You are on page 1of 22

Referat

MORBUS HANSEN

Oleh:
Mohd Quarratul Aiman, S.Ked
04054821517144

Pembimbing:
Dr.Fifa Argentina, Sp.KK

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Referat

Morbus Hansen

Oleh:
Mohd Quarratul Aiman, S.Ked
04054821517144

Pembimbing:
Dr.Fifa Argentina, Sp.KK

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 10 April 2017
26 April 2017.

Palembang, 28 April 2017

Dr.Fifa Argentina, Sp.KK

MORBUS HANSEN
Mohd Quarratul Aiman Bin Ishak, S.Ked
Pembimbing Dr.Fifa Argentina, Sp.KK
Bagian / Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RS Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (MH) adalah penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang terutama menyerang saraf perifer dan kulit, namun dapat
mengenai organ atau jaringan lain seperti mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang,
sendi, dan testis kecuali sistem saraf pusat.1 Tanda kardinal MH berupa bercak hipopigmentasi atau
eritem mendatar atau meninggi yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukan kuman tahan
asam. Untuk menegakkan diagnosis MH, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila
tidak atau belum dapat ditemukan, maka hanya dapat dikatakan tersangka MH dan penderita perlu
diamati lalu diperiksa ulang 3-6 bulan sampai diagnosis MH dapat ditegakkan atau disingkirkan.1
Menurut WHO, jumlah penderita MH baru di dunia pada tahun 2012 adalah kisaran 232.857
orang dan di Indonesia 22.390 orang. Jumlah kasus penderita MH di Kota Palembang yang terdata
oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2008-2012 sebanyak 170 kasus. Penyakit MH
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Deformitas sebagai komplikasi MH
menyebabkan ketakutan bagi masyarakat.2 Walaupun pemerintah berhasil menurunkan angka
kesakitan MH menjadi lebih kecil sejak tahun 2000 tetapi kisaran 25-30 persen total penderita MH
cepat atau lambat memiliki kemungkinan untuk mengalami reaksi.3
Reaksi MH adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit, yang dianggap
sebagai suatu bagian dari komplikasi penyakit MH. Reaksi MH terbagi 3, yaitu reaksi MH tipe 1
atau reaksi reversal, reaksi MH tipe 2 atau eritem nodosum leprosum, dan fenomena lucio.1 Referat
ini akan membahas lebih lanjut mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari reaksi MH agar diagnosis dapat dibangun lebih
cepat sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan lebih dini untuk mencegah komplikasi.

ETIOLOGI
Mycobacterium leprae adalah kuman penyebab penyakit MH yang ditemukan oleh sarjana
dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk
batang dan ukuran 1-8 , lebar 0,2-0,5 , biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo. 5
Penyebab pasti reaksi MH belum diketahui jelas. Reaksi MH dapat timbul dengan didahului
oleh berbagai faktor, antara lain setelah penatalaksanaan anti MH yang spesifik, stres fisik,
kehamilan, dan infeksi rekuren.5

PATOGENESIS
Ridley dan Jopling membagi MH atas 5 tipe yaitu: tuberkuloid (TT), borderline tuberculoid
(BT), mid-borderline (BB), borderline lepromatous (BL), lepromatosa (LL). Bentuk TT dan LL
disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas stabil, sedangkan bentuk lain disebut bentuk
subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Menurut WHO, MH terbagi atas pausibasilar (PB) dan
multibasiler (MB). Pausibasiler adalah MH tipe indeterminate (I), TT dan sebagian besar BT
dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling. Multibasiler adalah MH tipe LL, BL, BB
dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling. 6 Pembagian reaksi MH menurut
hipersensitivitas terbagi 3, yaitu reaksi MH tipe 1 disebabkan hipersensitivitas seluler dan tipe 2
disebabkan hipersensitivitas humoral, reaksi tipe 3 atau fenomena lucio merupakan bentuk reaksi
MH tipe 2 yang lebih berat Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut5:

a. Tipe tuberkoloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau
cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.

b. Tipe borderline tubercoloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat
tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.

c. Tipe mid borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta.
Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula
infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

d. Tipe borderline lepromatosa


Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun
masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa
nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf
dapat teraba pada tempat predileksi.

e. Tipe lepromatosa (LL)


Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas
tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas,
yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian
badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada
stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi
kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih
lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis
yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul
baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan
histopatologik.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit
tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini
pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf
terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat kurang
kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul)
yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leomina (muka singa).

f. Reaksi Tipe 1
Reaksi MH tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction yaitu reaksi hipersensitivitas
tipe IV yang terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas penderita MH dan basil.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan
imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi MH tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara
imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Hasil reaksi dapat terjadi upgrading dan
downgrading, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid terjadi peningkatan imunitas selular
terjadi upgrading dan menuju ke arah bentuk lepromatosa untuk reaksi downgrading.7
Reaksi MH tipe 1 disebut reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai pada kasus yang
mendapat pengobatan. Reaksi downgrading lebih jarang dijumpai oleh karena hipersensitivitas
seluler terhadap antigen basil berjalan lebih lambat dan dijumpai pada kasus yang tidak mendapat
pengobatan.6,7

g. Reaksi Tipe 2
Reaksi tipe 2 atau ENL adalah reaksi humoral, dimana basil MH utuh maupun tidak utuh
menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks
imun terjadi antara antigen dan antibodi sehingga mengaktivasi komplemen. 2 Reaksi antigen-
antibodi atau yang biasa disebut kompleks imun ini terjadi antara lain di kulit berbentuk nodul yang
dikenal sebagai ENL, mata (iridosiklitis), sendi (artritis) dan saraf (neuritis) disertai gejala
konstitusi seperti demam dan malaise serta komplikasi pada organ tubuh lain.6,7
Penderita MH tipe lepromatosa memiliki sistem imun humoral yang tinggi, sehingga
membentuk titer antibodi yang tinggi terhadap antigen M. leprae. Konsentrasi relatif dari antigen
dan antibodi akan cukup untuk membentuk kompleks imun yang kemudian berdeposit di jaringan.
Pembentukan kompleks dapat berada di jaringan, dimana terdapat gradien konsentrasi dari antigen
yang berdifusi jauh dari kumpulan basil yang berdegenerasi atau dalam sirkulasi sehingga
menimbulkan gejala sistemik. Reaksi tipe 2 tidak terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, tetapi
terjadi pada akhir dari pengobatan karena basil telah menjadi granular.7

h. Fenomena Lucio
Reaksi MH tipe 3 dikenal dengan nama fenomena lucio. Reaksi ini adalah reaksi MH yang
sangat berat sehingga dapat terjadi ulseratif yang tidak layak, vaskulitis, terdapat makula hingga
plak yang disertai nyeri, terdapat jaringan nekrotik, bulu mata hilang, rambut menjadi rontok,
alopesia, dan bagian distal tubuh mengalami anestesi. Pada reaksi ini dapat timbul demam tinggi,
limfadenopati, splenomegali dengan limfopenia, anemia mikrositik, hipoalbuminemia, dan
hipokalsemia. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema,
proliferasi endotel pembuluh darah dan banyak basil M. leprae di endotel kapiler.5

GEJALA KLINIS
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam
tabel berikut:

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema
meninggi, infiltrate, plak Distribusi tidak simetris Distribusi lebih simetris
eritem, nocus)
Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang jelas Hilangnya sensasi kurang
(menyebabkan hilangnya jelas
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf
yang dipersarafi oleh Banyak cabang saraf
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Lepromatosa (LL),
Borderline tuberkuloid (BT) Borderline lepromatous
(BL), Mid borderline (BB)

Gejala Klinik Morbuds Hansen Pausibasilar

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate

Lesi
Tipe Macula atau macula Macula dibatasi Macula
dibatasi infiltrate infiltrat
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi Satu atau beberapa
satelit
Distribusi Terlokasi dan asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Dapat halus agak
berkilat
Sensibilitas hilang hilang Agak terganggu
BTA
Pada lesi kulit negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin* Positif kuat (3+) Positif (2+) Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.

Gejala Klinik Morbus-Hansen Multibasilar


Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline

Lesi
Tipe Macula, infiltrate difus, Macula, plak, papul Plak, lesi bentuk kubah,
papul, nodus lesi punched out
Jumlah Banyak distribusi luas, Banyak tapi kulit Beberapa, kulit sehat (+)
praktis tidak ada kulit sehat masih ada
sehat
Distribusi Simetris Cenderung simetris Asimetris
Permukaan Halus dan berkilap Halus dan berkilap Sedikit berkilap, beberapa
lesi kering
Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang Berkurang
BTA
Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Pada Banyak Biasanya tidak ada Tidak ada
hembusan
hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif

*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.
Perbedaan lepra tipe tuberculoid dan lepramatous :

(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di
Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di


Wajah

Reaksi MH tipe I
Reaksi MH tipe I terjadi pada penderita MH tipe PB dan MB, terutama pada 6 bulan
pertama pengobatan. Reaksi tipe I yang terjadi selama pengobatan diduga disebabkan
meningkatnya respon imun selular secara cepat terhadap kuman MH di kulit dan saraf
penderita. Penderita dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positif akan
menaikkan risiko reaksi tipe I. Reaksi tipe I merupakan masalah besar pada penyakit MH
karena dapat berpotensi menyebabkan kerusakan saraf dan hilangnya fungsi saraf. Meskipun
secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk MH yang subpolar, tetapi pada
bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi
borderline.1,4,5

11
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit (lesi
hipopigmentasi menjadi eritem, lesi makula menjadi infiltrat) maupun perubahan pada saraf
akibat peradangan yang terjadi dengan onset mendadak. Manifestasi klinis lesi pada kulit
dapat berupa warna kemerahan, bengkak, nyeri, panas, dan sering muncul lesi kulit yang baru
dengan waktu yang relatif singkat. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf.
Kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum penderita. Reaksi MH tipe I dapat berlangsung
6 hingga 12 pekan atau lebih.1 Secara garis besar gejala klinis dari reaksi MH tipe 1 dapat
dilihat pada tabel 1:

Tabel 1. Gejala klinis reaksi MH tipe 1.3

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat


Kulit - Lesi kulit yang telah ada menjadi - Lesi yang telah ada menjadi
lebih eritem eritem
- Nyeri - Terdapat lesi baru
- Makula membentuk plak - Nyeri sendi
Saraf - Membesar - Membesar
- Tidak ada nyeri tekan - Nyeri
- Fungsi tidak terganggu - Fungsi terganggu
- Berlangsung kurang dari 6 pekan - Berlangsung lebih dari
6 pekan

Gambar I. Gambaran reaksi MH tipe I.3

Reaksi MH tipe 2 (ENL)


Reaksi MH tipe 2 sering terjadi pada penderita MH tipe MB disebabkan tingginya
respons imun humoral penderita. Pada MH tipe MB, reaksi MH banyak terjadi setelah
pengobatan. Kompleks imun dapat beredar dalam sirkulasi darah dan mengendap pada organ
kulit, saraf, limfonodus dan testis. Diagnosis ENL diperoleh dengan pemeriksaan klinik
maupun histologi. 7

12
Gejala ENL bisa dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3, terdapat perubahan lesi kulit
berupa nodul kemerahan yang multipel, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, nodul
berukuran kecil, distribusi bilateral, dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah,
lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah
kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
dapat pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam, malaise, nyeri
sendi, nyeri otot dan mata, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan
komplikasi pada organ tubuh lain.1,7,8

Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. Lama perjalanan ENL dapat berlangsung
lebih dari 3 pekan.7 Gejala klinis dari reaksi MH tipe 2 dapat dilihat pada Tabel 2. Perbedaan
klinis reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Gejala klinis reaksi MH tipe 2.3


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Nodus sedikit dapat disertai ulserasi dan Nodus banyak


nyeri tekan, hilang sendiri 2-3 hari Nyeri
Dapat disertai ulserasi
Keadaan umum Demam ringan Demam tinggi
Malaise
Saraf tepi Saraf membesar Saraf membesar
Tidak nyeri Nyeri
Fungsi tidak terganggu.
Mata Nyeri, penurunan visus
Tidak ada gangguan
Testis Nyeri dan membesar

Gambar 2. Lesi
kulit pada ENL.3

13
Gambar 3. Lesi kulit berupa nodul pada ENL.3

Tabel 3. Perbedaan antara reaksi tipe 1 dan tipe 2.7


Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Spektrum Borderline (BT, BB, BL) Lepromatous (BL, LL)

Lesi kulit Eritem Banyak nodul baru yang


Edema timbul secara cepat
Gangguan saraf Sering dan berat Tidak terlalu berat

Sistem sistemik Demam


Tidak ada kelainan Malaise
Artralgia
Limfadenitis
Organ lain Tidak ada kelainan Iritis
Orkitis
Glomerulonefritis
Acid-fast bacilli Tidak ditemukan Basil yang telah mati

Laboratorium urin Urin rutin: normal Urin rutin: albuminuria

Patogenesis Hipersensitifitas tipe 4 Hipersensitifitas tipe 3 reaksi


antigen-antibodi dengan
peningkatan IgG,IgM, C2 dan
C3
Histopatologi Jumlah basil menurun dan Edema dengan infiltrasi
peningkatan jumlah limfosit netrofil
Vaskulitis

a. Reaksi MH tipe 3 (Fenomena Lucio)


Fenomena lucio merupakan reaksi MH yang sangat berat. Gambaran klinis berupa plak
atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama
di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritem
disertai purpura, dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.
Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.1,5,9
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, proliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam, dapat
ditemukan basil M.Leprae di endotel kapiler. Meskipun tidak ditemukan infiltrat
polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit

14
imonoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua penderita.6

Gambar 4.
Manifestasi klinis lesi kulit
penderita MH dengan fenomena lucio.3

DIAGNOSIS

Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi,


palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam
penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain.
Diagnosa bandingnya antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea,
ptiriasis alba, dermatitis seboroik, psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare,
xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark
(Kosasih, 2002).

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan
dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil
tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal.
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003).

15
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.
fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis,
dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti
tempat lesinya.

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh granuloma yang
terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan
saraf:

1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua
otot lumbrikalis medial

2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi


wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)

7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Pemeriksaan penunjang

16
1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan


pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara
lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan
ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi
lain yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif).

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung
basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (Kosasih, 2002).

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi
hari yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan
mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas.
Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik
dan M. leprae tidak pernah positif jika pada kulit negatif.

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk
mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangpandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP,
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100
BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000
BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata
semua lesi yang dibuat sediaan.

2. Pemeriksaan histopatologik

17
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem
imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran


histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jarinagnnya tidak patologik (Kosasih, 2002).

3. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.
leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD
serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-
macam pemeriksaan serologik kusta ialah:

Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA

ML dipstick (M. leprae dipstick)

PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan reaksi MH yaitu mengatasi neuritis untuk mencegah terjadinya


paralisis dan kontraktur, mencegah kebutaan bila mengenai mata, membunuh kuman
penyebab agar penyakitnya tidak meluas dan mengatasi nyeri.4 Penatalaksanaan reaksi MH
meliputi pemberian obat anti reaksi, istirahat atau imobilisasi, pemberian analgetik dan

18
sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, dan obat anti MH diteruskan.4
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti MH dosis penuh
harus tetap diberikan untuk membunuh kuman agar penyakitnya tidak meluas, mencegah
timbulnya resistensi, dan dengan menghentikan obat-obat anti MH saat pengobatan reaksi
akan menimbulkan reaksi pada waktu obat anti MH tersebut diberikan kembali.4.5
a. Reaksi Ringan
Nonmedikamentosa
Penatalaksanaan reaksi MH yang ringan dapat diberikan terapi nonmedikamentosa
seperti istirahat, imobilisasi dan berobat jalan.1,4,5
Medikamentosa
- Aspirin: Obat terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri dan sebagai anti inflamasi.
Dosis yang dianjurkan antara 600-1200 mg diberikan setiap 4 sampai 6 jam.
- Klorokuin: Kombinasi aspirin dan klorokuin dikatakan lebih baik dibandingkan
pemberian tunggal. Dosis diberikan 3 kali 150 mg/hari. Efek toksik pada penggunaan
jangka panjang dapat berupa ruam pada kulit, fotosensitif serta gangguan
gastrointestinal, penglihatan dan pendengaran.
- Antimon: Stibophen berisi 8,5 mg antimon /ml. Dosis yang dianjurkan 2-3 ml diberikan
secara selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. Digunakan pada reaksi tipe 2
yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Efek samping antimon
berupa ruam pada kulit, bradikardi, dan hipotensi. Saat ini jarang dipakai karena kurang
efektif dan lebih toksik daripada kortikosteroid, talidomid, dan klofazimin.
- Talidomid: Obat talidomid digunakan untuk mengatasi reaksi tipe 2 agar dapat
melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid. Dosis yang diberikan mula-mula 400
mg/hari sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50
mg/hari. Tidak dianjurkan diberikan kepada wanita usia subur. 4,5

b. Reaksi Berat
Penderita MH dengan reaksi MH berat harus segera di rujuk ke rumah sakit untuk
perawatan jika menemukan penderita reaksi MH yang berat baik tipe 1 ataupun tipe 2.
Reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2
dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid sendiri-sendiri atau
kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan reaksi MH sangat
bervariasi, sehingga belum ada dosis baku. Cara pemberian kortikosteroid adalah
sebagai berikut: 4,5
- Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang

19
- Gunakan prednison atau prednisolon
- Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari
- Dosis diturunkan setelah terjadi respons maksimal
- Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10 mg/ 2
minggu, sebagai berikut:
o 2 minggu I: 30 mg/hr
o 2 minggu II: 20 mg/hr
o 2 minggu III: 15 mg/hr
o 2 minggu IV: 10 mg/hr
o 2 minggu V: 5 mg/hr

c. Fenomena lucio
Penderita fenomena lucio yang belum pernah mendapat obat anti MH diberikan
rifampisin sebagai obat utama. Pemberian obat anti MH sama seperti pada pengobatan ENL.
Pemberian talidomid dan klofazimin tidak efektif diberikan pada penderita fenomena lucio. 4,5

KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita dengan reaksi MH adalah cacat. Infeksi
pada saraf perifer adalah bagian penting dari penyakit MH, tetapi kerusakan permanen saraf
bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari yang diakibatkan oleh infeksi tersebut
dan kerusakan ginjal. Selama reaksi ENL komplikasi juga dapat terjadi pada mata termasuk
lagoftalmus, episkleritis, uveitis, keratitis, iridosiklitis, secondary glaucoma, dan kebutaan.
4,8,10

PROGNOSIS

Pada kasus reaksi ringan, dapat sembuh dalam beberapa bulan. Sedangkan pada reaksi
berat, sembuh dalam waktu yang lebih lama. Semakin cepat penatalaksanaan maka semakin
baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan ditatalaksana akan menimbulkan kecacatan
pada sistem saraf tepi yang terkena. 7,11

KESIMPULAN
Reaksi MH mengambarkan keadaan eksaserbasi pada perjalanan MH kronis. Reaksi
MH dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan. Pada reaksi tipe I dapat terjadi
perubahan derajat imunitas seluler dimana penyakit MH mengalami pergeseran tipe ke arah

20
tuberkuloid (upgrading) dan ke arah lepromatosa (downgrading). Reaksi tipe I biasanya
terjadi pada tipe borderline (BT, BB dan BL) yang mempunyai status imunologi yang tidak
stabil. Reaksi tipe 1 memiliki karakteristik neuritis dan atau lesi kulit dengan inflamasi.
Reaksi MH tipe II atau ENL terjadi pada sebagian penderita tipe BL atau LL. Secara
imunologis, reaksi MH tipe II termasuk respon imun humoral. Manifestasi klinis pada reaksi
MH tipe II berupa nodul merah yang nyeri pada wajah dan permukaan ekstensor tungkai
disertai gangguan sistemik seperti demam, malaise, bisa disertai uveitis, atralgia, arthritis,
neuritis dan limfadenitis. Fenomena lucio, merupakan reaksi MH yang sangat berat.
Penatalaksanaan yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan
komplikasi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, & Robert L. Modlin. Leprosy. In: Wolff, K;
Goldsmith, LA; Katz, SI.Glichrest, BA; Paller, AM; Leffel, DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 4226-
44.

2. Dinas Kesehatan Kota Palembang: Profil Kesehatan Kota Palembang Tahun 2012,
(Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, 2013).

3. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit MH,


Cetakan XVIII, Jakarta: Depkes RI; 2006.

4. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffith S. Rook's


Textbook of Dermatology. 8th ed. Australia: Blackwell Publishing Company; 2010:
ch.32.

21
5. Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 2003.
6. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record-Global Leprosy: Update
on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013. from: (URL:
http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf.) Accessed 19 Mei, 2015.
7. Prasad PVS. All about Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers; 2005: p.62-6.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansens Disease in: James WD, Berger TG,
Elston DM. Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelpia:
W. B. Sounders Company; 2003: p.334-44.

9. Kartowigno, S. Morbus Hansen. Sepuluh Besar kelompok Penyakit Kulit. 2011. Edisi
pertama. Palembang: Unsri Press hal: 181-206

10. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at (URL:


http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview).

11. Medscape. Dermatologic Manifestation of Leprosy Follow-up. Prognosis. Diunduh


dari http ://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup# a2650. 31 Mei 2015.

12. Indira P.K, Stephen I.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1 and Erythmma Nodosum
Leprosum. Department of Infection and Tropical Disease. London School of Hygiene
and Tropical Medicine. Keppel St, London, UK: 2007

22

You might also like