You are on page 1of 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung adalah tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan sampai saat ini

masih menjadi problem kesehatan utama karena tingginya morbiditas dan mortalitas .

Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak

spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit.
Gagal jantung merupakan keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah

untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme. Dengan kata lain,

diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada jantung untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan . Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-

10%. Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke

yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan.


Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia saat ini adalah penyakit

gagal jantung . Menurut data WHO 2013 pada tahun 2008, sekitar 17,3 juta orang

meninggal akibat gangguan kardiovaskular. Hal ini menggambarkan masalah kesehatan

publik karena hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular,

seperti gagal jantung kongestif.


Di Indonesia, penderita gagal jantung yang menjalani rawat inap adalah sebesar

13.396 kasus. Sedangkan untuk yang menjalani rawat jalan sebesar 16.431 kasus. Selain

itu gagal jantung memunculkan angka case fatality rate sebesar 13,42% (Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, 2007). Angka prevalensi gagal jantung di Amerika dalam

setahun ditemukan 5,8 juta orang yang terdiri atas 3,1 juta laki-laki dan 2,7 juta perempuan

1
serta merupakan penyebab frekuensi tertinggi dari hospitalisasi pada pasien usia 65 tahun

atau lebih.
Terapi standar yang diberikan untuk gagal jantung berat adalah loop diuretik, ACE

inhibitor, digoksin, blocker atau kombinasinya. Pada dua RCT (CONSENSUS dan

SOLVD-Treatment) yang dilakukan pada 2.800 pasien dengan diagnosis gagal jantung

ringan ke berat yang diberi enalapril dan placebo menunjukkan hasil bahwa terapi dengan

ACE inhibitor menurunkan risiko kematian (RRR = Relative Risk Reduction) sebesar 27%

pada CONSENSUS dan 16% pada SOLVD-Treatment.


Terapi lini pertama untuk pasien CHF adalah Angiotensin Converting Enzym

Inhibitor (ACEI) dan diuretik. ACEI pada gagal jantung ditujukan untuk semua pasien

CHF karena tidak berfungsinya sistolik pada ventrikel kiri (left ventricular systolic

dysfunction). Disamping itu, ACEI juga digunakan untuk mengontrol tekanan darah pasien,

sedangkan diuretik harus secara rutin digunakan untuk menghilangkan gejala kongestif dan

retensi cairan pada pasien gagal jantung dengan titrasi dosis sesuai kebutuhan .

Penggunaan ACEI ditoleransi dengan baik, tapi bukan berarti tanpa efek samping. Salah

satu efek samping ACEI yaitu meningkatkan kadar kalium dalam darah. Walaupun

peningkatannya kecil, jika pasien diterapi dengan thiazid atau spironolakton, hiperkalemia

bisa terjadi. Jika terapi ACEI harus dikombinasi dengan diuretik, maka diuretik loop

seperti fursemid menjadi pilihan dibandingkan dengan diuretic thiazid dan spironolakton.
Insidensi obat-obat yang dapat menginduksi kerusakan ginjal terus meningkat seiring

dengan meningkatnya jumlah obat yang ada saat ini. ACEI dan furosemid merupakan

beberapa contoh dari banyak obat yang berkontribusi menimbulkan kerusakan ginjal.

Sindrom yang biasa terjadi yaitu gagal ginjal akut yang berkaitan dengan aksi angiotensin

II pada arteri aferen untuk menjaga laju filtrasi glomerulus (GFR) pada tekanan perfusi

yang rendah . Penurunan GFR ini menyebabkan peningkatan nilai kreatinin serum yang

merupakan salah satu dari beberapa parameter kerusakan ginjal (Dipiro, 2008). Sebelum

2
menggunakan obat-obat golongan ACEI dan furosemid, disarankan untuk melakukan

pemeriksaan terhadap fungsi ginjal dan elektrolit. Selain itu, selama pengobatan harus

dilakukan pemantauan terhadap efek samping ACEI. Meskipun ACEI memiliki peran

khusus dalam beberapa bentuk penyakit ginjal, termasuk penyakit ginjal kronis, namun

ACEI kadang-kadang menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang dapat berlanjut dan

menjadi parah.
Prognosis dari gagal jantung kurang baik yaitu diperkirakan angka survival 50% dan

10% pada jangka waktu 5 dan 10 tahun. Gagal jantung juga menempati sekitar 30-35 %

dari total hospitalisasi . Case fatality rates setelah hospitalisasi dari gagal jantung dalam 30

hari adalah 10,4% sedangkan dalam 1 tahun adalah 22% dan dalam 5 tahun adalah 42,3%.

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan Uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan sebagai berikut :


1. Apa yang dimaksud dengan gagal jantung ?
2. Apa yang dimaksud dengan ACE Inhibitor ?
3. Apa saja klasifikasi dari gagal jantung ?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya gagal jantung ?
5. Apa saja tanda dan gejala dari gagal jantung ?
6. Bagaimana penatalaksanaan pasien gagal jantung ?
7. Bagaimana peranan ACE Inhibitor terhadap gagal jantung ?
8. Bagaimana prognosis dari gagal jantung ?

1.2 Manfaat
Adapun penyusunan referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain
1. Diperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam menyusun referat.
2. Penerapan ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama pendidikan

kepaniteraan klinik di RSUD R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.


3. Memberikan gambaran dan wawasan mengenai gagal jantung.
4. Mengetahui peranan ACE Inhibitor terhadap pengobatan gagal jantung.
5. Menumbuhkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap pengobatan gagal

jantung.

1.2 Rumusan Masalah

3
1. Apa yang dimaksud dengan Decomp Cordis?

2. Bagaimana patofisiologi terjadinya Decomp Cordis?

3. Bagaimana penatalaksanaan Decomp Cordis dengan penggunaan ACE Inhibitor?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami definisi, epidemiologi, faktor risiko, klasifikasi, patofisologi, patologi,

penatalaksanaan dan prognosis nefropati diabetik.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran.

3. Memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

1.4 Manfaat Penulisan


1. Memberiikan informasi kepada masyarakat mengenai nefropati diabetikum,

bagaimana patogenesis, penegaan diagnosis,terapi dan faktor resiko penularannya.


2. Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber tambahan ilmu bagi

para pembaca di bidang kesehatan khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
3. Penulisan makalah ini dengan sendirinya akan menambah wawasan dan ilmu bagi

penulis.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FISIOLOGI JANTUNG

2.1.1 Bentuk dan letak jantung

Jantung berbentuk seperti buah pir atau kerucut terletak seperti piramida terbalik

dengan apeks (puncak) berada di bawah dan basis (alas) berada di atas. Jantung yang

normal terletak di rongga dada sebelah kiri, di dalam ruang mediastinum. Apeks jantung

menghadap ke kiri depan bawah. Besar jantung lebih kurang sebesar kepalan tangan

pemiliknya. Pada bayi ukurannya relatif lebih besar daripada dewasa. Pada bayi,

perbandingan jantung terhadap rongga dada (rasio kardiotoraks) mencapai 60%, pada anak

besar sampai dewasa muda mencapai 50%.

5
Gambar 1. letak jantung

2.1.2 Lapisan jantung

Lapisan otot jantung terdiri dari perikardium, epikardium, miokardium dan

endokardium. Lapisan perikardium adalah lapisan paling atas dari jantung terdiri dari

fibrosa dan serosa dan berfungsi sebagai pembungkus jantung. Lapisan perikardium terdiri

dari perikardium parietal (pembungkus luar jantung) dan perikardium visceral (lapisan

yang langsung menempel pada jantung). Antara perikardium parietal dan visceral terdapat

ruangan perikardium yang berisi cairan serosa berjumlah 15-50 ml dan berfungsi sebagai

pelumas.

Lapisan epikardium merupakan lapisan paling atas dari dinding jantung. Selanjutnya

adalah lapisan miokardium yang merupakan lapisan fungsional jantung yang

memungkinkan jantung bekerja sebagai pompa. Miokardium mempunyai sifat istimewa

6
yaitu bekerja secara otonom (miogenik), durasi kontraksi lebih lama dari otot rangka dan

mampu berkontraksi secara ritmik.

Ketebalan lapisan miokardium pada setiap ruangan jantung berbeda-beda. Ventrikel

kiri mempunyai lapisan miokardium yang paling tebal karena mempunyai beban lebih

berat untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik yang mempunyai tahanan aliran darah

lebih besar.

Miokardium terdiri dari dua berkas otot yaitu sinsitium atrium dan sinsitium

ventrikel. Setiap serabut otot dipisahkan diskus interkalaris yang berfungsi mempercepat

hantaran impuls pada setiap sel otot jantung. Antara sinsitium atrium dan sinsitium

ventrikel terdapat lubang yang dinamakan anoulus fibrosus yang merupakan tempat

masuknya serabut internodal dari atrium ke ventrikel. Lapisan endokardium merupakan

lapisan yang membentuk bagian dalam jantung dan merupakan lapisan endotel yang sangat

licin untuk membantu aliran darah.

Gambar 2. Lapisan jantung

2.1.3 Ruang-Ruang Jantung

7
Jantung terdiri dari empat ruang, dua ruang berdinding tipis disebut atrium dan dua

ruang berdinding tebal disebut ventrikel.

1. Atrium

Atrium kanan. Berfungsi menampung darah yang rendah oksigen dari seluruh tubuh

yang mengalir dari vena kava superior dan inferior serta sinus koronarius yang

berasal dari jantung sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan

selanjutnya ke paru-paru.

Atrium kiri. Berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru melalui

empat buah vena pulmonalis. Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri dan

dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.

2. Ventrikel

Ventrikel kanan. Berfungsi memompakan darah dari atrium kanan ke paru-paru

melalui vena pulmonalis.

Ventrikel kiri. Berfungsi memompakan darah yang kaya oksigen dari atrium kiri ke

seluruh tubuh melalui aorta.

8
Gambar 3. Ruang-Ruang Jantung

2.1.4 Katup Jantung

Katup jatung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu katup yang menghubungkan antara

atrium dengan ventrikel dinamakan katup atrioventrikuler, sedangkan katup yang

menghubungkan sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal dinamakan katup semilunar.

Katup atrioventrikuler terletak antara atrium dan ventrikel. Katup yang terletak antara

atrium kanan dan ventrikel kanan disebut katup trikuspidalis. Katup yang terletak

antara atrium kiri dan ventrikel kiri disebut katup bikuspidalis atau katup mitral. Katup

atrioventrikuler memungkinkan darah mengalir dari masing-masing atrium ke ventrikel

pada saat diastolik dan mencegah aliran balik pada saat ventrikel berkontraksi

memompa darah keluar jantung yaitu pada saat sistolik.

9
Katup semilunar terdiri dari katup pulmonal yaitu katup yang menghubungkan antara

ventrikel kanan dengan pulmonal trunk, katup semilunar yang lain adalah katup yang

menghubungkan antara ventrikel kiri dengan asendence aorta yaitu katup aorta.

Katup berfungsi mencegah aliran darah balik ke ruang jantung sebelumnya sesaat

setelah kontraksi atau sistolik dan sesaat saat relaksasi atau diastolik. Tiap bagian daun

katup jantung diikat oleh chordae tendinea sehingga pada saat kontraksi daun katup tidak

terdorong masuk keruang sebelumnya yang bertekanan rendah. Chordae tendinea sendiri

berikatan dengan otot yang disebut muskulus papilaris.

Gambar 4. Katup Jantung

2.1.5 Pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)

Keseluruhan sistem peredaran (sistem kardiovaskuler) terdiri dari arteri, arteriola,

kapiler, venula dan vena.

10
Arteri

Arteri berfungsi untuk transportasi darah dengan tekanan yang tinggi ke seluruh

jaringan tubuh. Dinding arteri kuat dan elastis (lentur), kelenturannya membantu

mempertahankan tekanan darah diantara denyut jantung. Dinding arteri banyak

mengandung jaringan elastis yang dapat teregang saat sistol dan mengadakan rekoil saat

diastole.

Arteriola

Merupakan cabang paling ujung dari sistem arteri, berfungsi sebagai katup

pengontrol untuk mengatur pengaliran darah ke kapiler. Arteriol mempunyai dinding yang

kuat sehingga mampu kontriksi atau dilatasi beberapa kali ukuran normal, sehingga dapat

mengatur aliran darah ke kapiler. Otot arteriol dipersarafi oleh serabut saraf kolinergik

yang berfungsi vasodilatasi. Arteriol merupakan penentu utama resistensi/tahanan aliran

darah, perubahan pada diameternya menyebabkan perubahan besar pada resistensi.

Kapiler

Merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis, yang berfungsi

sebagai jembatan diantara arteri (membawa darah dari jantung) dan vena (membawa darah

kembali ke jantung). Kapiler memungkinkan oksigen dan zat makanan berpindah dari

darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke

dalam darah.

Venula

11
Dari kapiler darah mengalir ke dalam venula lalu bergabung dengan venul-venul

lain ke dalam vena, yang akan membawa darah kembali ke jantung.

Vena

Vena memiliki dinding yang tipis, tetapi biasanya diameternya lebih besar daripada

arteri, sehingga vena dapat mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan

kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu dibawah tekanan. Karena tekanan dalam

sistem vena rendah maka memungkinkan vena berkontraksi sehingga mempunyai

kemampuan untuk menyimpan atau menampung darah sesuai kebutuhan tubuh.

2.1.6 Pembuluh darah koroner

1. Arteri

Dibagi menjadi dua :

- Left Coronary Arteri (LCA) : left main kemudian bercabang besar menjadi: left

anterior decending arteri(LAD), left circumplex arteri (LCX)

- Right Coronary Arteri

2. Vena: vena tebesian, vena kardiaka anterior, dan sinus koronarius(10).

12
Gambar 5. Pembuluh darah coroner

2.1.7 Siklus jantung

Setiap siklus jantung terdiri dari urutan peristiwa listrik dan mekanik yang saling

terkait. Rangsang listrik dihasilkan dari beda potensial ion antar sel yang selanjutnya akan

merangsang otot untuk berkontraksi dan relaksasi. Kelistrikan jantung merupakan hasil

dari aktivitas ion-ion yang melewati membran sel jantung. Aktivitas ion tersebut disebut

sebagai potensial aksi. Mekanisme potensial aksi terdiri dari fase depolarisasi dan

repolarisasi :

Depolarisasi

Merupakan rangsang listrik yang menimbulkan kontraksi otot. Respon mekanik dari fase

depolarisasi otot jantung adalah adanya sistolik.

13
Repolarisasi

Merupakan fase istirahat/relaksasi otot, respon mekanik depolarisasi otot jantung adalah

diastolik.

2.1.8 Faktor faktor penentu kerja jantung

Faktor jantung dipengaruhi oleh faktor utama yang saling berkaitan dalam

menentukan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac output)

Beban Awal

Beban awal adalah derajat peregangan serabut miokardium pada akhir pengisian

ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai titik tertentu memperbanyak

tumpang tindih antara filament-filamen aktin dan miosin, sehingga kekuatan kontraksi

dan curah jantung meningkat. Hubungan ini dinyatakan dengan Hukum Starling, yaitu

peregangan serabut-serabut miokardium selama diastol akan meningkatkan kekuatan

kontraksi pada sistole.

Beban awal dapat meningkat dengan bertambahnya volume diastolik ventrikel,

misalnya karena retensi cairan, sedangkan penurunan beban awal dapat terjadi pada

diuresis. Secara fisiologis, peningkatan volume akan meningkatkan tekanan pada akhir

diastol untuk menghasilkan perbaikan pada fungsi ventrikel dan curah jantung, namun

pada ventrikel yang gagal, penambahan volume ventrikel tidak selalu disertai

perbaikan fungsi ventrikel. Peningkatan tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan

bendungan paru atau sistemik, edema akibat transudasi cairan dan mengurangi

14
peningkatan lebih lanjut dari volume dan tekanan. Perubahan dalam volume intrakardia

dan perubahan akhir pada tekanan bergantung pada kelenturan daya regang ruang-

ruang jantung. Ruang jantung yang sangat besar, daya regangnya dapat menampung

perubahan volume yang relative besar tanpa peningkatan tekanan yang bermakna.

Sebaliknya, pada ruang ventrikel yang gagal, yang kurang lentur, penambahan volume

yang kecil dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang bermakna dan dapat

berlanjut menjadi pembendungan dan edema.

Kontraktilitas

Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan kontraksi atau

keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-perubahan dalam panjang

serabut. Pemberian obat-obat inotropik positif seperti katekolamin atau digoksin, akan

meningkatkan kontraktilitas, sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan

kontraktilitas. Pada gagal jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium.

Beban Akhir

Beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai untuk

mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum Laplace , ada tiga variabel

yang mempengaruhi tegangan dinding yaitu ukuran atau radius intraventrikel, tekanan

sistolik ventrikel dan tebal dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan

terhadap ejeksi ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan

retensi cairan dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian vasodilator dan

hipertrofi ventrikel sebagai konsekuensi lain dari gagal jantung dapat mengurangi

beban akhir.

15
2.2 DECOMPENSASI CORDIS

2.2.1 Definisi

Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan

fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan dan atau kemempuannya hanya ada kalau disertai peninggian

tekanan pengisian ventrikel kiri.

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dengan tampilan gejala nafas

yang pendek saat melakukan istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan,

tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki, adanya bukti

obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi

mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada

tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam

keadaan normal.

2.2.2 Klasifikasi

Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung, yaitu :

1. Fungsi miokardium
2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas harian dan

kapasitas latihan maksimal.


3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi)
4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon neurohormonal)

16
Gagal jantung secara umum dibagi menjadi gagal jantung akut dan gagal jantung

kronis.

1. Gagal jantung Akut

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-

gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau

tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik

atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan

dari preload atau afterload. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru

dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut

dari gagal jantung kronik,

Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis :

a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive heart failure)

Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui gagal

jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan

sistemik.

b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with hypertension/crisis

hypertension)

Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya

fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis dengan

takikardi dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat dan

mortaliti rumah sakitnya rendah.

17
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with pulmonary edema)

Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe, dengan

ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya < 90 pada

udara ruangan sebelum diterapi oksigen.

d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome)

Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan koreksi

preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru terjadi

dengan cepat.

e. High output failure

Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat cepat

(penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget,

iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah yang

rendah seperti pada syok septik.

f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure)

Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa

disertai kongesti paru.

g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung

Banyak pasien gagal jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris

sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner akut memiliki

tanda dan gejala gagal jantung akut.

Ada beberapa klasifikasi lain Gagal Jantung Akut yang biasa dipakai di perawatan

intensif, yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto thoraks, serta

klasifikasi Forrester berdasarkan gambaran klinis dan dan status hemodinaik pada infark

18
miokard akut. Tabel berikut menggambarkan mengenai klasifikasi gagal jantung pada

infark miokard akut3

Tabel 1. Klasifikasi Forrester gagal jantung

Klasifikasi Forrester

Perfusi dan PCWP normal

Hipovolemik (poor perfusion and low PCWP)

Edema paru (near normal perfusion and high PCWP)

Syok kardiogenik (poor perfusion and high PCWP)

Klasifikasi yang lain telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati, yang berdasarkan

sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion), diklasifikasikan menjadi :

Kelas I (A) : kering dan hangat (warm and dry)

Kelas II (B) : basah dan hangat (wet and warm)

Kelas III (L) : kering dan dingin (dry and cold)

Kelas IV (L) : basah dan dingin (wet and cold)

2. Gagal jantung kronik

Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik

hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi

ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom

klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam

19
keadaan istirahat atau aktivitas, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam

keadaan isrirahat.

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung (ACC/AHA)

atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

Klasifikasi stadium

Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart Association,

gagal jantung telah diklasifikasikan menjadi beberapa tahap dan juga terapi yang

diberikan yaitu antara lain:

1. Tahap A

Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak

menunjukkan struktur abnormal dari jantung.

2. Tahap B

Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.

3. Tahap C

Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4. Tahap D

Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan

standar.

20
Sedangkan berdasarkan New York Heart Association (NYHA) diklasifikasikan

emnjadi 4 kelas fungsional, yaitu :

1. Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak mempunyai batasan aktivitas fisik.

2. Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung tetapi mempunyai sedikit batasan aktivitas fisik.

3. Kelas III

Pasien dengan penyakit jantung yang mempunyai batasan yang harus diperhatikan

dalam aktivitas fisik.

4. Kelas IV

Pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat melakukan berbagai aktivitas

fisik yang disebabkan dyspnea.

Gambar 6. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung


(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

21
Tabel 2. Perbandingan antara gagal jantung akut dan gagal jantung kronik

Gagal jantung Decomp Chronic Gagal jantung

akut HF kronik

Derajat simptom Jelas Jelas Ringan sedang

Edema paru Sering Sering Jarang

Edema perifer Jarang Sering Sering

Overload volume Tidak ada Meningkat jelas Meningkat

cairan tubuh perubahan atau

meningkat ringan

Kardiomegali Jarang Lazim Lazim

Fungsi sistolik Hypo, normo, Menurun Menurun

ventrikel hiperkontraktilitas

Wall stress Meningkat Meningkat Meningkat

Aktivasi sistem Jelas Jelas Ringan - sedang

saraf simpatis

Aktivasi aksis RAA Sering meningkat Jelas Ringan berat

2.2.3 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi penting

untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan

22
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi

penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi6.

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat

berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio

kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai factor risiko independent

perkembangan gagal jantung.

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada

beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa

mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan

disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark

miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan

hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya

krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh

penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung congenital, katup ataupun penyakit

perikardial.

Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional :

1. Dilatasi (kongestif)

2. Hipertropik

3. Restriktif

4. Obliterasi

23
Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau

tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan

ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strtrauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati

hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski secara

sporadic masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut miokard dengan

gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi

outflow aorta (kardiomiopati hipertropik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai

dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan

dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.

Kardiomiopati peripartum menyebabkan gagal jantung akut.

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama

terjadinya gagal jantung adalah regurgutasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral

dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta

menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan

dengan kelainan struktural termasuk hioertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal

jantung seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung

akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol

menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi

dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat

kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat

menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

24
2.2.4 Epidemiologi

Gagal jantung sudah menjadi masalah di seluruh dunia. Penyebab utama gagal

jantung di negara industri adalah cardiomyopathy ischemic, dengan penyebab utama di

25
negara berkembang adalah penyakit Chagas dan cardiomyopathy valvular. Akan tetapi,

pada negara berkembang yang lebih terurbanisasi, akibat diet yang tidak sehat dan pola

hidup yang kurang sehat menghasilkan peningkatan angka insidens penyakit gagal

jantung, bersamaan dengan peningkatan insidensi diabetes dan hipertensi. Perubahan ini

dapat dilihat pada penelitian ilustratif yang dilakukan di Suweto, Afrika Selatan, dimana

terjadi pergeseran komunitas menjadi lebih mod ern dan urban, dimana terjadi peningkatan

insidensi pada penyakit gagal jantung, diabetes, dan hipertensi. Di Indonesia, diperoleh

hasil prevalensi, penyakit jantung berdasarkan wawancara adalah sebesar 7.2%,

berdasarkan riwayat didiagnosis tenaga kesehatan hanya ditemukan sebesar 0.9%. cakupan

kasus jantung yang sudah didiagnosis oleh tenaga kesehatan sebesar 12.5% dari semua

responden yang mempunyai gejala subjektif penyakit jantung. Case Fatality Report untuk

penyakit jantung adalah sebesar 3,42%. Sementara data negara berkembang tidak sebaik

dan selengkap negara maju, terdapat trend sebagai berikut: Penyebabnya cenderung

nonischemic. Pasien cenderung pada usia yang lebih muda. Prognosis biasanya lebih buruk

di negara yang sumber daya kesehatannya terbatas.

2.2.5 Patogenesis

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung

berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian

ventrikel kiri (filling pressure).

Kerja jantung diatur oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi

secara intrinsik yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot jantung

26
sebelum proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses

pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon miokard untuk

meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut afterload. Sistem kedua

merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan respon jantung terhadap kondisi-

kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat dan penyakit. Setiap perubahan pada kedua

sistem tersebut menyebabkan gagal jantung. Selain itu, sirkulasi paru dan perifer juga

dapat memperburuk kondisi hemodinamik dari gagal jantung.

Gambar 7. Kerja jantung diatur oleh dua mekanisme, yaitu regulasi intrinsik
(preload dan afterload) dan regulasi ekstrinsik yang melibatkan stimulasi neural dan
hormon

A. Hukum Starling tentang Jantung

Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan bahwa

pada kondisi fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi akan

lebih besar bila sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal ini mengakibatkan selama

diastolik, jika terjadi pengisian darah yang lebih besar ke dalam ventrikel dapat

menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi penuh tekanan.

27
Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir (preload)

menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume yang lebih tinggi.

Volume sistolik akhir akan sedikit meningkat namun pada kondisi ini jantung akan bekerja

pada volume diastolik akhir yang lebih besar dan akibatnya akan mengeluarkan volume

stroke yang lebih besar juga.

Karena itu jantung mempunyai kemampuan intrinsik sendiri untuk mengontrol

volume stroke. Batas atas pada kontrol ini dicapai jika diperoleh volume diastolik akhir

tertentu tercapai, sehingga menghasilkan panjang jaringan miokard yang optimal8.

Gambar 8. Hukum Starling menyatakan bahwa peningkatan pada volume diastolik


akhir (preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan
volume lebih tinggi.

B. Perubahan pada gagal jantung

Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri yang

terganggu sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume stroke dengan

meningkatkan preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke sebelah kanan/ bawah dari

posisi normal. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk, tekanan volume jantung akan terus

meningkat dan menyebabkan kongesti vena paru. Setiap pengurangan pada preload,

28
dengan peningkatan afterload atau peningkatan tekanan inotropik atau keduanya akan

menyebabkan pengurangan tekanan pengisian ventrikel dan kerja ventrikel akan membaik.

Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan untuk

memperbaiki kontraktilitas miokard, yaitu:

1) mekanisme Starling

2) aktivasi sistem saraf simpatik

Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan

pengeluaran peptida natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan dinding

jantung. Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan perburukan fungsi

jantung dan menyebabkan abnormalitas aliran koroner, morfologi kapiler, karakteristik

mitokondria dan penghantaran fosfat berenergi tinggi. Selain itu, terjadi iskemia

subendokard akibat peningkatan tekanan intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin

dan angiotensin II, dan juga apoptosis yang menyebabkan fibrosis. Semua ini

memperburuk kondisi gagal jantung.

C. Disfungsi Diastolik dan Sistolik

Gagal jantung akibat disfungsi sistolik merupakan akibat dari ketidakmampuan

jantung untuk berkontraksi secara normal. Jantung tidak dapat memompa darah jika otot

melemah sehingga menyebabkan penurunan volume darah yang dipompa ke seluruh tubuh

dan paru-paru, yang terutama akan menyebabkan pembesaran ventrikel kiri.

Gagal jantung akibat disfungsi diastolik diperoleh dari dinding jantung yang

menebal sehingga jantung tidak dapat mengisi darah dengan normal, akibatnya akan terjadi

penempatan cadangan darah pada atrium kiri dan pembuluh darah paru yang kemudian

menyebabkan kongestif.

29
D. Aktivasi Neurohormonal

Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam

patogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun selanjutnya

menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini menghasilkan beberapa

perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan retensi volume air. Selain itu, respon ini

juga menyebabkan reaksi inflamasi dan berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi

neurohormonal dimulai dari aktivasi sistem saraf simpatik.

Tabel 3. Respon Neurohormonal

Mekanisme Respon kompensasi jangka Respon maladaptif jangka


pendek panjang

I. Hemodinamik Mempertahankan tekanan Menurunkan curah jantung


darah dan curah jantung dan peningkatan konsumsi
Vasokonstriksi dengan meningkatkan energi miokard
afterload

Retensi caiaran dan Mempertahankan curah Menyebabkan edema dan


elektrolit jantung dengan kongesti paru
meningkatkan preload

Peningkatan efek Mempertahankan curah Menyebabkan nekrosis


adrenergik jantung kardiak, aritmia dan
kematian mendadak

II. Inflamasi Memberikan perlindungan Menyebabkan apoptosis


terhadap mikroorganisme kardiak, kaheksia dan
dan zat asing nekrosis

III. Pertumbuhan Hipertropi akibat Hipertropi yang selanjutnya


peningkatan jumlah menyebabkan peningkatan
sarkomer, menurunkan kebutuhan energi, apoptosis
kebutuhan dan kemampuan dan nekrosis jantung
menyimpan energi,
mempertahankan curah
jantung

30
E. Sistem Saraf Simpatik

Sistem saraf simpatik bekerja melalui reseptor dan adrenergik, yang pada

awalnya memperbaiki curah jantung. Namun aktivitas yang tertahan dari sistem saraf

simpatik merubah gagal jantung kompensasi menjadi gagal jantung simptomatik yang

mengakibatkan efek yang tidak diinginkan, yaitu mempengaruhi kinerja ventrikel.

F. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron (Renin-angiotensin-aldosteron system/

RAAS)

Aktivasi RAAS berperan dalam patogenesis gagal jantung. Sistem ini bertanggung

jawab terhadap respon maladaptif jangka panjang yang mengakibatkan perburukan gagal

jantung. RAAS diaktifkan oleh sistem saraf simpatik, menurunnya tekanan arteri renal,

hiponatremi, diuretik dan vasopresin. Hal ini menyebabkan suatu jalur reaksi proteolitik

yang mengakibatkan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II ini yang kemudian

mengakibatkan berbagai respon maladaptif.

Fenomena pelepasan angiotensin

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan kadar

angiotensin II dan aldosteron. Hal ini terjadi karena penghambatan proses perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II, yang dipengaruhi oleh enzim ACE, sehingga akhirnya

merusak sistem RAAS. Selain dengan mengurangi kadar angiotensin II, efek antihipertensi

juga dipengaruhi oleh penurunan pelepasan norepinefrin pasca sinaptik, penghambatan

RAAS pada pusat vasomotor di medula oblongata dan akumulasi bradikinin. ACEI tidak

31
menghambat produksi angiotensin II melalui mekanisme non-ACE sehingga kadar

angiotensin II tidak dapat ditekan secara total. Akibatnya, kadar angiotensin II dapat

kembali normal. Hal ini disebut fenomena pelepasan angiotensin.

Gambar 9. Efek Sistem Renin-angiotensin-aldosteron

G. Jalur Asam Arakidonat

Jalur asam arakidonat menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin E2 dan

I2, yang melindungi mikrosirkulasi glomerulus selama vasokonstriksi renal dan menjaga

filtrasi glomerulus melalui dilatasi pembuluh arteri glomerulus aferen.

H. Sistem Kalikrein-Kinin

Sistem kalikrein-kinin membentuk bradikinin menyebabkan vasodilatasi dan

natriuresis, dan stimulasi produksi prostaglandin. Prostaglandin selain menyebabkan

vasodilatasi juga menghambat agregasi platelet.

I. Aldosteron

32
Aldosteron disekresi oleh korteks adrenal. Mekanisme pelepasannya pada gagal

jantung bervariasi dengan angiotensin yang merupakan stimulus terkuat untuk pelepasan

aldosteron.

Peningkatan kardar aldosteron dalam serum pada kondisi gagal jantung menyebabkan :

Potensiasi katekolamin

Aritmia ventrikular

Fibrosis miokard

Ketidakseimbangan elektrolit

J. Peptida Natriuretik

Fungsi endokrin dari jantung telah diketahui sejak tahun 1950-an. Pada saat itu

ditemukan bahwa jantung mensekresi peptida natriuretik. Tidak seperti RAAS dan aktivasi

sistem saraf simpatik, peptida ini menahan perkembangan penyakit gagal jantung.

Kemajuan ilmu terkini menunjukkan bahwa peptida natriuretik terus meningkat perannya

sebagai molekul dan indikator diagnostik yang penting dalam terapi gagal jantung11.

Terdapat tiga bentuk peptide natriuretik yang berstruktur hampir sama yang

memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial natriuretic

peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan

natriuresis dan vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic peptide (BNP) juga dihasilkan

di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip ANP. C-type natriuretic terbatas pada

endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi

minimal. ANP dan BNP meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan

kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus

33
vaskuler,sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan

peptide natriuretik pada gagal jantunng, maka banyak penelitian yang menunjukkan

perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi

pada penderita gagal jantung12.

K. Hormon Antidiuretik

ADH disintesis pada hipotalamus dan disimpan dalam pituitari merupakan

vasokonstriktor dan vasodilator kuat. Dengan berikatan pada resptor V1, vasopresin

menyebabkan vasokonstriksi dan jika berikatan dengan reseptor V2 menyebabkan

vasodilatasi. Vasopressin juga meningkatkan reabsorpsi air melalui duktus pengumpul pada

ginjal dan menghambat diuresis. Pada gagal jantung, pelepasan vasopressin ditentukan

oleh pengisian arteri dan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar vasopressin

menyebabkan hiponatremia akibat pengenceran.

L. Endotelin

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide

vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,

yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan

semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan

dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure.

M. Remodeling Jantung

Modifikasi pada fungsi dan morfologi sel otot jantung

- Perubahan dalam anatomi sitoskeletal dan hipertropi miosit

34
- Abnormalitas dalam homeostasis kalsium

- Proses kontraksi-eksitasi

- Kematian Sel

2.2.6 Diagnosis

A. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara

luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua criteria mayor atau satu kriteria

mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jira kriteria minor tersebut

tidak berrhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK,

sirosis hati, atau sindrom nefrotik.

Tabel 4. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher

Rales paru

Kardiomegali pada hasil rontgen

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan

35
Hepatojugular reflux

Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan

gagal jantung

Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi 120x/menit

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Sebagai penunjang dari pemeriksaan klinis yang terperinci, pemeriksaan penunjang

diagnostik yang menyeluruh sangat perlu dilakukan pada pasien yang diduga kuat terkena

penyakit gagal jantung.

Pemeriksaan penunjang diagnostik juga sangat membantu pada pasien yang

mengalami sedikit gejala dan juga bermanfaat untuk mendiagnosis penyebab gagal

jantung. Ejeksi Fraksi juga ditentukan dari pemeriksaan penunjang.

36
A. Rontgen foto toraks

Rontgen toraks bermanfaat untuk mendiagnosis gagal jantung dan memantau respon

pengobatan.

Hal berikut yang dapat ditemukan pada hasil rontgen toraks:

Tabel 5. Kelainan rontgen toraks yang sering ditemukan pada Gagal Jantung

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler

ventrikel kanan, atria, efusi

perikard

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi, doppler

kardiomiopati hipertropi

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri

pengisian ventrikel kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri

pengisian ventrikel kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non

peningkatan pengisian kardiak

tekanan jika ditemukan

bilateral, infeksi paru,

keganasan

Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal

37
limfatik jantung kronis

B. Elektrokardiogram

Hasil EKG bersama dengan gejala klinis dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis pada

pasien yang dicurigai menderita gagal jantung.

Tabel 6. Kelainan EKG yang sering pada gagal jantung

Kelainan Penyebab Implikasi klinis

Sinus takikardi Gagal jantung yang Penilaian klinis

terdekompensasi, anemia,
Pemeriksaan laboratorium
infeksi, hipertiroidiesme

Sinus bradikardi Obat bloker, anti aritmia, Evaluasi terapi obat

sick sinus syndrome,


Pemeriksaan laboratorium
hipotiroidisme

Atrial takikardi/ flutter/ Hipertiroidisme, infeksi, Konduksi AV yang lambat,

fibrilasi gagal jantung konversi medical,

terdekompensasi, infark elektroversi, ablasi kateter,

antikoagulasi

Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratorium

kardiomiopati, miokarditis,
Tes latihan beban
hipokalemiaa,
Pemeriksaan perfusi
hipomagnesemi, overdosis

digitalis Angiografi koroner

Pemeriksaan

elektrofisiologi, ICD

Isekmia/ Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,

38
angiografi koroner,

revascularisasi

Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi

hipertropi, LBBB, pre-


Angiografi koroner
eksitasi

Hipertropi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler

aorta, kardiomiopati

hipertropi

Blok AV Infark, intoksikasi obat, Evaluasi penggunaan obat,

miokarditis, sarcoidosis pacu jantung, penyakit

sistemik

Mikrovoltage Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi

perikard, amiloidosis
Rontgen trax

Durasi QRS > 120 msec Disinkroni elektronik Ekokardiografi, CRT-P,

dengan morfologi LBBB CRT-D

C. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi rutin

Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan, terutama, anemia pada

pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga merupakan penyebab kesulitan bernafas dan

gagal jantung high output.

Urinalisis

39
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat pada pemeriksaan

urin rutin.

Elektrolit serum

Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia mungkin terjadi akibat

penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan elektrolit ini dapat memicu aritmia.

Hiponatremia juga merupakan pertanda tingkat keparahan gagal jantung.

Profil Lipid

Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, dan juga perbandingan

HDL/ kolesterol

Tes fungsi hati

Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim hati dan penurunan

albumin.

Tes fungsi ginjal

Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus dilakukan sebelum

memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan kadar kreatinin serum menandakan :

Pengobatan ACEI

40
Pengobatan diuretik dosis tinggi

Azotemia pre-renal

Stenosis arteri ginjal

Hormon stimulasi tiroid

Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output. Oleh karenanya,

pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang baru didiagnosis gagal jantung.

Peptida natriuretik

Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung yang dapat

digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok

peptida natriuretik terdiri dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain

natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal,

dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya dari projormon N-

terminal-pro-BNP (NT-proBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal

jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan

prognosis.

Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung

Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk diagnosis gagal

jantung

Usia (tahun) Cenderung bukan Kemungkinan Kemungkinan

gagal jantung gagal jantung besar gagal

41
jantung

BNP semua <100 pg/mL 100-500 pg/mL >500 pg/mL

NT-proBNP < 50 <300 pg/mL 300-450 pg/mL >450 pg/mL

50-75 <300 pg/mL 450-900 pg/mL >900 pg/mL

>75 <300 pg/mL 900-1800 pg/mL >1800 pg/mL

D. Ekokardiografi

Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat dalam membantu

menilai struktur dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini merupakan standar utama (gold

standar) untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan membantu memperkirakan

hasil dan kemampuan bertahan kasus gagal jantung.

E. Pemeriksaan Katerisasi Jantung

Tindakan invasif berikut dapat dilakukan terhadap pasien dengan gagal jantung.

Pemeriksaan kateterisasi jantung : kateterisasi sisi kiri bermanfaat untuk menilai tekanan

diastolik akhir dan kateterisasi sisi kanan bermanfaat untuk menilai kejenuhan oksigen dan

tekanan wedge arteri kapiler.

42
2.2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan gagal jantung :

a. Menurunkan mortalitas

b. Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup

c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan miokard, remodelling

miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan, dan perawatan di

rumah sakit.

A. Tatalaksana Gagal Jantung Kronik

Tatalaksana Non Farmakologi

Perawatan Mandiri

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung

dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas

fungsional, well being, morbiditi dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan

sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik,

43
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala

perburukan. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai berikut:

Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang

diperlukan dan perilaku perawatan mandiri

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

jantung keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan tanda-tanda Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai

anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat

digunakan

Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko berhenti merokok, memantau tekanan darah

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan

membuat keputusan realistik

44
Tatalaksana Farmakologik

A. Gagal Jantung Kronik

Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam

terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup,

namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat

mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, morbiditas dan

mortalitas pasien gagal jantung membaik13

Angiotensin converting enzyme (ACEI)

Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien,

menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan

angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Memulai pemberian ACEI :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

45
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara

cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF < 40% yang

masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta antagonis aldosteron.

Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan

menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung. (Kelas

Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien

yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB

menurunkan risiko kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I,

Tingkat Bukti B).

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

- LVEF < 40%

- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun

sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

- periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

46
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara

cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda klinis/ gejala

kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).

Memulai pemberian diuretik :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum

- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena

efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis

- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian dan tanda

klinis lainnya dari retensi cairan.

Antagonis Aldosteron

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal

jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk

dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi, aldosteron antagonis ditambahkan pada

keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I,

Tingkat Bukti B).

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

- LVEF < 35%

- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

47
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan dosis

jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Beta bloker

Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan

LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan

kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal jantung dan

meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS sebelum

pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

- Mengurangi detak jantung : memperlambat pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.

- Meningkatkan LVEF

- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure

Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :

- LVEF <40%

- Gejala ringan sampai berat

- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal

- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis

diuretik).

48
Memulai pemberian beta bloker :

- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien yang

dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)

- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan

meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung, hipotensi

gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x / menit) pada tiap

kunjungan.

Glikosida jantung

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan

meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam

protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat

penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui

penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan untuk

mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C). Pada penderita

gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan digoksin (sebagai

tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka masuk RS karena

perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas Rekomendasi

IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam

hal :

- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi

ventrikel kiri.

49
- Menstimulasi baroreseptor jantung

- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan

penekanan sekresi renin dari ginjal.

- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal

tone.

- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan saat

aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang

mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan

antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat

dipertimbangkan.

Senyawa amin simpatomimetik

Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat digunakan dalam

penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis beta1 selektif yang dapat

meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.

- efek inotropik positif

- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload

Efek dopamin sangat tergantung dosis:

- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan

diuresis

- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung

dan detak jantung

50
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan

meningkatkan tekanan darah.

Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi

Terapi vasodilator

A. Antagonis kalsium

Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek inotropik

negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya

antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.

B. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida

Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan

kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload menimbulkan

peningkatan curah jantung17.

Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi hipotensi.

Karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan infark miokard akut.

Pada saat memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan monitoring tekanan darah intra

arteri.

C. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)

51
Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian

(Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit untuk perburukan

gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel

dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).

Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN

- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis

aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah

mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.

Memulai pemberian H-ISDN :

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada

hipotensi yang simtomatis.

E. Nitrogliserin intravena

Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin merupakan

terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi

preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload.

Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien

dengan gagal jantung dekompensasi berat.

Peptida natriuretik

52
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini

bekerja menyebabkan :

- Natriuresis.

- Diuresis.

- Dilatasi vena dan arteri.

- Penghambatan sistem saraf simpatis.

- Antagonis protein pada rantai RAAS.

- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.

Trombolitik

A. Antiplatelet

Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin memperlihatkan

perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan prostaglandin. Penelitian

lain memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan

aspirin18.

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal

jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi

terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi

tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).

B. Antikoagulan

53
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan:

- Fibrilasi atrial

- Riwayat tromboembolik

- Trombus pada ventrikel kiri

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal

jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi

terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi

tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). Antikoagulan juga

direkomendasikan pada penderita dengan trombus intrakardiak yang dideteksi dengan

imaging atau bukti emboli sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).

Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

Obat Dosis awal Dosis target

ACEI

Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg

Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg

Lisinopril 1 x 2,5 5 mg 1 x 10 20 mg

Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg

Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg

ARB

Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg

Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg

Beta bloker

Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg

Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg

54
Metoprolol succinat 1 x 12,5 25 mg 200 mg

Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg

Hidralazin ISDN

Hidralazin ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg

Antagonis aldosteron

Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg

Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 50 mg

2.3 ACE INHIBITOR

Antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk mengatasi hipertensi, yaitu gejala
yang terjadi oleh karena tekanan darah arteri melebihi normal. Salah satu golongan obat
dari Antihipertensi adalah golongan obat ACE Inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme
Inhibitor).

Obat-obatan penghambat ACE ( ACE inhibitor ) adalah segolongan obat yang


menghambat kinerja angiotensin-converting enzyme (ACE), yakni enzim yang berperan
dalam sistem renin-angiotensin tubuh yang mengatur volume ekstraseluler (misalnya
plasma darah, limfa, dan cairan jaringan tubuh), dan vasokonstriksi arteri. Inhibator ACE
merupakan pilihan obat yang utama berdasarkan pada penelitian dimana terjadi penurunan

55
morbiditas dan kematian. Pada penderita gagal jantung terjadi kadar renin dan angiotensin
II yang tinggi, maka terapi seharusnya diawali dengan dosis rendah untuk menghindari
hipotensi ortostatik. Inhibitor ACE meningkatkan fungsi jantung dan mengurangi kejadian
kardiovaskular setelah infark miokardial. Penderita diabetes dan hipertensi seharusnya
mendapatkan pengobatan yang mengandung inhibitor ACE karena menyebabkan
nefroproteksi dan mengurangi resiko kardiovaskular. Inhibator ACE menurunkan
kombinasi resiko dari kematian atau perawatan rumah sakit, progres lambat dari gagal
jantung, dan menurunkan laju timbulnya reinfark. Inhibator ACE dapat dikombinasikan
dengan hidralazin / isosorbid dinitrat sebagai vasodilator. Inhibator ACE juga efektif untuk
pencegahan gagal jantung.

ACE memiliki dua fungsi utama di tubuh, fungsi pertama adalah sebagai katalisator
angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan senyawa vasokonstriktor kuat.
Sedangkan fungsi ACE yang kedua adalah sebagai pengurai bradikinin, yang merupakan
vasodilator kuat. Kedua fungsi ACE tersebut menjadikan penghambatan ACE penting
perannya dalam perawatan penyakit tekanan darah tinggi, gagal jantung, dan diabetes
mellitus tipe 2. Penghambatan ACE akan berakibat menurunnya pembentukan angiotensin
II dan menurunnya metabolisme bradikinin, dengan demikian akan terjadi dilasi
(pelebaran) sistematik pada arteri dan vena, serta penurunan tekanan darah arteri. Akan
tetapi penghambatan ACE, yang juga secara langsung akan menghambat pembentukan
angiotensin II dapat menyebabkan pengurangan sekresi aldosteron (yang dimediasi
angiotensin II) dari korteks adrenal. Hal ini akan mengakibatkan penurunan penyerapan
kembali air dan natrium, serta pengurangan volume ekstraseluler.

2.3.1 Mekanisme kerja ACE Inhibitor

Enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II disebut dengan


Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
tidak saja terjadi di paru-paru, namun ACE ditemukan pula di sepanjang jaringan epitel
pembuluh darah. Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai menjadi angiotensin II
dikenal dengan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). Sistem tersebut memegang
peranan penting dalam patogenesis hipertensi baik sebagai salah satu penyebab timbulnya
hipertensi, maupun dalam perjalanan penyakitnya (Ismahun, 2001). RAAS merupakan
sistem hormonal yang kompleks berperan dalam mengontrol sism kardiovaskular, ginjal,
kelenjar andrenal, dan regulasi tekanan darah. Sistem RAAS tidak berperan sebagai sistem

56
hormonal, tetapi dapat berperan sebagai salah satu obat yang digunakan untuk
mengembalikan tekanan darah pada penderita hipertensi yaitu ACE-inhibitor. ACE-
inhibitor merupakan obat unggulan untuk penyakit kardiovaskular, terutama dalam
memperbaiki fungsi dan anatomi pembuluh darah arteri, memperbaiki fungsi endotel,
meregresi tunika media, meregresi dan menstabilkan plak aterosklerosis (Soemantri, et al.
2007). Obat-obatan yang termasuk dalam ACE inhibitor tersebut bekerja dengan
menghambat efek angiotensin II yang bersifat sebagai vasokonstriktor. Selanjutnya ACE
menyebabkan degradasi bradikinin menjadi peptida inaktif atau dalam pengertian
bradikinin tidak diubah. Dengan demikian peranan ACE pada hipertensi yaitu
meningkatkan kadar bradikinin yang memberikan kontribusi sebagai vasodilatator untuk
ACE-inhibitor. Akibat vasodilatasi maka menurunkan tahanan pembuluh peripheral,
preload dan afterload pada jantung sehingga tekanan darah dapat diturunkan.

57
2.11 Efek Kardioprotektif dari Ace Inhibitor

Pengobatan terhadap gagal jantung (HF) masih banyak tantangan yang perlu
diketahui lebih jauh, meski saat ini sudah terjadi perkembangan yang pesat terhadap
pengobatan HF. ACE inhibitor yang sekarang direkomendasikan sebagai terapi standart
untuk penderita HF. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kegunaannya tidak perlu
lagi dipertanyakan dalam meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Pada
penelitian lebih lanjut b bloker menunjukkan suatu perlambatan dari perjalanan penyakit
dengan menekan angka morbiditas dan mortalitas. Bagaimanapun juga strategi terapi yang
rasional dan efektif dibutuhkan untuk menurunkan progresivitas dari penyakit tersebut.

Bukti yang ada mendukung bahwa kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA pada pasien

58
dengan HF memberikan manfaat pengobatan yang lebih besar daripada dipakai dengan
monoterapi. Dengan mempengaruhi RAS (Renin Angiotensin System) melalui mekanisme
yang lain, disamping aktivitas yang biasa. Dimana obat ini mungkin menyebabkan
perbaikan hemodinamik dan mempengaruhi perkembangan gejala. Pemakaian kombinasi
diantara keduanya merupakan langkah maju dalam memperlambat perjalanan HF yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan perbaikan penderita
untuk beraktivitas dan kualitas hidupya. Dengan ini kita melihatkembali bagaimana
patofisiologi HF dan peran ACE inhibitor dan AIIRA dan Kombinasi keduanya dalam
pengobatan penyakit HF.

Aktivasi RAS yang secara kronis dan berlebihan pada HF dapat menyebabkan efek
penghilangan dalam jangka pendek ataupun panjang, yang mana efek penghilangan
tersebut akibat aksi fisiologis dari Ang II yang memiliki pengaruh dalam homeostasis
kardiovaskuler-vasokonstriksi, vaskuler hipertropi dan pelepasan aldosteron, dimana Ang
II yang dipercaya sebagai penyebab tersebut yaitu yaitu Ang II spesifik dari AT1. Dimana
pada HF, aksi dari AT1 tersebut menyebabkan overload cairan dan menimbulkan hipertropi
ventrikel dan juga mempengaruhi fungsi ventrikel. Reseptor subtipe AT1, terdistribusikan
secara luas pada berbagai macam jaringan jantung dan ginjal. Hal ini secara efektif
diblokade oleh AIIRA. Sebaliknya reseptor Ang II yang lain yaitu AT2 dipercaya memiliki
efek yang berbeda dengan AT1. Hal ini tampak jelas pada fetus dan terbatas pada orang
dewasa. Pada keadaan patologis, reseptor AT2 akan diperbanyak. Ketika reseptor AT1
diblokade oleh AIIRA reseptor, AT2 dapat terstimulasi. Hasil dari stimulasi ini masih
diteliti, dimana keduanya diduga berkaitan erat dengan vasodilation, growrth inhibisi dan
apoptosis.

Penurunan kerja Ang II merupakan cara yang logis dalam terapi HF dan sering
dilakukan dengan pemakaian ACE inhibitor yang secara sistematis memblokade An g I
Ang II, atau melalui blokade reseptor AT1, namun demikian saat ini diketahui bahwa Ang
II dapat dibentuk melalui kerja chymase pada jaringan lokal, termasuk jantung yang tidak
tergantung dengan ACE. Untuk itu inhibisi lebih sempurna terhadap Ang II perlu
dilakukan, yang secara teoritis dilakukan dengan pemakaian AIIRA.

2.3.3 Kajian Non Klinis dan Klinis Ace inhibitor Pada Gagal Jantung

59
Pada anjing, percobaan dengan cara menginduksi hipertropi ventrikel kiri dan
disfungsi diastolik, penggunaan ACE inhibitor atau AIIRA memperbaiki efisiensi dan
komplayen dari ventrikel kiri. Hasil ini mendukung bahwa dua golongan ini potensial
untuk terapi disfungsi ventrikel yang berhubungan dengan hipertropi jantung.

Pada percobaan yang menggunakan babi, efek dari ACE inhibitor dan blokade
reseptor AT1 tunggal maupun kombinasi, pada fungsi ventrikel kiri, hemodinamik sistemik
dan aktivitas neurohumoral sistem pada HF diinduksi oleh Chronic Pacing Tachycardia.
Pengurangan dilatasi dari ventrikel kiri memperbaiki performance dari ventrikel load dan
normalisasi kadar neurohumoral termasuk NE dan aldosteron.

Hasil dari penelitian ini mendukung bahwa kombinasi ACE inhibitor clan AIIRA
terapi mungkin memberikan penambahan keuntungan pada fungsi pompa dan geometri
ventrikel. Pada penelitian lain dari laboratorium yang sama, perubahan hemodinamik dan
Regional Blood Flow dievaluasi pada binatang sebelum dan setelah terapi dengan ACE
inhibitor, AIIRA atau terapi kombinasi. Keduanya mengurangi resistensi vaskuler sistemik,
memperbaiki COP dan mengurangi aktivitas neurohumoral sistem . Dengan latihan,
kornbinasi terapi rnenunjukkan efek yang lebih rnenguntungkan daripada monoterapi.

Sebagai tambahan terapi kombinasi memperbaiki aliran darah miokardial pada saat
istirahat dan mengurangi resistensi koroner yang tidak dapat dicapai oleh kedua-duanya
dalam monoterapi. Pada penelitian double blind, kelompok-kelompok studi mengevaluasi
efek hemodinamik jantung dari AIIRA valsartan pada 116 pasien dengan HF yang stabil
(NYHA kelas II IV). Setelah 28 hari perawatan, dosis valsartan ditingkatkan sampai 160
mg dua kali sehari mengurangi rata-rata tekanan kapiler paru-paru dan resistensi vaskular
sistemik dan meningkatkan cardiac out put sebanding dengan placebo. Efikasi valsartan
harnpir serupa dengan lisinopril dalam penelitian ini. Hal ini mendukung bahwa AIIRA
dapat memproduksi efek terapi hemodinamik pada pasien HF dalam waktu yang singkat.

Pada penelitian yang lain, bahwa AIIRA mungkin memberikan manfaat pada pasien
dalam waktu yang lama. Dalam penelitian ELITE (Evaluation of Losartan in The Elderly),
efek jangka panjang terapi dengan losartan atau captopril pada fungsi ginjal dievaluasi
pada pasien tua dengan HF. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi dengan losartan

60
(50 mg tiap hari) atau captopril (50 mg tiga kali sehari), setelah 48 minggu kejadian
disfungsi renal persisten dengan kedua terapi tersebut tidak berbeda. Bagaimanapun secara
umum dapat ditoleransi lebih baik dan berhubungan dengan penurunan penyebab rata-rata
mortalitas. Penemuan ini dipertimbangkan karena ditemukan pada populasi yang kecil dan
fungsi ginjal bukan merupakan titik akhir, follow-up penelitian ELITE II mendekati
sempurna. Penelitian pada terapi HF didapatkan bahwa terapi ACE inhibitor dan atau
AIIRA memberikan hemodinamik yang efektif dan memperbaiki simptom pada pasien HF.
Meskipun terapi ACE inhibitor memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien HF secara
jelas, fakta mendukung bahwa AIIRA mungkin memberikan efek yang sarna. Penggunaan
agent ini dalam kombinasi meningkatkan kemungkinan bahwa AIIRA dapat memproduksi
efek terapi tambahan pada pasien HF karena pada dasarnya perbedaan kerja pada RAS.
Tentu saja kedua penemuan secara klinis dan non klinis mendukung kemajuan evaluasi
dari terapi kombinasi HF.

2.3.4 Kajian Klinis Ace inhibitor Pada Gagal Jantung

Kajian klinis awal menunjukkan bahwa dosisi tunggal dari ACE inhibitor dan
mempunyai kemampuan meningkatkan efek hemodinamik dalam menurunkan tekanan
darah. Hasil dari sebuah penelitian baru ini telah dilaporkan. Penelitian double blind, efek
hemodinamik dari AIIRA valsartan pada 83 pasien yang kronis, HF yang stabil ( NYHA
kelas II-IV) yang telah siap menerima terapi standart untuk HF termasuk ACE inhibitor.
Hal ini dirancang untuk mengevaluasi apakah valsartan meningkatkan hemodinamik dan
efek horrnonal dalam berbagai ragam dosis ketika ditambahkan pada ACE inhibitor. Pasien
yang dipilih secara acak untuk menerima plasebo, 80 mg valsartan dua kali sehari. Untuk
menjamin bahwa pasien memperoleh dosis ACE inhibitor yang adekuat, mereka juga
diberikan dosis tunggal dari lisinopril. Monitoring terhadap hemodinamik secara invasif
dipakai sebagai basisnya dan setelah 4 minggu terapi. Penambahan valsartan secara
kombinasi menghasilkan penurunan yang signifikan pada sebagian besar pengukuran
parameter hemodinamik, termasuk tekanan kapiler paru, tekanan diastolik arteri paru,
tekanan sistolik dan diastolik dan rata-rata tekanan arteri paru. Pada pasien HF yang
menerima terapi ACE inhibitor, penambahan AIIRA bertujuan untuk meningkatkan
keuntungan bagi hemodinamik jantung. Ini tetap bisa dibuktikan apakah keuntungan
hemodinamik dari terapi kombinasi ini mendatangkan keuntungan jangka panjang bagi
pasien HF. Untuk memperjelas kemungkinan keuntungan jangka panjang dari penambahan

61
terapi AIIRA terhadap terapi konvensional bagi HF termasuk ACE inhibitor terapi.
Penelitian kasus kontrol multicenter, multinasional, plasebo akan melibatkan 5200 pasien
HF dan mengajukan pertanyaan apakah blokade yang lengkap pada RAS menghasilkan
peningkatan keuntungan terapi termasuk menurunkan angka kematian. Pasien ini akan
menerima baik valsartan atau plasebo dalam penambahan sebagai standar terapi HF. Dosis
valsartan akan dititrasi dalam 160mg dua kali sehari. Follow-up akan dilanjutkan sampai
angka tertentu dimana terjadi kematian. Kajian ini mempunyai kekuatan statistik sebesar
90%. untuk mendeteksi 20 % perbedaan rata-rata mortaiitas. Hasil ini seharusnya menjadi
langkah yang signifikan dalam memperjelas keuntungan klinis dari kombinasi ACE
inhibitor AIIRA sebagai terapi untuk pasien HF.

2.4 Prognosis

Prognosis dari gagal jantung kurang baik yaitu diperkirakan angka survival

50% dan 10% pada jangka waktu 5 dan 10 tahun. Gagal jantung juga menempati sekitar

30-35 % dari total hospitalisasi . Case fatality rates setelah hospitalisasi dari gagal jantung

dalam 30 hari adalah 10,4% sedangkan dalam 1 tahun adalah 22% dan dalam 5 tahun

adalah 42,3%

62
BAB III

KESIMPULAN

Karena keuntungan yang dihasilkan kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA merupakan
batu pondasi bagi pengobatan HF. Tidak pernah sekalipun insiden HF, penyebab kematian
dan perawatan rumah sakit dilanjutkan untuk menurunkan angka manifestasinya. Faktor
demografi sendiri tidak dapat menjelaskan secara memuaskan peningkatan ini karena
semua kematian oleh karena kardiovaskuler pada kenyataannya telah turun beberapa tahun
terakhir ini. Walaupun keuntungan dari terapi ACE inhibitor sebagai pengobatan HF telah
jelas mereka tidak akan menghilangkan tanda peningkatan morbiditas dan angka mortalitas
yang dihubungkan dengan kelainan ini. Konsekuensinya, pendekatan farmakologik
terhadap pengobatan HF seharusnya ditemukan.

63
Kombinasi ACE inhibitor dengan AIIRA adalah pendekatan logis yang bisa
meningkatkan nilai terapi. Kedua studi klinis dan non klinis merupakan indikasi kuat untuk
menurunkan RAS, khususnya Ang II, menginduksi perbaikan hemodinamik dan gejala
pada pasien HF dan mungkin merupakan langkah yang tidak mungkin dihindari dalam
manajemen jangka panjang pada pasien ini.. Baik ACE inhibitor maupun AIIRA
menghambat Ang II tetapi pada dasarnya mereka berbeda dan mampu melakukan
mekanisme yang saling mendukung.

Kerja ACE inhibitor prinsipnya dengan mencegah pembentukan Ang II pada RAS
sistem. Baru-baru ini Ang II dapat dibentuk secara lokal pada jaringan yang melewati jalur
yang tidak tergantung pada ACE. Konsekuensinya, penghambatan Ang II dengan
penggunaan ACE inhibitor menunjukkan bahwa kadar Ang II plasma meningkat selama
dosis interval ACE inhibitor bahkan saat aktivitas ACE sistemik ditekan. Kerja AIIRA pada
langkah terakhir dari jalur RAS adalah dengan memblokade reseptor secara spesiflk yang
menjadi mediator dan punya efek merugikan dari Ang II pada pasien dengan HF.

Baru-baru ini semua obat yang memblokade RAS dapat meningkatkan plasma renin,
yang meningkatkan kadar Ang II. Mekanisme homeostatis normal akan menurunkan efek
terapi dari ACE inhibitor lebih lama. Bagaimanapun dengan pengeblokan AT1 reseptor,
dampak negatif dari peningkatan Ang II akan dimudahkan, bahkan dengan beberapa efek
menguntungkan yang mungkin berasal dari stimulasi lebih lanjut pada reseptor AT2.

Teori ini yang mendasari penggunaan kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA
dalam pengobatan. Sesuai apakah macam-macam terapi kombinasi sungguh sungguh
meningkatkan keuntungan klinis jangka panjang. Hasil dari percobaan Val-HeFT
menjelaskan keuntungan dari pengobatan yang menggunakan ACE inhibitor - AIIRA
dalam terapi HF.

64
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In : Libby P, Bonow RO,

Mann DL, Zipes DP. In : Braunwalds heart disease. A textbook of cardiovascular

medicine. 8th. Ed.Saunders company, 2007: 561-580.

65
2. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role

of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

3. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure

2008. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

4. Ong WT, Patacsil GB. Cardiology blue book 2nd ed. 2001.148-162

5. Teerlink JR. Diagnosis and management of acute heart failure. In : Braunwalds

heart disease. A textbook of cardiovascular medicine. 8th. Ed.Saunders company,

2007 : 583-606.

6. Lip GHY, Gibbs FDR, Beevers DG. ABC of heart failure : aetiology. BMJ 2000;

320 : 104-107.

7. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in adult. In : Dec GW. Heart failure a

comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York :Marcel Dekker; 2005.

137-156.

8. Katz AM. Heart failure : pathophysiology, molecular biology and clinical

management. Lippincott Williams and Wilkins; 2000.

9. Teo WS, Kam R, Hsu LF. Treatment of heart failure-role of biventricular pacing for

heart failure not responding well to drug therapy. Singapore MedJ. 2003;44(3):114-

122.

10. Watson RDS, Gibbs CR, LipGYH.ABC of heart failure clinical features and

complications. BMJ.2000;320(22):236-239.

11. De Lamos JA, McGuire DK, Drazner MH. B-type natriuretic peptide in

cardiovascular disease. The lancet 2003;36:316-322. Available at

www.thelancet.com

12. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:

pathophysiology. BMJ 2000;320:267-170

66
13. Bell DSH. Heart failure-the frequent, forgotten, and often fatal complication on

diabetes. Diabetes care. 2003;26:2433-2441.

14. Zevits ME. Heart failure. Webmed website. Available at

http://www.emedicine.com/med/topic3552.htm

15. Fogoros RN. The muga scan. Available at

http://heartdisease.about.com/cs/cardiactest/a/muga.htm.

16. Shamsham F, Michell J. Essentials of the diagnosis of heart failure. Am Fam

Physician.2000.Available at http://www.aafp.org/afp/200003.

17. Levin TN. Acute congestive heart failure. Postgraduate medicine.1997;101(1).

Available at http://www.postgradmed.com/issues/1997.

18. Cokkinos DV, Haralabopoulos GC, Kostic JB, Toutouzas PK. Efficacy of

antithrombotic therapy in chronic heart failure: The helas study. Eur J heart

failure;8:428-432.

19. ACC/AHA guideline for the diagnosis and management of heart failure in adults;

2009. http://circ.ahajournal.org/cgi/content/full/119/14/ 1977

67

You might also like