You are on page 1of 2

EKOSISTEM LAHAN GAMBUT

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8
persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 5,7 juta ha atau 27,8%
terdapat di pulau Kalimantan. Lahan gambut termasuk vegetasi yang tumbuh di atasnya
merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian
sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan
keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan
menyimpan karbon).
Pemanfaatan gambut dan lahan gambut ratusan ribu hektar belakangan ini banyak
menuai protes dari para pemerhati dan penggiat lingkungan baik dari dalam negeri maupuan
dari luar negeri. Hal ini tentu didasari oleh kekhawatiran rusaknya lahan gambut sebagai
fungsi ekosistem yang kompleks. Berbagai macam bentuk alih fungsi menyebabkan
terjadinya penurunan (degradasi) fungsi strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas
kawasan lahan kritis. Seperti fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistim biosfir,
yaitu sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 dan berpengrauh besar pada kondisi
keseimbangan karbon di atmosfir.
Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak memperhatikan
sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestariannya sehingga berpotensi lahan
rawa gambut akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaharui. Terjadinya degradasi
fungsi lahan gambut, salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik
gambut dalam kondisi alami. Pengetahuan tentang keaneka-ragaman karakteristik gambut
dalam kondisi masih alami menjadi sangat diperlukan, agar dapat mengelola dengan bijak
(benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak mengesampingkan fungsi
lingkungan.
Melihat fakta ini, masyarakat sekitar perkebunan dan tinggal di kawasan lahan
basah/gambut tidak berdaya apa-apa. Kelembagaan desa seakan menjadi corong memuluskan
ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan membuat akte-akte tanah semula tak bertuan
menjadi bertuan untuk melakukan legalisasi kepada pihak perusahaan. Kebijakan tak
terkontrol ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik dalam konteks pemanfaatan lahan
basah/gambut apabila melibatkan peran masyarakat dan kelembagaan masyarakat, sehingga
masyarakat memahami bagaimana memperlakukan lahan basah/gambut sesuai peruntukkan
dengan cara menolak kebijakan pemerintah yang selama ini justru mendorong gerakan
ekspansif perusahaan.
Pembiaran yang dilakukan pemerintah sebenarnya termasuk dalam ranah kebijakan
dimana berkaitan dengan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah (Parson,
2005). Termasuk kasus pembiaran yang dilakukan warga masyarakat bersama lembaga desa
dan kecamatan dalam mendorong penjualan besar-besaran lahan produktif dan tidak
produktif (tidak digarap karena modal bukan karena tidak subur) kepada pihak perusahaan.
Ketidakberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan potensi lahan basah/gambut
sehingga mereka mampu memperlakukan karakteristik lahan basah/gambut sesuai
peruntukkannya dan tidak merusak ekologis disebabkan pengetahuan dan kurangnya
informasi tentang bahaya dan ancaman perkebunan kelapa sawit, terlebih mereka menjual
lahan pertanian mereka yang berdampingan dengan lahan kelapa sawit. Kelembagaan desa
tidak mampu menjadi penjembatan informasi kepada warga desa bahaya dan ancaman
ekologis lahan basah/gambut bagi kemaslahatan pertanian dan perkebunan mereka dimasa
akan datang.
Adanya iming-iming dana untuk menjual lahan padahal dengan harga yang murah
menjadikan mereka rela untuk sekalian menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit swasta
tanpa ada kebijakan berupa plasma yang sangat menguntungkan mereka sebagai jaminan
kehidupan selain bekerja di lahan sawah sendiri. Akses informasi dan komunikasi bagi
masyarakat pedesaan menjadi factor determinan kerawanan penurunan dan hilangnya potensi
kawasan lahan basah/gambut, selain kebijakan pembiaran oleh pemerintah setempat.
Desentralisasi yang dihajatkan untuk kemandirian daerah dalam rangka meluaskan
kewenangan dalam pengambilan keputusan dan kreatif bagi daerah dalam mengelola
daerahnya nampaknya menjadi malapetaka dalam memperlakukan lingkungan khususnya
keberadaan lahan basah/gambut di Kalimantan Selatan. Hal ini berhubungan dengan obralnya
perizinan dilakukan oleh Pemerintah Otonom kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan dan
lemahnya daya tawar masyarakat pedesaan dan lembaga Pemerintah Desa kepada pemegang
otoritas di atasnya.
Lemahnya daya tawar oleh masyarakat pedesaan baik kepada pihak perusahaan
maupun pemegang otoritas pemerintah di atasnya, karena lemahnya kapasitas kelembagaan
yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa. Faktor sumberdaya manusia, dan akses informasi
tentang manajemen dan pengelolaan lahan basah/gambut yang proporsional diantara masalah
yang menjadi persoalan serius.
Di samping itu juga berkaitan dengan partisipasi publik dalam memberikan
dorongan pada kelembagaan menyebabkan kelembagaan yang seharusnya milik bersama
dalam menyelesaikan setiap masalah seakan menjadi miliki sekelompok orang oligarkhi
kekuasaan desa, sehingga hanya menguntungkan bagi pengambil keputusan dan
kelompoknya. Fakta ini menjadi danau madu bagi perusahaan karena bisa mengendalikan
para pengambil keputusan di lembaga pemerintahan desa untuk membuat surat-surat dan
izin-izin kapling lahan basah/gambut kepada pihak perusahaan tanpa memperdulikan
kelangsungan lahan basah/gambut yang produktif bagi kepentingan masyarakat pedesaan dan
kepentingan ekologis lahan basah/gambut itu sendiri.
Penguatan kapasitas kelembagaan desa sebagai ujung tombak pemerintahan untuk
kepentingan kemandirian desa dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki khususnya desa
yang berada di kawasan lahan basah/gambut tidak mendapatkan perhatian yang khusus. Desa
dan kelembagaannya dibiarkan begitu saja bergerak sendiri tidak terarah dan menentukan
nasib yang tidak jelas, kecuali diperhatikan ketika menjelang pemilu dan pemilukada. Ini
fakta lemahnya pemberdayaan dan kapasitas kelembagaan desa di Kalimantan Selatan
khususnya di kawasan lahan basah/gambut sehingga memberikan kontribusi bagi
menyempitnya dan berkurangnya potensi fungsi lahan basah/gambut dan keberlangsungan
ekologisnya.
Rata-rata perkampungan di kawasan lahan gambut masih sangat lemah kapasitas
kelembagaan maupun modal sosial yang mampu memberikan penguatan dan pencerahan
peningkatan potensi lahan gambut. Yang terjadi justru sebaliknya masyarakat dan kawasan
lahan gambut di sekitar pemukiman mereka seakan menjadi ancaman pemusnahan
kemampuan mereka dalam mengembangkan potensi lahan gambut yang mandiri.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di kawasan lahan gambut
bukan menjadi penyelesaian kesejahteraan masyarakat, malah sebaliknya menjadi racun
yang perlahan-lahan mematikan mereka dalam memanfaatkan potensi lahan gambut. Hal ini
disebabkan hampir luasan lahan gambut tidak memberikan peran masyarakat dalam
pengelolaan semisal bentuk plasma maupun menjadi buruh permanen. Tetapi hanya janji-janji
palsu yang didukung oleh oknum pemerintah. Akhirnya justru mengekspansi lahan-lahan
potensial pertanian mereka.
Melihat fenomena permasalahan tersebut, jika hal tersebut dibiarkan tanpa adanya
perhatian masyarakat untuk melindungi lahan gambut, maka dalam waktu yang tidak lama
lahan gambut akan semakin habis dan dalam menjaga lahan gambut maka diperlukan juga
kebijakan pemerintah yang jelas dan tegas dalam penanganan lahan gambut.

You might also like