You are on page 1of 24

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 Tahun
Alamat : Pedongkelan Depan RT6/RW6
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 25 April 2017
No. RM : 251***
Perawatan : CVCU

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Muntah dan nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke RSUD Cengkareng atas rujukan dari RS MMC
karena nyeri ulu hati mendadak dari jam 2 siang dan juga muntah-
muntah. Nyeri yang dirasakan tidak menjalar ke punggung dank e
tangan, namun pasien mengaku nyeri yang dirasakan sangat tajam
hingga menganggu aktivitas. Muntah dengan darah disangkal, pasien
mengaku sudah sarapan saat pagi, dan baru pertama kali merasakan
sakit yang hebat kali ini. Volume muntah lumayan banyak dan tidak
disertai ampas. Pasien mengaku juga sering merasa sesak saat aktifitas
namun saat istirahat membaik. Pasien memiliki riwayat merokok
sekitar 2-3 bungkus per hari, sebelumnya pasien belum pernah
membeli obat untuk mengatasi keluhannya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat merokok (+), sejak 25 tahun lalu, 2-3 bungkus dalam 1
hari
Riwayat DM dan hipertensi disangkal
Riwayat kolesterol tinggi tidak diketahui

C. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis
GCS 15 (E4M6V5)
BB : 54 kg, TB : 168 cm
Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis

Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 70x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP: 5+2 cm H2O

Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 4 kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan : ronkhi -/-, wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas atas jantung ICS II sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ : S I/II murni, reguler

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan epigstrium (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)

Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

TES HASIL NILAI RUJUKAN


Hb 16,2 g/dl 12,0 - 16,0 g/dl
Hct 46 % 37,0 - 47,0 %

Ureum 35 mg/dl 10 - 50 mg/dl

Kreatinin 1,1 mg/dl L(<1,3); P(<1,1) mg/dl


Glucose Sure
119 mg/dl < 110 mg/dl
Step

CK 147 U/l L(<190); P(<167) U/l

CK-MB 44,5 U/l < 25 U/l

HBsAg
Non reaktif Non reaktif
(ELISA)

Anti HCV Non reaktif Non reaktif

Anti HIV 1-2 Non reaktif Non reaktif

Natrium 141 mmol/l 135 - 145 mmol/l

Kalium 4,12 mmol/l 3,5 - 5,1 mmol/l

Klorida 101,4 mmol/l 97 - 111 mmol/l

< 50 ng/L negative, 50-100


ng/L Kmg MCI, 100-900
Troponin T 818
ng/L MCI, >2000ng/L
Massive MCI

Foto Thoraks
corakan bronchovascular dalam batas normal
tampak infiltrate di mediobsal dan perihilar kiri-kanan
cor : CTR > 50 % membesar ke kiri dan aorta konfigurasi normal
kedua sinus dan diafragma baik
tulang-tulang intak
Kesan :
Cardiomegaly dengan sugestif edema paru

EKG
Interpretasi
Irama : sinus
Rate : 83
PR : 129
QRSD : 86
QT : 372
QTC : 437
Axis
P : 11
QRS : 68
T : -4
12 Lead; standard placement
Kesan EKG: Normal

E. DIAGNOSA
Non ST-segmen Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)

F. DIAGNOSA BANDING
1. Unstable Angina Pectoris
2. STEMI
3. Dispepsia
G. TERAPI
Aspilet 1x1
Clopidogrel 1x1
Simvastatin 1x20mg
Bisoprolol 1x2,5mg
Pantoprazole 1x40

H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

PEMBAHASAN

Definisi
Non ST Elevasi Miokardial Infark ( NSTEMI ) adalah oklusi sebagian
dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga
tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
Epidemiologi
Menurut Raharjoe ( 2011 ) penyakit kardiovaskuler adalah penyebab
mortalitas tertinggi di dunia dimana pun, dilaporkan sebanyak 30% dari mortalitas
global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular kira kira telah membunuh 18
juta orang, 80% terdapat di negara berkembang, seperti Indonesia. Penyakit
kardiovaskular yang paling sering salah satunya adalah PJK ( penyakit jantung
koroner ). Data statistik menunjukan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita
PJK di Indonesia adalah 16,5% dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%
( suyono, 2010 ). Sedangkan di Inggris, penyakit kardiovaskular membunuh satu
dari dua penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000
kematian pada tahun 1998.
PJK tidak hanya menyerang laki laki saja, wanita juga berisiko terkena
PJK meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki laki. Pada orang berumur 65
tahun keatas, ditemukan 20% PJK pada laki laki dan 12% pada wanita. Pada
tahun 2001, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang meninggal akibat
penyakit kardiovaskular, terutama PJK ( 7,2 juta ) dan stroke ( 5,5 juta )
( soeharto, 2004 ). Tanda dan gejala PJK banyak dijumpai pada individu
individu dengan usia yang lebih tua, secara patogenesis permulaan terjadinya PJK
terjadi sejak usia muda namun kejadian ini sulit untuk diestimasi. Diperkirakan
sekitar 2% - 6% dari semua kejadian PJK terjadi pada individu dibawah usia 45
tahun. Berdasarkan suyono ( 2010 ) dan raharjoe ( 2011 ) dapat disimpulkan
bahwa akan terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien dengan NSTEMI adalah nyeri
dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien
yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3juta kunjungan / tahun. Kira kira 1/3
darinya disebabkan oleh unstable angina / NSTEMI dan merupakan penyebab
tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan
untuk pasien unstable angina / NSTEMI semakin meningkat sementara angka
STEMI menurun ( sjaharuddin, 2006 )
Etiologi
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI
terjadi karena trombosis akut atau vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi
iskemia miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan
derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak
dapat menyebabkan elevasi segmen ST namun menyebabkan pelepasan penanda
nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan
dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh trombus nonocclusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari
arteri koroner mungkin juga bertanggung jawab. Faktor resiko terjadi NSTEMI
adalah :
1. Yang tidak dapat diubah
a. Umur
b. Jenis kelamin : insiden pada pria lebih tinggi, sedangkan pada
wanita kejadian akan meningkat saat setelah menopause
c. Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota keluarga di usia
muda ( anggota keluarga laki laki muda dari 55 tahun atau
anggota keluarga perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun )
d. Hereditas
e. Ras : kejadian ini lebih tinggi pada kulit hitam

2. Yang dapat diubah


a. Mayor :
- Hiperlipidemia
- Hipertensi
- Merokok
- Diabetes
- Obesitas
- Diet tinggi lemak jenuh
- Kalori
b. Minor
- Inaktifitas fisik
- Emosional
- Agresif
- Ambisius
- Kompetitif
- Stres fisiologis berlebihan
c. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi
miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat
dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang robek /
pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat, mikroemboli
( emboli kecil ) dari agregasi trombosit beserta komponennya
dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di
distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan
miokard pada banyak pasien.
d. Obstruksi dinamik
Penyebab agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang
mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus
pada segmen arteri koroner epikardium ( angina prinzmetal ).
Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos
pembuluh darah dan atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi
dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
e. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan
karena spasme atau trombus, hal ini terjadi pada sejumlah
pasien dengan aterosklerotik progressif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan ( PCI )
f. Inflamasi dan atau infeksi
Inflamasi disebabkan oleh yang berhubungan dengan infeksi,
yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi
plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit T di
dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti
metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan
ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan
sindroma koroner akut.
Patofisiologi
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan
adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur
mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh
yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel sel ini akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi seperti TNF , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang
pengeluaran hsCRP dihati.
2.5 Gejala klinis
a. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau
b. kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti
diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI.

Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang


memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu
istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak didada iskemia pada NSTEMI
telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti: dispneu, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri dilengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari
65 tahun.

Diagnosa
A. Dari anamnesa ditemukan
1. Nyeri dada
Nyeri dada yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina
kurang dari itu. Disamping itu pada angina akan hilang dengan istirahat
akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa
disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya
nyeri dada menjalar kelengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan
tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut
biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan
neuropathy.
2. Gejala gastrointestinal
Pada epigastrium ditemukan gejala khas sebagai berikut:
a. Perasaan seperti diikat, Perasaan terbakar, Perasaan seperti diperas,
Rasa penuh, Terasa berat atau tertekan.
b. Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual, muntah dan
biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma
pada infark inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
3. Sesak nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik ventrrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hioperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas
merupakan tanda adanya disfungsi ventrikelkiri bermakna.
4. Gejala lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel dan
gelisah.
B. Pemeriksaan Penunjang ditemukan
1. EKG
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T inverted dan ST
depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi
iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya
bersifat sementara (saat pasien simtomatik).
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa deviasi
segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien.
Pada Trombolysis In Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi
segmen ST baru sebanyak 0,05 Mv merupakan prediktor outcome yang
buruk. Kaul et al. Menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan
baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya
memberikan tambahan informasi prognosis pasien pasien dengan
NSTEMI.
2. Biomarker kerusakan miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional
seperti CK dan CKMB (creatine kinase-myoglobin). Pada pasien dengan
IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu. Pada gambar 1 dapat dilihat pada kinetik
biomarker jantung seperti mioglobin, CKMB dan troponin.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang
sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita
sindrom koroner akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan
spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan yang
minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai
normal 0,1.
Perbedaan troponin T dengan troponin I:
a. Troponin T (TnT)
Dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen inhibitorik yang
berfungsi mengikat aktin.
b. Troponin I (TnI)
Dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin
3. Stratifikasi risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan parameter utama dalam pengenalan
dan penilaian risisko NSTEMI. Jika ditemuka risiko tinggi, maka keadaan
ini memerlukan terapi awal yang segera. Penatalaksanaanya sebaiknya
terkait dengan faktor risiko.
4. Skor risiko TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk stratifikasi
risiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau
iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5% dengan skor risiko
0-1, sampai 41% dengan skor risiko 6-7 skor risiko ini berasal dari analisis
pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada 4
penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko,
telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara pogresif pada terapi
dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor bloker
tirifiban versus plasebo, dan strategi invasif versus konservatif.
Pada pasien untuk ssemua level skor risiko TIMI, penggunaan
klopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama.
Skor risiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada
pasien setelah puylang.
Skor Risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
a. Usia 65 tahun
b. 3 faktor risiko PJK
c. Stenosis sebelumnya 50%
d. Deviasi ST
e. 2 kejadian angina 24 jam
f. Aspirin dalam 7 hari terakhir
g. Peningkatan petanda jantung
5. Serum kreatinin
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang buruk. Beberapa
peneitian seperti platelet receptor inhibition in iskhemic syndrome
management in patients limited by unstable sign and symptom (PRISM-
PLUS), treat angina with agastat and determine cost of therapy with
invasive or conservative strategy (TACTICS)-TIMI 18, dan global use
strategies to open occluded coronary arterier (GUSTO) IV-ACS.
Kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin
yang lebih rendah memiliki gambaran risiko tinggi yang lebih besar dan
outcome yang kurang baik. Walaupun strategi invasif banyak bermanfaat
pada pasien dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko perdarahan
yang lebih banyak. Karena molekul kecil inhibitor GP IIb/IIIa dan
LMWH dieksresikan lewat ginjal, terapi ini seharusnya diberikan dengan
perhatian khusus pada pasien dengan gangguan fungsii ginjal. Walaupun
disfungsi ginjal dapat mengganggu klirens troponin, namun tetap
merupakan prediktor keluaran yang bernilai pada pasien.
6. Petanda Biologis (BIOMARKER) Multiple Untuk Penilaian Risiko
Newby et.al mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan
mioglobin, creatinin kinase-MB dan troponin I menunjukkan stratifikasi
risiko yang lebih akurat dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal
berbasis laboratorium. Sabatine et.al mempertimbangkan 3 faktor
patofisiologi yang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu:
a. Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat
mikroembolisasi
b. Inflamasi vaskular
c. Kerusakan ventrikel kiri
Masing-masing dapat menilai secara independen berdasarkan penilaian
terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific troponin, C-creative
protein dan brain natriutetic peptide, berturut-turut. Pada penelitian
TAC-TICS-TIMI 18, dimana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-
pasien dengan biomarker 0, 1, 2 dan 3 semakin meningkat berkali lipat
1; 2,1 ; 5,7 dan 13,0 berturu-turut.
Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini sebaiknya
tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas
penemuan klinis.

Penatalaksanaan

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG


untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama
terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
1. Terapi antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang,
dapat diberikan terapi awal mencakup nitratdan penyekat beta. Terapi
anti iskemia terdiri dari nitrogliserin sub lingual dan dapat dilanjutkan
dengan intravena, dan penyekat beta oral ( pada keadaan tertentu dapat
diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan
pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan
obat penyekat beta.
a. Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah
diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 ment,
direkomendasikan pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10
ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 ug/menit tiap 3-5 menit
sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100
mmhg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat
oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien
sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah
hipotensi atau penggunaan sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24
jam sebelumnya.
b. Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung
seperti verapamil atau diltiazem direkomendasikan pada pasien
dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis
penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi
penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan
pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan dosis 1-5
mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
Penyekat Beta dalam praktek klinis
Obat selektivitas Aktivitas Dosis umum
agonis parsial untuk angina
Propanolol Tidak Tidak 20-80 mg 2 kali
sehari
Metoprolol Beta 1 Tidak 50-200 mg 2
kali sehari
Atenolol Beta 1 Tidak 50-200 mg/hari
Nadolol Tidak Tidak 40-80 mg/hari
Timolol Tidak Tidak 10 mg 2 kali
sehari
Asebutolol Beta 1 Tidak 200-600 mg 2
kali sehari
Betaksolol Beta 1 Tidak 10-20 mg/hari
Bisoprolol Beta 1 Tidak 10 mg/hari
Esmolol Beta 1 Tidak 50-300
(intravena) mcg/kg/menit
Labetalol * Tidak Ya 200-600 mg 2
kali sehari
Pindolol Tidak Ya 2,5-7,5 mg 3
kali sehari
labetalol adalah kombinasi penyekat alfa beta.
2. Terapi antiplatelet
a. Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang
telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-
analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam
penatalaksanaan UA/NSTEMI. Sindrom resistensi aspirin dapat
terjadi pada pemberian aspirin. Sindrom ini dideskripsikan dengan
bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi)
agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu
bperdarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi
aspirin. Pasien pasien dengan resistensi aspirin mempunyai resiko
tinggi kejadian rekuren. Walauopun penelitian prospektif secara
acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini , adalah logis
untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya
juga tidak dihentikan. Alexander et. al. Mendemonstrasikan
tingginya kejadian ( event rate) dan efek terapi yang besar dengan
eptifibatide pada pasien sindrom koroner akut meskipun
sebelumnya diterapi aspirin.
b. Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphospate P2Y,
pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi
aktivasi platelet. Penggunaan pada UA/NSTEMI terutama
berdasarkan hasil penelitian clopidogrel in unstable angina to
prevent recurent ischemic events (CURE) dan clopidogrel for the
reduction of events during observation (CREDO). Dilakukan
randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan UA/NSTEMI
(semuanya mendapat terapi aspirin) ditambahkan clopidogrel
(dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari) atau plasebo.
Stelah dipantau rata-rata 9 bulan, hard and point primer (kematian
kardiovaskulker, infark miokard dan stroke) menurun secara
bermakna yaitu 20% yaitu 11,5% pada kelompok plasebo menjadi
9,3% pada kelompok klopidogrel. Penurunan kejadian iskemia
rekuren mulai terlihat dalam 6 jam randomisasi. Efek bermanfaat
ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa
deviasi segmen ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang
memiliki skor resiko TIMI rendah.
Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian infark miokard,
walaupun kecenderungan kematian dan stroke tidak bermakna
secara statistik. Namun clopidogrel, dikaitkan dengan peningkatan
perdarahan mayor (3,7% versus 2,7%) dan minor, sejalan dengan
kecenderungan peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa
(life-threatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan banyak
ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis tinggi atau pada
mereka yang menjalani CABG selama 5 hari pemberian
clopidogrel. Telah dibuktikan peningkatan resiko perdarahan pada
pemakaian kombinasi aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien
yang menjalani CABG.
Pada substudi pengamatan penelitian CURE yang melibatkan
2.658 pasien yang mengalami PCI, dengan median 10 hari setelah
randomisasi (PCI-CURE study), kebanyakan pasien mendapat
thyenopyridine yang selama 4 minggu setelah menjalani prosedur.
Menunjukkan penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan
dengan risiko relatif 30% lebih rendah terhadap kematian
kardiovaskula, infark miokard atau revaskularisasi selama 30 hari
(6,4% vs 4,5%). Manfaat klopidogrel telah diteliti selama 8 bulan
pada penelitian tersamar (klopidogrel atau plasebo) dengan
kesimpulan yang ditentukan 1 bulan setelah PCI. Keuntungan
pengobatan sebelumnya dan pemantauan terapi jangka panjang
dengan klopidogrel juga diamati pada penelitian CREDO, pada
sekitar 2.116 pasien, 55% pasien dengan UA/NSTEMI yang
hendak menjalani PCI.
Berdasarkan hasil penelitian penelitian tersebut, maka klopidogrel
direkomendasikan sebagai obat lini pertama (first line drug) pada
UA/NSTEMI dan ditambahkan aspirin pada pasien dengan
UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi perdarahan dan
pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya
diberikan pada pasien dengan UA/NSTEMI pada pasien-pasien:
1. Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non invasif
dini.
2. Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner
segera berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang
anatomi koroner/memiliki kontraindikasi untuk operasi.
3. Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama >24-36 jam.
Pada pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi
diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menjadi alasan untuk tidak
memberikan klopidogrel sampai dengan temuan angiogram
koroner meniadakan kebutuhan operasi bypass segera. Dosis awal
klopidogrel dapat diberikan di laboratorium kateterisasi sebelum
PCI atau dimulai secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel
(seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang irreversible,
maka direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5
atau lebih disukai 7 hari sebelum opoerasi elektif, termasuk
CABG.
Resiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada pasien yang
belum dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia
selama periode menunggu. Pandangan ini didukung oleh
pengamatan pada penelitian CREDO bahwa terapi sebelumnya >6
hari sebelum PCI cenderung memperkuat manfaat obatnya dan
kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP Iib/IIIa tampaknya
menambah manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.
c. Antagonis GP IIb/IIIa
Terdapat bukti kuat pada penelitian multiple bahwa antagonis GP
IIb/IIIa mengurangi insidens kematian atau infark miokard pada
pasien UA/NSTEMI yang menjalani PCI dan penggunaannya pada
keadaan ini diindikasikan secara jelas. Pada penelitian GUSTO IV-
ACS yang didesain khusus untuk menguji manfaat abciximab pada
pasien UA/NSTEMI di mana PCI tidak dianjurkan, tidak didapat
kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIb/IIIa eptifibatid atau
tirofiban manfaatnya masih kurang jelas. Suatu analisis retrosfektif
penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban
manfaatnya masih kurang jelas. Suatu analisis retrosfektif
penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban insidens
outcome yang buruk pada pasien risiko tinggi (skor risiko TIMI
>4) yang tidak menjalani PCI.
Meta-analisis terhadap antagonis GP IIb/IIIa dari 6 penelitian besar
yang melibatkan 31.402 pasien UA/NSTEMI yang tidak
dijadwalkan menjalani PCI menunjukkan penurunan yang
bermakna (-9% relatif, -1%absolut), pada rasio odd untuk
gabungan endpoint kematian atau infark miocard pada kelompok
antagonis GP IIb/IIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara
bermakna dari 1,4% pada kelompok plasebo menjadi 2,4% pada
kelompok antagonis GP IIb/IIIa. Dalam analisis tambahan
ditemukan bahwa 5.847 dari 31.402 (19%) pasien sebenarnya
menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5 hari) dan
pengamatan manfaat antagonis GP IIb/IIIa misalnya, pengurangan
kematian atau infark miokard sebagian besar terbatas kedalam sub
grup ini (-21%). Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis
terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada penelitian
itu strategi invasif dini cukup sering digunakan.
Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien risiko tinggi
terutama pasien dengan troponin positif yang menjalani angiografi,
mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis GP IIb/IIIa. Dua agen
molekul kecil, eptifibatid dan tirofiban mungkin dimulai
upstream misalnya 1 atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan
selama menjalani prosedur. Salah satu 3 antagonis GP IIb/IIIa yang
ada dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani
prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO-IV ACS, abciximab tidak
diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak direncanakan
menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis GP IIb/IIIa terlihat
efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan
pasien risiko rendah, pasien-pasien dengan troponin negatif yang
tidak menjalani angiografi dini.
Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO,
klopidogrel tidak terlihat menambah risiko perdarahan terhadap
antagonis GP IIb/IIIa. Efikasi thyenopyridine dan antagonis GP
IIb/IIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi platelet triple
(aspirin, klopidogrel, dan antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada
pasien risiko tinggi yang direncanakan untuk menjalani PCI dan
tidak mempunyai risiko perdarahan berlebihan.
3. Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam
patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan
pembentukan thrombin activated fibrin bertanggung jawab atas
perkembangan klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti
trombin menjadi komponen kunci dalam perawatan.
4. Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)
5. Terapi antikoagulan
a. UFH ( unfaractioned heparin )
Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh
penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam
tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Penelitian
sebelumnya menunjukan keuntungan klopidogrel dan inhibitor GP
IIb/IIIa. Namun demikian terdapat bayak kerugian UFH, termasuk di
dalamnya ikatan non spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet,
endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein
sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin mungkin berhubungan dengan
heparin inducedthrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek
antikoagulan yang tidak menentu, memerlukan monitor lebih sering
terhadapactivated partial thromboplastin time (aPTT), pengaturan
dosis dan membutuhkan infus intravena kontinyu.
b. LMWH ( low molecular weight heparin )

Akhir akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH dan


kerugian kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat
diatasi. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan
kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH
adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga pada faktor Xa
sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam
sirkulasi ( efek anti faktor IIa nya ), seperti juga UFH, tapi juga
mengurangi pembentukan trombin ( efek anti faktor X a-nya ).
Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan
juga dapat diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak
tersamar ganda, Efficacy and Safety of subcutaneous Enoxaparin in
Non-Q-wave Coronary Events ( ESSENCE ) dan TIMI 1 1B, yang
melibatkan 7081 pasien menunjukan keuntungan enoxaparin diatas
UFH secara bermakna, dan suatu meta-analisi menunjukan
pengurangan kematian atau infark miokard secara bermakna.
Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level
antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk
pasien pasien yang mengalami PCI dan keamanan LMWH pada
pasien yang mendapatkan terapi inhibitor GP IIb/IIIa. Pada penelitian
yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien
UA/NSTEMI yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian
integrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of Acute Coronary
Syndrome Treatment ( INTERACT ), didapatkan outcome utama
perdarahan mayor yang dikaitkan non CABG, lebih rendah secara
bermakna pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok
UFH, walaupun insiden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya.
Juga angka kematian atau infark miokard non fatal pada 30 hari dan
iskemia pada monitor holter selanjutnya menurun hampir separuhnya
pada kelompok enoxaparin.
c. Strategi Invasif Dini VS Konservatif Dini

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi


invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan
revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai temuan arteriografi)
dengan strategi konservatif dini ( terisasi dan jika diindikasikan
revaskularisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi
oral / obat obatan ). Lima penelitian besar telah dilakukan secara
prospektif dan acak; dua diantaranya dilakukan sebelum stenting rutin
digunakan. Penelitian TIMI IIIb menunjukan tidak ada perbedaan
bermakna outcome pada kedua strategi ini, walaupun analisis
retrospektif mengidentifikasi faktor faktor risiko tinggi yang dapat
digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi konservatifdan
superioritas strategi invasif. Penelitian dini egies in Hospital
( VANQWISH ), menunjukan kematian lebih banyak sejalan dengan
kematian atau infak miokard dengan strategi invasif.
Terdapat tiga penelitian sejalan dengan era stent dan semua
penelitian itu menunjukan superioritas strategi invasif. Penelitian
Fragmin and Fast Revascularization during instability in Coronary
Artery Disease ( FRISC ) II menunjukan penurunan yang bermakna
mortalitas total dan kematian atau infark miokard dalam 1 tahun pada
pasien yang mendapat strategi invasif. Pasien pasien pada kelompok
invasif ( invasive arm ) pada penelitian ini telah diterapi di RS dengan
regimen intensive yang termasuk didalamnya LMWH untuk rata-rata 6
hari sebelum kateterisasi.
6. Perawatan untuk pasien resiko rendah
Tes stres non invasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah
dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tinggi
sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan
temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi
kororner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa
temuan resiko tinggi.
Diagnosa banding
1. Unstable angina pectoris
2. Kardiomiopati hipertrofik
3. Embolis paru yang pasif
4. Diseksi aneurisma aorta
5. STEMI

Komplikasi
1. Gagal jantung

Hasil iskemia jantung akut pad agangguan kontaktilitas ventrikel


( disfungsi sistolik ) dan kekakuan miokard meningkat ( disfungsi
diastolik ), yang keduanya dapat menyebabkan gejala gagal jantung.
Selain itu, remodelling ventrikel, aritmia, dan komplikasi mekanik MI
akut dapat berujung pada gagal jantung. Tanda dan gejala
dekompensasi tersebut meliputi dyspnea, rales paru, dan suara jantung
ketiga ( S3 ). Pengobatan terdiri dari terapi gagal jantung standar.
Iskemia jaringan diakibatkan oleh 2 sebab:
a. Vasokontriksi dari arteri coronaria
b. Hilangnya partikel antitrombosit

2. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dari output jantung sangat menurun
dan hypotension ( tekanan darah sistolik <90 mmHg) dengan perfusi
jaringan perifer tidak memadai, yang terjadi ketika lebih dari 40% dari
masa LV telah infark. Hal ini juga dapat mengikuti komplikasi mekanik
parah MI dijelaskan di bawah ini.
a. Hipotensi menyebabkan perfusi koroner menurun, yang
memperburuk kerusakan iskemik, dan
b. Menurunnya stroke volume meningkatkan ukuran LV dan
karena itu menambah kebutuhan oksigen miokard.
Meskipun perlakuan agresif, angka kematian pasien dalam
syok kardiogenik lebih besar daro 70%.

Pasien pada syok kardiogenik membutuhkan di agen inotropic


travenous ( dobutamine ) untuk meningkatkan output jantung dan
vasodilator arteri untuk mengurangi resistensi terhadap kontraksi LV.
Pasien tersebut distabilkan oleh penempatan pompa ballon intra-aorta.
Perangkat ini dimasukkan ke aorta melalui arteri femoral dan terdiri
dari ruang, tiup fleksibel yang terbuka selama diastol untuk
meningkatkan tekanan intra aorta, sehingga menambah perfusi dari
arteri koroner dan jaringan perifer. Selama sistol itu deflates untuk
menciptakan sebuah kekosongan yang berfungsi untuk mngurangi
setelah beban dari bilik kiri, sehingga membantu pemilihan darah ke
aorta. Awal kateterisasi ajntung dan revaskularisasi memiliki potensi
untuk memperbaiki prognosis jangka panjang pasien dalam syok
kardiogenik.
3. Ruptor korda
4. Ruptur septum
5. Perikarditis

Prognosa

Prognosa pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien


tiba. Adanya gejala saat istirahat memberikan prognosis yang lebih buruk.
Selain itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia,
hipotensi dan gagal jantung juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan
memerlukan diagnosis dan penanganan segera. Hasil EKG awal dapat
memperkirakan risiko awal. Pasien dengan EKG yang normal saat tiba di RS
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan inversi gelombang
T. Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang
dalam di sadapan anterior, depresi segmen ST 0,1mV atau 0,05 mV di
dua atau lebih sadapan yang bersebelahan, dan elevasi segmen ST 0,1mV di
sadapan aVR memberikan prognosis yang lebih buruk. Prognosis NSTEMI
pada pria dan wanita serupa kecuali pada usia lanjut, dimana wanita memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pria. Untuk perdarahan, wanita dengan
NSTEMI memiliki risiko yang lebih tinggi.

You might also like