Professional Documents
Culture Documents
Diajukan oleh:
Nuri Febtitasari Nugroho, S. Ked
Pembimbing:
dr. Rosa Priambodo, Sp.PD.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
TUGAS STASE ILMU PENYAKIT DALAM
Case Report
Oleh:
Nuri Febtitasari Nugroho, S. Ked
(J 500.090.021)
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Stase Ilmu Penyakit Dalam
Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pada Hari........................Tanggal.....................
Pembimbing :
dr. Rosa Priambodo, Sp.PD. (...................................)
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Rosa Priambodo, Sp.PD. (...................................)
Sirosis hati merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hati yang kemudian
menjadi jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hati.
Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hati
menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun
esofagus. World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783
000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati.
Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan
infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan
infeksi virus hepatitis B, C dan karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang
terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati
terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia Regional Office (SEARO) tahun
2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa
hepatitis B, sedangkan sekitar 480 000 orang pembawa hepatitis C (Widjaja and
Karjadi, 2011).
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa
di seluruh dunia, lebih dari 400 juta orang terinfeksi hepatitis B kronis. Setiap
tahun, 10 sampai 30 juta terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena
hepatitis B. Prevalensi hepatitis B disetiap regional berbeda-beda. WHO
menunjukkan bahwa bagian-bagian dari Asia, Afrika dan Amerika Selatan
memiliki tingkat tinggi insident hepatitis B. CDC melaporkan bahwa lebih dari 1
juta orang Amerika terinfeksi hepatitis B kronis. Setiap tahun 100.000 terjadi
infeksi baru dan lima ribu orang Amerika meninggal akibat infeksi hepatitis B
(Nunez M., 2003).
Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan
adanya peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan
matriks ekstraselular dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu
yang berlangsung secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Walaupun sampai saat ini belum ada
bukti bahwa penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien
yang teratur pada fase dini diharapkan dapat memperpanjang status
kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah timbulnya komplikasi (Riley
et al, 2009).
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (PERKENI, 2006).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.
Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah
8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2006)
Insiden diabetes mellitus, terutama diabetes tipe-2 meningkat secara dramatis
di seluruh dunia karena peningkatan obesitas, gaya hidup dan populasi penuaan,
dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup besar.
Peningkatan prevalensi diabetes tipe-2 dan konsekuensi komplikasi dan gangguan
yang berkaitan merupakan tantangan kesehatan terbesar yang dihadapi dunia saat
ini (Soewondo, 2011).
BAB II
LAPORAN KASUS
I.IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : Tn. Paino
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 48 th
Pekerjaan :-
Alamat rumah : Ngambil-ambil, Nguter Sukoharjo
Masuk RS tanggal : 09 Desember 2013
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Muntah darah dan berak hitam.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami 3 kali rawat inap di rumah sakit:
1. Hari pertama kali masuk rumah sakit:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah darah, berak berwarna
hitam, pasien mengeluh sering merasa lemas, lama-lama perut
membesar di rumah sakit.
2. Hari kedua kalinya masuk rumah sakit:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah darah, berak berwarna
hitam, pasien mengeluh sering merasa lemas, lama-lama perut
membesar sejak dirumah sakit.
3. Hari ketiga kalinya masuk rumah sakit:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah darah, berak berwarna
hitam, pasien mengeluh lemas, lama-kelamaan perut membesar
waktu di rawat inap di rumah sakit, nyeri ulu hati, perut terasa seneb,
mbesesek dan perut terasa penuh.
V. DIAGNOSIS KERJA
Sirosis Hepatis et causa hepatitis dengan DM
VI. TERAPI
1. Balance cairan
2. Penurunan Glukosa : Injeksi Novorapid 8-8-8
3. Penanganan Perdarahan : PRC 2 kolf
: As. Traneksamat 500 mg/ 8 jam
: Vit K ampul / 8 jam
4. Antibiotik : Cefotaxim 1gr /8 jam
5. Antaasida sirup 3x 1 sendok makan
6. Ranitidin ampul/ 12 jam
7. Curcuma 3x sehari
FOLLOW UP
Tatalaksana untuk penurunan GDS dengan pemberian injeksi insulin, hal ini
sesuai dengan PERKENI 2006 yang menyatakan bahwa indikasi untuk injeksi
insulin adalah:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Pemeriksaan penunjang pada darah lengkap pasien:
HB : 5,0
Leukosit : 12,22
Trombosit : 122
Eritrosit : 2,31
Golongan darah: B
HbsAg :+
Creatinin : 1,07
Glukosa : 445,2
Ureum : 46,70
SGOT : 29
SGPT : 29
Waktu Protrombin :
Protrombin time : 18,40
INR : 1, 59
APTT : 25,7 detik
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium antara
lain (Sudoyo et al, 2006):
a. SGOT dan SGPT meningkat tapi tidak terlalu tinggi, dimana biasanya
SGOT>SGPT
b. Alkaline fosfatase meningkat
c. Bilirubin meningkat
d. Albumin menurun sedangkan globulin meningkat
e. Waktu protrombin memanjang
f. Natrium serum menurun
g. Kelainan hematologi meliputi anemia, trombositopenia dan leukopenia
Dasar diagnosa pada kasus ini adalah sirosis hepatis et causa hepatitis kronis
dimana berdasarkan penelitian didapatkan bahwa hepatitis B kronis dan hepatitis
C kronis menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dalam beberapa waktu. Hepatitis
kronis dapat didefinisikan sebagai penyakit terus tanpa perbaikan selama
setidaknya enam bulan. Kebanyakan orang (60% -80%) yang telah terinfeksi
kronis hepatitis tidak memiliki gejala. Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis
hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC). Sirosis terkait HCV menyebabkan
kegagalan hati dan kematian pada sekitar 20% -25% kasus sirosis. Virus hepatitis
B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit melalui
mekanisme imunologis. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon
imunologis terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel
radang antara lain limfosit T yaitu sel NK (Non spesific Killer) dan sel T
sitotoksik. Antigen virus, terutama HbcAg dan HbeAg, yang diekspresikan pada
permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoptotein HLA kelas I,
mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk isis oleh limfosit T.
Sel hepatosit mengalami lisis akibat limfosit T sehingga terjadi proses apoptosis
sel. Sel yang berapoptosis membentuk jaringan fibrosis sel hepatosit sehingga
terjadi sirosis (Sibernagl & Lang, 2007)..
Pemeriksaan Endoskopi didapatkan:
Esofagus : tampak varises esofagus grade III-IV dengan BC(+), RCS (+),
perdarahan (-), dilakukan scleroterapi pada jam 1, 3, 6, 9, 11, 12. Setelah
skleroterapi tidak tampak perdarahan.
Gaster : tampak skin snake appereance (+), tampak varises pada cardiac-
fundus sebagai kelanjutan dari varises esofagus, tampak erosif dengan bercak
keputihan pada antrum.
Duodenum : tampak ulkus multiple pada bulbus duodeni, perdarahan (-).
Kesimpulan :
Varises Esofagus grade III-IV post STE I
Varises Gaster GOV II
Ulkus Bulbus Duodeni
Gastropati hipertensi portal
Pemeriksaan endoskopi (Sudoyo et al,2006)
Varises esofagus dapat ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
endoskopi. Sesuai dengan konsensus Baveno IV, bila pada pemeriksaan endoskopi
pasien sirosis tidak ditemukan varises, dianjurkan pemeriksaan endoskopi ulang
dalam 2 tahun. Bila ditemukan varises kecil, maka dilakukan endoskopi dalam 1
tahun, dan jika ditemukan varises besar, maka secepatnya dilakukan tindakan
preventif untuk mencegah perdarahan pertama. Endoskopi direncanakan untuk
melihat penyebab terjadinya hematemesis dan melena. Umumnya kedua hal
tersebut disebabkan pecahnya varises esofagus. Apabila terjadi varises esofagus
maka, hal ini akan mendukung diagnosis sirosis hepatis dekompensata, karena
pecahnya varises esofagus merupakan manifestasi dari hipertensi portal.
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :Simptomatis dan Supportif
(Sudoyo et al,2006), pada pasien ini di berikan terapi transfusi darah karena
terjadi gejala hematemesis dan melena sehingga HB turun. Diberikan pula obat
koagulan antara lain vit K dan asam traneksamat. Furosemid sebagai diuretic
untuk membantu pengeluaran cairan dalam tubuh pasien seperti asites dan edema
tungkai. Ksrmenghemat pengeluaran kalium yang diakibatkan oleh obat
diuretik. Spironolaktan diuretic hemat kalium berfungsi sebagai pendukung
furosemide dan mengehemat pengeluaran kalium dalam tubuh. Propanolol
untuk mengurangi hipertensi porta. Curcuma berfungsi sebagai
hepatoproktetor. Cefotaxim berfungsi sebagai antibiotik untuk mengatasi infeksi
sekunder pada pasien yaitu SBP. Antasid sebagai penetral asam lambung dan
ranitidin sebagai mengurangi pengeluaran asam lambung sehingga menurunkan
keluhan pasien beruapa mual, nyeri ulu hati, dan perut terasa senep.
Klaisfikasi berdasarkan child-pugh dapat menilai prognosa pasien sirosis.
Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B,
dan C berturut-turut sebesar 100%, 80%, dan 45% (Sudoyo et al, 2006). Prognosis
pasien berdasarkan kriteria child plugh termasuk dalam kategori sedang dimana
pasien mengalami asites yang masih bisa di kontrol, gejala ensefalopati hampir
tidak ditemukan, nutrisi masih tergolong baik sehingga angka kehidupan dalam
satu tahun kurang lebih 80%.
Berikut ini adalah tabel kriteria child plug:
Skor/ Parameter 1 2 3
DAFTAR PUSTAKA
Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009.
18(3):299-302.
Sudoyo, Aru W., dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid 1.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Widjaja F., Karjadi T., 2011. Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien Sirosis
Hati. Volum: 61, Nomor: 10 . Jurnal Indonesia Medical Association.