You are on page 1of 9

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

A. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal konstitusi agar
dilaksanakan oleh ketentuan di bawahnya, MK adalah lembaga yang menyelenggarakan
peradilan konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court).
Hal itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi wewenang MK
adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang menyangkut konsistensi pelaksanaan
norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri. Walaupun
terdapat ketentuan undang-undang yang berlaku dan mengatur bagaimana MK menjalankan
wewenangnya, jika undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi MK dapat
mengesampingkan atau bahkan membatalkannya jika dimohonkan.1[1]

B. Latar Belakang Dibentuknya Mahkamah Konstitusi


Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI
Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu
diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof.
Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang
kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah
sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.2[2]
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK mendapat respon positif dan menjadi
salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses
pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide MK menjadi kenyataan
dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan
Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua pasal
tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara
pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.3[3]
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

3
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24C UUD 1945 menyatakan:


(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.4[4]
Sesuai ketentuan UUD 1945 tersebut, MK mempunyai wewenang sebagai berikut.
a. Menguji undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 yang menjadi bagian dalam Perubahan Keempat
(tahun 2002), dinyatakan bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk pada tanggal 17
Agustus 2003. Sebelum MK terbentuk, segala kewenangannya dilakukan oleh MA. Terkait
dengan ini, sejak disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 yang mengesahkan Pasal III
Aturan Peralihan UUD 1945 (11 Agustus 2002), sampai terbentuknya MK pada tanggal 13
Agustus 2003, MA telah menerima 14 perkara yang menjadi wewenang MK. Namun sampai
berlangsungnya pengalihan perkara dari MA ke MK pada tanggal 15 Oktober 2003, tidak ada
satu pun perkara yang masuk tersebut telah diputus oleh MA5[5].
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR
membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal
13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal 13 Agustus 2003

5
inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan setiap tanggal
13 Agustus ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK6[6].

C. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


1. Ius Curia Novit
Asas Ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya.7[7]
2. Persidangan Terbuka Untuk Umum
Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas
yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh
undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang
MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.8[8]
3. Independen dan Imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara obyektif serta memutus dengan adil,
hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga
dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau
imparsial.
4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan murah dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan
itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya
mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan
berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka
hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan
hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.
5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-
pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara
perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki
kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk perkara pengujian undang-undang,
selain pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan pemerintah sebagai pembentuk
undangundang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang
berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan
diberi kesempatan menyampaikan keterangannya.
6. Hakim aktif dalam persidangan
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum
dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali
keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan

8
inquisitorial) Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi
dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK. Hakim konstitusi
juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.

7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa)


Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum
sampai ada pembatalannya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk
hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan.

9
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
[1]
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2010, hlm. 13.
10
[2] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan, http://Jimly.com,
acces 18 Desember 2013.
11
[3] Ibid.
12
[4] Pasal 24C UUD 1945.
13
[5] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., acces 18 Desember 2013.
14
[6] Ibid.
15
[7] Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
16
[8] Pasal 40 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003.

10

11

12

13

14

15

16
SEKILAS TENTANG HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Created By : SURIYADI

Mahkamah konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem


ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama dengan mahkamah agung. Hari lahir Mahkamah konstitusi sendiri yaitu
pada tanggal 13 agustus 2003 dan MK sendiri diatur dalam Pasal 24C Undang-
Undang Dasar NRI dan Undang Undang nomor 24 tahun 2003 mengenai Mahkamah
konstitusi.
Yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI
1945/ Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK yakni ?

Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Memutus Sengketa kewenangan antara lembaga Negara yang kewenangannya


diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Memutus sengketa hasil Pemilihan umum

Memutus Pembubaran Partai Politik

Memberikan Putusan terhadap usulan DPR terhadap dugaan pelanggaran yang


dilakukan oleh kepala negara dan wakil kepala negara

Asas-Asas Umum Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum : Pasal 40 ayat (1) UU MK Sidang


Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan
hakim

Asas Independen dan Imparsial : Kemandirian hakim yang berkaitan erat


dengan sikap imparsialitas yaitu tidak memihak baik dalam pemeriksaan
maupun dalam pengambilan keputusan. Merupakan pencerminan dari Pasal 2
UU MK dan Pasal 33 UU No 4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kemandirian ini dilihat dari segi : (Fungsional ,Lembaga,Personal)
Asas Peradilan cepat, sederhana dan murah : Pasal 4 ayat (2) No 4 / 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan
dengan acara yang efisien dan efektif tanpa mengorbankan ketelitian dalam
mencari kebenaran dan keadilan.Semua biaya yang menyangkut persidanga
di Mahkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara.

Asas Audi et alteram partem : Hak yang sama untuk didengar


keterangannya secara berimbangMasing-masing pihak mempunyai
kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil
masing-masing. Semua harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi
jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang dapat membuat jelas
permasalahan.

Asas Hakim aktif juga pasif dalam proses persidangan : Mekanisme


constitutional control digerakan oleh pemohon dengan satu permohonan dan
dalam hal demikian hakim bersifat pasif, tidak boleh secara aktif melakukan
inisiatif untuk menggerakan mekanisme. Mahkamah Konstitusi tidak dapat
memeriksa perkara tanpa adanya permohonan ,Hakim harus aktif menggali
data dan keterangan yang diperlukan bahkan dengan menyelidiki melalui
risalah pembahasan Undang-undang tersebut sesuai dengan apa yang
dikemukakan dalam Pasal 11 UU MK .

Asas Ius Curia Novit : Pasal 16 ayat (1) No 4 / 2004 tentang Kekuasaan
KehakimanPengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Asas Putusan Final : Dengan asas ini Mahkamah Konstitusi berwenang


mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
(Pasal 10 Undang-undang Mahkamah Konstitusi)

Asas Praduga Recthmatig : Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan akhir


dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan
serta tidak berlaku surut. Akibat putusan hakim tersebut adalah ex nunc,
yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Hal ini adalah pencerminan
pasal 58 UU MK .

Asas Pembuktian bebas : Hakim Konstitusi bebas dalam menentukan apa


yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian atau
sah tidaknya alat bukti berdasarkan keyakinannya. Hakim Konstitusi dapat
leluasa untuk menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong
baru dikenal dalam kelaziman Hukum Acara, misalnya alat bukti berupa
rekaman video kaset.

Asas erga omnes : Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang


mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapa pun. Putusannya langsung
dapat dilaksanakan dan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang
berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Ketentuan
ini mencerminkan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya
publik, maka berlaku pada siapa saja tidak hanya para pihak yang
berperkara.

Asas Objektivitas : Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terkait hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri
meskipun telah bercerai dengan para pihak.

Asas sosialisasi : MK mengirimkan putusannya pada pihak-pihak terkait selain


itu juga masyarakat dapat mengakses melalui internet dan media massa. Hal
ini sebagai pelaksanaan Pasal 14 UU MK yang menyatakan bahwa
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah
Konstitusi .

Sumber Hukum Acara MK :


Sumber Langsung :

UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK

Peraturan MK

Yurisprudensi MK RI

Sumber Tidak Langsung

UU Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Hukum
Acara Pidana Indonesia

Pendapat sarjana (doktrin)

Hukum Acara dan yurisprudensi MK negara lain

Masalah Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar :

Pasal 51 ayat (3) UU MK :

Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib


menguraikan dengan jelas bahwa:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pengujian Materil Pengujian terhadap materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian tertentu

Pengujian Formil Pengujian terhadap :

Appropriate form

Appropriate institution

Appropriate procedure

Pemberlakuannya

Ex : UU No. 45 / 1999 Tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yang dinyatakan


bertentangan karena masih berlaku setelah adanya UU No.21 / 2001 Tentang
Otonomi Khusus Papua.

Masalah Sengketa Kewenanan Antar Lembaga Negara :

Objeknya adalah kewenagan dari lembaga negara yang memperoleh


kewenangan menurut UUD.

UUD 1945 tidak memberi batasan pengertian lembaga negara sehingga menurut
Jimly semua lembaga negara yang terdapat dalam UUD dasar dapat menjadi pihak
dan kewenangannya dapat menjadi objek sengketa.

Terdapat pengecualian yaitu pada MA, yang tidak dapat menjadi pihak perkara
dalam kasus sengketa kewenangan antar lembaga negara sesuai pasal 65 UU MK.

Pembubara Partai Politik :

Alasan sebuah parpol dibubarkan adalah Pertentangan Ideologi, Asas, Tujuan,


Program dan Kegiatan parpol Terhadap UUD 1945.

Pihak yang mengajukan adalah pemerintah wajib menguraikan mengenai hal diatas
(Psl 68 UU MK).

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum :

Menyangkut penetapan hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh KPU yang
mempengaruhi angaka perolehan suara terhadap anggota DPD, DPR, DPRD atau
mempengaruhi langkah calon Presiden dan wakil Presiden ke putaran berikutnya
atau menjadi Presiden dan wakil Presiden

Jadi harus benar-benar mempengaruhi {Psl 74 (2) UUMK } :

a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.

b. Penentuan pasangan calon Presiden dan wapres yang masuk putaran kedua serta
terpilihnya Presiden dan wapres.

c. Perolehan kursi parpol peserta pemilu.

Permohonan menunjukan 2 hal pokok yaitu (Psl 75 UU MK ) :

a. Adanya kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh KPU

b. Hasil perhitungan yang benar menurut pemohon

Yang dapat menjadi Pemohon adalah {Psl 74 (1) UU MK} :

Perorangan WNI peserta pemilu (calon anggota DPD)

Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden peserta pemilu

Parpol peserta pemilu

Memberikan Putusan Atas Pendapat DPR Atas Dugaan Terjadinya Pelanggaran Oleh
Presiden Dan Wakil Presiden :

Objeknya adalah dugaan DPR bukan presiden dan / atau wapres

Lihat pasal 24 C (2) UUD 1945 Jo Psl 10 (2) dan dirinci lebih lanjut dalam psl 10 (3)
UU MK

You might also like