You are on page 1of 91

By Nora Ramkita 2/03/2014 05:34:00 AM 1 comment

Alhamdulillah tiba di kosan dengan selamat. Waktu menunjukkan pukul 03.45 menit. Aku baru saja
selesai jaga cito stase anestesi malam ini. Di stase ini memang ada sift jaga untuk operasi - operasi
yang emergency (cito). Banyak - banyak berdoa, itu yang biasanya dilakukan koas yang berjaga.
Semoga tidak ada panggilan, hehe.

Doaku tak jauh berbeda, semoga Allah berikan saja yang terbaik. Kalau pun memang harus ada
panggilan operasi, tak apa, aku yakin pasti ada pelajaran yang bisa kita dapat. Seperti malam ini,
minggu malam ada 2 jadwal operasi cito dari kebidanan, dan ternyata benar, keduanya memberi
banyak arti. Semoga dapat pula memberi pelajaran untuk semua.

Pasien pertama..
Ny W, usia 30 tahun, G1P0A0 hamil aterm inpartu kala I fase aktif dengan HELLP syndrome, JTM
Presentasi Kepala. Keadaan klinis ibunya tampak sakit berat, kesadaran compos mentis. Kalau di
anestesi digolongkan ke dalam ASA (American Society of Anesthesiologists) 4. Tampak sangat
anemis, akral dingin. Terpasang IV line 1 jalur, dan kateter urin (urin berwarna merah segar 10
cc).Tekanan darah 130/80 mmHg.

Aku dan dicki sudah menyiapkan peralatan serta obat - obatan untuk pembiusan pasien ini. 5 menit,
15 menit, 30 menit, 1 jam..operasi pasien ini belum juga bisa dikerjakan, karena persediaan darah di
PMI habis. Sementara pasien terus perdarahan. Yang bisa dilakukan sekarang untuk penanganan
syok hemorragic adalah melakuan resusitasi cairan.

Akhirnya setelah darah siap, residen obgin kembali memastikan tindakan yang akan dilakukannya.
Setelah menimbang - nimbang resiko dan mengonsulkan hal ini kepada dokter spesialis kebidanan
yang berjaga, akhirnya diputuskan untuk dilakukan tindakan forceps pada pasien ini. Pertimbangan
forceps adalah karena kepala bayi sudah berada di Hodge III, pembukaan sudah lengkap, dan
tekanan darah ibu tinggi sehingga ibu tidak boleh mengejan, ditambah lagi JTM (Janin Tunggal Mati).

Akhirnya prosedur anestesi umum dibatalkan, namun hanya menggunakan anestesi regional
menggunakan lidokain dan tetap dikerjakan di kamar operasi. Kemudian forceps dilakukan dan bayi
segera dapat dilahirkan. Koas obgin segera mengambil bayi JTM itu dan membungkusnya, kemudian
untuk diserahkan kepada keluarga di luar ruang operasi.

Tugas koas anestesi adalah resusitasi cairan. Ya, perdarahan ibu ini aktif, walaupun tidak memancar
deras, tapi merembes secara bermakna jumlahnya. Ditambah lagi atonia uteri. Sudah habis sekitar
2000 cc cairan kristaloid (RL) dengan oksitosin dan metergin, beserta misoprostol pervaginam. Tapi
tetap uterus tidak berkontraksi.

Kesadaran pasien ini terus memburuk, perlahan menjadi apatis, dan nampak napas satu - satu. :
( Akhirnya diputuskan untuk memasang airway definitive karena GCS memburuk < 8. Tekanan darah
ibu anjlok menjadi 70/10 mmHg.

IV line kemudian dipasang 2 jalur, bersamaan dengan pengambilan darah untuk cek Hemoglobin
ulang. Benar saja Hb ibu ini turun dari 9 gr/dl menjadi 4 gr/dl. Alhamdulillah darah WB (Whole Blood)
sudah tiba. Sehingga resusitasi perdarahan derajat III bisa dilakukan. Sekitar 1 jam ibu ini ada dalam
tingkat kesadaran soporokoma. Kemudian perlahan tekanan darah ibu naik, dan GCS menjadi 13.
Setelah tekanan darah stabil, kemudian pasien dipindahkan dari ruang operasi ke ruang obgin
(Delima) untuk dilakukan observasi.

Sumber: Dok. pribadi


Pada HELLP Syndrome sering disertai solusio plasenta. Gambar diatas menunjukkan hematom pada plasenta, merupakan ciri solusio
plasenta.

Solusio plasenta dimulai dengan perdarahan desidua basalais, kemudian terjadi hematom
dalam desidua yang mengangkat lapisan - lapisan di atasnya. Hematom lama kelamaan akan
membesar dan akhirnya plasenta terlepas. Jika perdarahan sedikit, hematom yang kecil itu hanya
akan mendesak jaringan plasenta, belum mengganggu peredaran darah antara uterus dan plasenta,
sehingga tanda dan gejalanya pun tidak jelas. Setelah plasenta lahir, baru didapatkan cekungan pada
permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama berwarna kehitaman.

Perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang teregang oleh karena tidak
mampu untuk berkontraksi lebih untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematoma
retroplasenter akan semakin bertambah besar, sehingga seluruh plasenta terlepas. Sebagian lagi
akan menyelundup ke bawah selaput ketuban keluar vagina atau menembus selaput ketuban masuk
ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara serabut otot uterus. Bila
ekstravasasi berlangsung hebat, maka seluruh permukaan uterus akan bewarna bercak ungu atau
biru, disebut uterus couvelaire. Uterus ini sangat tegang dan nyeri.
Kasus kedua..
G3P2A0 usia 33 tahun dengan KET.
Ceritanya ibu ini hamil kurang lebih 10 minggu, 1 bulan yang lalu mengalami perdarahan per
vaginam. Kemudian ibu membawa ke sebuah RS dan dinyatakan abortus inkomplitus. Dilakukan
tindakan kuretase di RS sebelumnya, dan ibu kemudian pulang ke rumah. Di rumah ibu sering
merasakan nyeri perut yang makin lama makin hebat, namun ibu tidak mengobatinya.

Semalam, ibu sudah tidak dapat menahan rasa sakit perutnya dan akhirnya ibu memeriksakan
penyakitnya ke RS. Dinyatakan oleh dokter bahwa ibu hamil di luar kandungan biasa disebut KET
yaitu kehamilan ektopik. Jadi, ternyata nyeri perut yang dialami ibu selama 1 bulan terakhir
merupakan gejala KET yang diabaikannya.

Pasien merasakan lemas, nyeri perut, dan pucat. Dari hasil pemeriksaan fisik, klinis pasien juga
nampak anemis, namun keadaannya masih tampak sakit sedang. Kesadaran compos mentis,
tekanan darah 130/70 mmHg. Anemis (+), Defans muskular (+), tes kehamilan (+): ketiganya disebut
sebagai Trias KET, sudah cukup untuk menegakkan diagnosa KET. Karena menunggu persediaan
darah di PMI dan sembari menunggu pasien yang pertama selesai ditangani, akhirnya ibu ini
dioperasi pada pukul 01.00.

Pada pasien ini juga dilakukan resusitasi cairan, dan prosedur general anestesi (oksigenasi, induksi,
dan intubasi). Dilakukan pembedahan laparotomi. Kehamilan ektopik pada pasen ini terjadi di fimbrae
sinistra. Dilakukan Salfingooforektomi sinistra. Perdarahan banyak dalam cavum abdomen. Kurang
lebih 3 jam operasi laparotomi dilakukan, banyak perlengketan di dalam cavum abdomen, hal ini
dikarenakan sudah lamanya proses perdarahan yang terjadi (kurang lebih 1 bulan). Ketika operasi
selesai, pasien dikirim ke ruang observasi Delima.
Sumber: Dok. pribadi Salfingooforektomi Sinistra

Sumber: Dok.pribadi Jaringan Akibat Ruptur KET untuk Pemeriksaan Histopatologis

Sumber: Dok. pribadi Monitoring dan Resusitasi


Obrolan Ngalor Ngidul Koas dan Residen Anestesi
di Ruang Operasi
Hai, selamat menikmati tiap napas yang masih diberikan Allah padamu. Ngeri
amat sapaannya.haha

Ya,karena sekarang aku sedang berada di stase anestesi. Menurut buku petunjuk
praktis Anestesiologi keluaran FK UI tahun 2001, kata anestesia diperkenalkan
oleh Olover Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Sedangkan Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada
awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama
dan sesudah pembedahan. *duh kok berat ya pembahasannya xD.

Intinya, tugas utama dokter anestesi itu membantu bagaimana supaya pasien
dalam keadaan paling nyaman saat diperlukan terapi bedah. Karena
pembedahan bukan suatu hal yang menyenangkan, maka pasien dilakukan
pembiusan untuk memperlancar proses bedah tersebut. Nah, tugas
anestesiologis lah yang memastikan pasien untuk tetap hidup selama dalam
pembiusan itu.

Kalau kata residen anestesi:


"Dokter anes tu orang yang paling kurang kerjaan ya dek, pasien sehat, sadar,
bisa napas spontan, bisa gerak sana sini, kita bius, kita bikin gak sadar, kita bikin
gak bisa napas jadi harus dibantu pakai alat. Eh habis itu kita suruh bangun lagi,
suruh napas lagi."
Haha, iya juga ya dok! :D

Nah, karena definisi kerja itulah, tindakan anestesi sangat dekat dengan urusan
nyawa. Maka anestesiologis juga mengurusi masalah emergensi pada pasien non
bedah. Keren kaaaan? :D

Jadi, kami para koas ini di stase anestesi lebih fokus ke ilmu emergensi nya. Cara
belajarnya, kami ikut masuk ke ruang operasi dan belajar manajemen pasien
yang sengaja 'dibuat' dalam keadaan darurat untuk kepentingan operasi (ya itu
tadi, pasien sadar dibuat gak bisa napas).
Setelah pembiusan awal, kami menunggui operasi yang bisa berlangsung
berjam-jam sambil memantau kondisi pasien. Biasanya tugas koas itu 'bagging'
buat ventilasi napasnya.

Nah,kan bosen juga tuh berjam-jam nunggu dan bagging. Maka biasanya di
situlah transfer ilmu antara residen dan koas terjadi. Tapi kadang kalau udah
jenuh juga yaa akhirnya ngobrol ngalor ngidul (bicara tak tentu arah). Seperti
apa yang terjadi hari ini.
Yah, kebetulan dapet residen tandem yang agak kocak tur ngapak *eh.

Kami ngobrolin mulai dari tips n trik nikah muda *ups*, hobi, keluarga, sampai
hal-hal macam harga hape terbaru. Kadang juga diselingi 'kepanikan' ku karena
tiba-tiba nadi pasien melonjak cepat akibat efek tindakan operasi. Aku doang sih
yang panik, residennya mah tenang2 aja. Malah sekalian ngetes: "ayo dek
gimana caranya kamu harus bisa nurunin nadi nya".
Dan sungguh kebahagiaan luar biasa ketika akhirnya nadi turun lagi ke batas
normal setelah manipulasi yang semaksimal mungkin aku usahakan :"

Sempat juga aku bertanya, "Dok,kenapa sih residen anestesi kebanyakan laki-
laki?"

"Soalnya kalau perempuan gampang baper dek. Ntar kalau tiba2 ada emergensi
biasanya perempuan terlalu makai perasaan jadi susah buat ngambil tindakan
rasional. Kalau laki-laki kan cenderung ndableg (cuek)"

"Bener juga ya dok."

Dan entah kenapa tiba2 residen kocak bin gak pelit ilmu ini berkata

"Dek, kamu besok masuk anestesi aja."

"Hah, kenapa dok?"

"Kamu kayaknya pemberani deh."


"Masak sih dok Kata siapa? >.<"

"Kamu pasti gak takut setan? Kamu kalau gelap2an berani jalan sendiri kan? xD"

"Yaa,, berani sih dok. Ngapain takut emang?"

"Nah cocok tuh, kamu orangnya cuek."

Well,hmm, emang keliatan banget ya aku secuek dan sepemberani itu?haha.


Ternyata 'kecuekanku' selama ini ada gunanya juga. *abaikan paragraf ini
hanyalah pencitraan ._.*

Tapi, jadi mikir juga. Anestesi? Hmm, asik juga kayaknya. Tapi, entah kenapa aku
masih ingin mengejar 'impian' lain, yang bahkan bentuknya pun belum sejelas
telepon pintar yang kupakai mengetikkan tulisan ini sekarang.

Hidup masih berlanjut. Entah misteri apa yang akan muncul di masa yang akan
datang. Yah, terima kasih sudah membaca cerita gak jelasku ini. Semoga kalian
gak syok ya selesai baca ini.haha

Salam dari keriuhan IGD RSS DIY :3


II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi
a. Penilaian Status Fisik Menurut ASA
Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu klasifikasi status
fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi.
Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status
lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian ditambahkan.

Kelas Status Fisik

Seorang pasien yang normal dan sehat, selain penyakit yang akan
ASA I
dioperasi.

ASA II Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.

Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang belum


ASA III
mengancam jiwa.

Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam


ASA IV
jiwa.

Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan dalam waktu 24 jam

dengan atau tanpa pembedahan, kategori ini meliputi penderita yang


ASA V
sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang tidak terkontrol,

begitu juga penderita usia lanjut dengan penyakit terminal.

b. Penilaian Tampakan Faring dengan Skor Mallampati


Dalam anestesi, skor Mallampati, juga Mallampati klasifikasi, digunakan untuk
memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade :
Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar
faring tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat
Gambar 1. Penampakan faring pada tes Mallampati.

III
KESIMPULAN DAN SARAN

Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter dan
perawat anestesi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada pasien-
pasien yang akan melakukan tindakan operasi.
Selain itu perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan anestesi seperti
anamnesa pasien, mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat
adalah indikasi prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan pengobatan
saat ini.Pemeriksaan fisik pasien yang harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi
focus, perhatian ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru,
dan pemeriksaan neurologi dan juga dilakukan evaluasi resiko perdarahan dan thrombosis
serta evaluasi jalan nafas (mallampati). Pemeriksaan umum seperti tanda vital, kepala dan
leher, precordium, paru-paru, abdomen, ektremitas, punggung dan neurologi.
Pemeriksaan penunjang juga dilakukan jika ada indikasi tertentu yang didapatkan dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Setelah itu baru dilakukan pengklasifikasian status fisik
pasien menggunakan ASA ( American Society of Anaesthesiologist)
yang merupakan klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-
anestesi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Protap pemasangan ETT (Endotrakeal tube) available


from:http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/
2. Refrat anestesiologi http://www.google.com/Refrat-anestesiologi.htm
3. Munro J, Booth A, Nicholl J. Routine preoperative testing: a systematic review of the evidence.
Health Technol Assessment 1997;I(12).
4. American Society of Anesthesiologists. Practice advisory for preanesthesia evaluation.
Anesthesiology 2002;96:485-96.
5. Stehling L. New concepts in transfusion therapy. International Anaestesia Research Society 1998.
Review Course Lectures.h. 62-5.

APACHE II SCORE
APACHE II Score ("Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II Score") adalah
sistem klasifikasi keparahan penyakit yang pertama kali diperkenalkan oleh William Knaus
dkk. di Universitas George Washington pada tahun 1981. Scor Apache ini digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa digunakan di
beberapa unit perawatan intensif (ICU). Penilaian klinis keparahan penyakit merupakan
komponen penting praktek medis karena dapat menentukan intervensi pengobatan, derajat
kegawatan dan prognosis.
Severity of illness dinilai berdasarkan pengukuran 12 sistem fisiologis rutin selama 24
jam pertama setelah masuk, usia dan status kesehatan sebelumnya atau komorbiditas yang
dimiliki pasien. Data perhitungan skor APACHE II berdasar pada variabel-variabel yang
terdiri dari suhu rektal, mean arterial pressure, frekuensi nadi, frekuensi napas, hantaran
oksigen (PO2), PO2, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum, hematokrit dan
hitung jenis lekosit. Jumlah skor bervariasi dari 0 sampai 71. Semakin besar skor semakin
meningkat risiko kematian.
Meskipun sistem penilaian baru, seperti SAPS II, telah menggantikan APACHE II di
banyak tempat, APACHE II terus digunakan secara luas karena begitu banyak dokumentasi
didasarkan pada itu. Pada studi yang dilakukan di berbagai negara seperti Amerika Serikat,
Kanada, Selandia Baru dan Singapura, terbukti sistem skor APACHE II memiliki korelasi
yang baik antara mortalitas yang diprediksi dengan mortalitas aktual yang terjadi. APACHE
II memiliki kelemahan antara lain:

1. Sistem skor ini dibuat berdasarkan data lama dari tahun 1979 1982 dan
sistem skor tidak dirancang untuk memprediksi outcome pasien secara individual dan
penyakit khusus.
2. Perbedaan dalam waktu kedatangan pasien di ICU menyebabkan perbedaan
nilai prediksi dan kategori diagnosis tidak secara akurat menghitung perbedaan kondisi
saat masuk ICU.

3. Tidak mencakup penilaian pasien trauma dan bedah.

4. APACHE II memiliki kekurangan dalam komponen untuk menilai secara akurat


trauma akut yang terjadi pada individu yang sebelumnya sehat sebaliknya pada individu
yang sebelumnya memiliki penyakit kronik

5. Tidak mengontrol penatalaksanaan sebelum masuk ICU yang dapat


memengaruhi kondisi fisiologis pasien sehingga menurunkan skor dan menurunkan risiko
pasien yang sesungguhnya.

6. Mengeksklusi pasien-pasien grafting bypass arteri koroner, perawatan jantung,


luka bakar dan pasien pediatric

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Terakhir, pemantauan berkala fungsi paru-paru pada penyakit kronis


seperti fibrosis paru idiopatik, fibrosis kistik atau penyakit obstruksi
saluran napas, dapat sebagai pertanda bertambahnya kerusakan yang
terjadi.

Uji fungsi paru sederhana dibagi ke dalam tiga kelompok utama:

1. Mengukur ukuran paru-paru.


2. Mengukur seberapa mudah udara mengalir di saluran napas.
3. Mengukur seberapa efisien paru-paru dalam proses pertukaran gas.

Alat spirometer digunakan untuk mengukur seberapa banyak udara yang


dapat dihembuskan setelah inspirasi maksimal: Pasien diinstruksikan
untuk menghirup nafas sedalam yang dia bisa, kemudian
menghembuskan napasnya ke spirometer sampai tidak ada udara lagi
yang dapat dikeluarkannya. Volume yang didapat ini disebut kapasitas
vital (vital capacity : VC). Jumlah udara di paru-paru pada inspirasi
maksimal adalah ukuran dari kapasitas paru total (total lung capacity),
dan yang masih tersisa setelah ekspirasi penuh disebut volume residu.

Nilai sebenarnya dari kapasitas paru total tidak dapat diukur dengan
spirometer. Cara yang paling mudah untuk menentukan itu adalah pasien
menginspirasi udara yang mengandung helium yang telah dihitung
konsentrasinya, kemudian mengukur konsentrasi helium yang dihasilkan
setelah pencampuran dengan udara yang berasal dari paru-paru, dengan
begitu memungkinkan kapasitas paru total dapat dihitung. Pengurangan
kapasitas vital dengan nilai ini akan memberikan volume residu.

Kapasitas vital yang diukur dengan menginstruksikan pasien untuk


meniup keras dan secepat mungkin ke dalam spirometer, disebut dengan
kapasitas vital paksa (forced vital capacity : FVC). Pada paru-paru yang
normal, VC dan FVC hampir sama, tapi pada penderita PPOK, yang
mengalami kompresi pada saluran udara selama ekspirasi paksa yang
menyebabkan penutupan saluran udara lebih awal dari biasanya, dan
hasil FVC akan lebih kecil dari VC.
ALAT SPIROMETRI

Gambar A
Gambar B
Gambar C
Gambar A menunjukkan jejak yang dihasilkan oleh spirometer. Waktu
dalam detik pada sumbu x dan volume dalam liter pada sumbu y. Dengan
demikian, jejak bergerak ke atas selama ekspirasi untuk menilai FVC, dan
sepanjang sumbu x dengan berjalannya waktu selama ekspirasi.

Volume udara napas yang keluar di detik pertama ekspirasi paksa dikenal
sebagai volume ekspirasi paksa pada detik pertama - disingkat FEV1. Di
paru-paru normal, FEV1 adalah> 70% dari FVC. Ketika ada halangan pada
aliran udara, seperti pada PPOK, waktu yang dibutuhkan untuk mengakhiri
ekspirasi seluruhnya mengalami perkepanjangan dan rasio FEV1 dan FVC
berkurang.

Contoh ditunjukkan pada Gambar B . Jejak seperti ini menunjukkan


adanya kelainan ventilasi obstruktif. Seperti disebutkan, FVC dapat
berkurang pada obstruksi saluran napas yang berat.

Beberapa kondisi paru-paru membatasi ekspansi paru-paru tetapi tidak


mengganggu saluran udara. Pada individu tersebut, baik FEV1 dan FVC
berkurang secara proporsional satu sama lain, sehingga rasionya tetap
normal meskipun nilai absolut berkurang.

Gambar C menunjukkan jejak semacam ini, dengan kasus kelainan


ventilasi restriktif pada pasien dengan fibrosis paru difus.

Kembali ke spirogram ekspirasi normal Gambar A . Kemiringan jejak


paling curam terjadi pada awal ekspirasi. Jejak demikian menunjukkan
bahwa tingkat perubahan terbesar dari volume persatu waktu terjadi pada
awal ekspirasi; Dengan kata lain, pada saat itu laju aliran udara adalah
paling besar. Pengukuran ini disebut dengan puncak laju aliran ekspirasi
(peak expiratory flow rate : PEFR), dapat dengan mudah diukur dengan
peak flow meter. Alat peak flow meter mini ini ringan dan murah, dan
pasien dengan asma dapat menggunakannya untuk memantau sendiri
dan mengubah pola obat mereka, seperti yang disarankan oleh dokter,
dimana pada tanda awal dari setiap penurunan pengukuran laju aliran
puncak dapat menunjukkan penurunan kondisi pasien.
ALAT PEAK FLOW METER

Pertukaran gas yang normal terdiri dari penyerapan oksigen ke dalam


darah pada kapiler paru dan pelepasan karbon dioksida ke alveoli. Untuk
mencapai keadaan ini, ventilasi paru dengan udara dan perfusinya
dengan kebutuhan darah harus cocok secara anatomis. Perkiraan efisiensi
proses pertukaran gas dapat diperoleh dengan mengukur faktor
perpindahan paru untuk karbon monoksida. Hal ini dinilai dengan
peralatan yang sama dengan yang digunakan dalam teknik dilusi helium
untuk mengukur volume paru-paru. Tetapi dalam pemeriksaan ini tidak
menggunakan helium, karena helium tidak mudah masuk ke dalam darah.
Di sini menggunakan karbon monoksida dengan konsentrasi sangat
rendah. Gas ini sangat mudah terikat oleh hemoglobin dalam kapiler paru.
Pasien diinstruksikan untuk inspirasi mencapai kapasitas paru total (total
lung capacity : TLC), kemudian menahan napas selama 10 detik,
kemudian ekspirasi sehabisnya. Perbedaan antara konsentrasi karbon
monoksida yang diinspirasi dan konsentrasi ekspirasi adalah ukuran dari
efisiensi pertukaran gas, dan hasil dapat dinyatakan dengan per satuan
volume paru jika TLC secara bersamaan diukur dengan teknik dilusi
helium.

PNEUMOTHORAKS
Ruang 303

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2010-2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan atas limpahan rahmat
dan berkahnya yang diberikan kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul PNEUMOTHORAKS. Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Sistem
Respirasi.
Terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Jakarta Selatan, Oktober 2012

Tim Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pneumothoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara
dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cidera. Pneumotoraks
didefinisikan sebagai adanya udara didalam cavum/rongga pleura. Tekanan di rongga pleura
pada orang sehat selalu negative untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan
berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan
pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.

TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui mengenai penyakit
pneumonia dan cara pencegahannya.
Tujuan Khusus
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui:
1. Definisi dari pneumothoraks
2. Bagaimana tanda dan gejala pneumothoraks
3. Serta mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan pneumothoraks

BAB II
PEMBAHASAN
PNEUMOTHORAKS

DEFINISI
Pneumothoraks adalah akumulasi udara didalam rongga pleura dengan klolaps paru
sekunder Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang
terhadap ronggathorak

ETIOLOGI
Klasifikasi berdasarkan penyebab pneumothoraks :
Pneumothorak spontan primer ( PSP )
- Tidak ada riwayat penyakit paru sebelumnya
- Tidak ada riwayat trauma
- Biasanya terjadi pada umur 18-40 tahun
- Biasanya terjadi pada saat istirahat

Pneumothoraks spontan sekunder ( PSS )


- Karena penyakit paru yang mendasari ( TBC, PPOK, Asma Broncial, Pneumonia, Tumor
Paru, dll ).

Pneumothoraks Traumatik Latrogenik


- Karena komplikasi tindakan medis ( penggunaan ventilastor )
- Aksidental ( tidak sengaja ) parasentesis dada, biopsy pleura, barotraumas, dll.
- Artificial (sengaja) mengisi udara pada capitas pleura.mis: pada terapi TBC

Pneumothoraks Traumatik bukan Latrogenik


- Karena lesi kecelakaan. mis: lesi dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotraumas
dll.
Berdasarkan jenis fistula :
Tertutup ( simple )
- Tekanan udara pada sisi hemothorak kontralateral kurang dari tekanan udara di cavitas
pleura kurang dari tekanan udara atmosfir.
- Tidak terdapat defek atau luka terbuka pada dinding dada

Terbuka ( open )
- Karena luka terbuka pada dinding dada agar udara dapat keluar lewat luka tersebut saat
inspirasi.
- Keadaan mediastinum: saat inspirasi normal, saat ekspirasi bergeser kedinding dada yang
terluka.

Tension pneumothoraks (pneumothoraks ventil)


- Akibat mekanisme cek velve agar saat inspirasi udara masuk ke cavitas pleura, saat ekspirasi
udara tidak bisa keluar.

PATOFISIOLOGI
Pneumothoraks terjadi karena mekanisme ceheck velve yaitu pada saat inspirasi udara
masuk kedalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat
keluar. Semakin lama udara dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan
atmosfir. Udara yang yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga
sering menimbulkan gagal nafas.
Tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih
hebat,mediastinum tergeser ke sisi yang lebih sehat dan mempengaruhi aliran darah vena ke
atrium kanan. Pada foto thoraks terlihat mediastinum terdorong kearah kontralateral dan
diafraghma tertekan ke bawah sehingga menimbulkan rasa sakit. Keadaan ini dapat
mengakibatkan fungsi pernapasan sangat terganggu, yang harus segera ditangani.

MANIFESTASI KLINIS
Ada dua mekanisme yang menyebabkan tidak adekuatnya suplai oksigen ke jaringan pada
pneumothoraks.
a. Paru yang mengalami pneumothoraks kolaps dan paru sebelahnya terkompresi sehingga
tidak bisa melakukan pertukaran gas secara efektif, terjadi hipoksemia yang selanjutnya
menyebabkan hipoksia.
b. Tekanan udara yang tinggi pada pneumothoraks mendesak jantung dan pembuluh darah
besar. Pendorongan vena cava superior dan inferior menyebabkan darah yang kembali ke
jantung berkurang sehingga cardiac output juga berkurang. Akibatnya perfusi jaringan
menurun dan terjadi hipoksia.
Temuan awal:
1. Sesak napas
Akibat penurunan fungsi paru:
Menurunnya compliance paru yang mengalami pneumothoraks >> pertukaran udara tidak
adekuat >> hipoksemia >> hipoksia >> sesak napas serta paru sebelahnya yang terdorong
menyebabkan sesak napas. Selain itu peningkatan kerja pernapasan : hipoksia >> takipneu >>
sesak napas.
2. Nyeri dada
Trauma dada >> peregangan pleura >> nyeri trauma dada >> kerusakan jaringan >> implus
nyeri pada daerah yang luka ( kulit, otot ).
3. Takikardia
Tension pneumothoraks >> hipoksia >> kompensasi tubuh >> sistem saraf simpatis >>
takikardia
4. Takipneu
Tension pneumothoraks >> hipoksia >> kompensasi tubuh >> sistem saraf simpatis >>
takipneu
5. Perkusi hipersonor
Akumulasi udara dalam rongga pleura >> suara yang lebih nyaring saat diperkusi/hipersonor
( udara merupakan penghantar gelombang suara yang baik )
6. Suara napas lemah sampai hilang
Suara napas adalah suara yang terdengar akibat udara yang keluar masuk paru saat bernapas.
Kolaps >> pertukaran udara tidak berjalan baik >> suara napas berkurang atau hilang
Temuan Lanjut
1. Penurunan kesadaran
Hipoksia yang terus berlanjut >> kurangnya suplai oksigen ke otak >> gangguan fungsi otak
>> penurunan kesadaran.
2. Trakea terdorong ( deviasi trachea )
Menjauhi paru yang mengalami tension pneumothoraks : tension pneumothoraks >> tekanan
udara yang tinggi >> menekan ke segala arah sehingga trachea terdorong kearah
kontralateral.
3. Distensi vena leher ( bisa terjadi bila hipotensi berat )
Tension pneumothoraks >> penekanan vena cava superior >> tahanan darah yang kembali ke
jantung >> JVP meningkat >> vena leher terdistensi
4. Hipotensi
Tension pneumothoraks >> penekanan jantung dan vena cava superior dan inferior >> darah
yang kembali ke jantung berkurang >> cardiac output berkurang sehingga tekanan darah
turun ( hipotensi akibat syok obstruktif )
5. Sianosis
Tension pneumothoraks dan pertukaran udara yang tidak adekuat >> darah mengandung
sedikit oksigen >> pewarnaan yang kebiruan pada darah sehingga tampak warna kebiruan
pada kulit dan mukosa.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X dada
Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleural; dapat menunjukkan
penyimpangan struktur mediastinal
b. GDA
c. Torasentesis
Menyatakan darah/cairan sero sanguinosa
d. Hb
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah

PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secra klinis, dan terapi tidak boleh terlambat
oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.
Anamnesis
Riwayat trauma
Mekanisme trauma
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: dada cembung pada sisi yang sakit
Palpasi: Fremitus turun sampai hilang
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi: Suara napas lemah sampai hilang

Temuan Awal
Nyeri dada, sesak napas, cemas, takikardia, takipneu, hipersonor pada dada yang sakit, suara
napas yang mlemah sampai menghilang
Temuan lanjut
Penurunan kesadaran, deviasi trakea ke arah kontralateral, hipotensi, distensi vena leher,
sianosis

DIAGNOSIS BANDING

KONDISI PENILAIAN
Tension pneumothorax Deviasi Tracheal
Distensi vena leher
Hipersonor
Bising nafas (-)
Massive hemothorax Deviasi Tracheal
Vena leher kolaps
Perkusi : dullness
Bising nafas (-)
Cardiac tamponade Distensi vena leher
Bunyi jantung jauh dan lemah
EKG abnormal

PENATALAKSANAAN

Primary survey (ABCDE) yang dilanjutkan dengan Resusitasi fungsi vital

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasrkan jenis perlukaan, tanda tanda vital,
dan mekanisme trauma. Merupakan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu.

1. Airway and cervical spine control


Pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, atau maksila dan mandibula, faktur laring atau trakea. Jaga jalan nafas dengan jaw
thrust atau chin lift, proteksi c-spine, bila perlu lakukan pemasangan collar neck. Pada
penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan napas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
2. Breathing: gerakan dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi, tapi masih ada
nafas
Needle decompression:
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penaggulangan awal dengan
cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada
hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumothoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu
dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 ( setinggi puting
susu) di anterior garis midaksilaris.Dekompresi segera pake jarum suntik tusuk pada sela iga
ke 2 di midklavikula dan tutup dengan handskon biar udara lain tidak masuk >> nanti
lakukan WSD lebih lanjut setelah sampai RS
Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke dalam rongga pleura,
sehingga menyediakan jalur bagia udara untuk keluar dan mengurangi tekanan yang terus
bertambah. Meskipun prosedur ini bukan tatalaksana definitif untuk tension pneumothorax,
dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan sedikit mengembalikan fungsi
kardiopulmoner.
Pemberian Oksigen
3. Circulation : (takikardia, hipotensi)
Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat untuk menghindari parahnya
tension pneumothoraks
Pemasangan IV line 2 kateter berukuran besar (1-2 liter RL hangat 39 derajat celcius).
4. Disability : nilai GSC daan reaksi pupil
Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
5. Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralatan medis sesuai kebutuhan atau yang
mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah distabilkan.
6. Pengelolaan selama transportasi :
Monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
Bantuan kardiorespirasi bila perlu
Pemberian darah bila perlu
Pemberian obat sesuai intruksi dokter >> analgesic jangan diberikan karena bisa
membiaskan simptom
Dokumentasi selama perjalanan

Pneumothoraks
Lakukan tube thoracostomy / WSD (water sealed drainage, merupakan tatalaksana definitif
tension pneumothorax)
WSD >> sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow up >> mengevakuasi darah atau udara
sehingga pengembangan paru maksimal >> lalu lakukan monitoring
Penyulit >> perdarahan dan infeksi atau super infeksi

Teknik pemasangan :
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk/ setengah duduk/ tiduran dengan sedikit miring ke
sisi yang sehat
2. Tentukan tempat untuk pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8.
3. Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks
4. Secara streril diberi tanda pada selang WSD dari lubang terakhir sela WSD setebal dinding
thoraks; mis dengan ikatan benang
5. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic
6. Tutup dengan duk steril
7. Daerah tempat masuk selang WSD dan sekitarnya dianestesi local di atas tepi iga secara
infiltrasi dan blok (berkas neurovaskular)
8. Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga
9. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura
10. Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpul
11. Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke rongga pleura dengan
sedikit tekanan
12. Fiksasi selang WSD sesuai dengan tanda tadi
13. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
14. Selang WSD disambung dengan botol WSD steril
15. Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan tekanan -24 sampai -32 cm H2O
Prinsip dasar tatalaksana pneumotoraks adalah untuk mengevakuasi ronga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risiko

Pilihan terapi
Observasi
Aspirasi sederhana
Tube thoracostomy/WSD (Simple; Continuous suction)
Pleurodesis
Thoracoscopy
Operasi
KOMPLIKASI

Gagal napas akut (3-5%)


Komplikasi tube torakostomi >> lesi pada nervus interkostales
Henti jantung-paru
Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
Kematian
timbul cairan intra pleura, misalnya.
- Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.
- Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
syok

Kesimpulan
Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur
jaringan paru dengan batas paru berupa garis radioopak tipis berasal dari pleura viresal.
Jika pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi
kuncup/kolaps di daerah hilus mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Selain itu juga iga
lebih lebar.
Apabila udara terkumpul dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar maka akan mendesak
mediastinum kearah paru yang sehat (kearah kontralateral)

DAFTAR PUSTAKA
Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar ilmu penykit paru. Surabaya : Airlangga University Press
Bosswick, John A., Jr. 1988. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
http://www.kuliah-keperawatan.co.cc/2009/04/pneumothoraks.html
WSD

PERAWATAN PASIEN SETELAH DILAKUKAN TINDAKAN


PEMASANGAN ALAT WSD

A. Definisi Water Seal Drainage


WSD adalah merupakan suatu tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan baik darah atau pus dari rongga pleura ataupun rongga thorax (mediastinum) dengan
menggunakan selang penghubung dari rongga ke botol wsd.

B. Tujuan dari tindakan WSD


- Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
- Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
- Mengembangkan kembali paru yang kolaps
- Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
- Mengembalikan fungsi paru yaitu mechanis of breathing
C. Tipe atau sistem WSD
1. WSD dengan sistem satu botol
- Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks
- Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi
dan 1 lagi masuk ke dalam botol
- Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah
masuknya udara ke dalam tabung yang bisa menyebabkan kolaps paru
- Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga
pleura keluar
- Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
- Undulasi (gelembung udara) pada selang cairan mengikuti irama pernafasan yaitu saat :
> Inspirasi akan meningkat
> Ekpirasi menurun
2. WSD dengan sistem 2 botol
- Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal
- Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang
pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal
- Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke
water seal botol 2
- Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke
botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD Bisasanya digunakan
untuk mengatasi adanya cairan dan udara pada rongga dan pada efusi pleura
3. WSD dengan sistem 3 botol
- Sama dengan sistem 2 botol,hanya ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang
digunakan.
- Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
- Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3.
- Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD
- Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
- Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer

D. Jenis pemasangan atau lokasi penempatan selang WSD


1. Pleuren tube:
Adalah digunakan untuk mengeluarkan cairan / udara dari rongga pleura, untuk mengembalikan
tekanan negative intra pleura, memungkinkan terjadinya ekspansi paru setelah adanya cairan
transudat (infeksi) dan eksudat (trauma).
Area pemasangan tube pada pleura yaitu pada:
Bagian apex paru (apical)
anterolateral interkosta ke 1-2
fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
Bagian basal
postero lateral interkosta ke 8-9
fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
2. Mediastinal Tube :
Adalah digunakan untuk mengalirkan cairan dari rongga mediatinum setelah operasi jantung
atau operasi lain di mediastinum.

E. Indikasi pemasangan WSD


1. Pneumothoraks :
o Spontan > 20% oleh karena rupture bleb
o Luka tusuk tembus
o Kerusakan selang dada pada sistem drainase
2. Hemopthorak:
o Robekan pleura/trauma
o Kelebihan antikoagulan
o Pasca bedah thorak (Thorakotomy)
3. Efusi pleura: penumpukan cairan non fisiologis yang berlebih
4. Emfisema: ketidak elastisan paru karena penyakit obstruktif.

F. Komplikasi pemasangan WSD


Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
Komplikasi sekunder : infeksi
G. Persiapan tindakan WSD
a. Pengkajian pasien
- Memeriksa kembali instruksi dokter
- Mengecek inform consent
- Mengkaji status pasien; TTV dan status pernafasan
b. Persiapan pasien
1. Siapkan pasien
2. Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
- Tujuan tindakan
- Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD: Posisi klien dapat duduk atau
berbaring
- Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
- Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
c. Persiapan alat
- Sistem drainage tertutup
- Motor suction
- Slang penghubung steril
- Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, bistury/silet, trokart, cairan antiseptic,
benang catgut dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan, spuit 10cc dan 50cc, kassa.
- NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan
dengan
baik , dan perawat member dukungan moril pada pasien

Cara Pemasangan Wsd (Oleh Dokter Bedah)


1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksillaris anterior
dan media.
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus
interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan.
5. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura /
menyentuh paru.
6. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly
forceps
7. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada
8. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
9. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
e. Tindakan perawatan pasca pemasangan WSD
1. Perhatikan undulasi pada selang WSD, bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi
antara lain :
- Motor suction tidak berjalan
- Slang tersumbat
- Slang terlipat
- Paru-paru telah mengembang
- Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainage,
2. Amati tanda-tanda kesulitan bernafas
3. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
4. Cek batas cairan seal dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan
serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air
5. Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg
keluar
6. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
7. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
8. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang
terlipat
9. Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi
10. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
11. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang
12. Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran
13. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan
14. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efekti
15. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
16. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
17. Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada
persendian bahu daerah pemasangan WSD

f. Perawatan pada klien yang menggunakan WSD


1. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV
stabil
2. Observasi adanya distress pernafasan
3. Observasi :
- Pembalut selang dada:
Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah
- Sistem drainage :
o Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien
o Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang
- Tipe & jumlah drainase cairan:
o Catat warna dan jumlah drainase, TTV & warna kulit
o Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan

4. Posisikan klien :
- Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
- Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
5. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
6. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester
7. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang
drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada
plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis sistem komersial
yang sekali pakai
8. Urut selang jika ada obstruksi
9. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
Cara mengganti botol WSD:
Siapkan set botol yang baru
Botol diisi cairan aquadest ditambah desinfektan
Selang WSD di klem dulu
Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
Amati undulasi dalam slang WSD
Pencabutan selang WSD:
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
- Tidak ada undulasi
- Cairan yang keluar tidak ada
- Tidak ada gelembung udara yang keluar
- Kesulitan bernafas tidak ada
- Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
- Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
MATERI SYARAT UJIAN

1. KPA (KNJUNGAN PRA ANASTESI

Kunjungan Pra Anestesi


ANAMNESIS
Anamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui keluarga
pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :
1. Identifikasi pasien , misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anesthesia, antara lain :
Penyakit alergi.
Diabetes mellitus
Penyakit paru kronik : asma bronchial, pneumonia, bronchitis.
Penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis)
Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll)
Penyakit hati.
Penyakit ginjal.
Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat anestetik. Misalnya, , obat
anti hipertensi , obat-obat antidiabetik, antibiotik golongan aminoglikosida ,obat penyakit
jantung (seperti digitalis, diuretika), monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Keputusan untuk melanjutkan medikasi selama periode sebelum anestesi tergantung dari
beratnya penyakit dasarnya. Biasanya obat-obatan yang dipakai pasien tetap diteruskan
tetapi mengalami perubahan dosis, diubah menjadi preparat dengan masa kerja lebih
singkat atau dihentikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, secara umum dikatakan
bahwa medikasi dapat dilanjutkan sampai waktu untuk dilakukan pembedahan.
4. Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan
kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai. Beratnya
berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik yang mengancam kehidupan, akan tetapi
seringkali alergi dilaporkan hanya karena intoleransi obat-obatan, . Pada evaluasi pre
operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan terjadinya
respon alergi yang serius., termasuk reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika
respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi tanpa tes imunologik atau diberi
terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.
5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu , berapa kali dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplilkasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat keluarga. Riwayat anestesi yang merugikan atau membayakan pada keluarga yang
lain sebaiknya juga dieveluasi. Wanita pada usia produktif sebaiknya ditanyakan tentang
kemungkinan mengandung. Pada kasus yang meragukan , pemeriksaan kehamilan
preoperative merupakan suatu indikasi.
7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :
Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi karena
merangasang batuk , sekresi jalan napas yang banyak, memicu atelektasis dan pneumenia
pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari
adanya CO dalam darah.
Pecandu alcohol umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi khususnya
golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic.
Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
8. Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi)

PEMERIKSAAN FISIK
Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan pemeriksaan
neurologik . Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu dilakukan
pemeriksaan extremitas dan punggung.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :
1 Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
2 Tanda-tanda vital
Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan
pengeluaran urine yang adekuat selama operasi .
Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan
bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic atau cabang-
cabang besarnya).
Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah
denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta blok dan
cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang cemas dan
dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah.
Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya , dalamnya dan pola
pernapasannya selama istirahat.
Suhu tubuh (Febris/ hipotermi).
Visual Aanalog Scale (VAS). Skala untuk menilai tingkat nyeri
3 Kepala dan leher
Mata : anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya)
Hidung : polip, septum deviasi, perdarahan
Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kelainan
ortodontik lainnya
Mulut : Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut jari), Pergerakan (baik/kurang baik),
sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil
Tonsil : ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan
Leher : ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor, pergerakan leher (mobilitas
sendi servical) pada fleksi ektensi dan ritasi, TMD, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar
getah bening.
Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teet, Tongue, Temporo
mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor, Trakea.
4. Thoraks
a. Prekordium. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs (bising katup), irama gallop
atau perikardial rub.
b. Paru-paru.
Inspeksi : Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum, kifosis,
skoliosis) Frekwensi (bradipnue/takipnue) Sifat pernafasan ( torakal, torako
abdominal/abdominal torako), irama pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes, biot),
Sputum (purulen, pink frothy), Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas)
Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah)
Auskulatasi : Bunyi nafas pokok ( vesikuler, bronchial, bronkovesikuler, amporik),
bunyi nafas tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi basah/rales, bunyi gesekan pleura,
hippocrates succussion)
Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup
5. Abdomen.
Pristaltik (kesan normal/meningkat/meenurun), Hati dan limpa (teraba/tidak, batas, ukuran,
per-mukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi predisposisi untuk regurgitasi).

6. Urogenitalia.
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (< 20 cc/24 jam),
oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (> 2500 cc/24 jam)], kwalitas (BJ, sedimen),
tanda tanda sumbatan saluran kemih (seperti kolik renal).

7. Muskulo Skletal - Extremitas. Edema tungkai, fraktur, gangguan neurologik /kelemahan


otot (parese, paralisis, neuropati perifer, distropi otot), perfusi ke distal (perabaan
hangat/dingin, cafilay refil time, keringat) , Clubbing fingger, sianosis, anemia, dan
deformitas, infeksi kutaneus (terutama rencana canulasi vaskuler atau blok saraf regional)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN UJI LAIN


Pemeriksaanlaboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus
1. Pemeriksaan laboratorium rutin :
Darah : Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa pembekuan, masa
perdarahan.
Foto toraks : terutama untuk bedah mayor, pasien diatas 60 thn, atau sesuai klinis.
EKG : terutama untuk pasien berumur diatas 40 tahun atau sesuai klinis.
2. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi, misalnya :
EKG pada anak.
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
Fungsi hati pada pasien ikterus.
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
Analisa gas darah, elektrolit pada pasien ileus obstruksi atau bedah mayor.
Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, misalnya ekokardiografi atau
kateterisasi jantung diperlukan konsulatasi dengan ahli-ahli bidang lain sehingga persiapan
dan penilaian pasien dapat dilakukan lebih baik.
Tabel berikut ini merupakan suatu petunjuk untuk menggunakan penilaian klinis dalam membuat permintaan pemeriksaan
laboratorium.
Lek PT/AP PLT/ Elektr BUN/Cr Gula d SGOT/A X E Pr T/
osit TT BT olit eat arah l.Ph - K eg S
r G
Kondisi preope Hb a
rative y

P W

Operasidengan X X X
perdarahan

Operasitanpa
perdarahan

Neonatus X X

Umur< 40 X

U m u r 40 X M
49

U m u r 50 64 X X

U m u X X X X + X
r > 65

Peny. X X X
Kardiovaskular

Penyakit Paru X X

K e ga na sa X X * * X
n

Terapi radiasi X X X

Penyakit hati X X

Terpapar X
hepatitis

Penyakit gInjal X X X X

Gangguan Perd X X
arahan

Diabetes X X X X

Merokok X X X

Kehamilan X

Pemakaian X X
diuretik

Pemakaian X X X
digoksin

Pemakaian X X
steroid
Pemak. X X X
antikoagulan

Penyakit S S P X X X X X

Tidak semua penyakit termasuk dalam table ini. Simbol : + mungkin dilakukan; * hanya untuk leukemia; X dilakukan; M
dilakukan hanya untuk pria.

PERENCANAAN ANESTESI.
Rencana anestesi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan anestesi secara
umum. Secara garis besar komponen dari rencana anestesi adalah :
1. Ringkasan tentang anamnesis pasien , dan dan hasil-hasil pemeriksaan fisik
sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah, satukan
bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh dokter yang merawat.
2. Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik
khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif ).
3. Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.
4. Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di ICU).
5. Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.
6. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada , informed consent, dan pernyataan
bahwa semua pertanyaan telah dijawab.
7. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.

MENENTUKAN PROGNOSIS
Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan kalsifikasi status fisik
menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum
keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang
akan dioperasi.
ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi
ringan
ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi,
tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial,
hipertensi tak terkontrol
ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum
ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin
saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi
pada pasien koma berat
ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan
diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat), mis:
operasi apendiks diberi kode ASA 1 E

Tambahan .....................
Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini harus
dilakukan secara periodik untuk menulai apakah keadaan penderita semakin membaik atau
memburuk.
GCS terendah jumlahnya adalah 3 (koma dalam atau mati), sementara yang tertinggi
adalah 15 (sadar penuh). Dari ketiga komponen GCS tersebut motorik merupakan
komponen yang paling objektif. Dan sebaiknnya penilaian untuk satu penderita senantiasa
dilakukan oleh orang yang sama. Untuk penderita dengan hematoma periorbita yang besar,
penilaian komponen mata harus disesuaikan dengan respon motorik. Demikian pula untuk
penderita yang afasia, atau terintubasi, konponen verbalnya harus disesuaikan dengan
respon motorik. Dan untuk itu perlu latihan dan pengalaman yang berulang-ulang.
Sebagaimana disebutkan oleh Plum dan Postner, tingkat kesadaran tidak akan
terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisper saja, tetapi menjadi progresif
memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat
penekanan atau cedera pada batang otak.

Penilaian GCS berdasarkan reaksi yang didapatkan sesuai dengan umur penderita.
Mata 1 tahun 0 1 tahun

4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan

3 Membuka mata oleh Membuka mata oleh teriakan


perintah

2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri

1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata

Motor 1 tahun 0 1 tahun


ik

6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai

5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri

4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri

3 Fleksi Abnormal Fleksi Abnormal (dekortikasi)


(dekortikasi)

2 Ektensi abnormal Ektensi abnormal (deserebrasi)


(deserebrasi)

1 Tidak ada respon Tidak ada respon

Verval >5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun

5 Orientasi baik dan Menyebutkan kata Menagis kuat


mampu ber-komunikasi yang sesuai

4 Disorientasi tapi mampu Menyebutkan kata Menagis lemah


ber-komunikasi yang tidak sesuai

3 Menyebutkan kata-kata Menagis dan menjerit Kadang menagis /


yang tidak sesuai menjerit lemah

2 Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara


lemah lemah

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon


Diposkan oleh Ivan-Atjeh Anestesi

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar

RUANG RECOVERY

Pada prinsipnya dalam penatalaksananaan anestesi pada suatu operasi, terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksana ananestesi dan
pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa
dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca
bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau
Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit).
Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering
dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang
berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil
dan kadang-kadang pendarahan.
Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, dimana pasien
dirawat setelah mereka telah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang
baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang
dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu
badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.

Pasien biasanya akan mengalami disorientasi setelah mereka sadar kembali, dan di ruang
pemulihan ini pasien ditenangkan apabila menjadi anxietas dan dipastikan kalau fisik dan
emosional mereka terkendali.
Ruangan dan Fasilitas
Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar
bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak
akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan
anestesi dihentikan pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi
dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.
Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan
yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit
dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya kegawatan nafas dan
sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau
memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan
jalan nafas harus tersedia, misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop,
alat trakeostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% 100%.
Pengelolaan Pasien di Ruang Pulih Sadar
Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah
sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan.
Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,peralatan resusitasi jantung-paru dan
obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.
Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga
jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan
pasien.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah
pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan
nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik
atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini
kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam,
dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.
Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau masker sampai pasien
sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Kartu
observasi selama di ruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila
pasien sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan
stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada
kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada
pasien dengan risiko tinggi seperti:
Kelainan organ
Syok yang lama
Dehidrasi berat
Sepsis
Trauma multiple
Trauma kapitis
Gangguan organ penting, misalnya : otak
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat
dilakukan monitoring B6, yaitu :
Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :
Pola nafas
Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Sianosis pada ekstremitas
Auskultasi : wheezing, ronki
Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.
Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri
ple manuver airway).
Blood (darah) : sistem kardiovaskuler
Tekanan darah
Nadi
Perfusi perifer
Status hidrasi (hipotermi syok)
Kadar Hb
Brain (otak) : sistem SSP
Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
Bladder (kandung kencing) : sistem urogenitalis
Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine
Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute
renal failure
Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis
Periksa :
Dilatasi lambung
Tanda-tanda cairan bebas
Distensi abdomen
Perdarahan lambung post operasi
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien, pancreas
Dilatasi usus halus,
Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan,
karena ia bernafas dengan diafragma.
Bone (tulang) : sistem musculoskeletal
Periksa :
Tanda-tanda sianosis
Warna kuku
Perdarahan post operasi
Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah
warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti skor Aldrete (lihat
tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor
total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.
Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward,
yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan.
Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai adalah
pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di pindahkan ke
ruang rawat.
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Aldrete Score (dewasa)
Penilaian
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
Tabel. Skor pemulihan pasca anestesi
Bromage Score (spinal anestesi)
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai, 0
Tak mampu ekstensi tungkai, 1
Tak mampu fleksi lutut, 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.
Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalahdengan
menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme
harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi
total, dimana wheezing akibat dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan
pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea,
maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang
dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi
nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang
dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada, sementara secara manual
paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu
sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar
memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai
sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak
dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah pipa ditarik keluar dan
dilakukan re-intubasi.
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan
spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang.
Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke
muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling
penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa
dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau
dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul
keluar menutupi bagian ujung.
Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan
bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah yang terjatuh ke
belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular, sehingga dapat
menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara
bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap
bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan koma,
dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada
hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal
apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang benar pada
hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke
intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada
hipokalemia.
Komplikasi Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus
berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnea dan
asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel
kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada
faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5
1,0 g/kg/ menit.
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan,
terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler
perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital
yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis,hipoksia,
hiperkapnia atau penyakit jantung.
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat
vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi
hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi
semprotan lidokain topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika
narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan
(depresi).
Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama anestesia :
Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkalemi
Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia,hipokelmia, jantung koroner
Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin dll.
Komplikasi Lain-lain
Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil di
seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena hipotermia atau
efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi
pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga
pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.
Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan.
Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga
pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini
sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab
tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan
analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia).
Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan
dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat
Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
Penutup kain operasi yang terlalu tebal
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
Infeksi
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasihipertermia maligna)
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2
derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1:
50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka
kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah
banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium
dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam
sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam laktat dan
karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas.
Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia
maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai
pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.
Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani,
mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan NaCl
fisiologis dingin
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini
merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.
Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya mediator kimia
endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya.Reaksi dapat saja terjadi pada tiap
pemberian obat termasuk obat yang digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada
pemberian induksi intravena danobat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
Muka menjadi sembab
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi hentijantung
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
Percepat cairan infus kristaloid
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk meredam nyeri
pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan morfin 0.05-0.10
mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang
epidural. Tindakan ini sangat baiknyamanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah
sekitar 10-16 jam. Setelahitu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan
tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi
non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya
lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah
muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi
napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada
manula kecuali dengan pengawasan ketat.
Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan
selanjutnya dengan titrasi perinfus.
Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umumterutama pada penggunaan
opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang
sering digunakan pada peri anesthesia ialah :
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
Cyclizine 25-50 mg.
Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com

ICU

BAB I
PENDAHULUAN

IRIN (Instalasi Rawat Intensif) / ICU (Intensive Care Unit) adalah suatu tempat
atau unit tersendiri di dalam rumah sakit, memiliki staf khusus, peralatan khusus
ditujukan untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau
komplikasi.
Fungsi utama ICU adalah memberikan bantuan fisiologis yang dibutuhkan sampai
di dapat hasil:
1. Pasien sembuh total
2. Terapi spesifik dapat mengatasi problema dasar
3. Pasien meninggal

INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU


Prosedur medis yang menyangkut kriteria masuk dan keluar ICU, idealnya di
susun bersama oleh disiplin-disiplin terkait yaitu yang terdiri dari dokter, perawat
dan tenaga administrasi rumah sakit.
Pelayanan ICU meliputi pemantauan dan terafi intensif, karena itu secara umum
prioritas utama ialah pasien yang memerlukan terafi intensif. Prioritas berikutnya
adalah pasien yang memerlukan pemantauan intensif. Sedangkan prioritas
terakhir adalah pasien dengan prognosis buruk akan sembuh.
Persyaratan masuk dan keluar ICU hendaknya juga di dasarkan pada manfaat
terapi di ICU dan harapan kesembuhannya. Kepala ICU atau wakilnya akan
memutuskan pasien mana yang harus diprioritaskan.

A. INDIKASI MASUK ICU

- Pasien sakit kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terafi intensif
seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara
terus menerus.
- Pasien yang memerlukan pemantauan intensif invasif atau noninvasif
sehingga komplikasi berat dapat dihindarkan atau dikurangi (contoh:
paska bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung paru, ginjal
dan lainnya)
- Pasien yang memerlukan terafi intensif untuk mengatasi komplikasi-
komplikasi akut, sekalipun manfaat ICU ini sedikit. Contoh : pasien dengan
tumor ganas metastase dengan komplikasi infeksi.

B. TIDAK ADA INDIKASI MASUK ICU

- Pasien mati batang otak, kecuali keberadaannya diperlukan sebagai donor


organ-organ.
- Pasien yang menolak terapi bantuan hidup
- Pasien yang secara medis tak ada harapan dapat di sembuhkan lagi
(contoh: kanker stadium akhir, kerusakan susunan saraf pusat dengan
kesadaran vegetatif)

C. INDIKASI KELUAR ICU

- Pasien yang tidak memerlukan lagi terapi karena keadaan membaik atau
terapi telah gagal dan prognosis dalam waktu dekat akan memburuk serta
manfaat terafi intensif sangat kecil. Dalam hal yang kedua perlu
persetujuan dokter yang mengirim.
- Bila pada pemantauan intensif ternyata hasilnya tidak memerlukan
tindakan atau terafi intensif lebih lama.
- Terafi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu diteruskan lagi pada:
Pasien usia lanjut dengan gagal 3 organ atau lebih yang tidak memberi
respons terhadap terafi intensif selama 72 jam
Pasien mati batang otak atau koma (bukan karena trauma) yang
menimbulkan keadaan vegetatif dan sangat kecil kemungkinan untuk
pulih.
Pasien dengan bermacam-macam diagnosis seperti PPOM, penyakit
jantung terminal, kanker yang menyebar (metastase).
Pelaksanaan ketiga bulir yang terakhir ini hendaknya dilakukan atas
persetujuan dokter yang mengirim. Apabila tempat di ICU penuh, ada pasien
kritis lainnya yang memenuhi syarat prioritas pertama, maka pasien yang
memenuhi kriteria keluar terpaksa dikembalikan ke ruang perawatan biasa,
hendaknya dengan persetujuan dokter yang mengirim.

PERSIAPAN ANASTESI
ANALISA GAS DARAH
NALISA GAS DARAH

ANALISA GAS DARAH (AGD)


A. Pengertian AGD

Pemeriksaan analisis gas darah merupakan pemeriksaan laboratorium


yang penting sekali di dalam penatalaksanaan penderita akut maupun kronis,
terutama penderita penyakit paru. Pemeriksaan analisis gas darah penting baik
untuk menegakkan diagnosis, menentukan terapi, maupun untuk mengikuti
perjalanan penyakit setelah mendapat terapi. Sama halnya dengan pemeriksaan
EKG pada penderita jantung dan pemeriksaan gula darah penderita diabetes
millitus. Dengan majunya ilmu pengetahuan, terutama setelah ditemukan alat
astrup, tekanan parsial O2 dan CO2 serta pH darah dapat diukur dengan mudah.

Analisa Gas Darah ( AGD ) atau sering disebut Blood Gas Analisa
( BGA ) merupakan pemeriksaan penting untuk penderita sakit kritis yang
bertujuan untuk mengetahui atau mengevaluasi pertukaran Oksigen
( O2),Karbondiosida ( CO2) dan status asam-basa dalam darah arteri.

Analisa gas darah (AGD) atau BGA (Blood Gas Analysis) biasanya
dilakukan untuk mengkaji gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan
oleh gangguan pernafasan dan/atau gangguan metabolik. Komponen dasar AGD
mencakup pH, PaCO2, PaO2, SO2, HCO3 dan BE (base excesses/kelebihan basa).

Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai : Keseimbangan asam basa


dalam tubuh, Kadar oksigenasi dalam darah, Kadar karbondioksida dalam
darah.

B. Tujuan dan Manfaat Pemeriksaan AGD

Sebuah analisis ABG mengevaluasi seberapa efektif paru-paru yang


memberikan oksigen ke darah . Tes ini juga menunjukkan seberapa baik paru-
paru dan ginjal yang berinteraksi untuk menjaga pH darah normal
(keseimbangan asam-basa). Peneliatian ini biasanya dilakukan untuk menilai
penyakit khususnya pernapasan dan kondisi lain yang dapat mempengaruhi
paru-paru, dan sebagai pengelolaan pasien untuk terapi oksigen (terapi
pernapasan). Selain itu, komponen asam-basa dari uji tes dapat memberikan
informasi tentang fungsi ginjal.Adapun tujuan lain dari dilakukannya
pemeriksaan analisa gas darah,yaitu :

1. Menilai fungsi respirasi (ventilasi)

2. Menilai kapasitas oksigenasi.

3. Menilai keseimbangan asam-basa

4. Mengetahui keadaan O2 dan metabolisme sel.

5. Efisiensi pertukaran O2 dan CO2.


6. Untuk mengetahui kadar CO2 dalam tubuh.

7. Memperoleh darah arterial untuk analisa gas darah atau test diagnostik yang
lain.

Adapun manfaat pada pemeriksaan analisa gas darah yaitu


untukmenegakkan diagnosis, menentukan terapi, maupun untuk mengikuti
perjalanan penyakit setelah mendapat terapi,serta mengkaji gangguan
keseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh gangguan pernafasan dan/atau
gangguan metabolic dalam tubuh.

1. Analisis gas darah digunakan untuk diagnosa dan pengelolaan :

Penyakit pernafasan

Pemberian oksigen

Kadar oksigenasi dalam darah

Kadar CO2

Keseimbangan asam-basa

Ventilasi

2. Pemilihan bagian analisa gas darah :

a. Kriteria tergantung pada :

Ada tidaknya sirkulasi koleteral.

Seberapa besar arteri.

Jenis jaringan yang mengelilingnya.

b. Bagian-bagian yang tidak boleh dipilih :

o Adanya peradangan.

o Adanya iritasi.

o Adanya edema.

o Dekat dengan luka.

o Percabangan arteri dengan fistula

AGD tidak perlu dilakukan apabila:

1. Hasil tidak akan memberikan pengaruh pada tindakan medis selanjutnya.

2. Mengikuti prosedurpemeriksaan yang ada, bukan karena adanya indikasi.

3. Masih terdapat cara lain yang lebih mudah untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.

4. Komplikasi yang timbul >>daripada hasil AGD yang diharapkan


C. Pengambilan Sample dan Analisa Pemeriksaan AGD

Sampel darah untuk pemeriksaan Analisa Gas Darah dapat dilakukan pada
arteri radialis, arteri tibialis posterior, arteri dorsalis pedis, dan lain-lain. Arteri
femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain,
karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila
terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan
arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko
emboli. Korelasi nilai sampel darah arteri dan kapiler bervariasi, baik untuk pH
dan PCO2, tapi jelek untuk PaO2.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan analisa gas darah:

Gelembung udara
Tekanan
Oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah
maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel
darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.

Dalam kegiatan pengumpulan sampel darah dikenal istilah phlebotomy yang


berarti proses mengeluarkan darah. Dalam praktek laboratorium klinik, ada 3
macam cara memperoleh darah, yaitu : melalui tusukan vena (venipuncture),
tusukan kulit (skinpuncture) dan tusukan arteri atau nadi. Venipuncture adalah
cara yang paling umum dilakukan, oleh karena itu istilah phlebotomy sering
dikaitkan dengan venipuncture.

Pengumpulan Sampel Darah

Dalam kegiatan pengumpulan sampel darah dikenal


istilah phlebotomy yang berarti proses mengeluarkan darah. Dalam praktek
laboratorium klinik, ada 3 macam cara memperoleh darah, yaitu : melalui
tusukan vena (venipuncture), tusukan kulit (skinpuncture) dan tusukan arteri
atau nadi. Venipuncture adalah cara yang paling umum dilakukan, oleh karena
itu istilah phlebotomy sering dikaitkan dengan venipuncture.

Pengambilan Darah Vena

Pada pengambilan darah vena (venipuncture), contoh darah umumnya


diambil dari vena median cubital, pada anterior lengan (sisi dalam lipatan siku).
Vena ini terletak dekat dengan permukaan kulit, cukup besar, dan tidak ada
pasokan saraf besar. Apabila tidak memungkinkan, vena chepalica atau
vena basilica bisa menjadi pilihan berikutnya. Venipuncture pada vena basilica
harus dilakukan dengan hati-hati karena letaknya berdekatan dengan
arteri brachialis dan syaraf median.
Jika vena cephalica dan basilica ternyata tidak bisa digunakan, maka
pengambilan darah dapat dilakukan di vena di daerah pergelangan tangan.
Lakukan pengambilan dengan dengan sangat hati-hati dan menggunakan jarum
yang ukurannya lebih kecil.

Lokasi yang tidak diperbolehkan diambil darah adalah :

Lengan pada sisi mastectomy

Daerah edema

Hematoma

Daerah dimana darah sedang ditransfusikan

Daerah bekas luka

Daerah dengan cannula, fistula atau cangkokan vascular

Daerah intra-vena lines Pengambilan darah di daerah ini dapat menyebabkan


darah menjadi lebih encer dan dapat meningkatkan atau menurunkan kadar zat
tertentu.

Ada dua cara dalam pengambilan darah vena, yaitu cara manual dan cara
vakum. Cara manual dilakukan dengan menggunakan alat suntik (syring),
sedangkan cara vakum dengan menggunakan tabung vakum (vacutainer).

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengambilan darah vena
adalah :

Pemasangan turniket (tali pembendung)

Pemasangan dalam waktu lama dan terlalu keras dapat menyebabkan


hemokonsentrasi (peningkatan nilai hematokrit/PCV dan elemen sel),
peningkatan kadar substrat (protein total, AST, besi, kolesterol, lipid total)

Melepas turniket sesudah jarum dilepas dapat menyebabkan hematoma

Jarum dilepaskan sebelum tabung vakum terisi penuh sehingga mengakibatkan


masukknya udara ke dalam tabung dan merusak sel darah merah.

Penusukan

Penusukan yang tidak sekali kena menyebabkan masuknya cairan jaringan


sehingga dapat mengaktifkan pembekuan. Di samping itu, penusukan yang
berkali-kali juga berpotensi menyebabkan hematoma.

Tutukan jarum yang tidak tepat benar masuk ke dalam vena menyebabkan
darah bocor dengan akibat hematoma

Kulit yang ditusuk masih basah oleh alkohol menyebabkan hemolisis sampel
akibat kontaminasi oleh alcohol, rasa terbakar dan rasa nyeri yang berlebihan
pada pasien ketika dilakukan penusukan.
Pengambilan Darah Kapiler

Pengambilan darah kapiler atau dikenal dengan istilah skinpuncture yang


berarti proses pengambilan sampel darah dengan tusukan kulit. Tempat yang
digunakan untuk pengambilan darah kapiler adalah :

Ujung jari tangan (fingerstick) atau anak daun telinga.

Untuk anak kecil dan bayi diambil di tumit (heelstick) pada 1/3 bagian tepi
telapak kaki atau ibu jari kaki.

Lokasi pengambilan tidak boleh menunjukkan adanya gangguan peredaran,


seperti vasokonstriksi (pucat), vasodilatasi (oleh radang, trauma, dsb), kongesti
atau sianosis setempat.

Pengambilan darah kapiler dilakukan untuk tes-tes yang memerlukan


sampel dengan volume kecil, misalnya untuk pemeriksaan kadar glukosa, kadar
Hb, hematokrit (mikrohematokrit) atau analisa gas darah (capillary method).

Pengambilan Darah Arteri

Pengambilan darah arteri umumnya menggunakan arteri radialis di daerah


pergelangan tangan. Jika tidak memungkinkan dapat dipilih arteri brachialis di
daerah lengan atau arteri femoralis di lipat paha. Pengambilan darah harus
dilakukan dengan hati-hati dan oleh tenaga terlatih.Sampel darah arteri
umumnya digunakan untuk pemeriksaan analisa gas darah.
Arteri radialis

Yaitu arteri yang berada di pergelangan tangan pada posisi ibu jari.

a. Terdapat sirkulasi kolateral (suplai darah dari beberapa arteri).

b. Bila terjadi kerusakan RA pada saat pengambilan, ulnar arteri akan


mensuplai darah ke tangan. Padahal ulnar arteri tidak boleh digunakan untuk
ABG.

c. Bila tidak ditemukan sirkulasi korateral, RA tidak boleh digunakan.


d. Hematoma pada RA jarang terjadi karena adanya tekanan diatas ligamen
dan tulang pada pergelangan.

e. Kesulitan :

Ukuran arteri kecil

Sulit diperoleh kondisi pasien dengan curah jantung yang rendah.

Arteri branchialis

Yaitu arteri yang berada pada medial anterior bagian antecubital fossa,
terselipdiantara otot bisep.

a. Ukuran arteri besar sehingga mudah untuk dipalpasi dan ditusuk.

b. Sirkulasi koleteral cukup, tidak sebanyak RA.

c. Kesulitan :

Letak arteri lebih dalam

Letaknya dekat dengan basilic vena dan syaraf median

Hematom mungkin terjadi

Arteri femoralis

Yaitu arteri yang paling besar untuk ABG. Berada pada permukaan paha bagian
dalam, disebelah lateral tulang pubis.
a. Dapat dilakukan ABG sekalipun pasien dengan curah jantung yang rendah.

b. FA hanya digunakan dalam kondisi gawat darurat atau sulit mendapat arteri
lain.

c. Kesulitan :

Sirkulasi koleteral sedikit sehingga mudah terjadi infeksi pada tempat


pengambilan

Sulit untuk aseptis

Pada orang tua, gangguan dinding arteri sebelah dalam

Letaknya dekat dengan vena paha.

5. Bagian arteri lainnya

a. Pada bayi : arteri kulit kepala, arteri tali pusat

b. Pada orang dewasa : arteri dorsal pedis

Ukuran-ukuran dalam analisa gas darah:

PH normal 7,35-7,45

Pa CO2 normal 35-45 mmHg

Pa O2 normal 80-100 mmHg

Total CO2 dalam plasma normal 24-31 mEq/l

HCO3 normal 21-30 mEq/l

Base Ekses normal -2,4 s.d +2,3

Saturasi O2 lebih dari 90%.


Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan
ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah
arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A.
Femoralis.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil analisa gas darah


meliputi :

a. Suhu, pada suhu 370 c selama 10 menit PH akan berubah, 0,10 ; PaCO21
mmhg dan PO2 0,7 mmhg, sedangkan pada suhu 40 dalam 10 menit PH berubah
0,01 ; PaCO2 0,01 mmhg dan PaO2,07 mmhg. Sebaiknya darah dimasukkan
kedalam es untuk menghindari / mengurangi metabolisme dan mencegah
konsumsi oksigen dan karbondioksida yang dapat mempengaruhi nilai

b. Darah yang diambil, darah arteri merupakan contoh baku untuk


pemeriksaaan analisa gas darah.

c. Pemakaian heparin, jangan lebih dari 0,05 cc untuk 1 cc darah (cukup


membilas spuit dengan heparin).

d. Gelembung udara dalam spuit, yang akan mempengaruhi CO2 dan O2.

Komponen yang diperiksa dalam analisa gas darah meliputi :

PH (normal : 7,35 7,45)

PH akan menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam tubuh. Ada peningkatan


atau penuruna ion H+ akan mempengaruhi stabilitas dari PH cairan tubuh. Bila
ion H+ meningkat PH akan rendah dan bila ion H+ menurun PH akan meningkat.

PaCO2 (normal : 35 45 mmhg)

PaCO2 adalah tekanan partial yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut. PaCO2
ini merupakan parameter untuk mengetahui fungsi respirasi dan menentukan
cukup tidaknya ventilasi alveolar. Bila PaCO2 rendah menunjukkan adanya
hyperventilasi karena rangsangan pernafasan dan bila PaCO2 tinggi
(hypoventilasi) menunjukkan adanya kegagalan ventilasi alveolis. Pada PaCO2
rendah konsentrasi ion H+ akan rendah dan PH meningkat, sedangkan bila
terjadi peningkatan PaCO2 konsentrasi ion H+ akan mengingat dan PH menjadi
rendah

PaO2 (normal : 80 100 mmhg)

PaO2 adalah tekanan yang ditimbulkan oleh oksigen yang terlarut dalam darah.
PaO2 akan memberikan petunjuk cukup tidaknya oksigenisasi darah arteri

Base Ekses (E . E) (normal 2 / 2,5 mEQ / 1)

Menggambarkan secara langsung kelebihan basa kuat / kekurangan asam tetap


atau kekurangan basa / kelebihan asam.Bila nilai positif menunjukkan kelebihan
basa dan bila nilai negatif menunjukkan kelebihan asam
TCO2 (normal : 24 -31 mmhg)

Total CO2 yang terdapat dalam plasma, yang meliputi asam karbonat, bikarbonat
dan senyawa karbamino. TCO2 dapat digunakan sebagai petunjuk klinik
gangguan keseimbangan asam untuk memperkirakan kelebihan atau
kekurangan basa karena perbandingan bikarbonat dan asm bikarbonat 20 : 1

Sat. O2 (normal : 96 -100 %)

Derajat kejenuhan Hb dengan oksigen. Sat O2 sangat membantu untuk


menghitung kandungan oksigen dalam darah

Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan AGD :

Gelembung udara

Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel
darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen
sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.

Antikoagulan

Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian


heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO 2, sedangkan pH tidak
terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman
heparin.

Metabolisme

Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya
sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak
langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.

Suhu

Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya
PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO 2.

Nilai

Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai
PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan
antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai
oksigenasi darah

D. Pengukuran Karbondioksida Darah

Analisa gas darah dilakukan pada darah dari arteri. Ini meruapakan
pengukuran tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida dalam darah, serta
kandungan oksigen, saturasi oksigen, konten bikarbonat, dan pH darah.Oksigen
di paru-paru dilakukan pada jaringan melalui aliran darah, tetapi hanya sejumlah
kecil oksigen ini benar-benar dapat larut dalam darah arteri. Berapa banyak
melarutkan tergantung pada tekanan parsial oksigen (tekanan bahwa gas
diberikannya pada dinding arteri). Oleh karena itu, pengujian tekanan parsial
oksigen sebenarnya adalah mengukur berapa banyak oksigen yang memberikan
paru-paru ke dalam darah. Karbon dioksida dilepaskan ke dalam darah sebagai
produk sampingan dari metabolisme sel. Tekanan parsial karbon dioksida
menunjukkan seberapa baik paru-paru menghilangkan karbon dioksida.

Sisa oksigen yang tidak terlarut dalam darah tergabung dengan


hemoglobin, suatu senyawa protein-besi yang ditemukan dalam sel-sel darah
merah. Pengukuran dalam kandungan oksigen dalam analisis ABG menunjukkan
berapa banyak oksigen dikombinasikan dengan hemoglobin.

Karbon dioksida lebih mudah larut dalam darah dibanding oksigen ,


terutama membentuk jumlah bikarbonat dan lebih kecil dari asam karbonat.
Ketika hadir dalam jumlah normal, rasio asam karbonat untuk bikarbonat
menciptakan keseimbangan asam-basa dalam darah, membantu menjaga pH
pada tingkat di mana fungsi sel tubuh yang paling efisien. Paru-paru dan ginjal
baik berpartisipasi dalam mempertahankan keseimbangan asam-karbonat
bikarbonat. Paru-paru mengontrol tingkat asam karbonat dan bikarbonat di atur
oleh ginjal.

E. Persiapan Alat dan Pasien

A. Persiapan Alat

Persiapan Alat Pengambilan Darah Vena

1. Pengambilan Darah Vena dengan Syring

Syring

Kapas Alkohol 70%

Torniquet

Plester

Tabung

2. Pengambilan Darah Vena Dengan Tabung Vakum

o Jarum

o Kapas alkohol 70%

o Tali pembendung (turniket)


o Plester

o Tabung vakum.

Persiapan Alat Pengambilan Darah Kapiler

Lanset

Kapas Alkohol 70%

Povidone iodium 10%

Tabung

Persiapan Alat Pengambilan Darah Arteri

Torniquet

Kapas Alkohol 70%

Spuit

Tabung

Handscoon

B. Persiapan Pasien :

Memberikan penjelasan pada klien (bila mungkin) dan keluarga mengenai tujuan
pengambilan darah dan prosedur yang akan dilakukan.

Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa sakit

Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul

Jelaskan tentang allens test

Mengatur posisi pasien

F. Prosedur Kerja

1) Prosedur Pengambilan Darah Vena

Pengambilan Darah Vena dengan Syring

Pengambilan darah vena secara manual dengan alat suntik (syring)


merupakan cara yang masih lazim dilakukan di berbagai laboratorium klinik dan
tempat-tempat pelayanan kesehatan. Alat suntik ini adalah sebuah pompa piston
sederhana yang terdiri dari sebuah sebuah tabung silinder, pendorong, dan
jarum. Berbagai ukuran jarum yang sering dipergunakan mulai dari ukuran
terbesar sampai dengan terkecil adalah : 21G, 22G, 23G, 24G dan 25G.

Pengambilan darah dengan suntikan ini baik dilakukan pada pasien usia
lanjut dan pasien dengan vena yang tidak dapat diandalkan (rapuh atau kecil).

Prosedur :

Persiapkan alat-alat yang diperlukan : Untuk pemilihan syring, pilihlah


ukuran/volume sesuai dengan jumlah sampel yang akan diambil, pilih ukuran
jarum yang sesuai, dan pastikan jarum terpasang dengan erat.

Lakukan pendekatan pasien dengan tenang dan ramah; usahakan pasien


senyaman mungkin.

Identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan data di lembar permintaan.

Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien
minum obat tertentu, tidak puasa dsb.

Minta pasien meluruskan lengannya, pilih lengan yang banyak melakukan aktifitas.

Minta pasien mengepalkan tangan.

Pasang tali pembendung (turniket) kira-kira 10 cm di atas lipat siku.

Pilih bagian vena median cubital atau cephalic. Lakukan perabaan (palpasi) untuk
memastikan posisi vena; vena teraba seperti sebuah pipa kecil, elastis dan
memiliki dinding tebal. Jika vena tidak teraba, lakukan pengurutan dari arah
pergelangan ke siku, atau kompres hangat selama 5 menit daerah lengan.

Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alcohol 70% dan
biarkan kering. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.

Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Jika jarum telah
masuk ke dalam vena, akan terlihat darah masuk ke dalam semprit
(dinamakan flash). Usahakan sekali tusuk kena.

Setelah volume darah dianggap cukup, lepas turniket dan minta pasien membuka
kepalan tangannya. Volume darah yang diambil kira-kira 3 kali jumlah serum
atau plasma yang diperlukan untuk pemeriksaan.

Letakkan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan/tarik jarum. Tekan kapas
beberapa sat lalu plester selama kira-kira 15 menit. Jangan menarik jarum
sebelum turniket dibuka.

Pengambilan Darah Vena Dengan Tabung Vakum

Tabung vakum pertama kali dipasarkan oleh perusahaan AS BD (Becton-


Dickinson) di bawah nama dagang Vacutainer. Jenis tabung ini berupa tabung
reaksi yang hampa udara, terbuat dari kaca atau plastik. Ketika tabung
dilekatkan pada jarum, darah akan mengalir masuk ke dalam tabung dan
berhenti mengalir ketika sejumlah volume tertentu telah tercapai.

Jarum yang digunakan terdiri dari dua buah jarum yang dihubungkan oleh
sambungan berulir. Jarum pada sisi anterior digunakan untuk menusuk vena dan
jarum pada sisi posterior ditancapkan pada tabung. Jarum posterior diselubungi
oleh bahan dari karet sehingga dapat mencegah darah dari pasien mengalir
keluar. Sambungan berulir berfungsi untuk melekatkan jarum pada sebuah
holder dan memudahkan pada saat mendorong tabung menancap pada jarum
posterior.

Keuntungan menggunakan metode pengambilan ini adalah, tak perlu


membagi-bagi sampel darah ke dalam beberapa tabung. Cukup sekali
penusukan, dapat digunakan untuk beberapa tabung secara bergantian sesuai
dengan jenis tes yang diperlukan. Untuk keperluan tes biakan kuman, cara ini
juga lebih bagus karena darah pasien langsung dapat mengalir masuk ke dalam
tabung yang berisi media biakan kuman. Jadi, kemungkinan kontaminasi selama
pemindahan sampel pada pengambilan dengan cara manual dapat dihindari.

Kekurangannya sulitnya pengambilan pada orang tua, anak kecil, bayi,


atau jika vena tidak bisa diandalkan (kecil, rapuh), atau jika pasien gemuk. Untuk
mengatasi hal ini mungkin bisa digunakan jarum bersayap (winged needle).

Jarum bersayap atau sering juga dinamakan jarum kupu-kupu hampir


sama dengan jarum vakutainer seperti yang disebutkan di atas. Perbedaannya
adalah, antara jarum anterior dan posterior terdapat dua buah sayap plastik
pada pangkal jarum anterior dan selang yang menghubungkan jarum anterior
dan posterior. Jika penusukan tepat mengenai vena, darah akan kelihatan masuk
pada selang (flash).

Prosedur :

Persiapkan alat-alat yang diperlukan.

Pasang jarum pada holder, pastikan terpasang erat.

Lakukan pendekatan pasien dengan tenang dan ramah; usahakan pasien


senyaman mungkin.

Identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan data di lembar permintaan.

Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien
minum obat tertentu, tidak puasa dsb.

Minta pasien meluruskan lengannya, pilih lengan yang banyak melakukan


aktifitas.

Minta pasien mengepalkan tangan.

Pasang tali pembendung (turniket) kira-kira 10 cm di atas lipat siku.


Pilih bagian vena median cubital atau cephalic. Lakukan perabaan (palpasi) untuk
memastikan posisi vena; vena teraba seperti sebuah pipa kecil, elastis dan
memiliki dinding tebal. Jika vena tidak teraba, lakukan pengurutan dari arah
pergelangan ke siku, atau kompres hangat selama 5 menit daerah lengan.

Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alcohol 70% dan
biarkan kering. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.

Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Masukkan
tabung ke dalam holder dan dorong sehingga jarum bagian posterior tertancap
pada tabung, maka darah akan mengalir masuk ke dalam tabung. Tunggu
sampai darah berhenti mengalir. Jika memerlukan beberapa tabung, setelah
tabung pertama terisi, cabut dan ganti dengan tabung kedua, begitu seterusnya.

Lepas turniket dan minta pasien membuka kepalan tangannya. Volume darah
yang diambil kira-kira 3 kali jumlah serum atau plasma yang diperlukan untuk
pemeriksaan.

Letakkan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan/tarik jarum. Tekan kapas
beberapa sat lalu plester selama kira-kira 15 menit. Jangan menarik jarum
sebelum turniket dibuka.

Menampung Darah Dalam Tabung

Beberapa jenis tabung sampel darah yang digunakan dalam praktek


laboratorium klinik adalah sebagai berikut :

Tabung tutup merah : Tabung ini tanpa penambahan zat additive, darah akan
menjadi beku dan serum dipisahkan dengsan pemusingan. Umumnya digunakan
untuk pemeriksaan kimia darah, imunologi, serologi dan bank darah
(crossmatching test)

Tabung tutup kuning : Tabung ini berisi gel separator (serum separator
tube/SST) yang fungsinya memisahkan serum dan sel darah. Setelah
pemusingan, serum akan berada di bagian atas gel dan sel darah berada di
bawah gel. Umumnya digunakan untuk pemeriksaan kimia darah, imunologi dan
serologi

Tabung tutup hijau terang : Tabung ini berisi gel separator (plasma separator
tube/PST) dengan antikoagulan lithium heparin. Setelah pemusingan, plasma
akan berada di bagian atas gel dan sel darah berada di bawah gel. Umumnya
digunakan untuk pemeriksaan kimia darah.

Tabung tutup ungu atau lavender : Tabung ini berisi EDTA. Umumnya
digunakan untuk pemeriksaan darah lengkap dan bank darah (crossmatch)

Tabung tutup biru : Tabung ini berisi natrium sitrat. Umumnya digunakan untuk
pemeriksaan koagulasi (mis. PPT, APTT)
Tabung tutup hijau : Tabung ini berisi natrium atau lithium heparin, umumnya
digunakan untuk pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit, kimia darah.

Tabung tutup biru gelap : Tabung ini berisi EDTA yang bebas logam, umumnya
digunakan untuk pemeriksaan trace element (zink, copper, mercury) dan
toksikologi.

Tabung tutup abu-abu terang : Tabung ini berisi natrium fluoride dan kalium
oksalat, digunakan untuk pemeriksaan glukosa.

Tabung tutup hitam : berisi bufer sodium sitrat, digunakan untuk pemeriksaan
LED (ESR).

Tabung tutup pink : berisi potassium EDTA, digunakan untuk pemeriksaan


imunohematologi.

Tabung tutup putih : potassium EDTA, digunakan untuk pemeriksaan


molekuler/PCR dan bDNA.

Tabung tutup kuning dengan warna hitam di bagian atas ; berisi media biakan,
digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi - aerob, anaerob dan jamur

Beberapa hal penting dalam menampung sampel darah adalah :

Darah dari syring atau suntikan harus dimasukkan ke dalam tabung dengan cara
melepas jarum lalu mengalirkan darah perlahan-lahan melalui dinding tabung.
Memasukkan darah dengan cara disemprotkan, apalagi tanpa melepas jarum,
berpotensi menyebabkan hemolisis. Memasukkan darah ke dalam tabung vakum
dengan cara menusukkan jarum pada tutup tabung, biarkan darah mengalir
sampai berhenti sendiri ketika volume telah terpenuhi.

Homogenisasi sampel jika menggunakan antikoagulan dengan cara memutar-mutar


tabung 4-5 kali atau membolak-balikkan tabung 5-10 kali dengan lembut.
Mengocok sampel berpotensi menyebabkan hemolisis.

Urutan memasukkan sampel darah ke dalam tabung vakum adalah : pertama -


botol biakan (culture) darah atau tabung tutup kuning-hitam kedua - tes
koagulasi (tabung tutup biru), ketiga - tabung non additive (tutup merah),
keempat - tabung tutup merah atau kuning dengan gel separator atau clot
activator, tabung tutup ungu/lavendet (EDTA), tabung tutup hijau (heparin),
tabung tutup abu-abu (NaF dan Na oksalat)

2) Prosedur Pengambilan Darah Kapiler

o Siapkan peralatan sampling : lancet steril, kapas alcohol 70%.

o Pilih lokasi pengambilan lalu desinfeksi dengan kapas alkohol 70%, biarkan
kering.
o Peganglah bagian tersebut supaya tidak bergerak dan tekan sedikit supaya rasa
nyeri berkurang.

o Lakukan tindakan aseptik dengan povidone iodium 10%, biarkan sampai


mengering, lalu ulangi dengan alkohol 70%.

o Sterilkan lanset dalam alkohol 95%.

o Tusuk dengan lancet steril. Tusukan harus dalam sehingga darah tidak harus
diperas-peras keluar. Jangan menusukkan lancet jika ujung jari masih basah oleh
alkohol. Hal ini bukan saja karena darah akan diencerkan oleh alkohol, tetapi
darah juga melebar di atas kulit sehingga susah ditampung dalam wadah.

o Setelah darah keluar, buang tetes darah pertama dengan memakai kapas kering,
tetes berikutnya boleh dipakai untuk pemeriksaan.

o Pengambilan darah diusahakan tidak terlalu lama dan jangan diperas-peras untuk
mencegah terbentuknya jendalan.

3) Prosedur Pengambialn Darah Arteri

Siapkan peralatan sampling di tempat/ruangan dimana akan dilakukan


sampling.

Pilih bagian arteri radialis.

Pasang tali pembendung (tourniquet) jika diperlukan.

Lakukan palpasi (perabaan) dengan jari tangan untuk memastikan letak arteri.

Desinfeksi kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70%, biarkan kering.
Kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi.

Tekan bagian arteri yang akan ditusuk dengan dua jari tangan lalu tusukkan
jarum di samping bawah jari telunjuk dengan posisi jarum tegak atau agak
miring. Jika tusukan berhasil darah terlihat memasuki spuit dan mendorong
thorak ke atas.

Setelah tercapai volume darah yang dikehendaki, lepaskan/tarik jarum dan


segera letakkan kapas pada tempat tusukan lalu tekan kapas kuat-kuat selama
2 menit. Pasang plester pada bagian ini selama 15 menit.

Langkah-langkah untuk menilai gas darah:

1. Pertama-tama perhatikan pH (jika menurun klien mengalami asidemia,


dengan dua sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika meningkat
klien mengalami alkalemia dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis
respiratorik; ingatlah bahwa kompensasi ginjal dan pernafasan jarang
memulihkan pH kembali normal, sehingga jika ditemukan pH yang normal
meskipun ada perubahan dalam PaCO2 dan HCO3 mungkin ada gangguan
campuran).

2. Perhatikan variable pernafasan (PaCO2 ) dan metabolik (HCO3) yang


berhubungan dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer
bersifat respiratorik, metabolik atau campuran (PaCO2 normal, meningkat atau
menurun; HCO3 normal, meningkat atau menurun; pada gangguan asam basa
sederhana, PaCO2 dan HCO3 selalu berubah dalam arah yang sama;
penyimpangan dari HCO3 dan PaCO2 dalam arah yang berlawanan menunjukkan
adanya gangguan asam basa campuran).

3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi


(hal ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai bergerak
yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan).

4. Buat penafsiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan


asam basa campuran).

Komplikasi pada analisa gas darah

a. Rasa takut

b. Infeksi dan pembentukan trombus

c. Hematoma

d. Arteriospasm (respon refleks kontriksi dari otot arteri)

Beberapa hal penting yang perlu di perhatikan dalam pengambilan darah ini
meliputi :

- Gunakan tehnik steril

- Hindari penusukan yang sering pada tempat yang sama untuk mencegah
aneurism

- Jangan menusukkan jarum lebih dari 0,5 cm

- Harus mengetahui anatomi untuk mencegah terjadinya penusukan pada saraf

- Lakukan palpasi sebelum di lakukan penusukan

- Bila perlu pengulangan pemeriksaan analisa gas darah dokter akan memasang
arteri line

Blood Gas Analyzer (BGA)


A. PENGERTIAN

Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan


penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan
keseimbangan asam basanya. Manfaat dari pemeriksaan analisa gas darah
tersebut bergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasi hasilnya
secara tepat.

Pemeriksaan Analisa gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi


paru-paru.pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah astrup dari
arteri radialis,brakhialis,atau formalis.

Gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH (dan juga


keseimbangan asam basa), oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat,
saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah
arteri dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam
penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun.
Meskipun biasanya pemeriksaan ini menggunakan spesimen dari darah
arteri,jika sampel darah arteri tida dapat diperoleh suatu sampel vena campuran
dapat digunakan.

Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai


tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu
diagnosa hanya dari penilaian analisa gas darah dan keseimbangan asam basa
saja, kita harus menghubungkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
dan data-data laboratorium lainnya.

Pada dasarnya pH atau derajat keasaman darah tergantung pada


konsentrasi ion H+ dan dapat dipertahankan dalam batas normal melalui 3
faktor, yaitu:

1. Mekanisme dapar kimia

2. Mekansime pernafasan.

3. mekanisme ginjal .

Terdapat 4 macam dapar kimia dalam tubuh, yaitu:

1. Sistem dapar bikarbonat-asam karbonat

2. Sistem dapar fosfat

3. Sistem dapar protein

4. Sistem dapar hemoglobin

Mekanismenya terdiri dari:

1. Mekanisme pernafasan

2. Mekanisme ginjal

3. Reabsorpsi ion HCO3-

4. Asidifikasi dari garam-garam dapar

5. Sekresi ammonia
B. Gangguan Asam Basa sederhana

Gangguan asam basa primer dan kompensasinya dapat diperlihatkan


dengan memakai persamaan yang dikenal dengan persamaan Henderson-
Hasselbach. Persamaan asam basa adalah sebagai berikut:

Persamaan ini menekankan bahwa perbandingan asam dan basa harus


20:1 agar pH dapat dipertahankan dalam batas normal. Persamaan ini juga
menekankan kemampuan ginjal untuk mengubah bikarbonat basa melalui proses
metabolik, dan kemampuan paru untuk mengubah PaCO2 (tekanan parsial CO2
dalam darah arteri) melalui respirasi. Nilai normal pH adalah 7, 35- 7,45. berikut
ini adalah gambaran rentang pH:

Perubahan satu atau dua komponen tersebut menyebabkan gangguan


asam dan basa. Penilaian keadaan asam dan basa berdasarkan hasil analisa gas
darah membutuhkan pendekatan yang sistematis. Penurunan keasaman (pH)
darah < 7,35 disebut asidosis, sedangkan peningkatan keasaman (pH) > 7,45
disebut alkalosis. Jika gangguan asam basa terutama disebabkan oleh komponen
respirasi (pCO2) maka disebut asidosis/alkalosis respiratorik, sedangkan bila
gangguannya disebabkan oleh komponen HCO 3 maka disebut asidosis/alkalosis
metabolik. Disebut gangguan sederhana bila gangguan tersebut hanya
melibatkan satu komponen saja (respirasi atau metabolik), sedangkan bila
melibatkan keduanya (respirasi dan metabolik) disebut gangguan asam basa
campuran.

Berikut terdapat klasifikasi gangguan asam basa primer :

1. Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi
dapat dikeluarkan melalui ventilasi.

2. Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan perubahan
pH, seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana mekanisme
kompensasi ginjal belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru terjadi.
Bikarbonat dan base excess dalam batas normal karena ginjal belum cukup
waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan kelelahan merupakan
penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak sakit kritis.

3. Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat


hipoventilasi dan dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai penurunan
pH. Misalnya, pada intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau gangguan SSP.
Dikatakan kronis bila ventilasi yang tidak adekuat disertai dengan nilai pH dalam
batas normal, seperti pada bronkopulmonari displasia, penyakit neuromuskuler,
dan gangguan elektrolit berat.

4. Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal
dan pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi
dengan perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat.

5. Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,307,40.


Asidosis metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi.
6. Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan
kompensasi terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam
batas normal dan pH lebih dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan
muntah lama.

7. Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat serta


pH lebih dari 7,50.

8. Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau
telah diberikan oksigen yang adekuat.

9. Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada


sehingga normal.

10. Hipoksemia dengan koreksi berlebihan. Jika pemberian oksigen dapat


meningkatkan tekanan oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada
bayi karena dapat menimbulkan retinopati of prematurity, peningkatan aliran
darah paru, atau keracunan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan yang lain seperti konsumsi dan distribusi oksigen.

C. Tujuan

Tujuan dari analisa gas darah ada 3, yaitu :

1. Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa

2. Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler

3. Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh

D. Indikasi

Indikasi dari pasien yang harus melakukan analisa gas darah yaitu :

1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik.

2. Pasien dengan edema pulmo .

3. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS).

4. Infark miokard

5. Pneumonia

6. Klien syok

7. Post pembedahan coronary arteri baypass.

8. Resusitasi cardiac arrest

9. Klien dengan perubahan status respiratori

10. Anestesi yang terlalu lama.


E. Faktor yang mempengaruhi Pemeriksaan BGA

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pemeriksaan BGA:

1. Gelembung udara

Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel
darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen
sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.

2. Antikoagulan

Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian


heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO 2, sedangkan pH tidak
terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman
heparin.

3. Metabolisme

Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya
sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak
langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.

4. Suhu

Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya
PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2.

Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai
PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan
antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai
oksigenasi darah.

F. Komplikasi

1. Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan menimbulkan nyeri.

2. Perdarahan.

3. Cidera syaraf.

4. Spasme arteri.

G. Cara Kerja

Pre Instumentasi

1. Persiapan Pasien

a. Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan


b. Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa sakit

c. Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul.

2. Bahan Pemeriksaan ; darah, serum, plasma

3. Parameter :

a. Blood Gas Parameters : pH, PCO2, PO2

b. Electrolyte Parameters : Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl),Calcium


(Ca2+)

c. Hematocrit (Hct)

4. Persiapan Sampel

a. Lakukan pengambilan sampel darah arteri yang letaknya dapat dilakukan


pada:

1. Arteri Radialis, merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk
fungsi arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem juga
apabila Allen test negatif.

2. Arteri Dorsalis Pedis, merupakan pilihan kedua.

3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya bila
terjadi obstruksi pembuluh darah.

4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas
tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat
aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan
bila yangdapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian
jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat terjadi
percampuran antara darah vena dan arteri.

b. Penambahan antikoagulan berupa lithium heparin 240-250 unit tiap 1 cc


darah.

c. Alat pengambilan sampel menggunakan semprit khusus

d. Dilakukan pengukuran suhu badan serta kadar hemoglobin pasien.

e. Pengecekan BGA dan reagen

Hal-hal yang harus diperhatikan adalah

1. Penusukan tepat pada arteri ditandai dengan darah yang keluar berwarna segar
dan memancar.

2. Spesimen dimasukkan ke dalam kantong es bila tempat pemeriksaan jauh.

3. Cantumkan suhu pasien, jam pengambilan darah dan konsentrasi oksigen yang
diberikan.

4. Daerah/lokasi pengambilan darah arteri harus bergantian.


5. Analisis

a. Prinsip

Gas sampel yang diambil melalui probe akan masuk ke setiap sampel sel secara
bergiliran dimana gas sampel akan dibandingkan dengan gas standar melalui
pemencaran system infra red dimana akan menghasilkan perbedaan panjang
gelombang yang akan dikonversi receiver menjadi signal analog (420).

b. Bagian-bagian BGA

Barcode

Tempat Sample

Tampilan ID pasien.

Tampilan Menu
c. Cara Kerja

1. Nyalakan power ON.

2. Setiap pertama kali menghidupkan alat, lalu kalibrasi dengan cara tekan
calibrate kemudian enter. Alat akan melakukan kalibrasi secara otomatis.

3. Apabila ada sample pemeriksaan sebelum melakukan pemeriksaan tekan status


untuk mengetahui kondisi apakah pH, PCO 2 dan PO2 kondisinya OK. Jika OK
sample langsung dapat diperiksa. Setelah dilakukan pemeriksaan, alat ini akan
mengkalibrasi secara otomatis.

4. Apabila alat sudah dalam kondisi ready for analysa berarti alat sudah siap
melakukan pemeriksaan, tekan Analyzer. Selang pengisap sample akan keluar
secara otomatis kemudian masukan sample bersamaan tekan lagi analyzer
sampai sample terhisap secara otomatis selang akan masuk sendiri.

Wadah sampel yang dimasukkan ke selang dapat disesuaikan dengan kondisi.

a. Syringe

Untuk pengukuran gas darah menggunakan syringe 2 mL. The Vitalpath Analyzer
akan langsung mengaspirasi dari jarum suntiknya.

b. Tabung Koleksi Heparin

Dapat juga menggunakan tabung DRI-CHEM 4000 atau


DRI-CHEM 7000 yang sudah berisi heparin. Dengan ukuran tabung 0,5 mL dan
1,5 mL.

c. Tabung Kapilari
Ketika pasien mengalami dehidrasi atau memerlukan sampel yang sedikit, atau
saat melakukan pemeriksaan ulang dapat menggunakan tabung kapilari berisi
140 uL.

5. Lakukan daftar isian seperti yang terlihat dilayar monitor, sample ID , HB, suhu
badan, jenis sample (0 arteri, 1 vena, 2 kapiler), F102 (volume oksigen yang
dilorelasi dengan persen lihat daftar), kemudian clear 2x.

6. Alat akan menghitung secara otomatis dalam waktu yang relatif cepat hasil
akan keluar melalui printer.

d. Quality Control

Quality control digunakan untuk menjamin kualitas instrument sehari-hari


guna menjaga akurasi dan realibilitas hasil pasien melalui tes kontrol eksternal
dengan mengetahui rentang nilai yang dapat diterima untuk setiap tes yang
dilakukan. Hal ini memungkinkan dokter untuk menafsirkan data laboratorium
dengan lebih percaya diri. Protokol TrueQC Heska yang berpola setelah
Pedoman ASVCP dan termasuk proses untuk melaksanakan program QC
sederhana dan dapat diandalkan yang memvalidasi faktor penting yang
melekat untuk pengujian di rumah sakit. Pengujian QC harian sejalan dengan
praktek laboratorium standar dan memberikan kepastian dan validasi hasil
laboratorium yang akurat.

Rekomendasi untuk QC untuk Analyzer VitalPath termasuk menjalankan


materi QC harian pada awal setiap hari, sebelum setiap sampel pasien yang
dijalankan. ini sederhana protokol memastikan kinerja optimal dari analisa,
reagen, dan operator, dan memberikan keyakinan sepenuhnya pada hasil.

Post Instrumentasi

1. Hasil pemeriksaan yang tertera pada layar dilihat dan diamati.

2. Hasil pemeriksaan dicetak.

3. Hasil pemeriksaan pada data pasien dicatat pada log book

H. Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan :

1. Kalibrasi secara otomatis setelah pemeriksaan sampel.

2. Hasilnya cepat.

3. Akurat.

4. Fleksibel karena wadah sampel bisa disesuaikan dengan kondisi.


5. Mencakup elektrolit, hematokrit, dan gas darah.

6. Hasil pmeriksaan sudah diklasifikasikan dalam keadaan normal atau tidak


sehinggan memudahkan dalam penarikan kesimpulan.

Kekurangan :

1. Mahal.

2. Penggunaannya harus terus menerus.

3. Perawatan harus rutin dilakukan.


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Analisa Gas Darah : Definisi, Pemeriksaan, Nilai Normal Analisa gas darah (AGD)
adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen
dan karbon dioksida dalam darah. AGD juga dapat digunakan untuk menentukan
tingkat keasaman atau pH darah. Sel-sel darah merah mengangkut oksigen dan
karbon dioksida yang juga dikenal sebagai gas darah ke seluruh tubuh. Saat darah
melewati paru-paru, oksigen masuk ke dalam darah sementara karbon dioksida
terlepas dari sel darah dan keluar ke paru-paru. Dengan demikian pemeriksaan
analisa gas darah dapat menentukan seberapa baik paru-paru dalam bekerja
memindahkan oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari
darah. Ketidakseimbangan antara oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH darah
dapat mengindikasikan adanya suatu penyakit atau kondisi medis tertentu. Sebagai
contoh pada gagal ginjal, gagal jantung, diabetes yang tidak terkontrol, pendarahan,
keracunan zat kimia, overdosis obat, dan syok. Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas
Darah Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari kadar
oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu dokter
menentukan seberapa baik paru-paru dan ginjal bekerja. Biasanya dokter
memerlukan tes analisa gas darah apabila menemukan gejala-gejala yang
menunjukkan bahwa seorang pasien mengalamai ketidakseimbangan oksigen,
karbon dioksida, atau pH darah. Gejala yang dimaksud meliputi: Sesak napas Sulit
bernafas Kebingungan Mual Perlu diingat bahwa ini merupakan gejala dari suatu
penyakit yang menyebabkannya seperti pada asma dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Di sisi lain, apabila dokter sudah mencurigai adanya penyakit, maka
pemeriksaan analisa gas darah juga akan diperlukan, seperti pada kondisi-kondisi di
bawah ini: Penyakit paru-paru, misalnya asma, PPOK, pneumonia, dan lain-lain.
Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal. Penyakit metabolik, misalnya diabetes melitus
atau kencing manis Cedera kepala atau leher yang mempengaruhi pernapasan
Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk menentukan penyakit, dokter juga
bisa memantau hasil perawatan yang sebelumnya diterapkan kepada pasien. Untukk
tujuan ini, pemeriksaan AGD sering dipesan bersama dengan tes lain, seperti tes
glukosa darah untuk memeriksa kadar gula darah dan tes darah kreatinin untuk
mengevaluasi fungsi ginjal. Prosedur Pemeriksaan AGD Pada pemeriksaan ini
diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari pembuluh darah arteri yang ada di
pergelangan tangan, lengan, atau pangkal paha. Oleh sebab itu prosedur ini disebut
juga dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Dokter atau petugas lab pertama-
tama akan mensterilkan tempat suntikan dengan cairan antiseptik. Setelah mereka
menemukan arteri, mereka akan memasukkan jarum ke dalam arteri dan mengambil
darah. Mungkin Anda akan sedikit merasakan sakit saat jarum suntik masuk ke
dalam kulit, tapi tentu ini tidak begitu menyakitkan. Setelah dirasa cukup, kemudian
jarum dicabut, dan luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel darah kemudian
akan dianalisa oleh mesin portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel
darah harus dianalisis dalam waktu 10 menit dari waktu pengambilan untuk
memastikan hasil tes yang akurat. Nilai Normal Analisa Gas Darah Hasil analisa gas
darah dapat membantu dokter mendiagnosa berbagai penyakit atau menentukan
seberapa baik perawatan yang telah diterapkan, hasil akan akan didapat meliputi: pH
darah arteri, menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah. pH kurang dari 7,0
disebut asam, dan lebih besar pH dari 7,0 disebut basa, atau alkali. Ketika pH darah
menunjukkan bahwa darah lebih asam, maka hal ini terjadi akibat kadar karbon
dioksida yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika pH darah tinggi yang menunjukkan
bahwa darah lebih basa, maka hal ini terjadi akibat kadar bikarbonat yang lebih
tinggi. Bikarbonat adalah bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi
terlalu asam atau terlalu basa. Tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan
oksigen terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa baik oksigen bisa
mengalir dari paru-paru ke dalam darah. Tekanan parsial karbon dioksida adalah
ukuran tekanan karbon dioksida terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa
baik karbon dioksida dapat mengalir keluar dari tubuh. Saturasi oksigen adalah
ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dalam sel darah merah.
Secara umum, nilai normal analisa gas darah adalah sebagai berikut: pH darah
normal (arteri): 7,38-7,42 Bikarbonat (HCO3): 22-28 miliekuivalen per liter Tekanan
parsial oksigen: 75 sampai 100 mm Hg Tekanan parsial karbon dioksida (pCO2): 38-
42 mm Hg Saturasi oksigen: 94 sampai 100 persen. Adapun hasil abnormal dapat
menjadi tanda dari kondisi medis tertentu, sebagai berikut: pH darah: < 7,4,
Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah => Asidosis Metabolik, contohnya pada gagal
ginjal, syok, dan ketoasidosis diabetik (KAD). pH darah: < 7,4, Bikarbonat: Tinggi,
pCO2: Tinggi => Asidosis Respiratorik, contohnya pada penyakit paru-paru,
termasuk pneumonia atau PPOK. pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Tinggi, pCO2: Tinggi
=> Alkalosis Metabolik, contohnya pada muntah kronis, kalium darah rendah
(hipokalemia). pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah =>
Alkalosis Respiratorik, contohnya pada Bernapas terlalu cepat, rasa sakit, atau
kecemasan. Cara mudah membaca hasil analisa gas darah (AGD): Jika pH darah
rendah (asidosis), maka perhatikan nilai pCO2, jika tinggi berarti respiratorik dan jika
rendah berarti metabolik. Jika pH darah tinggi (alkalosis), maka perhatikan nilai
bikarbonat, jika tinggi berarti metabolik dan jika rendah berarti respiratorik. Rentang
normal dan abnormal dapat bervariasi tergantung pada lab karena beberapa
menggunakan pengukuran atau metode yang berbeda untuk menganalisa sampel
darah. Anda harus selalu bertanya dengan dokter untuk mendiskusikan hasil tes
AGD secara lebih rinci. Dokter akan dapat memberitahu Anda jika ternyata masih
dibutuhkan pemeriksaan lain selain analisa gas darah untuk memastikan penyakit
atau pemantauan terapi.
Bersumber dari: Analisa Gas Darah : Definisi, Pemeriksaan, Nilai Normal | Mediskus

Pengambilan Darah Arteri

Definisi

Arteri Puncture adalah suatu metode pengambilan darah yang melalui pembuluh
darah arteri. Pengambilan darah arteri melalui pungsi untuk memeriksa gas-gas dalam darah
yang berhubungan dengan fungsi respirasi dan metabolisme.

Tujuannya:

1. Mengetahui keadaan O2 dan metabolisme sel.

2. Efisiensi pertukaran O2 dan CO2 .


3. Kemampuan HB dalam mengangkut O2 dan O2 .
4. Tingkat tekanan O2 dalam darah arteri.
Indikasi:

Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik.


Pasien dengan edema pulmo.
Pasien akut respirastori distress sindrome (ARDS).
Infark miokard.
Pneumonia.
Klien syok.
Post pembedahan coronary arteri baypas.
Klien dengan perubahan status respiratori.
Anastesi yang terlalu lama.

Kontra Indikasi:

Pengambilan darah arteri tidak dilakukan pada pasien yang sedang menjalani terapi
koagulan, dan pasien dengan riwayat gangguan pembekuan darah.

Lokasi:

1. Arteri Radialis, merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk fungsi
arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem, juga apabila Allen test
negatif.
2. Arteri Dorsalis Pedis, merupakan pilihan kedua.
3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya bila terjadi
obstruksi pembuluh darah.
4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri di atas tidak
dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat aliran darah
ke seluruh tubuh atau tungkai bawah dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan
kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat
terjadi pencampuran antara darah vena dan arteri.

Alat dan Bahan:

1 buah spuit 2,5 cc yang dispossible.


Gabus atau karet sebagai penutup jarum.
2 lembar kain kasa steril.
Bengkok, plester, gunting.
Obat lokal anastesi bila perlu.
Kapas alkohol dengan campuran bethadine.
Heparin injeksi 5000 unit.

Cara Kerja:
1. Siapkan peralatan di tempat atau ruangan dimana akan dilakukan sampling.
2. Pilih bagian arteri radialis.
3. Pasang tali pembendung (tourniquet) jika diperlukan.
4. Lakukan palpasi (perabaan) dengan jari tangan untuk memastikan letak arteri.
5. Desinfeksi kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70%, biarkan kering. Kulit
yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
6. Tekan bagian arteri yang akan ditusuk dengan dua jari tangan lalu tusukkan jarum di
samping bawah jari telunjuk dengan posisi jaum tegak atau agak miring. Jika tusukan
berhasil darah terlihat memasuki spuit dan mendorong torak ke atas.
7. Setelah tercapai volume darah yang dikehendaki, lepaskan atau tarik jarum dan segera
letakkan kapas pada tempat tusukkan lalu tekan kapas kuat-kuat selama kurang lebih
2 menit. Pasang plester pada bagian ini selama 15 menit.

Persiapan Pasien:

1. Persiapan secara umum, seperti: puasa selama 8 - 10 jam sebelum pengambilan


spesimen (untuk pengambilan glukosa darah puasa, profil lipid, profil besi), tidak
melakukan aktifitas fisik yang berat, tidak merokok, tidak minum alkohol dan
sebagainya.
2. Jika pasien harus melakukan pengambilan spesimen sendiri (urin, dahak, fease),
jelaskan tata cara pengambilannya. Misalnya: kapan harus diambil, bagaimana
menampung spesimen dalam wadahyang disediakan, mencuci tangan sebelum dan
sesudah mengambil spesimen, membersihkan daerah genital untuk pengambilan
sampel urin, dan sebagainya.
3. Jika pengambilan sampel bersifat invasif (misalnya pengambilan sampel darah, cairan
pleura, ascites, sumsum tulang, dsb), jelaskan macam tindakan yang akan dilakukan.
4. Anjurkan klien mengepalkan tangannya dengan kuat supaya darah sebanyak mungkin
keluar sehingga telapak tangan pucat.
5. Tekan arteri radialis dan ulnaris agar tertutup sambil pasien membuka tangannya
beberapa kali dan menutupnya kembali. Kemudian tangan dibuka, lepaskan tekanan
pada arteri ulnaris.

Antikoagulan

Antikoagulan adalah bahan kimia yang dipergunakan untuk mencegah pembekuan


darah. Umumnya yang digunakan adalah EDTA (Ethilendiamin Tetraaceticacid), natrium
citrat, heparin dan natrium fosfat. Pemilihan antikoagulan harus sesuai dengan jenis
pemeriksaan dan takaran volumenya harus tepat.

Komplikasi

1. Apabila jarum sampai menembus periosteum tulang akan menumbulkan nyeri.


2. Pendarahan.
3. Cidera syaraf.
4. Spasme arteri.

Pengambilan Darah Vena

Agar dapat diperoleh spesimen darah yang syarat uji laboratorium, maka pengambilan
sampel darah harus dilakukan dengan benar, mulai dari persiapan, pemilihan jenis koagulan,
pemilihan letak vena, tekhnik pengambilan sampai dengan pelabelan sampel.

Pengambilan sampel tidak boleh dilakukan pada lengan yang terpasang infus, jika
salah satu lengan terpasang infus maka pengambilan harus dilakukan pada lengan yang lain
yang tidak terpasang infus. Jika kedua lengan terpasang infus dilakukan pengambilan pada
vena kaki.

Darah vena diperoleh dengan jalan pungsi vena. Jarum yang digunakan untuk
menembus vena itu hendaknya cukup besar, sedangkan ujungnya harus runcing, tajam dan
lurus. Dianjurkan untuk memakai jarum dan spuit yang dispossible; spuit semacam itu
biasanya dibuat dari semacam plastik. Baik spuit maupun jarum hendaknya dibuang setelah
dipakai, janganlah disterilkan lagi guna pemakaian berulang.

Pengambilan Darah Vena dengan Syringe (Spuit)

Tujuan: Untuk mendapatkan darah vena dengan menggunakan syringe.

Prinsip: Darah vena diambil dengan cara melakukan penusukan pada pembuluh darah vena,
darah akan masuk pada ujung spuit, dilanjutkan dengan menarik torak atau piston sampai
volume darah yang dikehendaki.

Lokalisasi:
Vena yang cukup besar dan letaknya superficial. Pada orang dewasa biasanya vena
difosa cubiti sedangkan pada anak-anak dan bayi diambil pada: Vena Jugularis Externa, Vena
Femolaris (paha), Vena Sinus Sagitalis Superior (kepala).

Prosedur Kerja:

Alat-alat yang diperlukan disiapkan di atas meja.


Keadaan pasien diperiksa,diusahakan pasien tenang begitu pula petugas
(Phlebotomis).
Ditentukan vena yang akan ditusuk, pada orang gemuk atau untuk vena yang tidak
terlihat dibantu dengan palpasi.
Daerah vena yang akan ditusuk diperhatikan dengan seksama terhadap adanya
peradangan, dermatitis, atau bekas luka, karena mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Tempat penusukan didesinfeksi dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering.
Tourniquet dipasang pada lengan atas (bagian proximal lengan) 6 7 cm dari lipatan
tangan.
Tegakkan kulit di atas vena dengan menggunakan jari-jari tangan kiri supaya vena
tidak bergerak.
0 0
Dengan lubang jarum menghadap ke atas, kulit ditusuk dengan sudut 45 - 60

sampai ujung jarum masuk lumen vena yang ditandai dengan berkurangnya tekanan
dan masuknya darah ke ujung spuit.
Holder ditarik perlahan-lahan sampai volume darah yang diinginkan.
Torniquet dilepas, kapas diletakkan di atas jarum dan ditekan sedikit dengan jari kiri,
kemudian jarum ditarik.
Pasien diinstruksikan untuk menekan kapas selama 1 - 2 menit dan setelah itu bekas
luka tusukan diberi plester.
Jarum ditutup lalu dilepaskan dari spuitnya, darah dimasukkan ke dalam botol atau
tabung penampung melalui dinding secara perlahan. Bila menggunakan antikoagulan,
secara perlahan-lahan dicampur.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pda pengambilan darah vena:

1. Lepas tutup jarum secara perlahan, jangan sampai ujung jarum menyentuh tutupnya,
sebab jarum dapat tumpul.
2. Pada Vacutainer pemasangan tabung vakum pada holder harus kuat, dengan cara ibu
jari kanan mendorong tabung sedangkan jari telunjuk dan jari tengah kanan tertumpu
pada kedua sisi holder, ibu jari tangan kiri memegang holder dengan sedikit menekan
agar holder tidak bergerak.
3. Pasien yang takut harus ditenangkan dengan memberi penjelasan mengenai apa yang
akan dilakukan, maksud beserta tujuannya.
4. Vena yang kecil terlihat sebagai garis-garis biru sukar digunakan.
5. Untuk vena yang tidak dapat ditentukan karena letaknya yang dalam, usaha coba-coba
dilarang untuk dilakukan.
6. Pembendungan yang terlalu lama jangan dilakukan karena dapat mengakibatkan
hemokonsentrasi setempat.
7. Hematome, yaitu keluarnya darah di bawah kulit dalam jaringan pada kulit di sekitar
tusukkan akan terlihat berwarna biru dan terasa nyeri, perintahkan pasien untuk
mengompresnya dengan air hangat beberapa menit atau beberapa hari sampai sakitnya
hilang.
CARAN

BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh sebagian besar terdiri dari air. Air dan zat-zat yang terkandung didalamnya
yang terdapat didalam tubuh disebut juga cairan tubuh berfungsi menjadi
pengangkut zat makanan ke seluruh sel tubuh dan mengeluarkan bahan sisa dari
hasil metabolisme sel untuk menunjang berlangsungnya kehidupan. Jumlah cairan
tubuh berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya
lemak tubuh.

Tubuh kita terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat padat
seperti protein, lemak, dan mineral. Proporsi cairan tubuh menurun dengan
pertambahan usia, dan pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita
memiliki lebih banyak lemak disbanding pria, dan lemak mengandung sedikit air.
Sementara neonatus atau bayi sangat rentan terhadap kehilangan air karena
memiliki kandungan air yang paling tinggi dibandingkan dengan dewasa. Kandungan
air pada bayi lahir sekitar 75 % berat badan, usia 1 bulan 65 %, dewasa pria 60 %,
dan wanita 50 %.

Zat-zat yang terkandung dalam cairan tubuh antara lain adalah air, elektrolit, trace
element, vitamin, dan nutrien-nutrien lain seperti protein, karbohidrat, dan lemak.
Dengan makan dan minum maka tubuh kita akan tercukupi akan kebutuhan nutrient-
nutrien tersebut.

Air dan elektrolit yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam
dengan jumlah yang kira-kira sama melalui urin, feses, keringat, dan pernafasan.
Tubuh kita memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau memelihara
keseimbangan ini yang dikenal dengan homeostasis.
Namum demikian, terapi cairan parenteral dibutuhkan jika asupan melalui oral tidak
memadai atau tidak dapat mencukupi. Sebagai contoh pada pasien koma, anoreksia
berat, perdarahan banyak, syok hipovolemik, mual muntah yang hebat, atau pada
keadaan dimana pasien harus puasa lama karena akan dilakukan pembedahan.
Selain itu dalam keadaan tertentu, terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan
untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau untuk menjaga
keseimbangan asam-basa.

Dengan demikian, secara garis besar tujuan dari terapi cairan adalah :

1. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit tubuh

2. Dukungan nutrisi

3. Akses intravena

4. Mengatasi syok

BAB II

DISTRIBUSI, KOMPOSISI, DAN KEBUTUHAN CAIRAN TUBUH

A. Distribusi cairan tubuh dan fungsinya

Enam puluh persen dari berat tubuh kita adalah air. Cairan tubuh dipisahkan oleh
membran sel sehingga ada yang terdapat di dalam sel (intraseluler) yang berjumlah
40 % dan ada yang terdapat diluar sel (ekstraseluler) yang berjumlah 20 %. Cairan
ekstraseluler terdiri atas cairan interstitial yaitu cairan yang berada di ruang antar sel
berjumlah 15 % dan plasma darah yang hanya berjumlah 5 %. Selain itu juga dikenal
cairan antar sel khusus disebut cairan transeluler misalnya, cairan cerebrospinal,
cairan persendian, cairan peritoneum, cairan pleura, dan lain-lain.

Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat elektrolit dan non elektrolit seperti protein dan
glukosa yang mempunyai berat molekul yang berbeda. Air, elektrolit, dan asam
amino bisa melintasi membran sel dengan mudah karena berat molekulnya yang
rendah, sementara makromolekul seperti protein plasma tidak bisa melintasi dinding
kapiler.
Baik cairan intraseluler maupun ekstraseluler memainkan peranan penting dalam
mendukung kehidupan. Cairan intraseluler terlibat dalam proses metabolik yang
menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan tubuh,
sementara cairan ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi,
mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik.

Diagram 1. Jenis dan Jumlah Cairan Tubuh

B. Komposisi cairan intraseluler dan ekstraseluler

Kadar elektrolit intrasel dan ekstrasel berbeda karena terdapat membran sel yang
mengatur transport elektrolit. Cairan intraseluler terutama mengandung elektrolit
berupa ion-ion kalium (K+), magnesium (Mg++), dan Fosfat (HPO4-2). Cairan
ekstraseluler mengandung terutama natrium (Na +) dan klorida (Cl-).

Cairan interstitial dan plasma keduanya merupakan cairan ekstraseluler, tetapi


mempunyai komposisi protein yang berbeda karena terdapat dinding kapiler yang
tidak bisa dilintasi oleh masing-masing protein.

Tiap organ didalam tubuh tidak memiliki kandungan air yang sama. Organ yang
paling banyak kandungan airnya adalah otak diikuti ginjal, otot lurik, kulit, hati, tulang,
dan lemak.

Tabel 1.perbandingan komposisi cairan intraseluler dan ekstraseluler


Peran Natrium

Natrium merupakan kation terpenting dalam tubuh dan terutama terdapat pada
cairan ekstraseluler. Eksresi air hampir selalu disertai dengan eksresi natrium baik
lewat urin, tinja, atau keringat, karena itu terapi dehidrasi selalu diberikan cairan infus
yang mengandung natrium.

Natrium mempertahankan tekanan osmotik tubuh dan memelihara cairan


ekstraseluler dalam keadaan konstan. Kadar Na serum normal adalah 135-145
mEq/L.

Peran Kalium

Kalium merupakan elektrolit terpenting di cairan intraseluler. Kalium memainkan


peranan penting dalam saraf dan perangsangan otot serta penghantaran impuls
listrik.

Kadar normal kalium dalam serum adalah 3-5 mEq/L. Hipokalemi menyebabkan
keletihan otot, lemas, ileus paralitik, kembung, gangguan irama jantung. Sedangkan
hiperkalemi dapat menyebabkan aritmia, tetani, dan kejang.

Kalium memiliki pengaruh kuat terhadap jantung dan ginjal, maka pemberiannya
harus hati-hati pada pasien dengan kelainan jantung dan ginjal.

C. Kebutuhan cairan per hari

Pada orang sehat asupan dan pengeluaran air seimbang. Bila terjadi gangguan
keseimbangan maka mungkin diperlukan koreksi dengan nutrisi parenteral.

Asupan air dan makanan rata-rata adalah sekitar 2000 ml, dan kira-kira 200 ml air
metabolik berasal dari metabolisme nutrien di dalam tubuh. Air dieksresikan dalam
urin dan melalui penguapan yang tidak disadari. Jumlah eksresi urin sekitar 1300
ml/hari, sedangkan melalui penguapan yang tidak disadari (insensible evaporation)
sekitar 900 ml/hari.

Maka pada pasien yang tidak dapat memperoleh makanan melalui oral
memerlukan volume infus per hari yang setara dengan kehilangan air dari tubuh per
hari, yaitu :
Dengan perhitungan yang lebih akurat lagi dapat dicari :

volume urin normal : 0,5-1 cc/kg/jam

Air metabolisme : Dewasa : 5 cc/kg/hari, anak 12-14 th : 5-6 cc/kg/hari, 7-11


th : 6-7 cc/kg/hari, balita : 8 cc/kg/hari

Insensible water loss IWL : Dewasa : 15 cc/kg/hari, Anak : 30-usia(th) cc/kg


hari. Jika ada kenaikan suhu : IWL + 200

Kebutuhan air dan elektrolit per hari

Pada orang dewasa :

Air : 25-40 ml/kg/hr

Kebutuhan homeostatis Kalium : 20-30 mEq/kg/hr 2

Na : 2 mEq/kg/hr3

K : 1 mEq/kg/hr3

Pada anak dan bayi :

Air : 0-10 kg : 100 ml/kg/hr

10-20 kg : 1000 ml/kg + 50 ml/kg diatas 10 kg/hr


> 20 kg : 1500 ml/kg + 20 ml/kg diatas 20 kg/hr

Na : 3 Meq/kg/hr2

K : 2,5 Meq/kg/hr2

Faktor-faktor modifikasi kebutuhan cairan

Kebutuhan ekstra / meningkat pada :

Demam ( 12% tiap kenaikan suhu 1C )

Hiperventilasi

Suhu lingkungan tinggi

Aktivitas ekstrim

Setiap kehilangan abnormal ( ex: diare, poliuri, dll )

Kebutuhan menurun pada :

Hipotermi ( 12% tiap penurunan suhu 1C )

Kelembaban sangat tinggi

Oligouri atau anuria

Aktivitas menurun / tidak beraktivitas

Retensi cairan ( ex: gagal jantung, gagal ginjal, dll )

BAB III

PERGERAKAN AIR DALAM TUBUH

Pergerakan air dalam tubuh diatur oleh tekanan osmotik. Tekanan osmotik
mencegah perembesan atau difusi cairan melalui membrane semipermeabel ke
dalam cairan yang memiliki konsentrasi lebih tinggi. Tekanan osmotik plasma ialah
280-290 mOsm/L. Larutan isotonik, yaitu larutan yang memiliki tekanan osmotik
sesuai plasma adalah NaCl 0,96 %, Dextrosa 5 %, dan Ringer laktat, larutan
hipotonik misalnya aquades, dan larutan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi
dari plasma disebut larutan hipertonik misalnya infus dengan tekanan osmotik lebih
tinggi dari plasma. Makin banyak partikel termasuk ion-ion yang dikandung larutan,
makin tinggi tekanan osmotiknya. Larutan infus memliki tekanan osmotik karena
mengandung zat-zat elektrolit. Air dari larutan infus tersebar diseluruh tubuh sesuai
dengan perbedaan tekanan osmotik dalam cairan tubuh.

Jika cairan ekstrasel mempunyai tekanan osmotik yang lebih tinggi dari intrasel
maka akan terjadi krenasi atau pengerutan sel karena air dari dalam sel keluar
menuju ke tekanan yang lebih tinggi sehingga dapat terjadi dehidrasi sel. Sebaliknya
jika cairan ekstrasel tekanan osmotiknya lebih rendah dari intrasel maka akan terjadi
pembengkakan sel, dan jika pembengkakan sel ini berlebihan dapat mengakibatkan
sel menjadi lisis.

BAB IV

GANGGUAN KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT

I. Gangguan keseimbangan cairan

Kehilangan cairan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan yang


mengakibatkan dehidrasi, misalnya pada keadaan gastroenteritis, demam tinggi,
pembedahan, luka bakar, dan penyakit lain yang menyebabkan input dan output
tidak seimbang.

Dehidrasi

Adalah keadaan dimana kurangnya cairan tubuh dari jumlah normal akibat
kehilangan cairan, asupan yang tidak mencukupi atau kombinasi keduanya.

Dehidrasi dibedakan atas :

Dehidrasi hipotonik

o Kadar Na < 130 mmol/L

o Osmolaritas < 275 mOsm/L

o Letargi, kadang-kadang kejang

Dehidrasi isotonik
o Na dan osmolaritas serum normal

Dehidrasi hipertonik

o Na > 150 mmol/L

o Osmolaritas > 295 mOsm/L

o Haus, iritabel, bila Na > 165 mmol/L dapat terjadi kejang

Tabel 2. Gejala Klinis Dehidrasi

Kehilangan cairan melalui diare

Kehilangan Na menyebabkan hipovolemia

Kehilangan H20 menyebabkan dehidrasi

Kehilangan HCO3 menyebabkan asidosis metabolik

Kehilangan K menyebabkan hipokalemi

Kehilangan cairan melalui muntah

Hipokloremi

Hipokalemi

Alkalosis metabolic

Gangguan keseimbangan air dan Na

Keadaan lain yang mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit

Gastroenteritis, DHF, Difteri, Tifoid, Hiperemesis gravidarum, Sectio cesar,


Histerektomi, Kistektomi, Apendektomi, Splenektomi, Gastrektomi, Reseksi usus,
Perdarahan intraoperatif, Ketoasidosis Diabetikum.
BAB V

TERAPI CAIRAN

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena.

Terapi cairan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan-keadaan seperti


yang sudah djelaskan sebelumnya. Selain itu kuhususnya dalam pembedahan
dengan anestesia yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan,
maka terapi cairan tersebut berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga
ketiga.

Diagram 3. Terapi Cairan

I. Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan.
Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar.

Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline
(NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60
menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit.
Larutan plasma ekspander dapat diberikan pada luka bakar, peningkatan sirkulasi
kapiler seperti MCI, syok kardiogenik, hemoragik atau syok septik. Koloid dapat
berupa gelatin (hemaksel, gelafunin, gelafusin), polimer dextrose (dextran 40,
dextran 70), atau turunan kanji (haes, ekspafusin)

Jika syok terjadi :

Berikan segera oksigen

Berikan cairan infus isotonic RA/RL atau NS

Jika respon tidak membaik, dosis dapat diulangi

Pada luka bakar :

24 jam pertama :

2-4 ml RL/RA per kg tiap % luka bakar

1/2 dosis diberikan 8 jam pertama, 1/2 dosis berikut 16 jam kemudian

Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa

Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap

Pertimbangan dalam resusitasi cairan :

1. Medikasi harus diberikan secara iv selama resusitasi

2. Perubahan Na dapat menyebabkan hiponatremi yang serius. Na serum harus


dimonitor, terutama pada pemberian infus dalam volume besar.

3. Transfusi diberikan bila hematokrit < 30

4. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah > 200 mg%

5. Histamin H2-blocker dan antacid sebaiknya diberikan untuk menjaga pH


lambung 7,0
II. Terapi cairan rumatan

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.


Diberikan dengan kecepatan 80 ml/jam. Untuk anak gunakan rumus 4:2:1, yaitu :

4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama

2 ml/kg/jam untuk 10 kg kedua

1 ml/kg/jam tambahan untuk sisa berat badan

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat
atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga
mengendung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's
dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat
adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan
mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.

Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang


peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan, yaitu :

6-8 ml/kg untuk bedah besar

4-6 ml/kg untuk bedah sedang

2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Tabel 3. Larutan kristaloid / elektrolit


Tabel 4. Larutan plasma ekspander

Metabolisme asetat dan laktat

Asetat dimetabolisme lebih cepat di otot menjadi bikarbonat sehingga dapat


mencegah terjadinya asidosis metabolik. Sedangkan laktat dimetabolisme lebih
lambat di hati. Latat kurang efisien untuk mengatasi asidosis dibanding asetat.

BAB VI

TEKNIK DAN KOMPLIKASI

Teknik pemberian

Pemberian dalam waktu singkat dapat digunakan vena-vena dipunggung tangan,


sekitar daerah pergelangan tangan, dan daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi
sering digunakan daerah punggung kaki, depan mata kaki dalam atau dikepala.
Bayi baru lahir dapat digunakan vena umbilikaslis.

Pemakaian jarum anti karat atau kateter plastik anti trombogenik vena perifer
sebaiknya diganti tiap 1-3 hari. Pemberian cairan secara sentral, yaitu melalui vena-
vena yang dekat dengan atrium kanan seperti vena subklavia, jugularis eksterna
dan interna.

Komplikasi pemberian

Sistemik :

Kelebihan / kekurangan cairan tubuh

Kelainan elektrolit

Ketidakseimbangan asam-basa

Kelainan gula darah


Emboli udara

Lokal : Flebitis dan infeksi local

KESIMPULAN

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh ini
didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam
metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan.

Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama


pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Maka terapi cairan
amat diperlukan untuk pemeliharaan dan mencegah kehilangan cairan terlalu banyak
yang bisa membahayakan.

Cairan tubuh terdistribusi dalam ekstrasel dan intrasel yang dibatasi membran sel.
Adanya tekanan osmotik yang isotonik menjaga difusi cairan keluar sel atau masuk
ke dalam sel.

Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan
pasien, serta cairan infus itu sendiri. Pemberian infus yang tidak sesuai untuk
keadaan tertentu akan sia-sia dan tidak bisa menolong pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Latief S, Kartini, Dachlan. (editor). Terapi Cairan Pada pembedahan. Dalam :


Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. 2002.h.133-140.

Pt Otsuka Indonesia. Pedoman Cairan Infus. Edisi VIII. 2003.

Attygalle D, Fluid And Electrolyte Resuscitation. Dalam : A Handbook of


Anaesthesia. Sri Lanka : College of Anaesthesiologists of Sri Lanka. 1992.
h.120-130
Dardjat MT. (editor). Cairan Maintenanve Dalam Pembedahan. Dalam :
Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta : Aksara Medisiana. 1985.h.351-357.

Suntoro A. Terapi Cairan Perioperatif. Dalam : Anestesiologi. Muhiman.


(editor). Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 1989.h.87-92.

You might also like