Professional Documents
Culture Documents
Proposal Skripsi:
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana
Program Strata 1 dalam Ilmu Sejarah
Disusun Oleh :
Herdina
130301121xxxxx
Usianya yang sudah tua membuatnya tidak lagi mampu bekerja keras. Sehari-hari hanya
berdiam di rumah yang terletak di tepi sungai serayu di grumbul Gelaran, desa Plana,
kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Kostum yang
dipakai berupa kain dan kebaya dilengkapi penutup kepala semakin membatasi gerak
langkahnya. Sehari-hari dia hanya menjadi beban keluarga sebagai orang tua yang sudah
semestinya dirawat demi kelangsungan hidupnya.
Hingga awal dekade tahun 2000-an tidak banyak orang mengenal sosok Dariah.
Jika pun ada yang mengenal, itu pun hanya tetangga sekitar yang sehari-hari
menyaksikan Dariah sebagai bagian dari komunitas sosial di lingkungannya. Sebagian
masyarakat yang berusia lanjut mengenalnya sebagai mantan penari lengger, yaitu sajian
seni pertunjukan tradisional khas Banyumas yang dalam penampilannya menari sambil
menyanyi diiringi alat musik tradisional calung1 atau ringgeng2.
Awal milenium ketiga ternyata menjadi salah satu momentum terpenting dari
Dariah. Penelitian seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang bernama Sudalmi
yang berjudul Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri
pada tahun 20013 ternyata mampu menjadi awal kebangkitan Dariah dari keterpurukan.
Hasil penelitian itu telah menginspirasi Yusmanto, seorang seniman setempat untuk
mengangkat Dariah sebagai ikon dalam usaha pengembangan seni-budaya Banyumasan,
khususnya bidang seni lengger. Oleh karena itu ketika Yusmanto mendirikan Padepokan
Seni Banyu Biru, Dariah mulai dikenalkan ke publik sebagai lengger terakhir yang
masih hidup.
Dariah dianggap sebagai lengger terakhir, karena dalam perjalanan tradisi di
Banyumas pertunjukan lengger lazim disajikan oleh penari pria yang berdandan wanita.
Koderi menyebutkan bahwa istilah lengger berarti diarani leng jebulane jengger4. Leng
(lubang) merupakan simbol gender perempuan, sedangkan jengger (mahkota ayam
1 Calung adalah alat musik tradisional khas Banyumas yang terbuat dari bahan baku bambu.
Ada yang mengatakan calung merupakan jaro dhosok (kata bentukan) yang berarti dicacah
melung-melung (dipukul berbunyi nyaring). Ada juga yang mengartikan carang pring wulung
(pucuk bambu wulung) karena alat musik ini memang terbuat dari jenis bambu wulung.
2 Ringgeng adalah alat musik tradisional sejenis gamelan terbuat dari besi yang nada-nadanya
berupa bilah berbentuk pipih.
3 Sudalmi, Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (Skripsi,
Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2001).
4 M. Koderi, Banyumas wisata dan budaya. (Metrojaya. Purwokerto, 1991) hlm.60.
2
jantan) merupakan simbol gender laki-laki. Hal ini sesuai dengan kebiasaan di masa lalu
bahwa penari lengger bukanlah perempuan, tetapi laki-laki yang berdandan sebagai
sosok perempuan. Hingga saat ini di Banyumas terjadi simpang siur membedakan istilah
lengger dan ronggeng. Kesimpang-siuran itu terjadi sejak pemerintahan Orde Baru
yang telah menghilangkan istilah ronggeng dalam pembangunan di bidang seni-
budaya sebagai akibat stigma negatif di seputar tradisi ronggeng di masa lalu. Pada
pemerintahan Orde Baru pertautan antara seni dengan politik kekuasan sangat kuat5
sehingga pertunjukan ronggeng yang pada masa lalu menampilkan perempuan dengan
tarian erotis dan sering terjadi prostitusi terselubung kemudian dihapus. Setelah itu
digunakan istilah lengger tidak pandang penarinya laki-laki atau perempuan.
Dariah yang pada masa kecil bernama Sadam sudah mulai belajar menari lengger
sejak sebelum penjajahan Jepang tahun 1942 yang dimulai dari perjalanan ritualnya
sampai ke Panembahan Ronggeng di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang6. Sadam
kecil dikhitan hamper bersamaan dengan kedatangan Ratu Wilhelmina pada tahun 1936.
Masa keemasannya cukup panjang, yaitu mulai pasca kemerdekaan Republik Indonesia
tahun 1945 sampai tahun 1965. Perjalanan panjang Dariah sebagai penari lengger
terpenggal bersamaan dengan meletusnya pemberontakan G30S/PKI tanggal 30
September 1965. Sejak itu pemerintah peralihan melarang berbagai ragam pertunjukan
rakyat karena disinyalir telah disusupi paham komunis melalui Lembaga Kesenian
Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI)7. Sejak itu
pula Dariah berhenti dari profesi sebagai penari lengger.
Perjalanan Dariah dalam mengarungi dunia seni lengger adalah bagian dari
perjalanan tradisi lengger itu sendiri. Berbagai kenyataan manis dan pahit yang dialami
semasa menjadi kembang panggung merupakan fakta empirik yang tidak dapat
dielakkan dalam perkembangan kesenian lengger. Catatan Stamford Rafles tentang
adanya prostitusi terselubung di dalam tradisi tarian rakyat di hampir semua daerah di
Pulau Jawa seperti gandrung, ledhek, ronggeng, tandak, tayub, atau lengger8
5 Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada Program
Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006) hlm. 95.
6 Sudalmi, 2001, hlm. 25-26.
7 Yusmanto, 2006, hlm. 96.
8 dalam Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.
(Yogyakarta: LKIS, 2008) hlm. 217.
3
membuktikan bahwa di masa lalu siapapun yang menjadi penari lengger, ronggeng, dan
sejenisnya harus mempersiapkan diri menerima tawaran melayani nafsu kaum pria.
Lengger dengan berbagai varian nama dan perwujudannya diyakini sudah ada
sejak Majapahit sebagaimana tertuang di dalam Serat Centhini dan Serat Sastramiruda. 9
Catatan tentang keberadaan lengger dengan jelas terpapar di dalam Serat Centhini Jilid V
pupuh 321-356 karya Adipati Anom (1814-1823). Di dalamnya tertuang pengalaman
Mas Cebolang di Wirasaba yang mendapati Kanjeng Adipati jatuh cinta kepada ledhek
Nurwitri. Meskipun Kiai Adipati mengetahui Nurwitri sejatinya seorang pria, tetapi
hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh ledhek yang dibawa oleh Mas Cebolang. Dalam
pengaruh brem, tape dan tuak, ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi
sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa
pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, Nurwitri majulah
sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab,
ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher
Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan
dicium. Tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita.10
Jauh sebelum Majapahit bahkan diperkirakan sudah lahir tarian rakyat semacam
lengger yang dipergunakan untuk media ritual kesuburan. Di candi Borobudur dan
Prambanan terdapat relief-relief yang diperkirakan representasi dari tarian rakyat yang
sudah ada pada masa didirikannya kedua candi itu. Tarian semacam ini diperkirakan
menjadi seni pertunjukan di lingkungan keratin dan digunakan juga sebagai sarana ritual,
hiburan, dan tontonan orang di berbagai kalangan. 11 Di wilayah Banyumas yang berbasis
kebudayaan agraris, tari lengger Banyumas juga digunakan sebagai sarana ritual, seperti
tari kesuburan bumi untuk menyembah Dewi Sri yang merupakan dewi pelindung para
petani.
9 Irmayanti Meliono, Lengger Banyumas and Padhepokan Banyu Biru as Model Community
Empowerment: A Case Study In The Village Of Plana, Somagede District, Banyumas, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012), hlm. 198..
10 Yusmanto, Catatan kecil tentang Lengger Lanang dan Masa Depannya, (Makalah
disampaikan pada seminar Lengger Lanang Eksistensi dan Perkembangannya diselenggarakan
oleh LPPM Unsoed Purwokerto bertempat di Gedung Soemardjito Purwokerto tanggal 14
November 2013).
11 Herusatoto, 2008, hlm. 218.
4
Pasca penelitian oleh Sudalmi tahun 2001 kekuatan kedirian Dariah mulai
menapak ke permukaan. Ketika Yusmanto mendirikan Padepokan Seni Banyu Biru tahun
2003 Dariah dijadikan sebagai salah satu ikon kekuatan proses berkesenian bagi warga
desa Plana. Kedua belah pihak gayung bersambut. Dariah dan Padhepokan Seni Banyu
Biru sama-sama memberi kekuatan. Kedirian Dariah sebagai seniman mampu
mengangkat citra padhepokan sebagai pelestari budaya, sedangkan padhepokan mampu
menjadi tempat bernaung bagi kesenimanan Dariah.
Totalitas pengalaman Dariah dalam berkesenian terbukti mampu mengangkat
dirinya sebagai tokoh sentral. Pada bulan Agustus 2007 seniman dari Jepang berjumlah
22 orang dating ke Padhepokan Seni Banyu Biru Plana untuk berkolaborasi bersama
Dariah dalam sebuah pertunjukan di Pendhapa Duplikat Si Panji Banyumas. Pentas
kolaborasi itu juga diikuti oleh Didik Nini Thowok, seorang penari senior dari
Yogyakarta. Proses latihan selama empat hari itu mampu melambungkan Padhepokan
Seni Banyu Biru dan Dariah sekaligus. Hampir semua media meliput prosesi latihan
maupun pementasan.
Hasil riset Sudalmi tahun 2001 di luar dugaan menginspirasi sutradara film lokal
Bowo Leksono bersama La Cimplung memproduksi film dokumenter berjudul Leng
Apa Jengger pada tahun 2008 yang mengisahkan perjalanan hidup Dariah sebagai
penari lengger. Tidak lama berselang pada awal tahun 2009 sutradara Bambang Hengky
juga memproduksi film dokumenter tentang Dariah dengan judul Sadam Lengger
Terakhir. Kedua film dokumenter ini sama-sama meraih penghargaan film terbaik
dalam berbagai ajang festival film dokumenter. Film Leng Apa Jengger menjadi film
terbaik pada Festival Film Dokumenter Tingkat Nasional tahun 2010. Sedangkan film
Sadam Lengger Terakhir menjadi film terbaik pada Festival Film Dokumenter yang
dilaksanakan oleh TVRI Pusat Jakarta pada tahun 2011. Pada tahun 2010 Bambang
Hengky melanjutkan produksi film dokudrama berjudul Dariah Lengger Terakhir yang
diproduksi bersama SUN TV untuk keperluan tayangan di Indovision. Semua film
tersebut dibintangi oleh Dariah sendiri dengan melibatkan warga masyarakat sekitar
yang merupakan anggota Padhepokan Seni Banyu Biru Plana.
Puncak eksistensi Dariah adalah ketika pada tahun 2011 lengger sepuh ini
mendapatkan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia sebagai maestro seni
tradisional. Pemberian penghargaan yang berlangsung di Jakarta Convention Center itu
5
disampaikan oleh Wakil Presiden Budiono disaksikan oleh Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Jero Wacik. Sebagai seorang maestro Dariah mendapat biaya hidup hingga
akhir hayatnya yang diberikan setiap satu bulan sekali melalui rekening pribadi Dariah.
Pasaca penerimaan penghargaan sebagai maestro, nama Dariah semakin
melambung. Mantan lengger yang sudah renta itu sering dipanggil di berbagai acara,
baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh organisasi atau lembaga yang
bergerak di bidang seni budaya baik di tingkat lokal maupun nasional. Usianya boleh
senja, tapi semangat juang Dariah tetap menyala. Lantunan gendhing yang disajikan
lewat tabuhan musik calung laksana daya hidup bagi Dariah. Mantan penari lengger
yang untuk jalan saja susah, terbukti mampu menari berjam-jam dengan iringan music
bambu khas Banyumas itu. Sisa-sia panorama kecantikan di masa lalu terasa hadir
kembali lewat inner beauty yang terpancar dari rona wajahnya. Ini membuktikan sajian
gendhing saat pertunjukan mampu memberikan energi yang luar biasa bagi Dariah.
Berdasarkan paparan di atas maka dalam penelitian ini diangkat beberapa
permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Dariah hingga mampu menjadi seorang
maestro?
2. Bagaimana aktivitas Dariah hingga dipilih menjadi seorang maestro seni
tradisional?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat sebelum dan sesudah Dariah diangkat sebagai
maestro?
B. Ruang Lingkup
Penelitian ini dirancang untuk melakukan pengkajian dua disiplin ilmu sekaligus,
yaitu disiplin ilmu sejarah intelektual dan kebudayaan. Sebagai kajian tentang disiplin
ilmu sejarah intelektual, penelitian ini berusaha menguraikan berbagai wujud gagasan
atau ide dan aktivitas Dariah sebagai seorang seniman dalam ranah estetika yang
memungkinkan menjadi penentu bagi lahirnya karya-karya fenomenal dan dihargai
sebagai suatu warisan peradaban pada suatu kelompok masyarakat. Adapun dalam ranah
disiplin sejarah kebudayaan, penelitian ini mengkaji aktivitas kesenimanan dan jejak
karya yang ditinggalkan oleh Dariah selaku seniman lengger. Hal ini sesuai dengan
spesifikasi disiplin ilmu sejarah kebudayaan yang diarahkan untuk merekam dan
6
Pembatasan spasial dalam penelitian ini tidak diarahkan untuk membatasi ide
atau gagasan seseorang dalam bidang profesi yang digelutinya. Penelitian ini justru
dimaksudkan untuk mengungkap sejauh mungkin ide atau gagasan Dariah dalam
menjalani aktivitasnya sebagai seorang maestro seni tradisional dengan spesifikasi di
bidang seni lengger. Namun hal yang perlu dipilah adalah suatu kenyataan bahwa
cakupan kreativitas seseorang dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social
sangatlah luas. Kreativitas manusia sepanjang sejarah dapat direpresentasikan melalui
berbagai ragam aktivitas, antara lain dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat,
seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa (Kuntowijoyo, 1999:3).13 Mengingat luasnya teba
persoalan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk simbolis, maka pembahasan dalam
penelitian ini dibatasi pada gagasan dan aktivitas Dariah dalam kedudukannya sebagai
seorang penari lengger.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berupa kajian tentang fenomena kebangkitan mantan penari lengger
Banyumasan bernama Dariah yang telah mengalami masa surut dan tiba-tiba menjadi
bahan perbincangan di semua media, bahkan menerima berbagai penghargaan dari
pemerintah. Obyek material yang dikaji adalah Dariah sebagai mantan penari lengger
yang saat ini telah ditetapkan sebagai maestro seni tradisional sehingga mencapai puncak
keemasan di usia tua. Adapun obyek formal dalam penelitian ini adalah kesenimanan
Dariah yang pada masa lalu pernah populer kemudian mengalami masa surut dan
sekarang kembali menjadi tokoh yang selalu menjadi topik perbincangan di berbagai
media, bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia.
Penelitian ilmiah yang mengkaji kesenimanan Dariah ternyata belum banyak
dilakukan. Hingga saat ini baru ditemukan dua penelitian ilmiah. Yang pertama adalah
skripsi yang ditulis oleh Sudalmi berjudul Profil Lengger Dariah dari Proses
Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (2001). Sedangkan penelitian kedua adalah skripsi
yang disusun oleh Darno berjudul Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya
Wetanan terhadap Kontinuitas Pertumbuhan Lengger di Banyumas (2013).15
Penelitian Sudalmi sangat penting karena menjadi awal-mula kebangkitan Dariah
yang telah mengubahnya dari yang sebelumnya bukan siapa-siapa menjadi maestro yang
seakan menjadi legenda hidup. Tulisan Sudalmi membahas perjalanan Dariah sejak masa
kecil hingga saat dilaksanakannya penelitian. Ada satu persoalan yang dapat dikritisi
dalam tulisan Sudalmi, yaitu nama-nama tokoh yang terlibat dalam proses kesenimanan
Dariah tidak sesuai dengan nama aslinya. Diperkirakan ada kesengajaan membuat
penyamaran nama atau mungkin Dariah tidak memberi data yang sesungguhnya pada
saat dilakukan penelitian. Namun demikian data perjalanan kesenimanan Dariah pada
tulisan itu cukup runtut, sehingga dalam penelitian ini tulisan Sudalmi memiliki posisi
yang sangat penting untuk data awal sebelum dilaksanakan penelitian lapangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Darno lebih membahas tentang pengaruh tari dan
karawitan gaya Surakarta-Yogyakarta (Wetanan) terhadap pertunjukan lengger oleh
Dariah yang dapat dilihat dari ragam gerak serta teknik tabuhan dan bentuk gendhing.
Hasil penelitian Darno sangat penting dalam penelitian ini sebagai sebagai gambaran
15 Darno, Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya Wetanan terhadap Kontinuitas
Pertumbuhan Lengger di Banyumas. (Laporan Penelitian Ilmiah, Surakarta: Institut Seni
Indonesia, 2013).
10
adanya perpaduan antara gaya Wetanan dan gaya Banyumas dalam pertunjukan yang
dilakukan oleh Dariah.
Tulisan-tulisan lain tentang Dariah yang tidak tergolong penelitian ilmiah sangat
mudah diperoleh di berbagai media, khususnya media cetak dan media internet. Tulisan
Sonya Hellens berjudul Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari. Yang
dimuat di Harian Kompas tanggal 28 Juni 2007 memuat ketertarikan seniman Jepang
terhadap kesenian tradisional di Banyumas. Sebanyak 22 orang seniman dari Jepang
bertandang ke desa Plana, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas selama empat
hari untuk berkolaborasi dengan Dariah dan seniman setempat.16 Berita tentang
kedatangan seniman Jepang yang berkolaborasi dengan Dariah dimuat juga di Koran
Rakyat berjudul Meriah, Malam Penutupan Kesenian Indonesia-Jepang. Koran lokal
Banyumas edisi tanggal 27 Agustus 2007 memuat foto saat Dariah menari bersama
Didik Nini Thowok dari Yogyakarta di Pendhapa Si Panji Banyumas pada malam
terakhir kunjungan seniman Jepang itu.17 Tulisan Sonya Hellens dan Koran Rakyat
merupakan tulisan pertama yang ditemukan pada awal kebangkitan Dariah. Kedua
tulisan ini sangat penting karena memuat momentum awal kebangkitan Dariah setelah
dilakukan penelitian oleh Sudalmi pada tahun 2001.
16 Sonya Hellens, Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari, (Jakarta: Kompas)
edisi 28 Juni 2007
17 Koran Rakyat, Meriah, Malam Penutupan Kesenian Indonesia-Jepang (Purwokerto: Koran
Rakyat) edisi 27 Agustus 2007
11
Tulisan Sigit Harsanto berjudul Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya
Film yang dimuat di Harian Suara Merdeka tanggal 30 Mei 2008 berkisar pada proses
produksi film berjudul Leng Apa Jengger yang mengkisahkan perjalanan hidup Dariah.18
Tulisan lain tentang produksi film ini juga dijumpai pada artikel berjudul Sukarelawan
Film Angkat Lengger Lanang yang (Harian Suara Merdeka tanggal 5 Juni 2008)19,
Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar (Harian Suara Merdeka tanggal 25 Juli 2008)20,
dan Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional (Harian Suara Merdeka tanggal 22
Agustus 2008)21. Beberapa tulisan ini menjadi penting dalam penelitian karena memuat
sosok dariah sebagai peran utama dalam film documenter yang mengkisahkan tentang
dirinya sendiri.
Artikel di Suara Merdeka berjudul Happy Salma Belajar Lengger tanggal 27
Februari 2009 menguraikan bagaimana seorang bintang film papan atas nasional belajar
menari di desa Plana bersama dengan Dariah dan seniman setempat berkaitan dengan
rencana produksi film layar lebar yang diambil dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari.22 Tulisan lain yang memuat hal itu dijumpai juga pada Harian Kompas
berjudul Kesenian Daerah, Lengger Berusaha Bertahan edisi 5 Oktober 200923 dan
artikel di Harian Suara Merdeka berjudul Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I),
Ronggeng Dituntut Tampil Sensual (edisi 7 Oktober 2009).24 Ketiga tulisan ini penting
dalam penelitian karena kedatangan Happy Salma dan artis-artis ibu kota lainnya
diinspirasi oleh keberadaan Dariah sebagai sosok legenda hidup lengger Banyumasan
yang masih hidup.
18 Sigit Harsanto, Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya Film, (Semarang: Suara
Merdeka) edisi 30 Mei 2008.
19 Suara Merdeka, Sukarelawan Film Angkat Lengger Lanang, (Semarang: Suara Merdeka)
edisi 5 Juni 2008.
20 Suara Merdeka, Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar, (Semarang: Suara Merdeka), edisi
25 Juli 2008
21 Suara Merdeka, Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional (Semarang: Suara Merdeka),
edisi 22 Agustus 2008.
22 Suara Merdeka, Happy Salma Belajar Lengger, (Semarang: Suara Merdeka), edisi 27
Februari 2009
23 Kompas, Kesenian Daerah, Lengger Berusaha Bertahan, (Jakarta: Kompas), edisi 5 Oktober
2009
24 Suara Merdeka, Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I), Ronggeng Dituntut Tampil
Sensual (Semarang: Suara Merdeka), edisi 7 Oktober 2009.
12
Suara Merdeka edisi 9 Februari 2011 memuat foto Dariah dan artikel Kesenian
Jadi Alat Pemberdayaan. Pada tulisan ini dibahas tentang eksistensi kesenimanan Dariah
yang mampu menjadi kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat di Padhepokan Seni
Banyu Biru desa Plana, Kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas. 27 Tulisan ini
memberikan gambaran betapa sosok Dariah mampu menjadi ikon yang sangat kuat
dalam kegiatan seni-budaya di padhepokan ini. Meskipun Padhepokan Seni Banyu Biru
berlokasi di desa terpencil tetapi terbukti menjadi tempat tujuan bagi seniman dari
berbagai negara untuk belajar menari lengger.
Ryan Rachman dalam tulisannya yang berjudul Tak Sadar Menari di Hadapan
Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah (I) di Harian Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011
memuat berita tentang Dariah yang telah dinobatkan menjadi maestro seni tradisional. 28
Berita serupa dijumpai pula pada tulisan lain di edisi yang sama berjudul Mbok Dariah
Dapat Penghargaan dari Wapres.29 Tulisan lain tentang penerimaan penghargaan sebagai
maestro seni tradisional yang diterima Dariah juga dijumpai pada tulisan Sumaryo
berjudul Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden
RI yang dimuat di Tabloid Visual Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari 2012. 30
Ketiga tulisan ini sangat penting karena membahas momentum terpilihnya Dariah
sebagai maestro seni tradisional dengan penghargaan yang diberikan oleh Wakil Presiden
Budiono.
27 Suara Merdeka, Kesenian Jadi Alat Pemberdayaan, (Semarang: Suara Merdeka), edisi 9
Februari 2011.
28 Ryan Rachman, Tak Sadar Menari di Hadapan Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah (I),
(Semarang: Suara Merdeka), edisi 7 Juli 2011.
29 Ryan Rachman, Mbok Dariah Dapat Penghargaan dari Wapres, (Semarang: Suara
Merdeka), edisi 7 Juli 2011.
30 Sumaryo, Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden RI
(Jakarta: Tabloid Visual), Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari 2012.
14
Ryan Rachman kembali menulis tentang Dariah dalam artikelnya yang berjudul
Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki Tercantik, Dicemooh
Istri Orang (Suara Merdeka tanggal 17 November 2011). Tulisan ini terkait dengan
produksi film dokudrama oleh Sun TV dengan sutradara Bambang Hengky yang
mengkisahkan perjalanan hidup Dariah sebagai seorang penari lengger.31 Film ini
kemudian ditayangkan di Indovision. Tulisan Ryan Rachman yang terakhir ini penting
untuk mengungkap tanggapan masyarakat terhadap sosok Dariah pada masa
kejayaannya.
Thomas Pudjo Widijanto dalam artikelnya yang berjudul Tanah Air; Egalitarian
Bumi Banyumasan di Harian Kompas edisi 24 Desember 2011 memuat foto dan
perjalanan hidup Dariah sebagai sosok penari lengger yang mewakili egalitarian kultur
Banyumas. Dalam konteks pemahaman antropologis semacam ini, sebanyak 100 siswa
dan guru dari SMU Pelita Harapan Jakarta datang ke Padhepokan Seni Banyu Biru untuk
menyaksikan pementasan Dariah.32 Berita tentang kegiatan ini ditulis oleh Nugroho
Pamdu Sukmono di Harian Suara Merdeka edisi 27 Februari 2012 berjudul Menyusuri
Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng.33 Kedua tulisan ini sangat penting untuk
menelaah kesenimanan Dariah dari sisi antropologis.
31 Ryan Rachman, Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki
Tercantik, Dicemooh Istri Orang (Semarang: Suara Merdeka), edisi 17 November 2011.
32 Thomas Pudjo Widijanto, Tanah Air; Egalitarian Bumi Banyumasan, (Jakarta: Kompas) edisi
24 Desember 2011.
33 Nugroho Pamdu Sukmono, Menyusuri Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng,
(Semarang: Suara Merdeka), edisi 27 Februari 2012.
15
Hasil pencermatan di google search yang dilakukan pada tanggal 24 April 2016
dengan kata kunci Dariah Lengger Banyumas ditemukan tidak kurang dari 3.840
artikel yang telah diunggah di internet. Hal ini membuktikan Dariah adalah sosok
lengger yang sangat populer. Oleh karena itu telaah pustaka pada penelitian ini tidak
mungkin memuat semua artikel yang terdapat di internet. Artikel yang diambil hanyalah
sebagian yang dianggap mewakili artikel-artikel lain yang memuat tentang kesenimanan
Dariah.
16
Tulisan kedua Yusmanto berupa tesis yang berjudul Calung, Kajian tentang
Identitas Kebudayaan Banyumas (2006) lebih membahas tentang persoalan identitas
kebudayaan Banyumas. Yusmanto menjelaskan bahwa kebudayaan Banyumas sangat
mendapat pengaruh dari kultur Jawa dan Sunda. Kedua kultur ini bermuara di Banyumas
yang merupakan wilayah marginal survival, sehingga di dalam kultur Banyumas
terdapat tiga warna sekaligus, yaitu warna Wetanan (Jawa), warna Kulonan (Sunda), dan
warna Banyumasan itu sendiri.53 Tulisan Yusmanto sangat penting untuk membahas
pengaruh gaya Wetanan terhadap kontinuitas pertumbuhan lengger yang dijumpai pada
pertunjukan lengger oleh Dariah.
Tulisan Yusmanto yang ketiga berjudul Sumbangan Pemikiran bagi
Pengembangan Kurikulum Sekolah Seni. Tulisan ini berupa makalah disampaikan pada
Simposium Nasional Sekolah Kesenian 1999, diselenggarakan oleh Ikatan Alumni
Konservatori/SMKI Surakarta (IKAKONKI) di SMK Negeri 8 Surakarta, 13 September
1999. Sekalipun tulisan ini tidak terkait langsung dengan persoalan lengger, namun di
dalamnya termuat tentang kekhasan ragam kesenian di Banyumas yang dipengaruhi oleh
kultur Jawa dan Sunda. Dalam tulisan ini Yusmanto juga membahas tentang kuatnya
pengaruh gaya Wetanan terhadap musik dan tarian tradisional di Banyumas sebagaimana
yang dilihat pada pertunjukan lengger Dariah pada masa lalu.54 Tulisan Yusmanto yang
satu ini menjadi penting karena penelitian ini pun membahas tentang pengaruh wetanan
terhadap musik dan tari tradisional di Banyumas, khususnya pada pertunjukan lengger.
53 Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada Program
Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006).
54 Yusmanto, Sumbangan Pemikiran bagi Pengembangan Kurikulum Sekolah Seni, (Makalah
disampaikan pada Simposium Nasional Sekolah Kesenian 1999, diselenggarakan oleh Ikatan
Alumni Konservatori/SMKI Surakarta (IKAKONKI) di SMK Negeri 8 Surakarta, 13 September
1999).
23
Tulisan Umi Kulsum Kendar yang berjudul Lengger Keliling Jakarta Bersiasat
di Balik Keterpinggiran merupakan tesis pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia (2004). Tulisan Umi membahas tentang persoalan lengger di Jakarta yang
digunakan untuk media mbarang atau mengamen. Di dalam tulisan ini umi mengajukan
pendapat bahwa para pelaku lengger dan seluruh penabuhnya, pada umumnya berasal
dari kalangan masyarakat pedesaan yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan
memiliki permasalahan di bidang perekonomian keluarga. Persoalan demikian
merupakan sesuatu yang sudah sangat lama terjadi, dan ketika para seniman melihat
peluang pangsa pasar di Jakarta cukup menjanjikan, maka mereka pun kemudian
melakukan urbanisasi untuk mengadu nasib dengan berbekal kemampuan berkesenian
yang mereka miliki. Penelitian Umi sangat penting untuk melihat perkembangan lengger
saat ini yang lebih cenderung untuk keperluan hiburan semata. 55 Dari penelitian Umu
dapat dilihat adanya perubahan arah berpikir pada sebagian seniman di Banyumas
melihat perkembangan jaman yang terjadi dengan cara mengubah cara pandang
tradisional yang membumi, kemudian berubah lebih diarahkan pada pertunjukan lengger
yang lebih bersifat profane.
Skripsi berjudul Analisis Tari Lobong Ilang oleh Sri Rahmadi, Universitas
Negeri Semarang (2002) membahas tentang analisis gerak tari Lobong Ilang karya
Yusmanto. Di dalam tulisannya, Sri Rahmadi menjelaskan bahwa tari Lobong Ilang
merupakan ringkasan suasana dari pertunjukan lengger semalam suntuk melalui empat
suasana sajian, yaitu kenes (seperti tampak pada sajian gambyongan), dinamis (seperti
tampak pada sajian lenggeran), gagah (seperti tampak pada tari Baladewan), dan
kembali sumeleh (sebagai akhir sajian). Dalam hal ini tulisan Sri Rahmadi sangat
penting sebagai acuan dalam mendeskripsikan ragam gerak tari Banyumasan.56
Tulisan Raswan yang Prosesi Bentuk Pertunjukan Lengger di Desa Papringan,
Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas (2002) membahas permasalahan prosesi
bentuk pertunjukan kesenian lengger Banyumasan dengan mengambil sampel grup
lengger di desa Papringan, kecamatan Banyumas, kabupaten Banyumas. Tulisan
Raswan yang merupakan skripsi pada Universitas Negeri Semarang itu penting untuk
55 Umi Kulsum Kendar, Lengger Keliling Jakarta Bersiasat di Balik Keterpinggiran, (Tesis
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004).
56 Sri Rahmadi, Analisis Tari Lobong Ilang (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2002).
24
mengungkap struktur pertunjukan dan ragam gerak tari pada pertunjukan lengger di
Banyumas sebagaimana yang ditemukan pada pertunjukan lengger oleh Dariah.57
Sunaryadi dalam tulisannya yang berjudul Lengger, Tradisi & Transformasi
(2000) merupakan deskripsi tentang pertunjukan lengger di Banyumas yang dilihat dari
sisi tradisi dan perubahan sosial masyarakatnya. Di dalam tulisannya, Sunaryadi
membahas betapa lengger di Banyumas sangat lekat dengan tradisi masyarakatnya yang
bersumber dari kehidupan agraris. Dalam penelitian ini tulisan Sunaryadi penting untuk
membahas tentang pola kehidupan agraris masyarakat Banyumas yang menjadi kekuatan
utama pertunjukan lengger oleh Dariah.58
Indriyanto dalam tulisannya yang berjudul Lengger Banyumasan, Kontinyuitas
dan Perubahannya (1998/1999) membahas tentang keberadaan pertunjukan lengger
sampai dengan akhir decade tahun 1990-an. Tulisan yang berupa tesis pada Universitas
Gajahmada Yogyakarta ini menegaskan betapa perubahan sosial di wilayah Banyumas
dan sekitarnya telah memberikan dampak terhadap pertunjukan lengger. Pertunjukan
tarian rakyat yang semula sangat dekat dengan mitos-mitos kekuatan gaib ini kemudian
berubah menjadi pertunjukan yang profane dengan hadirnya lagu-lagu kreasi baru dalam
bentuk lagu dandutan. Dari sisi kostumnya pun terjadi perubahan ke arah kostum yang
lebih gemerlap dengan hadirnya banyak pernik-pernik berupa payet dan mute. 59 Tulisan
Indriyanto penting untuk perbandingan dalam membahas tentang pola sajian lengger
yang dilakukan oleh Dariah sebelum hadirnya perubahan sosial pada beberapa decade
dewasa ini.
60 Sudarso, Warna Banyumasan, Wetanan atau Kulonan dalam Garap Gendhing Unthuluwuk,
Ricik-ricik dan Blendrong Kulon pada Gamelan Calung, (Slripsi pada Jurusan Seni Karawitan
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1999).
61 Lysloff, Rene T.A., Innovation and Tradition: Calung Music in Banyumas, (Makalah
disampaikan dalam Festival of Indonesia Conference Summaries: Indonesian Music 20th
Century Innovation and Tradition, New York: Festival of Indonesia Foundation, 1992).
26
65 Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, Onc., Publishers,
1973).
66 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
67 Beeman, William O, The Struggle for Identity in Post-Soviet Tajikistan, (Volume 3, No. 4
December 1999, http:// meria.idc.ac.il/journal/1999), diunduh tanggal 24 April 2016.
68 Hack R., Karl A., Life Histories, Identity and Crises of Authority in Southeast Asia,
(http://IAS Newsletter.htm, 2004), diunduh tanggal 24 April 2016..
69 Ahmad Tohari, Andai Tidak Disubkulturkan, (Artikel dimuat dalam Kolom Pringgitan
Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69
tanggal 24 April 2005) hlm.19.
28
70 Scott, James C., Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, (Yale
University Press, New Heaven and London in collaboration with Department of Publications
University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1985).
71 Rockman, Deborah, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, (First presented at
the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla, Mexico, http://debrockman.com., 2003),
diunduh tangga; 24 April 2016.
72 Hagberg, G.L., Art as Language, (Cornell University Press, Ithaca and London, 1995).
29
pendapat semacam ini dapat dijumpai pula beberapa tulisan lain di antaranya tulisan S.
Budhisantoso (1994)73, H.S Ahimsa-Putra (1999)74, dan Arnold Hauser (1974)75.
Beberapa tulisan lain tentang kesenian (musik) dan identitas dapat dijumpai
dalam bentuk laporan hasil penelitian dan refleksi, antara lain buku Ekspresi Seni Orang
Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan yang disusun oleh Tjetjep Rohendi
Rohidi (2000)76, Traditional Music in Modern Java oleh J.M.O. Becker (1972)77,
Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region Identity oleh R.
Anderson Sutton (1991)78 dan Karawitan sebagai Identitas oleh Rahayu Supanggah
(1993/1994)79. Tulisan Tjetjep Rohendi Rohidi berupa disertasi doktoral yang
menggunakan masyarakat miskin di Kampung Kunden, Kendal, sebagai obyek kajian.
Dalam pembahasan dapat dilihat bahwa ternyata orang-orang miskin memiliki cara
tersendiri dalam mengungkapkan pengalaman estetik mereka. Semua itu telah
membentuk suaru karakteristik seni tersendiri yang berbeda dengan cara yang dilakukan
oleh orang-orang kaya.
E. Kerangka Pikir
Penelitian ini berusaha membongkar eksistensi diri seorang seniman yang pada
masa tuanya mampu kembali bersinar karena kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena
73 Budhisantoso, S., Kesenian dan Kebudayaan, (Artikel dalam Wiled, Jurnal Seni STSI
Surakarta, Tahun I, Juli 1994).
74 Ahimsa-Putra, H.S, Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan
Post-Modernistis dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 1999).
75 Hauser, Arnold, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1974).
76 Rohidi, Tjetjep Rohendi, Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap
Kemiskinan, (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI bekerjasama dengan Ford Foundation, 2000).
77 Becker, J.M.O., Traditional Music in Modern Java, (Ph. D. Diss., Michigan: University of
Michigan, 1972).
78 Sutton, R. Anderson, Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region
Identity, (Cambridge-New York-Port Chester-Melbourne-Sidney: Cambridge University Press,
1991).
79 Rahayu Supanggah, Karawitan sebagai Identitas, (Makalah disampaikan pada OPSPEK
Mahasiswa Baru STSI Surakarta Tahun Akademik 1993/1994, STSI Surakarta, 1993/1994). Baca
pula Rahayu Supanggah, Campur Sari: Sebuah Refleksi, (Makalah disajikan dalam Seminar
Internasional Kebudayaan, diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Perancis, Jakarta, 4 7 Mei
2000).
30
itu untuk membedah permasalahan yang diajukan hanya memungkinkan dikaji melalui
konsep tentang kompetensi. Benjamin Brinner yang lama melakukan penelitian tentang
karawitan Jawa berhasil menemukan formulasi tentang kompetensi diri seorang pemusik
dalam pendapatnya sebagai berikut:
Terjemahan:
Kompetensi musik secara langsung terkait dengan perbedaan sosial karena
memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam asosiasi sosial di antara
pemusik serta antara pemusik dan penonton, asosiasi ini bersinggungan dengan
sikap sosial yang dapat bertindak sebagai insentif atau pembatas bagi inisiatif
individu.
dirinya sendiri sebagai sebuah kelompok, dengan mencatat dan menunjuk perbedaan
penting dengan kelompok dan kebudayaan yang lain,81
Esensi dari konsep yang ditawarkan Judith Starkey adalah pada perasaan seorang
kebudayaan mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah sistem yang berbeda dengan
kebudayaan yang lain. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat dua hal penting yang
kebudayaan Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari pola pikir, pola rasa dan tindakan atau
subyek yang dinamis di tengah pergulatan interaksi kebudayaan. Hal terakhir ini dapat
dilihat dari karakter, kekhasan dan atau ciri khusus di dalam aspek-aspek tertentu dari
umum dan gagasan-gagasan yang dengan jelas menjadi penanda bagi munculnya
identitas.
kalangan masyarakat kecil yang umumnya hidup di lingkungan pedesaan. Di dalam diri
pengalaman empirik tentang hidup. Semua itu tidak lain adalah hakikat kebudayaan yang
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.82 Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, baik sistem gagasan,
tindakan maupun hasil karya manusia tersebut merupakan bagian terpenting bagi
munculnya karakter individu yang secara umum memiliki kesamaan antara yang satu
dengan lainnya. Ketika individu-individu itu bergabung menjadi kelompok, maka secara
sadar maupun tak sadar akan membentuk suatu karakter yang berlaku secara umum.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang merupakan proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. 83 Metode sejarah kritis
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis
untuk memberi bantuan secara efektif dalam usaha mengumpukan sumber-sumber
sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesis dari hasil-hasilnya
dalam bentuk tulisan sejarah ilmiah.84 Nugroho Notosusanto menyitir pendapat
Gottchalk bahwa metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi.85 Tahap heuristik adalah
kegiatan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dan tidak tertulis, baik
primer maupun sekunder. Dalam proses penelitian tahap heuristik dilakukan melalui
pengumpulan dokumen-dokumen pribadi milik Dariah seperti piagam penghargaan,
fandel, foto-foto koleksi pribadi, rekaman video pementasan, dan kliping atau potongan
berita dari surat kabar yang relevan dengan kajian skripsi ini. Sumber primer yang lain
adalah berupa sumber lisan yang didapatkan melalui wawancara dengan Dariah dan
orang-orang terdekat yang diperkirakan mengetahui secara rinci tentang kehidupan
Dariah sebagai seorang seniman lengger.
82 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu antropologi. (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) hlm. 180.
83 Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press,
1975), hlm. 32.
84 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Idayu, 1978), hlm.
11.
85 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, hlm. 36.
33
Selain sumber primer tersebut di atas, penelitian ini juga menggunakan sumber
sekunder berupa literatur-literatur seperti buku-buku terbitan yang relevan dengan pokok
permasalahan dan paradigm yang digunakan dalam penelitian. Selain itu sumber
sekunder juga diperoleh melalui penelusuran internet terkait permasalahan yang dibahas.
Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu pengujian terhadap sumber-sumber yang
telah diperoleh dengan terlebih dahulu dilakukan kritik sumber, baik berupa kritik
ekstern maupun kritik intern. Proses kritik intern dilakukan kritik terhadap autentisitas
sumber, dengan cara menguji otentisitas/keaslian sumber. Adapun kritik ekstern
dilakukan dengan cara menguji kredibilitas sumber, apakah sumber yang diperoleh dapat
dipercaya kebenarannya. Hal ini penting mengingat penelitian yang dilakukan
didasarkan pada keterangan lisan yang diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku
sejarah. Kritik ekstern sangat dibutuhkan untuk menghindari subyektivitas keterangan
para pelaku. Dalam proses kritik ekstern dilakukan cross check dengan fakta-fakta dari
sumber-sumber yang lain seperti informasi dari media massa atau bukti-bukti lain seperti
foto, rekaman suara/video dan lain-lain.
dipahami dengan harapan mampu mengungkap kebenaran fakta sejarah lengger Dariah
sebagai salah seorang maestro seni tradisional di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
BAB II RIWAYAT DARIAH. Membahas tentang latar belakang keluarga, proses pribadi
sosok Dariah, dan konstelasi Dariah dalam kehidupan sosial.
BAB V KESIMPULAN. Berisi simpulan yang didasarkan pada permasalahan dan tujuan
penelitian serta uraian hasil penelitian. Sebagai bagian akhir dari keseluruhan
tulisan dilengkapi pula dengan saran, daftar pustaka dan lampiran secukupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fandel Gtra Budaya atas nama Dariah dari Bupati Banyumas tanggal 6 April 2015.
Piagam Penghargaan atas nama Dariah sebagai Maestro Seni Tradisional dari Menteri
Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 10 Juni 2011.
Piagam Penghargaan atas nama Dariah dari Panitia Purwokerto Bersatu tanggal 17 Juli
2013.
Ahimsa-Putra, H.S, Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan
Post-Modernistis dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press,
1999).
Ahmad Tohari, Andai Tidak Disubkulturkan, (Artikel dimuat dalam Kolom Pringgitan
Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56
Nomor 69 tanggal 24 April 2005).
Ahmad Tohari, Menghayati dan Menemukan Semangat Film Dokumenter; Dariah, Sang
Maestro Lengger Lanang, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya
Yogyakarta, 2015).
Brinner, Benjamin, Knowing Music Making Music, (Chicago & London: The University
of Chicago Press, 1995).
Budhisantoso, S., Kesenian dan Kebudayaan, (Artikel dalam Wiled, Jurnal Seni STSI
Surakarta, Tahun I, Juli 1994).
Darno, Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya Wetanan terhadap Kontinuitas
Pertumbuhan Lengger di Banyumas. (Laporan Penelitian Ilmiah, Surakarta:
Institut Seni Indonesia, 2013).
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, Onc.,
Publishers, 1973).
Hack R., Karl A., Life Histories, Identity and Crises of Authority in Southeast Asia,
(http://IAS Newsletter.htm, 2004), diunduh tanggal 24 April 2016..
Hagberg, G.L., Art as Language, (Cornell University Press, Ithaca and London, 1995).
Hauser, Arnold, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1974).
Lysloff, Rene T.A., Innovation and Tradition: Calung Music in Banyumas, (Makalah
disampaikan dalam Festival of Indonesia Conference Summaries: Indonesian
Music 20th Century Innovation and Tradition, New York: Festival of Indonesia
Foundation, 1992).
Rockman, Deborah, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, (First presented
at the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla, Mexico,
http://debrockman.com., 2003), diunduh tangga; 24 April 2016.
Rohidi, Tjetjep Rohendi, Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap
Kemiskinan, (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI bekerjasama dengan Ford
Foundation, 2000).
Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009).
Scott, James C., Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, (Yale
University Press, New Heaven and London in collaboration with Department of
Publications University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1985).
Sri Rahmadi, Analisis Tari Lobong Ilang (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2002).
38
Starkey, Judith, 2005, Cultural Identity, (Licensed under the GNU Free
Documentation License, http://cultural-identity.borgfind.com), diunduh tanggal
24 April 2016.
Sudalmi, Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (Skripsi,
Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2001).
Sutton, R. Anderson, Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region
Identity, (Cambridge-New York-Port Chester-Melbourne-Sidney: Cambridge
University Press, 1991).
Yusmanto, Catatan kecil tentang Lengger Lanang dan Masa Depannya, (Makalah
disampaikan pada seminar Lengger Lanang Eksistensi dan Perkembangannya
diselenggarakan oleh LPPM Unsoed Purwokerto bertempat di Gedung
Soemardjito Purwokerto tanggal 14 November 2013).
Hellens, Sonya, Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari, (Jakarta:
Kompas tanggal 28 Juni 2007).
Kompas, Seni Tradisional Cowongan, Berusaha Eksis tetapi Tetap Realistis, (Jakarta:
Harian Kompas tanggal 19 Agustus 2009).
Nugroho Pamdu Sukmono, Menyusuri Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng.
(Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 27 Februari 2012).
Ryan Rachman, Tak Sadar Menari di Hadapan Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah
(I), (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011).
Ryan Rachman, Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki
Tercantik, Dicemooh Istri Orang, (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 17
November 2011).
Sigit Harsanto. Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya Film, (Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 30 Mei 2008).
Suara Merdeka, Sukarelawan Film Angkat Lengger Lanang, (Semarang: Harian Suara
Merdeka tanggal 5 Juni 2008).
Suara Merdeka, Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar, (Semarang: Harian Suara
Merdeka tanggal 25 Juli 2008).
Suara Merdeka. 2008. Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional. Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 22 Agustus 2008.
Suara Merdeka, Happy Salma Belajar Lengger, (Semarang: Harian Suara Merdeka
tanggal 27 Februari 2009).
Suara Merdeka, Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I), Ronggeng Dituntut Tampil
Sensual, (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 7 Oktober 2009).
Suara Merdeka, Kesenian Jadi Alat Pemberdayaan, (Semarang: Harian Suara Merdeka
tanggal 9 Februari 2011).
Suara Merdeka, Mbok Dariah Dapat Penghargaan dari Wapres, (Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011).
Sumaryo, Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden
RI, (Jakarta: Tabloid Visual Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari
2012).
Thomas Pudjo Widijanto, Tanah Air; Egalitarian Bumi Banyumasan, (Jakarta: Kompas
edisi 24 Desember 2011).
41
D. Informan
1. Nama : Dariah
Umur : 92 tahun
Alamat : Plana RT 01 RW 06 Kecamatan Somagede, Kabupaten
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
Keterangan : Narasumber utama, mantan penari lengger, penerima anugrah
Maestro Seni Tradisional dari Presiden Republik Indonesia.
2. Nama : Yusmanto
Umur : 49 tahun
Alamat : Karangjati RT 02 RW 03 Kecamatan Susukan, Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
Keterangan : Redaktur Majalah Banyumasan ANCAS, Seniman, Pengelola
Sanggar Seni Sekar Shanty.