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan
asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik
dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan
cepat. 18

14
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
kortikosteroid sistemik
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: a) Edukasi; b) Obat asma (pengontrol dan
pelega); dan c) Menjaga kebugaran . 18
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur
b. Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. 21
i. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol : 21
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
15
ii. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. 21
Termasuk pelega adalah : 21
Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
c. Meningkatkan kebugaran fisis
Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah rasa percaya diri
dan meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang
timbul serangan sesudah exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak
berarti penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan
asma akibat olahraga, maka dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan
olahraga. 21

2.2.7. Prognosis
Informasi yang adekuat terhadap pasien mengenai pencegahan penyakit dapat
memberikan prognosis yang baik, terutama bila penyakitnya ringan dan berkembang pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang tetap memiliki asma dalam 7-10 tahun setelah
didiagnosis pertama bervariasi dari 26-78%, atau rata-rata 46%, presentase pasien yang
asmanya berlanjut menjadi asma dengan derajat berat hanya 6-19%. Remisi spontan terjadi
pada sekitar 20% pasien asma setelah dewasa, dan sebanyak 40% mengalami perbaikan
derajat asma seiring dengan pertambahan umur. Pasien asma dengan stimulus komorbid
seperti merokok, dilaporkan mengalami perubahan fungsi paru yang ireversibel. 22

2.2.8. Pencegahan

16
Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:18
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma
(orangtua asma), dengan cara : 18
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan
bayi/anak
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu
asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang
menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset
mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai
peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma. 21
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma,
adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung. 21
Pencegahan Tersier. Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat. 21

17
Daftar Pustaka

1. Ratnawati J. 2011. Epidemiologi Asma. J Respir Indones 31(4):172-5.


2. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Penyakit Asma Pada Usia 10 Tahun di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007). J
Respir Indones, 30(2):85-91.
3. Depkes RI. 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
4. Fairawan, Sulfan. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Asma
Dengan Sikap Penderita Dalam Perawatan Asma Pada Pasien Rawat Jalan di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
5. Harsono, Bambang Irawan, dkk. 2003. Peranan Magnesium Pada Asma. Cermin
Dunia Kedokteran, 141 : 46-51.
6. Matondang, dkk. 2009. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pada Asma Anak.
Sari Pediatri 10 (5): p. 314-319.
7. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
8. Purnomo. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma.
Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (skripsi).
9. Rengganis I. 2008 Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon.
Vol. 58(11); p. 444-453.
10. 2003. Pedoman Diagnosis dan Petalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
11. Fauci AS, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA:
The McGraw-hill Companies, inc.

18

You might also like