You are on page 1of 12

Informed Consent adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari

persetujuan tindakan medik. Informed Consentterdiri dari dua kata


yaitu Informed dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah
di informasikan danConsent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang
untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dariinformed
Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat
sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.
Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) disebutkan sebagai
berikut :
Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah
pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi.
Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh
dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang
Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan
penjelasan lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang
bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang
penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi
medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang
akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima oleh pasien.
Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan
terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat
subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi
sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter
terhadap dirinya .
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas maka Informed Consent bukan
hanya sekedar mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani oleh
pasien atau keluarganya tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah proses
komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tetang dapat tidaknya
dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika porses komunikasi intesif
ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter sebagai pemberi
pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan maka hal tersebut
dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak,demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses komunikasi ini terjadi dan
ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk menghargai keputusan tersebut dan
meminta pasien untuk menandatangani surat pernyataan menolak tindakan
medik . jadi informed Consent adalah sebuah proses bukan hanya sekedar
mendapatkan tandatangan lembar persetujuan tindakan.
Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi
antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah
bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa
atau istilahistilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan terjadinya
mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis yang akan
dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan
bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan
Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata
pasien gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari
bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus
tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap
keuntungan dan kerugian jika tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan.
Selain itu dokter tetap berusaha melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif
dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh persetujuan atas tindakan yang
akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-
satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau meringankan
sakit pasien.
____________________________________________________________________________________

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.[1]

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien,
keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]

Tiga elemen Informed consent [3]


1. THRESHOLD ELEMENTS

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonableberdasarkan alasan
yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

2. INFORMATION ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan)


dan understanding(pemahaman).
Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga
medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan


bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. CONSENT ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
danauthorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga
harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan


o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di
kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan
tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.

Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat
bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus
mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).

Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang
tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.


Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent.
Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat
menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap cakap
menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien
melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap
kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat
tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40
% yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan
alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang
diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat
dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat
majalah akademik spesialis.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya jawab.

o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Keluhan dokter tentang informed consent

o Pasien tidak mau diberitahu.

o Pasien tak mampu memahami.

o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

____________________________________________________________________________________

DASAR HUKUM INFORMED CONSENT


Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak
mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada
kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak
pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk
melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB.
IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir
sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis
yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan
medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada
persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989,
yang berbunyi semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam
PermenkesNo.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu
Permenkes No.585 Tahun 1989.

BENTUK INFORMED CONSENT


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

DISKUSI

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan
Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang
perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed
consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan
pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan
informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan
ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan
dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari
kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien
sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang
akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga
diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien
baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga
akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

CONTOH SURAT PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

CONTOH SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

KESIMPULAN
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.

_____________________________________________________________________________________

You might also like

  • 473 856 1 PB
    473 856 1 PB
    Document10 pages
    473 856 1 PB
    luki masriansyah
    No ratings yet
  • Dgehtgreh
    Dgehtgreh
    Document4 pages
    Dgehtgreh
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Ajdjeusj
    Ajdjeusj
    Document16 pages
    Ajdjeusj
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Alsk 2 Okskw
    Alsk 2 Okskw
    Document4 pages
    Alsk 2 Okskw
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Dgehgrgerg
    Dgehgrgerg
    Document4 pages
    Dgehgrgerg
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Wfewfewf
    Wfewfewf
    Document2 pages
    Wfewfewf
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Rurirjfjrs
    Rurirjfjrs
    Document3 pages
    Rurirjfjrs
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Egegrhtrhgt
    Egegrhtrhgt
    Document1 page
    Egegrhtrhgt
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Vdgdfs
    Vdgdfs
    Document24 pages
    Vdgdfs
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Abcdfhiefjkwnfew
    Abcdfhiefjkwnfew
    Document4 pages
    Abcdfhiefjkwnfew
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Abednfjwenfo
    Abednfjwenfo
    Document1 page
    Abednfjwenfo
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Kosmologi Dan Prinsip Logika Aristoteles
    Kosmologi Dan Prinsip Logika Aristoteles
    Document16 pages
    Kosmologi Dan Prinsip Logika Aristoteles
    Faliq Kautzar
    No ratings yet
  • DFDSFSD
    DFDSFSD
    Document46 pages
    DFDSFSD
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Pedoman PKM 2017
    Pedoman PKM 2017
    Document123 pages
    Pedoman PKM 2017
    Riska Tanya
    No ratings yet
  • Dikmskndfvkd
    Dikmskndfvkd
    Document38 pages
    Dikmskndfvkd
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • GFFDSGFD
    GFFDSGFD
    Document9 pages
    GFFDSGFD
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • SFDFD
    SFDFD
    Document29 pages
    SFDFD
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Fungsi Bahasa Indonesia
    Fungsi Bahasa Indonesia
    Document5 pages
    Fungsi Bahasa Indonesia
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Sampul, Abstrak, Daftar Isi
    Sampul, Abstrak, Daftar Isi
    Document11 pages
    Sampul, Abstrak, Daftar Isi
    Aulia Rizki
    No ratings yet
  • Sdsdsds
    Sdsdsds
    Document82 pages
    Sdsdsds
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • SFDFD
    SFDFD
    Document29 pages
    SFDFD
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • XNCJNDJC
    XNCJNDJC
    Document27 pages
    XNCJNDJC
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • 03 Tahapan An Sistem Informasi
    03 Tahapan An Sistem Informasi
    Document21 pages
    03 Tahapan An Sistem Informasi
    Muhammad Ilviyar
    No ratings yet
  • Dasassaa
    Dasassaa
    Document12 pages
    Dasassaa
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • NDKFMCSKCNDV
    NDKFMCSKCNDV
    Document51 pages
    NDKFMCSKCNDV
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • CVJNDCDKJ
    CVJNDCDKJ
    Document22 pages
    CVJNDCDKJ
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • Dikmskndfvkd
    Dikmskndfvkd
    Document38 pages
    Dikmskndfvkd
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • SFDFD
    SFDFD
    Document29 pages
    SFDFD
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • MFKSMFDK
    MFKSMFDK
    Document15 pages
    MFKSMFDK
    hanapfadhilah
    No ratings yet
  • MKPB Massal1 1
    MKPB Massal1 1
    Document15 pages
    MKPB Massal1 1
    Nadya Juanita Permatasari
    No ratings yet