You are on page 1of 19

LAPORAN KASUS

TINEA CRURIS

Disusun oleh :

Nurcholis
2006730070

Pembimbing :

dr. H. Dindin Budhi R, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
2011

0
STATUS PASIEN

KETERANGAN UMUM PENDERITA


Nama : Ny. L
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sunda
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Marital : menikah
Alamat : Ciranjang, Cianjur

ANAMNESIS (Auto-anamnesis pada tanggal 08 maret 2011 Pukul 10.30 WIB)

Keluhan utama

Bercak kemerahan yang terasa gatal di kedua lipat paha dan sekitar anus dirasakan
sejak 5 bulan yang lalu.

Anamnesis khusus

Bercak kemerahan yang terasa gatal di kedua lipat paha dan sekitar anus sejak 5
bulan sebelum datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin RSUD Cianjur. Rasa gatal
bertambah terutama bila berkeringat, bila digaruk terasa lebih enak namun setelah digaruk
akan terasa perih. Bercak kemerahan pertama kali timbul di lipatan paha bagian kiri, awalnya
berukuran kecil yang terasa gatal, kemudian digaruk sehingga terlihat semakin melebar
disertai bruntus-bruntus kecil di pinggir-pinggirnya. Bercak-bercak merah disertai bruntus-
bruntus merah kemudian menyebar ke lipatan paha kanan dan sekitar anus.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Keluhan ini merupakan ketiga kalinya dialami pasien, pertama pada 3 tahun yang lalu, kedua
pada 2,5 tahun yang lalu, dan ketiga yang saat ini. Riwayat DM disangkal. Riwayat penyakit
kuning disangkal.

1
Riwayat Penyakit Keluarga:

Anggota keluarga yang tinggal serumah tidak ada yang menderita keluhan seperti ini.
Riwayat DM pada keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan:

Selama 5 bulan ini pasien sudah berobat ke dokter dan diberi obat (salep dan obat minum
tetapi tidak hafal jenis obatnya), namun tidak ada perubahan.

Riwayat Alergi:

Alergi terhadap makan-makanan laut disangkal. Alergi obat disangkal.

Riwayat Psikososial

Pasien merupakan Ibu rumah tangga yang tinggal di perumahan yang padat penduduk dan
rumah yang berdekatan.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Tanda-tanda vital :

Tekanan darah 110/70 mmHg

Nadi 80 x/menit
Respirasi 20 x/menit
Suhu 36,2C
BB : 85 kg

Status Generalis:

Kepala Rambut : alopecia (-), rontok (-)


Mata : conjunctiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : sekret (-/-)
Mulut : hiperemis (-), mukosa buccal basah, erosi (-)
Gigi : karies (-), mikrolesi (-)

2
THT : tonsil T1/T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Leher KGB: tidak teraba membesar, massa (-)


JVP tidak meninggi
Thoraks Bentuk dan gerak simetris
VBS ka=ki, sonor, wheezing (-), rhonchi (-)
BJ murni reguler, murmur (-)
Abdomen Datar, lembut, BU (+) Normal

Ekstremitas Deformitas (-), udem (-), RCT < 2 dtk


Kulit lihat status dermatologikus

Status Dermatologikus :

Distribusi Regioner

A/R Kedua Lipat paha kanan dan kiri, sekitar anus.

Karakteristik Lesi multipel, berbentuk lonjong, permukan sebagian rata dan


Lesi sebagian menimbul, berwarna merah, kering, dengan pinggiran lesi
aktif, berbatas tegas, di bagian tengahnya mengalami penyembuhan
dengan diameter terkecil 0,1 cm dan diameter terbesar 0,4 cm.
Efluroesensi Makula eritematosa disertai skuama dengan tepi aktif berbatas
tegas, menyembuh di tengah. Pada bagian tepi ditemukan papul

Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH 20% didapatkan hifa panjang yang
bersekat (+)

RESUME
Seorang perempuan usia 37 tahun, datang ke Poli klinik kulit dan kelamin RSUD
Cianjur dengan keluhan bercak-bercak kemerahan yang terasa gatal di kedua lipat paha, dan
sekitar anus sejak 5 bulan yang lalu. Lesi pertama kali muncul berupa makula eritem di
lipatan paha kiri disertai vesikel berukuran kecil yang terasa gatal 5 bulan yang lalu. Lesi
kemudian digaruk, keluhan bertambah dan terlihat semakin melebar disertai papul-papul
yang eritem dan berskuama di bagian tepinya. Kemudian lesi menyebar ke lipat paha kanan

3
dan sekitar anus. Pruritus bertambah terutama bila berkeringat. Keluhan ini merupakan
ketiga kalinya dialami pasien sejak 3 tahun ini, anggota keluarga yang tinggal serumah tidak
ada yang menderita keluhan seperti ini. alergi terhadap makan-makanan laut disangkal.
Selama 5 bulan ini pasien sudah berobat ke dokter dan diberi obat (salep dan obat minum
tetapi tidak hafal jenis obatnya), namun tidak ada perubahan.

Status generalisata tidak ditemukan adanya kelainan. Status dermatologikus


ditemukan distribusi regioner, A/R kedua lipat paha kanan dan kiri, sekitar anus. Lesi
multipel, berbentuk lonjong, permukan sebagian rata dan sebagian menimbul, berwarna
merah, kering, dengan pinggiran lesi aktif, berbatas tegas, di bagian tengahnya mengalami
penyembuhan dengan diameter terkecil 0,1 cm dan diameter terbesar 0,4 cm. Efloresensi:
Makula eritematosa disertai skuama dengan tepi aktif berbatas tegas, menyembuh di tengah.
Pada bagian tepi ditemukan papul-papul eritem

Hasil pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit dengan KOH 20% didapatkan


jamur/hifa (+)

DIAGNOSIS KERJA

- Tinea Cruris

PENATALAKSANAAN

Umum :

1. Menjaga kulit tetap kering


2. Mengurangi kegiatan yang banyak menimbulkan keringat
3. Menggunakan pakaian yang longgar
4. Gunakan pakaian dalam yang mudah menyerap keringat,
5. Mengganti pakaian jika pakaian lembab karena keringat
6. Menghindari garukan

Khusus :

1. Topikal
- Ketokonazol cream 2%

4
2. Sistemik
- Ketokonazol tablet 1 x 200 mg selama 2-4 minggu
- CTM 3 x 4 mg/hari

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

DERMATOFITOSIS

I. Definisi

5
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan
jamur dermatofita.

II. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan
jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi
imperfecti, yang terbagi dalam genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.
Selain sifat keratofilik, masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat
faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan unutk pertumbuhannya dan
penyebab penyakit. Microsporum dan Trichophyton merupakan jamur patogen pada
manusia dan hewan. Epidermophyton merupakan jamur patogen pada manusia. Masa
inkubasi pada hewan adalah 1-2 minggu.

III. Epidemiologi

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka
kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak
ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang
kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.

IV. Klasifikasi
Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit berdasarkan lokasi
diantaranya :
- Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
- Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitikrural, sekitar anus, bokong, dan
kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
- Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
- Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea
di atas.

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu :

- Tinea imbrakata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentrasis dan


disebabkan Trichophyton concentrium

6
- Tinea favosa : dermatofitosis yang terutama disebabkan Trichophyton
schoenleini : secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus.
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis

V. Cara penularan

Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang
dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea
pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang
mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi
dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan
menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm).
Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
Disamping cara penularan tersebut, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung pada
beberapa faktor, antara lain :

1. Faktor virulensi dari dermatofita.


Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu
dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian tubuh
misalnya Trichophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermofiton floccosum
yang paling sering menyerang lipatan paha dalam.
Faktor terpenting dalam virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan
keratinasi dan mencerna keratin di kulit.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal; tempat yang banyak keringat seperti pada lipatan paha dan sela-
sela jari paling sering terserang jamur ini.

7
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memang peranan penting pada penyakit jamur. Insiden penyakit jamur pada
golongan sosial dan ekonomi lebih rendah lebih sering ditemukan daripada golongan
sosial ekonomi yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada
orang dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur disela-sela jari
daripada pria, dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Disamping faktor-
faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor pelindung tubuh (topi, sepatu,
dsb) faktor- faktor transpirasi serta penggunaan pakaian yang serba nilon dapat
memudahkan timbulnya penyakit jamur ini.

VI. Gejala Klinis


Dermatofitosis biasanya timbul pada jaringan berkeratin seperti rambut, kuku dan
bagian terluar dari kulit. Gejala klinis pada tiap klasifikasi berbeda-beda sesuai dengan
lokasinya. Gejala tersering adalah pruritus.

A. TINEA KRURIS

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan
ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun
seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.
Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin,
dhobie itch.

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython
fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%)

MANIFESTASI KLINIS

1. Anamnesis

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas
ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan
abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat.
8
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada
tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang
lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada
tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

2. Pemeriksaan Fisik

Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis
atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.

V.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan


langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol
70%.

a. Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 1-2
tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan
pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama
atau sudah diobati, dan miselium

VI.DIAGNOSIS

9
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat
gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah
disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%,
sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.

VII.DIAGNOSIS BANDING

Candidosis intertriginosa
Eritrasma

VIII.PENATALAKSANAAN

Pada infeksi tinea cruris biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja. Obat ini
digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas
lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik
dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi
topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan
tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan
lebih dari 4 mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,
tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha
demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana
struktur tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin
menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke
ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian
sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel
sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan
sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole.
Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik:

Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:

1.Golongan Azol

10
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)

Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris dan
corporis karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat
pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel
jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika
tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini
tersedia dalam bentuk kream 1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4
minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)

Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan
dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari
kontak dengan mata.

c. Econazole (Spectazole)

Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu
permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali
atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

d. Ketokonazole (Nizoral)

Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad


spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat
dilakukan selama 2-4 minggu. Obat ini tersedia dalam bentuk cream 2 %. Tidak

11
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.

e. Oxiconazole (Oxistat)

Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat


sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur
mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia
dalam bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

f. Sulkonazole (Exeldetm)

Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya
yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen
sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan
solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa
(dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2.Golongan alinamin

a.Naftifine (Naftin)

Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4
minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. .
Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-
4minggu).

b. Terbinafin (Lamisil)

Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide
yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan
kekurangan ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada

12
penelitian melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat
ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu

3.Golongan Benzilamin

a. Butenafine (mentax)

Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel
jamur menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk
cream 1%, diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4kali sehari.

4.Golongan lainnya

a. Siklopiroks (Loprox)

Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA

b.Haloprogin (halotex)

Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu
dan dioleskan sebanyak 3kali sehari.

c.Tolnaftate

Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu.

Obat sistemik yang digunakan untuk tinea kruris :

Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris:

a. Ketokonazole

Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang berspektrum
luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200 mg/hari selama 2-4 minggu. Ketokonazol
merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.

13
b. Itrakonazole

Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum
luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450
dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel
jamur. Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin
dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg po selama 1
minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetapi tidak boleh
melebihi 400mg/hari. Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini
dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama
dengan cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung.

c. Griseofulfin

Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan
mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding
itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize)
PO selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari

d.Terbinafine

Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian
secara oral disesuaikan dengan berat badan:

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :

Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering


Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab

14
Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun,
tidak ketat dan ganti setiap hari.
Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.

IX.KOMPLIKASI

Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi
jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.

X.PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan
dan kebersihan kulit selalu dijaga.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi et al, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI : Jakarta.
Fitzpatrick, Thomas B. et al, 1993. Dermatology in General Medicine. Vol 2. 4th ed. USA:
McGraw-Hill Book

15
Mansjoer, A, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Media Aesculapius FK UI :
Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
EGC : Jakarta.
http://health.detik.com/read/2009/07/28/144017/1172898/770/kurap--tinea-cruris-

http://medicastore.com/obat/10300/FEXAZOL.html

http://fkunhas.com/makalah-tinea-cruris.html

LAMPIRAN GAMBAR

16
Gambar . Lesi pada lipatan paha kanan dan
kiri

17
18

You might also like