You are on page 1of 20

I.

Judul Praktikum
Hubungan Suhu Air dan DO dengan Aktivitas Ikan Mas (Cyprinus carpio).
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul diatas, rumusan masalah yang diangkat dari praktikum
ini antara lain:
1. Bagaimana hubungan DO dan Suhu air terhadap aktivitas ikan mas
(Cyprinus carpio)?
2. Bagaimana menghitung kadar DO yang berhubungan dengan aktivitas
ikan mas (Cyprinus carpio)?
III. Tujuan
Tujuan yang dapat diperoleh dari praktikum ini antara lain:
1. Mahasiswa mampu memahami hubungan DO dan Suhu air terhadap
aktivitas ikan mas (Cyprinus carpio).
2. Mahasiswa mampu menghitung kadar DO yangberhubungan dengan
aktivitas ikan mas (Cyprinus carpio).
IV. Dasar Teori
A. Adaptasi Organisme
Adaptasi diartikan merupakan kemampuan individu untuk
mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam
lebih banyak untuk mempertahankan hidupnya dalam relung yang
diduduki. Setiap organisme mempunyai sifat adaptasi untuk hidup pada
berbagai macam keadaan lingkungan. Ada beberapa jenis adaptasi yang
dilakukan organisme yaitu; adaptasi morfologis, adaptasi fisiologis dan
adaptasi tingkah laku.
1. Adaptasi Morfologi
Adaptasi morfologi adalah penyesuaian bentuk tubuh,
struktur tubuh atau alat-alat tubuh organisme terhadap
lingkungannya. Adaptasi Morfologi dapat dilihat dengan jelas.
Sebagai contoh: paruh dan kaki burung berbeda sesuai habitat dan
makanannya dan jenis mulut pada serangga.
2. Adaptasi Fisiologi
Adaptasi Fisiologi adalah penyesuaian fungsi alat-alat
tubuh organisme terhadap lingkungannya. Adaptasi ini bisa berupa
enzim yang dihasilkan suatu organisme. Contoh: dihasilkannya
enzim selulase oleh hewan memamah biak.
3. Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku adalah penyesuaian organisme
terhadap lingkungan dalam bentuk tingkah laku. Seperti autotomi
yang di lakukan oleh cicak, mimikri yang dilakukan bunglon,
hibernasi dan estivasi.
Ikan merupakan organisme akuatik yang sebagian atau seluruh
hidupnya di lingkungan perairan, baik air tawar, payau maupun laut.
Organisme akuatik selalu menghadapi kondisi lingkungan yang selalu
berubah-ubah. Perubahan lingkungan inilah yang harus dapat disiasati
oleh organism akuatik agar mampu bertahan hidup. Ketika habitat
perairan tempat ikan hidup berubah, seperti diberi suatu perlakuan
percobaan, maka ikan akan melakukan perubahan-perubahan sistem dan
perubahan fisiologis yang ada dalam tubuhnya. Respon ini sebagai salah
satu upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar
keberlangsungan hidup ikan tetap terjaga. Respon ikan terhadap
perubahan lingkungannya dapat berupa respon biokimia, respon struktur
sel, respon fisiologis dan tingkah laku (Fitratunisa, 2014).
Menurut Fitratunisa (2014), ikan sensitif terhadap perubahan
variabel lingkungan hidupnya. Variabel lingkungan baik secara fisik
maupun kimia memiliki pengaruh nyata terhadap ikan. Variabel-variabel
yang mempengaruhi tersebut seperti pH, suhu, kekeruhan, intensitas
cahaya, salinitas, dan lain sebagainya. Pengaruh dari variabel ini
menimbulkan reaksi yang berbeda-beda tergantung jenis ikan. Seperti
tersekresinya mucus, terjadinya iritasi pada mata, berubahnya tingkah
laku ikan (aktif jadi pasif atau sebaliknya), kerusakan pada insang dan
bahkan kematian.

B. Ikan Mas (Cyprinus caprio)


Ikan Mas (Cyprinus caprio) termasuk dalam anggota vertebrata
poikilotermik (berdarah dingin). Secara keseluruhan lebih toleran
terhadap perubahan suhu air, seperti vertebrata poikiloterm lain suhu
tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh sangat tergantung dari
suhu lingkungan (Sukiya, 2005).
Habitat asli ikan mas adalah perairan dangkal yang mengalir pelan
dengan suhu sejuk. Ikan mas banyak hidup di danau-danau atau di
sungai-sungai. Ikan mas termasuk jenis ikan air tawar tetapi kadang-
kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang
bersalinitas (kadar garam) 25-30 0/00. Ikan ini hidup menepi sambil
mencari pakan berupa binatang-binatang kecil. Jentik-jentik nyamuk
merupakan pakan alami yang sangat digemari oleh ikan mas. Ikan mas
meletakkan telurnya pada rerumputan yang menjorok ke perairan.
Lingkungan optimal untuk pertumbuhan dan perkembangannya yaitu
perairan yang berada pada ketinggian antara 150-1.000 mdpl dengan
suhu antara 20-25C, dan pH ideal adalah 6,5-7,5 (Huet, 1971).
Ikan mas akan memijah kapan pun, tidak tergantung pada musim.
Secara alami, pemijahannya terjadi pada tengah malam sampai akhir
fajar. Biasanya ikan mas akan mencari tempat memijah yang sesuai,
seperti mencari tempat imbun dengan tanaman air atau rumput-rumput
yang menutupi permukaan air. Substrat-substrat tersebut dapat
merangsang pemijahan, juga dapat digunakan untuk sarang telur yang
dikeluarkan oleh ovarium. Telur akan melekat pada substrat. Telur ikan
mas berdiameter 1,5-1,8 mm dengan bobot berkisar 0,17-0,20 mg. Telur
tersebut kemudian dibuahi oleh sperma yang dihasilkan testis. Telur
yang telah dibuahi kemudian akan menetas dan menghasilkan larva.
Larva akan berubah menjadi benih, dan benih menjadi ukuran dewasa
(Kurnianti, 2013).
C. Respirasi Ikan
Sebagai biota perairan, Ikan merupakan mendapatkan Oksigen
terlarut dalam air. Pada hampir semua Ikan, insang merupakan
komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari
lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen
insang di dalamnya (Fujaya, 2004). Setiap kali mulut dibuka, maka air
dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui
melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai
penyokong filamen ikan (Sukiya, 2005).
Lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel
pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga
karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam
air (Sukiya, 2005). Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus
yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut
operkulum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral
insang. Laju gerakan operkulum ikan mempunyai korelasi positif
terhadap laju respirasi ikan (Tim Fisiologi Hewan, 2011).
D. Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua
jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat
yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen
dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas
dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut
(Salmin, 2005). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari
beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa
air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut.
Produksi oksigen dapat menjadi dasar untuk pengukuran
produktivitas, karena terdapat suatu kesepadanan yang pasti antara
oksigen dan pangan yang dihasilkan. Walaupun demikian, dalam
keadaan kebanyakan hewan-hewan dan bakteri, juga tumbuh-tumbuhan
itu sendiri cepat sekali menghabiskan oksigen, dan seringkali terdapat
pertukaran gas dengan lingkungan lainnya.
Produktivitas primer adalah suatu proses pembentukan senyawa-
senyawa organik melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis sendiri
dipengaruhi oleh faktor konsentrasi klorofil a, serta intensitas cahaya
matahari. Nilai produktivitas primer dapat digunakan sebagai indikasi
tentang tingkat kesuburan suatu ekosistem perairan.(Barus, 2008).
A N 8000
Rumus DO =
V 4

Keterangan :

DO : Dissolved Oxygen (mg/l)


N : Normalitas Na2S2O3
A : volume titrasi Na2S2O3
V : volume botol winkler
Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan cara
metode titrasi dengan cara Winkler. Metode titrasi dengan cara Winkler
secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen
terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang
akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH-
KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4
atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan
membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen
terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan
standart natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan
amilum (kanji encer). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. MnCl2 + NaOH Mn(OH)2 + 2 NaCl
b. 2 Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H2O
c. MnO2 + 2 KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
d. I2 + 2 Na2S2C3 Na2S4O6 + 2 NaI

E. Hubungan DO dengan Aktivitas Ikan


Air mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme dan
lingkungan di sekitarnya, sehingga air dapat mempengaruhi organisme
dan lingkungannya. Organisme air memanfaatkan air sebagai habitat.
Air berperan penting dalam keseimbangan ekosistem, tetapi
ketersediaan di berbagai habitat sangat bervariasi. Pada organisme
akuatik kebutuhan tiap oksigen untuk pernafasan disebut konsumsi
oksigen. Pencemaran pada air dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor eksternal di antaranya adalah suhu dan DO.
Dissolved Oksigen (DO) adalah jumlah oksigen yang terkandung di
dalam air. DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan,
proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan
energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di samping itu, oksigen juga
dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam
proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari
suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme
yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut
akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan
semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen
akan lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dengan udara
bebas serta adanya proses fotosintesis. Bertambahnya kedalaman akan
terjadi penurunan kadar oksigen terlarut karena proses fotosintesis
semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan
organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,
stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan
diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat
bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat
menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih
terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung
kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen
terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan
sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH
(2009) menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm
untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut.
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Oksigen juga menentukan khan
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Pada
kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan
organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada
akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Pada kondisi anaerobik,
oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia
menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Adanya proses
oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting
untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara
alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk
memurnikan air buangan industri dan rumah tangga. Oksigen juga
sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme
tertentu, seperti mikroorganisme sangat berperan dalam menguraikan
senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan
tidak beracun (Salmin, 2005).
Rusaknya kadar kimia air akan berpengaruh terhadap fungsi dari
air. Besarnya beban pencemaran yang ditampung oleh suatu perairan,
dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah polutan yang berasal dari
berbagai sumber aktivitas air buangan dari proses-proses industri dan
buangan domestik yang berasal dari penduduk. Banyak penelitian yang
telah dilakukan tentang pengaruh air buangan industri dan limbah
penduduk terhadap organisme perairan, terutama pengaruhnya terhadap
ikan. Akibat yang ditimbulkan antara lain dapat menyebabkan
kelumpuhan ikan, karena otak tidak mendapat suplai oksigen serta
kematian karena kekurangan oksigen (anoxia) yang disebabkan jaringan
tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut dalam darah
(Sastrawijaya, 2000). Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu
perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia,
seperti oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dan kebutuhan
oksigen biologis (Biological Oxygen Demand = BOD).
F. Hubungan Suhu dengan Aktivitas Ikan
Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan.
Kenaikan suhu air akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air
lainnya terganggu. Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu
relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi. Hal tersebut
dapat diamati dari perubahan gerakan operkulum pada ikan (Kanisius,
1992).
Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis
yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan
perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan
(Fujaya, 2004). Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap
perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air
mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang
sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu
umumnya terbatas (Sukiya, 2005). Kisaran toleransi suhu antar spesies
ikan satu dengan yang lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid
suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat di atas
titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan
fisiologis ikan (Tunas, 2005).
Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan
suhu dalam air berjalan lebih lambat darI pada udara, namun suhu
merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik
sering memiliki toleransi yang sempit. Ikan merupakan hewan
ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu
tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya
(Tunas, 2005 dalam Misrulloh, 2015).
Reaksi enzimatis sangat bergantung pada suhu, karena aktivitas
metabolisme di berbagai jaringan atau kehidupan suatu organisme
bergantung pada kemampuan untuk mempertahankan suhu yang sesuai
dalam tubuhnya. Terhadap berbagai jenis hewan, bila terjadi kondisi luar
yang kurang cocok atau stress, misalnya terjadi perubahan suhu
lingkungan (dingin atau panas) akan menimbulkan usaha (secara
fisiologi atau morfologi) untuk mengimbangi stress tersebut. Suhu air
dipengaruhi oleh suhu udara. Tinggi rendah suhu juga berpengaruh
terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air akan mengurangi kadar
oksigen terlarut. Keadaan suhu air berkaitan erat dengan konsentrasi
oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air (Yuliani dan
Rahardjo, 2017).
Menurut Tunas (2005), Peningkatan suhu air dapat menyebabkan
penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas senyawa-
senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta
meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air
0
tawar (salinitas 0 /00) peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C
menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6
mg/liter.
Kelarutan oksigen dalam air tawar antara 14,6 mg/l pada 0 OC dan 7
mg/l pada 35OC pada tekanan 1 atmosfer. Kelarutannya sangat
dipengaruhi oleh tekanan udara pada suatu suhu. Karena proses oksidasi
biologik bertambah cepat dengan naiknya suhu, kebutuhan oksigen juga
bertambah. Suhu secara langsung mempengaruhi proses kehidupan
organisme, seperti terganggunya pertumbuhan dan reproduksi sedangkan
secara tidak langsung mempengaruhi daya larut oksigen (Huet, 1971).
Sastrawidjaya (1991) menambahkan bahwa suhu mempunyai pengaruh
yang besar terhadap kelarutan oksigen. Populasi termal pada organisme
air terjadi pada suhu tinggi yang menyebabkan suhu bahan organisme
naik dan menaikkan kebutuhan oksigen yang biasanya meningkat akibat
keracunan bahan pencemar kimia ke dalam air. Anwar dkk (1994)
mengemukakan bahwa pada aliran laut, tidak terdapat pengaruh
langsung dari suhu sebab pada aliran laut yang mengalir dan bergerak
terus-menerus cenderung terjadi pencampuran massa air, stratifikasi
tidak ada, sehingga suhu relatif sama pada permukaan dan dasar.

V. Metode Praktikum

A. Alat dan Bahan

1. Alat
a. Termometer suhu 1 buah f. Statif 1 buah
b. Toples ukuran 3000 ml 4 buah g. Pipet 5 buah
c. Botol winkler 2 buah h. Gelas ukur 2 buah
d. Erlenmeyer 2 buah i. Alat pemanas air (hitter) 1 buah
e. Buret 1 buah

2. Bahan
a. Air suhu kamar 3000 mL e. MnSO4 20 mL
b. Air panas (80oC) 1000 mL f. KOH-KI 20 mL
c. Air es 2000 mL g. H2SO4 20 mL
d. Ikan mas 8 ekor h. Na2S2O3 40 mL
i. Larutan amilum 1% 10 mL
B. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Media Air
a. Toples A (beaker glass) diisi air suhu kamar 750 ml, kemudian memasukkan
2 ekor ikan.
b. Toples B diisi air panas (800C) dicampur air suhu kamar dengan
perbandingan volume 2:1 total volume 750 ml, kemudian memasukkan 2
ekor ikan.
c. Toples C diisi dengan air es 400 ml dicampur dengan air suhu kamar
sebanyak 350 ml, kemudian memasukkan 2 ekor ikan.
d. Toples D diisi dengan air es 600 ml dicampur dengan air suhu kamar
sebanyak 150 ml, kemudian memasukkan 2 ekor ikan.
2. Pengukuran suhu dan DO dari masing-masing media air
a. Pengukuran suhu
Memasukkan termometer pada masing-masing media air, kemudian dicatat
hasilnya ke dalam tabel.
b. Pengukuran kadar DO
1) Mengambil sampel air dengan botol winkler gelap, usahakan tidak ada
O2 yang terperangkap
2) Menambahkan MnSO4 2 ml dan KOH-KI 2 ml (dengan membuka botol
winkler secara kati-hati) kemudian dikocok pelan (membolak-balik botol
secara hati-hati hingga perekasi tercampur dengan air sampel). Diamkan
selama 10 menit sampai terbentuk dua lapisan.
3) Menambahkan H2SO4 pekat 2 ml ke dalam botol secara hati-hati,
mengocok botol hingga larutan tercampur, kemudian melakukan titrasi.
4) Mengambil 100 ml sampel yang mendapat perlakuan tadi dan
memasukka ke dalam erlenmeyer. Melakukan titrasi dengan Na2S2O3
sampai terjadi perubahan warna (dari coklat menjadi kuning muda).
Kemudian menambahakan amilum (1%) 10 tetes hingga tampak warna
biru dan melanjutkan titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang.
5) Menghitung DO dengan rumus sebagai berikut :
a.N .8000
DO
vol.btl.Winkler 4
Keterangan :
a : volume titrasi yang dipakai
N : konstanta 0,025
6) Mencatat hasil ke dalam tabel.
7) Mengukur/ mengamati kegiatan meliputi pola gerakkan ikan dalam air
dan hitung dan hitung frekuensi membuka menutupnya operkulum per
satuan waktu tertentu (menit I, II, dan III).
8) Menganalisis data yang diperoleh.
C. Rancangan Percobaan
1. Media air

A B C D

Diukur suhu dan DO


masing-masing awal
dan akhir
2. Pengukuran DO

Botol winkler gelap


diisi air sampel
Kuning tua Kuning muda

Langsung dibawa
ke laboratorium
100 ml sample
dititrasi Na2S2O3

Ditambah larutan
MnSO4 2 ml Kuning muda

Ditambah larutan Ditambah 10-20


KOH-KI 2 ml tetes amilum

Biru
Dihomogenkan dan di
biarkan mengendap
1/3 botol Dititrasi Na2S2O3

Warna biru hilang


Ditambah larutan asam
sulfat pekat 2 ml

Volume titran
Endapan hilang

DO

VI. Hasil Pengamatan


Berdasarkan percobaan tentang hubungan air dan DO terhadap aktivitas ikan yang
dilakukan didapatkan hasil pengamatan sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pencatatan dan Penghitungan Suhu, DO, dan Respirasi pada Toples
A, B, C, dan D

Media Suhu DO Jumlah Gerakan Pola Gerakan


Air Operkulum Ikan Mas
2 2 2

280 285 290


0 1,3
A 37 C Gerakan
ppm
300 320 310 normal, tenang

Mati Mati Mati Gerakan aktif


0 0,84
B 65 C dan cenderung
ppm
Mati Mati Mati ke permukaan

72 63 55 Gerakan
0 3,17
C 15 C lambat dan
ppm
70 60 51 berada di dasar

20 Mati Mati Gerakan sangat


0 3,41
D 10 C pasif dan
ppm
15 Mati Mati berada di dasar

Keterangan:
Toples A : 750 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan
Toples B : 500 ml air 80Oc + 250 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan
Toples C : 400 ml air 80oC + 350 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan
Toples D : 600 ml air 80Oc + 150 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan

Gambar 1. Hubungan DO dengan Suhu Air pada toples A, B, C, dan D.


VII. Analisis Data
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan terdapat empat perlakuan yang
dilakukan yakni Toples A (Air Kontrol 750 ml), Toples B (500 ml air dingin + 250
ml air biasa), Toples C (400 ml air dingin + 350 ml air biasa), Toples D (600 ml
air dingin + 150 ml air biasa). Adapun beberapa parameter yang kami ukur yakni
suhu, DO, operkulum, respirasi CO2, dan pola pergerakan ikan.
Pada perlakuan Toples A dengan air kontrol 750 ml didapatkan hasil suhu
370C, DO yang dihasilkan 1,3 ppm, operkulum ikan yang pertama yakni dua
menit pertama 280 pergerakan, dua menit kedua 285 pergerakan, dua menit ketiga
290 pergerakan dan untuk ikan kedua yakni dua menit pertama 300 pergerakan,
dua menit kedua 320 pergerakan, dua menit ketiga 310 pergerakan, respirasi CO 2
sebesar 0,25 ppm, pola pergerakan ikan naik turun. Pada perlakuan Toples B
dengan 500 ml air dingin dan 250 ml air biasa didapatkan hasil suhu 650C, DO
yang dihasilkan 0,84 ppm, operkulum ikan kedua-duanya sudah mati, respirasi
CO2 sebesar 0,35 ppm, pola pergerakan ikan cepat mengapung ke atas.
Pada perlakuan Toples C dengan 400 ml air dingin dan 350 ml air biasa
didapatkan hasil suhu 150C, DO yang dihasilkan 8,17 ppm, operkulum ikan
pertama yakni dua menit pertama 72 pegerakan, dua menit kedua 63 pergerakan,
dua menit ketiga 55 pergerakan, dan untuk ikan kedua yakni dua menit pertama 70
pergerakan, dua menit kedua 60 pergerakan, dua menit ketiga 51 pergerakan,
respirasi sebesar CO2 0,2 ppm, pola pergerakan ikan naik turun. Pada perlakuan
Toples D dengan 600 ml air dingin dan 150 ml air biasa didapatkan hasil suhu
650C, DO yang dihasilkan 0,84 ppm, operkulum ikan pertama yakni dua menit
pertama 20 pergerakan, dua menit kedua dan ketiga ikan sudah mati, dan untuk
ikan kedua yakni dua menit pertama 15 pergerakan, dua menit kedua dan ketiga
ikan sudah mati, respirasi CO2 sebesar 0,35 ppm, pola pergerakan ikan
mengapung ke atas.
VIII. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data dapat diketahui bahwa suhu
air dan kadar DO berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Semakin tinggi suhu air
semakin rendah oksigen yang terlarut di dalam air, sebaliknya semakin rendah
suhu air maka semakin tinggi oksigen yang terlarut di dalam air. Hal tersebut
berpengaruh pada frekuensi membuka dan menutupnya operkulum ikan. Ketika
suhu air tinggi maka semakin cepat operkulum ikan membuka dan menutup,
sebaliknya ketika suhu air rendah maka semakin lambat membuka dan
menutupnya operkulum. Membuka dan menutupnya operkulum ikan dapat
dijadikan indikator laju respirasi ikan.
Toples A berisi 750 ml air dengan suhu 370C didapatkan nilai respirasi CO2
0,25 ppm. Suhu kamar sebesar 370C merupakan suhu yang ideal bagi ikan,
sehingga proses fisiologi ikan berjalan normal. Enzim akan berkerja secara
optimal jika berada pada suhu 36-370C, sehingga proses metabolisme tubuh juga
optimal (Salisbury dan Ross, 1995). Nilai DO pada stoples A sebesar 1,3 ppm,
nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada toples B karena pada toples A memiliki
suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan toples B, yaitu 65 0C. Berdasarkan
teori, menyatakan bahwa semakin tinggi suhu air maka kelarutan oksigen
semakin rendah, pada suhu tinggi molekul-molekul air mengembang kondisi ini
tidak memberikan tempat bagi oksigen. Teori tersebut sesuai dengan hasil yang
diperoleh dalam praktikum ini yaitu pada media A dengan suhu paling tinggi juga
memiliki nilai DO yang paling tinggi dari media yang lain (Salmin, 2005). Jumlah
gerakan operkulum ikan pada stoples A selama 2 menit sebesar 285 kali. Nilai
tersebut dalam kisaran normal untuk jumlah gerakan operkulum ikan pada suhu
normal yaitu 90-100 kali dalam 1 menit. Pola pergerakan ikan pada stoples A lebih
cenderung berada di dasar dan bergerak tidak terlalu aktif. Pergerakan ikan juga
dipengaruhi oleh oksigen yang terlarut di dalam air (Zainuddin dan Jamal, 2009).
Toples B berisi 500 ml air panas dan 250 ml air biasa sehingga mempunyai
suhu 650C dengan nilai respirasi CO2 sebesar 0,35 ppm. Nilai tersebut paling
tinggi dibanding dengan ketiga stoples yang lain. Hal tersebut menandakan bahwa
laju respirasi ikan yang tinggi sehingga banyak CO 2 yang dihasilkan. Kadar DO
pada toples B sebesar 0,84 ppm, nilai ini paling rendah dibandingkan dengan nilai
DO pada tiga toples yang lain. Suhu yang tinggi mengakibatkan kelarutan oksigen
di dalam air rendah sehingga ikan kesulitan mendapatkan oksigen. Hal tersebut
berpengaruh pada pola pergerakan ikan, karena oksigen yang terlarut sedikit maka
ikan akan cenderung ke permukaan untuk mengambil oksigen yang ada di udara.
Suhu 650C berakibat pada kematian ikan pada detik ke-13 yang ditandai dengan
ikan mengalami kejang-kejang, bergerak sangat aktif dan pada akhirnya mati. Hal
ini berkaitan dengan reaksi enzimatis, aktivitas metabolisme di jaringan organisme
bergantung kepada kemampuan untuk mempertahankan suhu yang sesuai dalam
tubuhnya. Apabila terjadi perubahan suhu lingkungan menjadi ekstrim panas
beberapa hewan akan berusaha mempertahankan suhu tubuh mereka untuk
mengimbangi stres lingkungan (Yuliani, dkk, 2017). Perubahan suhu yang ekstrim
menyebabkan ikan mati karena enzim dalam tubuh ikan terdenaturasi karena
panas, sehingga tidak bisa menjalankan metabolisme dan mengganggu aktivitas
sel dalam tubuh, terutama proses respirasi menjadi terhambat. Akhirnya tubuh
kekurangan oksigen dan ikan mati.
Toples C berisi 400 ml air dingin dan 350 ml air biasa sehingga mempunyai
suhu 150C dengan nilai respirasi CO2 sebesar 0,2 ppm. Nilai DO pada toples C
sebesar 3,17 ppm, hal tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan toples A dengan
suhu normal. Suhu rendah menyebabkan ikatan antar molekul oksigen semakin
kuat sehingga kadar oksigen yang di air tinggi (Barus, 2004). Pola pergerakan
ikan cenderung diam dan berada di dasar sehingga mengakibatkan frekuensi
membuka dan menutupnya operkulum ikan rendah, yaitu hanya 65 kali dalam
waktu 2 menit. Suhu yang terlalu rendah akan menyebabkan fungsi metabolisme
tubuh rendah dan enzim menjadi tidak aktif yang akan mengakibatkan kerja
semua organ akan berhenti (Salisbury dan Ross, 1995).
Toples D berisi 600 ml air dingin dan 150 ml air biasa sehingga mempunyai
suhu 100C dengan nilai respirasi CO2 sebesar 0,15 ppm. Nilai tersebut paling
rendah dibandingkan ketiga toples yang lain, hal tersebut karena jumlah oksigen
di dalam air yang tercukupi sehingga jumlah CO2 yang dihasilkan rendah. Nilai
DO pada toples D sebesar 3,41, nilai tersebut paling tinggi jika dibandingkan
dengan ketiga toples yang lain. Semakin rendah suhu maka ikatan antar molekul
oksigen semakin rapat sehingga kadar oksigen di dalam air tinggi. Pola
pergerakan ikan sangat pasif hanya diam di dasar sehingga mengakibatkan
gerakan operkulum hanya 20 kali setelah itu ikan mati. Suhu yang terlalu rendah
akan menonaktifkan kerja dan fungsi enzim sehingga laju metabolisme akan
berhenti dan ikan akan mati. Semua makhluk hidup mempunyai batas toleransi
salah satunya toleransi suhu. Ikan air tawar mempunyai rentang toleransi suhu
sebesar 25-400 C (Tatangindatu, dik, 2013).

Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan
mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992). Hal tersebut dapat
diamati dari perubahan gerakan operkulum ikan. Kisaran toleransi suhu antara
spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu
terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku,
sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas.
2005).

Gerakan operkulum sebenarnya merupakan indikator laju respirasi Ikan.


Sedangkan suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan ikan. Telah diketahui
bahwa suhu tinggi akan menyebabkan berkurangnya gas oksigen terlarut,
akibatnya ikan akan mempercepat gerakan operkulum untuk mendapatkan gas
oksigen dengan cepat sesuai kebutuhan respirasinya. Menurut Fujaya (2004)
rendahnya jumlah oksigen dalam air menyebabkan ikan atau hewan air harus
memompa sejumlah besar air ke permukaan alat respirasinya untuk mengambil
Oksigen. Fujaya (2004) menambahkan bahwa tidak hanya volume besar yang
dibutuhkan tetapi juga energi pemompaan juga semakin besar. suhu air dalam
akuarium yang tinggi tidak hanya mempengaruhi kelarutan oksigen tetapi juga
mepengaruhi laju metabolisme respirasi ikan.

IX. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


terdapat hitungan antara suhu air dan DO dengan aktivitas ikan mas (Cyprinus
carpio).

X. Daftar Pustaka

Anwar, J. S. J. Damanik, N. Hisyam & A. J. Whitten. 1994. Ekologi Ekosistem.


Sumatera. Yogyakarta: UGM Press.
Fitratunisa, 2014. Respon Organisme Akuatik terhadap Variabel Lingkungan.
Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. Bogor: Institut Petanian Bogor.
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Huet, H.B.N. 1970. Water Quality Criteria for Fish Life Bioiogical Problems in
Water Pollution. PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp.
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta: Penerbis Kanisius
KLH. 2009. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008. Jakarta: Kementerian
Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Kurnianti, Novik. 2013. Mengenal Ikan Mas. Online. Diakses melalui
http://www.tanijogonegoro.com/2013/11/ikan-mas.html pada tanggal 4 April
2016.
Misrulloh, Arif. 2015. Pengaruh Suhu pada Gerakan Operkulum Ikan Mas.
Laporan Penelitian. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Odum, E. P. 1971. Basic Ecologi (Dasar-dasar Ekologi). Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada Press.
Salisbury, J.W. dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. Bandung: ITB.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oceana. 30 (03): 21-26.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara
Karang dan Teluk Banten.Dalam: Fora-minifera Sebagai Bioindikator
Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang.
P3O LIPI. 42 46 pp.
Sastrawijaya, A. T., 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Swingle, H. S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond
Muds. F.A.O. Fish, Rep. Vol. 44 (4): 379-406.
Tattangindatu, F., Kalesaran, O., dan Rompas, R. 2013. Studi Parameter Fisika
Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan,
Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan. Vol. 1(2) : 8-19.
Tim Fisiologi Hewan. 2011. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Jember:
Universitas Muhammadiyah Jember.
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada Press
Wardoyo, S. T. H. 1978. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Dalam: Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds
Dirjen Pengairan Dep. PU.), hal 293-300.
Yuliani dan Rahardjo. 2017. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress,
Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.
Zainuddin, M. dan Jamal, M. 2009. Satellite Remote Sensing and Geographic
Information System of Potential Fishing Zones and Migration Pattern of
Skipjack Tuna Ni Bone Bay, South Sulawesi. International Proceeding of
World Ocean Conference, Manado 15 20 Mei 2009.

You might also like