Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh
dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah satunya adalah
Indonesia. Bersumber pada data WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak
usia kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab
kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi perinatal yang
kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi kesehatan masyarakat
dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KEP
dimanifestasikan secara primer akibat kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan
protein secara tidak adekuat, baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi
tersebut yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia. Namun, karena KEP
hamper selalu disertai dengan kekurangan nutrisi-nutrisi lain, istilah Kurang Gizi Berat Pada
Anak-Anak atau Severe Childhood Undernutrition (SCU), lebih tepat menggambarkan keadaan
tersebut. SCU, baik primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki rentang dari
kekurangan gizi ringan yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi badan dan berat badan
sesuai umur, hingga kekurangan gizi yang berat yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi
badan dan berat badan yang signifikan sesuai umur disertai dengan wasting/ pengurangan atau
kehilangan massa otot (bertambah kurus), yaitu penurunan rasio berat badan sesuai tinggi badan
normal. SCU dibedakan secara klinis menjadi 3, yaitu : 1
1
dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali 7% dan pada tahun
2003 menjadi 8,15%.2
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef
tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169
kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya prevalensi
tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang
kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi
semua kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak. Sekitar 4
juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi
kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi lahir dengan
kekurangan berat badan (berat badan rendah).2
Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor kelaparan, melainkan
penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi
buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 18 Oktober 2012 lalu contohnya, merupakan masalah
serius karena sampai menyebabkan kematian 21 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di NTB
diminta memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama meningkatkan daya
tahan tubuh mereka. Sedangkan menurutGubernur NTB Muhammad Zainul Majdi ada faktor lain
yang dapat mengakibatkan kasus gizi buruk masih ada, kasus gizi buruk yang muncul belakangan
ini tidak semata-mata diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih pada faktor
kelalaian orangtua. Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru memiliki gelang
emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih mementingkan diri
sendiri daripada anaknya, kata Zainul Majdi.
2
BAB II
MARASMUS KWASHIORKOR
2.1 DEFINISI
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala
klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya
asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein
sehingga gejalanya disertai edema.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan
laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas
tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah
terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua
propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005,
Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di
3
NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei tahun
2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB. 4
2.3 ETIOLOGI
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang
bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor
social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.2
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi
walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita
marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971)
terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-
gejala kwashiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala
marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang
penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat menjelaskan
timbulknya gejala tersebut.2
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada
keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan
itu didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut
berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan
terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah2 :
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak
anak dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga
dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat member cukup makan pada
anggota keluarganya yang besar itu;
4
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak
sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa
ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat
perhatian dan pengobatan semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut
tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya.
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa meningkatnya
jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan
makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan
kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan
makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya. 2
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak
jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk,
misalnya, di kota-kota dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat;
sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desa-desa dengan
penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk member makanan tambahan berupa tepung,
terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 2
D. Peranan infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Indeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan,
mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini
sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi
yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. 2
E. Peranan kemiskinan
5
kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun
1974. Mereka menganggap kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang
terjadi bahwa petani miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang menurunkan lagi penghasilannya, atau
ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan yang
tetap rendah, ketidakmampuan menanam bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan
timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal seperti telah
diutarakan tadi, timbulnya gejala KEP lebih dipercepat.2
2.4. PATOFISIOLOGI
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak mengalami
edema pada KEP masih belum diketahui.Meskipun tidak ada faktor spesifik yang
ditemukan, beberapa kemungkinan dapat dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah
variabilitas antara bayi yang satu dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan
komposisi cairan tubuh saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah
dipertimbangkan bahwa pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-
edematous KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah,
sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun,
sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema.Fatty liver juga berkembang secara
sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi
sintesis apoliprotein. Penyebab lain KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta
diare, gangguan fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya,
kerusakan radikal bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP
edematous. Kejadian ini didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah akan
metionin, suatu precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis dari faktor
antioksidan major, glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh tingkat yang lebih
rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan dibandingkan
dengan non-edematous KEP.1
2.5 KLASIFIKASI
6
1. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Jika tujuannya untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah, maka yang diperlukan
klasifikasi menurut derajat beratnya KEP,hingga dapat ditentukan persentasi gizi-kurang
dan berat di daerah tersebut. Dengan demikian pemerintah dapat menentukan prioritas
tindakan yang harus diambilnya untuk menurunkan insidensi KEP. Klasifikasi demikian
yang sering dipakai adalah sebagai berikut :2
7
Klasifikasi ini menggolongkan KEP dalam kelompok menurut tipenya : gizi kurang,
marasmus, kwashiorkor, dan kwashiorkor marasmik.
8
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin seru atau protein total serum/g%
< 1.00 < 3.25
1.00 1.49 3.25 3.99 7
1.50 1.99 4.00 4.74 6
2.00 2.49 4.75 5.49
2.50 2.99 5.50 6.24 5
3.00 3.49 6.25 6.99 4
3.50 3.99 7.00 7.74
>4.00 > 7.75 3
2
1
0
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita:
9
Bagi tinggi menurut umur
Gejala klinis KEP berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan
energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya kekurangan vitamin dan
mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Keadaan
KEP yang berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya,
fluktuasi musim, keadaan sanitasi, kepadatan penduduk, dan sebagainya.2
10
Gambar 1. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor
Penampilan
Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku Harvard persentil
50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP
sudah berlangsung lama. 2
Perubahan Mental
Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita
kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. 2
11
Gambar 2. Edema dan kelainan kulit pada kwashiorkor
Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-
menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan. 2
Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat
penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya
dapat diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar
penderita, dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktak karena
mengurangnya produksi lactase dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare
demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain. 2
Perubahan rambut
12
Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan
adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement dermatosis merupakan
kelainan kulit yang khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut
dimulai dengan titik-titik merah menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak
yang lambat-laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat
bagian-bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag masih hitam. Bagian
tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang
terus-menerus mendapat tekanan merupakan predileksi crazy pavement
dermatosis,seperti di punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan
kulit lainnya seperti kulit kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang
mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat
lanjut ditemui petechiae tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi
si penderita. 2
Pembesaran hati
Anemia
13
sebagainya. Macam anemia yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih
dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel
system eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan
terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun. 2
Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak dapat
beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan protein
maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan biokimiawi dapat ditemukan
pada penderita kwashiorkor, misalnya:
o Albumin serum
o Globulin serum
14
selebihnya tidak. Tidak ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan
beratnya perlemakan hati maupun tingginya angka kematian, maka tes
tersebut tidak mempunyai nilai diagnosis maupun prognosis. 2
Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi
yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering
diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain, seperti
infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorbsi, gangguan
metabolic, penyakit ginjal menahun, dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian ibu
dan pengasuh yang berlebihan sehingga anak dipaksa menghabiskan makanan yang
disediakan, walaupun jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan
anak kehilangan nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau formula
yang akan diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam makanan
hingga pertumbuhannya terganggu. 2
Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat
sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya. 2
Perubahan mental
15
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar.
Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. 2
Otot-otot
Saluran pencernaan
Jantung
Tekanan darah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak
sehat seumur. 2
Saluran nafas
16
Sistem darah
2.7. DIAGNOSIS
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki
atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau ada gejala klinis gizi
buruk (kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor). Walaupun kondisi klinis
pada kwashiorkor, marasmus, dan marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya
sama.5,6
A. Diagnosis
17
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor : BB/TB
> -3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB < -3SD)
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan
lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantan dan paha; tulang iga
terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema. 5,6
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali jika ditemukan penyakit lain yang
berat. 5,6
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis
terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lendir)
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 5,6
Anamnesis lanjutan
18
Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan
setelah kedaruratna ditangani:
Batuk kronik
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan fisik
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan
status dehidrasi pada gizi buruk)
19
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat, nadi
lemah dan cepat) kesadaran menurun.
Demam (suku aksilar 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)
Sangat pucat
Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
20
o Hipo- atau hiper- pigmentasi
o Deskuamasi
Catatan :
Pemeriksaan laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat
pucat5,6.
KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik-kwashiorkor sehingga perlu dibedakan dari masing-masing
gejala yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.
2.9. PENATALAKSANAAN
21
Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk
Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama
perawatan dapat dievaluasi
22
Keterlibatan orang tua
Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana syok pada anak
dengan gizi buruk :
Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis atau idak
sadar.
Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda syok.
Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat)
23
Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali pemberian
cairan dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas
anak melambat, dan capillary refill >3 detik):
o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas
anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata yang
signifikan dan darah tersedia)
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih tinggi.
Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak meningkat
5 kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus karena cairan infus
dapar memperburuk kondisi anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa
nasogastrik dengan ReSoMal, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam.6
24
Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan diidentifikasi sebagai
anak dengan tanda prioritas, artinya mereka memerlukan pemeriksaan dan
penanganan segera.
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi buruk dengan
tanda kegawatdaruratan.
1. Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada fase stabilisasi)
Anak dengan tanda dehidrasi berat tapi tidak mengalami syok tidak boleh
dilakukan rehidrasi dengan infus. Hal ini karena diagnosis dehidrasi berat
25
pada anak dengan gizi buruk sulit dilakukan dan sering terjadi salah
diagnosis. Bila diinfus berarti menempatkan anak ini dalam resiko over-
hidrasi dan kematian karena gagal jantung. Dengan demikian, anak ini harus
diberi perawatan rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan
rehidrasi khusus untuk gizi buruk (ReSoMal). 6
Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau tidak
sadar). Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang biasa terjadi pada
anak syok mungkin timbul walaupun anak tidak mengalami syok.
o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat dan berikan
cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.
o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan berikan
glukosa 10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa nasogastrik dan
lakukan segera penilaian menyeluruh dan pengobatan lebih lanjut. 6
Catatan : ketika memberikan cairan infus untuk anak syok, pemberian cairan
infus tersebut berbeda dengan anak yang dalam kondisi gizi baik. Syok yang
terjadi karena dehidrasi dan sepsis mungkin dapat terjadi secara bersamaan
dan hal ini sulit untuk dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan
dehidrasi memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infus (napas
dan denyut nadi lebih lambat, capillary refill lebih cepat). Anak yang
mengalami syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan memberikan reaksi.
Jumlah cairan yang diberikan harus melihat reaksi anak. Hindari terjadi over-
hidrasi. Pantau denyut nadi dan pernapasan pada saat infus dimulai dari tiap
5-10 menit untuk melihat kondisi anak mengalami perbaikan atau tidak. Ingat
bahwa jumlah dan kecepatan aliran cairan infus berbeda pada gizi buruk. 6
26
Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat berbagai
komplikasi yang membahayakan hidupnya.Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada
ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:7
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
7
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1
(RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana II,
dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III, dengan
tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap
pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
27
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 faseyang harus
dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 14), faserehabilitasi
28
(Minggu ke 3 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 26). Dimana tindakan pelayanan
terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7
29
1. Sadar (tidak letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% * secara oral atau
NGT (bolus) sebanyak 50ml
2. Tidak sadar (letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus) sebanyak 5
ml/kgBB
Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% secara
oral atau NGT (bolus) sebanyak 50 ml.
3. Renjatan(syok)
Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan Dextrose/Glukosa
10% dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%) sebanyak 15ml/kgBB selama 1
jam pertama atau 5 tetes/menit/kgBB
Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv) (bolus)
sebanyak 5ml/kgBB
*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml
Pemantauan6 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.
Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa
atau gula 10%.
Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani
sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).
Pencegahan6 :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam.
30
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu
memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan menutup
tubuhnya dengan penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat penggunaan
cadangan energi pada anak tersebut.
31
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5 0C atau
lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan
pemanasan bila suhu mencapai 36,50C.
2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam
hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Tatalaksana6
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi berat
dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika
melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-seling dengan
F-75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih
tepat adalah ReSoMal.
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia <1th: 50-100ml
setiap buang air besar, usia 1 thL 100-200ml setiap buang air besar.
Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
Bahan Jumlah
Oralit WHO* 1 sachet (200ml)
Gula pasir 10 gr
Larutan mineral-mix** 8 ml
Ditambah air sampai menjadi 400
*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g glukosa dalam 1L
32
**Lihat resep larutan mineral mix
Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat
larutan sebagai berikut:
Bahan Jumlah
Oralit 1 sachet (200ml)
Gula pasir 10 g
Bubuk Kcl 0,8 g
Ditambah air sampai menjadi 400 ml
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat
diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan
MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.
Larutan Mineral-mix
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan dengan
menggunakan bahan berikut ini :
Bahan Jumlah (g)
Kalium klorida (KCL) 89,5
Tripotassium citrate 32,4
Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O) 30,5
Seng asetat (Zn asetat, 2H2O) 3,3
Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O) 0,56
Air tambahkan menjadi 1000 ml
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam
selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada
terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bias mengakibatkan
gagal jantung dan kematian.6
Periksalah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
Frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada
dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang
serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi
buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah
terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan
frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan
penilaian ulang setelah 1 jam.6
33
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak
dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan
oralit standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati
edema dengan pemberian diuretikum)9
Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Catatan:
34
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa
usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat
pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.9
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai.
Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif.9
35
- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000
SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat
suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan
vitamin dosis terapi.9
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml)
dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan
asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.9
36
- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi
dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.9
37
Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena keadaan
faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.9
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme
basal.9
Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2
halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan
dengan sendok / pipet.9
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap
tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa
formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari
pada fase stabilisasi ini.9
38
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi
pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan
menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.9
Sarankan:
- Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
bulan I : 1x/minggu
bulan II : 1x/2 minggu
bulan III : 1x/bulan
- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.
39
Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal seperti di
bawah ini6 :
Gejala Tindakan
Hanya bercak Bitot saja Tidak memerlukan obat tetes mata
(tidak ada gejala mata
yang lain)
Nanah atau peradangan Beri tetes mata kloramfenikol atau tetrasiklin (1%)
Kekeruhan pada kornea Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau tetes tetrasiklin (1%); 1
Ulkus pada kornea
tetes, 4x sehari, selama 7-10 hari
Tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x sehari, selama 3-5 hari.
Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata tersebut dapat diberikan
secara bersamaan
Catatan :
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga selalu
menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata dengan hati-hati untuk
menghindari rupture kornea.6
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan jika:
Hb < 4 g/dl
Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal
jantung.
Pada anak gizi burukm transfuse harus diberikan secara lebih lambat dan
dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri :
Darah utuk (whole blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,
Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.
Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah
(packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami
redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak
40
membutuhkan transfuse. Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT
selama anak ditransfusi.5,6
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfuse.
Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi
25x/menit), perlambat transfuse.5,6
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfuse, jangan ulangi transfuse
dalam 4 hari. 5,6
Sebagai tambahan:
Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganate PK;
KMnO4) 0,01% selama 10menit/hari.
Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada daerah
yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin)
pada lesi kulit yang pecah-pecah.
Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap
kering. 5,6
4. Diare persisten
Tatalaksana
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas specimen feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri
Metronidazol 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana
intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini
menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah
merupakan formula rendah laktosa. 5,6
Pada kasus tertentu :
Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa.
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan
kembali secara bertahap.
Diare osmotic
41
Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-
75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan
osmolaritasnya dikurangi. 5,6
Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan
osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.
5. Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6
Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)
Foto thoraks, bila mungkin
Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan TB pada anak
42
Mempunyai sumber daya untuk member makan anak. Jika tidak mungkin, nasihati
tentang dukungan yang tersedia.
Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah. Hal ini
mencakup: 5,6
Pemberian makanan seimbang dengan bahan local yang terjangkau.
Pemberian maknan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan (snacks) tinggi
kalori di antara waktu makan (misalnya susu,pisang,roti, biscuit).
Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.
Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat dicek.
Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.
ASI diteruskan sebagai tambahan.
2.9. KOMPLIKASI
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki komplikasi-
komplikasi yaitu :
Perkembangan mental
Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa dini
perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat
terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak normal.
Jika KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan sintesis protein akan
menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita
KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak tersebut, deficit tersebut meningkat
pada penderita KEP lebih dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang
abnormal mencapai 30 persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat
hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2
Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut yang
bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan dagu, biasanya disertai
43
nekrosis sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan lokasi noma tersebut.
Noma merupakan salah satu penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas
tubuh yang menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor.2
Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat defisiensi dari
vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun dapat juga terjadi pada
marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada penderita KEP berat karena
ditakutkan akan mengalami kebutaan.2
Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya penderita
KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru
lain, disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi
lainnya. Maka dapat dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi.
Daya tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai
dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.2
2.10. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP dan
menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan tetapi tujuan yang lebih luas
dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental
anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat
bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi
gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar penyebab
KEP (Austin, 1981), yaitu :2
44
o Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ke Pusksesmas,
Posyandu.
o Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang memiliki
prevalensi yang tinggi.
o Memperbaikin higienitas lingkungan.
o Mendidik rakyat untuk mengunjungi Puskesmas secepatnya jika kesehatan
terganggu.
o Menganjurkan keluarga berencana
2.11. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari
penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat
dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat
dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis
atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak
yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik
dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut
umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan
cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan
dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya
saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus in
cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak
dan pertambahanan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak
berada dalam batas yang normal.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th
Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-232.
2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.
3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 25 November 2012 dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a0101
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
5. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management of the Child
with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for Care at the First-Refferal
45
Level in Developing Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.
Hal : 80-91.
6. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman
Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan
WHO. 2009. Hal : 193-221.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2011.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2011.
9. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 30 November 2012 dari :
http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml
46