You are on page 1of 10

Stadium Asfiksia

1. Fase dyspneu: penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma merangang pusat pernafasan di medulla oblongata sehingga pergerakan dan
frekuensi pernafasan akan meningkat, denyut nadi akan meningkat, tekanan darah
meningkat dan mulai tampak keadaan sianosis terutama pada muka dan tangan, warna
kulit mukosa menjadi lebih gelap. Kadar oksigen di darah manusia bervariasi tergantung
umur dan kesehatan. Pada seorang remaja sampai paruh baya memiliki saturasi oksigen
dalam darah di antara 90-100mmHg (12-13,5 kPa). Hipoksia ringan terjadi pada
60mmHg, hipoksia fatal terjadi pada 20-40mmHg (3-5kPa). Bila keadaan ini berlanjut,
maka masuk ke fase konvulsi. Lama durasi pada fase ini sekitar 4 menit
2. Fase konvulsi: akibat kadar CO2 yang naik timbul rangsang terhadap susunan saraf pusat
sehingga timbul konvulsi (kejang) yang mula-mula berupa kejang klonik diikuti kejang
tonik dan akhirnya spasme opistotonik. Pada stadium ini pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menjadi lebih lambat, dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Hal ini
disebabkan adanya paralisis pada pusat saraf yang letaknya lebih tinggi. Lama durasi
pada fase ini sekitar 2 menit.
3. Fase apneu, Pada stadium ini depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat. Otot
pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun,
pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi
hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat
lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan
tinja secara mendadak. Lama durasi pada fase ini sekitar 1 menit.
4. Fase akhir: Pada stadium ini terjadi paralisis pusat pernapasan yang komplit, jantung
masih berdenyut saat postapneu. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot
pernafasan kecil pada leher.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi tergantung
tingkat pengahalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Patofisiologi
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pertukaran udara pernapasan.
b. Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
c. Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d. Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.
Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan
oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar
oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan
mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang
paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah
ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika
PO2 jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob
berlangsung dengan pembentukan asam laktat.15,16
Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat ketidakseimbangan
fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme kompensasi. Hipoksemia ringan
menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan ringan dari status mental dan ketajaman
penglihatan, kadang-kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90%
ketika PO2 hanya 60 mmHg.15,16
Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan kepribadian, agitasi,
inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor dan koma.
Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit menjadi
dingin (oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan ringan dari tekanan
darah.15,16
Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina dan
kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan stadium
preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan kegagalan mekanisme
kompensasi.15,16
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak
tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih
rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel
serebrum, serebellum, dan basal ganglia.15,16
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan
akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.15,16
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya
pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.15,16
Gambaran umum postmortem asfiksia
A. Tanda-Tanda Umum Jenazah Yang Meninggal Akibat Asfiksia
Pada jenazah yang meninggal dunia akibat asfiksia akan dapat ditemukan tanda-tanda
umum, yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot merupakan gambaran bintik-bintik perdarahan yang terjadi karena
peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya
dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit
dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.
Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada
lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring,
jarang pada mesentrium dan intestinum.14,17

Gambar 2.tardieus spot pada kelopak mata


2. Oedema
Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan pada
pembuluh darah kapiler sehingga permeabilitasnya meningkat. Keadaan ini akan
menyebabkan timbulnya oedema, terutama oedema paru-paru.14,17
3. Sianosis
Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi lebih encer dan lebih gelap.
Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap, demikian juga lebam mayat.
Perlu diketahui bahwa pada setiap proses kematian pada akhirnya akan terjadi
juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu keadaan sianosi dalam berbagai tingkat
dapat juga terjadi pada kematian yang tidak disebabkan karena asfiksia.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu
diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya
berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru
karena akumulasi darah.14,17
4. Lebam mayat
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap, terbentuk lebih cepat, distribusi luas,
akibat kadar CO2 yang tinggi dan akibat fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.14,17
5. Busa halus pada hidung dan mulut
Timbul akibat peningkatan aktivitas pernafasan pada fase dispneu yang disertai
sekresi selaput lendir bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran
sempit, menimbulkan busa yang kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.14,17

B. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:14,18,19,20
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin
dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Gambar 3.Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas
bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di
kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan hidrostatik
dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain
itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
Tardieus spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (otopsi) jenazah didapatkan:14,18,19,20
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
Choking /Gagging
Choking (tersedak)/ gagging merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blockade jalan
nafas oleh benda asing yang datang nya dari luar ataupun dari dalam tubuh, seperti aspirasi
tumpahan, tumor, jatuhnya lidah ke belakangketika tidak sadar, bekuan darah atau gigi yang
lepas. Gejalanya sangat khas sekali yaitu dimulai dengan batuk tiba-tiba, kemudian disusul
dengan sianosis, dan akhirnya meninggal dunia.

Pada pemeriksaan postmortem dapat dilihat adanya tanda-tanda asfiksia yang jelas,
kecuali jika kematiannya karena reflex vagal. Dapat ditemukannya material penyebab blockade
jalan napas. Kadang-kadang kematian terjadi sangat cepat tanpa tanda0tanda choking, terutama
kematian karena reflex vagal akibat aspirasi makanan dan memberikan kesan adanya serangan
jantung. Kasus seperti itu sering disebut caf coronaries .
Pada gagging , sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan choking sumbatan terdapat
lebih dalampada laringofaring. Mekanisme kematian yang paling mungkin terjadi adalah asfiksia
atau reflex vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring, yang
menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.

Kematian dapat terjadi sebagai akibat :

Bunuh diri (suicide), Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukkan benda asing
kedalam mulut sendiri disebabkan adanya reflex batuk atau muntah. Umumnya korban
adalah penderita sakit mental atau tahanan.
Pembunuhan (homicidal choking), umumnya korban adalah bayi ,orang dengan fisik
lemah atau tidak berdaya
Kecelakaan (accidental choking), pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau
menangis saat makan, sehingga makanan tersedak kedalam saluran napas. Mungkin juga
terjadi akibat regurgitasi makan yang kemudian masuk ke dalam saluran napas.

Pada pemeriksaan jenazah didapatkan temuan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan
luar maupun pembedahan. Dalam rongga mulut (orofaring atau laringofaring) ditemukan
sumbatan berupa sapu tangan , kertas Koran, gigi palsu dan sebagainya. Bila benda asing tidak
ditemukan , cari kemungkinan adanya tanda kekerasan yang disebabkan benda asing.

14. Sofwan D.Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000
15. Martland HS.Traumatic Aphyxia: Strangulation. Legal Medicine Pathology And
Toxicology.
16. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview pada tanggal 1
April 2015
17. Geserick G.,2010, Tardieu's spots and asphyxia--a literature study, Pubmed, Germany
18. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
19. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8
20. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: :
Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. 2004.p:397

You might also like