Professional Documents
Culture Documents
Alhamdulillah tiba di kosan dengan selamat. Waktu menunjukkan pukul 03.45 menit. Aku baru saja
selesai jaga cito stase anestesi malam ini. Di stase ini memang ada sift jaga untuk operasi - operasi
yang emergency (cito). Banyak - banyak berdoa, itu yang biasanya dilakukan koas yang berjaga.
Semoga tidak ada panggilan, hehe.
Doaku tak jauh berbeda, semoga Allah berikan saja yang terbaik. Kalau pun memang harus ada
panggilan operasi, tak apa, aku yakin pasti ada pelajaran yang bisa kita dapat. Seperti malam ini,
minggu malam ada 2 jadwal operasi cito dari kebidanan, dan ternyata benar, keduanya memberi
banyak arti. Semoga dapat pula memberi pelajaran untuk semua.
Pasien pertama..
Ny W, usia 30 tahun, G1P0A0 hamil aterm inpartu kala I fase aktif dengan HELLP syndrome, JTM
Presentasi Kepala. Keadaan klinis ibunya tampak sakit berat, kesadaran compos mentis. Kalau di
anestesi digolongkan ke dalam ASA (American Society of Anesthesiologists) 4. Tampak sangat
anemis, akral dingin. Terpasang IV line 1 jalur, dan kateter urin (urin berwarna merah segar 10
cc).Tekanan darah 130/80 mmHg.
Aku dan dicki sudah menyiapkan peralatan serta obat - obatan untuk pembiusan pasien ini. 5 menit,
15 menit, 30 menit, 1 jam..operasi pasien ini belum juga bisa dikerjakan, karena persediaan darah di
PMI habis. Sementara pasien terus perdarahan. Yang bisa dilakukan sekarang untuk penanganan
syok hemorragic adalah melakuan resusitasi cairan.
Akhirnya setelah darah siap, residen obgin kembali memastikan tindakan yang akan dilakukannya.
Setelah menimbang - nimbang resiko dan mengonsulkan hal ini kepada dokter spesialis kebidanan
yang berjaga, akhirnya diputuskan untuk dilakukan tindakan forceps pada pasien ini. Pertimbangan
forceps adalah karena kepala bayi sudah berada di Hodge III, pembukaan sudah lengkap, dan
tekanan darah ibu tinggi sehingga ibu tidak boleh mengejan, ditambah lagi JTM (Janin Tunggal Mati).
Akhirnya prosedur anestesi umum dibatalkan, namun hanya menggunakan anestesi regional
menggunakan lidokain dan tetap dikerjakan di kamar operasi. Kemudian forceps dilakukan dan bayi
segera dapat dilahirkan. Koas obgin segera mengambil bayi JTM itu dan membungkusnya, kemudian
untuk diserahkan kepada keluarga di luar ruang operasi.
Tugas koas anestesi adalah resusitasi cairan. Ya, perdarahan ibu ini aktif, walaupun tidak memancar
deras, tapi merembes secara bermakna jumlahnya. Ditambah lagi atonia uteri. Sudah habis sekitar
2000 cc cairan kristaloid (RL) dengan oksitosin dan metergin, beserta misoprostol pervaginam. Tapi
tetap uterus tidak berkontraksi.
Kesadaran pasien ini terus memburuk, perlahan menjadi apatis, dan nampak napas satu - satu. :
( Akhirnya diputuskan untuk memasang airway definitive karena GCS memburuk < 8. Tekanan darah
ibu anjlok menjadi 70/10 mmHg.
IV line kemudian dipasang 2 jalur, bersamaan dengan pengambilan darah untuk cek Hemoglobin
ulang. Benar saja Hb ibu ini turun dari 9 gr/dl menjadi 4 gr/dl. Alhamdulillah darah WB (Whole Blood)
sudah tiba. Sehingga resusitasi perdarahan derajat III bisa dilakukan. Sekitar 1 jam ibu ini ada dalam
tingkat kesadaran soporokoma. Kemudian perlahan tekanan darah ibu naik, dan GCS menjadi 13.
Setelah tekanan darah stabil, kemudian pasien dipindahkan dari ruang operasi ke ruang obgin
(Delima) untuk dilakukan observasi.
Solusio plasenta dimulai dengan perdarahan desidua basalais, kemudian terjadi hematom
dalam desidua yang mengangkat lapisan - lapisan di atasnya. Hematom lama kelamaan akan
membesar dan akhirnya plasenta terlepas. Jika perdarahan sedikit, hematom yang kecil itu hanya
akan mendesak jaringan plasenta, belum mengganggu peredaran darah antara uterus dan plasenta,
sehingga tanda dan gejalanya pun tidak jelas. Setelah plasenta lahir, baru didapatkan cekungan pada
permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama berwarna kehitaman.
Perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang teregang oleh karena tidak
mampu untuk berkontraksi lebih untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematoma
retroplasenter akan semakin bertambah besar, sehingga seluruh plasenta terlepas. Sebagian lagi
akan menyelundup ke bawah selaput ketuban keluar vagina atau menembus selaput ketuban masuk
ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara serabut otot uterus. Bila
ekstravasasi berlangsung hebat, maka seluruh permukaan uterus akan bewarna bercak ungu atau
biru, disebut uterus couvelaire. Uterus ini sangat tegang dan nyeri.
Kasus kedua..
G3P2A0 usia 33 tahun dengan KET.
Ceritanya ibu ini hamil kurang lebih 10 minggu, 1 bulan yang lalu mengalami perdarahan per
vaginam. Kemudian ibu membawa ke sebuah RS dan dinyatakan abortus inkomplitus. Dilakukan
tindakan kuretase di RS sebelumnya, dan ibu kemudian pulang ke rumah. Di rumah ibu sering
merasakan nyeri perut yang makin lama makin hebat, namun ibu tidak mengobatinya.
Semalam, ibu sudah tidak dapat menahan rasa sakit perutnya dan akhirnya ibu memeriksakan
penyakitnya ke RS. Dinyatakan oleh dokter bahwa ibu hamil di luar kandungan biasa disebut KET
yaitu kehamilan ektopik. Jadi, ternyata nyeri perut yang dialami ibu selama 1 bulan terakhir
merupakan gejala KET yang diabaikannya.
Pasien merasakan lemas, nyeri perut, dan pucat. Dari hasil pemeriksaan fisik, klinis pasien juga
nampak anemis, namun keadaannya masih tampak sakit sedang. Kesadaran compos mentis,
tekanan darah 130/70 mmHg. Anemis (+), Defans muskular (+), tes kehamilan (+): ketiganya disebut
sebagai Trias KET, sudah cukup untuk menegakkan diagnosa KET. Karena menunggu persediaan
darah di PMI dan sembari menunggu pasien yang pertama selesai ditangani, akhirnya ibu ini
dioperasi pada pukul 01.00.
Pada pasien ini juga dilakukan resusitasi cairan, dan prosedur general anestesi (oksigenasi, induksi,
dan intubasi). Dilakukan pembedahan laparotomi. Kehamilan ektopik pada pasen ini terjadi di fimbrae
sinistra. Dilakukan Salfingooforektomi sinistra. Perdarahan banyak dalam cavum abdomen. Kurang
lebih 3 jam operasi laparotomi dilakukan, banyak perlengketan di dalam cavum abdomen, hal ini
dikarenakan sudah lamanya proses perdarahan yang terjadi (kurang lebih 1 bulan). Ketika operasi
selesai, pasien dikirim ke ruang observasi Delima.
Sumber: Dok. pribadi Salfingooforektomi Sinistra
Ya,karena sekarang aku sedang berada di stase anestesi. Menurut buku petunjuk
praktis Anestesiologi keluaran FK UI tahun 2001, kata anestesia diperkenalkan
oleh Olover Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Sedangkan Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada
awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama
dan sesudah pembedahan. *duh kok berat ya pembahasannya xD.
Intinya, tugas utama dokter anestesi itu membantu bagaimana supaya pasien
dalam keadaan paling nyaman saat diperlukan terapi bedah. Karena
pembedahan bukan suatu hal yang menyenangkan, maka pasien dilakukan
pembiusan untuk memperlancar proses bedah tersebut. Nah, tugas
anestesiologis lah yang memastikan pasien untuk tetap hidup selama dalam
pembiusan itu.
Nah, karena definisi kerja itulah, tindakan anestesi sangat dekat dengan urusan
nyawa. Maka anestesiologis juga mengurusi masalah emergensi pada pasien non
bedah. Keren kaaaan? :D
Jadi, kami para koas ini di stase anestesi lebih fokus ke ilmu emergensi nya. Cara
belajarnya, kami ikut masuk ke ruang operasi dan belajar manajemen pasien
yang sengaja 'dibuat' dalam keadaan darurat untuk kepentingan operasi (ya itu
tadi, pasien sadar dibuat gak bisa napas).
Setelah pembiusan awal, kami menunggui operasi yang bisa berlangsung
berjam-jam sambil memantau kondisi pasien. Biasanya tugas koas itu 'bagging'
buat ventilasi napasnya.
Nah,kan bosen juga tuh berjam-jam nunggu dan bagging. Maka biasanya di
situlah transfer ilmu antara residen dan koas terjadi. Tapi kadang kalau udah
jenuh juga yaa akhirnya ngobrol ngalor ngidul (bicara tak tentu arah). Seperti
apa yang terjadi hari ini.
Yah, kebetulan dapet residen tandem yang agak kocak tur ngapak *eh.
Kami ngobrolin mulai dari tips n trik nikah muda *ups*, hobi, keluarga, sampai
hal-hal macam harga hape terbaru. Kadang juga diselingi 'kepanikan' ku karena
tiba-tiba nadi pasien melonjak cepat akibat efek tindakan operasi. Aku doang sih
yang panik, residennya mah tenang2 aja. Malah sekalian ngetes: "ayo dek
gimana caranya kamu harus bisa nurunin nadi nya".
Dan sungguh kebahagiaan luar biasa ketika akhirnya nadi turun lagi ke batas
normal setelah manipulasi yang semaksimal mungkin aku usahakan :"
Sempat juga aku bertanya, "Dok,kenapa sih residen anestesi kebanyakan laki-
laki?"
"Soalnya kalau perempuan gampang baper dek. Ntar kalau tiba2 ada emergensi
biasanya perempuan terlalu makai perasaan jadi susah buat ngambil tindakan
rasional. Kalau laki-laki kan cenderung ndableg (cuek)"
Dan entah kenapa tiba2 residen kocak bin gak pelit ilmu ini berkata
"Kamu pasti gak takut setan? Kamu kalau gelap2an berani jalan sendiri kan? xD"
Tapi, jadi mikir juga. Anestesi? Hmm, asik juga kayaknya. Tapi, entah kenapa aku
masih ingin mengejar 'impian' lain, yang bahkan bentuknya pun belum sejelas
telepon pintar yang kupakai mengetikkan tulisan ini sekarang.
Hidup masih berlanjut. Entah misteri apa yang akan muncul di masa yang akan
datang. Yah, terima kasih sudah membaca cerita gak jelasku ini. Semoga kalian
gak syok ya selesai baca ini.haha
A. Definisi
a. Penilaian Status Fisik Menurut ASA
Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu klasifikasi status
fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi.
Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status
lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian ditambahkan.
Seorang pasien yang normal dan sehat, selain penyakit yang akan
ASA I
dioperasi.
III
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter dan
perawat anestesi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada pasien-
pasien yang akan melakukan tindakan operasi.
Selain itu perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan anestesi seperti
anamnesa pasien, mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat
adalah indikasi prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan pengobatan
saat ini.Pemeriksaan fisik pasien yang harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi
focus, perhatian ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru,
dan pemeriksaan neurologi dan juga dilakukan evaluasi resiko perdarahan dan thrombosis
serta evaluasi jalan nafas (mallampati). Pemeriksaan umum seperti tanda vital, kepala dan
leher, precordium, paru-paru, abdomen, ektremitas, punggung dan neurologi.
Pemeriksaan penunjang juga dilakukan jika ada indikasi tertentu yang didapatkan dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Setelah itu baru dilakukan pengklasifikasian status fisik
pasien menggunakan ASA ( American Society of Anaesthesiologist)
yang merupakan klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-
anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
APACHE II SCORE
APACHE II Score ("Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II Score") adalah
sistem klasifikasi keparahan penyakit yang pertama kali diperkenalkan oleh William Knaus
dkk. di Universitas George Washington pada tahun 1981. Scor Apache ini digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa digunakan di
beberapa unit perawatan intensif (ICU). Penilaian klinis keparahan penyakit merupakan
komponen penting praktek medis karena dapat menentukan intervensi pengobatan, derajat
kegawatan dan prognosis.
Severity of illness dinilai berdasarkan pengukuran 12 sistem fisiologis rutin selama 24
jam pertama setelah masuk, usia dan status kesehatan sebelumnya atau komorbiditas yang
dimiliki pasien. Data perhitungan skor APACHE II berdasar pada variabel-variabel yang
terdiri dari suhu rektal, mean arterial pressure, frekuensi nadi, frekuensi napas, hantaran
oksigen (PO2), PO2, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum, hematokrit dan
hitung jenis lekosit. Jumlah skor bervariasi dari 0 sampai 71. Semakin besar skor semakin
meningkat risiko kematian.
Meskipun sistem penilaian baru, seperti SAPS II, telah menggantikan APACHE II di
banyak tempat, APACHE II terus digunakan secara luas karena begitu banyak dokumentasi
didasarkan pada itu. Pada studi yang dilakukan di berbagai negara seperti Amerika Serikat,
Kanada, Selandia Baru dan Singapura, terbukti sistem skor APACHE II memiliki korelasi
yang baik antara mortalitas yang diprediksi dengan mortalitas aktual yang terjadi. APACHE
II memiliki kelemahan antara lain:
1. Sistem skor ini dibuat berdasarkan data lama dari tahun 1979 1982 dan
sistem skor tidak dirancang untuk memprediksi outcome pasien secara individual dan
penyakit khusus.
2. Perbedaan dalam waktu kedatangan pasien di ICU menyebabkan perbedaan
nilai prediksi dan kategori diagnosis tidak secara akurat menghitung perbedaan kondisi
saat masuk ICU.
Nilai sebenarnya dari kapasitas paru total tidak dapat diukur dengan
spirometer. Cara yang paling mudah untuk menentukan itu adalah pasien
menginspirasi udara yang mengandung helium yang telah dihitung
konsentrasinya, kemudian mengukur konsentrasi helium yang dihasilkan
setelah pencampuran dengan udara yang berasal dari paru-paru, dengan
begitu memungkinkan kapasitas paru total dapat dihitung. Pengurangan
kapasitas vital dengan nilai ini akan memberikan volume residu.
Gambar A
Gambar B
Gambar C
Gambar A menunjukkan jejak yang dihasilkan oleh spirometer. Waktu
dalam detik pada sumbu x dan volume dalam liter pada sumbu y. Dengan
demikian, jejak bergerak ke atas selama ekspirasi untuk menilai FVC, dan
sepanjang sumbu x dengan berjalannya waktu selama ekspirasi.
Volume udara napas yang keluar di detik pertama ekspirasi paksa dikenal
sebagai volume ekspirasi paksa pada detik pertama - disingkat FEV1. Di
paru-paru normal, FEV1 adalah> 70% dari FVC. Ketika ada halangan pada
aliran udara, seperti pada PPOK, waktu yang dibutuhkan untuk mengakhiri
ekspirasi seluruhnya mengalami perkepanjangan dan rasio FEV1 dan FVC
berkurang.
PNEUMOTHORAKS
Ruang 303
S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2010-2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan atas limpahan rahmat
dan berkahnya yang diberikan kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul PNEUMOTHORAKS. Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Sistem
Respirasi.
Terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pneumothoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara
dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cidera. Pneumotoraks
didefinisikan sebagai adanya udara didalam cavum/rongga pleura. Tekanan di rongga pleura
pada orang sehat selalu negative untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan
berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan
pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui mengenai penyakit
pneumonia dan cara pencegahannya.
Tujuan Khusus
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui:
1. Definisi dari pneumothoraks
2. Bagaimana tanda dan gejala pneumothoraks
3. Serta mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan pneumothoraks
BAB II
PEMBAHASAN
PNEUMOTHORAKS
DEFINISI
Pneumothoraks adalah akumulasi udara didalam rongga pleura dengan klolaps paru
sekunder Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang
terhadap ronggathorak
ETIOLOGI
Klasifikasi berdasarkan penyebab pneumothoraks :
Pneumothorak spontan primer ( PSP )
- Tidak ada riwayat penyakit paru sebelumnya
- Tidak ada riwayat trauma
- Biasanya terjadi pada umur 18-40 tahun
- Biasanya terjadi pada saat istirahat
Terbuka ( open )
- Karena luka terbuka pada dinding dada agar udara dapat keluar lewat luka tersebut saat
inspirasi.
- Keadaan mediastinum: saat inspirasi normal, saat ekspirasi bergeser kedinding dada yang
terluka.
PATOFISIOLOGI
Pneumothoraks terjadi karena mekanisme ceheck velve yaitu pada saat inspirasi udara
masuk kedalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat
keluar. Semakin lama udara dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan
atmosfir. Udara yang yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga
sering menimbulkan gagal nafas.
Tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih
hebat,mediastinum tergeser ke sisi yang lebih sehat dan mempengaruhi aliran darah vena ke
atrium kanan. Pada foto thoraks terlihat mediastinum terdorong kearah kontralateral dan
diafraghma tertekan ke bawah sehingga menimbulkan rasa sakit. Keadaan ini dapat
mengakibatkan fungsi pernapasan sangat terganggu, yang harus segera ditangani.
MANIFESTASI KLINIS
Ada dua mekanisme yang menyebabkan tidak adekuatnya suplai oksigen ke jaringan pada
pneumothoraks.
a. Paru yang mengalami pneumothoraks kolaps dan paru sebelahnya terkompresi sehingga
tidak bisa melakukan pertukaran gas secara efektif, terjadi hipoksemia yang selanjutnya
menyebabkan hipoksia.
b. Tekanan udara yang tinggi pada pneumothoraks mendesak jantung dan pembuluh darah
besar. Pendorongan vena cava superior dan inferior menyebabkan darah yang kembali ke
jantung berkurang sehingga cardiac output juga berkurang. Akibatnya perfusi jaringan
menurun dan terjadi hipoksia.
Temuan awal:
1. Sesak napas
Akibat penurunan fungsi paru:
Menurunnya compliance paru yang mengalami pneumothoraks >> pertukaran udara tidak
adekuat >> hipoksemia >> hipoksia >> sesak napas serta paru sebelahnya yang terdorong
menyebabkan sesak napas. Selain itu peningkatan kerja pernapasan : hipoksia >> takipneu >>
sesak napas.
2. Nyeri dada
Trauma dada >> peregangan pleura >> nyeri trauma dada >> kerusakan jaringan >> implus
nyeri pada daerah yang luka ( kulit, otot ).
3. Takikardia
Tension pneumothoraks >> hipoksia >> kompensasi tubuh >> sistem saraf simpatis >>
takikardia
4. Takipneu
Tension pneumothoraks >> hipoksia >> kompensasi tubuh >> sistem saraf simpatis >>
takipneu
5. Perkusi hipersonor
Akumulasi udara dalam rongga pleura >> suara yang lebih nyaring saat diperkusi/hipersonor
( udara merupakan penghantar gelombang suara yang baik )
6. Suara napas lemah sampai hilang
Suara napas adalah suara yang terdengar akibat udara yang keluar masuk paru saat bernapas.
Kolaps >> pertukaran udara tidak berjalan baik >> suara napas berkurang atau hilang
Temuan Lanjut
1. Penurunan kesadaran
Hipoksia yang terus berlanjut >> kurangnya suplai oksigen ke otak >> gangguan fungsi otak
>> penurunan kesadaran.
2. Trakea terdorong ( deviasi trachea )
Menjauhi paru yang mengalami tension pneumothoraks : tension pneumothoraks >> tekanan
udara yang tinggi >> menekan ke segala arah sehingga trachea terdorong kearah
kontralateral.
3. Distensi vena leher ( bisa terjadi bila hipotensi berat )
Tension pneumothoraks >> penekanan vena cava superior >> tahanan darah yang kembali ke
jantung >> JVP meningkat >> vena leher terdistensi
4. Hipotensi
Tension pneumothoraks >> penekanan jantung dan vena cava superior dan inferior >> darah
yang kembali ke jantung berkurang >> cardiac output berkurang sehingga tekanan darah
turun ( hipotensi akibat syok obstruktif )
5. Sianosis
Tension pneumothoraks dan pertukaran udara yang tidak adekuat >> darah mengandung
sedikit oksigen >> pewarnaan yang kebiruan pada darah sehingga tampak warna kebiruan
pada kulit dan mukosa.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X dada
Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleural; dapat menunjukkan
penyimpangan struktur mediastinal
b. GDA
c. Torasentesis
Menyatakan darah/cairan sero sanguinosa
d. Hb
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secra klinis, dan terapi tidak boleh terlambat
oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.
Anamnesis
Riwayat trauma
Mekanisme trauma
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: dada cembung pada sisi yang sakit
Palpasi: Fremitus turun sampai hilang
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi: Suara napas lemah sampai hilang
Temuan Awal
Nyeri dada, sesak napas, cemas, takikardia, takipneu, hipersonor pada dada yang sakit, suara
napas yang mlemah sampai menghilang
Temuan lanjut
Penurunan kesadaran, deviasi trakea ke arah kontralateral, hipotensi, distensi vena leher,
sianosis
DIAGNOSIS BANDING
KONDISI PENILAIAN
Tension pneumothorax Deviasi Tracheal
Distensi vena leher
Hipersonor
Bising nafas (-)
Massive hemothorax Deviasi Tracheal
Vena leher kolaps
Perkusi : dullness
Bising nafas (-)
Cardiac tamponade Distensi vena leher
Bunyi jantung jauh dan lemah
EKG abnormal
PENATALAKSANAAN
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasrkan jenis perlukaan, tanda tanda vital,
dan mekanisme trauma. Merupakan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu.
Pneumothoraks
Lakukan tube thoracostomy / WSD (water sealed drainage, merupakan tatalaksana definitif
tension pneumothorax)
WSD >> sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow up >> mengevakuasi darah atau udara
sehingga pengembangan paru maksimal >> lalu lakukan monitoring
Penyulit >> perdarahan dan infeksi atau super infeksi
Teknik pemasangan :
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk/ setengah duduk/ tiduran dengan sedikit miring ke
sisi yang sehat
2. Tentukan tempat untuk pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8.
3. Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks
4. Secara streril diberi tanda pada selang WSD dari lubang terakhir sela WSD setebal dinding
thoraks; mis dengan ikatan benang
5. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic
6. Tutup dengan duk steril
7. Daerah tempat masuk selang WSD dan sekitarnya dianestesi local di atas tepi iga secara
infiltrasi dan blok (berkas neurovaskular)
8. Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga
9. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura
10. Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpul
11. Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke rongga pleura dengan
sedikit tekanan
12. Fiksasi selang WSD sesuai dengan tanda tadi
13. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
14. Selang WSD disambung dengan botol WSD steril
15. Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan tekanan -24 sampai -32 cm H2O
Prinsip dasar tatalaksana pneumotoraks adalah untuk mengevakuasi ronga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risiko
Pilihan terapi
Observasi
Aspirasi sederhana
Tube thoracostomy/WSD (Simple; Continuous suction)
Pleurodesis
Thoracoscopy
Operasi
KOMPLIKASI
Kesimpulan
Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur
jaringan paru dengan batas paru berupa garis radioopak tipis berasal dari pleura viresal.
Jika pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi
kuncup/kolaps di daerah hilus mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Selain itu juga iga
lebih lebar.
Apabila udara terkumpul dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar maka akan mendesak
mediastinum kearah paru yang sehat (kearah kontralateral)
DAFTAR PUSTAKA
Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar ilmu penykit paru. Surabaya : Airlangga University Press
Bosswick, John A., Jr. 1988. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
http://www.kuliah-keperawatan.co.cc/2009/04/pneumothoraks.html
WSD
4. Posisikan klien :
- Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
- Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
5. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
6. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester
7. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang
drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada
plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis sistem komersial
yang sekali pakai
8. Urut selang jika ada obstruksi
9. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
Cara mengganti botol WSD:
Siapkan set botol yang baru
Botol diisi cairan aquadest ditambah desinfektan
Selang WSD di klem dulu
Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
Amati undulasi dalam slang WSD
Pencabutan selang WSD:
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
- Tidak ada undulasi
- Cairan yang keluar tidak ada
- Tidak ada gelembung udara yang keluar
- Kesulitan bernafas tidak ada
- Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
- Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
MATERI SYARAT UJIAN
PEMERIKSAAN FISIK
Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan pemeriksaan
neurologik . Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu dilakukan
pemeriksaan extremitas dan punggung.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :
1 Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
2 Tanda-tanda vital
Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan
pengeluaran urine yang adekuat selama operasi .
Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan
bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic atau cabang-
cabang besarnya).
Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah
denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta blok dan
cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang cemas dan
dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah.
Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya , dalamnya dan pola
pernapasannya selama istirahat.
Suhu tubuh (Febris/ hipotermi).
Visual Aanalog Scale (VAS). Skala untuk menilai tingkat nyeri
3 Kepala dan leher
Mata : anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya)
Hidung : polip, septum deviasi, perdarahan
Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kelainan
ortodontik lainnya
Mulut : Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut jari), Pergerakan (baik/kurang baik),
sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil
Tonsil : ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan
Leher : ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor, pergerakan leher (mobilitas
sendi servical) pada fleksi ektensi dan ritasi, TMD, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar
getah bening.
Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teet, Tongue, Temporo
mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor, Trakea.
4. Thoraks
a. Prekordium. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs (bising katup), irama gallop
atau perikardial rub.
b. Paru-paru.
Inspeksi : Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum, kifosis,
skoliosis) Frekwensi (bradipnue/takipnue) Sifat pernafasan ( torakal, torako
abdominal/abdominal torako), irama pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes, biot),
Sputum (purulen, pink frothy), Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas)
Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah)
Auskulatasi : Bunyi nafas pokok ( vesikuler, bronchial, bronkovesikuler, amporik),
bunyi nafas tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi basah/rales, bunyi gesekan pleura,
hippocrates succussion)
Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup
5. Abdomen.
Pristaltik (kesan normal/meningkat/meenurun), Hati dan limpa (teraba/tidak, batas, ukuran,
per-mukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi predisposisi untuk regurgitasi).
6. Urogenitalia.
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (< 20 cc/24 jam),
oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (> 2500 cc/24 jam)], kwalitas (BJ, sedimen),
tanda tanda sumbatan saluran kemih (seperti kolik renal).
P W
Operasidengan X X X
perdarahan
Operasitanpa
perdarahan
Neonatus X X
Umur< 40 X
U m u r 40 X M
49
U m u r 50 64 X X
U m u X X X X + X
r > 65
Peny. X X X
Kardiovaskular
Penyakit Paru X X
K e ga na sa X X * * X
n
Terapi radiasi X X X
Penyakit hati X X
Terpapar X
hepatitis
Penyakit gInjal X X X X
Gangguan Perd X X
arahan
Diabetes X X X X
Merokok X X X
Kehamilan X
Pemakaian X X
diuretik
Pemakaian X X X
digoksin
Pemakaian X X
steroid
Pemak. X X X
antikoagulan
Penyakit S S P X X X X X
Tidak semua penyakit termasuk dalam table ini. Simbol : + mungkin dilakukan; * hanya untuk leukemia; X dilakukan; M
dilakukan hanya untuk pria.
PERENCANAAN ANESTESI.
Rencana anestesi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan anestesi secara
umum. Secara garis besar komponen dari rencana anestesi adalah :
1. Ringkasan tentang anamnesis pasien , dan dan hasil-hasil pemeriksaan fisik
sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah, satukan
bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh dokter yang merawat.
2. Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik
khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif ).
3. Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.
4. Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di ICU).
5. Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.
6. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada , informed consent, dan pernyataan
bahwa semua pertanyaan telah dijawab.
7. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.
MENENTUKAN PROGNOSIS
Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan kalsifikasi status fisik
menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum
keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang
akan dioperasi.
ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi
ringan
ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi,
tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial,
hipertensi tak terkontrol
ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum
ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin
saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi
pada pasien koma berat
ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan
diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.
Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat), mis:
operasi apendiks diberi kode ASA 1 E
Tambahan .....................
Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini harus
dilakukan secara periodik untuk menulai apakah keadaan penderita semakin membaik atau
memburuk.
GCS terendah jumlahnya adalah 3 (koma dalam atau mati), sementara yang tertinggi
adalah 15 (sadar penuh). Dari ketiga komponen GCS tersebut motorik merupakan
komponen yang paling objektif. Dan sebaiknnya penilaian untuk satu penderita senantiasa
dilakukan oleh orang yang sama. Untuk penderita dengan hematoma periorbita yang besar,
penilaian komponen mata harus disesuaikan dengan respon motorik. Demikian pula untuk
penderita yang afasia, atau terintubasi, konponen verbalnya harus disesuaikan dengan
respon motorik. Dan untuk itu perlu latihan dan pengalaman yang berulang-ulang.
Sebagaimana disebutkan oleh Plum dan Postner, tingkat kesadaran tidak akan
terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisper saja, tetapi menjadi progresif
memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat
penekanan atau cedera pada batang otak.
Penilaian GCS berdasarkan reaksi yang didapatkan sesuai dengan umur penderita.
Mata 1 tahun 0 1 tahun
RUANG RECOVERY
Pada prinsipnya dalam penatalaksananaan anestesi pada suatu operasi, terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksana ananestesi dan
pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa
dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca
bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau
Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit).
Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering
dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang
berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil
dan kadang-kadang pendarahan.
Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, dimana pasien
dirawat setelah mereka telah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang
baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang
dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu
badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.
Pasien biasanya akan mengalami disorientasi setelah mereka sadar kembali, dan di ruang
pemulihan ini pasien ditenangkan apabila menjadi anxietas dan dipastikan kalau fisik dan
emosional mereka terkendali.
Ruangan dan Fasilitas
Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar
bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak
akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan
anestesi dihentikan pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi
dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.
Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan
yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit
dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya kegawatan nafas dan
sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau
memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan
jalan nafas harus tersedia, misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop,
alat trakeostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% 100%.
Pengelolaan Pasien di Ruang Pulih Sadar
Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah
sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan.
Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,peralatan resusitasi jantung-paru dan
obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.
Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga
jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan
pasien.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah
pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan
nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik
atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini
kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam,
dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.
Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau masker sampai pasien
sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Kartu
observasi selama di ruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila
pasien sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan
stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada
kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada
pasien dengan risiko tinggi seperti:
Kelainan organ
Syok yang lama
Dehidrasi berat
Sepsis
Trauma multiple
Trauma kapitis
Gangguan organ penting, misalnya : otak
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat
dilakukan monitoring B6, yaitu :
Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :
Pola nafas
Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Sianosis pada ekstremitas
Auskultasi : wheezing, ronki
Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.
Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri
ple manuver airway).
Blood (darah) : sistem kardiovaskuler
Tekanan darah
Nadi
Perfusi perifer
Status hidrasi (hipotermi syok)
Kadar Hb
Brain (otak) : sistem SSP
Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
Bladder (kandung kencing) : sistem urogenitalis
Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine
Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute
renal failure
Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis
Periksa :
Dilatasi lambung
Tanda-tanda cairan bebas
Distensi abdomen
Perdarahan lambung post operasi
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien, pancreas
Dilatasi usus halus,
Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan,
karena ia bernafas dengan diafragma.
Bone (tulang) : sistem musculoskeletal
Periksa :
Tanda-tanda sianosis
Warna kuku
Perdarahan post operasi
Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah
warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti skor Aldrete (lihat
tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor
total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.
Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward,
yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan.
Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai adalah
pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di pindahkan ke
ruang rawat.
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Aldrete Score (dewasa)
Penilaian
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
Tabel. Skor pemulihan pasca anestesi
Bromage Score (spinal anestesi)
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai, 0
Tak mampu ekstensi tungkai, 1
Tak mampu fleksi lutut, 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.
Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalahdengan
menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme
harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi
total, dimana wheezing akibat dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan
pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea,
maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang
dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi
nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang
dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada, sementara secara manual
paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu
sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar
memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai
sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak
dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah pipa ditarik keluar dan
dilakukan re-intubasi.
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan
spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang.
Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke
muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling
penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa
dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau
dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul
keluar menutupi bagian ujung.
Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan
bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah yang terjatuh ke
belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular, sehingga dapat
menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara
bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap
bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan koma,
dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada
hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal
apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang benar pada
hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke
intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada
hipokalemia.
Komplikasi Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus
berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnea dan
asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel
kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada
faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5
1,0 g/kg/ menit.
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan,
terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler
perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital
yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis,hipoksia,
hiperkapnia atau penyakit jantung.
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat
vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi
hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi
semprotan lidokain topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika
narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan
(depresi).
Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama anestesia :
Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkalemi
Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia,hipokelmia, jantung koroner
Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin dll.
Komplikasi Lain-lain
Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil di
seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena hipotermia atau
efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi
pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga
pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.
Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan.
Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga
pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini
sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab
tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan
analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia).
Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan
dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat
Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
Penutup kain operasi yang terlalu tebal
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
Infeksi
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasihipertermia maligna)
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2
derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1:
50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka
kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah
banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium
dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam
sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam laktat dan
karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas.
Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia
maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai
pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.
Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani,
mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan NaCl
fisiologis dingin
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini
merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.
Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya mediator kimia
endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya.Reaksi dapat saja terjadi pada tiap
pemberian obat termasuk obat yang digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada
pemberian induksi intravena danobat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
Muka menjadi sembab
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi hentijantung
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
Percepat cairan infus kristaloid
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk meredam nyeri
pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan morfin 0.05-0.10
mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang
epidural. Tindakan ini sangat baiknyamanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah
sekitar 10-16 jam. Setelahitu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan
tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi
non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya
lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah
muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi
napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada
manula kecuali dengan pengawasan ketat.
Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan
selanjutnya dengan titrasi perinfus.
Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umumterutama pada penggunaan
opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang
sering digunakan pada peri anesthesia ialah :
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
Cyclizine 25-50 mg.
Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com
ICU
BAB I
PENDAHULUAN
IRIN (Instalasi Rawat Intensif) / ICU (Intensive Care Unit) adalah suatu tempat
atau unit tersendiri di dalam rumah sakit, memiliki staf khusus, peralatan khusus
ditujukan untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau
komplikasi.
Fungsi utama ICU adalah memberikan bantuan fisiologis yang dibutuhkan sampai
di dapat hasil:
1. Pasien sembuh total
2. Terapi spesifik dapat mengatasi problema dasar
3. Pasien meninggal
- Pasien sakit kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terafi intensif
seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara
terus menerus.
- Pasien yang memerlukan pemantauan intensif invasif atau noninvasif
sehingga komplikasi berat dapat dihindarkan atau dikurangi (contoh:
paska bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung paru, ginjal
dan lainnya)
- Pasien yang memerlukan terafi intensif untuk mengatasi komplikasi-
komplikasi akut, sekalipun manfaat ICU ini sedikit. Contoh : pasien dengan
tumor ganas metastase dengan komplikasi infeksi.
- Pasien yang tidak memerlukan lagi terapi karena keadaan membaik atau
terapi telah gagal dan prognosis dalam waktu dekat akan memburuk serta
manfaat terafi intensif sangat kecil. Dalam hal yang kedua perlu
persetujuan dokter yang mengirim.
- Bila pada pemantauan intensif ternyata hasilnya tidak memerlukan
tindakan atau terafi intensif lebih lama.
- Terafi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu diteruskan lagi pada:
Pasien usia lanjut dengan gagal 3 organ atau lebih yang tidak memberi
respons terhadap terafi intensif selama 72 jam
Pasien mati batang otak atau koma (bukan karena trauma) yang
menimbulkan keadaan vegetatif dan sangat kecil kemungkinan untuk
pulih.
Pasien dengan bermacam-macam diagnosis seperti PPOM, penyakit
jantung terminal, kanker yang menyebar (metastase).
Pelaksanaan ketiga bulir yang terakhir ini hendaknya dilakukan atas
persetujuan dokter yang mengirim. Apabila tempat di ICU penuh, ada pasien
kritis lainnya yang memenuhi syarat prioritas pertama, maka pasien yang
memenuhi kriteria keluar terpaksa dikembalikan ke ruang perawatan biasa,
hendaknya dengan persetujuan dokter yang mengirim.
PERSIAPAN ANASTESI
ANALISA GAS DARAH
NALISA GAS DARAH
Analisa Gas Darah ( AGD ) atau sering disebut Blood Gas Analisa
( BGA ) merupakan pemeriksaan penting untuk penderita sakit kritis yang
bertujuan untuk mengetahui atau mengevaluasi pertukaran Oksigen
( O2),Karbondiosida ( CO2) dan status asam-basa dalam darah arteri.
Analisa gas darah (AGD) atau BGA (Blood Gas Analysis) biasanya
dilakukan untuk mengkaji gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan
oleh gangguan pernafasan dan/atau gangguan metabolik. Komponen dasar AGD
mencakup pH, PaCO2, PaO2, SO2, HCO3 dan BE (base excesses/kelebihan basa).
7. Memperoleh darah arterial untuk analisa gas darah atau test diagnostik yang
lain.
Penyakit pernafasan
Pemberian oksigen
Kadar CO2
Keseimbangan asam-basa
Ventilasi
o Adanya peradangan.
o Adanya iritasi.
o Adanya edema.
3. Masih terdapat cara lain yang lebih mudah untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Sampel darah untuk pemeriksaan Analisa Gas Darah dapat dilakukan pada
arteri radialis, arteri tibialis posterior, arteri dorsalis pedis, dan lain-lain. Arteri
femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain,
karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila
terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan
arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko
emboli. Korelasi nilai sampel darah arteri dan kapiler bervariasi, baik untuk pH
dan PCO2, tapi jelek untuk PaO2.
Gelembung udara
Tekanan
Oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah
maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel
darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
Daerah edema
Hematoma
Ada dua cara dalam pengambilan darah vena, yaitu cara manual dan cara
vakum. Cara manual dilakukan dengan menggunakan alat suntik (syring),
sedangkan cara vakum dengan menggunakan tabung vakum (vacutainer).
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengambilan darah vena
adalah :
Penusukan
Tutukan jarum yang tidak tepat benar masuk ke dalam vena menyebabkan
darah bocor dengan akibat hematoma
Kulit yang ditusuk masih basah oleh alkohol menyebabkan hemolisis sampel
akibat kontaminasi oleh alcohol, rasa terbakar dan rasa nyeri yang berlebihan
pada pasien ketika dilakukan penusukan.
Pengambilan Darah Kapiler
Untuk anak kecil dan bayi diambil di tumit (heelstick) pada 1/3 bagian tepi
telapak kaki atau ibu jari kaki.
Yaitu arteri yang berada di pergelangan tangan pada posisi ibu jari.
e. Kesulitan :
Arteri branchialis
Yaitu arteri yang berada pada medial anterior bagian antecubital fossa,
terselipdiantara otot bisep.
c. Kesulitan :
Arteri femoralis
Yaitu arteri yang paling besar untuk ABG. Berada pada permukaan paha bagian
dalam, disebelah lateral tulang pubis.
a. Dapat dilakukan ABG sekalipun pasien dengan curah jantung yang rendah.
b. FA hanya digunakan dalam kondisi gawat darurat atau sulit mendapat arteri
lain.
c. Kesulitan :
PH normal 7,35-7,45
a. Suhu, pada suhu 370 c selama 10 menit PH akan berubah, 0,10 ; PaCO21
mmhg dan PO2 0,7 mmhg, sedangkan pada suhu 40 dalam 10 menit PH berubah
0,01 ; PaCO2 0,01 mmhg dan PaO2,07 mmhg. Sebaiknya darah dimasukkan
kedalam es untuk menghindari / mengurangi metabolisme dan mencegah
konsumsi oksigen dan karbondioksida yang dapat mempengaruhi nilai
d. Gelembung udara dalam spuit, yang akan mempengaruhi CO2 dan O2.
PaCO2 adalah tekanan partial yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut. PaCO2
ini merupakan parameter untuk mengetahui fungsi respirasi dan menentukan
cukup tidaknya ventilasi alveolar. Bila PaCO2 rendah menunjukkan adanya
hyperventilasi karena rangsangan pernafasan dan bila PaCO2 tinggi
(hypoventilasi) menunjukkan adanya kegagalan ventilasi alveolis. Pada PaCO2
rendah konsentrasi ion H+ akan rendah dan PH meningkat, sedangkan bila
terjadi peningkatan PaCO2 konsentrasi ion H+ akan mengingat dan PH menjadi
rendah
PaO2 adalah tekanan yang ditimbulkan oleh oksigen yang terlarut dalam darah.
PaO2 akan memberikan petunjuk cukup tidaknya oksigenisasi darah arteri
Total CO2 yang terdapat dalam plasma, yang meliputi asam karbonat, bikarbonat
dan senyawa karbamino. TCO2 dapat digunakan sebagai petunjuk klinik
gangguan keseimbangan asam untuk memperkirakan kelebihan atau
kekurangan basa karena perbandingan bikarbonat dan asm bikarbonat 20 : 1
Gelembung udara
Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel
darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen
sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
Antikoagulan
Metabolisme
Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya
sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak
langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.
Suhu
Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya
PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO 2.
Nilai
Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai
PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan
antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai
oksigenasi darah
Analisa gas darah dilakukan pada darah dari arteri. Ini meruapakan
pengukuran tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida dalam darah, serta
kandungan oksigen, saturasi oksigen, konten bikarbonat, dan pH darah.Oksigen
di paru-paru dilakukan pada jaringan melalui aliran darah, tetapi hanya sejumlah
kecil oksigen ini benar-benar dapat larut dalam darah arteri. Berapa banyak
melarutkan tergantung pada tekanan parsial oksigen (tekanan bahwa gas
diberikannya pada dinding arteri). Oleh karena itu, pengujian tekanan parsial
oksigen sebenarnya adalah mengukur berapa banyak oksigen yang memberikan
paru-paru ke dalam darah. Karbon dioksida dilepaskan ke dalam darah sebagai
produk sampingan dari metabolisme sel. Tekanan parsial karbon dioksida
menunjukkan seberapa baik paru-paru menghilangkan karbon dioksida.
A. Persiapan Alat
Syring
Torniquet
Plester
Tabung
o Jarum
o Tabung vakum.
Lanset
Tabung
Torniquet
Spuit
Tabung
Handscoon
B. Persiapan Pasien :
Memberikan penjelasan pada klien (bila mungkin) dan keluarga mengenai tujuan
pengambilan darah dan prosedur yang akan dilakukan.
F. Prosedur Kerja
Pengambilan darah dengan suntikan ini baik dilakukan pada pasien usia
lanjut dan pasien dengan vena yang tidak dapat diandalkan (rapuh atau kecil).
Prosedur :
Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien
minum obat tertentu, tidak puasa dsb.
Minta pasien meluruskan lengannya, pilih lengan yang banyak melakukan aktifitas.
Pilih bagian vena median cubital atau cephalic. Lakukan perabaan (palpasi) untuk
memastikan posisi vena; vena teraba seperti sebuah pipa kecil, elastis dan
memiliki dinding tebal. Jika vena tidak teraba, lakukan pengurutan dari arah
pergelangan ke siku, atau kompres hangat selama 5 menit daerah lengan.
Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alcohol 70% dan
biarkan kering. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Jika jarum telah
masuk ke dalam vena, akan terlihat darah masuk ke dalam semprit
(dinamakan flash). Usahakan sekali tusuk kena.
Setelah volume darah dianggap cukup, lepas turniket dan minta pasien membuka
kepalan tangannya. Volume darah yang diambil kira-kira 3 kali jumlah serum
atau plasma yang diperlukan untuk pemeriksaan.
Letakkan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan/tarik jarum. Tekan kapas
beberapa sat lalu plester selama kira-kira 15 menit. Jangan menarik jarum
sebelum turniket dibuka.
Jarum yang digunakan terdiri dari dua buah jarum yang dihubungkan oleh
sambungan berulir. Jarum pada sisi anterior digunakan untuk menusuk vena dan
jarum pada sisi posterior ditancapkan pada tabung. Jarum posterior diselubungi
oleh bahan dari karet sehingga dapat mencegah darah dari pasien mengalir
keluar. Sambungan berulir berfungsi untuk melekatkan jarum pada sebuah
holder dan memudahkan pada saat mendorong tabung menancap pada jarum
posterior.
Prosedur :
Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien
minum obat tertentu, tidak puasa dsb.
Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alcohol 70% dan
biarkan kering. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Masukkan
tabung ke dalam holder dan dorong sehingga jarum bagian posterior tertancap
pada tabung, maka darah akan mengalir masuk ke dalam tabung. Tunggu
sampai darah berhenti mengalir. Jika memerlukan beberapa tabung, setelah
tabung pertama terisi, cabut dan ganti dengan tabung kedua, begitu seterusnya.
Lepas turniket dan minta pasien membuka kepalan tangannya. Volume darah
yang diambil kira-kira 3 kali jumlah serum atau plasma yang diperlukan untuk
pemeriksaan.
Letakkan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan/tarik jarum. Tekan kapas
beberapa sat lalu plester selama kira-kira 15 menit. Jangan menarik jarum
sebelum turniket dibuka.
Tabung tutup merah : Tabung ini tanpa penambahan zat additive, darah akan
menjadi beku dan serum dipisahkan dengsan pemusingan. Umumnya digunakan
untuk pemeriksaan kimia darah, imunologi, serologi dan bank darah
(crossmatching test)
Tabung tutup kuning : Tabung ini berisi gel separator (serum separator
tube/SST) yang fungsinya memisahkan serum dan sel darah. Setelah
pemusingan, serum akan berada di bagian atas gel dan sel darah berada di
bawah gel. Umumnya digunakan untuk pemeriksaan kimia darah, imunologi dan
serologi
Tabung tutup hijau terang : Tabung ini berisi gel separator (plasma separator
tube/PST) dengan antikoagulan lithium heparin. Setelah pemusingan, plasma
akan berada di bagian atas gel dan sel darah berada di bawah gel. Umumnya
digunakan untuk pemeriksaan kimia darah.
Tabung tutup ungu atau lavender : Tabung ini berisi EDTA. Umumnya
digunakan untuk pemeriksaan darah lengkap dan bank darah (crossmatch)
Tabung tutup biru : Tabung ini berisi natrium sitrat. Umumnya digunakan untuk
pemeriksaan koagulasi (mis. PPT, APTT)
Tabung tutup hijau : Tabung ini berisi natrium atau lithium heparin, umumnya
digunakan untuk pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit, kimia darah.
Tabung tutup biru gelap : Tabung ini berisi EDTA yang bebas logam, umumnya
digunakan untuk pemeriksaan trace element (zink, copper, mercury) dan
toksikologi.
Tabung tutup abu-abu terang : Tabung ini berisi natrium fluoride dan kalium
oksalat, digunakan untuk pemeriksaan glukosa.
Tabung tutup hitam : berisi bufer sodium sitrat, digunakan untuk pemeriksaan
LED (ESR).
Tabung tutup kuning dengan warna hitam di bagian atas ; berisi media biakan,
digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi - aerob, anaerob dan jamur
Darah dari syring atau suntikan harus dimasukkan ke dalam tabung dengan cara
melepas jarum lalu mengalirkan darah perlahan-lahan melalui dinding tabung.
Memasukkan darah dengan cara disemprotkan, apalagi tanpa melepas jarum,
berpotensi menyebabkan hemolisis. Memasukkan darah ke dalam tabung vakum
dengan cara menusukkan jarum pada tutup tabung, biarkan darah mengalir
sampai berhenti sendiri ketika volume telah terpenuhi.
o Pilih lokasi pengambilan lalu desinfeksi dengan kapas alkohol 70%, biarkan
kering.
o Peganglah bagian tersebut supaya tidak bergerak dan tekan sedikit supaya rasa
nyeri berkurang.
o Tusuk dengan lancet steril. Tusukan harus dalam sehingga darah tidak harus
diperas-peras keluar. Jangan menusukkan lancet jika ujung jari masih basah oleh
alkohol. Hal ini bukan saja karena darah akan diencerkan oleh alkohol, tetapi
darah juga melebar di atas kulit sehingga susah ditampung dalam wadah.
o Setelah darah keluar, buang tetes darah pertama dengan memakai kapas kering,
tetes berikutnya boleh dipakai untuk pemeriksaan.
o Pengambilan darah diusahakan tidak terlalu lama dan jangan diperas-peras untuk
mencegah terbentuknya jendalan.
Lakukan palpasi (perabaan) dengan jari tangan untuk memastikan letak arteri.
Desinfeksi kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70%, biarkan kering.
Kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi.
Tekan bagian arteri yang akan ditusuk dengan dua jari tangan lalu tusukkan
jarum di samping bawah jari telunjuk dengan posisi jarum tegak atau agak
miring. Jika tusukan berhasil darah terlihat memasuki spuit dan mendorong
thorak ke atas.
a. Rasa takut
c. Hematoma
Beberapa hal penting yang perlu di perhatikan dalam pengambilan darah ini
meliputi :
- Hindari penusukan yang sering pada tempat yang sama untuk mencegah
aneurism
- Bila perlu pengulangan pemeriksaan analisa gas darah dokter akan memasang
arteri line
2. Mekansime pernafasan.
3. mekanisme ginjal .
1. Mekanisme pernafasan
2. Mekanisme ginjal
5. Sekresi ammonia
B. Gangguan Asam Basa sederhana
1. Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi
dapat dikeluarkan melalui ventilasi.
2. Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan perubahan
pH, seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana mekanisme
kompensasi ginjal belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru terjadi.
Bikarbonat dan base excess dalam batas normal karena ginjal belum cukup
waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan kelelahan merupakan
penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak sakit kritis.
4. Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal
dan pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi
dengan perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat.
8. Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau
telah diberikan oksigen yang adekuat.
C. Tujuan
D. Indikasi
Indikasi dari pasien yang harus melakukan analisa gas darah yaitu :
4. Infark miokard
5. Pneumonia
6. Klien syok
1. Gelembung udara
Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel
darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen
sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
2. Antikoagulan
3. Metabolisme
Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya
sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak
langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.
4. Suhu
Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya
PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2.
Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai
PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan
antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai
oksigenasi darah.
F. Komplikasi
2. Perdarahan.
3. Cidera syaraf.
4. Spasme arteri.
G. Cara Kerja
Pre Instumentasi
1. Persiapan Pasien
3. Parameter :
c. Hematocrit (Hct)
4. Persiapan Sampel
1. Arteri Radialis, merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk
fungsi arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem juga
apabila Allen test negatif.
3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya bila
terjadi obstruksi pembuluh darah.
4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas
tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat
aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan
bila yangdapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian
jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat terjadi
percampuran antara darah vena dan arteri.
1. Penusukan tepat pada arteri ditandai dengan darah yang keluar berwarna segar
dan memancar.
3. Cantumkan suhu pasien, jam pengambilan darah dan konsentrasi oksigen yang
diberikan.
a. Prinsip
Gas sampel yang diambil melalui probe akan masuk ke setiap sampel sel secara
bergiliran dimana gas sampel akan dibandingkan dengan gas standar melalui
pemencaran system infra red dimana akan menghasilkan perbedaan panjang
gelombang yang akan dikonversi receiver menjadi signal analog (420).
b. Bagian-bagian BGA
Barcode
Tempat Sample
Tampilan ID pasien.
Tampilan Menu
c. Cara Kerja
2. Setiap pertama kali menghidupkan alat, lalu kalibrasi dengan cara tekan
calibrate kemudian enter. Alat akan melakukan kalibrasi secara otomatis.
4. Apabila alat sudah dalam kondisi ready for analysa berarti alat sudah siap
melakukan pemeriksaan, tekan Analyzer. Selang pengisap sample akan keluar
secara otomatis kemudian masukan sample bersamaan tekan lagi analyzer
sampai sample terhisap secara otomatis selang akan masuk sendiri.
a. Syringe
Untuk pengukuran gas darah menggunakan syringe 2 mL. The Vitalpath Analyzer
akan langsung mengaspirasi dari jarum suntiknya.
c. Tabung Kapilari
Ketika pasien mengalami dehidrasi atau memerlukan sampel yang sedikit, atau
saat melakukan pemeriksaan ulang dapat menggunakan tabung kapilari berisi
140 uL.
5. Lakukan daftar isian seperti yang terlihat dilayar monitor, sample ID , HB, suhu
badan, jenis sample (0 arteri, 1 vena, 2 kapiler), F102 (volume oksigen yang
dilorelasi dengan persen lihat daftar), kemudian clear 2x.
6. Alat akan menghitung secara otomatis dalam waktu yang relatif cepat hasil
akan keluar melalui printer.
d. Quality Control
Post Instrumentasi
Kelebihan :
2. Hasilnya cepat.
3. Akurat.
Kekurangan :
1. Mahal.
Analisa Gas Darah : Definisi, Pemeriksaan, Nilai Normal Analisa gas darah (AGD)
adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen
dan karbon dioksida dalam darah. AGD juga dapat digunakan untuk menentukan
tingkat keasaman atau pH darah. Sel-sel darah merah mengangkut oksigen dan
karbon dioksida yang juga dikenal sebagai gas darah ke seluruh tubuh. Saat darah
melewati paru-paru, oksigen masuk ke dalam darah sementara karbon dioksida
terlepas dari sel darah dan keluar ke paru-paru. Dengan demikian pemeriksaan
analisa gas darah dapat menentukan seberapa baik paru-paru dalam bekerja
memindahkan oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari
darah. Ketidakseimbangan antara oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH darah
dapat mengindikasikan adanya suatu penyakit atau kondisi medis tertentu. Sebagai
contoh pada gagal ginjal, gagal jantung, diabetes yang tidak terkontrol, pendarahan,
keracunan zat kimia, overdosis obat, dan syok. Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas
Darah Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari kadar
oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu dokter
menentukan seberapa baik paru-paru dan ginjal bekerja. Biasanya dokter
memerlukan tes analisa gas darah apabila menemukan gejala-gejala yang
menunjukkan bahwa seorang pasien mengalamai ketidakseimbangan oksigen,
karbon dioksida, atau pH darah. Gejala yang dimaksud meliputi: Sesak napas Sulit
bernafas Kebingungan Mual Perlu diingat bahwa ini merupakan gejala dari suatu
penyakit yang menyebabkannya seperti pada asma dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Di sisi lain, apabila dokter sudah mencurigai adanya penyakit, maka
pemeriksaan analisa gas darah juga akan diperlukan, seperti pada kondisi-kondisi di
bawah ini: Penyakit paru-paru, misalnya asma, PPOK, pneumonia, dan lain-lain.
Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal. Penyakit metabolik, misalnya diabetes melitus
atau kencing manis Cedera kepala atau leher yang mempengaruhi pernapasan
Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk menentukan penyakit, dokter juga
bisa memantau hasil perawatan yang sebelumnya diterapkan kepada pasien. Untukk
tujuan ini, pemeriksaan AGD sering dipesan bersama dengan tes lain, seperti tes
glukosa darah untuk memeriksa kadar gula darah dan tes darah kreatinin untuk
mengevaluasi fungsi ginjal. Prosedur Pemeriksaan AGD Pada pemeriksaan ini
diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari pembuluh darah arteri yang ada di
pergelangan tangan, lengan, atau pangkal paha. Oleh sebab itu prosedur ini disebut
juga dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Dokter atau petugas lab pertama-
tama akan mensterilkan tempat suntikan dengan cairan antiseptik. Setelah mereka
menemukan arteri, mereka akan memasukkan jarum ke dalam arteri dan mengambil
darah. Mungkin Anda akan sedikit merasakan sakit saat jarum suntik masuk ke
dalam kulit, tapi tentu ini tidak begitu menyakitkan. Setelah dirasa cukup, kemudian
jarum dicabut, dan luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel darah kemudian
akan dianalisa oleh mesin portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel
darah harus dianalisis dalam waktu 10 menit dari waktu pengambilan untuk
memastikan hasil tes yang akurat. Nilai Normal Analisa Gas Darah Hasil analisa gas
darah dapat membantu dokter mendiagnosa berbagai penyakit atau menentukan
seberapa baik perawatan yang telah diterapkan, hasil akan akan didapat meliputi: pH
darah arteri, menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah. pH kurang dari 7,0
disebut asam, dan lebih besar pH dari 7,0 disebut basa, atau alkali. Ketika pH darah
menunjukkan bahwa darah lebih asam, maka hal ini terjadi akibat kadar karbon
dioksida yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika pH darah tinggi yang menunjukkan
bahwa darah lebih basa, maka hal ini terjadi akibat kadar bikarbonat yang lebih
tinggi. Bikarbonat adalah bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi
terlalu asam atau terlalu basa. Tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan
oksigen terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa baik oksigen bisa
mengalir dari paru-paru ke dalam darah. Tekanan parsial karbon dioksida adalah
ukuran tekanan karbon dioksida terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa
baik karbon dioksida dapat mengalir keluar dari tubuh. Saturasi oksigen adalah
ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dalam sel darah merah.
Secara umum, nilai normal analisa gas darah adalah sebagai berikut: pH darah
normal (arteri): 7,38-7,42 Bikarbonat (HCO3): 22-28 miliekuivalen per liter Tekanan
parsial oksigen: 75 sampai 100 mm Hg Tekanan parsial karbon dioksida (pCO2): 38-
42 mm Hg Saturasi oksigen: 94 sampai 100 persen. Adapun hasil abnormal dapat
menjadi tanda dari kondisi medis tertentu, sebagai berikut: pH darah: < 7,4,
Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah => Asidosis Metabolik, contohnya pada gagal
ginjal, syok, dan ketoasidosis diabetik (KAD). pH darah: < 7,4, Bikarbonat: Tinggi,
pCO2: Tinggi => Asidosis Respiratorik, contohnya pada penyakit paru-paru,
termasuk pneumonia atau PPOK. pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Tinggi, pCO2: Tinggi
=> Alkalosis Metabolik, contohnya pada muntah kronis, kalium darah rendah
(hipokalemia). pH darah: > 7,4, Bikarbonat: Rendah, pCO2: Rendah =>
Alkalosis Respiratorik, contohnya pada Bernapas terlalu cepat, rasa sakit, atau
kecemasan. Cara mudah membaca hasil analisa gas darah (AGD): Jika pH darah
rendah (asidosis), maka perhatikan nilai pCO2, jika tinggi berarti respiratorik dan jika
rendah berarti metabolik. Jika pH darah tinggi (alkalosis), maka perhatikan nilai
bikarbonat, jika tinggi berarti metabolik dan jika rendah berarti respiratorik. Rentang
normal dan abnormal dapat bervariasi tergantung pada lab karena beberapa
menggunakan pengukuran atau metode yang berbeda untuk menganalisa sampel
darah. Anda harus selalu bertanya dengan dokter untuk mendiskusikan hasil tes
AGD secara lebih rinci. Dokter akan dapat memberitahu Anda jika ternyata masih
dibutuhkan pemeriksaan lain selain analisa gas darah untuk memastikan penyakit
atau pemantauan terapi.
Bersumber dari: Analisa Gas Darah : Definisi, Pemeriksaan, Nilai Normal | Mediskus
Definisi
Arteri Puncture adalah suatu metode pengambilan darah yang melalui pembuluh
darah arteri. Pengambilan darah arteri melalui pungsi untuk memeriksa gas-gas dalam darah
yang berhubungan dengan fungsi respirasi dan metabolisme.
Tujuannya:
Kontra Indikasi:
Pengambilan darah arteri tidak dilakukan pada pasien yang sedang menjalani terapi
koagulan, dan pasien dengan riwayat gangguan pembekuan darah.
Lokasi:
1. Arteri Radialis, merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk fungsi
arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem, juga apabila Allen test
negatif.
2. Arteri Dorsalis Pedis, merupakan pilihan kedua.
3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya bila terjadi
obstruksi pembuluh darah.
4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri di atas tidak
dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat aliran darah
ke seluruh tubuh atau tungkai bawah dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan
kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat
terjadi pencampuran antara darah vena dan arteri.
Cara Kerja:
1. Siapkan peralatan di tempat atau ruangan dimana akan dilakukan sampling.
2. Pilih bagian arteri radialis.
3. Pasang tali pembendung (tourniquet) jika diperlukan.
4. Lakukan palpasi (perabaan) dengan jari tangan untuk memastikan letak arteri.
5. Desinfeksi kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70%, biarkan kering. Kulit
yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
6. Tekan bagian arteri yang akan ditusuk dengan dua jari tangan lalu tusukkan jarum di
samping bawah jari telunjuk dengan posisi jaum tegak atau agak miring. Jika tusukan
berhasil darah terlihat memasuki spuit dan mendorong torak ke atas.
7. Setelah tercapai volume darah yang dikehendaki, lepaskan atau tarik jarum dan segera
letakkan kapas pada tempat tusukkan lalu tekan kapas kuat-kuat selama kurang lebih
2 menit. Pasang plester pada bagian ini selama 15 menit.
Persiapan Pasien:
Antikoagulan
Komplikasi
Agar dapat diperoleh spesimen darah yang syarat uji laboratorium, maka pengambilan
sampel darah harus dilakukan dengan benar, mulai dari persiapan, pemilihan jenis koagulan,
pemilihan letak vena, tekhnik pengambilan sampai dengan pelabelan sampel.
Pengambilan sampel tidak boleh dilakukan pada lengan yang terpasang infus, jika
salah satu lengan terpasang infus maka pengambilan harus dilakukan pada lengan yang lain
yang tidak terpasang infus. Jika kedua lengan terpasang infus dilakukan pengambilan pada
vena kaki.
Darah vena diperoleh dengan jalan pungsi vena. Jarum yang digunakan untuk
menembus vena itu hendaknya cukup besar, sedangkan ujungnya harus runcing, tajam dan
lurus. Dianjurkan untuk memakai jarum dan spuit yang dispossible; spuit semacam itu
biasanya dibuat dari semacam plastik. Baik spuit maupun jarum hendaknya dibuang setelah
dipakai, janganlah disterilkan lagi guna pemakaian berulang.
Prinsip: Darah vena diambil dengan cara melakukan penusukan pada pembuluh darah vena,
darah akan masuk pada ujung spuit, dilanjutkan dengan menarik torak atau piston sampai
volume darah yang dikehendaki.
Lokalisasi:
Vena yang cukup besar dan letaknya superficial. Pada orang dewasa biasanya vena
difosa cubiti sedangkan pada anak-anak dan bayi diambil pada: Vena Jugularis Externa, Vena
Femolaris (paha), Vena Sinus Sagitalis Superior (kepala).
Prosedur Kerja:
sampai ujung jarum masuk lumen vena yang ditandai dengan berkurangnya tekanan
dan masuknya darah ke ujung spuit.
Holder ditarik perlahan-lahan sampai volume darah yang diinginkan.
Torniquet dilepas, kapas diletakkan di atas jarum dan ditekan sedikit dengan jari kiri,
kemudian jarum ditarik.
Pasien diinstruksikan untuk menekan kapas selama 1 - 2 menit dan setelah itu bekas
luka tusukan diberi plester.
Jarum ditutup lalu dilepaskan dari spuitnya, darah dimasukkan ke dalam botol atau
tabung penampung melalui dinding secara perlahan. Bila menggunakan antikoagulan,
secara perlahan-lahan dicampur.
1. Lepas tutup jarum secara perlahan, jangan sampai ujung jarum menyentuh tutupnya,
sebab jarum dapat tumpul.
2. Pada Vacutainer pemasangan tabung vakum pada holder harus kuat, dengan cara ibu
jari kanan mendorong tabung sedangkan jari telunjuk dan jari tengah kanan tertumpu
pada kedua sisi holder, ibu jari tangan kiri memegang holder dengan sedikit menekan
agar holder tidak bergerak.
3. Pasien yang takut harus ditenangkan dengan memberi penjelasan mengenai apa yang
akan dilakukan, maksud beserta tujuannya.
4. Vena yang kecil terlihat sebagai garis-garis biru sukar digunakan.
5. Untuk vena yang tidak dapat ditentukan karena letaknya yang dalam, usaha coba-coba
dilarang untuk dilakukan.
6. Pembendungan yang terlalu lama jangan dilakukan karena dapat mengakibatkan
hemokonsentrasi setempat.
7. Hematome, yaitu keluarnya darah di bawah kulit dalam jaringan pada kulit di sekitar
tusukkan akan terlihat berwarna biru dan terasa nyeri, perintahkan pasien untuk
mengompresnya dengan air hangat beberapa menit atau beberapa hari sampai sakitnya
hilang.
CARAN
BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh sebagian besar terdiri dari air. Air dan zat-zat yang terkandung didalamnya
yang terdapat didalam tubuh disebut juga cairan tubuh berfungsi menjadi
pengangkut zat makanan ke seluruh sel tubuh dan mengeluarkan bahan sisa dari
hasil metabolisme sel untuk menunjang berlangsungnya kehidupan. Jumlah cairan
tubuh berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya
lemak tubuh.
Tubuh kita terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat padat
seperti protein, lemak, dan mineral. Proporsi cairan tubuh menurun dengan
pertambahan usia, dan pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita
memiliki lebih banyak lemak disbanding pria, dan lemak mengandung sedikit air.
Sementara neonatus atau bayi sangat rentan terhadap kehilangan air karena
memiliki kandungan air yang paling tinggi dibandingkan dengan dewasa. Kandungan
air pada bayi lahir sekitar 75 % berat badan, usia 1 bulan 65 %, dewasa pria 60 %,
dan wanita 50 %.
Zat-zat yang terkandung dalam cairan tubuh antara lain adalah air, elektrolit, trace
element, vitamin, dan nutrien-nutrien lain seperti protein, karbohidrat, dan lemak.
Dengan makan dan minum maka tubuh kita akan tercukupi akan kebutuhan nutrient-
nutrien tersebut.
Air dan elektrolit yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam
dengan jumlah yang kira-kira sama melalui urin, feses, keringat, dan pernafasan.
Tubuh kita memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau memelihara
keseimbangan ini yang dikenal dengan homeostasis.
Namum demikian, terapi cairan parenteral dibutuhkan jika asupan melalui oral tidak
memadai atau tidak dapat mencukupi. Sebagai contoh pada pasien koma, anoreksia
berat, perdarahan banyak, syok hipovolemik, mual muntah yang hebat, atau pada
keadaan dimana pasien harus puasa lama karena akan dilakukan pembedahan.
Selain itu dalam keadaan tertentu, terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan
untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau untuk menjaga
keseimbangan asam-basa.
Dengan demikian, secara garis besar tujuan dari terapi cairan adalah :
2. Dukungan nutrisi
3. Akses intravena
4. Mengatasi syok
BAB II
Enam puluh persen dari berat tubuh kita adalah air. Cairan tubuh dipisahkan oleh
membran sel sehingga ada yang terdapat di dalam sel (intraseluler) yang berjumlah
40 % dan ada yang terdapat diluar sel (ekstraseluler) yang berjumlah 20 %. Cairan
ekstraseluler terdiri atas cairan interstitial yaitu cairan yang berada di ruang antar sel
berjumlah 15 % dan plasma darah yang hanya berjumlah 5 %. Selain itu juga dikenal
cairan antar sel khusus disebut cairan transeluler misalnya, cairan cerebrospinal,
cairan persendian, cairan peritoneum, cairan pleura, dan lain-lain.
Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat elektrolit dan non elektrolit seperti protein dan
glukosa yang mempunyai berat molekul yang berbeda. Air, elektrolit, dan asam
amino bisa melintasi membran sel dengan mudah karena berat molekulnya yang
rendah, sementara makromolekul seperti protein plasma tidak bisa melintasi dinding
kapiler.
Baik cairan intraseluler maupun ekstraseluler memainkan peranan penting dalam
mendukung kehidupan. Cairan intraseluler terlibat dalam proses metabolik yang
menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan tubuh,
sementara cairan ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi,
mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik.
Kadar elektrolit intrasel dan ekstrasel berbeda karena terdapat membran sel yang
mengatur transport elektrolit. Cairan intraseluler terutama mengandung elektrolit
berupa ion-ion kalium (K+), magnesium (Mg++), dan Fosfat (HPO4-2). Cairan
ekstraseluler mengandung terutama natrium (Na +) dan klorida (Cl-).
Tiap organ didalam tubuh tidak memiliki kandungan air yang sama. Organ yang
paling banyak kandungan airnya adalah otak diikuti ginjal, otot lurik, kulit, hati, tulang,
dan lemak.
Natrium merupakan kation terpenting dalam tubuh dan terutama terdapat pada
cairan ekstraseluler. Eksresi air hampir selalu disertai dengan eksresi natrium baik
lewat urin, tinja, atau keringat, karena itu terapi dehidrasi selalu diberikan cairan infus
yang mengandung natrium.
Peran Kalium
Kadar normal kalium dalam serum adalah 3-5 mEq/L. Hipokalemi menyebabkan
keletihan otot, lemas, ileus paralitik, kembung, gangguan irama jantung. Sedangkan
hiperkalemi dapat menyebabkan aritmia, tetani, dan kejang.
Kalium memiliki pengaruh kuat terhadap jantung dan ginjal, maka pemberiannya
harus hati-hati pada pasien dengan kelainan jantung dan ginjal.
Pada orang sehat asupan dan pengeluaran air seimbang. Bila terjadi gangguan
keseimbangan maka mungkin diperlukan koreksi dengan nutrisi parenteral.
Asupan air dan makanan rata-rata adalah sekitar 2000 ml, dan kira-kira 200 ml air
metabolik berasal dari metabolisme nutrien di dalam tubuh. Air dieksresikan dalam
urin dan melalui penguapan yang tidak disadari. Jumlah eksresi urin sekitar 1300
ml/hari, sedangkan melalui penguapan yang tidak disadari (insensible evaporation)
sekitar 900 ml/hari.
Maka pada pasien yang tidak dapat memperoleh makanan melalui oral
memerlukan volume infus per hari yang setara dengan kehilangan air dari tubuh per
hari, yaitu :
Dengan perhitungan yang lebih akurat lagi dapat dicari :
Na : 2 mEq/kg/hr3
K : 1 mEq/kg/hr3
Na : 3 Meq/kg/hr2
K : 2,5 Meq/kg/hr2
Hiperventilasi
Aktivitas ekstrim
BAB III
Pergerakan air dalam tubuh diatur oleh tekanan osmotik. Tekanan osmotik
mencegah perembesan atau difusi cairan melalui membrane semipermeabel ke
dalam cairan yang memiliki konsentrasi lebih tinggi. Tekanan osmotik plasma ialah
280-290 mOsm/L. Larutan isotonik, yaitu larutan yang memiliki tekanan osmotik
sesuai plasma adalah NaCl 0,96 %, Dextrosa 5 %, dan Ringer laktat, larutan
hipotonik misalnya aquades, dan larutan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi
dari plasma disebut larutan hipertonik misalnya infus dengan tekanan osmotik lebih
tinggi dari plasma. Makin banyak partikel termasuk ion-ion yang dikandung larutan,
makin tinggi tekanan osmotiknya. Larutan infus memliki tekanan osmotik karena
mengandung zat-zat elektrolit. Air dari larutan infus tersebar diseluruh tubuh sesuai
dengan perbedaan tekanan osmotik dalam cairan tubuh.
Jika cairan ekstrasel mempunyai tekanan osmotik yang lebih tinggi dari intrasel
maka akan terjadi krenasi atau pengerutan sel karena air dari dalam sel keluar
menuju ke tekanan yang lebih tinggi sehingga dapat terjadi dehidrasi sel. Sebaliknya
jika cairan ekstrasel tekanan osmotiknya lebih rendah dari intrasel maka akan terjadi
pembengkakan sel, dan jika pembengkakan sel ini berlebihan dapat mengakibatkan
sel menjadi lisis.
BAB IV
Dehidrasi
Adalah keadaan dimana kurangnya cairan tubuh dari jumlah normal akibat
kehilangan cairan, asupan yang tidak mencukupi atau kombinasi keduanya.
Dehidrasi hipotonik
Dehidrasi isotonik
o Na dan osmolaritas serum normal
Dehidrasi hipertonik
Hipokloremi
Hipokalemi
Alkalosis metabolic
TERAPI CAIRAN
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena.
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan.
Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar.
Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline
(NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60
menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit.
Larutan plasma ekspander dapat diberikan pada luka bakar, peningkatan sirkulasi
kapiler seperti MCI, syok kardiogenik, hemoragik atau syok septik. Koloid dapat
berupa gelatin (hemaksel, gelafunin, gelafusin), polimer dextrose (dextran 40,
dextran 70), atau turunan kanji (haes, ekspafusin)
24 jam pertama :
1/2 dosis diberikan 8 jam pertama, 1/2 dosis berikut 16 jam kemudian
Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa
4. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah > 200 mg%
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat
atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga
mengendung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's
dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat
adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan
mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian.
BAB VI
Teknik pemberian
Pemakaian jarum anti karat atau kateter plastik anti trombogenik vena perifer
sebaiknya diganti tiap 1-3 hari. Pemberian cairan secara sentral, yaitu melalui vena-
vena yang dekat dengan atrium kanan seperti vena subklavia, jugularis eksterna
dan interna.
Komplikasi pemberian
Sistemik :
Kelainan elektrolit
Ketidakseimbangan asam-basa
KESIMPULAN
Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh ini
didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam
metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan.
Cairan tubuh terdistribusi dalam ekstrasel dan intrasel yang dibatasi membran sel.
Adanya tekanan osmotik yang isotonik menjaga difusi cairan keluar sel atau masuk
ke dalam sel.
Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan
pasien, serta cairan infus itu sendiri. Pemberian infus yang tidak sesuai untuk
keadaan tertentu akan sia-sia dan tidak bisa menolong pasien.
DAFTAR PUSTAKA