Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Baharuddin Yusuf, S.Farm. (152211101068)
Rahadian Vishnu Edy S, S.Farm. (152211101073)
Riza Bagus Setiaji., S.Farm. (152211101074)
Yudi Chorudin Ashari., S.Farm. (152211101084)
Devita Nanda Prastiwi, S.Farm. (152211101087)
Wiji Saputro, S.Farm. (152211101095)
Ida Marwa, S.Farm. (152211101096)
Ika Yanuar Isparnaning, S.Farm. (152211101100)
Husnul Baroroh W., S.Farm. (152211101104)
Dewi Citrasari Ayu P., S.Farm. (152211101114)
i
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Baharuddin Yusuf, S.Farm. (152211101068)
Rahadian Vishnu Edy S, S.Farm. (152211101073)
Riza Bagus Setiaji., S.Farm. (152211101074)
Yudi Chorudin Ashari., S.Farm. (152211101084)
Devita Nanda Prastiwi, S.Farm. (152211101087)
Wiji Saputro, S.Farm. (152211101095)
Ida Marwa, S.Farm. (152211101096)
Ika Yanuar Isparnaning, S.Farm. (152211101100)
Husnul Baroroh W., S.Farm. (152211101104)
Dewi Citrasari Ayu P., S.Farm. (152211101114)
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
di Fakultas Farmasi Universitas Jember
Disetujui oleh:
ii
KATA PENGANTAR
iii
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan laporan Kerja
Praktek ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak memiliki kekurangan
karena keterbatasan Penulis. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan adanya
berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca dan semua
pihak. Akhir kata, Penulis sangat mengharapkan bahwa laporan ini dapat
bermanfaat dan memberikan pengetahuan baru bagi pembaca dan semua pihak
yang membutuhkan.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
vi
3.7.1 Pembuatan Jamu Instan
............................................................................. 33
3.7.2 Pembuatan Lilin Aroma Terapi
................................................................ 34
3.7.3 Pembuatan Sabun Herbal
.......................................................................... 35
3.8 Pembahasan
......................................................................................................... 36
3.8.1 Kultur Jaringan
........................................................................................... 36
3.8.2 Budidaya Tanaman Obat
........................................................................... 43
3.8.3 Pembuatan
Simplisia.................................................................................. 50
3.8.4 Ekstraksi Tanaman Obat
........................................................................... 62
3.8.5 Klinik dan Peracikan Jamu Serbuk
.......................................................... 64
3.8.6 Pengolahan Tanaman Obat
....................................................................... 65
BAB IV PENUTUP ...............................................................................................69
4.1
Kesimpulan ..............................................................................................
............ 69
4.2 Saran
..............................................................................................................
....... 69
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... lxxi
vi
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Lokasi Materia Medika Batu ....................................................... 7
Gambar 2.2 Struktur organisasi UPT Materia Medica............................................ 8
Gambar 3.1 (A) Stok Jamu Peracikan. (B) Pengemasan Jamu ............................. 26
Gambar 3.2 Jamu selesai dibungkus ..................................................................... 26
Gambar 3.3 Alur Pelayanan Klinik Sehat Materia Medica................................... 30
Gambar 3.4 Ruang kultur atau inkubator dengan lingkungan yang terkontrol ..... 39
Gambar 3.5 Eksplan Tunas Jati Belanda............................................................... 40
Gambar 3.6 Media MS sebagai media pertumbuhan kultur jaringan ................... 41
Gambar 3.7 Multiplikasi dari tanaman Sembung Legi yang telah dikultur .......... 42
Gambar 3.8 Pemanjangan tunas, induksi akar, dan perkembangan akar tanaman
koleksi Materia Medica Batu .......................................................... 43
Gambar 3.9 (A). Penyiapan media tanah (B). Penyiapan pupuk kompos (C).
Penyiapan pupuk kandang (D). Penyiapan sekam (E). Pencampuran
semua komposisi (F). Penyiraman media tanam setelah dicampur
merata .............................................................................................. 45
Gambar 3.10 (A). Pemotongan batang tanaman obat (B). Pengepalan ujung
batang menggunakan tanah (C). Penanaman bibit ke dalam media
tanam. (D). Penyiraman tanaman .................................................... 47
Gambar 3.11 Peralatan dan Bahan untuk Cangkok .............................................. 48
Gambar 3.12 Proses Pencangkokan ...................................................................... 48
Gambar 3.13 Pemanenan Bahan Baku Simplisia.................................................. 51
Gambar 3.14 Pencucian Bahan Baku Simplisia.................................................... 53
Gambar 3.15 Penirisan tanaman ........................................................................... 54
Gambar 3.16 Pengeringan dengan Matahari tidak langsung ................................ 56
Gambar 3.17 Pengeringan dengan Oven............................................................... 56
Gambar 3.18 Sortasi Kering bahan baku simplisia .............................................. 57
Gambar 3.19 Penggilingan/Penyerbukan Simplisia.............................................. 57
Gambar 3.20 Penimbangan Bahan baku simplisia................................................ 58
Gambar 3.21 Pengemasan simplisia ..................................................................... 59
Gambar 3.22 Penomoran Bets Kemasan Serbuk Dan Penyimpanan Serbuk
Berdasarkan Abjad .......................................................................... 60
vii
Gambar 3.23 Penyimpanan simplisia.................................................................... 60
Gambar 3.24 Hasil Pengolahan Pupuk.................................................................. 62
Gambar 3.25 Instan Jahe ....................................................................................... 67
Gambar 3.26 Sabun herbal daun sirih ................................................................... 67
Gambar 3.27 Lilin aromaterapi ............................................................................. 68
viii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman pengisian nomor bets peracikan jamu ................................... 26
Tabel 3.2 Kode jamu serbuk di unit peracikan jamu. ........................................... 27
ix
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia lebih
dikenal dengan nama jamu (Siswanto, 2012). Jamu merupakan warisan budaya
bangsa sehingga perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan (Dewoto, 2007).
Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan jamu
oleh masyarakat Indonesia lebih dari 50% (Badan Libang Kesehatan, 2010). Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa
30.4% (89.753) dari 294.962 sampel rumah tangga masih memanfaatkan
Pelayanan Kesehatan Tradisional (YANKESTRAD), dimana 49% dari pengguna
YANKENSTRAD melibatkan penggunaan ramuan seperti jamu.
YANKENSTRAD yang berupa ramuan banyak dimanfaatkan rumah tangga di
perkotaan dan pedesaan dengan proporsi seimbang. Lebih lanjut Riskesdas 2013
menjelaskan alasan-alasan penggunaan YANKENSTRAD yang berupa ramuan
oleh sampel yakni untuk menjaga kesehatan dan kebugaran (52,7%), tradisi atau
kepercayaan (12,3%), ramuan lebih manjur khasiatnya (18,4%), alasan coba-coba
(2,8%), putus asa (1,8%), dan alasan terakhir yang mendasari penggunaan ramuan
adalah biaya murah (Riskesdas, 2013). Dengan besarnya minat masyarakat
terhadap jamu dan untuk mempertahankan warisan bangsa, maka Presiden RI
memberikan satu arahan untuk pengembangan jamu Indonesia pada Gelar
Kebangkitan Jamu Indonesia tahun 2008, yang isinya adalah melakukan
penelitian dan pengembangan jamu serta mengintegrasikan pelayananan
kesehatan komplementer alternatif berbasis jamu sebagai sistem ganda (dual
system) di fasilitas pelayanan kesehatan (Siswanto, 2012).
Program Saintifikasi Jamu menggunakan pendekatan penelitian berbasis
pelayanan, merupakan suatu terobosan (breakthrough) dalam rangka
mempercepat penelitian jamu di sisi hilir (sisi pelayanan). Sebagaimana kita
ketahui, penelitian terkait jamu sudah banyak dikerjakan di sisi hulu, yakni
1
penelitian terkait budidaya dan studi pre-klinik, baik in vitro maupun in vivo (uji
hewan), sementara uji klinik pada manusia terkait khasiat dan keamanan masih
sangat terbatas (Badan Litbang Kesehatan, 2011).
Menurut Permenkes No. 03/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi
Jamu, salah satu tujuan saintifikasi jamu adalah memberikan landasan ilmiah
(evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian yang
dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan
jamu/dokter praktek jamu. Program Saintifikasi Jamu, di samping penelitiannya
sendiri, yang krusial adalah pengembangan infrastruktur jejaring dokter
saintifikasi jamu (dokter SJ), yang berfungsi sebagai jejaring penelitian berbasis
pelayanan (konsep penelitian pelayanan). Pengembangan infrastruktur jejaring
dokter SJ maka akan berkembang ujung tombak pelaku uji klinis jamu, sehingga
penelitian di sisi hilir dapat diakselerasi (Siswanto, 2012). Salah satu lembaga
yang dapat menerapkan saintifikasi jamu di Indonesia, adalah UPT Materia
Medica Batu melalui Klinik Jamu yang telah dapat memberikan pelayanan
pengobatan pada gangguan kesehatan masyarakat dengan menggunakan jamu
untuk pengobatan modern.
Klinik Jamu di UPT Materia Medica Batu memberikan wadah kepada
apoteker dan dokter untuk melakukan praktek dalam menjalankan pelayanan
pengobatan modern dengan menggunakan jamu sebagai alternatif dan
komplementer bersanding dengan obat konvensional. Perkembangan ini didukung
oleh semakin tingginya minat masyarakat terhadap jamu tradisional. Hingga tahun
2013 terlatih dokter SJ berkisar 250 dokter di seluruh provinsi di Indonesia,
dengan jumlah terbanyak di Jawa Tengah. Jumlah dokter SJ ini akan bertambah
setiap tahunnya. Tahap pertama program ini telah dilakukan uji klinik, melalui
penelitian berbasis pelayanan, terhadap ramuan hiperurisemia, hipertensi,
hiperlipidemia, dan hiperglikemia. Dua ramuan telah diluncurkan oleh Menteri
Kesehatan pada awal tahun 2013, yaitu ramuan hiperurisemia dan ramuan
hipertensi ringan. Kegiatan penelitian berbasis pelayanan saat ini yang masih
berjalan adalah untuk osteoartritis, pelancar ASI, penurun berat badan, hemoroid,
dan dispepsia. Sejauh ini implementasi kebijakan dalam pengembangan Bahan
Baku Obat Tradisional (BBOT) di Indonesia belum optimal dikarenakan berbagai
faktor, seperti faktor ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
yang memadai serta sumber daya manusia (SDM). Namun demikian pemerintah
telah memberikan dukungan regulasi yang diperlukan, seperti menerbitkan
standar mutu BBOT, baik simplisia dan ekstrak dalam Materia Medica Indonesia,
Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia, dan Farmakope Herbal Indonesia.
Regulasi dalam kaitan produksi dan pengawasan proses produksi dan
pemanfaatan BBOT juga telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia. Pemerintah juga telah menerbitkan berbagai
kebijakan pada sisi hilir yang secara tidak langsung dapat mendorong
industrialisasi BBOT, seperti pelayanan kedokteran alternatif dan komplementer
di unit pelayanan kesehatan dan program Saintifikasi Jamu (Menteri Kesehatan
RI, 2013).
Menyadari pentingnya peran dan tanggung jawab dari seorang Apoteker
program Saintifikasi Jamu, maka Program Studi Profesi Apoteker Universitas
Jember bekerja sama dengan Materia Medica Batu, Malang dalam
menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan
pada tanggal 13 September 2016. Kegiatan praktek kerja profesi apoteker
dilaksanakan dengan harapkan para calon apoteker dapat mengenal, mengerti, dan
menghayati peran serta tanggung jawab seorang apoteker di badan penelitian,
pengembangan tanaman obat, selain itu juga dapat menambah pengetahuan serta
meningkatkan keterampilan dalam pekerjaan kefarmasiannya dalam klinik
saintifikasi jamu.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan pengalaman dan pengetahuan bagi calon Apoteker tentang
peran, tugas, fungsi pokok dan tanggung jawab Apoteker dalam pelaksanaan
Saintifikasi Jamu dan aplikasinya.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, tugas, fungsi
pokok, dan tanggung jawab apoteker dalam pelaksanaan saintifikasi
jamudi Materia Medica Batu
2. Meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
praktis mengenai kontrol kualitas bahan baku jamu.
3. Memahami peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian di klinik
saintifikasi jamu.
4. Mempersiapkan calon Apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional di layanan kesehatan yang menerapkan
Saintifikasi Jamu
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Manfaat yang bisa diperoleh dari dilaksanakannya Praktik Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Materia Medica Batu Malang adalah :
1. Mahasiswa mengetahui pengelolaan bahan jamu mulai hulu sampai hilir sesuai
peraturan yang berlaku.
2. Mahasiswa mampu melakukan kontrol kualitas, keamanan, dan khasiat dari
bahan baku jamu sesuai peraturan yang berlaku.
3. Mahasiswa mampu mempraktikkan asuhan kefarmasian agar tercapai tujuan
terapi bagi pasien.
1.3.2 Bagi Institusi UPT Materia Medica Batu
Manfaat Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi institusi UPT
Materia Medica Batu adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi institusi dalam pelaksanaan pembudidayaan
dan pengolahan tanaman obat
2. Menambah kepustakaan UPT Materia Medica mengenai pembudidayaan,
pengolahan dan pengembangan tanaman obat.
1.3.3 Bagi Institusi Universitas Jember
Manfaat Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi institusi
Universitas Jember adalah:
1. Sebagai bahan evaluasi bagi Universitas Jember untuk kegiatan mengajar
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) selanjutnya.
2. Sebagai tempat untuk penerapan materi atau teori yang telah disampaikan
di kuliah dengan perapan di UPT Materia Medica Batu.
BAB 2. TINJAUAN UMUM UPT MATERIA MEDICA BATU
Kepala UPT
(A) (B)
(A) (B)
Gambar 3.1 (A) Stok Jamu Peracikan dan (B) Pengemasan Jamu
Pasien
Pasien datang mengambil
nomer antrian
Pasien menunggu
di ruang tunggu
Pasien dipanggil
sesuai dengan nomor
urut antrian
-Pegisian request
Tidak Riwayat pasien
concent dan informed Petugas
sudah pernah Ya mengambil
concent
berobat catatan medis
-Pembuatan kartu pasien
-Penulisan catatan
Pembayaran Menunggu di
biaya pendaftaran ruang tunggu
Peracikan
Penyerahan Jamu+pemberian
informasi oleh apoteker
3.8 Pembahasan
3.8.1 Kultur Jaringan
Materia Medica Batu menyelenggarakan program penelitian tanaman
obat dan tanaman yang mengandung bahan baku obat yang salah satunya yaitu
perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan tanaman. Kultur jaringan
tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel, jaringan, dan organ
tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau
bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan
perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual (Santoso dan
Nursandi, 2003).
Teknik kultur jaringan adalah salah satu contoh bioteknologi modern yang
kian berkembang dewasa ini. Penggunaan teknik kultur jaringan saat ini telah
banyak digunakan sebagai sarana untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan
biokimia tanaman dan juga berbagai tujuan terutama tanaman-tanaman yang
memiliki manfaat sebagai pengobatan. Keuntungan yang diperoleh dengan
menggunakan kultur jaringan adalah sebagai berikut :
a. Mikropropagasi (perbanyakan tanaman secara mikro)
Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi
tanaman obat dalam skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal
dari berbagai jenis tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat
menghasilkan ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Metode kultur
jaringan dapat menghasilkan jutaan tanaman dengan sifat genetis yang sama
hanya dengan menggunakan satu mata tunas. Oleh karena itu metode ini menjadi
salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman obat secara vegetatif.
b. Perbaikan tanaman
Usaha perbaikan tanaman secara konvensional, untuk mendapatkan galur
murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri
maupun rsilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh tanaman
homozigot dalam waktu singkat dengan cara memproduksi tanaman haploid
melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan
kromosom. Tanaman homozigot ini dapat digunakan sebagai bahan untuk
perbaikan sifat tanaman.
c. Produksi tanaman bebas penyakit (virus)
Virus pada tanaman dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman atau
juga dapat menurunkan kualitas tanaman. Hal ini sangat tidak diinginkan dalam
penumbuhan tanaman obat. Pada tanaman yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada
tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus. Tanaman
obat bebas virus akan dapat dihasilkan dengan cara mengkulturkan bagian
meristem.
d. Transformasi genetik
Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu
keberhasilan rekayasa genetika tanaman (transfer gen). Sebagai contoh transfer
gen bakteri (gen cry dari Bacillus turingiensis) ke dalam sel tanaman akan
terekspresi setelah regenerasi tanaman transgeniknya tercapai.
e. Produksi senyawa metabolit sekunder
Kultur sel tanaman juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa
biokimia (metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dan
lainnya. Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai
contoh produksi secara komersial senyawa shikonin dari kultur sel
Lithospermum erythrorhizon.
Laboratorium kultur jaringan Materia Medica Batu memiliki sejumlah
fasilitas diantaranya,
1. Ruang pencucian
Ruang pencucian terdapat sebuah bak untuk mencuci yang
dilengkapi dengan kran untuk aliran air mengalir juga diperlukan untuk
membersihkan alat-alat berbahan gelas. Selain itu diperlukan meja yang
permukaanya dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.
2. Ruang aseptik
Ruang aseptik berada didalam laminar air flow (LAF), dalam
ruangan ini dilakukan kegiatan isolasi tanaman, sterilisasi dan penanaman
eksplan dalam media. Ruangan ini sedapat mungkin bebas dari debu dan
hewan kecil, serta terpisah dan tersekat dengan ruangan lain. LAF dilengkapi
peralatan pisau bedah/scapel, pinset, spatula, gunting, hand sprayer yang
berisi alkohol 70 % serta bunsen.
3. Ruang kultur atau inkubator
Merupakan ruang pertumbuhan atau ruang penyimpanan hasil kultur
pada kondisi cahaya dan temperatur yang terkontrol. Ruang pertumbuhanini
terdiri dari rak-rak yang biasanya terbuat dari kaca dan digunakan untuk
meletakkan botol-botol kultur setelah proses penanamanan pada ruang isolasi
di dalam LAF. Rak-rak yang digunakan untuk inkubasi dilengkapi dengan
lampu neon di atasnya sebagai sumber cahaya (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Ruang kultur atau inkubator dengan lingkungan yang terkontrol
(Dokumentasi Pribadi).
Berbagai macam teknik kultur jaringan diantaranya:
a. Meristem kultur, yaitu teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan
(bagian tanaman) dari jaringan muda atau maristem.
b. Pollen atau anther kultur, yaitu teknik kultur jaringan dengan menggunakan
eksplan dari serbuk sari atau benang sari.
c. Protoplast kultur, yaitu teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan
protoplast (sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya).
d. Kloroplast kultur, yaitu teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan
kloroplast untuk memperbaiki sifat tanaman dengan membuat varietas baru.
e. Somatic cross atau silangan protoplasma, yaitu penyilangan dua macam
protoplasma menjadi satu, kemudian dibudidayakan sehingga menjadi tanaman
kecil yang memiliki sifat baru (Gunawan, 1992).
Secara umum teknik kultur jaringan terdiri dari lima tahapan, yaitu: tahap
persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi tunas, tahap pemanjangan
tunas, induksi akar dan perkembangan akar, serta tahap aklimatisasi.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi persiapan ruangan, alat-alat yang akan
digunakan, bahan tanaman serta media tanam. Persiapan ruangan dan alat-alat
yang akan digunakan merupakan tahap awal dan sangat penting. Faktor yang
menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan ini adalah tingkat sterilisasi yang
tinggi. Ruangan dan alat-alat yang akan digunakan harus disterilisasi terlebih
dahulu. Demikian pula dengan bahan tanaman dan media tanam yang akan
digunakan.
Bahan tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan dapat diperoleh dari
daun, tunas, cabang, batang, akar, embrio, kotiledon ataupun bagian-bagian
tanaman lainnya. Eksplan dapat dipilih sesuai dengan bagian tumbuhan yang
dikehendaki untuk ditumbuhkan. Berikut ini merupakan ekplan dari tunas daun
jati belanda dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.7 Multiplikasi dari tanaman Sembung Legi yang telah dikultur
(Dokumentasi Pribadi).
5. Aklimatisasi
Tahap akhir dari teknik kultur jaringan ini adalah aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik
ke tanah. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan
memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar
dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan
terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi
dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan
pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit
generatif.
A .
(C). (D).
A . A .
A . A .
(C) (D)
(E).
A .
(F).
A .
A .
A .
Gambar 3.9 (A). Penyiapan media tanah (B). Penyiapan pupuk kompos (C).
Penyiapan pupuk kandang (D). Penyiapan sekam (E). Pencampuran semua
komposisi (F). Penyiraman media tanam setelah dicampur merata (Dokumentasi
Pribadi).
b. Perbanyakan / Pembibitan Tanaman Obat
Salah satu perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah stek. Stek menjadi
alternatif yang banyak dipilih karena caranya sederhana, tidak memerlukan teknik
yang rumit sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Stek merupakan suatu
perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian tanaman (akar, batang, daun
dan tunas) dengan tujuan agar bagian-bagian itu membentuk akar. Dengan
metode stek, sifat berharga dari suatu tanaman dapat dipertahankan seperti
tanaman yang merupakan jenis atau varietas langka, ketahanan terhadap penyakit
dan sifat- sifat lainya (Aziz, 2012).
Stek batang adalah stek yang umum dipakai dalam bidang kehutanan dan
perkebunan. Dalam perbanyakan vegetatif yang dimaksud dengan stek batang
adalah yang menggunakan batang. Stek batang adalah pembiakan tanaman yang
menggunakan bagian batang agak tua dengan memotong bagian pucuknya yang
dipisahkan dari induknya. Stek batang ini diambil dari bagian tanaman yang
mengharapkan tumbuhnya tunas dari kuncup kuncup tunas yang tumbuh di
ketiak tanaman. Stek batang didefinisikan sebagai pembiakan tanaman dengan
menggunakan bagian batang sampai pucuk yang dipisahkan dari induknya,
sehingga menghasilkan tanaman yang sempurna. Keuntungan dari perbanyakan
ini adalah lebih efisien jika dibandingkan dengan cara lain karena cepat tumbuh
dan penyediaan bibit dapat dilakukan dalam jumlah yang besar. Sedangkan
kesulitan yang dihadapi adalah selang waktu penyimpanan relatif pendek antara
pengambilan dan penanaman. Dengan demikian sumber bahan vegetatif haruslah
dicari atau dipilih pohon-pohon unggul dengan produksi tinggi, tahan hama dan
penyakit serta mudah penanamannya. Sedangkan persiapan bahan stek yang
digunakan adalah potongan batang yang mempunyai mata tunas (Handayani,
2006).
Kegiatan yang dilakukan dalam pembibitan tanaman obat mint, oregano,
kayu rapet, salam, sambiloto, sembung legi, murbei, kumis kucing, dan meniran
dengan cara menngambil bibit tanaman kemudian dilakukan perbanyakan
tanaman dengan melakukan pemotongan pada bagian batang. Kemudian ujung
batang diberi tanah dengan mengepal-ngepalkan tanah tersebut dengan tujuan agar
batang yang ditanam tidak mudah goyang sehingga mudah beradaptasi dengan
lingkungan baru dan mempercepat pertumbuhan akar. Setalah dikepal, tanaman
siap untuk dimasukkan ke dalam polybag dan disiram untuk menjaga kelembaban
tanaman.
(A). (B).
A .
A .
A .
A .
(A) (B)
(C). (D).
A .
A .
A .
A .
Gambar 3.10 (A). Pemotongan batang tanaman obat (B). Pengepalan ujung
batang menggunakan tanah (C). Penanaman bibit ke dalam media tanam. (D).
Penyiraman tanaman (Dokumentasi Pribadi).
g. Penyerbukan/ Penggilingan
Simplisia yang telah ditimbang selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin
penggilingan untuk diproses menjadi serbuk. Terdapat dua macam penggilingan
yaitu penggilingan kasar dan halus. Mesin penggiling yang digunakan dalam
menggiling simplisia terdapat 2 tipe yaitu mesin penggiling halus dan penggiling
keras. Mesin penggiling halus akan mencacah dan menggiling halus bagian
tanaman dengan tekstur yang halus. Mesin penggiiling kasar digunakan untuk
simplisia dengan permukaan kasar dan keras. Simplisia yang sudah halus tersebut
digunakan sebagai bahan baku jamu. Penggilingan ini dilakukan untuk
memperkecil ukuran simplisia sehingga memperluas permukaan bahan yang
bersentuhan dengan penyari sehingga senyawa aktif yang terdapat di dalam bahan
semakin banyak yang terlarut dalam larutan penyari (Tikasari, 2016).
66
Gambar 3.25 Jahe Instan (Dokumentasi Pribadi).
Selain jamu instan, mahasiswa PKPA juga melakukan pengolahan
tanaman obat berupa sabun herbal dengan bahan baku sirih hijau. Menurut
Gaikwad et al. (2014) yang melakukan penelitian terhadap aktivitas antibakteri
dan antijamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa sirih hijau memiliki aktivitas
antibakteri sehingga sesuai apabila digunakan sebagai bahan baku sabun herbal
untuk membersihkan tubuh dari bakteri dan jamur. Daun sirih hijau memiliki
warna hijau muda terang. Sirih hijau terkenal dengan nama latin Piper betle,
Linn.. Sirih hijau termasuk dalam keluarga Piperaceae. Sirih hijau biasa
merambat pada tanaman lain. Akan tetapi, sirih hijau juga bisa merambat di
tanah. Sirih hijau kaya akan kandungan minyak atsiri, fenil propana, estragol,
kavicol, hidroksikavicol, kavibetol, caryophyllene, allylpyrokatekol, cyneole,
cadinene, tanin, diastase, pati, terpennena, seskuiterpena, dan gula. Kandungan
minyak atsiri pada sirih hijau ini dan juga beberapa di antaranya menjadikan
sirih hijau sebagai salah satu antijamur yang baik. Hasil pembuatan sabun dapat
dilihat pada Gambar 3.26.
67
Lilin aroma terapi merupakan lilin yang mengandung bahan pewangi yang
berfungsi sebagai penghias ruangan dan pengharum ruangan dan juga
memberikan kenyamanan orang di sekitar ruangan tersebut. Lilin aromaterapi
adalah alternatif aplikasi aromaterapi secara inhalasi (penghirupan), yaitu
penghirupan uap aroma yang dihasilkan dari beberapa tetes minyak atsiri dalam
wadah berisi air panas. Lilin aromaterapi akan menghasilkan aroma yang
memberikan efek terapi bila dibakar. Bahan alam yang digunakan sebagai
pewangi dalam lilin aromaterapi adalah minyak atsiri. Aroma lilin dihasilkan dari
minyak atsiri tergolong ke dalam jenis aroma yang mampu memberikan efek
terapi menenangkan dan merilekskan (Primadiati, 2002). Hasil pembuatan lilin
aromaterapi dapat dilihat pada Gambar 3.27.
68
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kegiatan selama praktek kerja profesi apoteker di
Materia Medica Batu adalah:
1. Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu mulai dari proses
pembuatan simplisia (pengawasan mutu) sampai diserahkan kepada pasien
(pelayanan kefarmasian).
2. Budidaya tanaman obat dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penyiapan
media tanam, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan
3. Penanganan pasca panen tanaman obat dilakukan dalam beberapa tahap
meliputi pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian dan penirisan,
pengeringan, sortasi kering, pengemasan serta penyimpanan.
4. Peran Apoteker pada klinik dan peracikan tanaman obat dalam saintifikasi
jamu meliputi pelayanan resep mencakup skrining resep, penyiapan obat,
peracikan, pemberian etiket, pemberian kemasan obat, penyerahan obat,
informasi obat, konseling, dan monitoring penggunaan obat.
5. Peran apoteker dalam kontrol kualitas yaitu melakukan pengujian kualitas
dan kandungan zat aktif tanaman obat, bahan baku obat serta jamu agar tetap
terjaga kualitasnya sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
6. Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian yaitu memberikan asuhan
kefarmasian yang meliputi analisis resep dan terapi pasien, penentuan dosis
dan simplisia yang digunakan untuk terapi pasien serta pemberian
komunikasi, informasi, edukasi kepada pasien tentang pengobatan pasien
dengan cara penggunaanya, dan monitoring penggunaan obat.
7. Pengembangan pengolahan tanaman obat meliputi pembuatan jamu instan
jahe, sabun herbal sirih, dan pembuatan lilin aroma terapi.
4.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan selama kegiatan praktek kerja profesi apoteker
di UPT Materia Medica Batu adalah:
1. Perlu dilakukan standarisasi kandungan setiap tanaman yang akan dijadikan
obat tradisional.
2. Perlu diadakan APD untuk mahasiswa yang melakukan praktik di setiap unit.
69
3. Perlu peningkatan kontrol kualitas tanaman, karena ada beberapa prosedur
yang belum mengikuti prosedur yang tepat.
4. Perlu peningkatan pengawasan terhadap produk yang telah diproduksi baik di
Klinik saintifikasi jamu dan di Herba Mart.
5. Perlu dilakukan promosi terhadap pelayanan klinik berbasis saintifikasi jamu.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurofiq, Ahmad., Handayani, Nestri., Rakhmawati, Rita. 2012. Upaya
Peningkatan Ipteks Bagi Masyarakat Dalam Usaha Obat Tradisional.
FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Badan Litbang Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Badan
Litbang Kesehatan, Jakarta
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta
lxxi
Gaikwad, Bodhankar, Ittadwar, dan Waikar. 2014. Antibacterial Activity of
Isoflavone Extracted from Curcuma longa linn. Zingiberaceae. ISOI
Journal of Microbiology, Biotechnology and Food Science. Vol. 1 (1):
06-09.
Herawati, D., Nuraida, L., dan Sumarto. 2012. Cara Produksi Simplisia yang
Baik. Bogor.
Katno. 2008. Tingkat Manfaat, Keamanan dan Efektifitas Tanaman Obat dan
Obat Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Karanganyar, Jawa Tengah.
lxxii
Prasetyo, Entang, I, S. 2013. Pengelolaan Budidaya Obat-Obatan (Bahan
Simplisia). Fakultas Pertanian UNIB: 18-19.
Sarker, S. D., Latif, Z., & Gray, A.I. 2006. Natural Products Isolation. Second
Edition. Humana Press. Totowa New Jersey.
lxxiii
lxxiiil
Tikasari, A. Sunyoto, dan Agustina A. 2016. Penetapan Kadar Tanin Pada Daun
Sirih Merah [(Piper Crocatum Ruiz Dan Pav)] Secara Spektrofotometri Uv-
Vis. Journal Of Pharmacy Science
Zakaria, F.R., Y. Wiguna, dan A. Hartoyo. 1999. Konsumsi Sari Jahe (Zingiber
officinale) Meningkatkan Aktivitas Sel Naturalkiller Pada Mahasiswa
Pesantren Ulil Albaabdi Bogor. Buletin Teknologi Industri PanganX(2):
4046.
lxxiv
lxxivl