You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN
Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam
penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan
memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan
seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu.

Dalam perkawinan, fungsi seksual mempunyai beberapa peran, yaitu sebagai


sarana untuk reproduksi (memperoleh keturunan), sebagai saranan untuk memperoleh
kesenangan atau rekreasi, serta merupakan ekspresi rasa cinta dan sebagai saranan
komunikasi yang penting bagi pasangan suami-istri. Fungsi seksual merupakan bagian
yang turut menentukan warna, kelekatan dan kekompakan pasangan suami-istri.

Suatu penelitian di Amerika. Pada wanita, dilaporkan 33% mengalami


penurunan hasrat seksual, 19% kesulitan dalam lubrikasi, dan 24% tidak dapat
mencapai orgasme. Statistik pada pria juga bermakna. Kesulitan yang umum
dilaporkan pada pria meliputi ejakulasi dini (29%), kecemasan terhadap kemampuan
seksual (17%), dan rendahnya hasrat seksual (16%). Selain itu 10% dari pria yang
disurvei melaporkan kesulitan ereksi bermakna, angka prevalensi menurut usia-lebih
dari 20% pria berusia di atas 50 tahun melaporkan masalah ereksi.

Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap


atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Selain disfungsi ereksi, makalah ini juga membahas tentang anatomi penis,
fisiologi ereksi, diabetes, dan metformin.

BAB II

1
PEMICU

Tn. P, seorang laki laki, berusia 60 tahun, datang ke praktek Dokter Keluarga
dengan istrinya, dengan keluhan utama alat kelamin sulit ereksi. Keluhan ini
dialaminya sejak 1 tahun lalu, namun paling berat dalam 3 bulan terakhir ini.
Dari anamnese di peroleh bahwa pasien tinggal berdua saja dengan istrinya
yang baru dinikahinya. Ny.P berusia 38 tahun, seorang sekretaris di sebuah
perusahaan kontraktor. Istri pertama Tn. P meninggal 2 tahun yang lalu karena
karsinoma payudara. Anak anak pasien tinggal di kota lain.
Apa yang terjadi pada Tn. P?

BAB III

2
MORE INFO

Riwayat menderita Diabetes Melitus (DM) sejak 10 tahun lalu.


Riwayat pemakaian obat: metformin 3 x 850 mg/ hari, tidak teratur
Pada pemeriksaan fisik diperoleh:
Kesadaran: sensorium compos mentis, TD: 130/80 mmHg, denyut nadi: 64
x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, suhu 36,9 0C. Tidak didapati anemia,
sianosis, ikterus, edema, dan turgor sedang.
Pemeriksaan penunjang laboratorium diperoleh:
Kadar gula darah puasa 170 mg/dl, 2 jam setelah makan 240 mg/dl,
HbA1C 8,5 %.

3
BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Anatomi penis
Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar
tambahan, dan penis. Penis seperti kepala cendawan tetapi bagian ujungnya agak
meruncing ke depan. Penis adalah organ seks utama yang letaknya di antara kedua
pangkal paha. Penis mulai dari arcus pubis menonjol ke depan berbentuk bulat
panjang (lihat gambar 1).
Panjang penis orang Indonesia dalam keadaan flaksid dengan mengukur dari
pangkal dan ditarik sampai ujung adalah sekitar 9 sampai 12 cm. Sebagian ada yang
lebih pendek dan sebagian lagi ada yang lebih panjang. Pada saat ereksi yang penuh,
penis akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10 cm sampai 14 cm.
Pada orang barat (caucasian) atau orang Timur Tengah lebih panjang dan lebih besar
yakni sekitar 12,2 cm sampai 15,4 cm.

Bagian utama daripada penis adalah bagian erektil atau bagian yang dapat
mengecil atau flaksid dan bisa membesar sampai keras. Bila dilihat dari penampang
horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2 batang korpus kavernosa di kiri dan
kanan atas, sedangkan di tengah bawah disebut korpus spongiosa. Kedua korpus
kavernosa ini diliputi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan
jaringan kolagen yang padat dan di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang
disebut fascia buck.

Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang disebut sinusoid.


Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi kimiawi untuk
menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria helicina.
Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel.

Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik)


yang mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan
darah kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.

Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis dan
simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis dan

4
parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis
(sumsum tulang belakang). Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla
spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-4. Sebaliknya
syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11 sampai L2 dan
akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus kavernosa. Syaraf ini
memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot - otot polos.

Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls
(rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada badan
penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu
dengan syaraf- syaraf lain yang membentuk nervus pudendus.
Syaraf ini juga berlanjut ke kolumna vertebralis (sumsum tulang belakang)
melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara sendiri
atau bersama-sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan ereksi penis.

Pendarahan untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi arteri
penis kommunis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing yakni ke korpus
kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria kavernosa atau arteria penis
profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis untuk korpus spongiosum. Arteria
memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi arteriol-arteriol helicina
yang bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada
keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi atau pelebaran
pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah besar dan cepat kemudian
berkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar
sehingga terjadilah ereksi.

Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus
yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi mengembang
karena berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-vena di
sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini bergabung
membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari korpora kavernosa pada rongga
penis ke sistem vena yang besar dan akhirnya kembali ke jantung.

Gambar 1. Anatomi Penis

5
4.2 Fisiologi ereksi
Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak; seperti jaringan erektil ketika
terisi darah.( Dorland, 2002). Pada waktu ereksi, volume penis bertambah karena
terkumpulnya darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Pada orang
yang berdiri, penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 0 0 dan 45 0dari bidang
horizontal. Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan tekanan
intrakavernosum mendekati tekanan rata rata pembuluh darah nadi. Pada keadaan

6
demikian, volume darah dalam penis meningkat lebih dari delapan kali dibandingkan
saat lemas.

Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan menjadi


beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0, yaitu fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah
pengaruh sistem saraf simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos
kavernosum berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan
hanya untuk keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat
dicatat, menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena
terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1, merupakan fase pengisian laten. Setelah terjadi perangsangan seks,
sistem saraf parasimpatik mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah
melalui arteria pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan
tekanan arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri
helisin dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa
tidak berubah.
3. Fase 2, fase tumesens ( mengembang). Pada orang dewasa muda yang normal,
peningkatan yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase flasid dapat
mencapai 25 60 kali. Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat.
Karena relaksasi otot polos trabekula, daya tampung kaverne meningkat
sangat nyata menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase
ini, arus arteria berkurang.
4. Fase 3 merupakan fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan
mengembang dan bersamaan dengan meningkatnya jumlah darah akan
menyebabkan tertekannya pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea
sehingga menimbulkan venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat
sampai sekitar 10 20 mmHg di bawah tekanan sistol.
5. Fase 4, atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet. Tekanan
intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai akibat kontrasi volunter
ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan otot bulbokavernosus
menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian menyebabkan ereksi yang kaku.
Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui arteria kavernosus.
6. Fase 5, atau fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik,
yang mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan

7
kontraksi otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan
mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan.
7. Fase 6 yang merupakan fase awal detumesens. Terjadi sedikit penurunan
tekanan intrakaverne yang menunjukkan pembukaan kembali saluran arus
vena dan penurunan arus darah arteri.
8. Fase 7 atau fase detumesens cepat. Tekanan intrakaverne menurun dengan
cepat, mekanisme venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali
seperti sebelum perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.

Pembuluh darah, otot polos intrinsik penis, dan otot rangka di sekitar penis
dikendalikan oleh saraf yang berasal dari tiga sistem saraf perifer yang berbeda, yaitu
sistem saraf simpatik torakolumbal, sistem saraf parasimpatik lumbosakral, dan
sistem saraf somatik lumbosakral. Lihat gambar 4.3
Secara molekular, mekanisme relaksasi otot polos dapat dilihat pada gambar
4.2 dibawah.

8
Gambar 3. Mekanisme kerja parasimpatik dan simpatik dalam fase ereksi

4.3 Disfungsi Ereksi (DE)

9
4.3.1 Definisi, etiologi, dan faktor risiko disfungsi ereksi
Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap
atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Fazio dan Brock (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007)


mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut:
Faktor penyebab dan contohnya :
1. Ketuaan
2. Gangguan psikologis, misalnya depresi, ansietas
3. Gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit
medulla spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus
4. Penyakit hormonal (libido menurun), misalnya: hipogonadism,
hiperprolaktinemia, hiper atau hipotiroidisme, sindrom Cushing, penyakit
addison.
5. Penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik,
penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus.
6. Obat obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, esterogen,
antiandrogen, digoksin.
7. Kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik, merokok.
8. Penyakit penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal,
hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.

Faktor risiko disfungsi ereksi adalah sindrom metabolisme, gejala saluran


kemih bagian bawah akibat BPH (Benign Prostat Hiperplasia), penyakit
kardiovaskular, merokok, kondisi sistem saraf pusat, trauma spinalis, depresi, stress,
gangguan endokrin, dan diabetes. Untuk lebih jelas lihat gambar 4 di bawah.

Gambar 4. Faktor risiko disfungsi ereksi

10
4.3.2 Kalsifikasi disfungsi ereksi
Menurut Wibowo (2007), pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan
menjadi lima kategori penyebab yaitu:
a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik,
terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stress berat, cemas,
depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali
dengan mencermati tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan awitan
mendadak, awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik, disfungsi
pada keadaan tertentu sementara dalam keadaan lain normal, ereksi malam
hari tetap ada, riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi yang dapat
membaik secara spontan, terdapat stress dalam kehidupannya, status
mental terkait kelainan depresi, psikosis, atau cemas.

b. Organik

11
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua yaitu:
neurogenik dan vaskuler. Disfungsi ereksi akibat neurogenik ditandai
dengan gambaran klinis seperti riwayat cedera atau operasi sumsum tulang
atau panggul, mengidap penyakit kronis (DM, alkoholisme), pemeriksaan
neurologik abnormal daerah genital/ perineum. Disfungsi ereksi akibat
vaskuler dapat dibagi dua yaitu kelainan pada arteri dan vena. Kelainan
pada arteri memiliki tampilan klinis seperti minat terhadap seks tetap ada,
pada semua kondisi terjadi penurunan fungsi seks, secara bertahap terjadi
disfungsi ereksi sesuai bertambahnya umur. Kelainan pada memiliki
tampilan klinis seperti tidak mampu mempertahankan ereksi yang sudah
terjadi, riwayat priapism, dan kelainan lokal penis.
c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai gambaran
klinis yaitu hilangnya minat pada aktifitas seksual, testis atrofi dan
mengecil, dan kadar testosteron rendah prolaktin naik.
d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi yang
bekerja di sentral, misalnya metildopa, klonidin, dan reserpin. Pengaruh
utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat.
e. Traumatik paska operasi
Patologi penis atau proses penyakit pada panggul dapat merusak jalur
serabut saraf otonom untuk ereksi penis, reseksi abdominal perineal,
sistektomi radikal, prostatektomi radikal, uretroplasti membranesea, dll.

Klasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan ISIR


(International Society of Impotence Research).

12
4.3.3 Patofisiologi disfungsi ereksi
Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh diabetes melitus. Hal ini dikarenakan
diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya :
1. hipotestosteron yang akan menurunkan libido lalu menyebabkan
terjadinya disfungsi ereksi.
2. pengaktifan poliol pathway dan menurunkan NADPH. Aktifasi jalur
ini menyebabkan terjadinya akumulasi AGE ( Advance Glycation End
Product) yang akan menyebabkan gangguan relaksasi otot polos dan
perubahan fibroelastik, dimana kedua hal ini akan menurunkan
compliance dari kavernosa sehingga terjadi disfungsi ereksi. Selain itu,
Aktifasi jalur ini juga menyebabkan terjadinya akumulasi sorbitol dan
fruktosa melalui enzim aldosa reduktase sehingga terjadi edema neural
lalu gangguan pompa Na-K ATPase lalu gangguan tranduksi sinyal

13
serta neurotransmitter sehingga terjadi neuropati diabetik sehingga
terjadi disfungsi ereksi. Jalur ini juga menurunkan kofaktor NO sintase
( L-arginin NO membutuhkan NO sintase) sehingga terjadi
penurunan NO, akibatnya terjadi disfungsi ereksi.

4.3.4 Diagnosa disfungsi ereksi


Anamnese merupakan hal yang penting untuk diagnosa disfungsi ereksi.
Evaluasi apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual
yang lain. Tanyakan riwayat merokok, sakit jantung, stroke. Tanyakan riwayat
penggunaan obat obatan. Berdasarkan indeks dari IIEF ( International Index of
erectile Function- 5), jika indeks 21 maka dikatakan pasien disfungsi ereksi (lihat
lampiran). Selain itu, perhatikan klasifikasi disfungsi ereksi yang telah dijabarkan di
atas.
Pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tidak adanya respon terhadap sentuhan,
testis kecil, pembesaran payudara, hilangnya rambut wajah, adanya pulsasi arteri di
kaki, dan penis abnormal.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah complete blood count,
profil lemak ( tinggi LDL arterosklerosis), glukosa darah jika DM, HbA1C untuk
kontrol kadar gula darah, urinalisis jika curiga DM dan kerusakan ginjal, serum
kreatinin jika kerusakan ginjal akibat DM, enzim hati dan fungsi hati, kadar
testosteron, kadar hormon lain seperti LH, prolaktin, kortisol, dan PSA ( Prostat
Spesific Antigen).
Pemeriksaan lain yang mungkin dapat dilakukan adalah NTP (Nocturnal
Penile Tumescence), kaversonografi/ kavernosonometri, USG doppler, injeksi
intrakavernosa dengan obat- obatan vasoaktif, Rigiscan, Visual Sex Stimulation, dan
pemeriksaan psikososial.

4.3.5 Pengobatan disfungsi ereksi


Dalam terapi disfungsi ereksi, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan
diterapi) adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi
adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat
berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-tiap
orang berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme,tidak ada waktu normal dalam
ereksi).

14
Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor
resiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya disfungsi ereksi.
hal ini terkait dengan beberapa penyebab disfungsi ereksi yang terkait. Dengan
demikian, jika diketahui penyebab disfungsi ereksi yang benar maka dapat diberikan
terapi yang tepat pula. Terapi untuk disfungsi ereksi dapat dibedakan menjadi dua
yaitu terapi tanpa obat (nonfarmakologis-pola hidup sehat dan menggunakan alat
ereksi seperti vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis).

Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien disfungsi ereksi harus
memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola hidup
sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat(asam amino arginin, bioflavonoid,
seng, vitamin C dan E dan makanan berserat), kurangi dan hindari rokok atau alkohol,
menjaga kadar kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat badan hingga normal), dan
mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola hidup sehat, pasien sudah mengalami
peningkatan kepuasan ereksi maka pasien disfungsi ereksi tidak perlu menggunakan
obat atau vakum ereksi.

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi antara lain


golongan phosphodiesterase inhibitor5 (sildenafil, vardenafil, dan tadalafil),
alprostadil (disuntikkan di penis-intracevernosal dan dimasukkan dalam ureter-
intrauretral), papaverine, trazodone, dan dengan testosteron replacing hormone
(penambahan homon estrogen). Obat yang digunakan sebagai obat pilihan untuk
pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil. Lihat gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Farmakokinetik dari PDE- 5 inhibitors

15
Gambar 6. Algoritma penggunaan PDE- 5 inhibitors oral

16
Pengobatan disfungsi ereksi nonfarmakologis adalah Vacum Constriction
Device (VCD) dapat mencapai 250 mmHg dimana menggunkan cincin untuk
mempertahankan kondisi ereksi setelah vakum dengan waktu maksimal 25 30
menit. Kelebihan VCD adalah mudah dilakukan dan tingkat kepuasan tinggi. Efek
samping VCD adalah sering kebas, hematom, peteki, skrotum terhisap.
Vascular resconstructive Surgery (VRS), dilakukan pada pasien DE berusia
muda dengan riwayat trauma pelvis dan perianal. VRS meningkatkan suplai darah di
penis. Cara kerja VRS dengan bypass arteri yang tersumbat dengan menggunakan
arteri dari otot abdomen (inferior epigastric artery). Tingkat keberhasilan jangka
panjang 50 60 %. Komplikasi nyeri penis, berkurangnya sensasi, dan glans
hiperemis.
Penile prosthesis , mengganti struktur erection chamber dengan batang
silinder semi rigid, rigid, ataupun hidrolik. Merupakan terapi ketiga pada pasien DE.
Penile prosthesis membutuhkan anestesi dan biayanya yang mahal. Komplikasi
Penile prosthesis adalah perdarahan tidak terkontrol paska operasi, infeksi terutama
pada pasien DM dan yang mengalami trauma spinalis.
Psikoterapi jika pasien mengalami masalah psikologis dan pada pasien yang
gagal setelah dilakukan terapi oral dan injeksi. Pendekatan yang dilakukan adalah
Cognitive Behavioral Intervention. Selain itu dilakukan koreksi kognitif maladaptif,
eksplorasi masa lampau, dan terapi pasangan.

4.3.6 Prognosis disfungsi ereksi


Disfungsi ereksi temporer sering terjadi dan biasanya bukan masalah yang
serius. Akan tetapi, jika disfungsi ereksi menjadi persisten, efek psikologis menjadi
signifikan. Disfungsi ereksi dapat menyebabkan gangguan hubungan antara suami
istri dan dapat menyebabkan terjadinya depresi.
Disfungsi ereksi yang persisten dapat merupakan suatu gejala dari kondisi
medis yang serius seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, gangguan tidur, atau
masalah sirkulasi.

17
4.4 Diabetes melitus
4.4.1 Definisi, etiologi diabetes melitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah
tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup.
Menurut Mansjoer dkk.(1999), etiologi penyakit diabetes adalah sebagai
berikut:
a. diabetes melitus tipe 1 (IDDM)
b. diabetes melitus tipe 2 (NIDDM)
c. tipe lain : defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, akibat obat atau zat kimia,
infeksi, diabetes gestasional.

Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2


Penderita menghasilkan sedikit insulin atau Pankreas tetap menghasilkan insulin,
sama sekali tidak menghasilkan insulin kadang kadarnya lebih tinggi dari
normal. Tetapi tubuh membentuk
kekebalan terhadap efeknya, sehingga
terjadi kekurangan insulin relatif
Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, Bisa terjadi pada anak-anak dan
yaitu anak-anak dan remaja. dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah
usia 30 tahun
Para ilmuwan percaya bahwa faktor Faktor resiko untuk diabetes tipe 2
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor adalah obesitas dimana sekitar 80-
gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa 90% penderita mengalami obesitas.
awal) menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkan sel penghasil insulin di
pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan
kecenderungan genetik.
90% sel penghasil insulin (sel beta) Diabetes Mellitus tipe 2 juga
mengalami kerusakan permanen. Terjadi cenderung diturunkan secara genetik
kekurangan insulin yang berat dan penderita dalam keluarga
harus mendapatkan suntikan insulin secara
teratur

4.4.2 Patofisiologi diabetes melitus


Pada diabetes tipe 1, terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia
puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu,
glukosa yang berasal dari makanan tidak disimpan di hati meskipun tetap berada
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial. Jika konsentrasi glukosa
dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang

18
tersaring keluar akibatnya terjadi glukosuria. Ketika glukosa yang berlebihan ini di
keluarkan melalui urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan pula (diuresis osmotik). Akibat kehilangan cairang yang berlebihan,
pasien akan mengalami poliuria dan polidipsi. Defisiensi insulin juga menggangu
metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan. Pasien
mengalami polifagi akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya meliputi
kelelahan dan kelemahan.
Pada diabetes tipe 2, terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus di permukaan sel dan sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, pada pasien diabetes tipe 2 ini terjadi penurunan reaksi intra
sel ini. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun, untuk mengimbangi peningkatan
kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2.

4.4.3 Diagnosa diabetes melitus


Anamnesa, evaluasi faktor risiko diabetes yaitu usia > 45 tahun, berat badan
berlebih (IMT > 23 kg/m2), hipertensi ( 140 mmHg), riwayat DM pada keluarga,
riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, makrosomia, dan kolesterol HDL
35 mg/dl atau trigliserida 250 g/dl.
Pemeriksaan fisik, adanya keluhan khas seperi poliuri, polidipsi, polifagi, dan
penurunan berat badan. Selain itu, keluhan tidak khas seperti lemas, kesemutan, mata
kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaan laboratorium, pertama dilakukan screening. Menurut
rekomendasi ADA 2007, pasien harus dilakukan screening apabila memiliki faktor
risiko, bila faktor risiko tinggi dan dijumpai hasil screening negatif maka lakukan
screening ulang tiap tahun, dan bila umur > 45 tahun, lakukan screening ulang tiap 3
tahun sekali.
spesimen Bukan DM Belum pasti DM
DM

19
KGD sewaktu Plasma vena <110 110 - 199 200
Darah kapiler < 90 90 - 199 200
KGD puasa Plasma vena <110 110 125 126
Darah kapiler < 90 90 - 109 110

Tes diagnostik, kriteria diagnosa DM menurut ADA, 2007 adalah keluhan


klinis dengan adanya KGD sewaktu 200 mg/dl atau KGD puasa 126 mg/dl atau
OGTT 2 jam postprandial 200 mg/dl. Indeks penentuan derajat kerusakan sel
pankreas adalah HbA1C dimana menggambarkan kontrol nilai glukosa pada 4 8
minggu sebelumnya.
Interpretasi HbA1C
Normal : 3,5 5,5 %
Kontrol glukosa baik : 3,5 6 %
Kontrol glukosa sedang :78%
Kontrol glukosa buruk : 8 %.

4.4.4 Pengobatan diabetes melitus


. Pengobatan diabetes dapat dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan non
farmakologi. Pengobatan farmakologi adalah dengan insulin dan obat hipohlikemik
oral.
Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel- dari pulau
Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% masa pankreas
(Rimbawan dan Siagian, 2004). Dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Sediaan
homogen human insulin mengandung 25-30 UI/mg. Insulin diberikan secara subkutan
dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal sepanjang hari
yaitu 80-160 mg% setelah makan. Untuk pasien usia di atas 60 tahun batas ini lebih
tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang dari 200 mg% setelah makan.
Insulin dapat segera diberikan dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria.

20
Insulin dikelompokkan berdasarkan mula dan lama kerjanya yaitu: insulin kerja
singkat (short-acting), insulin kerja sedang (intermediate-acting), insulin kerja sedang
dengan mula kerja singkat, insulin kerja lama (long-acting). Efek samping insulin
yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia (Anonim, 2000).
2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
OHO terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM tipe 2,
Diantaranya:
(a) Golongan sulfonilurea
OHO golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes dewasa
baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Anonim, 2005). Sulfonilurea bekerja dengan cara
menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi
insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Untuk
menghindari resiko hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
(b) Short-acting insulin secretagogues
Short-Acting Insulin Secretagogues terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja
seperti sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel -pankreas. Efek
samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek
hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemi yang muncul
lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan glipizid).

21
(c) Golongan biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di
jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan
meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Metformin tidak meningkatkan
berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan
obesitas.Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung.
(d) Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator activator
receptor- (PPAR-), yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular.
Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada otot,
liver, dan jaringan lemak. Thiazolidindione adalah obat golongan baru yang
mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah
resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemi.
(e) Golongan -glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim -glukosidase di dalam
saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi monosakarida
dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke
dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya
kadar glukosa darah dihindarkan. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan
hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Pengobatan non farmakologi pada pasien diabetes adalah dengan edukasi,
nutri dan olahraga. Edukasi, keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien menuju perubahan perilaku untuk itu diperlukan edukasi yang komprehensif,
pengembangan keterampilan dan motivasi. Edukasi tersebut meliputi pennyakit DM,
makna perlunya pengendalian dan pemantauan DM, intervensi farmakologi dan non
farmakologi, hipoglikemia, dll.

22
Nutrisi, anjuran makanan untuk pasien DM sama dengan anjuran makanan
sehat pada umumnya yaitu menu seimbang dan sesuai dengan kalori masing
masing agar dapat mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

Perencanaan asupan makanan pada lansia adalah makanan harus mengandung


zat gizi dari makanan yang beranekaragam terdiri dari karbohidrat, protein, dan
lemak. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang dan kurangi
konsumsi garam. Bagi pasien yang proses penuaannya sudah lanjut, makan makanan

23
yang mudah dicerna, bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak/ gigi palsu kurang
baik maka makan makanan lunak/ lembek, konsumsi makanan yang berserat tinggi
setiap hari ( sayuran, buah buahan, roti, sereal), serta dianjurkan untuk mengolah
makanan dengan cara direbus, dikukus, atau dipanggang, kurangi makanan yang
digoreng.
Pantau status nutrisi dengan berat badan ideal = 0,9 x ( TB(cm) 100), untuk
wanita dengan TB< 150 cm dan pria < 160 cm maka berat badan ideal = TB(cm)
100. Jika < 10 % dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi kurang. Jika > 10
% dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi berlebih.
Olaharaga, dianjurkan untuk berolahraga 3-4 x/ seminggu selama 30 menit.
Olahraga yang disarankan adalah jalan jogging, bersepeda santai, dan berenang.
Adapun mamfaat olahraga adalah membakar kalori sehingga berat badan turun,
menurunkan resiko kardiovaskular, meningkatkan sensitivitas insulin, dan
menghilangkan kecemasan, stress, ketegangan

4.5 Metformin
Metformin adalah obat hipoglikemik orak golongan biguanid dengan cara
kerja meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di jaringan
perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan
penyerapan glukosa di jaringan perifer. Farmakokinetik dari metformin masih banyak
yang belum lengkap, metformin mempunyai t = 1,5 3 jam dan tidak terikat pada
protein plasma, tidak dimetabolisme dan dieksresikan melalui ginjal sebagai senyawa
aktif. Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare
dan dapat menyebabkan asidosis laktat. Pemakaian pada lansia harus berhati hati
karena dapat menyebabkan anoreksia dan penurunan berat badan. Metformin tidak
meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada
pasien dengan obesitas. Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga
16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat
meningkatkan HDL kolesterol hingga 2%. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung. Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan kombinasi
yang rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif

24
BAB V

ULASAN

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, pada kasus ini, bagaimana
kompetensi dokter umum? Apakah ada indikasi rujuk? Setelah mendapat penjelasan
dari pakar diketahui bahwa kompetensi dokter umum adalah 3 A yaitu yaitu dapat
mendiagnosa, memberikan penatalaksanaan dan merujuk. Pada penyakit diabetes
melitus, kompetensi dokter umum adalah area kompetensi 4.

Bagaimana mekanisme terjadinya mimpi basah (nocturnal erection)? Ereksi


dapat terjadi tanpa adanya stimulasi ketika tidur dalam REM sleep, dimana pada REM
sleep saraf kolinergik di lateral pontin tegmentum diaktivasi ketika saraf adrenergik di
lokus cereleus dan saraf serotonin di otak tengah dalam keadaan silent. Oleh karena
teraktivasinya saraf kolinergik (parasimpatis) maka dapat terjadi mimpi basah.

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal apakah masturbasi termasuk
disfungsi ereksi ? Setelah mendapat penjelasan dari pakar diketahui bahwa masturbasi
termasuk disfungsi ereksi?

Apa solusi pada pasien yang tinggal sendiri agar pengobatan teratur?
Gunakan obat yang simpel dan tidak multidrug, selain itu gunakan t1/2 yang pendek.

Apa penyebab disfungsi ereksi yang paling sering? Penyebab disfungsi


ereksi yang paling sering adalah gangguan vaskular, gangguan neurologik, dan akibat
pemakaian obat obatan (farmakologis).

25
BAB VI
KESIMPULAN

Tn. P mengalami disfungsi ereksi yang disebabkan oleh diabetes melitus yang tidak
dikontrol dengan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Anatomi Penis dan Fisiologi Ereksi Penis. Available from:


http://www.konseling.net/artikel_seks/anatomi_penis.htm.[Accessed 21 September
2010].

Anonim. Prognosis Disfungsi Ereksi. Available from:


http://www.healthcentral.com/erectile-dysfunction/risks-000015_5-145.html.
[Accessed 21 September 2010].

Anurogo, Dito. Referensi Lengkap Disfungsi Ereksi (Bagian II). Available from:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=3&jd=Referensi+Lengkap+Disfungsi+Ereksi+(Bagian+II)&dn=20080223174715.
[Accessed 21 September 2010].

Bella, Anthony J. dan Tom F. Lue. Male Sexual Dysfunction. Emil A. Tanagho dan
Jack W. Aninch. Smiths General Urology. United Stated of America : Lange. 589-
608.
Clapauch, Ruth, Daniel Jorje De Castro Barga,dkk. Risk of late-onset hypogonadism
(andropause) in Brazilian men over 50 years of age with osteoporosis: usefulness of
screening questionnaires. Available from: http://www.scielo.br/scielo.php?
script=sci_arttext&pid=S0004-27302008000900006. [Accessed 21 September 2010].

Dorland,W.A.Newman.Erection.Lia Astika Sari,A.Md dan Sonta


F.Manalu,A.Md.Kamus Kedokteran Dorland edisi 29.Jakarta:EGC.758.

Fanani, M. Stress dan Disfungsi Seksual. Available from:


http://psks.lppm.uns.ac.id/2010/02/25/makalah-3/. [Accessed 21 September 2010].

Fazio, Luke dan Gerald Brock. Erectile dysfunction: management update. Available
from: JAMC 27 AVR. 2004; 170 (9).

27
Hamid, Khairul. Konsep Dasar Penyakit Diabetes. Available from:
http://www.slideshare.net/khairulhamidhamd/konsep-dasar-penyakit-diabetes-
mellitus. [Accessed 21 September 2010].

Mac Vary, Kevin T. Erectile Dysfunction. Available from: n engl j med 357;24
www.nejm.org 2472 december 13, 2007. [Accessed 22 Oktober 2010].

Meneilly, Graydon. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly. Available from:


http://www.clinicalgeriatrics.com/articles/Pathophysiology-Diabetes-Elderly.
[Accessed 22 Oktober 2010].

Powers, Alvin C. Diabetes Melitus.. Dennis L. Kasper, Anthony S. Fauci, dkk.


Harrisons Principles of Internal Medicine. United Stated of America : Mc Graw Hill.
2171.

Rachmawati, Dinar Pramilih. Pola Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


pada Pasien Geriatri Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD DR
Moerwadi Surakarta Periode Januari Juli 2008. Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadyah. Surakarta.

Setiadji, V. Sutarmo.Hemodinamika Ereksi, Neuroanatomi dan Neurofisiologi Ereksi.


Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.13-15.16.

Siwi, Yuli Ratika. Penggunaan Sildenafil pada Pasien Disfungsi Ereksi (Impotensi).
Available from: http://yosefw.files.wordpress.com/2007/12/silde1.pdf. [Accessed 21
September 2010].

Watts, Gerald F., Kew Kim Chew, Bronwyn GA Stuckey. The erectileendothelial
dysfunction nexus: new opportunities for cardiovascular risk prevention. Available
from: www.nature.com/clinicalpractice/cardio. [Accessed 21 September 2010].

28
LAMPIRAN
IIEF ( International Index of erectile Function- 5)

29

You might also like