You are on page 1of 42

KEBANGKITAN SANG MAESTRO

Sebuah Biografi Kesenimanan Lengger Dariah


2001-2015

Proposal Skripsi:
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana
Program Strata 1 dalam Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :
Herdina
130301121xxxxx

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Dariah barangkali dapat dipandang sebagai bukan siapa-siapa, hanya seorang
tua renta yang hidup menumpang di rumah keponakannya yang bekerja serabutan.
1

Usianya yang sudah tua membuatnya tidak lagi mampu bekerja keras. Sehari-hari hanya
berdiam di rumah yang terletak di tepi sungai serayu di grumbul Gelaran, desa Plana,
kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Kostum yang
dipakai berupa kain dan kebaya dilengkapi penutup kepala semakin membatasi gerak
langkahnya. Sehari-hari dia hanya menjadi beban keluarga sebagai orang tua yang sudah
semestinya dirawat demi kelangsungan hidupnya.
Hingga awal dekade tahun 2000-an tidak banyak orang mengenal sosok Dariah.
Jika pun ada yang mengenal, itu pun hanya tetangga sekitar yang sehari-hari
menyaksikan Dariah sebagai bagian dari komunitas sosial di lingkungannya. Sebagian
masyarakat yang berusia lanjut mengenalnya sebagai mantan penari lengger, yaitu sajian
seni pertunjukan tradisional khas Banyumas yang dalam penampilannya menari sambil
menyanyi diiringi alat musik tradisional calung1 atau ringgeng2.
Awal milenium ketiga ternyata menjadi salah satu momentum terpenting dari
Dariah. Penelitian seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang bernama Sudalmi
yang berjudul Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri
pada tahun 20013 ternyata mampu menjadi awal kebangkitan Dariah dari keterpurukan.
Hasil penelitian itu telah menginspirasi Yusmanto, seorang seniman setempat untuk
mengangkat Dariah sebagai ikon dalam usaha pengembangan seni-budaya Banyumasan,
khususnya bidang seni lengger. Oleh karena itu ketika Yusmanto mendirikan Padepokan
Seni Banyu Biru, Dariah mulai dikenalkan ke publik sebagai lengger terakhir yang
masih hidup.
Dariah dianggap sebagai lengger terakhir, karena dalam perjalanan tradisi di
Banyumas pertunjukan lengger lazim disajikan oleh penari pria yang berdandan wanita.
Koderi menyebutkan bahwa istilah lengger berarti diarani leng jebulane jengger4. Leng
(lubang) merupakan simbol gender perempuan, sedangkan jengger (mahkota ayam

1 Calung adalah alat musik tradisional khas Banyumas yang terbuat dari bahan baku bambu.
Ada yang mengatakan calung merupakan jaro dhosok (kata bentukan) yang berarti dicacah
melung-melung (dipukul berbunyi nyaring). Ada juga yang mengartikan carang pring wulung
(pucuk bambu wulung) karena alat musik ini memang terbuat dari jenis bambu wulung.
2 Ringgeng adalah alat musik tradisional sejenis gamelan terbuat dari besi yang nada-nadanya
berupa bilah berbentuk pipih.
3 Sudalmi, Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (Skripsi,
Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2001).
4 M. Koderi, Banyumas wisata dan budaya. (Metrojaya. Purwokerto, 1991) hlm.60.
2

jantan) merupakan simbol gender laki-laki. Hal ini sesuai dengan kebiasaan di masa lalu
bahwa penari lengger bukanlah perempuan, tetapi laki-laki yang berdandan sebagai
sosok perempuan. Hingga saat ini di Banyumas terjadi simpang siur membedakan istilah
lengger dan ronggeng. Kesimpang-siuran itu terjadi sejak pemerintahan Orde Baru
yang telah menghilangkan istilah ronggeng dalam pembangunan di bidang seni-
budaya sebagai akibat stigma negatif di seputar tradisi ronggeng di masa lalu. Pada
pemerintahan Orde Baru pertautan antara seni dengan politik kekuasan sangat kuat5
sehingga pertunjukan ronggeng yang pada masa lalu menampilkan perempuan dengan
tarian erotis dan sering terjadi prostitusi terselubung kemudian dihapus. Setelah itu
digunakan istilah lengger tidak pandang penarinya laki-laki atau perempuan.
Dariah yang pada masa kecil bernama Sadam sudah mulai belajar menari lengger
sejak sebelum penjajahan Jepang tahun 1942 yang dimulai dari perjalanan ritualnya
sampai ke Panembahan Ronggeng di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang6. Sadam
kecil dikhitan hamper bersamaan dengan kedatangan Ratu Wilhelmina pada tahun 1936.
Masa keemasannya cukup panjang, yaitu mulai pasca kemerdekaan Republik Indonesia
tahun 1945 sampai tahun 1965. Perjalanan panjang Dariah sebagai penari lengger
terpenggal bersamaan dengan meletusnya pemberontakan G30S/PKI tanggal 30
September 1965. Sejak itu pemerintah peralihan melarang berbagai ragam pertunjukan
rakyat karena disinyalir telah disusupi paham komunis melalui Lembaga Kesenian
Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI)7. Sejak itu
pula Dariah berhenti dari profesi sebagai penari lengger.
Perjalanan Dariah dalam mengarungi dunia seni lengger adalah bagian dari
perjalanan tradisi lengger itu sendiri. Berbagai kenyataan manis dan pahit yang dialami
semasa menjadi kembang panggung merupakan fakta empirik yang tidak dapat
dielakkan dalam perkembangan kesenian lengger. Catatan Stamford Rafles tentang
adanya prostitusi terselubung di dalam tradisi tarian rakyat di hampir semua daerah di
Pulau Jawa seperti gandrung, ledhek, ronggeng, tandak, tayub, atau lengger8

5 Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada Program
Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006) hlm. 95.
6 Sudalmi, 2001, hlm. 25-26.
7 Yusmanto, 2006, hlm. 96.
8 dalam Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.
(Yogyakarta: LKIS, 2008) hlm. 217.
3

membuktikan bahwa di masa lalu siapapun yang menjadi penari lengger, ronggeng, dan
sejenisnya harus mempersiapkan diri menerima tawaran melayani nafsu kaum pria.
Lengger dengan berbagai varian nama dan perwujudannya diyakini sudah ada
sejak Majapahit sebagaimana tertuang di dalam Serat Centhini dan Serat Sastramiruda. 9
Catatan tentang keberadaan lengger dengan jelas terpapar di dalam Serat Centhini Jilid V
pupuh 321-356 karya Adipati Anom (1814-1823). Di dalamnya tertuang pengalaman
Mas Cebolang di Wirasaba yang mendapati Kanjeng Adipati jatuh cinta kepada ledhek
Nurwitri. Meskipun Kiai Adipati mengetahui Nurwitri sejatinya seorang pria, tetapi
hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh ledhek yang dibawa oleh Mas Cebolang. Dalam
pengaruh brem, tape dan tuak, ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi
sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa
pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, Nurwitri majulah
sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab,
ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher
Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan
dicium. Tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita.10
Jauh sebelum Majapahit bahkan diperkirakan sudah lahir tarian rakyat semacam
lengger yang dipergunakan untuk media ritual kesuburan. Di candi Borobudur dan
Prambanan terdapat relief-relief yang diperkirakan representasi dari tarian rakyat yang
sudah ada pada masa didirikannya kedua candi itu. Tarian semacam ini diperkirakan
menjadi seni pertunjukan di lingkungan keratin dan digunakan juga sebagai sarana ritual,
hiburan, dan tontonan orang di berbagai kalangan. 11 Di wilayah Banyumas yang berbasis
kebudayaan agraris, tari lengger Banyumas juga digunakan sebagai sarana ritual, seperti
tari kesuburan bumi untuk menyembah Dewi Sri yang merupakan dewi pelindung para
petani.

9 Irmayanti Meliono, Lengger Banyumas and Padhepokan Banyu Biru as Model Community
Empowerment: A Case Study In The Village Of Plana, Somagede District, Banyumas, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012), hlm. 198..
10 Yusmanto, Catatan kecil tentang Lengger Lanang dan Masa Depannya, (Makalah
disampaikan pada seminar Lengger Lanang Eksistensi dan Perkembangannya diselenggarakan
oleh LPPM Unsoed Purwokerto bertempat di Gedung Soemardjito Purwokerto tanggal 14
November 2013).
11 Herusatoto, 2008, hlm. 218.
4

Pasca penelitian oleh Sudalmi tahun 2001 kekuatan kedirian Dariah mulai
menapak ke permukaan. Ketika Yusmanto mendirikan Padepokan Seni Banyu Biru tahun
2003 Dariah dijadikan sebagai salah satu ikon kekuatan proses berkesenian bagi warga
desa Plana. Kedua belah pihak gayung bersambut. Dariah dan Padhepokan Seni Banyu
Biru sama-sama memberi kekuatan. Kedirian Dariah sebagai seniman mampu
mengangkat citra padhepokan sebagai pelestari budaya, sedangkan padhepokan mampu
menjadi tempat bernaung bagi kesenimanan Dariah.
Totalitas pengalaman Dariah dalam berkesenian terbukti mampu mengangkat
dirinya sebagai tokoh sentral. Pada bulan Agustus 2007 seniman dari Jepang berjumlah
22 orang dating ke Padhepokan Seni Banyu Biru Plana untuk berkolaborasi bersama
Dariah dalam sebuah pertunjukan di Pendhapa Duplikat Si Panji Banyumas. Pentas
kolaborasi itu juga diikuti oleh Didik Nini Thowok, seorang penari senior dari
Yogyakarta. Proses latihan selama empat hari itu mampu melambungkan Padhepokan
Seni Banyu Biru dan Dariah sekaligus. Hampir semua media meliput prosesi latihan
maupun pementasan.
Hasil riset Sudalmi tahun 2001 di luar dugaan menginspirasi sutradara film lokal
Bowo Leksono bersama La Cimplung memproduksi film dokumenter berjudul Leng
Apa Jengger pada tahun 2008 yang mengisahkan perjalanan hidup Dariah sebagai
penari lengger. Tidak lama berselang pada awal tahun 2009 sutradara Bambang Hengky
juga memproduksi film dokumenter tentang Dariah dengan judul Sadam Lengger
Terakhir. Kedua film dokumenter ini sama-sama meraih penghargaan film terbaik
dalam berbagai ajang festival film dokumenter. Film Leng Apa Jengger menjadi film
terbaik pada Festival Film Dokumenter Tingkat Nasional tahun 2010. Sedangkan film
Sadam Lengger Terakhir menjadi film terbaik pada Festival Film Dokumenter yang
dilaksanakan oleh TVRI Pusat Jakarta pada tahun 2011. Pada tahun 2010 Bambang
Hengky melanjutkan produksi film dokudrama berjudul Dariah Lengger Terakhir yang
diproduksi bersama SUN TV untuk keperluan tayangan di Indovision. Semua film
tersebut dibintangi oleh Dariah sendiri dengan melibatkan warga masyarakat sekitar
yang merupakan anggota Padhepokan Seni Banyu Biru Plana.
Puncak eksistensi Dariah adalah ketika pada tahun 2011 lengger sepuh ini
mendapatkan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia sebagai maestro seni
tradisional. Pemberian penghargaan yang berlangsung di Jakarta Convention Center itu
5

disampaikan oleh Wakil Presiden Budiono disaksikan oleh Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Jero Wacik. Sebagai seorang maestro Dariah mendapat biaya hidup hingga
akhir hayatnya yang diberikan setiap satu bulan sekali melalui rekening pribadi Dariah.
Pasaca penerimaan penghargaan sebagai maestro, nama Dariah semakin
melambung. Mantan lengger yang sudah renta itu sering dipanggil di berbagai acara,
baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh organisasi atau lembaga yang
bergerak di bidang seni budaya baik di tingkat lokal maupun nasional. Usianya boleh
senja, tapi semangat juang Dariah tetap menyala. Lantunan gendhing yang disajikan
lewat tabuhan musik calung laksana daya hidup bagi Dariah. Mantan penari lengger
yang untuk jalan saja susah, terbukti mampu menari berjam-jam dengan iringan music
bambu khas Banyumas itu. Sisa-sia panorama kecantikan di masa lalu terasa hadir
kembali lewat inner beauty yang terpancar dari rona wajahnya. Ini membuktikan sajian
gendhing saat pertunjukan mampu memberikan energi yang luar biasa bagi Dariah.
Berdasarkan paparan di atas maka dalam penelitian ini diangkat beberapa
permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Dariah hingga mampu menjadi seorang
maestro?
2. Bagaimana aktivitas Dariah hingga dipilih menjadi seorang maestro seni
tradisional?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat sebelum dan sesudah Dariah diangkat sebagai
maestro?

B. Ruang Lingkup
Penelitian ini dirancang untuk melakukan pengkajian dua disiplin ilmu sekaligus,
yaitu disiplin ilmu sejarah intelektual dan kebudayaan. Sebagai kajian tentang disiplin
ilmu sejarah intelektual, penelitian ini berusaha menguraikan berbagai wujud gagasan
atau ide dan aktivitas Dariah sebagai seorang seniman dalam ranah estetika yang
memungkinkan menjadi penentu bagi lahirnya karya-karya fenomenal dan dihargai
sebagai suatu warisan peradaban pada suatu kelompok masyarakat. Adapun dalam ranah
disiplin sejarah kebudayaan, penelitian ini mengkaji aktivitas kesenimanan dan jejak
karya yang ditinggalkan oleh Dariah selaku seniman lengger. Hal ini sesuai dengan
spesifikasi disiplin ilmu sejarah kebudayaan yang diarahkan untuk merekam dan
6

menginterpretasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu terkait dengan


kehidupan suatu kelompok masyarakat, termasuk berbagai hal yang bersangkut-paut
dengan kegiatan berkesenian.
Penelitian ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk mengungkap dan atau
mengkaji aktivitas Dariah hingga diangkat sebagai maestro seni tradisional yang ditandai
dengan pemberian penghargaan oleh PresidenRepublik Indonesia. Pengangkatan Dariah
sebagai maestro merupakan suatu momentum yang fenomenal bagi seorang seniman,
karena hal tersebut merupakan bentuk pengakuan secara resmi oleh Pemerintah. Oleh
karena itu pengangkatan sebagai maestro dapat dikatakan sebagai wujud kebangkitan
Dariah sebagai seorang seniman. Hasil pengkajian berbagai fakta dan data tentang
kebangkitan Dariah sebagai maestro diformulasikan dalam sebuah judul penelitian
Kebangkitan Sang Maestro Sebuah Biografi Kesenimanan Lengger Dariah 2001-2015.
Persoalan kehidupan Dariah sesungguhnya sangat luas teba permasalahannya.
Oleh karena itu di dalam penelitian ini diperlukan ruang lingkup yang berguna untuk
membantu agar pembahasan masalah tidak terjerumus pada persoalan yang terlalu luas.12
Dalam hal ini ruang lingkup pembahasan hanya mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang diangkat.
Pembatasan ruang lingkup penelitian mencakup dua hal yaitu pembatasan
temporal dan pembatasan spasial. Pembatasan temporal difokuskan pada periode tahun
2001 yang merupakan awal momentum kebangkitan Dariah sebagai seorang maestro.
Pada tahun 2001 diawali dari penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa
UNNES Semarang. Berawal dari itulah kemudian pada tahun 2003 seorang seniman
setempat mendirikan padhepokan seni yang menjadi tempat bernaung bagi Dariah dalam
beraktivitas kembali di dunia seni lengger. Sejak itulah Dariah mulai menapakkan sinar
maestronya hingga pada tahun 2007 berkolaborasi dengan seniman dari Jepang, lalu
pada tahun 2008 hingga tahun 2010 dilakukan produksi film yang melibatkan Dariah
sebagai peran sentralnya. Puncaknya adalah ketika pada tahun 2012 Dariah diangkat
menjadi seorang maestro seni tradisional yang ditandai dengan penerimaan penghargaan
dari Presiden Republik Indonesia. Sejak itu nama Dariah semakin berkibar hingga
sekarang. Selain mendapat pengakuan dari pemerintah, Dariah juga diakui
kesenimanannya di kalangan perguruan tinggi dan masyarakat.

12 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia, 1977) hlm. 28.


7

Pembatasan spasial dalam penelitian ini tidak diarahkan untuk membatasi ide
atau gagasan seseorang dalam bidang profesi yang digelutinya. Penelitian ini justru
dimaksudkan untuk mengungkap sejauh mungkin ide atau gagasan Dariah dalam
menjalani aktivitasnya sebagai seorang maestro seni tradisional dengan spesifikasi di
bidang seni lengger. Namun hal yang perlu dipilah adalah suatu kenyataan bahwa
cakupan kreativitas seseorang dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social
sangatlah luas. Kreativitas manusia sepanjang sejarah dapat direpresentasikan melalui
berbagai ragam aktivitas, antara lain dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat,
seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa (Kuntowijoyo, 1999:3).13 Mengingat luasnya teba
persoalan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk simbolis, maka pembahasan dalam
penelitian ini dibatasi pada gagasan dan aktivitas Dariah dalam kedudukannya sebagai
seorang penari lengger.

C. Tujuan Penelitian

Pendekatan sejarah memiliki tujuan spesifik mempelajari hal-hal yang unik,


tunggal, idiografis dan sekali terjadi. Hal inilah yang membedakan pendekatan sejarah
dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sejarah bersifat diakronis, memanjang dalam
waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam ruang serta tertarik
kepada yang umum, ajeg, nomometis, dan berpola.14 Selaras dengan permasalahan yang
diangkat, maka penelitian ini mengkaji proses kebangkitan Dariah sebagai seorang
seniman lengger yang pada puncaknya terpilih sebagai seorang maestro.

Berdasarkan gambaran tersebut maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan,


antara lain:
1. Mendeskripsikan latar belakang kehidupan Dariah hingga mampu menjadi
seorang maestro.
2. Mengkaji aktivitas Dariah hingga dipilih menjadi seorang maestro seni
tradisional.

13 Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 3.


14 Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), hlm. 31.
8

3. Menjelaskan tanggapan masyarakat sebelum dan sesudah Dariah diangkat


sebagai maestro.
D. Tinjauan Pustaka
9

Penelitian ini berupa kajian tentang fenomena kebangkitan mantan penari lengger
Banyumasan bernama Dariah yang telah mengalami masa surut dan tiba-tiba menjadi
bahan perbincangan di semua media, bahkan menerima berbagai penghargaan dari
pemerintah. Obyek material yang dikaji adalah Dariah sebagai mantan penari lengger
yang saat ini telah ditetapkan sebagai maestro seni tradisional sehingga mencapai puncak
keemasan di usia tua. Adapun obyek formal dalam penelitian ini adalah kesenimanan
Dariah yang pada masa lalu pernah populer kemudian mengalami masa surut dan
sekarang kembali menjadi tokoh yang selalu menjadi topik perbincangan di berbagai
media, bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia.
Penelitian ilmiah yang mengkaji kesenimanan Dariah ternyata belum banyak
dilakukan. Hingga saat ini baru ditemukan dua penelitian ilmiah. Yang pertama adalah
skripsi yang ditulis oleh Sudalmi berjudul Profil Lengger Dariah dari Proses
Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (2001). Sedangkan penelitian kedua adalah skripsi
yang disusun oleh Darno berjudul Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya
Wetanan terhadap Kontinuitas Pertumbuhan Lengger di Banyumas (2013).15
Penelitian Sudalmi sangat penting karena menjadi awal-mula kebangkitan Dariah
yang telah mengubahnya dari yang sebelumnya bukan siapa-siapa menjadi maestro yang
seakan menjadi legenda hidup. Tulisan Sudalmi membahas perjalanan Dariah sejak masa
kecil hingga saat dilaksanakannya penelitian. Ada satu persoalan yang dapat dikritisi
dalam tulisan Sudalmi, yaitu nama-nama tokoh yang terlibat dalam proses kesenimanan
Dariah tidak sesuai dengan nama aslinya. Diperkirakan ada kesengajaan membuat
penyamaran nama atau mungkin Dariah tidak memberi data yang sesungguhnya pada
saat dilakukan penelitian. Namun demikian data perjalanan kesenimanan Dariah pada
tulisan itu cukup runtut, sehingga dalam penelitian ini tulisan Sudalmi memiliki posisi
yang sangat penting untuk data awal sebelum dilaksanakan penelitian lapangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Darno lebih membahas tentang pengaruh tari dan
karawitan gaya Surakarta-Yogyakarta (Wetanan) terhadap pertunjukan lengger oleh
Dariah yang dapat dilihat dari ragam gerak serta teknik tabuhan dan bentuk gendhing.
Hasil penelitian Darno sangat penting dalam penelitian ini sebagai sebagai gambaran

15 Darno, Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya Wetanan terhadap Kontinuitas
Pertumbuhan Lengger di Banyumas. (Laporan Penelitian Ilmiah, Surakarta: Institut Seni
Indonesia, 2013).
10

adanya perpaduan antara gaya Wetanan dan gaya Banyumas dalam pertunjukan yang
dilakukan oleh Dariah.
Tulisan-tulisan lain tentang Dariah yang tidak tergolong penelitian ilmiah sangat
mudah diperoleh di berbagai media, khususnya media cetak dan media internet. Tulisan
Sonya Hellens berjudul Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari. Yang
dimuat di Harian Kompas tanggal 28 Juni 2007 memuat ketertarikan seniman Jepang
terhadap kesenian tradisional di Banyumas. Sebanyak 22 orang seniman dari Jepang
bertandang ke desa Plana, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas selama empat
hari untuk berkolaborasi dengan Dariah dan seniman setempat.16 Berita tentang
kedatangan seniman Jepang yang berkolaborasi dengan Dariah dimuat juga di Koran
Rakyat berjudul Meriah, Malam Penutupan Kesenian Indonesia-Jepang. Koran lokal
Banyumas edisi tanggal 27 Agustus 2007 memuat foto saat Dariah menari bersama
Didik Nini Thowok dari Yogyakarta di Pendhapa Si Panji Banyumas pada malam
terakhir kunjungan seniman Jepang itu.17 Tulisan Sonya Hellens dan Koran Rakyat
merupakan tulisan pertama yang ditemukan pada awal kebangkitan Dariah. Kedua
tulisan ini sangat penting karena memuat momentum awal kebangkitan Dariah setelah
dilakukan penelitian oleh Sudalmi pada tahun 2001.

16 Sonya Hellens, Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari, (Jakarta: Kompas)
edisi 28 Juni 2007
17 Koran Rakyat, Meriah, Malam Penutupan Kesenian Indonesia-Jepang (Purwokerto: Koran
Rakyat) edisi 27 Agustus 2007
11

Tulisan Sigit Harsanto berjudul Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya
Film yang dimuat di Harian Suara Merdeka tanggal 30 Mei 2008 berkisar pada proses
produksi film berjudul Leng Apa Jengger yang mengkisahkan perjalanan hidup Dariah.18
Tulisan lain tentang produksi film ini juga dijumpai pada artikel berjudul Sukarelawan
Film Angkat Lengger Lanang yang (Harian Suara Merdeka tanggal 5 Juni 2008)19,
Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar (Harian Suara Merdeka tanggal 25 Juli 2008)20,
dan Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional (Harian Suara Merdeka tanggal 22
Agustus 2008)21. Beberapa tulisan ini menjadi penting dalam penelitian karena memuat
sosok dariah sebagai peran utama dalam film documenter yang mengkisahkan tentang
dirinya sendiri.
Artikel di Suara Merdeka berjudul Happy Salma Belajar Lengger tanggal 27
Februari 2009 menguraikan bagaimana seorang bintang film papan atas nasional belajar
menari di desa Plana bersama dengan Dariah dan seniman setempat berkaitan dengan
rencana produksi film layar lebar yang diambil dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari.22 Tulisan lain yang memuat hal itu dijumpai juga pada Harian Kompas
berjudul Kesenian Daerah, Lengger Berusaha Bertahan edisi 5 Oktober 200923 dan
artikel di Harian Suara Merdeka berjudul Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I),
Ronggeng Dituntut Tampil Sensual (edisi 7 Oktober 2009).24 Ketiga tulisan ini penting
dalam penelitian karena kedatangan Happy Salma dan artis-artis ibu kota lainnya
diinspirasi oleh keberadaan Dariah sebagai sosok legenda hidup lengger Banyumasan
yang masih hidup.
18 Sigit Harsanto, Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya Film, (Semarang: Suara
Merdeka) edisi 30 Mei 2008.
19 Suara Merdeka, Sukarelawan Film Angkat Lengger Lanang, (Semarang: Suara Merdeka)
edisi 5 Juni 2008.
20 Suara Merdeka, Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar, (Semarang: Suara Merdeka), edisi
25 Juli 2008
21 Suara Merdeka, Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional (Semarang: Suara Merdeka),
edisi 22 Agustus 2008.
22 Suara Merdeka, Happy Salma Belajar Lengger, (Semarang: Suara Merdeka), edisi 27
Februari 2009
23 Kompas, Kesenian Daerah, Lengger Berusaha Bertahan, (Jakarta: Kompas), edisi 5 Oktober
2009
24 Suara Merdeka, Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I), Ronggeng Dituntut Tampil
Sensual (Semarang: Suara Merdeka), edisi 7 Oktober 2009.
12

Tulisan di Suara Merdeka berjudul Keberlangsungan Lengger Perlu


Diperhatikan yang dimuat pada tanggal 20 Februari 2010 membahas tentang kontinuitas
lengger di Banyumas yang dikhawatirkan akan terpenggal, karena generasi muda tidak
banyak yang memilih profesi ini dalam hidupnya. 25 Apabila Dariah meninggal
dikhawatirkan tidak ada lagi lahir lengger dan dengan demikian lengger akan mengalami
kepunahan. Tulisan ini sangat penting dalam penelitian karena telah membuktikan
pentingnya sosok Dariah dalam kontinuitas dan perkembangan lengger di Banyumas.
Harian Suara Merdeka memuat artikel berjudul Sampaiakan Perdamaian lewat
Kesenian pada edisi 23 September 2010. Dalam tulisan itu dimuat seniman dari Jepang
dating ke Banyumas untuk kedua kalinya dengan anggota rombongan sebanyak 28 orang
untuk berkolaborasi dengan Dariah bertempat di SMK Negeri 3 Banyumas dan Pendapa
Kabupaten Banyumas.26 Tulisan ini lebih menegaskan lagi betapa para seniman dari
negeri Sakura sangat tertarik dengan eksistensi seorang Dariah. Meskipun Dariah sudah
sangat tua dan tidak memungkinkan lagi menari dengan sempurna, tetapi tidak
mengurangi ketertarikan mereka untuk berkolaborasi.

25 Suara Merdeka, Keberlangsungan Lengger Perlu Diperhatikan, (Semarang: Suara Merdeka),


edisi 20 Februari 2010.
26 Suara Merdeka, Sampaiakan Perdamaian lewat Kesenian, (Semarang: Suara Merdeka), edisi
23 September 2010
13

Suara Merdeka edisi 9 Februari 2011 memuat foto Dariah dan artikel Kesenian
Jadi Alat Pemberdayaan. Pada tulisan ini dibahas tentang eksistensi kesenimanan Dariah
yang mampu menjadi kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat di Padhepokan Seni
Banyu Biru desa Plana, Kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas. 27 Tulisan ini
memberikan gambaran betapa sosok Dariah mampu menjadi ikon yang sangat kuat
dalam kegiatan seni-budaya di padhepokan ini. Meskipun Padhepokan Seni Banyu Biru
berlokasi di desa terpencil tetapi terbukti menjadi tempat tujuan bagi seniman dari
berbagai negara untuk belajar menari lengger.
Ryan Rachman dalam tulisannya yang berjudul Tak Sadar Menari di Hadapan
Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah (I) di Harian Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011
memuat berita tentang Dariah yang telah dinobatkan menjadi maestro seni tradisional. 28
Berita serupa dijumpai pula pada tulisan lain di edisi yang sama berjudul Mbok Dariah
Dapat Penghargaan dari Wapres.29 Tulisan lain tentang penerimaan penghargaan sebagai
maestro seni tradisional yang diterima Dariah juga dijumpai pada tulisan Sumaryo
berjudul Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden
RI yang dimuat di Tabloid Visual Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari 2012. 30
Ketiga tulisan ini sangat penting karena membahas momentum terpilihnya Dariah
sebagai maestro seni tradisional dengan penghargaan yang diberikan oleh Wakil Presiden
Budiono.

27 Suara Merdeka, Kesenian Jadi Alat Pemberdayaan, (Semarang: Suara Merdeka), edisi 9
Februari 2011.
28 Ryan Rachman, Tak Sadar Menari di Hadapan Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah (I),
(Semarang: Suara Merdeka), edisi 7 Juli 2011.
29 Ryan Rachman, Mbok Dariah Dapat Penghargaan dari Wapres, (Semarang: Suara
Merdeka), edisi 7 Juli 2011.
30 Sumaryo, Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden RI
(Jakarta: Tabloid Visual), Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari 2012.
14

Ryan Rachman kembali menulis tentang Dariah dalam artikelnya yang berjudul
Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki Tercantik, Dicemooh
Istri Orang (Suara Merdeka tanggal 17 November 2011). Tulisan ini terkait dengan
produksi film dokudrama oleh Sun TV dengan sutradara Bambang Hengky yang
mengkisahkan perjalanan hidup Dariah sebagai seorang penari lengger.31 Film ini
kemudian ditayangkan di Indovision. Tulisan Ryan Rachman yang terakhir ini penting
untuk mengungkap tanggapan masyarakat terhadap sosok Dariah pada masa
kejayaannya.
Thomas Pudjo Widijanto dalam artikelnya yang berjudul Tanah Air; Egalitarian
Bumi Banyumasan di Harian Kompas edisi 24 Desember 2011 memuat foto dan
perjalanan hidup Dariah sebagai sosok penari lengger yang mewakili egalitarian kultur
Banyumas. Dalam konteks pemahaman antropologis semacam ini, sebanyak 100 siswa
dan guru dari SMU Pelita Harapan Jakarta datang ke Padhepokan Seni Banyu Biru untuk
menyaksikan pementasan Dariah.32 Berita tentang kegiatan ini ditulis oleh Nugroho
Pamdu Sukmono di Harian Suara Merdeka edisi 27 Februari 2012 berjudul Menyusuri
Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng.33 Kedua tulisan ini sangat penting untuk
menelaah kesenimanan Dariah dari sisi antropologis.

31 Ryan Rachman, Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki
Tercantik, Dicemooh Istri Orang (Semarang: Suara Merdeka), edisi 17 November 2011.
32 Thomas Pudjo Widijanto, Tanah Air; Egalitarian Bumi Banyumasan, (Jakarta: Kompas) edisi
24 Desember 2011.
33 Nugroho Pamdu Sukmono, Menyusuri Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng,
(Semarang: Suara Merdeka), edisi 27 Februari 2012.
15

Hasil pencermatan di google search yang dilakukan pada tanggal 24 April 2016
dengan kata kunci Dariah Lengger Banyumas ditemukan tidak kurang dari 3.840
artikel yang telah diunggah di internet. Hal ini membuktikan Dariah adalah sosok
lengger yang sangat populer. Oleh karena itu telaah pustaka pada penelitian ini tidak
mungkin memuat semua artikel yang terdapat di internet. Artikel yang diambil hanyalah
sebagian yang dianggap mewakili artikel-artikel lain yang memuat tentang kesenimanan
Dariah.
16

Ulfah Nurhazizah dalam tulisannya yang berjudul Dariah diunggah di


http://m2indonesia.com tanggal 6 Oktober 2015 memuat riwayat hidup Dariah sejak
kanak-kanak hingga masa keemasannya sebagai seorang penari lengger.34 Tulisan ini
dapat menjadi kian lengkap jika dipadukan dengan tulisan yang dijumpai di situs resmi
milik Aliansi Jurnalis Independen Purwokerto dengan alamat
http://ajikotapurwokerto.or.id edisi 3 April 2013 memuat hal-hal tersembunyi tentang
kehidupan Dariah dalam sebuah artikel berjudul Hidden Story Behind Banyumas
Traditional Dance. Dalam tulisan itu dibahas betapa masyarakat yang sudah mengetahui
bahwa Dariah sejatinya adalah seorang pria, tetapi ternyata banyak sesame pria yang
jatuh cinta kepadanya.35 Di situs resmi Aliansi Jurnalis Independen juga ditemukan
tulisan lain berjudul Napak Tilas Sang Maestro Lengger yang diunggah pada tanggal 24
Februari 2014 yang membahas asal-usul lengger Dariah. Tulisan ini dilengkapi pula
dengan foto Dariah yang sedang menari di bawah pohon beringin besar di petilasan
Manggihsari desa Somakaton, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas bersama dua
lengger muda.36

34 Ulfah Nurhazizah, Dariah, (http://m2indonesia.com, 2015), diunduh tanggal 24 April 2016.


35 Aliansi Jurnalis Independen, Hidden Story Behind Banyumas Traditional Dance,
(http://ajikotapurwokerto.or.id, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.
36 Aliansi Jurnalis Independen, Napak Tilas Sang Maestro Lengger,
(http://ajikotapurwokerto.or.id, 2014), diunduh tanggal 24 April 2016.
17

Tulisan tentang sisi mistis kehidupan kesenimanan Dariah dijumpai di website


Tabloid Pamor dengan alamat http://www.tabloidpamor.com edisi 1 April 2014 dengan
judul Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumasan yang dilengkapi pula dengan foto
diri Dariah yang sedang menari.37 Tulisan ini memberikan gambaran tentang adanya
unsure-unsur mistik yang melibatkan kekuatan supernatural dalam pertunjukan lengger
tradisional di Banyumas.

37 Pamor, Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumasan, (http://www.tabloidpamor.com,


2014) , diunduh tanggal 24 April 2016.
18

Tulisan berjudul Dariah,Maestro Lengger dari Banyumas yang dimuat di


https://m.tempo.co edisi 21 November 2012 membahas kedatangan Didik Nini Towok
ke Plana untuk membuat dokumentasi audio visual bersama Dariah. Pada tulisan itu
selain dibahas tentang perjalanan kesenimanan Dariah juga dilengkapi foto close up
berdua Didik Nini Towok bersama Dariah.38
Ahmad Tohari dalam tulisannya yang berjudul Menghayati dan Menemukan
Semangat Film Dokumenter; Dariah, Sang Maestro Lengger Lanang dimuat di situs
resmi Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta diunggah pada tanggal 10 Juni 2015
membahas Dariah dari sisi antropologis.39 Tulisan ini disampaikan pada seminar yang
merivew film dokumenter tentang Dariah di Hotel Horison Purwokerto pada tanggal 10
Juni 2015. Di dalam makalah itu Ahmad Tohari membahas Dariah sebagai bagian dari
pewarisan tradisi Banyumasan yang egaliter.

38 Tempo, Dariah,Maestro Lengger dari Banyumas, (https://m.tempo.co, 2012), diunduh


tanggal 24 April 2016.
39 Ahmad, Menghayati dan Menemukan Semangat Film Dokumenter; Dariah, Sang Maestro
Lengger Lanang, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta).
19

Tulisan Sumarwoto berjudul Lengger Banyumasan, Budaya "Cross Gender"


yang Populis dimuat di http://www.antaranews.com diunggah pada tanggal 17
November 2012 membahas popularitas cross gender pada tradisi lengger di
Banyumas sebagaimana dijumpai pada diri Dariah. 40 Tulisan ini penting untuk
membahas cross gender yang dilakukan oleh Dariah dari yang semula berjenis
kelamin laki-laki dengan nama Sadam yang dalam menjalani profesi sebagai
lengger selanjutnya mengubah nama dan penampilan sebagai seorang perempuan.
Sumarwoto dalam tulisannya yang berjudul Banyumas Extravaganza
Diharapkan Tarik Wisatawan Luar Daerah yang diunggah di www.antaranews.com edisi
tanggal 15 April 2015 memuat keterlibatan Dariah dalam pentas kesenian yang
dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Banyumas tahun 2015. Di
dalam tulisan itu diulas harapan Pemerintah Kabupaten Banyumas mampu menarik
wisatawan melalui pertunjukan kesenian yang eksotik dengan melibatkan tokoh-tokoh
seni di wilayah Banyumas semacam Dariah.41

40 Sumarwoto, Lengger Banyumasan, Budaya "Cross Gender" yang Populis


(http://www.antaranews.com, 2012), diunduh tanggal 24 April 2016.
41 Sumarwoto,Banyumas Extravaganza Diharapkan Tarik Wisatawan Luar Daerah,
(www.antaranews.com, 2015), diunduh tanggal 24 April 2016.
20

Tulisan-tulisan lain yang memuat perjalanan kesenimanan Dariah masih banyak


dijumpai di situs maupun blog lain seperti di http://www.suarakita.org dengan judul
Dariah Sang Lengger Lanang (diunggah 2 Desember 2012),42 www.kompasiana.com
berjudul Lengger Dariah (diunggah 16 Januari 2014)43,
http://panginyongan.blospot.co.id berjudul Dariah Lengger Lanang Itu (diunggah 7
Februari 2008),44 https://utamidkusumawati.wordpress.com berjudul Lengger Lanang
(diunggah 6 Januari 2012),45 http://tekno.kompas.com berjudul Pengabdian Dariah
Lengger Lanang Terakhir (diunggah 3 Juli 2012),46 http://purwokertokita.com berjudul
Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumas (diunggah 20 Februari 2016)47 dan masih
banyak lagi tulisan yang lain.
Video tentang Dariah pun bertebaran di youtube antara lain video berjudul
Lengger Lanang dengan alamat https://www.youtube.com/watch?v=09SstIUxAJE
(diunggah 5 September 2009),48 film dokumenter berjudul Leng Apa Jengger dengan
alamat https://www.youtube.com/watch?v=wKuQWBLNzJs (diunggah 15 Juli 2013),49
film dokumenter berjudul Dariah Lengger Lanang dengan alamat
https://www.youtube.com/watch?v=kDbUOugIGBo (diunggah 15 Desember 2013),50

42 Suarakita, Dariah Sang Lengger Lanang (http://www.suarakita.org, 2012), diunduh tanggal


24 April 2016.
43 Kompasiana, Lengger Dariah, (www.kompasiana.com, 2014), diunduh tanggal 24 April
2016.
44 Wong Banyumas, Dariah Lengger Lanang Itu, (http://panginyongan.blospot.co.id, 2008) ,
diunduh tanggal 24 April 2016.
45 Utami Kusumawati, Lengger Lanang (https://utamidkusumawati.wordpress.com, 2012) ,
diunduh tanggal 24 April 2016.
46 Tekno Kompas, Pengabdian Dariah Lengger Lanang Terakhir, (http://tekno.kompas.com,
2012), diunduh tanggal 24 April 2016.
47 Purwokerto Kita, Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumas, (http://purwokertokita.com,
2016), diunduh tanggal 24 April 2016.
48 Youtube, Lengger Lanang, video, (https://www.youtube.com/watch?v=09SstIUxAJE, 2009),
diunduh tanggal 24 April 2016.
49 Youtube, Leng Apa Jengger, Film Dokumenter, (https://www.youtube.com/watch?
v=wKuQWBLNzJs, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.
50 Youtube, Dariah Lengger Lanang, Film Dokumenter, (https://www.youtube.com/watch?
v=kDbUOugIGBo, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.
21

dan video berjudul Dariah, Sang Maestro Lengger dengan alamat


https://www.youtube.com/watch?v=YCqZ_h6HYnI (diunggah 12 Februari 2015).51
Berbagai macam tulisan dan video tentang Dariah sangat penting dalam
penelitian ini. Selain sebagai sumber yang berguna dalam pembahasan permasalahan
yang diajukan, tulisan dan video tersebut juga merupakan pembuktian popularitas Dariah
sebagai maestro seni tradisional yang hidup dari profesi sebagai seorang penari lengger.
Dengan demikian diharapkan dalam pembahasan permasalahan memiliki sumber data
yang cukup sehingga hasil penelitian benar-benar memenuhi kriteria sebagai tulisan
ilmiah sebagaimana yang diharapkan.
Dalam upaya memperoleh data yang valid dalam penulisan laporan, penelitian ini
juga melakukan kajian pustaka yang dimaksudkan untuk melihat lebih jauh tentang
obyek penelitian, paradigma, maupun fokus kajian terkait dengan persoalan yang
dibahas. Dari hasil penelusuran setidaknya ditemukan tiga tulisan Yusmanto yang terkait
dengan lengger, calung, dan posisi kraton Jawa dalam pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan Banyumas. Tulisan pertama berjudul Lengger, antara Mitos Kesuburan dan
Media Hiburan yang disampaikan pada workshop Pamong Budaya Kabupaten
Banyumas tahun 2002 membahas tentang lengger di wilayah kultur Banyumas yang
identik dengan ritual kesuburan dan media hiburan. Bahwa di Banyumas terdapat
berbagai ritus kesuburan yang terkait dengan kepercayaan masyarakat bahwa alam
memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Yusmanto menjelaskan bahwa
kesenian diyakini sebagai sesuatu yang agung dan penciptaannya sebagai puncak-puncak
perenungan batin yang paling dalam sehingga dipercayai sebagai sesuatu hal yang sangat
layak untuk sarana persembahan. Persembahan berupa karya seni itu dipercaya akan
menjadikan doa-doa yang ditujukan kepada Sang Pencipta akan didengar dan dengan
demikian pula kelestarian hidup umat manusia akan tetap terjamin. 52 Tulisan ini sangat
penting dalam membahas tentang perjalanan ritual Dariah dalam mewujudkan dirinya
menjadi seorang penari lengger yang selain memiliki kedekatan dengan alam juga
mampu menjelma kembang panggung yang digandrungi oleh banyak orang.

51 Youtube, Dariah, Sang Maestro Lengger, Video, (https://www.youtube.com/watch?


v=YCqZ_h6HYnI, 2015), diunduh tanggal 24 April 2016.
52 Yusmanto, Lengger, antara Mitos Kesuburan dan Media Hiburan, (Makalah disampaikan
pada workshop Pamong Budaya Kabupaten Banyumas bertempat di aula Dinbudpar Kabupaten
Banyumas tanggal 12 April 2002).
22

Tulisan kedua Yusmanto berupa tesis yang berjudul Calung, Kajian tentang
Identitas Kebudayaan Banyumas (2006) lebih membahas tentang persoalan identitas
kebudayaan Banyumas. Yusmanto menjelaskan bahwa kebudayaan Banyumas sangat
mendapat pengaruh dari kultur Jawa dan Sunda. Kedua kultur ini bermuara di Banyumas
yang merupakan wilayah marginal survival, sehingga di dalam kultur Banyumas
terdapat tiga warna sekaligus, yaitu warna Wetanan (Jawa), warna Kulonan (Sunda), dan
warna Banyumasan itu sendiri.53 Tulisan Yusmanto sangat penting untuk membahas
pengaruh gaya Wetanan terhadap kontinuitas pertumbuhan lengger yang dijumpai pada
pertunjukan lengger oleh Dariah.
Tulisan Yusmanto yang ketiga berjudul Sumbangan Pemikiran bagi
Pengembangan Kurikulum Sekolah Seni. Tulisan ini berupa makalah disampaikan pada
Simposium Nasional Sekolah Kesenian 1999, diselenggarakan oleh Ikatan Alumni
Konservatori/SMKI Surakarta (IKAKONKI) di SMK Negeri 8 Surakarta, 13 September
1999. Sekalipun tulisan ini tidak terkait langsung dengan persoalan lengger, namun di
dalamnya termuat tentang kekhasan ragam kesenian di Banyumas yang dipengaruhi oleh
kultur Jawa dan Sunda. Dalam tulisan ini Yusmanto juga membahas tentang kuatnya
pengaruh gaya Wetanan terhadap musik dan tarian tradisional di Banyumas sebagaimana
yang dilihat pada pertunjukan lengger Dariah pada masa lalu.54 Tulisan Yusmanto yang
satu ini menjadi penting karena penelitian ini pun membahas tentang pengaruh wetanan
terhadap musik dan tari tradisional di Banyumas, khususnya pada pertunjukan lengger.

53 Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada Program
Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006).
54 Yusmanto, Sumbangan Pemikiran bagi Pengembangan Kurikulum Sekolah Seni, (Makalah
disampaikan pada Simposium Nasional Sekolah Kesenian 1999, diselenggarakan oleh Ikatan
Alumni Konservatori/SMKI Surakarta (IKAKONKI) di SMK Negeri 8 Surakarta, 13 September
1999).
23

Tulisan Umi Kulsum Kendar yang berjudul Lengger Keliling Jakarta Bersiasat
di Balik Keterpinggiran merupakan tesis pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia (2004). Tulisan Umi membahas tentang persoalan lengger di Jakarta yang
digunakan untuk media mbarang atau mengamen. Di dalam tulisan ini umi mengajukan
pendapat bahwa para pelaku lengger dan seluruh penabuhnya, pada umumnya berasal
dari kalangan masyarakat pedesaan yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan
memiliki permasalahan di bidang perekonomian keluarga. Persoalan demikian
merupakan sesuatu yang sudah sangat lama terjadi, dan ketika para seniman melihat
peluang pangsa pasar di Jakarta cukup menjanjikan, maka mereka pun kemudian
melakukan urbanisasi untuk mengadu nasib dengan berbekal kemampuan berkesenian
yang mereka miliki. Penelitian Umi sangat penting untuk melihat perkembangan lengger
saat ini yang lebih cenderung untuk keperluan hiburan semata. 55 Dari penelitian Umu
dapat dilihat adanya perubahan arah berpikir pada sebagian seniman di Banyumas
melihat perkembangan jaman yang terjadi dengan cara mengubah cara pandang
tradisional yang membumi, kemudian berubah lebih diarahkan pada pertunjukan lengger
yang lebih bersifat profane.
Skripsi berjudul Analisis Tari Lobong Ilang oleh Sri Rahmadi, Universitas
Negeri Semarang (2002) membahas tentang analisis gerak tari Lobong Ilang karya
Yusmanto. Di dalam tulisannya, Sri Rahmadi menjelaskan bahwa tari Lobong Ilang
merupakan ringkasan suasana dari pertunjukan lengger semalam suntuk melalui empat
suasana sajian, yaitu kenes (seperti tampak pada sajian gambyongan), dinamis (seperti
tampak pada sajian lenggeran), gagah (seperti tampak pada tari Baladewan), dan
kembali sumeleh (sebagai akhir sajian). Dalam hal ini tulisan Sri Rahmadi sangat
penting sebagai acuan dalam mendeskripsikan ragam gerak tari Banyumasan.56
Tulisan Raswan yang Prosesi Bentuk Pertunjukan Lengger di Desa Papringan,
Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas (2002) membahas permasalahan prosesi
bentuk pertunjukan kesenian lengger Banyumasan dengan mengambil sampel grup
lengger di desa Papringan, kecamatan Banyumas, kabupaten Banyumas. Tulisan
Raswan yang merupakan skripsi pada Universitas Negeri Semarang itu penting untuk

55 Umi Kulsum Kendar, Lengger Keliling Jakarta Bersiasat di Balik Keterpinggiran, (Tesis
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004).
56 Sri Rahmadi, Analisis Tari Lobong Ilang (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2002).
24

mengungkap struktur pertunjukan dan ragam gerak tari pada pertunjukan lengger di
Banyumas sebagaimana yang ditemukan pada pertunjukan lengger oleh Dariah.57
Sunaryadi dalam tulisannya yang berjudul Lengger, Tradisi & Transformasi
(2000) merupakan deskripsi tentang pertunjukan lengger di Banyumas yang dilihat dari
sisi tradisi dan perubahan sosial masyarakatnya. Di dalam tulisannya, Sunaryadi
membahas betapa lengger di Banyumas sangat lekat dengan tradisi masyarakatnya yang
bersumber dari kehidupan agraris. Dalam penelitian ini tulisan Sunaryadi penting untuk
membahas tentang pola kehidupan agraris masyarakat Banyumas yang menjadi kekuatan
utama pertunjukan lengger oleh Dariah.58
Indriyanto dalam tulisannya yang berjudul Lengger Banyumasan, Kontinyuitas
dan Perubahannya (1998/1999) membahas tentang keberadaan pertunjukan lengger
sampai dengan akhir decade tahun 1990-an. Tulisan yang berupa tesis pada Universitas
Gajahmada Yogyakarta ini menegaskan betapa perubahan sosial di wilayah Banyumas
dan sekitarnya telah memberikan dampak terhadap pertunjukan lengger. Pertunjukan
tarian rakyat yang semula sangat dekat dengan mitos-mitos kekuatan gaib ini kemudian
berubah menjadi pertunjukan yang profane dengan hadirnya lagu-lagu kreasi baru dalam
bentuk lagu dandutan. Dari sisi kostumnya pun terjadi perubahan ke arah kostum yang
lebih gemerlap dengan hadirnya banyak pernik-pernik berupa payet dan mute. 59 Tulisan
Indriyanto penting untuk perbandingan dalam membahas tentang pola sajian lengger
yang dilakukan oleh Dariah sebelum hadirnya perubahan sosial pada beberapa decade
dewasa ini.

57 Raswan, Prosesi Bentuk Pertunjukan Lengger di Desa Papringan, Kecamatan Banyumas,


Kabupaten Banyumas (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang,
2002).
58 Sunaryadi, Lengger, Tradisi & Transformasi. (Yogyakarta: Cakra, 2000).
59 Indriyanto, Lengger Banyumasan, Kontinyuitas dan Perubahannya, (Tesis pada Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gjahmada Yogyakarta, 1998/1999).
25

Tulisan Sudarso yang berjudul Warna Banyumasan, Wetanan atau Kulonan


dalam Garap Gendhing Unthuluwuk, Ricik-ricik dan Blendrong Kulon pada Gamelan
Calung (1999), secara tegas membahas karakter musikal pada calung. Ada tiga warna
garap pada gendhing-gendhing Banyumasan yang disajikan dengan menggunakan
perangkat musik bambu ini. Warna Banyumasan menunjuk pada karakter Banyumas,
warna wetanan menunjuk pada karakter gaya Surakarta-Yogyakarta dan warna kulonan
menunjuk pada warna Sunda. Kajian tentang ketiga warna ini selain dilihat dari susunan
balungan gendhing, juga didasarkan pada tiga macam garap, yakni garap ricikan, garap
gendhing, dan garap vokal.60
Rene T.A. Lysloff dalam tulisannya yang berujudul Innovation and Tradition:
Calung Music in Banyumas (1992) menuangkan gagasannya tentang inovasi dan tradisi
di dalam musik calung di Banyumas. Tulisan ini sesungguhnya lebih mirip dengan
selayang pandang mengenai perkembangan musik calung di Banyumas yang dalam
pertunjukannya mengalami perubahan sajian gendhing, dari yang semula gendhing-
gendhing tradisi ke arah disajikannya lagu-lagu pop dan dangdut. Tulisan ini belum
benar-benar menyuguhkan realita pertumbuhan dan perkembangan calung di wilayah
perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda ini.61
Tulisan Indriyanto (1998/1999) yang berjudul Pertunjukan Lengger di
Banyumas, Kontinyuitas dan Perubahannya menyinggung tentang calung sebagai
musik pengiring pertunjukan lengger. Di dalamnya juga dijelaskan gendhing-gendhing
dan teks syair yang mengisyaratkan kedekatan pertunjukan lengger dengan masyarakat
pedesaan. Sebagai tulisan ilmiah setingkat tesis, tulisan Indriyanto lebih sekedar melihat
kelangsungan hidup kesenian lengger beserta perubahan-perubahan yang terjadi di atas
panggung pertunjukan. Indriyanto tidak menelusuri lebih jauh hal-hal yang terjadi di luar
panggung pertunjukan, seperti perubahan sosial, perubahan pola pikir, perubahan
kepentingan dan lain-lain, yang memungkinkan menjadi bagian dari faktor yang
menyulut terjadinya perubahan di panggung pertunjukan.

60 Sudarso, Warna Banyumasan, Wetanan atau Kulonan dalam Garap Gendhing Unthuluwuk,
Ricik-ricik dan Blendrong Kulon pada Gamelan Calung, (Slripsi pada Jurusan Seni Karawitan
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1999).
61 Lysloff, Rene T.A., Innovation and Tradition: Calung Music in Banyumas, (Makalah
disampaikan dalam Festival of Indonesia Conference Summaries: Indonesian Music 20th
Century Innovation and Tradition, New York: Festival of Indonesia Foundation, 1992).
26

Kuat Waluyo dalam tulisannya yang berjudul Gambangan Calung Ki Namiarja


dalam Penggarapan Gending-gending Banyumasan (1993) menulis teknik permainan
instrumen gambang barung dalam gamelan calung versi Ki Namiarja. Tulisan Kuat
Waluyo lebih berupa deskripsi teknik gambangan dengan sedikit sentuhan kupasan yang
diarahkan sebagai bentuk analisis musikologis.62 Berdasarkan tulisan ini dapat diperoleh
gambaran, bahwa teknik gambangan di dalam sajian musik calung sangat variatif. Setiap
seniman memungkinkan memiliki model, metode maupun teknik yang berbeda dengan
seniman lain. Semua itu dapat dijadikan salah satu acuan untuk melihat warna, karakter,
dan identitas personal seniman calung di daerah Banyumas dan sekitarnya.
Dalam hubungannya dengan pengakuan masyarakat terhadap diri Dariah sebagai
seorang maestro akan sangat penting membaca tulisan Benjamin Brinner yang berjudul
Knowing Music Making Music (1995). Di dalam salah satu bahasannya Brinner
mengetengahkan tentang kompetensi individu seorang seniman yang berhubungan
dengan daerah di sekitar tempat tinggal seniman, hal-hal yang melatar belakangi secara
historis dan pengalaman dalam pergaulannya di bidang yang digeluti.63 Tulisan Brinner
sangat penting untuk mendasari pemikiran siapa sosok Dariah dan mengapa di saat
usianya yang sudah senja bahkan mampu menjadi tokoh yang sangat populer di
masyarakat.
Sosok diri seorang Dariah juga dapat dipahami dari sisi identitas. Pada
kenyataannya, pemahaman tentang identitas tidak terbatas untuk perorangan, tetapi juga
berlaku untuk kelompok seperti: nasionalisme, organisasi sosial, politik, militer,
kelompok kesenian, kebudayaan dan lain-lain. Pada tulisan Judith Starkey (2005) yang
berjudul Cultural Identity dapat dilihat dengan jelas bahwa karakteristik umum dan
gagasan-gagasan yang mungkin menjadi penanda bagi suatu bagian dari identitas
kebudayaan.64 Tulisan sejenis juga ditemukan pada buku The Interpretation of Culture
yang ditulis oleh Clifford Geertz65 dan buku Pengantar Ilmu Antropologi oleh

62 Kuat Waluyo, Gambangan Calung Ki Namiarja dalam Penggarapan Gending-gending


Banyumasan (Skripsi pada Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta, 1993).
63 Benjamin Brinner, Knowing Music Making Music, (Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1995).
64 Starkey, Judith, 2005, Cultural Identity, (Licensed under the GNU Free Documentation
License, http://cultural-identity.borgfind.com), diunduh tanggal 24 April 2016.
27

Koentjaraningrat.66 Tulisan Clifford Geertz dan Koentjaraningrat memang tidak secara


khusus membahas tentang identitas. Namun demikian pada bagian-bagian tertentu dari
kedua buku tersebut secara tersurat maupun tersirat membahas persoalan identitas
kultural yang ditunjukkan melalui ciri dan karakter yang melekat di dalam diri
perseorangan maupun kelompok yang menjadi pembeda dengan orang atau kelompok
lainnya. Lebih dari itu, identitas juga dapat digunakan sebagai spirit untuk menggalang
kekuatan mewujudkan cita-cita, perjuangan citra diri dan usaha menunjukkan kekuatan
suatu kelompok sosial atau kelompok organisasi tertentu.
Dalam kehidupan sosial, memang identitas seringkali dijadikan sebagai alat
perjuangan. Tulisan William O. Beeman, James C. Scott,67 Karl A. Hack R.68 dan Ahmad
Tohari69, masing-masing membahas identitas sebagai spirit perjuangan sekelompok
masyarakat di tengah hegemoni kelompok masyarakat lain. William O. Beeman dalam
tulisannya yang berjudul The Struggle for Identity in Post-Soviet Tajikistan (1999)
membahas tentang perjuangan identitas pada bangsa Tajikistan pasca runtuhnya Uni
Soviet. James C. Scott dalam bukunya yang berjudul Weapons of the Weak, Everyday
Forms of Peasant Resistance (1985) membahas tentang pergulatan dua kelas sosial pada
masyarakat Sedaka di Malaysia. Tulisan Karl A. Hack R. yang berjudul Life Histories,
Identity and Crises of Authority in Southeast Asia (2004) membahas sejarah kehidupan,
identitas dan krisis otoritas negara-negara di Asia Tenggara dengan sampel beberapa
negara seperti Indonesia, Pilipina, Timor-Timur dan Malaysia. Sementara Ahmad Tohari
dalam tulisannya yang berjudul Andai Tidak Disubkulturkan (2005) membahas
tentang kekuatan local genius masyarakat Banyumas di tengah hegemoni kebudayaan
kraton. Beberapa tulisan tersebut memberikan gambaran bahwa identitas yang melekat
pada suatu kelompok masyarakat dapat dijadikan sebagai ruh bagi perjuangan

65 Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, Onc., Publishers,
1973).
66 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
67 Beeman, William O, The Struggle for Identity in Post-Soviet Tajikistan, (Volume 3, No. 4
December 1999, http:// meria.idc.ac.il/journal/1999), diunduh tanggal 24 April 2016.
68 Hack R., Karl A., Life Histories, Identity and Crises of Authority in Southeast Asia,
(http://IAS Newsletter.htm, 2004), diunduh tanggal 24 April 2016..
69 Ahmad Tohari, Andai Tidak Disubkulturkan, (Artikel dimuat dalam Kolom Pringgitan
Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69
tanggal 24 April 2005) hlm.19.
28

kelompoknya dalam usaha mewujudkan eksistensi kelompok tersebut di tengah kekuatan


kelompok lain. Pada tulisan William O. Beeman dan Karl A. Hack R., secara eksplisit
ditunjukkan kekuatan identitas kelompok dalam usahanya mewujudkan cita-cita
perjuangan. Berbeda dengan tulisan James C. Scott70 dan Ahmad Tohari, yang tidak
secara langsung menyebutkan persoalan identitas sebagai wahana perjuangan kelas
melawan kekuatan kelompok masyarakat lain yang memiliki posisi lebih kuat. Wujud
perjuangan tersebut didasarkan pada ciri dan karakter kolektif masyarakat tertindas yang
selanjutnya menjadi semacam atribut sekaligus ruh dalam perjuangan mereka.
Pemikiran Bellah menunjuk pada pentingnya identitas kultural dalam proses
modernisasi di Asia. Modernisasi yang berjalan cenderung tak terkendali telah
menimbulkan berbagai tanggapan pro dan kontra yang mengarah pada pentingnya
identitas kultural agar sebuah bangsa mampu mempertahankan eksistensi dirinya. Di
dalam tulisan Bellah disebutkan contoh bahwa di Jepang desakan untuk modernisasi
sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan
munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional),
kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi
kanan, konservatif atau seorang reaksioner.
Dalam skala yang lebih luas, yaitu dalam konteks kesenian dan kebudayaan,
pendapat tentang identitas dikemukakan oleh Deborah Rockman dalam tulisannya yang
berjudul Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?(2003).71 Dalam tulisannya,
Deborah Rockman berhasil mengkaji visual art (seni visual) dalam konteks kebudayaan
yang dapat menjadi cerminan wajah identitas masyarakat pemiliknya. Pendapat senada
dijumpai pada tulisan G.L. Hagberg (1995) yang membahas kesenian sebagai bahasa.
Dalam hal ini Hagberg menjelaskan fenomena kesenian sebagai media penyampaian ide
atau gagasan seniman yang dikomunikasikan kepada orang lain melalui simbol-simbol
yang dimaknai bersama dalam wadah kebudayaan.72 Dalam kacamata yang berbeda,

70 Scott, James C., Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, (Yale
University Press, New Heaven and London in collaboration with Department of Publications
University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1985).
71 Rockman, Deborah, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, (First presented at
the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla, Mexico, http://debrockman.com., 2003),
diunduh tangga; 24 April 2016.
72 Hagberg, G.L., Art as Language, (Cornell University Press, Ithaca and London, 1995).
29

pendapat semacam ini dapat dijumpai pula beberapa tulisan lain di antaranya tulisan S.
Budhisantoso (1994)73, H.S Ahimsa-Putra (1999)74, dan Arnold Hauser (1974)75.
Beberapa tulisan lain tentang kesenian (musik) dan identitas dapat dijumpai
dalam bentuk laporan hasil penelitian dan refleksi, antara lain buku Ekspresi Seni Orang
Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan yang disusun oleh Tjetjep Rohendi
Rohidi (2000)76, Traditional Music in Modern Java oleh J.M.O. Becker (1972)77,
Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region Identity oleh R.
Anderson Sutton (1991)78 dan Karawitan sebagai Identitas oleh Rahayu Supanggah
(1993/1994)79. Tulisan Tjetjep Rohendi Rohidi berupa disertasi doktoral yang
menggunakan masyarakat miskin di Kampung Kunden, Kendal, sebagai obyek kajian.
Dalam pembahasan dapat dilihat bahwa ternyata orang-orang miskin memiliki cara
tersendiri dalam mengungkapkan pengalaman estetik mereka. Semua itu telah
membentuk suaru karakteristik seni tersendiri yang berbeda dengan cara yang dilakukan
oleh orang-orang kaya.

E. Kerangka Pikir
Penelitian ini berusaha membongkar eksistensi diri seorang seniman yang pada
masa tuanya mampu kembali bersinar karena kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena

73 Budhisantoso, S., Kesenian dan Kebudayaan, (Artikel dalam Wiled, Jurnal Seni STSI
Surakarta, Tahun I, Juli 1994).
74 Ahimsa-Putra, H.S, Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan
Post-Modernistis dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 1999).
75 Hauser, Arnold, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1974).
76 Rohidi, Tjetjep Rohendi, Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap
Kemiskinan, (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI bekerjasama dengan Ford Foundation, 2000).
77 Becker, J.M.O., Traditional Music in Modern Java, (Ph. D. Diss., Michigan: University of
Michigan, 1972).
78 Sutton, R. Anderson, Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region
Identity, (Cambridge-New York-Port Chester-Melbourne-Sidney: Cambridge University Press,
1991).
79 Rahayu Supanggah, Karawitan sebagai Identitas, (Makalah disampaikan pada OPSPEK
Mahasiswa Baru STSI Surakarta Tahun Akademik 1993/1994, STSI Surakarta, 1993/1994). Baca
pula Rahayu Supanggah, Campur Sari: Sebuah Refleksi, (Makalah disajikan dalam Seminar
Internasional Kebudayaan, diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Perancis, Jakarta, 4 7 Mei
2000).
30

itu untuk membedah permasalahan yang diajukan hanya memungkinkan dikaji melalui
konsep tentang kompetensi. Benjamin Brinner yang lama melakukan penelitian tentang
karawitan Jawa berhasil menemukan formulasi tentang kompetensi diri seorang pemusik
dalam pendapatnya sebagai berikut:

Musical competence is directly linked to social distinctions because it enables a


person to participate in social associations among musik-makers and between
the music-makers and the audience, this association intersects with social
attitudes that may act as incentives or constraints for individual initiative80

Terjemahan:
Kompetensi musik secara langsung terkait dengan perbedaan sosial karena
memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam asosiasi sosial di antara
pemusik serta antara pemusik dan penonton, asosiasi ini bersinggungan dengan
sikap sosial yang dapat bertindak sebagai insentif atau pembatas bagi inisiatif
individu.

Pendapat Brinner tersebut menunjuk pada kompetensi pemusik, karena persoalan


yang dibahas memang persoalan musik. Namun pada dasarnya substansi tentang
kompetensi yang dikemukakan Brinner dapat dipergunakan pada bidang yang lain,
termasuk persoalan kesenimanan Dariah sebagai seorang penari lengger. Dalam
pandangannya Brinner berpendapat bahwa kompetensi music terkait dengan perbedaan
sosial. Hal seperti inilah yang terjadi pada diri Dariah. Ketika masyarakat belum
memberikan pengakuan terhadap kompetensi yang dimilikinya, Dariah hanyalah seorang
tua renta yang tidak berharga di lingkungannya. Akan tetapi ketika tiba-tiba kompetensi
Dariah sebagai seorang lengger dihargai, tiba-tiba terjadi perubahan yang sangat drastis.
Tua renta yang hingga awal tahun 2000 ibarat tinggal menunggu ajal tiba, kemudian di
posisikan dalam status sosial yang melampaui harapan siapapun. Dengan kompetensi
yang dimilikinya Dariah mampu berperan lebih dalam aktivitas seni budaya, mulai di
dari lingkungan tempat tinggalnya hingga pada level nasional bahkan internasional.
Kompetensi Dariah sebagai seorang seniman lengger terbukti mampu
mengukuhkan jatidiri atau identitas dirinya di tengah pergaulan sosial, baik sebagai diri
sendiri maupun sebagai bagian dari kelompok sosial. Tentang konsep identitas Judith
Starkey berpendapat bahwa karakteristik umum dan gagasan-gagasan dapat menjadi
penanda yang jelas bagi identitas kebudayaan, tetapi secara esensial ditentukan oleh
perbedaan: kita merasakan menjadi milik kelompok, dan kelompok mendefinisikan

80 Benjamin Brinner, ibid.


31

dirinya sendiri sebagai sebuah kelompok, dengan mencatat dan menunjuk perbedaan
penting dengan kelompok dan kebudayaan yang lain,81
Esensi dari konsep yang ditawarkan Judith Starkey adalah pada perasaan seorang

individu sebagai bagian integral dari kebudayaan miliknya serta kemampuan

kebudayaan mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah sistem yang berbeda dengan

kebudayaan yang lain. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat dua hal penting yang

secara bersama-sama berperan bagi hadirnya identitas kebudayaan Banyumas. Pertama,

kemampuan masyarakat Banyumas mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian

kebudayaan Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari pola pikir, pola rasa dan tindakan atau

aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan dirinya adalah orang

Banyumas. Kedua, kemampuan kebudayaan Banyumas sebagai suatu obyek sekaligus

subyek yang dinamis di tengah pergulatan interaksi kebudayaan. Hal terakhir ini dapat

dilihat dari karakter, kekhasan dan atau ciri khusus di dalam aspek-aspek tertentu dari

kebudayaan Banyumas yang dapat dijadikan sebagai pembeda dengan ragam

kebudayaan lain. Kedua hal tersebut secara bersama-sama menunjukkan karakteristik

umum dan gagasan-gagasan yang dengan jelas menjadi penanda bagi munculnya

identitas.

Masyarakat pendukung kebudayaan Banyumas adalah kaum penginyongan, yakni

kalangan masyarakat kecil yang umumnya hidup di lingkungan pedesaan. Di dalam diri

mereka tersimpan ide-ide atau gagasan-gagasan, cara bertindak serta totalitas

pengalaman empirik tentang hidup. Semua itu tidak lain adalah hakikat kebudayaan yang

menurut Koentjaraningrat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

81 Judith Starkey, ibid.


32

manusia dengan belajar.82 Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, baik sistem gagasan,

tindakan maupun hasil karya manusia tersebut merupakan bagian terpenting bagi

munculnya karakter individu yang secara umum memiliki kesamaan antara yang satu

dengan lainnya. Ketika individu-individu itu bergabung menjadi kelompok, maka secara

sadar maupun tak sadar akan membentuk suatu karakter yang berlaku secara umum.

Inilah yang kemudian melahirkan identitas kebudayaan Banyumas.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang merupakan proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. 83 Metode sejarah kritis
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis
untuk memberi bantuan secara efektif dalam usaha mengumpukan sumber-sumber
sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesis dari hasil-hasilnya
dalam bentuk tulisan sejarah ilmiah.84 Nugroho Notosusanto menyitir pendapat
Gottchalk bahwa metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi.85 Tahap heuristik adalah
kegiatan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber tertulis dan tidak tertulis, baik
primer maupun sekunder. Dalam proses penelitian tahap heuristik dilakukan melalui
pengumpulan dokumen-dokumen pribadi milik Dariah seperti piagam penghargaan,
fandel, foto-foto koleksi pribadi, rekaman video pementasan, dan kliping atau potongan
berita dari surat kabar yang relevan dengan kajian skripsi ini. Sumber primer yang lain
adalah berupa sumber lisan yang didapatkan melalui wawancara dengan Dariah dan
orang-orang terdekat yang diperkirakan mengetahui secara rinci tentang kehidupan
Dariah sebagai seorang seniman lengger.

82 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu antropologi. (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) hlm. 180.
83 Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press,
1975), hlm. 32.
84 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Idayu, 1978), hlm.
11.
85 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, hlm. 36.
33

Selain sumber primer tersebut di atas, penelitian ini juga menggunakan sumber
sekunder berupa literatur-literatur seperti buku-buku terbitan yang relevan dengan pokok
permasalahan dan paradigm yang digunakan dalam penelitian. Selain itu sumber
sekunder juga diperoleh melalui penelusuran internet terkait permasalahan yang dibahas.

Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu pengujian terhadap sumber-sumber yang
telah diperoleh dengan terlebih dahulu dilakukan kritik sumber, baik berupa kritik
ekstern maupun kritik intern. Proses kritik intern dilakukan kritik terhadap autentisitas
sumber, dengan cara menguji otentisitas/keaslian sumber. Adapun kritik ekstern
dilakukan dengan cara menguji kredibilitas sumber, apakah sumber yang diperoleh dapat
dipercaya kebenarannya. Hal ini penting mengingat penelitian yang dilakukan
didasarkan pada keterangan lisan yang diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku
sejarah. Kritik ekstern sangat dibutuhkan untuk menghindari subyektivitas keterangan
para pelaku. Dalam proses kritik ekstern dilakukan cross check dengan fakta-fakta dari
sumber-sumber yang lain seperti informasi dari media massa atau bukti-bukti lain seperti
foto, rekaman suara/video dan lain-lain.

Tahap ketiga interpretasi, yaitu langkah menafsirkan fakta-fakta yang telah


diperoleh dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan. Berbagai fakta yang ada
kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain dengan tujuan
memperoleh gambaran yang kompleks dan utuh tentang kejadian/peristiwa sejarah yang
sedang dikaji. Dalam hal ini hal paling pokok adalah menghubungkan berbagai fakta
yang ada untuk menemukan data yang dibutuhkan untuk penulisan kebangitan Dariah
sebagai maestro seni tradisional.

Tahap terakhir adalah historiografi, berupa penyusunan hasil penelitian ke dalam


laporan penelitian tentang kebangkitan Dariah sebagai maestro lengger Banyumasan
berdasarkan fakta-fakta yang akurat dan obyektif. Tahap historiografi merupakan tahap
rekonstruksi yang dilakukan dengan mengolah fakta-fakta yang telah diperoleh dari
berbagai sumber dengan terlebih dahulu dilakukan interpretasi dan pengujian pengujian
sumber agar tersusun menjadi sebuah tulisan sejarah yang kritis, analitis dan
menyeluruh. Pada tahap ini tulisan sejarah tentang kebangkitan Dariah sebagai maestro
lengger Banyumasan disajikan dengan bahasa yang sederhana, runtut dan mudah
34

dipahami dengan harapan mampu mengungkap kebenaran fakta sejarah lengger Dariah
sebagai salah seorang maestro seni tradisional di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian dan pembahasan permasalahan selanjutnya disusun dalam satu


laporan penelitian dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Berisi latar belajang dan permasalahan, ruang lingkup


penelitian mencakup lingkup spasial, temporal dan keilmuan. Pada bab ini juga
diuraikan tentang tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian dan penggunaan sumber, dan sistematika penulisan.

BAB II RIWAYAT DARIAH. Membahas tentang latar belakang keluarga, proses pribadi
sosok Dariah, dan konstelasi Dariah dalam kehidupan sosial.

BAB III PROSES KESENIMANAN DARIAH. Membahas latar belakang kesenimanan


Dariah, masa kejayaan Dariah, masa surut Dariah dan saat kebangkitan.

BAB IV KEBANGKITAN DARIAH SEBAGAI MAESTRO.Berisi uraian dan analisis


tentang aktivitas Dariah hingga meraih predikat maestro, posisi Dariah sebagai
maestro dalam perkembangan kesenian di Banyumas, dan tanggapan masyarakat
terhadap Dariah sebagai maestro.

BAB V KESIMPULAN. Berisi simpulan yang didasarkan pada permasalahan dan tujuan
penelitian serta uraian hasil penelitian. Sebagai bagian akhir dari keseluruhan
tulisan dilengkapi pula dengan saran, daftar pustaka dan lampiran secukupnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Arsip dan Manuskrip


35

Fandel Gtra Budaya atas nama Dariah dari Bupati Banyumas tanggal 6 April 2015.

Foto-foto Diri Dariah pada saat pementasan dan di luar pementasan.

Kartu Keluarga Dariah 2010.

Kartu Tanda Penduduk atas nama Dariah.

Piagam Penghargaan atas nama Dariah sebagai Maestro Seni Tradisional dari Menteri
Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 10 Juni 2011.

Piagam Penghargaan atas nama Dariah dari Panitia Purwokerto Bersatu tanggal 17 Juli
2013.

B. Buku, Artikel dan Internet

Ahimsa-Putra, H.S, Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan
Post-Modernistis dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press,
1999).

Ahmad Tohari, Andai Tidak Disubkulturkan, (Artikel dimuat dalam Kolom Pringgitan
Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56
Nomor 69 tanggal 24 April 2005).

Ahmad Tohari, Menghayati dan Menemukan Semangat Film Dokumenter; Dariah, Sang
Maestro Lengger Lanang, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya
Yogyakarta, 2015).

Aliansi Jurnalis Independen, Hidden Story Behind Banyumas Traditional Dance,


(http://ajikotapurwokerto.or.id, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.

Aliansi Jurnalis Independen, Napak Tilas Sang Maestro Lengger,


(http://ajikotapurwokerto.or.id, 2014), diunduh tanggal 24 April 2016.

Becker, J.M.O., Traditional Music in Modern Java, (Ph. D. Diss., Michigan:


University of Michigan, 1972).

Beeman, William O, The Struggle for Identity in Post-Soviet Tajikistan, (Volume 3,


No. 4 December 1999, http:// meria.idc.ac.il/journal/1999), diunduh tanggal 24
April 2016.
36

Brinner, Benjamin, Knowing Music Making Music, (Chicago & London: The University
of Chicago Press, 1995).

Budiono Herusatoto, 2008. Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.


(Yogyakarta: LKIS, 2008).

Budhisantoso, S., Kesenian dan Kebudayaan, (Artikel dalam Wiled, Jurnal Seni STSI
Surakarta, Tahun I, Juli 1994).

Darno, Lengger Dariah, Studi tentang Pengaruh Gaya Wetanan terhadap Kontinuitas
Pertumbuhan Lengger di Banyumas. (Laporan Penelitian Ilmiah, Surakarta:
Institut Seni Indonesia, 2013).

Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, Onc.,
Publishers, 1973).

Hack R., Karl A., Life Histories, Identity and Crises of Authority in Southeast Asia,
(http://IAS Newsletter.htm, 2004), diunduh tanggal 24 April 2016..

Hagberg, G.L., Art as Language, (Cornell University Press, Ithaca and London, 1995).

Hauser, Arnold, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1974).

Indriyanto, Lengger Banyumasan, Kontinyuitas dan Perubahannya, (Tesis pada


Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gjahmada Yogyakarta,
1998/1999).

Irmayanti Meliono, Lengger Banyumas and Padhepokan Banyu Biru as Model


Community Empowerment: A Case Study In The Village Of Plana, Somagede
District, Banyumas, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012).

Koderi, M, Banyumas wisata dan budaya. (Metrojaya. Purwokerto, 1991).

Kompasiana, Lengger Dariah, (www.kompasiana.com, 2014), diunduh tanggal 24 April


2016.

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia, 1977).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).

Kuat Waluyo, Gambangan Calung Ki Namiarja dalam Penggarapan Gending-gending


Banyumasan (Skripsi pada Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1993).

Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).


37

Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press,


1975).

Lysloff, Rene T.A., Innovation and Tradition: Calung Music in Banyumas, (Makalah
disampaikan dalam Festival of Indonesia Conference Summaries: Indonesian
Music 20th Century Innovation and Tradition, New York: Festival of Indonesia
Foundation, 1992).

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Idayu, 1978).

Pamor, Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumasan, (http://www.tabloidpamor.com,


2014) , diunduh tanggal 24 April 2016.

Purwokerto Kita, Dariah Maestro Lengger Lanang Banyumas,


(http://purwokertokita.com, 2016), diunduh tanggal 24 April 2016.

Rahayu Supanggah, Karawitan sebagai Identitas, (Makalah disampaikan pada


OPSPEK Mahasiswa Baru STSI Surakarta Tahun Akademik 1993/1994, STSI
Surakarta, 1993/1994).

Rahayu Supanggah, Campur Sari: Sebuah Refleksi, (Makalah disajikan dalam


Seminar Internasional Kebudayaan, diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan
Perancis, Jakarta, 4 7 Mei 2000).

Raswan, Prosesi Bentuk Pertunjukan Lengger di Desa Papringan, Kecamatan


Banyumas, Kabupaten Banyumas (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2002).

Rockman, Deborah, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, (First presented
at the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla, Mexico,
http://debrockman.com., 2003), diunduh tangga; 24 April 2016.

Rohidi, Tjetjep Rohendi, Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap
Kemiskinan, (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI bekerjasama dengan Ford
Foundation, 2000).

Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009).

Scott, James C., Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, (Yale
University Press, New Heaven and London in collaboration with Department of
Publications University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1985).

Sri Rahmadi, Analisis Tari Lobong Ilang (Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2002).
38

Starkey, Judith, 2005, Cultural Identity, (Licensed under the GNU Free
Documentation License, http://cultural-identity.borgfind.com), diunduh tanggal
24 April 2016.

Suarakita, Dariah Sang Lengger Lanang (http://www.suarakita.org, 2012), diunduh


tanggal 24 April 2016.

Sudalmi, Profil Lengger Dariah dari Proses Kesenimanan ke Aktualisasi Diri (Skripsi,
Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2001).

Sudarso, Warna Banyumasan, Wetanan atau Kulonan dalam Garap Gendhing


Unthuluwuk, Ricik-ricik dan Blendrong Kulon pada Gamelan Calung, (Slripsi
pada Jurusan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1999).

Sumarwoto, Lengger Banyumasan, Budaya "Cross Gender" yang Populis


(http://www.antaranews.com, 2012), diunduh tanggal 24 April 2016.

Sumarwoto,Banyumas Extravaganza Diharapkan Tarik Wisatawan Luar Daerah,


(www.antaranews.com, 2015), diunduh tanggal 24 April 2016.

Sunaryadi, Lengger, Tradisi & Transformasi. (Yogyakarta: Cakra, 2000).

Sutton, R. Anderson, Traditions of Gamelan Music in Java: Music Pluralism and Region
Identity, (Cambridge-New York-Port Chester-Melbourne-Sidney: Cambridge
University Press, 1991).

Tekno Kompas, Pengabdian Dariah Lengger Lanang Terakhir,


(http://tekno.kompas.com, 2012), diunduh tanggal 24 April 2016.

Tempo, Dariah,Maestro Lengger dari Banyumas, (https://m.tempo.co, 2012), diunduh


tanggal 24 April 2016.

Ulfah Nurhazizah, Dariah, (http://m2indonesia.com, 2015), diunduh tanggal 24 April


2016.

Umi Kulsum Kendar, Lengger Keliling Jakarta Bersiasat di Balik Keterpinggiran,


(Tesis pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004).

Utami Kusumawati, Lengger Lanang (https://utamidkusumawati.wordpress.com, 2012) ,


diunduh tanggal 24 April 2016.

Wong Banyumas, Dariah Lengger Lanang Itu, (http://panginyongan.blospot.co.id, 2008)


, diunduh tanggal 24 April 2016.

Youtube, Lengger Lanang, video, (https://www.youtube.com/watch?v=09SstIUxAJE,


2009), diunduh tanggal 24 April 2016.
39

Youtube, Leng Apa Jengger, Film Dokumenter, (https://www.youtube.com/watch?


v=wKuQWBLNzJs, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.

Youtube, Dariah Lengger Lanang, Film Dokumenter, (https://www.youtube.com/watch?


v=kDbUOugIGBo, 2013), diunduh tanggal 24 April 2016.

Youtube, Dariah, Sang Maestro Lengger, Video, (https://www.youtube.com/watch?


v=YCqZ_h6HYnI, 2015), diunduh tanggal 24 April 2016.

Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada


Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006).

Yusmanto, Catatan kecil tentang Lengger Lanang dan Masa Depannya, (Makalah
disampaikan pada seminar Lengger Lanang Eksistensi dan Perkembangannya
diselenggarakan oleh LPPM Unsoed Purwokerto bertempat di Gedung
Soemardjito Purwokerto tanggal 14 November 2013).

Yusmanto, Lengger, antara Mitos Kesuburan dan Media Hiburan, (Makalah


disampaikan pada workshop Pamong Budaya Kabupaten Banyumas bertempat di
aula Dinbudpar Kabupaten Banyumas tanggal 12 April 2002).

Yusmanto, Calung, Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas, (Tesis pada


Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, 2006).

Yusmanto, Sumbangan Pemikiran bagi Pengembangan Kurikulum Sekolah Seni,


(Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Sekolah Kesenian 1999,
diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Konservatori/SMKI Surakarta (IKAKONKI)
di SMK Negeri 8 Surakarta, 13 September 1999).

C. Koran dan Majalah

Hellens, Sonya, Kesenian; Ketika Penari Asal Jepang Berlatih Menari, (Jakarta:
Kompas tanggal 28 Juni 2007).

Kompas, Seni Tradisional Cowongan, Berusaha Eksis tetapi Tetap Realistis, (Jakarta:
Harian Kompas tanggal 19 Agustus 2009).

Kompas, Kesenian Daerah, Lengger Berusaha Bertahan, (Jakarta: Harian Kompas


tanggal 5 Oktober 2009).

Koran Rakyat, Meriah, Malam Penutupan Kesenian Indonesia-Jepang, (Purwokerto:


Koran Rakyat tanggal 27 Agustus 2007).
40

Nugroho Pamdu Sukmono, Menyusuri Jejak Srintil, Pelajar Napak Tilas Ronggeng.
(Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 27 Februari 2012).

Ryan Rachman, Tak Sadar Menari di Hadapan Menteri; Maestro Lengger Mbok Dariah
(I), (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011).

Ryan Rachman, Mbah Dariah, Penari Lengger Delapan Dekade; Dianggap Lelaki
Tercantik, Dicemooh Istri Orang, (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 17
November 2011).

Sigit Harsanto. Suara Hati Masa Kecil Jadi Inspirasi Karya Film, (Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 30 Mei 2008).

Suara Merdeka, Sukarelawan Film Angkat Lengger Lanang, (Semarang: Harian Suara
Merdeka tanggal 5 Juni 2008).

Suara Merdeka, Pegiat Film Mulai Rambah Layar Lebar, (Semarang: Harian Suara
Merdeka tanggal 25 Juli 2008).

Suara Merdeka. 2008. Film Lengger Lanang ke Ajang Internasional. Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 22 Agustus 2008.

Suara Merdeka, Happy Salma Belajar Lengger, (Semarang: Harian Suara Merdeka
tanggal 27 Februari 2009).

Suara Merdeka, Pembuatan Film Karya Ahmad Tohari (I), Ronggeng Dituntut Tampil
Sensual, (Semarang: Harian Suara Merdeka tanggal 7 Oktober 2009).

Suara Merdeka, Keberlangsungan Lengger Perlu Diperhatikan, (Semarang: Harian


Suara Merdeka tanggal 20 Februari 2010).

Suara Merdeka, Sampaiakan Perdamaian lewat Kesenian, (Semarang: Harian Suara


Merdeka tanggal 23 September 2010).

Suara Merdeka, Kesenian Jadi Alat Pemberdayaan, (Semarang: Harian Suara Merdeka
tanggal 9 Februari 2011).

Suara Merdeka, Mbok Dariah Dapat Penghargaan dari Wapres, (Semarang: Harian
Suara Merdeka tanggal 7 Juli 2011).

Sumaryo, Dariah Lengger Lanang dari Banyumas, Peroleh Penghargaan dari Presiden
RI, (Jakarta: Tabloid Visual Nomor 241 Tahun ke-14 tanggal 08-23 Januari
2012).

Thomas Pudjo Widijanto, Tanah Air; Egalitarian Bumi Banyumasan, (Jakarta: Kompas
edisi 24 Desember 2011).
41

D. Informan

1. Nama : Dariah
Umur : 92 tahun
Alamat : Plana RT 01 RW 06 Kecamatan Somagede, Kabupaten
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
Keterangan : Narasumber utama, mantan penari lengger, penerima anugrah
Maestro Seni Tradisional dari Presiden Republik Indonesia.

2. Nama : Yusmanto
Umur : 49 tahun
Alamat : Karangjati RT 02 RW 03 Kecamatan Susukan, Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
Keterangan : Redaktur Majalah Banyumasan ANCAS, Seniman, Pengelola
Sanggar Seni Sekar Shanty.

3. Nama : Ahmad Tohari


Umur : 66 tahun
Alamat : Tinggarjaya RT 01 RW 06 Kecamatan Jatilawang, Kabupaten
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
Keterangan : Redaktur Majalah Banyumasan ANCAS, Novelis..

You might also like