You are on page 1of 12

Laporan Hari,Tanggal : Jumat, 24 Maret 2017

Praktikum ke-6 Dosen : Dr. Drh. Gunanti, MS


Teknik Persiapan dan Drh. Henny E.
Perawatan Pasca Operasi Anggraeni MSc
Drh. Tetty Barunawati
Drh. Heryudianto
Asisten Vibowo
Drh. Surya Kusuma
Wijaya
: Nadia AMd

TEKNIK ANASTESI

Kelompok 2 / P.2
Moch Galih A. J3P115008
Siti Sarah Hasanah J3P115010
Nanda Finisa J3P115022
Ibnu Azis F. J3P115033
Wiradi Ikram Ajwa J3P115036
Riza Dwileski F. J3P115047

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PENDAHULUAN

Fisiologi dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari fungsi,


mekanisme dan cara kerja dari organ, jaringan dan sel-sel organisme. Fisiologi
menerangkan faktor- faktor fisik dan kimia yang bertanggung jawab akan asal,
perkembangan, dan gerak maju kehidupan. Fisiologi mencakup proses
osmoregulasi, sistem sirkulasi, sistem respirasi, bioenergetik dan metabolisme,
pencernaan, organ-organ sensor, sistem saraf, sistem endokrin dan sistem
reproduksi. Oleh karena itu, dilakukan percobaan Anestesi dan Pembedahan.
Anestesi adalah suatu kondisi dimana tubuh atau bagian tubuh kehilangan
kemampuan untuk merasa (insensibility). Anestesi dapat disebabkan oleh
senyawa-senyawa kimia, suhu rendah dan arus listrik. Anestesi yang terjadi pada
system saraf pusat menyebabkan organisme tidak sadar dan pingsan (Albani, ihlas
rabani, dkk. 2008)
Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara
bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya,
anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya
berbeda dalam hal farmakodinamik
Anestesi injeksi terbagi menjadi tiga tipe yaitu pembiusan total, pembiusan
lokal dan pembiusan regional. Pembiusan total adalah hilangnya kesadaran total
pada seluruh tubuh atau seluruh tubuh yang tidak sadar, pembiusan lokal adalah
hilangnya rasa pada daerah tubuh yang diinginkan saja sedangkan pembiusan
regional adalah hilangnya rasa pada daerah yang lebih luas yaitu adanya blockade.
Adapun tujuan praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan
anestesi umum dengan menggunakan ketamine xylazin pada kucing beserta reaksi
yang ditimbulkan. Mahasiswa mampu mengamati stadium anestesi yang terjadi
melalui parameter-parameter pemeriksaan fisik, onset dan durasi.
METODE PRAKTIKUM

Waktu dan tanggal


Praktikum ini dilaksanakan tanggal 24 Maret 2017. Waktu pelaksanaan
pukul 07.00-11.50 WIB. Tempat pelaksanaan praktikum di Klinik Hewan
Pendidikan, Kampus Gunung Gede, Program Diploma Keahlian Paramedik
Veteriner, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah hewan
(kucing), syringe, spuit, kapas, alkohol 70%, atrophine sulfate, ketamine 10%, dan
xylazine.
Prosedur kerja
Persiapan. Kucing disiapkan dan dipastikan hewan telah puasa 12 jam
kemudian ditimbang berat badannya. Setelah itu ditentukan dosis obat
premedikasi dan anastesi yang akan diberikan. Pemeriksaan fisik umum dilakukan
meliputi frekuensi nadi, frekuensi jantung, frekuensi nafas, suhu, refleks kelopak
mata, diameter pupil.
Pre-anastesi. Hewan dihandle dengan benar, posisikan sesuai dengan
lokasi penyuntikan. Atrophine sulfat diinjeksi secara subkutan. Kulit longgar pada
bagian tengkuk ditarik sehingga terdapat rongga, oleskan alkohol pada lokasi
penyuntikan. Obat kemudian diinjeksi dengan sudut 45. Tunggu dan dibiarkan
obat bereaksi selama 10 menit.
Anastesi. Setelah 10 menit hewan diposisikan lateral recumbency. Tempat
penyuntikan ditentukan dan dibersihkan dari rambut. Preparasi dengan
desinfektan atau alkohol. Jarum diarahkan tegak lurus dengan muskulus. Setelah
jarum masuk dilakukan aspirasi, jika tidak ada darah dilanjutkan dengan
pemasukan obat. Jika ada darah jarum di geser. Jika selesai, jarum ditarik dan
ditekan dengan kapas beralkohol. Dilakukan masase untuk pempercepat
penyerapan obat.
HASIL

Signalement hewan :
Nama : O-Ren
Jenis kelamin : Jantan
Berat badan : 2.2 kg
Umur : 5 bulan
Warna rambut : Oranye
Perhitungan dosis :
1 Atropin :
Dosis atropin = 0.02 mg/kg BB
Sediaan atropin = 0.25 mg/ml
Dosis yang diberikan = 0.176 ml
2 Xylazin :
Dosis xylazine = 2 mg/kg BB
Sediaan xylazine = 20 mg/ml
Dosis yang diberikan = 0.22 ml
3 Ketamin :
Dosis ketamin = 10 mg/kg BB
Sediaan ketamin = 100 mg/ml
Dosis yang diberikan= 0.22 ml

Tabel 1. Pre anastesi (Pemberian atropin)


No
Parameter 0 menit 10 menit
.
1 Temperatur 36.8 C 37.6C
2 Frekuensi nafas 48x/menit 36x/menit
3 Frekuensi jantung 140x/menit 200x/menit
4 Frekuensi nadi 140x/menit 88x/menit
5 Reflek kelopak mata Ada Ada
6 Diameter pupil 0.6 cm 0.6 cm
Keterangan : pada menit ke-3 kucing muntah setelah pemberian atropin.
Tabel 2. Anastesi ( Xylazine dan ketamine)
0 15 30 45 60 75 90 105
No Parameter
mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt
37.2 37.9 37.3 36.3 36.1 35.5 34.6
1 Temperature 34.6 C
C C C C C C C
Frekuensi
2 28 28 32 28 24 28 28 25
nafas
Frekuensi
3 168 208 200 172 172 128 122 100
jantung

4 Frekuensi nadi 168 208 200 164 152 120 122 100

Reflek Tdk Tdk Tdk Ada


5 Ada Ada Ada Ada
kelopak mata ada ada ada sedikit
0.9 0.9 0.8 0.9 0.8
6 Diameter pupil 1 cm 1 cm 0.7 cm
cm cm cm cm cm

No Parameter 120 135 150 165 180 195


. menit menit menit menit menit menit
1 Temperature 34.6 34.5 34.3 34.0 34.3 34.0

2 Frekuensi 24 28 28 28 28 28
nafas
3 Frekuensi 96 96 80 92 92 84
jantung
4 Frekuensi 92 88 80 80 80 80
nadi
5 Refleks Ada Ada Ada Ada Ada Ada
kelopak sedikit sedikit sedikit sedikit sedikit sedikit
mata
6 Diameter 0.7 cm 0.7 cm 0.7 cm 0.7 cm 0.7 cm 0.7 cm
pupil

Keterangan : - Kucing terbius pada menit ke-4 setelah pemberian anastetikum


- Kucing mulai sadar pada menit ke-105.
- Kucing muntah pada menit ke-120 menit.
- Kucing mulai pulih pada menit ke-135.

PEMBAHASAN

Anestesi sebelum operasi sangat penting dilakukan pada hewan


untuk menghilangkan rasa sakit dan mempermudah pekerjaan dalam operasi.
Tujuan hewan dianestesi sebelum operasi adalah untuk memastikan hewan tidak
merasakan nyeri ataupun sakit sehingga dapat mengurangi penderitaan bagi
hewan tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan penggunaan
anestesi umum. Anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit disertai hilangnya
kesadaran (Sardjana dan Kusumawati 2011). Penggunaan obat-obatan tersebut
perlu diperhatikan terutama efek samping, indikasi, maupun kontraindikasi pada
pasien, sehingga diperoleh kondisi anestesi sesuai yang diharapkan. Pemilihan
obat anestesi umum harus didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jenis
operasi, lamanya operasi, temperamen hewan, fisiologis hewan, dan spesies
hewan.
Anestesi secara injeksi lebih sering digunakan, selain karena lebih praktis
alatnya juga cukup terjangkau dan mudah ditemukan. Anestesi yang dilakukan
secara injeksi melalui intramuskular atau pun intravena umumnya digunakan pada
operasi yang memerlukan waktu pendek. Salah satu kombinasi anestesi yang
sering digunakan pada hewan terutama hewan kecil adalah kombinasi ketamin
dan xylazin. Kombinasi ini dianggap aman untuk digunakan dan memiliki
beberapa keuntungan yaitu, ekonomis mudah dalam pemberiannya, induksinya
cepat, mempunyai relaksasi yang baik serta jarang menimbulkan komplikasi
klinis. Xylazin merupakan analgesik dan sedatif yang mempunyai efek relaksasi
otot yang baik, sedangkan ketamin menimbulkan efek kekakuan otot yang tinggi
pada waktu pemulihannya. Ketamin biasanya dikombinasikan dengan xylazin
yang memiliki perlelaksasi otot sehingga dapat mengurangi kekakuan otot yang
dihasilkan oleh agen disosiatif (Gorda 2010). Kombinasi xylazin dan ketamin juga
memiliki efek negatif terutama pada organ jantung dan paru-paru yang dapat
mengakibatkan penurunan denyut jantung, cardiac output, stroke volume,
efektifitas ventilasi alveolar, dan transport oksigen.
Ketamin merupakan agen anestesi yang sering digunakan pada hewan.
Anestesi ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan anestesi lain, yaitu onset
cepat, rentang keamanan lebar, serta menyebabkan depresi minimal sistem
pernafasan dan kardiovaskular (Li et al. 2012). Ketamin menyebabkan efek
kardiovaskular meliputi peningkatan tekanan darah, denyut jantung, cardiac
output, dan penggunaan oksigen oleh otot jantung (Jung dan Jung 2012).
Ketamine memiliki status anestesi yang tidak lazim, dimana hewan masih
melotot, otot otot tampak kaku, masih mengeluarkan suara, seperti kesurupan
karena ketidaksadarannya sebagai akibat interupsi pada cerebrum, sistim
retikulars dan sistim limbik dan sebatas setinggi sistim thalamoneurocortical.
Reflek pharyng dan laryng hanya sedikit tertekan, ada rangsangan pada
cardiovaskuler dengan hipertensi dan tachicardii dan meningkatnya tekanan cairan
cerebrospninal, nafas terdepres dan terjadi hipotermis. Peningkatan tekanan arteri
berhubungan dengan peningkatan cardiac output, tetapi tidak menyebabkan
perubahan pada stroke volume (Baumgartner et al. 2010). Ketamin tidak
menyebabkan analgesik atau relaksasi otot yang cukup untuk tujuan operasi,
karena sifat ketamin lemah sebagai muscle relaxant. Penggunaan ketamin sering
dikombinasikan dengan obat lain, seperti xylazin (Sloan et al. 2011). Penggunaan
secara tunggal tidak dianjurkan untuk kerperluan operasi membuka rongga perut
dan rongga dada. Dalam prakteknya ketamin lebih bagus digunakan pada kucing
dan primata lainnya, namun kurang baik digunakan pada anjing karena efek
analgesinya tidak menentu. Ketamin ini juga tidak dianjurkan untuk operasi
daerah kepala dan mata. Pemberian ketamin lebih praktis karena dapat
disuntikkan lntravena, intramuskuler maupun subkutan. Dalam praktek
kebanyakan diberikan dengan cara suntikan intramuskuler.
Xilazin atau rompun adalah obat non-narkotik yang poten sebagai
sedative,analgesia dan relaksan otot. Sebagai sedasia dan analgesia karena depresi
cns dan relaksasinya karena hambatan transmisi impul intraneural di cns.Obat ini
dikenalkan pertama kali 1970 digunakan pada anjing, kucing,kuda, rumenansia
dan satwa liar. Efek pemberian intramuskuler 10-15 menit kemudian sedang kalau
intravena 3-5 menit kemudian dan durasi tidur berlangsung 1-2 jam, sedang efek
analgisianya 15-30 menit. Pemberian xilasin menyebabkan penurunan respirasi,
dan denyut jantung. Obat ini bekerja pada sebelum dan sesudah terminal saraf
sinaptik. Penggunaan xylazin secara tunggal mempengaruhi sistem kardiovaskular
mengakibatkan penurunan signifikan denyut jantung, cardiac output, aliran aorta,
peningkatan awal tekanan darah dan resistensi perifer,selanjutnya diikuti
penurunan (Baumgartner et al. 2010). Xylazin menginduksi penurunan signifikan
sistem pernafasan (Li et al. 2012) dan menyebabkan sedikit peningkatan suhu
rektal (Egwu et al. 2011). Obat ini dapat menyebabkan bradycardia, derajat dua
atrioventricular block, hipertensi transien, hipotensi, penurunan stroke volume,
cardiac output, dan denyut jantung (Tranquilli et al.2007).
Atropin atau alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap respon
muskarinik, obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin
terikat pada tempatnya direseptor muskarinik. Fungsi atropin dalam anastesi ialah
untuk mengurangi salivasi, peristaltik, dan mengurangi bradikardia akibat anestesi
(Mentari 2013). Kerja atropin pada beberapa fisiologis tubuh seperti menyekat
semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi
pupil), mata menjadi tidak bereaksi pada cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan
fokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien glukouma, tekanan intraokuler akan
meninggi yang akan membahayakan (Mycek et al.2001). Pemberian atropin
sebagai obat antikolinergik digunakan untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus serta mencegah bradikardia yang diberikan sebelum pemberian
anestesi, mengingat sekresi bronkhial berlangsung selama anestesi. Pada anjing
dan kucing yang masih muda, pemberian atropin dapat memperberat takikardia
(Sardjana dan Kusumawati 2011).
Intramuskular (IM) adalah suatu teknik dalam pemberian obat secara
parental yang ditargetkan pada otot. Untuk anestesi, IM biasa digunakan agar
onset obat tidak terlalu lama tapi obat dicegah agar tidak langsung masuk ke
jantung seperti halnya Intravena (IV). Otot yang di IM pada kucing biasanya
adalah Musculus semitendinosus atau Musculus semimembranosus, dan Musculus
Lumbosacral. Ketika diinjeksikan secara intramuskular, anestetikum akan masuk
ke jaringan interstitial otot dan lemak, kemudian berdifusi melewati pembuluh
darah kapiler dan masuk ke dalam aliran darah sistemik.
Pada praktikum kali ini digunakan kucing dengan berat 2.2 kg yang
berumur 5 bulan. Sebelum dilakukan anastesi, dilakukan pemeriksaan fisik
terlebih dahulu yang hasilnya terlihat pada tabel 1. Lalu diberikan atropin dengan
dosis yang telah dihitung yaitu sebanyak 1.7 ml secara SC. Setelah diberikan
atropin, 10 menit kemudian kucing diberi anastetikum kombinasi yaitu xylazine
dan ketamine. Dosis pada anastetikum kombinasi yang diberikan yaitu sebanyak
0.44 ml secara IM dan kucing mulai terbius pada menit ke-4 setelah pemeberian
anastetikum. Menurut Mentari (2013) penggunaan kombinasi ketamin-xylazin
pada kucing dapat menyebabkan perlambatan absorbsi ketamin sehingga eliminasi
ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang. Efek
sedasi xylazin akan muncul maksimal 20 menit setelah pemberian secara IM dan
akan berakhir setelah 1 jam, sedangkan efek anestesi ketamin akan berlangsung
selama 30-40 menit dan untuk recovery dibutuhkan waktu sekitar 5-8 jam
(Kusumawati dan Sardjana, 2004). Menurut Sardjana (2003) pada anjing dan
kucing khususnya, xylazin dapat merangsang pusat muntah sehingga obat tersebut
biasanya digunakan juga sebagai obat emetik. Xylazin juga biasanya dapat
menyebabkan peningkatan urinasi pada kucing. Xylazin tidak boleh digunakan
pada pasien atau hewan dengan hipersensivitas atau alergi terhadap obat tersebut.
Pada praktikum yang telah dilakukan, setelah pemberian anastetikum
kombinasi yaitu xylazine dan ketamine kucing muntah pada menit ke- 120. Hal
ini sesuai dengan literature yaitu efek dari xylazin pada anjing dan kucing adalah
terjadinya muntah pada pemberian intravena atau intramuskuler sering terjadinya
distensi abdomen akut (Brander et al 1991). Setelah hewan teranastesi dilakukan
juga pemantauan fisik pada kucing antara lain temperatur, frekuensi nafas,
frekuensi jantung, frekuensi nadi, refleks kelopak mata dan pupil. Pemantauan
selama proses anestesi perlu dilakukan, hal ini untuk melihat reaksi dari obat-
obatan tersebut dengan tubuh pasien. Pemantauan sebaiknya difokuskan pada
fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan temperatur tubuh yang memiliki peran
mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami
penurunan terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi
arteri), sehingga akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O2 ke jaringan dan
ditambah dengan kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian.
Penurunan denyut jantung dan nadi pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat
adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung
dan fungsi miokardiak. Hanya beberapa anestetika yang dapat meningkatkan
denyut jantung seperti atropin, ketamin, dan tiletamin (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Secara fisiologis frekuensi nafas dapat dipengaruhi oleh umur, stimuli,
kerja. Frekuensi nafas yang meningkat terjadi pada keadaan stres, kerja, demam
dan adanya rasa sakit. Penurunan frekuensi nafas dapat terjadi pada depresi
kepekaan pusat nafas seperti pada kasus peningkatan tekanan dalam otak, hilang
kesadaran, uremia dan tekanan oksigen yang meningkat (Widiyono, 2001).
Frekuensi bernapas dihitung dalam satuan kali per menit, dilihat dari gerakan
tulang rusuk atau costae. Satu kali bernapas terdiri atas inspirasi dan ekspirasi,
dilihat dari gerakan rusuk ke luar dan ke dalam (Widodo et al 2011). Penurunan
saturasi oksigen dapat terjadi karena obat anestetik menyebabkan relaksasi otot
bronkus dan penurunan tingkat oksigenasi darah. Xylazin juga menyebabkan
penurunan saturasi oksigen akibat menurunnya respirasi (Ismail et al 2010).
Pengaturan suhu tubuh dikendalikan oleh saraf bersifat umpan balik.
Mekanisme umpan balik ini menurut Kelly (1984) merupakan mekanisme
pengaturan suhu yang terpusat pada hiphotalamus, sehingga dalam
implementasinya pengaturan suhu behubungan erat dengan adanya rangsangan
pada tubuh. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan
penurunan suhu tubuh. Abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan
suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat
produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi
vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan cairan
dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak
lingkungan. Perubahan suhu pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan
apabila masih berada pada batas-batas nilai normal (Muir et al 2000). Pada
anestesi umum, dan penurunan suhu tubuh juga disebabkan oleh vasodilatasi
pembuluh darah perifer, pengurangan pembentukan panas oleh otot skelet, dan
penurunan rata-rata basal metabolisme tubuh karena tidak ada aktivitas tubuh
selama anestesi (Lumb dan Jones 2007, Muir et al. 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Albani, Radi I, dkk. 2008. Laporan Akhir Program Kreativitas Mahasiswa Bidang
Penelitian. Teknik Anestesi Ikan Menggunakan Arus Listrik. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Sardjana IKW, Kusumawati D. 2011. Bedah Veteriner Cetakan 1.Surabaya
(ID): Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Gorda W, Wardhita AAGJ, Dharmayudha AAGO. 2010. Perbandingan Efek
Pemberian Anestesi Xylazine-Ketamin Hdroklorida dengan Anestesi
Tiletamin-Zolazepam terhadap Capillary Refill Time (CRT) dan Warna
selaput Lendir pada Anjing. Jurnal. Bali (ID): Buletin Veteriner Udayana.
Mentari N. 2013. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-ketamin-Xylazin
pada babi lokal. Skripsi. Makassar (ID): Fakultas Kedokteran Hewan.
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2004. Anestesi Veteriner. Yogyakarta (ID):UGM
Sardjana IKW. 2003. Penggunaan Zoletil dan Ketamin untuk Anestesi pada
Felidae. Penelitian. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Brander, G.C., Pugh, D.M. and Bywatyer, R.J., Jenkins, W.L,. 1991. Veterinary
Applied Pharmacology and Therapeutics 5th Edition. The English
Language Book Society and Bailliere Tindall: London.
McKelvey D dan Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia,
Edisi ke-3. Auburn, WA, U.S.A.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelalana RPA. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID) :IPB Press.
Ismail ZB, Jawasreh K, Al-majali A. 2010. Effect of xylazine-ketamine-diazepam
on certain clinical and arterial blood gas parameter in sheep and goats.
Comp Clin Pathol
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall.
Lumb MV, Jones EW. 2007. Veterinary Anesthesia dan Analgesia, Edisi ke-3.
USA: Blackwell Publishing.
Muir, W.W., Hubbell, J.A.E., Skarda, R.T., and Bednarski, R.M. 2000. Handbook
of Veterinary Anesthesia. Ed ke-3. Missouri: Mosby Inc.
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2004. Anestesi Veteriner. Yogyakarta (ID):UGM

You might also like