You are on page 1of 18

Referat

ALOPESIA AREATA

Oleh
Christian Andrew Darian Sianipar, S.Ked
04054821618098

Pembimbing

Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat

ALOPESIA AREATA

Oleh:
Christian Andrew Darian Sianipar, S.Ked
04054821618098

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 26
Desember 2016 27 Januari 2017.

Palembang, Januari 2017

Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

KATA PENGANTAR

2
Segala puji syukur bagi Allah, atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya referat yang
berjudul Alopesia Areata ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini ditujukan sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Dermatolgi
dan Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK selaku
pembimbing dalam referat ini yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan referat
ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan di masa yang akan
datang. Akhirnya, kepada Allah penulis memohon semoga buah karya sederhana ini ikhlas
karena-Nya, pernuh berkah, dan berguna bagi diri penulis. Serta semoga Allah melimpahkan
manfaat pada setiap orang yang membacanya.

Palembang, Januari 2017

Penulis

3
ALOPESIA AREATA
Christian Andrew Darian Sianipar, S.Ked
Pembimbing : Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Alopesia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya rambut akibat proses
inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut terminal yang tidak disertai dengan
pembentukan jaringan parut (non sikatrikal), skuamasi, maupun tanda-tanda atrofi yang dapat
terjadi pada pria, wanita, dan anak-anak. Penyakit ini biasanya bermanifestasi dengan
ditemukannya area-area tertentu yang kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada
kulit kepala atau bagian tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau
lonjong dengan batas yang tegas. Pada kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang
menjadi kehilangan total seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan penyakit yang
tidak mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang serius karena dapat
memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama secara psikologik, sosiologik dan
kosmetik.1
Alopesia Areata adalah suatu kondisi alopesia tanpa jaringan parut yang umum
ditemukan, melibatkan sedikitnya 0,1-0,2% populasi umum dan bermanifestasi pada 0,7-3%
kasus yang diketahui dalam bidang dermatologis. Tidak ada perbedaan insidensi alopesia
areata yang signfikan antar ras ataupun jenis kelamin yang berbeda. Prevalensi memuncak
pada rentang umur 20-40 tahun walaupun 60% pasien alopesia areata akan memulai gejala
mereka sebelum umur 20 tahun. Penyebab pasti alopesia areata belum diketahui namun teori
yang saat ini dipakai adalah teori autoimunitas. Studi genetik juga menunjukkan bahwa
adanya predisposisi genetik pada alopesia areata.2
Refrat ini dibuat oleh penulis dengan tujuan agar pembaca dapat lebih memahami
mengenai alopesia areata dan dapat memberikan terapi yang sesuai untuk penderita.

ETIOLOGI
Penyebab pasti alopesia areata belum diketahui namun teori yang saat ini dipakai
adalah teori autoimunitas. Studi genetik juga menunjukkan bahwa adanya predisposisi genetik
pada alopesia areata.2
Studi keluarga terhadap alopesia areata menunjukkan bahwa 28% pasien yang
mengidap kondisi ini setidaknya memiliki satu anggota keluarga lain yang memiliki kondisi

4
yang sama. Dilaporkan juga angka konkordansi alopesia areata pada kembar monozigot
adalah 42-55%. 139 polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphism/SNP)
telah diidentifikasi pada 8 regio genom yang berbeda. Polimorfisme IL2/IL21, IL2RA,
CTLA4, IK2F4, HLA, NK-activating ligands, ILBP6, ULBP6, STX17 dan PRDX5 telah
ditemukan memiliki asosiasi dengan sel T ataupun folikel rambut.2

Tabel 1. Gen yang berasosiasi dengan AA.3

Autoimunitas dipercaya memainkan peranan penting pada perkembangan alopesia


areata. Pasien dengan alopesia areata memiliki peningkatan auto-antibodi spesifik folikel
rambut. Bagian inferior folikel rambut normal merupakan daerah 'immune privileged' artinya
daerah tersebut terlindungi dari sel-sel T. Molekul MHC kelas 1 dan 2, yang memiliki peran
mengikat dan menhantarkan antigen ataupun patogen kepada sistem imun, juga tidak
diekspresikan pada epitel folikel rambut normal. Namun pada pasien alopesia areata, hal-hal
ini mengalami gangguan. Terdapat peningkatan kompleks MHC kelas 1 dan 2 dan ekspresi
molekul adhesi seperti ICAM-2 dan ELAM-1 yang mengelilingi daerah perivaskular dan
peribulbar epitel folikel rambut.2

PATOGENESIS
Pada dasarnya rambut mengalami pertumbuhan normal melalui mekanisme yang
terdiri dari 3 fase, yaitu (Gambar 1):4

1. Anagen

5
Anagen merupakan fase pembentukan folikel rambut baru hingga pertumbuhannya,
dibagi menjadi tujuh tahap. Tahap I merupakan tahap pembentukan papilla dermis dan onset
awal terjadinya aktivitas mitosis yang berasal dari sel epitel. Tahap II sel bulbus matriks
melingkupi papilla dermis dan diferensiasi dimulai, matriks bulbus mulai menurun. Tahap III
sel bulbus matriks mengalami diferensiasi menjadi komponen folikuler. Tahap IV melanosit
matriks mengalami reaktivasi. Tahap V batang rambut baru mulai muncul menggantikan
batang rambut yang memasuki fase telogen. Tahap VI batang rambut baru muncul dari
permukaan kulit. Tahap VII pertumbuhan stabil.

Panjangnya waktu anagen menentukan panjang akhir dari batang rambut, dan hal ini
dipengaruhi oleh lokasi tumbuhnya rambut. Sebagai contoh, rambut kepala memiliki fase
anagen terpanjang yaitu 2 hingga 8 tahun, durasi anagen pria dewasa muda di bagian tubuh
lainnya memiliki waktu yang lebih singkat, seperti pada kaki 5 hingga 7 bulan, tangan 1,5
hingga 3 bulan, bulu mata 1 hingga 6 bulan.

Pada manusia dewasa pertumbuhan rambut dikepala berjalan asinkoron, hampir 90-
93% rambut kepala berada dalam fase anagen, dan sisanya berada dalam fase telogen.Selama
proliferasi dan migrasi keratinosit ke dermis untuk membentuk bagian terbawah folikel
rambut, enzim seperti protease dan kolagenase muncul.

Melanosit berproliferasi dan membentuk bulbus rambut baru, serta terjadi


angiogenesis dan proliferasi endotel pada dermal papilla, fase anagen sempurna ketika batang
rambut diproduksi secara aktif.

2. Katagen

Fase katagen merupakan siklus rambut yang kedua, terjadi setelah berhentinya proses
mitosis. Sekitar 1% keseluruhan rambut pada kulit kepala pada suatu saat akan terdapat dalam
fase ini, yang merupakan fase transisi. Fase katagen diawali dari berkurangnya mitosis pada
matriks hingga berhenti yang terjadi dalam beberapa hari. Sejak proses mitosis berhenti,
bagian yang terletak lebih rendah dari folikel memendek dan selubung jaringan penghubung
terutama membrane vitreous menjadi menebal dan mengerut. Selubung akar yang lebih dalam
akan hancur dan menghilang. Sel-sel pada selubung akar luar akan membentuk kantung pada
dasar akar rambut yang berfungsi sebagai tempat sel benih folikel. Folikel sekarang memasuki
fase telogen. Masih tidak diketahui dengan pasti faktor-faktor yang menginisiasi dimulainya
fase katagen secara spontan.

6
3. Telogen (Fase Istirahat)

Setelah fase katagen selesai dan rambut klub terbentuk, akan terjadi expulsi rambut
dari scalp. Sekitar 1% dari rambut telogen akan terlepas, fase telogen disebut juga sebagai
fase istirahat. Folikel rambut akan berkerut dan rambut yang terbentuk akan tertahan ditempat
oleh massa seperti tongkat hingga masa metanagen dibangun dengan baik pada siklus
selanjutnya. Fase telogen berlangsung sehat atau lama tergantung kesehatan setiap orang.
Setelah fase istirahat ini, folikel rambut akan kembali tumbuh lagi ke bawah yang akhirnya
akan mencapai panjang sebelumnya dan mendorong rambut yang tua.

Gambar 1. Siklus Pertumbuhan Rambut Normal. A. Anagen (Fase Pertumbuhan); B. Catagen (Fase
Degeneratif/Involusi); C. Telogen (Fase Istirahat).4

Sementara itu, alopesia areata merupakan penyakit yang terjadi akibat terganggunya
siklus pertumbuhan rambut di atas. Pada kelainan ini fase catagen dan telogen terjadi lebih
awal dan lebih singkat dari normalnya dan digantikan oleh pertumbuhan anagen yang
distrofik. Meski demikian, banyak penelitian memperlihatkan bahwa gangguan pada alopesia
areata lebih banyak terjadi pada fase anagen III/IV.5

Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen fisiologis, yaitu


timus, perifer (pembuluh darah, skin-draining lymph nodes, limpa, dan kulit), serta folikel
rambut atau jaringan target. Mekanisme ini dimulai dari timus. Progenitor sel T yang berasal
dari sumsum tulang mulanya mengalami seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk
7
memilih sel T berdasarkan afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human
Leukocyte Antigen (HLA) juga penting dalam seleksi ini. Individu yang memiliki HLA
halotypes yang spesifik (faktor genetik) cenderung membuat sel T menjadi autoreaktif.
Selanjutnya timus akan memperlihatkan berbagai antigen dari seluruh tubuh untuk proses
pematangan sel T, kecuali antigen folikel rambut. Pada akhirnya akan terbentuk sel T CD 8+
dan CD4+ yang kemudian harus melewati toleransi di timus.5

Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat toleransi pada timus
yang buruk. Di dalam perifer sel T juga akan mengalami aktivasi antigen spesifik. Bila
diaktifkan oleh self-peptide, sel T akan mengalami ekspansi klonal yang diikuti dengan delesi
atau anergi (inaktivasi secara fungsional). Bila delesi dan anergi ini gagal maka sel T
autoreaktif akan menumpuk sehingga menimbulkan proses autoimun. Menurunnya jumlah
CD4+CD25+ regulatory T cells yang diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan
mengakibatkan sel T autoreaktif semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang
berasal dari rambut, seperti keratin 16, trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti
keratinocytes, dermal papilla, dermal sheath cells, dan melanocytes, atau antigen asing dapat
memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini dinamakan molecular mimicry (Gambar 2).5

Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan
antigen asing di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di perifer, sel T
autoreaktif akan menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada beberapa komponen yang
dianggap terlibat dalam mekanisme tersebut, seperti CD 8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK,
aktivitas sel NK-T, antibody dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel
rambut melalui interaksi Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang
diinduksi oleh sitokin.5

Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit
ditemukan adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-, IGF-1, -
MSH, dan sel NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan melawan antigen.
Sebaliknya pada kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi, mikrotrauma folikuler, atau antigen
mikroba dapat merangsang pelepasan sitokin proinflamasi seperti IFN- yang mampu
menginduksi ekspresi molekul MHC class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular
bulb cells sedangkan jumlah sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.5,6

Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD 8+ dan CD4+ ke


dalam folikel rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini disebabkan
8
oleh adanya peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion
molecules 2 (ICAM-2) dan ELAM-1 di area perivaskuler dan peribulbar pada kulit. Molekul-
molekul adhesi ini kemudian berikatan dengan sel T kemudian membawanya menuju ke sel
endotel pembuluh darah dan akhirnya ke dermis. Sel T CD 8+ menginfiltrasi area dermis pada
folikel rambut (intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler)
pada fase anagen. Dengan bantuan sel T CD4+ molekul-molekul MHC ini kemudian dikenali
sebagai antigen oleh sel T CD8+ yang autoreaktif.5,6

Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti dengan
terhentinya siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen awal. Folikel
rambut dalam kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses keratinisasi juga menjadi
tidak lengkap, sehingga pertumbuhan rambut digantikan menjadi anagen distrofik yang berarti
bahwa meskipun fase anagen tetap ada, kemampuan folikel rambut untuk memproduksi
rambut dengan ukuran dan integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada fase kronis,
telogen akan berlangsung lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan memasuki fase
anagen.5

Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata
dengan melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat stres NGF
akan menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia dan menginduksi fase
catagen lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan ditranspor melalui serabut saraf
sensorik peptidergik menuju ke kulit yang kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan
neurogenik perifolikuler yang dapat mengganggu pertumbuhan rambut.6

9
Gambar 2. Imunopatogenesis Alopesia Areata.5

Gambar 3. Folikel Rambut pada Fase Anagen Normal dan pada Alopesia Areata.6
10
Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita Alopesia Areata.6

GEJALA KLINIS
Ditandai dengan adanya bercak dengan kerontokan rambut pada kulit kepala, alis,
janggut, dan bulu mata. Bercak ini berbentuk bulat atau lonjong. Perjalanan penyakit alopesia
areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia areata lebih sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi
sensasi terbakar atau gatal di area kebotakan pada sekitar 14% pasien. Pada tepi daerah yang
botak ada rambut yang terputus, bila rambut ini dicabut terlihat bulbus yang atrofi. Sisa
rambut terlihat seperti tanda seru. Rambut tanda seru (exclamation mark hair) adalah batang
rambut yang ke arah pangkal makin halus, rambut sekitarnya tampak normal, tetapi mudah
dicabut. Pada beberapa penderita kelainan menjadi progresif dengan terbentuknya bercak baru
sehingga terdapat alopesia totalis. Gejala lain yang terlihat adalah perubahan kuku, misalnya
pitting, onikilosis (pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-cekungan
transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah kuku). Perubahan
kuku ini dapat merupakan tanda untuk mendeteksi adanya penyakit imun. Kuku juga
mengandung protein keratin yang juga terdapat pada folikel rambut.7,8

Berdasarkan jumlah lesi, luas lesi dan topografi hilangnya rambut, alopesia areata
secara klinis dibagi menjadi beberapa tipe:9

1. Bentuk Tipikal/ Umum/ Klasik


Alopesia areata dengan plak tunggal atau unifokal

Pada bentuk ini terdapat plak alopesik licin berbentuk bulat ataupun oval, dimana warna
kulit pada lesi masih normal, rambut pada bagian pinggir plak mudah dicabut; dapat
terlihat exclamation mark hair.
11
Alopesia areata dengan plak multipel atau multifokal

Pada bentuk ini ada beberapa plak alopesik tipikal untuk alopesia areata yang
mempengaruhi kulit kepala dan/ atau area lainnya.

Alopesia areata bentuk ophiasis

Pada bentuk ini kehilangan rambut terjadi pada daerah temporo-oksipital sehingga terjadi
kebotakan ekstensif; dapat mencapai batas bawah kulit kepala berbatasan dengan leher.

Alopesia totalis

Pada bentuk ini rambut kepala botak total tanpa mempengaruhi rambut tubuh lainnya.
Dapat ditemukan juga kelainan pada kuku.

Alopesia universalis

Pada bentuk ini terdapat kehilangan total rambut tubuh, melibatkan kulit kepala, alis mata,
bulu mata, janggut, kumis, ketiak dan area genital. Pada umumnya terjadi juga berbagai
macam lesi kuku.

2. Bentuk Atipikal
Alopesia areata bentuk sisaifo (inverse ophiasis)

Pada bentuk ini kehilangan rambut melibatkan seluruh kulit kepala kecuali batas
bawahnya, sepanjang area temporo-oksipital.

Alopesia areata bentuk retikular

Pada bentuk ini, plak kebotakan multipel terjadi dipisahkan oleh sedikit rambut yang
tertinggal, sehingga memberi gambaran seperti jaring.

Alopesia areata difus

Pada bentuk ini kehilangan rambut terjadi secara akut dan luas.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan akumulasi sel-sel mononuklear
dalam dan sekitar bulbus rambut (gambaran swarm of bees). Hal ini merupakan gambaran

12
khas untuk alopesia areata. Keadaan ini terutama ditemukan saat penyakit ini masih dalam
fase akut, dan terdiri dari sel CD4+ dan CD8+ dengan rasio CD4+/CD8+ yang tinggi pada
penyakit yang secara klinis aktif. Pada fase kronik, terlihat folikel rambut yang mengecil dan
penurunan akumulasi sel.10

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding yang paling sering adalah Tinea Kapitis dan Trikotilomania.8
Tinea Kapitis
Infeksi jamur pada kulit kepala yang sering ditemukan pada anak-anak (umur 4-14 tahun),
yang ditandai dengan adanya lesi kebotakan disertai gatal dan kulit yang bersisik
(skuama). Pada pemeriksaan, lesi tidak teratur disertai adanya eritema, bersisik, dan
rambut patah, akan tetapi tidak disertai adanya exclamation mark hairs dan perubahan
pada kuku yang merupakan karakteristik alopesia areata. Dapat pula terdapat kerion, yaitu
nodul radang dan nyeri pada kulit kepala.
Trikotilomania
Suatu kondisi psikiatri yang dapat dikaitkan dengan gangguan obsesif-kompulsif dimana
pasien sering mencabut rambutnya sendiri akan tetapi tidak mengakuinya. Pada anak-
anak sering terjadi pada anak laki-laki, akan tetapi pada remaja sering terjadi pada
perempuan, kebotakan terlihat asimetris dan memiliki bentuk yang tidak teratur, dan
rambut sekitar lesi tidak mudah dicabut. Tidak terdapat inflamasi.

TERAPI
Data EBM mengenai terapi alopesia areata sangatlah terbatas; kebanyakan
rekomendasi terapi hanya didasarkan oleh laporan dan pengalaman klinis. Saat ini terapi yang
tersedia untuk alopesia areata bersifat paliatif, yakni hanya berfungsi untuk mengontrol
episode kehilangan rambut yang sedang terjadi dan bukan untuk menyembuhkan kondisi yang
mendasari penyakit ini. Berikut ini adalah algoritme terapi alopesia areata berdasarkan umur
dan keterlibatan kulit kepala.7

13
Gambar 5. Algoritme terapi alopesia areata7

Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal kelas 1 dan 2 digunakan secara luas untuk mengobati alopesia
areata.
Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (triamsinolon asetonida atau triamsinolon
heksasetonida) merupakan terapi lini pertama pada pasien dewasa dengan keterlibatan
kulit kepala < 50%. Triamsinolon asetonida digunakan dengan konsentrasi 2,5-10 mg/mL.
Terapi diulangi tiap 4-6 minggu dengan total dosis injeksi per sesi 15-40 mg. Respon awal
dapat dilihat setelah 4-8 minggu. Jika tidak ada pertumbuhan kembali rambut setelah 4
bulan pengobatan, terapi lain harus dipikirkan. Injeksi kortikosteroid intralesi biasanya
digunakan untuk area kulit kepala, alis mata dan janggut serta dapat dikombinasikan
dengan terapi topikal lainnya.
Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik telah terbukti efektif sebagai terapi alopesia areata. Namun,
rambut yang telah tumbuh kembali sering rontok kembali ketika terapi dihentikan. Hal ini
menyebabkan penggunaan kortikosteroid sistemik kontroversial dan sering digunakan
dalam jangka pendek pada kasus kehilangan rambut yang sangat cepat. Kortikosteroid
sistemik tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin karena tidak memberikan prognosis
jangka panjang yang baik dan dapat menyebabkan banyak efek samping seperti striae,
akne, obesitas, katarak dan hipertensi. Dosis bervariasi dengan dosis awal 20 mg hingga
40 mg prednison per hari diturunkan perlahan hingga mencapai dosis 5 mg per hari dalam
14
beberapa minggu atau dapat juga digunakan regimen terapi denyut dengan prednison oral
dosis tinggi jangka pendek (100-300 mg) atau IV metilprednisolon (250 mg).
Minoxidil Topikal
Terdapat beberapa laporan adanya pertumbuhan kembali rambut yang cukup
memuaskan dengan penggunakan solusio minoxidil 5% topikal. Hasil yang lebih baik
dapat dicapai dengan kombinasi kortikosteroid topikal kelas 2 atau antralin. Minoxidil
menunjukkan efikasi yang tidak memuaskan pada kasus alopesia totalis dan universalis.
Antralin
Antralin ada sebuah iritan yang mungkin memiliki sebuah efek imunomodulasi tidak
spesifik dan utamanya digunakan untuk terapi psoriasis. Antralin digunakan dalam bentuk
sediaan krim 0,2-1,0% ataupun salep. Penggunaannya adalah dengan mengaplikasikan
antralin ke area kulit kepala yang terlibat dan dibiarkan selama 20-30 menit untuk 2
minggu pertama, dan kemudian 45-60 menit sehari untuk 2 minggu selanjutnya. Jika
terapi efektif, akan terlihat pertumbuhan rambut dalam 2-3 bulan setelah mulai terapi.
Antralin telah terbukti aman sehingga dapat digunakan pada pasien anak. Efek samping
antralin meliputi iritasi, kulit kelupas, folikulitis dan limfadenopati regional. Antralin tidak
cocok digunakan untuk area alis mata dan janggut.
Imunoterapi Topikal
Efek yang diinginkan dari regimen terapi ini adalah terjadinya dermatitis kontak.
Difenilsiklopropenon (DPCP) dan asam skuarik dibutil ester (SADBE) adalah agen
sensitisisai yang umum digunakan. Penggunaan dalam jumlah sedikit solusio 2% dari zat
yang sudah disebutkan pada area kecil kulit kepala atau area lainnya (biasanya tangan)
untuk satu minggu sebelum inisiasi terapi akan mensensitisasi pasien. Solusio DPCP atau
SADBE kemudian dioleskan setiap minggu pada kulit kepala, dimulai dari konsentrasi
0,0001%. Kulit kepala tidak boleh dicuci 48 jam setelah terapi dan harus dilindungi dari
radiasi UV. Setiap minggu konsentrasi solusio dianikkan secara hati-hati hingga pasien
memanifestasikan eritema dan gatal ringan. Kemudian terapi dilanjutkan dengan
konsentrasi ini; konsentrasi tertinggi yang boleh digunakan adalah 2%. Angka
keberhasilan bervariasi dari 17-75% dengan angka keberhasilan terendah terjadi pada
pasien alopesia totalis dan universalis.

Foto(kemo) Terapi
UVB telah dilaporkan memberikan respon yang baik untuk pasien alopesia areata. Opsi
lainnya termasuk Administrasi oral dan topikal psoralen yang diikuti dengan iradiasi
UVA. Walaupun dibuktikan memberikan respon, foto(kemo) terapi menunjukkan angka
relaps yang sangat tinggi khususnya pada fase tappering. Selain itu, paparan radiasi UV

15
jangka panjang dapat mencetuskan berbagai kanker kulit. Oleh karena itu, regimen terapi
ini hanya boleh dipertimbangkan pada kasus-kasus sulit.
Siklosporin
Siklosporin sistemik dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari telah dilaporkan memberikan efek
menguntungkan pada beberapa pasien alopesia areata. Namun efek samping terapi
siklopsorin sangat banyak dan angka relaps sangat tinggi.

PROGNOSIS
Perjalanan alamiah penyakit alopesia areata sulit untuk diprediksi. Beberapa pasien
mungkin mengalami hanya satu episode kebotakan selama hidupnya, yang lain dapat
mengalami rekurensi yang sering. Variasi lebih lanjut terjadi pada masa penyembuhan.
Beberapa pasien menunjukkan pertumbuhan kembali rambut secara sempurna, sedangkan
yang lain tidak mengalami perbaikan atau terjadi kebotakan lebih lanjut. Beberapa studi
epidemiologis telah mengidentifikasi faktor-faktor prognostik yang dapat memberikan
prognosis buruk terhadap pertumbuhan kembali rambut pasien alopesia areata.11

Gambar 6. Faktor Prognostik Buruk Pertumbuhan Rambut Kembali pada Pasien Alopesia Areata 11

RINGKASAN
Alopesia areata merupakan penyakit yang ditandai dengan kerontokan rambut akibat
proses inflamasi kronis dan berulang yang terjadi pada rambut terminal. Penyakit ini dapat
terjadi pada semua kelompok umur dengan prevalensi yang sama antara pria dan wanita.
Alopesia areata disebabkan oleh berbagai faktor terutama autoimun dan genetik. Dalam
kondisi normal pertumbuhan rambut mengalami siklus yang terdiri dari fase anagen, katagen,
dan telogen. Pada alopesia areata siklus ini mengalami gangguan terutama pada fase anagen
III/IV. Kondisi ini terjadi melalui mekanisme autoimun yang melibatkan berbagai komponen
seperti timus, perifer, jaringan target berupa folikel rambut, sel T CD 8+, sel T CD4+, MHC
16
class I dan II, ICAM-2, ELAM-1, dan berbagai sitokin proinflamasi yang secara keseluruhan
berperan dalam mengakibatkan terhentinya fase anagen secara prematur dan digantikan
dengan anagen distrofik.

Alopesia areata paling banyak terjadi pada rambut di kepala meskipun pada lokasi lain
seperti wajah dan ekstremitas juga dapat terjadi. Alopesia areata ditandai dengan adanya
bercak kebotakan yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus,
licin, serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi yang disertai terasa gatal. Lesi
kebotakan dapat berjumlah satu atau multipel bahkan dapat menjadi totalis hingga universalis.
Selain itu juga dapat ditemukan adanya exclamation mark hair serta terjadi perubahan pada
kuku. Untuk mendiagnosis lebih pasti dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kulit
kepala, serologi, atau biopsi kulit bila diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Penataksanaan alopesia areata meliputi terapi topikal seperti kortikosteroid topikal,
kortikosteroid intralesi, antralin, minoxidil, atau terapi sistemik seperti kortikosteroid dan
siklosporin. Terapi lainnya dapat berupa tindakan fototerapi PUVA (Psoralen+UVA) dan
penggunaan rambut palsu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, S.S., Sandeep S. Alopecia Areata: A Review. Journal of the Saudi Society of
Dermatology & Dermatologic Surgery (2013). 17, 3745.
2. Perera, E., Leona Y, Rodney S. Alopecia Areata. Hair Ther Transplant 2014, 4:1.
3. Petukhova, L., Madeleine D, Maria H, David N, Vera P, Yutaka S, Hyunmi K, Pallavi S,
Annette L, Wei VC, Katja CM, Ralf P, Colin ABJ, Christopher IA, Peter KG, Angela
MC. Genome-wide Association Study in Alopecia Areata Implicates Both Innate and
Adaptive Immunity. Nature. 2010 July 1; 466(7302): 113117.

17
4. Wolff, K. dan Johnson RA Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 6th Edition. New York: McGrawHill; 2009: p. 962-75.
5. Alexis, A.F., Duddasubramanya R, Sinha AA. Alopecia Areata: Autoimmune Basis of
Hair Loss. Eur J Dermatol. 2004; 14: 364-70.
6. Gilhar, A., Paus R, Kalish RS. Lymphocytes, Neuropeptides, and Genes Involved in
Alopecia Areata. J. Clin. Invest. 2007; 117(8): 2019-27.
7. Otberg, N. dan Jerry S. Hair Growth Disorders. Dalam: Lowell A. Goldsmith, editor.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
p.979.
8. Soepardiman, L. Kelainan Rambut. Dalam: Adhi Djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.301.
9. Rivitti, E. A. Alopecia Areata: A Revision and Update. An Bras Dermatol.
2005;80(1):57-68.
10. Ito, T. Recent Advances in the Pathogenesis of Autoimmune Hair Loss Disease Alopecia
Areata. Clin Dev Immunol. 2013;348546:1-6.
11. Spano, F. dan Jeff CD. Alopecia Areata Part 1: Pathogenesis, Diagnosis, and Prognosis.
Can Fam Physician 2015;61:751-5.

18

You might also like