You are on page 1of 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi

dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-

bersin, hidung tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang

paling sering ditemui dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun

setelah paparan allergen yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis

alergi sering pula memicu simptom okular.

Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir.

Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-

40%. Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan

meningkatnya polusi udara, populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau

kantor, dan lain-lain (Ikawati, 2011). Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita

rinitis alergi, dengan 50% penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya

rinitis alergi adalah antara usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang

pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada

usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani, 2010).

Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan

pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test

ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi

pasien terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test

1
alergi untuk mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai

karena lebih mahal dan kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus-

kasus tertentu di mana skin test tidak dapat dilakukan (Bousquet et al, 2008).

Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang

mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan

kualitas hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak

rinitis alergi yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai

dari terganggunya tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya

konsentrasi di sekolah (Bousquet et al, 2008).

Rinitis alergi adalah penyakit yang terkesan sepele tetapi ternyata cukup

mengganggu dan diderita oleh cukup banyak orang, tetapi di Indonesia

nampaknya belum banyak dilakukan penelitian mengenai rinitis alergi, terutama

yang mengamati efektivitas pengobatan rinitis alergi di berbagai Rumah Sakit.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka penelitian tentang

efektivitas pengobatan rinitis alergi di RS Panti Rapih Yogyakarta perlu dilakukan

untuk mendapatkan gambaran efektivitas pengobatan rinitis alergi agar dapat

digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pelayanan medis dalam

pengobatan rinitis alergi.

2
B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pola pengobatan rinitis alergi pada pasien yang didiagnosa

menderita rinitis alergi di Instalasi Rawat Jalan RS Panti Rapih Yogyakarta

periode Februari 2013-April 2013?

2. Bagaimana efektivitas pengobatan rinitis alergi dilihat dari gejala yang

dialami pasien sebelum terapi dan dua minggu setelah terapi di Instalasi

Rawat Jalan RS Panti Rapih Yogyakarta periode Februari 2013-April 2013?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran pola pengobatan rinitis alergi di Instalasi Rawat Jalan

RS Panti Rapih Yogyakarta periode Februari 2013 sampai April 2013.

2. Mengevaluasi efektivitas pengobatan rinitis alergi dilihat dari gejala yang

dialami pasien sebelum terapi dan dua minggu setelah terapi di Instalasi

Rawat Jalan RS Panti Rapih Yogyakarta periode Februari 2013-April 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Sebagai salah satu sumber informasi mengenai penggunaan obat untuk

penderita rinitis alergi.

2. Praktis

a. Dapat digunakan oleh rumah sakit sebagai salah satu bahan acuan dalam

peningkatan mutu pelayanan medis untuk pengobatan rinitis alergi.

3
b. Dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi

penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Definisi rinitis alergi

Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang

disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian

memicu serangkaian respon imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet

et al, 2008).

2. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan

herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and

Higler., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada

dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap

beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung

dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya

berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan

memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok,

polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca

(Becker et al., 1994).

4
3. Patofisiologi rinitis alergi

a. Sensitisasi

Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana

ketika suatu allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC)

seperti sel langerhans pada epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan

hidung, akan memproses dan mengekpresikan alergen tersebut pada

permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada

sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-limfosit. Melalui

beberapa interaksi sel spesifik kemudian sel b-limfosit akan

bertransformasi menjadi antibody secretory cell, yaitu sel plasma

(Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE

yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan

allergen spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan

memasuki sirkulasi, ia akan berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor

afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi reseptornya yang bersifat

spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi dengan allergen

pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu

mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah

basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi

IgE yang bersifat allergen-spesific inilah yang menimbulkan respon imun

yang disebut sensitisasi (World Allergy Organization, 2003).

5
b. Reaksi alergi fase cepat

Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat

berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya.

Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, triptase, dan

mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin.

Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari

pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan

terjadi edema, berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid dengan

gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung.

Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal

pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

c. Reaksi alergi fase lambat

Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi

ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi

terhadap sel endotel post-kapiler yang menghasilkan suatu Vascular Cell

Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini menyebabkan sel

leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor

kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel

eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa

hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan

6
mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan

hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini

lebih didominasi oleh sumbatan hidung (Schwinghammer in DiPiro et al.,

2009).

4. Klasifikasi rinitis alergi

Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Rinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh

hidung.

b. Rinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis

non-alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu rinitis vasomotor, rinitis

medicamentosa, dan rinitis struktural.

1) Rinitis vasomotor

Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas

pada saluran pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu

eksternal non-spesifik, seperti perubahan suhu dan kelembaban, asap

rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering muncul pada tipe ini

adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas

parasimpatik dan/atau glandular.

7
2) Rinitis medicamentosa

Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada

pasien yang menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis.

Belum diketahui dengan jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan

edema intravaskular telah menjadi implikasi utamanya. Penanganan

rinitis medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan nasal

dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu diikuti dengan

terapi sesuai dengan simptom yang timbul.

3) Rinitis stuktural

Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi

hidung yang diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital

(kelainan bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis

tipe ini dapat mengalami simptom rinitis kapan saja dalam setahun

dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada salah satu sisi hidung

dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic, 2006).

c. Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Seasonal (hay fever)

Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen,

rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap

tahunnya (musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptom-

simptom akut lebih banyak.

8
2) Perrenial (intermittent or persistent)

Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap

allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan

biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis.

a) Intermittent

Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila

gejala rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya,

atau terjadi selama tidak lebih dari empat minggu berturut-turut.

b) Persistent

Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi

tipe ini bila gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap

minggunya, dan terjadi selama lebih dari empat minggu berturut-

turut.

3) Occupational

Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di

tempat kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul

tinggi, agen berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui

mekanisme imunologi atau patogenik non-imunologi yang tidak begitu

diketahui (Ikawati, 2011).

9
5. Diagnosis rinitis alergi

a. Gejala dan tanda

Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua

atau lebih dari gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih,

bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau

konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu hari (Bousquet et al., 2008).

b. Pemeriksaan fisik

Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya

lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiners), adanya luka pada

daerah hidung yang disebabkan karena seringnya anak menggosok

hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang dilapisi dengan lendir

jernih, serta pembengkakan periorbital. Simptom fisik lebih susah

diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya

menunjukkan jumlah eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan

eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang spesifik

dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat

digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik

terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test

perkutan (Bousquet et al., 2008).

10
d. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal

Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat

memberikan informasi penting mengenai kondisi fisiologis pasien.

Sementara endoskopi nasal dibutuhkan untuk mengidentifikasi gejala-

gejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas anatomik

lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering digunakan untuk

penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi

persisten.

e. Skin test

Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergen-

spesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami

bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup

pasien mulai terpengaruh.

f. Nasal challenge test

Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe

occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien

terhadap faktor pemicu tertentu secara spesifik.

11
6. Penatalaksanaan terapi rinitis alergi

Gambar 1. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi (Bousquet et al., 2008)

a. Tujuan terapi

1) Meningkatkan kualitas tidur

2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah

3) Menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu aktivitas

4) Menghilangkan atau meminimalkan efek samping terapi

12
b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)

1) Terapi non-farmakologi

Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan

allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika

allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap

dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak

menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau

springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika

memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air

Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air (HEPA)

filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim

penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati,

2011).

2) Terapi farmakologi

Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah

dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang

digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan nasal,

kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati,

2011).

13
7. Obat-obat yang digunakan

a. Oral antihistamin (H1-blocker)

H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir

histamin pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala-

gejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin,

hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk

mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk

anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek

samping yang signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya

(ARIA, 2008). Contoh obat golongan ini antara lain adalah cetirizin,

loratadin, dan fexofenadin.

b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)

Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya

diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan,

tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular H1-antihistamin efektif dalam

mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah

sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).

Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.

c. Lokal glukokortikosteroid

Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling

baik dalam penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat

14
golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain

sebagainya. Keuntungan menggunakan intranasal glukokortikosteroid

untuk penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada

nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak

diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis

alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan

gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah

first line therapy yang direkomendasikan di atas obat golongan lain.

Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam

setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai

dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).

d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid

Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak

merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan

intranasal, perlu ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal:

prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam

sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon).

Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat

menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan

intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et al.,

2008).

15
e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)

Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena

bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator,

termasuk histamin. Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat dan

nedokromil. Efek sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal

yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung (Ikawati,

2011).

f. Dekongestan

Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang

beraksi pada reseptor -adrenergik pada hidung yang menyebabkan

vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan

memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain adalah

pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal

yang lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu

durasi terapi dengan dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari.

Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan,

karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek

samping (Ikawati, 2011).

g. Intranasal antikolinergik

Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik,

efektif untuk pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita

16
gejala rinore. Efek samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya

bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan

ini adalah ipratropium.

h. Antileukotrien

Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh

obat golongan ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang

placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul

dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi

seasonal (Bousquet et al., 2008)

i. Imunoterapi

Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi

rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya

diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap

dapat memicu timbulnya gejala alergi.

Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap

farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen,

dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi

dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil,

penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan

17
kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis

sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011).

18

You might also like