You are on page 1of 20

REFERAT

TRAUMA KIMIA BASA

Disusun oleh;

Nik Nur Nabila Izzati binti Nik Zumaihan

11 2015 452

Penguji: dr. Saptoyo Argo Morosidi, SpM.

Fakultas Kedokteran UKRIDA


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata
Periode 9 Mei s/d 11 Juni 2016
RS Family Medical Center (FMC), Sentul

0
DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Daftar Isi. 1

Status Pasien 2

BAB 1. Pendahuluan.. 7

BAB 2. Tinjauan Pustaka... 8

2.1 Anatomi Mata 8

2.2 Trauma Basa.. 9

2.3 Epidemiologi.. 9

2.4 Etiologi... 10

2.5 Patofisiologi... 10

2.6 Klasifikasi Trauma Basa 11

2.7 Pemeriksaan... 12

2.8 Gejala Klinis.. 13

2.9 Penatalaksanaan. 13

2.9.1 Penatalaksanaan Emergensi... 13

2.9.2 Tatalaksana Medikamentosa.. 14

2.9.3 Tatalaksana Non Medikamentosa..... 15

2.10 Komplikasi..... 16

2.11 Pencegahan..... 16

2.12 Prognosis. 16

BAB 3. Kesimpulan 17

Daftar Pustaka. 18

1
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Tn. MES

Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pekerja pabrik

Alamat : Jl Raya Jakarta Bogor KM 50 RT 03

Status perkawinan : Belum menikah

Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2016

II. ANAMNESIS

Auto Anamnesis, tanggal : 24 Mei 2016

Keluhan utama : Mata kanan sakit sejak 1,5 jam yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Kira-kira 1,5 jam sebelum ke poli mata FMC, pasien mengeluh nyeri pada mata
kanannya. Nyeri dirasakan setelah mata pasien terkena obat kaustik yang digunakan oleh
pasien di pabrik kain tempatnya bekerja. Pasien menggunakan obat kaustik tersebut sebagai
bahan peluntur kain.

Setelah terkena obat kaustik tersebut, mata pasien sakit dan merah. Pasien juga
merasa kelilipan dan sulit untuk untuk membuka mata. Penglihatan pasien juga agak buram
pada mata kanannya. Keluha keluar air mata yang banyak juga turut dirasakan oleh pasien.

Setelah terkena obat kaustik tersebut, pasien menggunakan air selang untuk
menyemprot mata kanannya selama kira-kira 15 menit di pabrik. Setelah itu baru pasien ke
poli rumah sakit FMC.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :

-Umum:

Asthma : tidak ada


Alergi : tidak ada
Diabetes Melitus : tidak ada
Hipertensi : tidak ada
Stroke : tidak ada

-Mata

Riwayat sakit mata sebelumnya : tidak ada


Riwayat penggunaan kaca mata : tidak ada
Riwayat operasi mata : tidak ada
Riwayat trauma mata sebelumnya : tidak ada

Riwayat Keluarga :

Penyakit mata serupa : tidak ada


Penyakit mata lainnya : tidak ada
Asthma : tidak ada
Alergi : tidak ada
Diabetes : tidak ada
Hipertensi : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/70 mmHg


- Frekuensi nafas : 22 kali/menit
- Frekuensi nadi : 80 kali/menit
- Suhu : 36,5oC

IV. STATUS OPHTALMOLOGIS

3
KETERANGAN OD OS
1. VISUS 0,8+2 ph 1,0 1,0
2. PALPEBRA SUPERIOR Tenang Tenang
& INFERIOR
3. KONJUNGTIVA Hiperemis, berair Tidak anemis, sekret (-)
4. SKLERA Putih, tidak ikterik Putih, tidak ikterik
5. KORNEA Ada lesi antara limbus dan Jernih
pupil, arah jam 5 dengan
ukuran 2 x 2 cm
6. BILIK MATA DEPAN Dalam Dalam
7. IRIS / PUPIL Pupil bulat, sentral, diameter Pupil bulat, sentral, diameter
3 mm, refleks cahaya 3 mm, refleks cahaya
direk/konsensual +/+ direk/konsensual -/+
8. LENSA Jernih Jernih
9. BADAN KACA Jernih Jernih
10. FUNDUS OCCULI Refleks fundus (+), papil Refleks fundus (+), papil
batas tegas, ratio A/V:2/3, batas tegas, ratio A/V:2/3,
CD ratio: 0,4, reflex fundus CD ratio: 0,4, reflex fundus
(+) (+)

Pemeriksaan tambahan:

4
Tonometri digital : N/palpasi

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tonometri non kontak : OD: 13,5 mmHg

OS: 13,4 mmHg

Tes fluoresensi positif

VI. RESUME

Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang dengan keluhan mata kanannya merah dan
sakit setelah terkena obat kaustik di pabrik tempatnya bekerja. Pada pemeriksaan oftalmologi
didapatkan visus mata kanan 0,8+2 ph 1,0 dan mata kiri 1,0. Pada konjungtiva mata kanan
tampak hiperemis dan berair. Pada kornea, adanya lesi putih di antara limbus dan pupil pada
arah jam 5 dengan ukuran 2 x 2 cm. Tes fluoresensi positif pada mata kanan.

VII. DIAGNOSIS KERJA

Trauma basa et causa obat kaustik OD

VII. DIAGNOSIS BANDING

Trauma kimia asam OD

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Tidak ada

IX. PENATALAKSANAAN

Medika Mentosa

Ofloxacin setetes sekali, 6 kali sehari

5
Asam etilen diamin tetra asetat setetes sekali, 4 kali sehari
Artificial tears

Non Medika Mentosa

Konsul ke Sp Mata untuk pemeriksaan selanjutnya

Edukasi

Jangan mengucek mata


Pakai obat sesuai aturan

VIII. PROGNOSIS

OD OS
Ad Visam Ad bonam Ad bonam
Ad Fungsionam Ad bonam Ad bonam
Ad Sanactionam Ad bonam Ad bonam

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma mata adalah salah satu dari kegawatdaruratan medis. Trauma mata dapat
disebabkan oleh trauma kimia, trauma benda asing pada mata, trauma tembus bola mata,
trauma tumpul, trauma mata yang bersamaan dengan trauma kepala dan trauma luka bakar.1

Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zat basa pH >

6
7 yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Kerusakan yang diakibatkannya
bervariasi mulai dari iritasi ringan sampai kerusakan permukaan epitel, kekeruhan kornea,
hilangnya tajam penglihatan hingga hilangnya mata.2 Tingkat keparahan trauma dikaitkan
dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia
tersebut. Mekanisme cedera antara asam dan basa sedikit berbeda.
Trauma kimia terjadi dapat disebabkan oleh asam atau basa. Trauma basa mempunyai
prognosis yang lebih buruk berbanding trauma kimia asam. Trauma dapat mengakibatkan
kekeruhan pada bola mata. Kerusakan mata dapat mengakibatkan atau memberikan penyulit
sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata memerlukan perawatan yang
tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan
kebutaan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Mata merupakan salah satu alat indra yang terdiri atas susunan yang komplek. Mata
terdiri atas bola mata, rongga orbita, kelopak mata, pembuluh darah dan sistem persarafan.
Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior sekitar 24 mm. Bagian bola mata
paling depan adalah kornea. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan yaitu:3

7
a Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke
dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.
b Uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan uvea dan sklera dibatasi oleh ruang
yang potensial dimasuki darah apabila terjadi trauma yang disebut perdarahan
suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, corpus siliar dan koroid. Corpus siliar
yang terletak dibelakang iris menghasilkan humor aqueous.
c Retina merupakan lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi transparan
yang terletak paling dalam dan berbatas dengan koroid. Retina terdiri atas 10
lapisan (dari dalam keluar):4
1 membran limitans interna
2 lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju N II
3 lapisan sel ganglion
4 lapisan pleksiform dalam yang mengandung sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar
5 lapisan nukleus dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal
6 lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel
horisontal dengan fotoreseptor
7 lapisan nukleus luar sel fotoreseptor
8 membran limitans eksterna
9 lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10 epitel pigmen retina.

Kornea atau dalam bahasa latin disebut cornum yang berarti seperti tanduk adalah
jaringan transparan pada mata yang tembus cahaya. Transparansi kornea disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu letak epitel kornea yang tertata rapid an teratur, letak serabut kolagen
yang tertata sangat rapid an padat, kadar air yang konstan dan tidak adanya pembuluh darah
(avaskular).5 Dari anterior ke posterior, kornea terdiri atas 5 lapisan: lapisan epitel
(berbatasan langsung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran
Descement dan lapisan endotel. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh darah limbus, humor
aqueous dan air mata.3,4

2.2 Trauma Basa


Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa
memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi sel
membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. 6 Trauma basa akan

8
memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada
bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan
menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir
dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses saponifikasi, disertai dengan
dehidrasi.6

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami
gangguan penglihatan akibat trauma. 75% dari kelompok tersebut buta pada satu mata, dan
sekitar 50,000 menderita cedera serius yang mengancam penglihatan setiap tahunnya. Setiap
hari lebih dari 2000 pekerja di Amerika Serikat menerima pengobatan medis karena trauma
mata pada saat bekerja.7 Lebih dari 800,000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan
pekerjaan terjadi setiap tahunnya.4
Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali
lebih besar dengan usia rata-rata 28 sampai 36 tahun. 8 Secara international, 80% dari trauma
kimiawi dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan. Menurut United States Eye Injury
Registry (USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi
kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-
rata 31 tahun.7

2.4 Etiologi

Trauma basa dapat disebabkan oleh zat-zat kimia yang mempunyai pH >7 misalnya
dalam pupuk, cairan pembersih, pasta gigi, pembersih saluran, kapur dan semen. Zat-zat yang
bersifat basa yang dapat menyebabkan trauma adalah antara lain NH 3, KOH, NaOH dan
CaOH.

2.5 Patofisiologi4,5,9

Bahan kimia yang umumnya menyebabkan trauma basa pada mata adalah natrium
hidroksida yang sering ditemukan dalam bahan pembersih industry, amonia yang ditemukan
dalam larutan pembersih rumah tangga dan pupuk dan kalsium hidroksida yang ditemukan
dalam kapur semen dan plester.

Zat kimia basa bersifat lipofilik dan dapat menembus sel melalui proses saponifikasi
membrane lipid. Ion hidroksil, yang umumnya banyak didapatkan dalam bahan kimia basa

9
menyebabkan denaturasi matriks kolagen kornea dan memfasilitasi penetrasi kimia lebih
lanjut. Respon inflamasi memicu pelepasan enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan
selanjutnya.10 Basa yang kuat dapat mencapai ruang anterior dalam waktu 7 detik,
menyebabkan kerusakan jaringan di kornea dan ruang anterior (termasuk trabecular
meshwork, lensa, dan badan siliar). Penetrasi dapat terus terjadi lama setelah paparan awal
berlangsung.

Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia ditandai oleh 2 fase, yaitu fase
kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan kimia serta fase penyembuhan. Kerusakan
yang terjadi pada trauma kimia yang berat dapat diikuti oleh hal-hal sebagai berikut:11

Terjadi nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan
oklusi pembuluh darah pada limbus.

Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan


konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan persisten
pada epitel kornea dengan perforasi dan ulkus kornea bersih.

Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan dan
presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.

Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan


kerusakan iris dan lensa.

Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang dibutuhkan


untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.

Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi.

Penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut:

Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran dari


sel-sel epitelial yang berasal dari stem cell limbus


Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit terjadi sintesis
kolagen yang baru.

10
2.6 Klasifikasi Trauma Basa

Klasifikasi bertujuan untuk penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul
serta indikasi penentuan prognosis. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan
kornea dan keparahan iskemik limbus.

Tabel 1.Klasifikasi Trauma Kimia Menurut Klasifikasi Roper Hall.12

Gre Kornea Konjungtiva/ Limbus Prognosis


d
1 Kornea jernih, epitel rusak Tidak ada iskemik limbus Baik
2 Kornea berkabut, gambaran iris masih <1/3 iskemik limbus Baik
terlihat
3 Epitel kornea hilang total, stroma 1/3 iskemik limbus Kurang
berkabut, gambaran iris tidak jelas
4 Kornea opak, gambaran iris dan pupil > iskemik limbus Sangat buruk
tidak jelas

Selain klasifikasi Roper Hall, prognosis juga dapat ditentukan dengan menggunakan
klasifiksi Hugues yang dimodifikasi dari klasifikasi Roper Hall. Hugues menyatakan bahwa
gred 1 dan 2 diklasifikasikan sebagai trauma alkali ringan dan mempunyai prognosis yang
baik. Biasanya trauma gred 1 dan 2 ini membaik dalam waktu kurang lebih 10 hari. Trauma
gred 3 dan 4 diklasifikasikan sebagai trauma yang berat dan serius.13

Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi:3

Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata


Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea
Derajat 4 :konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%

2.7 Pemeriksaan12
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik pada mata yang terkena trauma, pH kedua
mata harus diperiksa. Jika pH tidak dalam kisaran fisiologis, maka mata harus diirigasi untuk
mencapai pH ke kisaran yang normal yaitu antara 7 dan 7,2. pH diukur dengan menggunakan

11
kertas lakmus secara berkala. Dianjurkan untuk menunggu setidaknya lima menit setelah
irigasi sebelum memeriksa pH untuk memastikan bahwa pH tidak naik atau turun disebabkan
oleh sisa zat kimia yang masih ada di dalam mata.
Pemeriksaan fisik harus digunakan untuk menilai sejauh mana kedalaman lesi yang
disebabkan oleh zat kimia tersebut. Pemeriksaan segmen anterior mata terutama pada
kornea, konjungtiva dan limbus perlu dilakukan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
menggunakan tes fluoresen untuk melihat apakah ada abrasi kornea. Selain itu, pemeriksaan
tekanan intraokular juga perlu dilakukan.
Tanda-tanda yang dapat ditemui pada pemeriksaan fisik dan oftalmologi adalah:14

Defek epitel kornea, dapat ringan berupa keratitis pungtata sampai kerusakan seluruh
epitel. Kerusakan semua epitel kornea dapat tidak meng-up take fluoresin secepat
abrasi kornea sehingga dapat tidak teridentifikasi.
Kekeruhan kornea yang dapat bervariasi dari kornea jernih sampai opasifikasi total
sehingga menutupi gambaran bilik mata depan.
Perforasi korneA sangat jarang terjadi, biasa pada trauma berat yang
penyembuhannya tidak baik.
Reaksi inflamasi bilik mata depan, dalam bentuk flare dan cells. Temuan ini biasa
terjadi pada trauma basa dan berhubungan dengan penetrasi yang lebih dalam.
Peningkatan tekanan intraokular
Inflamasi konjungtiva.
Iskemia perilimbus
Penurunan tajam penglihatan terjadi karena kerusakan epitel, kekeruhan kornea,
banyaknya air mata.
Pada trauma derajat ringan sampai sedang biasanya yang dapat ditemukan berupa
kemosis, edema pada kelopak mata, luka bakar derajat satu pada kulit sekitar, serta adanya sel
dan flare pada bilik mata depan. Pada kornea dapat ditemukan keratitis pungtata sampai erosi
epitel kornea dengan kekeruhan pada stroma. Sedangkan pada derajat berat mata tidak merah,
melainkan putih karena terjadinya iskemia pada pembuluh darah konjungtiva. Kemosis lebih
jelas, dengan derajat luka bakar yang lebih berat pada kulit sekitar mata, serta opasitas pada
kornea.

2.8 Gejala Klinis

12
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu, epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Pada trauma basa, kehilangan penglihatan sering
bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.15 Pada anamnesis harus ditanyakan riwayat
trauma pasien, zat kimia apa yang terkena pada mata, bagaimana terjadi trauma dan kapan
terjadinya trauma tersebut.16 Bila terjadi penurunan visus, perlu diketahui juga onset dari
penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau tiba-tiba. Jika trauma terjadi akibat
ledakan, harus dicurigai adanya benda asing intraokular.

2.9 Penatalaksanaan

Tujuan umum dari tatalaksana pada trauma kimia adalah untuk menghilangkan agen
penyebab, mempromosikan penyembuhan permukaan mata, menghilangkan peradangan,
mencegah infeksi dan mengkontrol tekanan intraokular.14

2.9.1 Penatalaksanaan Emergensi.11


Pada saat mendapatkan pasien dengan trauma basa pada mata, hal pertama yang harus
dilakukan adalah irigasi. Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi
kontak mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus konjungtiva yang
harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan normal saline (atau yang setara) harus digunakan
untuk mengirigasi mata selama 15-30 menit sampai pH mata menjadi normal (7,3). Pada
trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30 menit.
Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal untuk membentu meredakan nyeri. Irigasi dalam
waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung
dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan).
Setelah melakukan irigasi, tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah double
eversi pada kelopak mata. Tindakan eversi ini dilakukan untuk memindahkan material yang
terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan
antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.
Selanjutnya dilakukan debridemen. Pada daerah epitel kornea yang mengalami
nekrotik sehingga dapat terjadi reepitelisasi pada kornea.Trauma kimia ringan (derajat 1 dan
2) dapat diterapi dengan pemberian obat-obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan
antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-

13
obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah
terjadinya ulkus kornea.

2.9.2 Tatalaksana Medikamentosa. 11,15, 17, 18

EDTA
EDTA berfungsi sebagai inhibitor kolagenase yang bekerja dengan cara menghambat
proses kolagenolitik sekaligus mempromosikan penyembuhan luka dan menghambat
terjadinya ulkus stroma.

Antibiotik
Antibiotik diberikan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman
oportunis. Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil
dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik.
Antibiotik yang biasa diberikan adalah doksisiklin 100 mg.

Siklopegik
Siklopegik diberikan untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Obat yang biasa diberikan adalah Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25%
diberikan 2 kali sehari.

Antiglaukoma
Antiglaukoma diberikan untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi
resiko terjadinya glaukoma sekunder. Antiglaukoma yang diberikan adalah dari golongan
beta blocker atau inhibitor karbonik anhydrase.

Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat berfungsi untuk meningkatkan penyembuhan luka
dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10%
topikal diberikan setiap 2 jam.

Steroid
Pemberian steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil.
Namun pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan

14
sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara
inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1%
ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
.
2.9.3 Tatalaksana Non Medika Mentosa
Pembedahan
Tindakan pemebedahan pada pasien trauma basa mata dibedakan menjadi 2 macam
yaitu pembedahan segera dan pembedahan lanjut. Pembedahan segera sifatnya segera
dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan
mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan:19,
20

Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk mengembalikan


vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.

Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari donor
(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.

Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis

Pembedahan lanjut dilakukan pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:19,
20

Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan


simblefaron.

Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.

Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.

Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini untuk
memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.

Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat dikarenakan
hasil dari graft konvensional sangat buruk.

15
2.10 Komplikasi

Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis
trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara
lain:4,11

Simblefaron, adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga


kornea dan penglihatan terganggu.
Kornea keruh, edema, neovaskuler

Sindroma mata kering

Glaukoma sudut tertutup

Phthisis bulbi

2.11 Pencegahan

Edukasi dan pelatihan untuk mencegah pajanan zat kimia di tempat kerja dapat
mencegah terjadinya trauma kimia pada mata. Pekerja yang dapat terpajan zat kimia di
tempat kerja harus menggunakan safety goggles. Trauma kimia juga dapat mengenai bagian
tubuh lain jadi pekerja harus menggunakan sarung tangan dan pakaian yang sesuai apabila
harus memakai zat-zat kimia untuk tujuan pekerjaan.

2.12 Prognosis

Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma
tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu
indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada
pembuluh darah limbus dan konjungtiva memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling
berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye dimana prognosisnya
adalah yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan.18
Trauma kimia sedang samapai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat
menyebabkan simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi
pada kamera okuli anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.

BAB 3

16
KESIMPULAN

Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam dengan pH < 7
dan bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa biasanya memberikan dampak
yang lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu
hidrofilik dan lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan
masuk ke sudut mata depan, bahkan sampai retina.
Gejala utama yang muncul pada trauma mata adalah epifora, blefarospasme dan nyeri
yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma yang tidak memerlukan
anamnesa dan pemeriksaan yang lengkap. Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma
kimia adalah irigasi mata dengan segera sampai pH mata kembali normal.

DAFTAR PUSTAKA

17
1 Lim ASM, Constable I, Wong TY. Colour atlas of ophthalmology. 5 th ed. London:
World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.; 2008. pg 136.

2 Sutjipto, Doemilah R. Auto conjungtival graft and conformer placing after


symblepharectomy. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2009; 7(1): 32-4.

3 Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. hal. 3-4

4 Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hal. 125, 185, 372-8.

5 Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Jogjakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2012. hal. 2

6 Palao R, Monge I, Ruiz M, Barret JP. Chemical burns: pathophysiology and


treatment. Journal of the International Society for Burn Injuries. 2009: 1-10

7 Centers for Disease Control and Prevention. Eye safety. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/niosh/topics/eye/ pada tanggal: 28 Mei 2016.

8 Bartlett JD, Jaanus SD. Clinical ocular pharmacology. 5 th Ed. Missouri: Butterworth
Heinemann Elsevier; 2008. pg. 509
9 Hemmati HD, Colby KA. Treating acute chemical injuries of the cornea. American
Academy of Ophthalmology. Available from:
http://www.aao.org/eyenet/article/treating-acute-chemical-injuries-of-cornea
[Accessed on 28 May 2016]
10 Pfister RR, Pfister DA. Alkali injuries of the eye. Fundamentals of Cornea and
External Disease. Cornea. 2005. Vol 2: 1285-93
11 Bowling B. Kanskis clinical ophthalmology a systematic approach. 8th ed.
Philadelphia: Elsevier Limited; 2016. pg 881-2.
12 Gupta N, Kalaivani M, Tandon R. Comparison of prognostic value of Roper Hall and
Dua classification systems in acute ocular burns. The British Journal of
Ophthalmology. 2011: 95(2): p. 194-8
13 Schrage N, Burgher F, Blomet J, Bodson L, Gerard M et al. Chemical ocular burns:
new understanding and treatments. Heidelberg: Springer; 2011. pg. 97

18
14 Ventocilla M. Ophthalmologic approach to chemical burns clinical presentation.
Medscape. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1215950-
clinical#b4 [Accessed on 29 May 2016]
15 Adams JG, Barton ED, Collings J, DeBlieux PMC, Gisondi MA et al. Emergency
medicine: clinical essentials. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. pg. 222
16 Eye emergency manual an illustrated guide. 2nd ed. North Sydney: NSW Department
of Health; 2009. pg. 38-9.
17 Singh P, Tyagi M, Kumar Y, Gupta KK, Sharma PD. Ocular chemical injuries and
their management. Oman J Opthalmol. 2013; 6(2): 83-6.
18 Lang GK. Ophthalmology: a pocket textbook atlas. 2 nd ed. New York: Thieme New
York; 2007. pg. 517-22.
19 Kosoko A, Vu Q, Lasaki OK. Chemical ocular burns: a case review. American Journal
of Clinical Medicine. 2009; 6(3): 46-8.
20 Merle H, Gerard M, Scharge N. Severe ocular burns. European Ophthalmic Review.
2011; 5(2): 130-3.

19

You might also like