You are on page 1of 14

Abstrak

Mahdin. 2014. Pelestarian Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara Melalui


Pendidikan Formal, Reposisi Pembelajaran Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013. Dalam
tulisan ini diuraikan tentang perlunya ada upaya-upaya strategis yang dilakukan secara
terencana dan terarah bagi mengembangkan kurikulum yang berdiversifikasi untuk
merevitalisasi pembelajaran bahasa daerah dalam pendidikan formal. Pembelajaran bahasa
daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,menjadi konten muatan lokal, yang
telah eksis sejak kurikulum 2004 (KTSP), tidak disiapkan dan ditata dengan baik, sehingga
belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi pembinaan, pengembangan, atau pelestarian
bahasa daerah. Beberapa kelemahan mendasar yang belum tertangani secara mendasar
adalah, (1) tidak diawali dengan kajian atau penelitian sosiolinguistik, (2) belum ada kriteria
yang menjadi persyaratan bagi guru yang mengajarkan bahasa daerah pada setiap satuan
pendidikan, dan (3) belum ada upaya yang memadai untuk menyiapkan silabus, dan bahan
ajar. Penerapan pembelajaran bahasa daerah dalam kurikulum 2013, perlu direposisi dan
direvitalisasi sebagai instrumen bagi pelestarian bahasa daerah itu sendiri dan juga menjadi
sarana transformasi nilai-nilai luhur dan kearifan lokal secara berkesinambungan kepada
generasi penerus. Proses pembelajarannya perlu ditekankan pada pendekatan teks,
komunikatif, kontekstual, dan bermakna. Dalam pembelajaran yang menggunakan
pendekatan teks, pengajaran bahasa daerah perlu memandang bahwa teks (wacana) yang
digunakan sebagai bahan ajar mengandung nilai-nilai, memiliki makna yang khas, sehingga
segenap fenomena yangada dalam teks menjadi sumber belajar yang sangat kaya dan
bervariasi.
PELESTARIAN BAHASA-BAHASA DAERAH SULAWESI TENGGARA MELALUI
PENDIDIKAN FORMAL

(Reposisi Pembelajaran Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013)

I. Pendahuluan

Struktur Kurikulum 2013, yang diberlakukan serentak, misalnya pada kelas VII dan
VIII jenjang SMP awal Tahun Pelajaran 2014/2015, masih memberikan ruang bagi pelajaran
Muatan Lokal secara eksplisit. Melalui muatan lokal inilah yang menjadi wadah bagi
pembinaan, pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan formal.
Kesempatan menjadi sangat berarti bagi pelajaran bahasa daerah, sehingga perlu mendapar
perhatian serius, baik dari satuan pendidikan, tenaga pendidik, pemerintah daerah, maupun
oleh para pakar bahasa dan pakar budaya. Perhatian serius dari berbagai pihak tersebut
diharapkan akan terwujudnya proses pembelajaran bahasa daerah yang produktif, bermakna,
dan menyenangkan, sehingga pada gilirannya akan menjadi instrumen bagi transformasi
nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa daerah. Patut disadari bahwa penggalian dan
pewarisan kearifan lokal kepada para generasi muda melalui bahasa daerah perlu agar terjadi
berkesinambungan antargenerasi sepanjang masa. Pada sisi lain, ada kekhawatiran
terkikisnya eksistensi bahasa-bahasa daerah dalam interaksi sosial atau komunikasi lisan
manyarakat penutur atau pemilik bahasa tersebut.

Kehadiran kurikulum baru ini dengan struktur yang memberikan ruang bagi bahasa
daerah, tentu diperlukan adanya regulasi khusus untuk mempertahankan kelangsungan
pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam pendidikan formal. Dengan tetap mempertahankan
adanya materi bahasa daerah dalam pendidikan formal atau kurikulum, berarti pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah di Nusantara, umumnya dan bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Tenggara khususnya, diharapkan akan tetap berkelanjutan. Kebijakan
yang dapat diterapkan, misalnya dengan mereposisi mata pelajaran muatan lokal dalam
wadah kurikulum 2013. Reposisi muatan lokal ini dapat dikemas dalam mata pelajaran yang
berdiri sendiri, di samping Seni Budaya, sebagai sarana pewarisan dan pelestarian nilai-nilai
luhur dari berbagai bahasa daerah yang ada dalam kawasan Sulawesi Tenggara.

Secara implementatif, pembelajaran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tenggara pada


pendidikan formal, diformulasi sebagai proses transformasi pelestarian bahasa daerah,
sekaligus sebagai instrumen pengembangkan budaya dan penggalian kearifan lokal dalam
bingkai pendidikan karakter bangsa. Melalui muatan bahasa daerah, misalnya Bahasa Tolaki,
Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia dan sebagainya langsung dapat diintegrasikan dengan
memasukkan unsur-unsur permainanan tradisonal anak-anak. Dengan kemasan semacam ini,
pembelajaran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tenggara dapat terimplementasikan, sekaligus
sebagai sarana bagi penggalian dan penemuan kearfan lokal yang berlangsung secara
kontekstual, menyenangkan, kreatif, dan menantang.

Bahasa daerah dalam sebuah bangsa merupakan salah satu kekayaan tak benda bagi
bangsa tersebut sehingga perlu dipelihara dan dilestarikan Sebaliknya, kepunahan sebuah
bahasa, berarti kerugian yang tak ternilai bagi peradaban bangsa, yang menjadi penutur
bahasa tersebut. Tentu dengan kesadaran akan hal itu, maka pendiri bangsa ini telah
menunjukkan visionernya yang jauh ke depan, sehingga para founder itu, menyematkan
dengan indahnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang betapa pentingnya pelestarian
bahasa daerah bagi bangsa Indonesia, Visioner pendiri Bangsa itu tertuang dalam pasal 36
UUD 45 dengan menegaskan bahwa bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya, maka
bahasa-bahasa itu dipelihara dan dihormati oleh negara.

. . Ada berbagai cara melestarikan bahasa daerah, salah satu di antaranya adalah
dilaksanakan melalui pendidikan, lihat (Pasmidi, 1993:1). Bergayut dengan pernyataan itu,
sejak sepuluh tahun terakhir, pembelajaran bahasa daerah memang telah hadir secara
eksplisist di ruang-ruang kelas. Kenyataan dengan hadirnya mata pelajaran muatan lokal,
yang mewadahi pembinaan, pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah dalam ranah
pendidikan formal menjadi fakta sejarah akan kesadaran dan tanggung jawab bangsa ini bagi
eksistensi bahasa-bahasa daerah di negeri ini. Akan tetapi, upaya itu masih bersifat formalitas
tanpa dibarengi dengan keseriusan mencapai kualitas, sehingga hasilnya terasa tidak
signifikan.
Kelemahan mendasar dari implementasi pembelajaran bahasa daerah dalam KTSP,
adalah tidak adanya penelitian atau kajian tentang bagaimana pelaksanaan pembelajaran
bahasa daerah dalam KTSP. Menurut Pride & Holmes, seperti yang dikutip Sumarsono
(1993:1) bahwa kebijakan untuk mengajarkan bahasa tertentu di sekolah secara resmi,
idealnya diawali dengan penelitian sosiolnguistik. Penelitian sosiolinguitik perlu dilakukan
dan hasilnya akan bermanfaat untuk menentukan siapa yang menjadi sasaran pembelajaran,,
tujuannya apa, dan ragam bahasa mana yang akan diajarkan. Aspek-aspek tersebut tampaknya
menjadi penting diperhitungkan, untuk menjamin efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran
yang bermakna dan berkualitas. Dengan bertolak dari pengalaman atas kelemahan
pembelajaran bahasa daerah dalam KTSP, maka penyiapan implementasi pembelajaran
bahasa-bahasa daerah dalam kurikulum 2013 ini perlu dilakukan dengan persiapan yang baik
dan matang. Di sinilah urgensinya pelibatan pakar linguistik, pakar kurikulum, pakar
pendidikan, dan praktisi atau guru saling yang bersinergis, terutama pada momen memasuki
era kurikulum 2013, yang serentak dilaksanakan pada semua Satuan pendidikan dan jenjang
pendidikan pada tahun pelajaran 2014/2015 ini.
Senyampang dengan terselenggaranya Kongres Bahasa Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara yang waktunya hampir bersamaan dengan penerapan kurikulum baru secara
serentak di seluruh tanah air, dipandang sangat strategis untuk melahirkan kebijakan
pemerintah daerah sebagai upaya mereposisi pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam
kurikulum 2013. Kebijakan yang dimaksud, dapat berupa upaya dilakukan penelitian atau
kajian mendalam sebelum melaksanakan atau memilih/menentukan bahasa daerah mana yang
akan dipilih atau diajarkan di sekolah. Misalnya penelitian sosiolinguistik, akan bermanfaat
untuk menakar prospektif pembelajaran bahasa daerah tertentu bagi suatu satuan pendidikan.

Secara prospektif, pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah melalui


pendidikan formal dalam kurikulum baru ini, tampaknya membuka peluang yang lebih baik
dan membawa angin segar bagi kelangsungan dan kelestarian bahasa-bahasa daerah, bahkan
sangat berpeluang bagi berkembangnya penelitian bahasa-bahasa daerah di Sulawesi
Tenggara. Misalnya dengan kehadiran kurikulum 2013, sebagai instrumen utama bagi
eksistensi bahasa daerah dalam ranah akademik, tentu saja menciptankan potensi tersendiri
bagi ketahanan bahasa daerah, yang selama ini masih sangat minim. Indikator dari harapan
itu dapat ditangkap pada konten kurikulum 2013 tersebut, khususnya pada pedoman
pengembangan Muatan Lokal, Kemendikbud RI, (2013). Melalui Pengembangan Muatan
Lokal itu, memang diperlukan kejelian, kepedulian, dan kreativitas pemerintah daerah
melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi maupun kabupaten/kota untuk membuat
regulasi secara operasional. Regulasi yang dimaksud, dapat dijadikan pijakan bagi guru,
pihak satuan pendidikan (sekolah), dan pakar bahasa dalam menyusun pembelajaran bahasa
daerah di wilayahnya. Baik secara dejure maupun secara defacto, kehadiran muatan lokal,
yang menjadi gerbang masuknya pembelajaran bahasa-bahasa daerah yang ada dalam
kawasan Sulawesi Tenggara pada pendidikan formal perlu dimanfaatkan dengan baik
sehingga dapat menarik bagi penelitian bahasa secara akademik.
II. REPOSISI PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DALAM KURIKULUM 2013
. Mereposisi pembelajaran bahasa daerah dalam kurikulum 2013, perlu bertolak dari
refleksi atas kondisi penerapan pembelajaran bahasa selama berlakunya KTSP. Berdasarkan
sejumlah pengalaman empirik maupun beberapa data tentang problematika pembelajaran
bahasa daerah, misalnya Bahasa Tolaki di sekolah-sekolah se-Kota Kendari dapat ditinjau dari
proses pembelajarannya, system evaluasi yang digunakan, dan out put yang terekam selama
berlakunya KTSP. Dari contoh, yang merujuk pada pengalaman tentang pembelajaran bahasa
daerah Tolaki yang menjadi kebijakan Pemerintah Kota Kendari tersebut, dapat dicatat
beberapa masalah yang menyebabkan pembelajarannya kurang bermakna antara lain:

1. Kurikulum
Pembelajaran bahasa daerah dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, seperti
Bahasa Tolaki pada sejumlah SMP Negeri di Kota Kendari tidak maksimal dan cenderung
bersifat formalitas sehingga seolah tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dari aspek kurikulum,,
pembelajaran bahasa Tolaki sebenarnya tidak diperhitungkan dengan kesiapan bahan (materi)
dan sumber daya manusia (guru) yang mengampu mata pelajaran tersebut. Sekolah-sekolah
yang memilih Bahasa Tolaki sebagai implementasi Muatan Lokal rata-rata lemah pada
kesiapan kurikulum (Silabus, RPP, dan bahan ajar), sumber daya manusia (pengajar), dan
medologinya.
Bila ditelusuri dan direfleksi pembelajaran Bahasa Tolaki di SMP-SMP dalam
kawasan Kota Kendari selama lebih kurang sepuluh tahun pemberlakuan KTSP hampir tidak
member kontribusi yang bermakna bagi perkembangan Tolaki secara akademik, maupun
secara praktis. Secara administratif, ada jadwal mata pelajaran bahasa daerah, dilaksanakan
ulangan/ujian, dan ada nilai rapor bagi peserta didik. Namun, di balik pelaksanaan yang
formalitas tersebut, hampir tidak pernah ditinjau dan dieavaluasi, bagaimana efektivitas dan
kemanfaatannya. Guru-guru membuat silabus, menyusun RPP, dan administrasi lainnya hanya
beranalogi pada pembelajaran Bahasa Indonesia, tanpa berusaha memikirkan kekhasan bahasa
daerah yang menjadi objek pembelajarannnya. Secara implementatif di ruang-ruang kelas,
proses pembelajaran tampak lemah pada metodologinya, bahkan seperti kehilangan rohnya
karena interaksi pembelajarannya tidak menggunakan metode, model, dan teknik yang
bervariasi dan tanpa tujuan yang terukur. Misalnya apa target yang akan dikuasai siswa,
kompetensi apa yang harus dicapai pada satu semester, satu tahun, atau persyaratan untuk
mencapai kelulusan pada jenjang SMP.
Selanjutnya, persyaratan apa yang harus dimiliki oleh guru pengampu mata pelajaran
bahasa daerah (Bahasa Tolaki), juga tidak ada acuan atau standar minimal. Pengalaman yang
terjadi, guru yang mengajarkan Bahasa Tolaki, hanya dipersyaratkan bisa berbahasa Tolaki.
Oleh karena itu, tidak jarang, guru biologi atau guru matematika diberi tugas untuk
mengajarkan Bahasa Tolaki. Sementara itu, guru-guru tersebut juga tidak dibekali dengan
apapun sebagai modal untuk mengajarkan Bahasa Tolaki kepada para siswa. Kondisi
semacam ini, telah memposisikan mata pelajaran Bahasa Tolaki sebagai mata pelajaran yang
benar-benar dianaktirikan.
Situasi pembelajaran bahasa daerah (Bahasa Tolaki) seperti yang dipaparkan di atas,
diasumsikan tidak berbeda dengan pembelajaran bahasa-bahasa daerah lain di berbagai
kabupaten/kota Sulawesi Tenggara, yang memiliki berbagai bahasa daerah yang berbeda-beda
dan diajarkan di sekolah-sekolah. Untuk mereposisi muatan lokal maupun untuk
merevitalisasi pembelajaran bahasa-bahasa daerah di kawasan Sulawesi Tenggara, perlu
bertolak dari kenyataan kondisi pembelajaran yang telah berlangsung selama ini, sehingga
kehadiran kurikulum 2013 ini benar-benar menjadi instrument bagi titk tolak pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah me;lalui pendidikan formal.

2. Pembelajaran Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013


Bahasa dan budaya dalam suatu etnis di manapun, termasuk jazirah Sulawesi Tenggara,
memilki nilai-nilai luhur, sebagai refleksi peradaban bagi masyarakat pendukung bahasa yang
bersangkutan. Dalam setiap bahasa daerah juga selalu mengandung kearifan lokal yang
bersifat inheren dan nilai-nilai semacam itu sangat sulit ditemukan dalam peradaban global,
Pada sisi lain, ada konsekwensi atas pesatnya kemajuan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Seni) dewasa ini yang juga membawa dampak pada terkikisnya eksistensi
bahasa-bahasa daerah dalam interaksi sosial di kalangan masyarakat, yang berpotensi
mengancam kelestarian bahasa daerah tersebut. Fenomena terkikisnya penggunaan bahasa
daerah dalam tuturan para generasi muda dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
dewasa ini. Hal itu dapat terus berkembang dan pada gilirannya dikhawatirkan akan berakibat
terjadinya kepunahan salah satu atau lebih bahasa-bahasa daerah yang digunakan sampai saat
ini, bila tidak ada upaya antisipasi dari pemerhati bahasa maupun penentu kebijakan.
Sesungguhnya, fenomena sikap penutur bahasa daerah yang makin lama semakin
meninggalkan bahasa daerah (bahasa ibu) mereka, sudah banyak disadari dan ada pula upaya
antisipasi yang telah dilakukan. Misalnya, dengan memasukkan mata pelajaran bahasa daerah
ke dalam kurikulum pendidikan formal, pengembangan penelitian terhadap berbagai bahasa
daerah di seluruh Nusantara, dan seminar atau kongres bahasa daerah seperti yang
dilaksanakan di Sulawesi Tenggara sekarang ini. Namun, berbagai upaya itu masih perlu
ditingkatkan, terutama berkaitan dengan pengembangan kurikulum pada pendidikan formal.
Untuk melakukan pengembangan kurikulum, berkaitan dengan revitalisasi
pembelajaran bahasa daerah perlu perhatian yang serius pada penyiapan proses akademiknya.
Pembelajaran bahasa daerah tidak boleh lagi hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum,
yang mengharuskan ada nilai rapor bagi peserta didik. Kehadiran mata pelajaran bahasa
daerah dalam kurikulum 2013 perlu dibarengi dengan melahirkan regulasi yang memberi
makna pada proses pembinaan, pengembangan, dan penelitian bahasa daerah yang
bersangkutan. Regulasi tertentu akan mengarahkan tujuan yang jelas sebagai muara pada
hasil pembelajaran yang telah ditempuh oleh para peserta didik pada jenjang pendidikan
tertentu pula.

Regulasi yang diharapkan misalnya, bagaimana membentuk tim yang merumuskan


tujuan pembelajaran bahasa daerah dengan mereposisi Muatan Lokal, sehingga memberikan
ruang bagi guru untuk berkreasi menerapkan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran
bahasa daerah yang bermakna, dengan alokasi waktu yang terbatas memerlukan kreativitas
guru agar pembelajaran tidak membosankan dan tidak kering. Dengan demikian, kehadiran
mata pelajaran muatan lokal, misalnya terealisasi dalam penerapan pembelajaran bahasa
daerah, (bahasa Tolaki, Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia, bahasa Moronene), bagi kawasan
Sulawesi Tenggara diharapkan akan terformulasi dengan lebih baik darpada model
pembelajaran bahasa daerah pada kurikulum sebelumnya. Seiring dengan perjalanan waktu
dan dinamika kehidupan bangsa yang kian dinamis dan penuh tantangan, pembelajaran
bahasa daerah dalam kurikulum baru ini, khususnya bahasa daerah sebaiknya
menitikberatkan pada pragmatik dan komunikasi dengan menemukan nilai-nilai budaya
sebagai bagian dari kearifan lokal.

Untuk memberikan kebermaknaan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum 2013,


perlu memperhatikan beberapa prinsip, antara lain:

1. Pembelajaran bahasa daerah tidak dapat dilepaskan sebagai unsur penunjang


peningkatan iman, taqwa, dan akhlak mulia bagi peserta didik;
2. Pembelajaran bahasa daerah menjadi wahana bagi peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3. Memperhatikan potensi dan karakteristik daerah, serta lingkungan;
4. Dalam mereposisi muatan lokal, berkaitan dengan pembelajaran bahasa daerah, perlu
diadaptasi dan desesuaikan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan
Seni (IPTEKS);
5. Pemilihan bahan ajar dalam pembelajaran bahasa daerah, perlu dipertimbangkan
sebagai sarana perekat persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan;
6. Pengembangan pembelajaran bahasa daerah, memperhatikan kondisi social budaya
masyarakat setempat dan hal ini tentu terkandung secara inheren dalam berbagai
bahasa daerah, termasuk Bahasa Tolaki, Bahasa Bugis, Bahasa Muna, Bahasa
Morenen, Bahasa Cia-Cia, dan bahasa-bahasa lain yang ada dalam kawasa Provinsi
Sulawesi Tenggara;
7. Penerapan pembelajaran bahasa daerah juga perlu bertumpu pada ciri khas
(karakteristik) satuan pendidikan, dan;
8. Pembelajaran bahasa daerah, perlu bertolak dari teks atau cerita-cerita rakyat dan
menghindari penggunaan bahan ajar yang menekankan pada unsur-unsur kebahasaan
secara mekanik.

Aspek-aspek yang terangkum dalam delapan poin di atas, tentu bersifat relatif, namun
perlu dipertimbangkan oleh setiap satuan pendidikan, guru, dan penulis modul atau bahan
ajar bagi pembelajaran bahasa daerah. Pembelajaran bahasa daerah, termasuk Bahasa Tolaki
perlu bertolak dari sebuah pemetaan kompetensi awal komunitas peserta didik sebagai subjek
pebelajar, sehingga guru dapat merancang strategi dan bahan ajar yang bagaimana yang
cocok digunakan. Pemetaan yang dimaksud adalah, guru perlu memahami latar belakang
secara umum tentang kemampuan rata-rata peserta didik dalam menggunakan bahasa daerah
yang akan dipelajarinya.

Komunitas yang berbahasa ibu (B1) bahasa daerah, biasanya penguasaan bahasa
daerah melalui pemerolehan bahasa. Proses pembelajaran bahasa daerah pada peserta didik
dengan mayoritas pada kelompok ini relatif tidak terlalu sulit, apabila dengan tujuan
pembelajaran bahasa daerah seperti termaktub dalam kurikulum selama ini. Sumarsono
(1993) menggambarkan bahwa peserta didik kelompok ini dalam belajar bahasa daerah
(misalnya Bahasa Tolaki) memiliki motivasi integrasi. Sementara bila komunitas peserta
didik dengan latar belakang tidak berbahasa ibu (B1) Bahasa Tolaki, berarti mereka
mempelajari bahasa daerah tersebut sebagai bahasa kedua. Peserta didik kelompok ini, dalam
mempelajari bahasa daerah itu, memiliki motivasi instrumental. Artinya, mereka mempelajari
bahasa daerah tersebut, tujuannya adalah memperoleh nilai (nilai rapor).

Dengan ilustrasi seperti di atas, ada kemungkinan dalam suatu satuan pendidikan,
pembelajaran bahasa daerah dengan situasi di mana peserta didiknya dominan menggunakan
bahasa daerah yang menjadi sasaran pembelajaran (misalnya Bahasa Tolaki). Dalam kasus
ini, memungkinkan peserta didik menguasai bahasa daerah tersebut melalui interaksi
langsung dalam lingkungannya. Penguasaan bahasa seperti ini biasa disebut melalui
pemerolehan bahasa, lihat ..... (......). Sebaliknya, komunitas di mana peserta didik
bersosialisasi di lingkungannya, jarang mendengar penggunaan bahasa daerah tersebut secara
langsung, maka peserta didik akan sulit memiliki keterampilan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah itu. Penguasa bahasa daerah yang menjadi sasaran lebih
dipengaruhi melalui proses pembelajaran.

Untuk kepentingan pembelajaran bahasa daerah melalui pendidikan formal, para guru
pengampu mata pelajaran mutan lokal (bahasa daerah) perlu memiliki pemahaman yang
memadai akan kondisi-kondisi seperti yang diuraikan di atas. Oleh karena itu, maka guru
yang diberi tugas mengajarkan bahasa daerah (misalnya Bahasa Tolaki), tidak hanya karena
dia penutur Bahasa Tolaki, tetapi perlu memiliki pengetahuan kebahasaan dan menguasai
metode pengajaran bahasa. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sekolah (satuan
pendidikan) yang memberikan tugas kepada guru IPA atau matematika untuk mengajarkan
bahasa daerah karena guru tersebut merupakan penutur bahasa daerah tersebut (misalnya
Bahasa Tolaki, Bahasa Muna, Bahasa Ciacia, dan sebagainya).

Dari beberapa uraian di atas, dapat disyarankan untuk menciptakan pembelajaran


bahasa daerah yang bermakna dalam kurikulum 2013, adalah sebagai berikut:

1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota, yang dikoordinir oleh Dinas


Dikbud provinsi, perlu membentuk tim pengembang kurikulum muatan lokal,
khususnya untuk mata pelajaran bahasa daerah.
2. Tim Pengembang kurikulum bahasa daerah, perlu menyusun silabus bahasa daerah
dengan melibatkan pakar bahasa (linguis) dan pakar kurikulum atau akademisi.
3. Dalam hal belum ada guru yang kompeten (berlatar belakang pendidikan bahasa
daerah tertentu, seyogyanya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota atau
Dinas Dikbud provinsi membuat regulasi atau rambu-rambu sebagai prasyarat bagi
guru (pengajar) bahasa daerah, misalnya harus dari guru Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris, di samping sebagai penutur bahasa daerah tersebut.
4. Satuan Pendidikan atau sekolah-sekolah perlu menyamakan visi dibawah koordinasi
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota atau dinas Dikbud provinsi untuk
merumuskan tujuan dan arah out put yang diinginkan atas pemilihan bahasa daerah
sebagai mata pelajaran muatan lokal.
5. Setiap satuan pewndidikan (sekolah-sekolah) perlu mengadakan Musyawarah Guru
Mata Pelajaran Bahasa Daerah untuk meningkatkan kemampuan guru secara bertahap
dan berkelanjutan dalam pembelajaran bahasa daerah.
6. Melalui kegiatan MGMP tersebut, para guru bekerja sama dengan akademisi atau
LPTK untuk menyusun bahan ajar bahasa daerah (misalnya Bahasa Tolaki, Bahasa
Muna, Bahasa Morenene, dan sebaginya).
7. Para guru bahasa daerah perlu memperoleh pendidikan dan pelatihan secara berkala
untuk menjamin kualitas pembelajaran bahasa daerah pada pendidikan formal.
8. Proses pembelajaran bahasa daerah perlu dikemas sebagai sarana pengungkapan nilai-
nilai luhur dalam cerita rakyat atau dipadukan dengan memperkenalkan permainan
tradional yang ada dalam masyarakat penutur bahasa daerah tersebut.
9. Pembelajaran bahasa daerah, hendaknya juga menjadi instrumen penggalian dan
pewarisan kearifan lokal, sebagai kekayaan budaya bangsa.

*******************

DAFTAR RUJUKAN

Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. Oxford University Press.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Permendikbud RI


nomor 81a, Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Pasmidi, Made. 1993. Hambatan Hambatan dalam Pelaksanaan Pemberlajaran Bahasa Bali
di SMA. Masyarakat Linguistik Indonesia. Makalah. Jakarta. MLI

Sumarsono. 1993. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah, Kasus dalam Bahasa Bali.
Makalah. Jakarta: MLI
Pada kasus pertama dalam paparan di atas, kelompok pertama menguasai (mampu
berbahasa) daerah, biasanya melalui proses pemerolehan bahasa daerah. Pada kelompok ini
biasanya guru lebih mudah mengajarkan bahasa daerah tersebut, karena peserta didik telah
memiliki kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut. Kelompok
peserta didik yang berada pada lingkungan berbahasa, di mana mayoritas masyarakatnya
berbahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, maka peserta didik kelompok ini umumnya
tidak dapat menguasai bahasa daerah tersebut melalui proses pemerolehan bahasa, lihat
( ...............)

Beranalogigi dengan uraian di atas, dalam pembelajaran bahasa daerah juga


ditemukan bahwa di Kota kendari, peserta didik yang mempelajari bahasa Tolaki di SMP,
umumnya bukan sebagai bahasa ibu (B1) bagi mereka.

Secara formal, sudah ada upaya sistematis yang dilakukan pemerintah untuk membina
dan melestarikan bahasa-bahasa daerah di negeri ini, melalui kebijakan dalam ranah
pendidikan. Sayangnya, kebijakan strategis tersebut tanpa gereget yang berarti. Ada beberapa
kelemahan yang menyebabkan kebijakan pembelajaran bahasa-bahasa daerah seperti dalam
kurikulum 2004 (baca: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP) tidak berkembang
secara dinamis. Kelemahan tersebut antara lain tidak dilakukannya penelitian sosiolinguistik
tentang bagaimana muatan bahasa daerah yang diajarkan dalam KTSP, lihat Sumarsono ,
(1993:1), Pasmidi (1993) dan ..............

Setelah KTSP berlaku selama sepuluh tahun dan diadakan lagi penyempurnaan
dengan melahrkan kurikulukm baru (kurikulum 2013), maka KTSP telah berakhir. Meskipun
kurikulum baru ini dikenal luas sebagai kurikulum 2013, tetapi sesungguhnya masih diberi
label KTSP, (Permen Dikbud RI nomor 81a tahun 2013). Awal tahun pelajaran 2014/2015,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kurikulum baru ini secara serentak
pada kelas 1, kelas 2, kelas 4, dan kelas 5 SD/MI, kelas 7 dan kelas 8 di SMP/MTs, serta
kelas 10 dan kelas 11 SMA/SMK. Dalam struktur kurikulum 2013 ini, masih ada peluang
bagi pelestarian dan pengembangan bahasa daerah karena masih tercantum muatan lokal,
sebagai salah satu mata pelajaran yang akan diajarkan. Peluang tersebut perlu dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh setiap Satuan Pendidikan, di bawah koordinasi Dinas Pendidikan
provinsi untuk jenjang pendidikan menengah dan kabupaten/kota, untuk jenjang pendidikan
dasar agar pembelajaran bahasa daerah bisa lebih efektif dan tidak bernasib sama dengan
pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam kurikulum 2004 (KTSP).

Bila dikaji secara kritis, pembelajaran bahasa daerah yang


telah berlangsung di sekolah-sekolah selama berlakunya KTSP
(kurikulum 2004), maka yang sangat perlu diperhatikan adalah
menentukan arah tujuan atau hasil akhir yang ingin dicapai dari
pembelajaran bahasa daerah bagi peserta didik. Penentuan arah
tujuan ini akan menentukan pula tentang banyak hal, seperti, bahan
ajar yang bagaimana yang akan disajikan kepada peserta didik,
siapa yang lebih ideal mengampu mata pelajarannya, bahkan
mungkin akan sampai pada pertanyaan, Perlukah LPTK membuka
program studi pendiddikan bahasa bahasa daerah, seperti bahasa-
bahasa daerah yang ada di kawasan Sulawesi Tenggara?
Kebijakan tentang pembelajaran bahasa daerah sejak dihadirkannya mata pelajaran
bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan formal, diarahkan agar para peserta didik mampu
berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya melalui penggunaan bahasa daerah yang masih
terpelihara dan digunakan oleh masyarakat di lingkungan kehidupan mereka. Tujuan yang
lebih luas lagi adalah agar para generasi muda tidak meninggalkan bahasa daerah akibat dari
proses akulturasi yang mengancam kelestarian bahasa daerah dan budaya lokal. Tujuan yang
lebih luas itu, tentu berkaitan dengan upaya pelestarian bahasa-bahasa daerah sebagai bagian
dari kekayaan bangsa. Kecenderungan generasi muda yang tidak lagi menguasai bahasa
daerah, juga ditemukan pada keturunan dari perkawinan (pernikahan) antaretnis yang
berdeda. Anak-anak yang lahir dari kedua orang tuanya yang berbeda bahasa daerah (B1) ini,
cenderung tidak menguasai salah bahasa daerah dari ayah atau dari ibu mereka. Generasi
seperti ini, termasuk generasi yang tidak beruntung (rugi), menurut pandangan linguis.

Dengan kebijakan yang bertolak dari tujuan seperti yang dikemukakan di atas,
melahirkan motivasi yang kurang berkembang bagi pebelajar bahasa-bahasa daerah dalam
pendidikan formal. Pengalaman empirik dalam pembelajaran bahasa Tolaki selama KTSP
periode 2004 sampai 2014, proses pembelajarannya cenderung bersifar formalitas, bahkan
tanpa tujuan yang konkret. Pernyataan demikian sering muncul dalam setiap kegiatan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kota Kendari, baik pada
MGMP di sekolah (Satuan Pendidikan) maupun MGMP pada lingkup Kota Kendari.
Implementasi muatan lokal jenjang SMP di Kota Kendari, sejak sepuluh tahun
terakhir, khusus bagi pembelajaran mata pelajaran bahasa daerah Tolaki, berlaku pada semua
jenjang pendidikan. Kebijakan itu sejalan dengan kebijakan nasional yang mengamanatkan
bahwa bahasa daerah yang diajarkan di sekolah adalah bahasa etnis setempat (sesuai dengan
penduduk asli) daerah tersebut). Jadi, meskipun komunitas Kota Kendari yang menjadi
pendududuknya terdiri atas berbagai suku bangsa, tetapi penduduk asli kota ini adalah Suku
Tolaki, maka bahasa daerah yang diajarkan kepada para peserta didik adalah Bahasa Tolaki.
Hal itu berlaku bagi peserta didik yang berbahasa ibu (B1) Bahasa Tolaki, maupun peserta
didik yang B1-nya bukan Bahasa Tolaki.

Dalam memasuki era baru kurikulum 2013, pembelajaran bahasa daerah perlu ditata
dan diterapkan dengan baik, dengan mereposisi Muatan Lokal, sehingga memberikan ruang
bagi guru untuk berkreasi menerapkan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran bahasa
daerah yang bermakna, dengan alokasi waktu yang terbatas diperlukan kreativitas guru agar
pembelajaran tidak membosankan dan kering. Dengan demikian, kehadiran mata pelajaran
muatan lokal, misalnya terealisasi dalam penerapan pembelajaran bahasa daerah, (bahasa
Tolaki, Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia, bahasa Moronene), bagi kawasan Sulawesi Tenggara
diharapkan akan terformulasi berbeda dengan model pembelajaran bahasa daerah pada
kurikulum sebelumnya. Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan bangsa
yang kian dinamis dan penuh tantangan, pembelajaran bahasa daerah dalam kurikulum baru
ini, khususnya bahasa daerah sebaiknya menitikberatkan pada pragmatik dan komunikasi
dengan menemukan nilai-nilai budaya sebagai bagian dari kearifan lokal.

Reposisi Muatan Lokal mata pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum 2013, perlu
memperhatikan beberapa prinsip, antara lain:

9. Pembelajaran bahasa daerah tidak dapat dilepaskan sebagai unsure penunjang


peningkatan iman, taqwa, dan akhlak mulia bagi peserta didik;
10. Pembelajaran bahasa daerah menjadi wahana bagi peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
11. Memperhatikan potensi dan karakteristik daerah, serta lingkungan;
12. Dalam mereposisi muatan lokal, berkaitan dengan pembelajaran bahasa daerah, perlu
diadaptasi dan desesuaikan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan
Seni (IPTEKS);
13. Pemilihan bahan ajar dalam pembelajaran bahasa daerah, perlu dipertimbangkan
sebagai sarana perekat persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan;
14. Pengembangan pembelajaran bahasa daerah, memperhatikan kondisi social budaya
masyarakat setempat dan hal ini tentu terkandung secara inheren dalam berbagai
bahasa daerah, termasuk Bahasa Tolaki, Bahasa Bugis, Bahasa Muna, Bahasa
Morenen, Bahasa Cia-Cia, dan bahasa-bahasa lain yang ada dalam kawasa Provinsi
Sulawesi Tenggara;
15. Penerapan pembelajaran bahasa daerah juga perlu bertumpu pada ciri khas
(karakteristik) satuan pendidikan, dan;
16. Pembelajaran bahasa daerah, perlu bertolak dari teks atau cerita-cerita rakyat dan
menghindari penggunaan bahan ajar yang menekankan pada unsur-unsur kebahasaan
secara mekanik.
17.

2. Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah

DAFTAR RUJUKAN

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Permendikbud RI


nomor 81a, Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Pasmidi, Made. 1993. Hambatan Hambatan dalam Pelaksanaan Pemberlajaran Bahasa Bali
di SMA. Masyarakat Linguistik Indonesia. Makalah. Jakarta. MLI

Sumarsono. 1993. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah, Kasus dalam Bahasa Bali.
Makalah. Jakarta: MLI

You might also like